PENDAHULUAN
Latar Belakang
Namun, hingga saat ini penjualan minyak mete masih dinilai sangat
kurang. Kulit mete masih sering dijadikan limbah dan dibuang begitu saja,
padahal dari kulit mete tersebut dapat dihasilkan minyak mete yang memiliki nilai
jual cukup besar. Hal ini disebabkan karena para petani mete di Wonogiri tidak
mengetahui pasar yang dapat dituju untuk menjadi sasaran penjualan minyak
mete. Padahal apabila produksi minyak mete dikembangkan maka dapat menjadi
sebuah sektor industri yang baru yang dapat mengangkat kehidupan masyarakat
petani mete dan menjadi pembuka lapangan kerja baru yang dapat menyerap
banyak tenaga kerja.
Berdasarkan pemikiran tersebut, kami tertarik untuk mengangkat tema
tentang bagaimana mengoptimalkan minyak mete dan menjadikannya sebagai
sebuah lapangan kerja baru bagi masyarakat Wonogiri? serta bagaimana cara
mengelola industri minyak mete ini agar dapat memberikan keuntungan yang
besar bagi para petani mete.
GAGASAN
mengimpor fenol rata-rata 32.090 ton/tahun atau senilai 24.552.971 dolar AS dan
resin fenolik rata-rata 20.570 ton/tahun atau senilai 16.707.203 dolar AS. Sektor
industri kayu juga mengimpor 14.865 ton fenol/tahun. (ristek.go.id)
Pemanfaatan minyak kulit jambu mete sebagai perekat kayu juga lebih
memberikan jaminan keamanan karena tidak menimbulkan penyakit kulit dan
infeksi saluran nafas sebagaimana dampak negatif yang bisa ditimbulkan oleh
fenol. Penggunaan kulit minyak jambu mete sebagai perekat tripleks pernah diuji
coba oleh Biotrop Bogor. Fungsi lainnya adalah dapat dipakai sebagai bahan
pestisida nabati, pengawet kayu, serta oli rem mobil dan pesawat terbang.
(litbang.deptan.go.id)
Hasil olahan minyak mete biasanya dikirim ke pabrik kampas rem di
Jakarta, Semarang dan Pabrik cat di Surabaya. Dari Surabaya dan Jakarta, Minyak
Mete tersebut kemudian diekspor ke Filipina dengan harga Rp. 16 ribu/kg. Usaha
minyak mete tersebut memberi keuntungan yang sangat besar kepada para petani
namun sayangnya hal tersebut kurang dapat dimanfaatkan oleh para petani mete
di Wonogiri. Hal tersebut kemudian menjadi pertanyaan bagi kami terkait
masalah apakah yang terdapat pada minyak mete sehingga minyak mete kurang
dimanfaatkan untuk mendapat dana tambahan.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kami mengadakan observasi ke
kecamatan Jatiroto yang terdapat di kabupaten Wonogiri. Kecamatan ini dipilih
karena merupakan penghasil Kacang Mete yang relatif besar di Wonogiri. Selain
itu, alasan dipilihnya kecamatan ini sebagai tempat observasi adalah tempatnya
yang cukup terpencil dengan masyarakat yang masih tergolong kedalam tingkat
pedesaan sehingga dapat menjadi kawasan percontohan terkait dengan usaha
pemanfaatan limbah kulit mete menjadi minyak mete (CNSL) dengan asumsi
apabila daerah sekelas Jatiroto dapat maju oleh pengolahan minyak mete, maka
teknik ini juga dapat diterapkan di daerah lain.
Lokasi
Kecamatan
Jatiroto
Keterangan: Peta dalam kotak adalah Peta Jawa tengah, bagian yang berwarna
gelap menunjukkan lokasi kabupaten Wonogiri, sedangkan gambar
peta yang besar adalah peta Kabupaten Wonogiri, gambar yang
berwarna gelap menunjukkan lokasi kecamatan Jatiroto.
Kecamatan ini tergolong sedikit rusak, sebagian besar badan jalan masih
didominasi oleh jalan batu, hanya 23 % Jalan yang sudah berbentuk aspal (Data
Kecamatan Jatiroto: 2010). Namun hal itu masih tergolong baik jika dibandingkan
dengan beberapa kecamatan lainnya di Kabupaten Wonogiri. Kecamatan Jatiroto
memiliki 15 Desa. Kecamatan ini memiliki luas 62,77 km2 dengan jumlah
penduduk 43.312 orang pada tahun 2009. Wilayah kecamatan Jatiroto ini
didominasi oleh hutan. Sebagian besar masyarakatnya bekerja sebagai petani.
