Anda di halaman 1dari 15

Kompetensi Sosial Guru (Pdt.

Rubin Adi Abraham)


August 21st, 2009 by apb in Artikel Pendidikan

GURU DAN KOMPETENSI SOSIAL

(Pdt. Dr. Rubin Adi Abraham)

Keberhasilan pembelajaran kepada peserta didik sangat ditentukan oleh guru, karena guru adalah
pemimpin pembelajaran, fasilitator, dan sekaligus merupakan pusat inisiatif pembelajaran. Itulah
sebabnya, guru harus senantiasa mengembangkan kemampuan dirinya. Guru perlu memiliki
standar profesi dengan menguasai materi serta strategi pembelajaran dan dapat mendorong
siswanya untuk belajar bersungguh-sungguh. Selain standar profesi, guru perlu memiliki standar
sebagai berikut:

1. Standar intelektual: guru harus memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai
agar dapat melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan baik dan profesional.
2. Standar fisik: guru harus sehat jasmani, berbadan sehat, dan tidak memiliki penyakit
menular yang membahayakan diri, peserta didik dan lingkungannya.
3. Standar psikis: guru harus sehat rohani, artinya tidak mengalami gangguan jiwa ataupun
kelainan yang dapat mengganggu pelaksanaan tugas profesionalnya.
4. Standar mental: guru harus memiliki mental yang sehat, mencintai, mengabdi, dan
memiliki dedikasi yang tinggi pada tugas dan jabatannya.
5. Standar moral: guru harus memiliki budi pekerti luhur dan sikap moral yang tinggi.
6. Standar sosial: guru harus memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dan bergaul
dengan masyarakat lingkungannya.
7. Standar spiritual: guru harus beriman kepada Allah yang diwujudkan dalam ibadah dalam
kehidupan sehari-hari.

Untuk dapat memperoleh hasil yang baik dalam suatu rangkaian kegiatan pendidikan dan
pembelajaran, seorang guru dituntut untuk memiliki kualifikasi tertentu yang disebut juga
kompetensi. Yang dimaksud dengan kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan
dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam
melaksanakan tugas keprofesionalan (Undang Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun
2005 tentang Guru dan Dosen). Berarti kompetensi mengacu pada kemampuan melaksanakan
sesuatu yang diperoleh melalui pendidikan; kompetensi guru menunjuk kepada performance dan
perbuatan yang rasional untuk memenuhi spesifikasi tertentu di dalam pelaksanaan tugas-tugas
pendidikan.

Kompetensi bagi guru untuk tujuan pendidikan secara umum berkaitan dengan empat aspek,
yaitu kompetensi: a) paedagogik, b) profesional, c) kepribadian, d) sosial. Kompetensi ini
bukanlah suatu titik akhir dari suatu upaya melainkan suatu proses yang berkembang dan belajar
sepanjang hayat (lifelong learning process).

Kompetensi paedagogik dan profesional meliputi penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi
pendidikan, serta kemahiran untuk melaksanakannya dalam proses belajar mengajar. Kompetensi
ini dapat ditumbuhkan dan ditingkatkan melalui proses pendidikan akademik dan profesi suatu
lembaga pendidikan. Namun, kompetensi kepribadian dan sosial, yang meliputi etika, moral,
pengabdian, kemampuan sosial, dan spiritual merupakan kristalisasi pengalaman dan pergaulan
seorang guru, yang terbentuk dalam lingkungan keluarga, masyarakat dan sekolah tempat
melaksanakan tugas.

Pengembangan kompetensi kepribadian (personal) dan sosial ini sulit dilakukan oleh lembaga
resmi karena kualitas kompetensi ini ditempa serta dipengaruhi oleh kondisi dan situasi
masyarakat luas, lingkungan dan pergaulan hidup termasuk pengalaman dalam tugas. Padahal,
berbagai lingkungan tersebut seringkali merupakan “tempat yang bermasalah dan berpenyakit
masyarakat”, seperti hedonis, KKN, materialistis, pragmatis, jalan pintas, kecurangan, dan
persaingan yang tidak sehat. Dalam lingkungan yang demikian, nilai-nilai yang telah diperoleh di
lembaga pendidikan, dan telah membentuk karakter peserta didik “yang baik” bisa luntur setelah
berinteraksi dengan masyarakat. Siaran televisi misalnya, sangat kuat pengaruhnya pada budaya
dan gaya hidup anak-anak, remaja dan pemuda. Contoh konkritnya, program “Smack Down”
yang telah memakan banyak korban, bahkan korbannya adalah anak-anak yang masih duduk di
bangku sekolah sekolah dasar.

Dengan demikian guru tidak hanya dituntut untuk menguasai bidang ilmu, bahan ajar, metode
pembelajaran, memotivasi peserta didik, memiliki keterampilan yang tinggi dan wawasan yang
luas terhadap dunia pendidikan, tetapi juga harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang
hakikat manusia, dan masyarakat.

B. KOMPETENSI SOSIAL SEORANG GURU

Ada empat pilar pendidikan yang akan membuat manusia semakin maju:

1. Learning to know (belajar untuk mengetahui), artinya belajar itu harus dapat memahami
apa yang dipelajari bukan hanya dihafalkan tetapi harus ada pengertian yang dalam.
2. Learning to do (belajar, berbuat/melakukan), setelah kita memahami dan mengerti
dengan benar apa yang kita pelajari lalu kita melakukannya.
3. Learning to be (belajar menjadi seseorang). Kita harus mengetahui diri kita sendiri, siapa
kita sebenarnya? Untuk apa kita hidup? Dengan demikian kita akan bisa mengendalikan
diri dan memiliki kepribadian untuk mau dibentuk lebih baik lagi dan maju dalam bidang
pengetahuan.
4. Learning to live together (belajar hidup bersama). Sejak Tuhan Allah menciptakan
manusia, harus disadari bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri tetapi saling
membutuhkan seorang dengan yang lainnya, harus ada penolong. Karena itu manusia
harus hidup bersama, saling membantu, saling menguatkan, saling menasehati dan saling
mengasihi, tentunya saling menghargai dan saling menghormati satu dengan yang lain.

Pada butir ke 4 di atas, tampaklah bahwa kompetensi sosial mutlak dimiliki seorang guru. Yang
dimaksud dengan kompetensi sosial adalah kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat
untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga
kependidikan, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar (Standar Nasional
Pendidikan, penjelasan Pasal 28 ayat 3 butir d). Karena itu guru harus dapat berkomunikasi
dengan baik secara lisan, tulisan, dan isyarat; menggunakan teknologi komunikasi dan informasi;
bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang
tua/wali peserta didik; bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar.

Memang guru harus memiliki pengetahuan yang luas, menguasai berbagai jenis bahan
pembelajaran, menguasai teori dan praktek pendidikan, serta menguasai kurikulum dan
metodologi pembelajaran. Namun sebagai anggota masyarakat, setiap guru harus pandai bergaul
dengan masyarakat. Untuk itu, ia harus menguasai psikologi sosial, memiliki pengetahuan
tentang hubungan antar manusia, memiliki keterampilan membina kelompok, keterampilan
bekerjasama dalam kelompok, dan menyelesaikan tugas bersama dalam kelompok.

Sebagai individu yang berkecimpung dalam pendidikan dan juga sebagai anggota masyarakat,
guru harus memiliki kepribadian yang mencerminkan seorang pendidik. Guru harus bisa digugu
dan ditiru. Digugu maksudnya bahwa pesan-pesan yang disampaikan guru bisa dipercaya untuk
dilaksanakan dan pola hidupnya bisa ditiru atau diteladani. Guru sering dijadikan panutan oleh
masyarakat, untuk itu guru harus mengenal nilai-nilai yang dianut dan berkembang di
masyarakat tempat melaksanakan tugas dan bertempat tinggal.

Sebagai pribadi yang hidup di tengah-tengah masyarakat, guru perlu memiliki kemampuan untuk
berbaur dengan masyarakat misalnya melalui kegiatan olahraga, keagamaan, dan kepemudaan.
Keluwesan bergaul harus dimiliki, sebab kalau tidak, pergaulannya akan menjadi kaku dan
berakibat yang bersangkutan kurang bisa diterima oleh masyarakat.

Bila guru memiliki kompetensi sosial, maka hal ini akan diteladani oleh para murid. Sebab selain
kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual, peserta didik perlu diperkenalkan dengan
kecerdasan sosial (social intelegence), agar mereka memiliki hati nurani, rasa perduli, empati dan
simpati kepada sesama. Pribadi yang memiliki kecerdasan sosial ditandai adanya hubungan yang
kuat dengan Allah, memberi manfaat kepada lingkungan, dan menghasilkan karya untuk
membangun orang lain. Mereka santun dan peduli sesama, jujur dan bersih dalam berperilaku.