(Kabupaten Wonogiri: 2007)
Dari data survei diatas, dapat diketahui bahwa sebagian besar atau 74%
masyarakat Kecamatan Jatiroto memiliki setidaknya 1 – 10 pohon mete disekitar
pekarangan rumahnya. 67% dari koresponden sebenarnya tidak peduli atau
setidaknya kurang peduli terhadap pohon mete. Kesadaran masyarakat terhadap
manfaat pohon mete kurang besar sehingga mereka tidak dapat memanfaatkan
kelebihan mete secara optimal.
5
bentuk presentasi kecil dihadapan para kepala desa tentang minyak mete yang
dikemas dalam bagan sederhana sebagai berikut:
Usaha yang kami lakukan saat ini, baru terbatas hingga tingkat
mengkampanyekan pembuatan minyak mete kepada enam kepala kelurahan dari
total 15 kelurahan yang ada di kecamatan Jatiroto. Hal ini dikarenakan
keterbatasan dalam beberapa hal seperti masalah dana dan waktu. Namun dari
tahap pertama yang sudah kami laksanakan ini, asumsi sementara kami
mengatakan bahwa dampak yang dihasilkan dari kampanye pembuatan minyak
mete kepada masyarakat Jatiroto. Hal ini dibuktikan dari antusias warga yang
sangat tinggi. Kepala Kelurahan Pingkuk sudah meminta kami untuk memberikan
pelatihan tentang teknis pembuatan minyak mete, sedangkan Kepala Kelurahan
Mojopuro, Ngelo, Pengkol, Jatirejo dan Duren saat dikonfirmasi 3 hari kemudian
mengatakan bahwa warga cukup tertarik namun masih mempertanyakan adakah
kemungkinan dampak dari pembuatan minyak mete tersebut misalnya terkait
dengan limbah yang dapat mencemari lingkungan serta berbagai macam
pertanyaan tentang kemungkinan-kemungkinan lain yang akan dihadapi.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dijawab saat kita mulai memasuki ke dalam
tahap selanjutnya.
Tahap Kedua, Memberikan Pelatihan kepada masyarakat Jatiroto terkait
cara pengolahan kulit mete menjadi minyak mete. Proses ini merupakan proses
pendidikan, ada dua jenis pendekatan yang harus dilakukan dalam tahap ini yatu
pendekatan teori dan pendekatan praktek. Pendekatan teori digunakan untuk
7
untuk menghimpun para petani yang mengolah minyak mete, menentukan harga
minyak mete di pasaran, membuat peraturan-peraturan terkait dengan batas-batas
yang boleh dan dilarang dalam pembuatan minyak mete, sertamemberikan baik
berupa bantuan modal maupun lainnya kepada sesama anggota asosiasi ”Jembatan
Minyak Mete”. Asosiasi ini bertujuan untuk menjaga stabilitas harga minyak mete
di pasaran agar kesejahteraan petani minyak mete dapat terjamin.
Istilah ”Jembatan Minyak Mete” ini diambil dengan harapan agar asosiasi
ini dapat membantu masyarakat menjadi alat penghubung dari masyarakat petani
mete di desa-desa Wonogiri kepada para pengusaha industri di kota-kota besar.
Makna lain dari istilah ”Jembatan Minyak Mete” ini adalah sebagai jalan
mengeluarkan masyarakat pedesaan di Kabupaten Wonogiri dari keterbelakngan
menuju ke arah lebih baik.
Ke depan, diharapkan asosiasi ini dapat berjalan dengan sangat baik,
sehingga pangsa pasar yang dituju bukan hanya dalam negeri, tetapi juga luar
negeri. Peluang ekspor CNSL masih sangat terbuka. Data International Trade
Center (ITC) menunjukkan bahwa kebutuhan Amerika Serikat mencapai 7.420
ton CNSL yang sebagian besar masih dipenuhi dari India dan Brazil (ikm.
deperrin.go.id). Ini merupakan tantangan bagi negara Indonesia agar mampu
bersaing dengan kedua negara tersebut, mengingat jumlah mete di Indonesia
sangat banyak sehinggperlu dioptimalkan dalam pengolahannya menjadi minyak
mete.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Departemen Pertanian. 2007. Kacang Mete, Manfaat dan Khasiatnya. Jakarta.
Kabupaten Wonogiri. 2007. Statistika Kabupaten Wonogiri, Wilayah, Penduduk
dan Sumber Daya Alam. Wonogiri.
Kalingga, Dedi. 2004. Potensi Daerah dan Permasalahannya. Jakarta.
Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah, 2003. Rencana Pengelolaan dan
Konservasi Hutan, Bagian Prencanaan Hutan, Salatiga.
Perum Perhutani KPH Jatiroto. 2005. Rencana Pengelolaan dan Konservasi
Hutan 2005-2010, Bagian Prencanaan Hutan, Salatiga.
Website:
http://ristek.go.id
http://ikm.depperin.go.id/Publikasi/KumpulanArtikel/tabid/67/articleType/Article
View/articleId/19/Default.aspx
http://www.litbang.deptan.go.id/berita/one/792