Sumber kecerdasan adalah intelektual sebagai pengolah pengetahuan antara hati dan akal
manusia. Dari akal muncul kecerdasan intelektual dan kecerdasan bertindak yang memandu
kecerdasan bicara dan kerja. Sedangkan dari hati muncul kecerdasan spiritual, emosional dan
sosial.

Sosial inteligensi membentuk manusia yang setia pada kebersamaan. Apabila ada satu warganya
yang menderita merupakan penderitaan bersama. Sebaliknya apabila ada kebahagiaan
menjadi/merupakan kebahagiaan seluruh masyarakat. Dalam tingkatan nasional, sosial
intelegensi membimbing para pemimpin untuk selalu peka terhadap kesulitan rakyatnya dengan
mengutamakan kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat.

Cara mengembangkan kecerdasan sosial di lingkungan sekolah antara lain: diskusi, hadap
masalah, bermain peran, kunjungan langsung ke masyarakat dan lingkungan sosial yang
beragam. Jika kegiatan dan metode pembelajaran tersebut dilakukan secara efektif maka akan
dapat mengembangkan kecerdasan sosial bagi seluruh warga sekolah, sehingga mereka menjadi
warga yang peduli terhadap kondisi sosial masyarakat dan ikut memecahkan berbagai
permasalahan sosial yang dihadapi oleh masyarakat.

C. KOMPETENSI SOSIAL GURU KRISTEN

Guru Kristen perlu memahami pribadi Yesus sebagai guru yang harus diteladani-nya dalam
hidup sehari-hari dan dalam pelaksanaan tugas keguruan. Howard G. Hendricks mengemukakan
bahwa sedikitnya ada enam segi kehidupan Yesus yang senantiasa mengagumkan, yang perlu
diteladani oleh seorang guru Kristen. (1) Dalam segi kepribadian, Yesus memperlihatkan
kesesuaian antara ucapan dengan perbuatan. Ia pun menuntut kesesuaian antara ucapan dengan
perbuatan. Ia pun menuntut kesesuaian itu terjadi dalam diri murid-murid-Nya. (2) Pengajaran-
Nya sederhana, realistis, tidak mengambang. Ajaran-Nya selalu sederhana dalam arti
menyinggung perkara-perkara hidup sehari-hari. 3) Ia sangat relasional, dalam arti
mementingkan hubungan antar pribadi yang harmonis. 4) Isi berita-Nya bersumber dari Dia yang
mengutus-Nya (Mat. 11:27; Yoh. 5:19). Selain tetap relevan bagi pendengar-Nya, ajaran Yesus
bersifat otoritatif dan efektif (Mat. 7:28-29). 5) Motivasi kerja-Nya adalah kasih (Yoh. 1:14; Flp.
2:5-11). Ia menerima orang sebagaimana adanya, serta mendorong mereka untuk berserah
kepada Allah. 6) Metode-Nya bervariasi, namun sangat kreatif. Ia bertanya dan bercerita. Ia
melibatkan orang untuk memikirkan masalah yang diajukan. Selain itu, Ia mengenal orang yang
dilayani-Nya, tingkat perkembangan serta kerohanian mereka.

Salah satu keteladanan Yesus seperti yang dikemukakan oleh Hendricks, ialah: Ia sangat
relasional, mementingkan hubungan antar pribadi yang harmonis. Salah satu julukan Yesus
adalah: sahabat orang berdosa (Mat. 11:19). Walaupun Yesus suci dan tidak pernah berdosa, Ia
tidak mengisolir diri dan hanya bergaul dengan “komplotan suci”, tapi justru Ia menjalin relasi
secara luas dengan banyak orang, untuk menjangkau sebanyak mungkin orang agar mereka
menerima keselamatan kekal.

Tujuan hidup orang percaya adalah transformasi (perubahan) ke arah keserupaan dengan Kristus.
Transformasi terjadi melalui dan dalam hubungan antar pribadi yang penuh dedikasi dan
komitmen (transaksi sosial). Maksudnya, orang harus memberikan tekad untuk rela bersekutu
dengan sesamanya, agar ia dapat menerima atau memberi pengaruh yang positif.
Pengkomunikasian hidup secara efektif terjadi dalam konteks relasi antar pribadi yang baik.
Relasi antar pribadi yang baik melancarkan komunikasi gagasan dan nilai. Kalau hubungan
seorang guru sangat baik dengan atau berkenan bagi peserta didiknya, maka pengajarannya akan
mendapat tanggapan sangat positif.

Dalam melaksanakan tugasnya untuk mendidik para murid yang dipercayakan kepadanya,
seorang guru Kristen diharuskan mengenal muridnya, tidak hanya kemampuan akademisnya,
akan tetapi mengenal nama, perilaku, emosi, latar belakang sosial dan budaya, keluarga,
ketrampilan lain yang dimiliki murid, ataupun masalah yang dihadapi oleh murid sebagai
individu atau sekelompok murid. Pengenalan murid secara baik oleh guru sesungguhnya akan
membantu guru dalam membina muridnya secara individu, maupun secara kelompok. Jika guru
mengenal murid secara baik untuk dapat memberikan pelayanan yang terbaik kepada murid,
maka murid merasa bahwa kepentingan atau kebutuhan mereka diperhatikan oleh guru.
Melihat betapa pentingnya lingkungan sosial dalam kehidupan, maka pendidikan kristiani dalam
sekolah harus memikirkan bagaimana ia berfungsi sebagai rekan kerja keluarga dan rekan kerja
gereja serta rekan kerja bangsa dalam membentuk serta membekali anak didik. Sekolah Kristen
pada dasarnya merupakan wakil keluarga dan wakil gereja dalam memperlengkapi anak didik.
Guru dan staf administrasi dengan begitu harus bertumbuh dalam sikap kebapaan atau keibuan
sebagaimana yang diteladankan oleh rasul Paulus dalam pembinaan jemaat di Tesalonika.
Sebagai ibu, para guru memelihara dan merawat anak didiknya dan sebagai bapa, mereka
menasehati dengan bijak (I Tes. 1:7,11).

Terkait dengan hakekat manusia sebagai makhluk sosial, Allah sendiri membagun keluarga
sebagai konteks sosial pertumbuhan anak (fungsi sosialisasi). Dia menciptakan umat, masyarakat
dan bangsa untuk pertumbuhan individu dan kelompok. Dia pun menjadikan gereja sebagai
wadah pertumbuhan individu dalam berbagai aspek. Komunitas dalam jemaat terpanggil untuk
saling melengkapi, saling menasehati, saling mengajari (Kol. 3:15-16). Dinasehatkan pula oleh
Alkitab agar orang percaya tidak menjauhi pertemuan-pertemuan dengan sesamanya demi
pertumbuhan spiritualitasnya (Ibr. 10:24-25).

Dengan demikian seorang guru Kristen tidak boleh hanya membatasi hubungan dirinya hanya
dalam kelas, ketika dia mengajar. Dia juga harus terlibat secara langsung dalam kehidupan
berjemaat dalam sebuah gereja lokal. Dia juga harus menjadi bagian dari dinamika hidup yang
relasional dalam tubuh Kristus yang semestinya diwarnai oleh kasih dan keakraban hubungan.
Maksudnya, jika orang-orang yang berinteraksi dalam jemaat didorong oleh kasih yang tulus,
mereka akan bersedia membina hubungan yang akrab. Dalam relasi demikian, banyak perkara
iman dapat dipelajari. Dengan begitu, pendidikan Kristen harus memberi perhatian terhadap
jemaat sebagai tubuh Kristus. Guru Kristen perlu terlibat dalam pelayanan jemaat. Ia dituntut
untuk melibatkan diri dalam relasi antar pribadi. Sebagai pribadi ia terpanggil untuk terlibat
dalam sharing, kunjungan jemaat, dan dalam pertemuan-pertemuan tertentu. Ia mengupayakan
pembinaan orang-orang percaya yang selanjutnya dapat melaksanakan tugas pemuridan dengan
kerelaan melayani sebagai hamba dan kesediaan memberi diri sebagai “model” atau teladan.
Dengan demikian, pendidikan Kristen harus mengupayakan pemuridan lewat identifikasi, yakni
saling mengamati gaya hidup sesama dalam artian positif, bukan hanya berupa pengajaran di
kelas sekolah secara formal.

http://www.apb.or.id/?p=188
kompetensi kepribadian
I. PRIBADI GURU.

Adalah sangat penting seorang guru memiliki sikap yang dapat mempribadi sehingga dapat
dibedakan ia dengan guru yang lain. Memang, kepribadian menurut Zakiah Darajat disebut sebagai
sesuatu yang abstrak, sukar dilihat secara nyata, hanya dapat diketahui lewat penampilan, tindakan, dan
atau ucapan ketika menghadapi suatu persoalan, atau melalui atasannya saja.

Kepribadian mencakup semua unsur, baik fisik maupun psikis. Sehingga dapat diketahui bahwa
setiap tindakan dan tingkah laku seseorang merupakan cerminan dari kepribadian seseorang, selama hal
tersebut dilakukan dengan penuh kesadaran. Setiap perkataan, tindakan, dan tingkah laku positif akan
meningkatkan citra diri dan kepribadian seseorang. Begitu naik kepribadian seseorang maka akan naik
pula wibawa orang tersebut.

Kepribadian akan turut menetukan apakah para guru dapat disebut sebagai pendidik yang baik
atau sebaliknya, justru menjadi perusak anak didiknya. Sikap dan citra negative seorang guru dan
berbagai penyebabnya seharusnya dihindari jauh-jauh agar tidak mencemarkan nama baik guru. Kini,
nama baik guru sedang berada pada posisi yang tidak menguntungkan, terperosok jatuh. Para guru
harus mencari jalan keluar atau solusi bagaimana cara meningkatnya kembali sehingga guru menjadi
semakin wibawa, dan terasa sangat dibutuhkan anak didik dan masyarakat luas. Jangan sebaliknya.

Guru sebagai teladan bagi murid-muridnya harus memiliki sikap dan kepribadian utuh yang
dapat dijadikan tokoh panutan idola dalam seluruh segi kehidupannya. Karenanya guru harus selalu
berusaha memilih dan melakukan perbuatan yang positif agar dapat mengangkat citra baik dan
kewibawaannya, terutama di depan murid-muridnya. Disamping itu guru juga harus
mengimplementasikan nilai-nilai tinggi terutama yang diambilkan dari ajaran agama, misalnya jujur
dalam perbuatan dan perkataan, tidak munafik. Sekali saja guru didapati berbohong, apalagi langsung
kepada muridnya, niscaya hal tersebut akan menghancurkan nama baik dan kewibawaan sang guru,
yang pada gilirannya akan berakibat fatal dalam melanjutkan tugas proses belajar mengajar.

Guru yang demikian niscaya akan selalu memberikan pengarahan kepada anak didiknya untuk
berjiwa baik juga. Hampir sulit ditemukan munculnya guru yang memiliki keinginan buruk terhadap
muridnya. Dalam menggerakkan murid, guru juga dianggap sebagai partner yang siap melayani,
membimbing dan mengarahkan murid, bukan sebaliknya justru menjerumuskannya. Djamarah dalam
bukunya “ Guru dan Anak didik Dalam Interaksi Edukatif” menggambarkan bahwa : Guru adalah
pahlawan tanpa pamrih, pahlawan tanpa tanda jasa, pahlawan ilmu, pahlawan kebaikan, pahlawan
pendidikan, makhluk serba biasa, atau dengan julukan yang lain seperti artis, kawan, warga Negara yang
baik, pembangun manusia, pioneer, terpercaya, dan sebagainya”.

Lebih lanjut Djamarah mengisahkan bahwa guru memiliki atribut yang lengkap dengan kebaikan,
ia adalah uswatun hasanah walau tidak sesempurna Rasul. Betapa hebat profesi guru, dan tidak dapat
ditemukan dalam berbagai profesi lainnya. Karenanya berbagai bentuk pengabdian ini hendaknya
dilanjutkan dengan penuh keikhlasan, dengan motivasi kerja untuk membina jiwa dan watak anak didik,
bukan sekedar untuk mencari uang.

Guru yang professional adalah guru yang siap untuk memberikan bimbingan nurani dan akhlak
yang tinggi kepada muridnya. Karena pendidikan dana bimbingan yang diberikan bersumber dari
ketulusan hati, maka guru benar-benar siap sebagai spiritual fatner bagi muridnya. Guru yang ideal
sangat meresa gembira bersama dengan muridnya, ia selalu berinteraksi kepada muridnya, ia merasa
happy dapat memberikan obat bagi muridnya yang sedang bersedih hati, murung, berkelahi, malas
belajar. Guru professional akan selalu memikirkan bagaimana memacu perkembangan pribadi anak
didiknya agar tidak mengalami kendala yang biasa mengganggu.

Kemuliaan hati seorang guru diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Guru secara nyata dapat
berbagi dengan anak didiknya. Guru tidak akan merasa lelah dan tidak mungkin mengembangkan sifat iri
hati, munafik, suka menggunjing, menyuap, malas, marah-marah dan berlaku kasar terhadap orang lain,
apalagi terhadap anak didiknya.

Guru sebagai pendidik dan murid sebagai anak didik dapat saja dipisahkan kedudukannya, akan
tetapi mereka tidak dapat dipisahkan dalam mengembangkan diri murid dalam mencapai cita-citanya.
Disinilah kemanfaatan guru bagi orang lain atau murid benar-benar dituntut, seperti hadits
Nabi :”Khoirunnaasi anfa’uhum linnaas,” artinya adalah sebaik-baiknya manusia adalah yang paling
besar memberikan manfaat bagi orang lain. ( Al Hadits ).
II. STEREOTYPE GURU

Stereotype guru adalah hal-hal klise yang sering dilakukan oleh para guru. Yang berkembang
dimasyarakat kita adalah adanya suatu anggapan bahwa yang stereotype selalu dianggap benar,
sedangkan yang diluar stereotype dianggap salah, sakit, gila dan sebagainya. Banyak orang yang
tidak setuju dengan stereotype, mengorbankan dirinya dengan pura-pura mengikuti stereotype
supaya ia tidak dianggap menyimpang, aneh ataupun gila. Sebagai contoh stereotype yang
dilakukan oleh guru TK. Sang guru berteriak kepada anak didiknya.

“Ayo anak-anak mari kita menggambar pemandangan.” Alkisah, begitulah seorang ibu
guru TK atau SD sedang menyuruh anak didiknya untuk memulai menggambar sebuah
pemandangan beberapa puluh tahun yang lalu. Sang ibu guru tadi pun memulai memberi contoh
menggambar pemandangan. Ada dua buah gunung dengan bentuk segitiga lancip, kemudian
ditengahnya terdapat matahari pagi yang mengintip diantara dua gunung tersebut, di atasnya ada
awan-awan yang menggantung di angkasa, dan ada pula sekawanan burung yang terbang di
angkasa berbentuk seperti angka 3 tidur. Ada juga jalan raya yang mungkin juga lengkap dengan
tiang listriknya. Sawah berjajar berkotak-kotak di tepi jalan dengan tanaman padi yang berbentuk
seperti huruf V berderet-deret, serta rumah mungil beserta pepohonan pun menghiasi coretan
gambar pemandangan tersebut. Tak jarang terdapat aliran sungai yang berkelok-kelok. Sang
murid pun dengan serta merta mengikuti pola gambaran pemandangan yang dibuat oleh sang ibu
guru tersebut. Dan ajaibnya pola gambar pemandangan seperti ini awet dan senantiasa terjaga
kelestariannya hingga saat ini.

Stereotype pemandangan seperti itu yang selalu tertancap erat di ingatan anak-anak
Indonesia ketika hendak disuruh mengambar pemandangan.

Pemandangan ya gambar dua buah gunung, ada matahari, jalan, sawah, rumah, awan,
burung. Gambar dua gunung ya seperti itulah yang dinamakan dengan pemandangan.

Dalam metodologi pembelajaran, guru seringkali menggunakan metode ceramah untuk


menyampaikan materinya karena muncul anggapan bahwa mengajar selalu identik dengan pemberian
ceramah, sehingga metode-metode pembelajaran diluar metode ceramah dianggap sebagai sesuatu
yang aneh dan sulit dilakukan.
Sebenarnya stereotype itu tidak sepenuhnya salah karena ada beberapa mata pelajaran yang
memang akan berjalan efektif apabila disampaikan dengan cara ceramah, seperti pelajaran sejarah, PKn
dan sebagainya, namun menganggap bahwa semua mata pelajaran biasa disampaikan kepada anak didik
dengan metode ceramah adalah pembodohan terhadap anak didik itu sendiri. Sekarang ini, seorang
guru harus berani meninggalkan stereotype dan berani menggunakan metode-metode modern yang
sesuai dengan kebutuhan anak didiknya, agar tujuan pendidikan dapat tercapai dengan maksimal.

III. PROFESI GURU SEBAGAI PILIHAN

Sebelum kita menetapkan apakah mengajar merupakan tugas guru yang termasuk profesi atau
tidak atau bahkan sekedar tergolong pekerjaan biasa, kiranya perlu kita ketahui persyaratan yang
dibutuhkan dalam sebuah aktivitas termasuk profesi. Belakangan telah sedemikian meluas istilah profesi
atau professional dikenal dalam masyarakat. Namun sering kali pemahamannya kurang tepat.

Kini sangat banyak yang menganggap bahwa setiap orang dapat mengerjakan suatu pekerjaan
dengan baik, rapi, dan dapat memuaskan orang lain disebut telah melakukan pekerjaan secara
professional. Sehingga dengan mudah masyarakat memberikan gelar professional hampir kepada siapa
saja, asal dapat melakukan pekerjaannya dengan baik. Tak jarang kita dengar sebutan koruptor
professional, pembantu professional, tukang batu professional, sopir professional dan seterusnya.
Benarkah sebutan-sebutan tersebut.

Qomari Anwar mendefinisikan profesi adalah sebuah sebutan yang didapat seseorang setelah
mengikuti pendidikan, pelatihan ketrampilan dalam waktu yang cukup lama, sehingga dia punya
kewenangan memberikan suatu keputusan mandiri berdasarkan kode etik tertentu, yang harus
dipertanggungjawabkan sampai kapanpun. Melakukan tugas profesi memperoleh posisi yang prestisius
dan mendapat imbalan gaji yang tinggi. Karenanya tidak semua pekerjaan yang ditekuni oleh seseorang
walaupun sudah cukup lama otomatis disebut sebagai tugas profesi.

Dalam hal jabatan guru, National Education Association (NEA) (1948) merumuskan bahwa
jabatan profesi merupakan jabatan yang melibatkan kegiatan intelektual, menekuni suatu batang tubuh
ilmu tertentu, didahului dengan professional yang lama, memerlukan pelatihan jabatan yang kontinyu,
menjanjikan karier bagi anggota secara permanent, mengikuti standar baku mutu tersendiri, lebih
mementingkan layanan kepada masyarakat dibanding dengan mencari keuntungan sendiri, dan memiliki
suatu organisasi professional yang kuat dan dapat melakukan control terhadap anggota yang melakukan
penyimpangan. Dari beberapa pengertian yang disebutkan di atas kini muncul pertanyaan: Apakah tugas
mengajar atau jabatan guru dapat termasuk jabatan profesi?

Bisa jadi pertanyaan di atas memicu adanya jawaban yang beraneka ragam berdasarkan
kenyataan yang dialami oleh para guru di lapangan. Namun Stinnett menegaskan bahawa jabatan guru
sudah dianggap memenuhi criteria jabatan professional, bahkan mengajar bisa disebut sebagai ibu dari
segala profesi.

Apalagi setelah disahkannya undang-undang tentang guru dan dosen, maka jabatan guru tidak
boleh dipandang sebelah mata oleh siapapun. Karena dengan diberlakukannya Undang-Undang
tersebut, jabatan guru sudah merupakan jabatan profesi yang setara dengan jabatan-jabatan profesi
lainnya seperti Dokter, Perawat dan lain sebagainya.

Kalau dulu menjadi guru adalah pilihan terakhir ketika pilihan-pilihan utama tidak dapat
tercapai, maka dengan diperhatikannya kesejahteraan guru oleh pemerintah, menjadi guru adalah
sebuah pilihan yang utama. Jabatan guru merupakan jabatan terhormat dimasyarakat disatu sisi juga
menjanjikan masa depan yang lebih terjamin dibanding profesi-profesi lainnya.

IV. DILEMA

Menjadi seorang guru dewasa ini kadang menimbulkan dilema tersendiri, hal ini dikarenakan
adanya perbedaan antara guru PNS dan Non PNS. Pemerintah terkesan menganak emaskan guru PNS,
disisi lain menganak tirikan guru non PNS. Padahal kalau kita lihat bahwa mengajar disekolah-sekolah
swasta jauh lebih sulit dibandingkan dengan sekolah-sekolah negeri, secara administrasi guru-guru Non
PNS dituntut secara professional sama dengan guru-guru PNS akan tetapi secara kesejahteraan terjadi
kesenjangan yang cukup dalam. Guru PNS mendapatkan berbagai macam tunjangan dari pemerintah
pusat atau daerah, sementara guru-guru Non PNS tidak mendapatkan apa-apa.

Ironis memang, tuntutan mencerdaskan anak didik mutlak menjadi tanggung jawab semua guru tanpa
kecuali namun dalam kesejahteraan terjadi tebang pilih.

Sehingga yang terjadi banyak guru yang terpaksa mencari pekerjaan sampingan guna menopang
kehidupan keluarganya. Akibatnya mereka tidak lagi konsentrasi dalam mengajar anak didiknya namun
lebih kepada bagaimana bisa menghidupi keluarganya.
V. Masalah Kesehatan Fisik dan Mental guru

Berdasarkan penelitian guru sangat rentan terhadap penyakit yang berhubungan dengan radang
tenggorok sampai sariawan. Hal ini dikarenakan intensitas mengajar yang tinggi tanpa ditopang dengan
asupan vitamin yang memadai, akhirnya yang terjadi system immune ( kekebalan ) menurun dan ia
menjadi gampang terserang berbagai macam penyakit, terutama dua penyakit di atas.

Disamping factor kesehatan fisik yang terganggu, para guru juga mengalami banyak gangguan
mentalnya. Ada kemungkinan, menurut pendapat sejumlah peneliti, bahwa tidak adanya hidup
kekeluargaan yang normal dan frustasi dalam hubungan seks yang normal turut menambah gangguan
mental guru-guru wanita yang tidak kawin. Guru pria dianggap mempunyai mental yang lebih stabil bila
mereka mempunyai keluarga yang normal.

Berdasarkan penelitian itu dapat dibuktikan adanya guru yang mengalami gangguan mental,
bahwa ada diantaranya yang memerlukan perawatan psikiater. Akan tetapi penelitian itu tidak
menunjukkan apakah gangguan mental itu lebih banyak terdapat di kalangan guru dibandingkan dengan
profesi lain. Juga tidak diketahui apakah gangguan mental itu telah ada pada calon guru, nyata atau
laten, sebelum ia melakukan profesinya ataukah gangguan mental itu timbul sebagai akibat
pekerjaannya sebagai guru. Selanjutnya tidak diketahui hingga manakah gangguan mental itu merugikan
murid dan proses belajar mengajar.
Kompetensi Profesional Guru Indonesia

Rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia merupakan cerminan rendahnya kualitas sistem pendidikan


nasional. Rendahnya kualitas dan kompetensi guru secara umum, semakin membuat laju perkembangan
pendidikan belum maksimal. Guru kita dianggap belum memiliki profesionalitas yang baik untuk
kemajuan pendidikan secara global. Salah satu kambing yang paling hitam yang jadi penyebab semua ini
adalah rendahnya kesejahteraan Guru. Tetapi apakah hal tersebut memiliki hubungan korelasional yang
signifikan???

Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2007 tentang Guru, dinyatakan bahwasanya 
salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh Guru adalah kompetensi professional. Kompetensi
profesional yang dimaksud dalam hal ini merupakan kemampuan Guru dalam penguasaan materi
pelajaran secara luas dan mendalam. 

Yang dimaksud dengan penguasaan  materi secara luas dan mendalam dalam hal ini termasuk
penguasaan kemampuan akademik lainnya yang berperan sebagai pendukung profesionalisme Guru.
Kemampuan akademik tersebut antara lain, memiliki kemampuan dalam menguasai ilmu, jenjang dan
jenis pendidikan yang sesuai.

Berbagai kendala yang dihadapi sekolah terutama di daerah luar kota, umumnya mengalami kekurangan
guru yang sesuai dengan kebutuhan. Kebutuhan yang dimaksud adalah kebutuhan subjek atau bidang
studi yang sesuai dengan latar belakang guru. Akhirnya sekolah terpaksa menempuh kebijakan yang
tidak popular bagi anak, guru mengasuh pelajaran yang tidak sesuai bidangnya. Dari pada kosong sama
sekali, lebih baik ada guru yang bisa mendampingi dan mengarahkan belajar di kelas.

Beberapa bulan yang lalu, saya mengikuti training Guru Mata Pelajaran IPA Biologi SMP se kabupaten
Luwu Timur. Setelah berkenalan dengan semua peserta, ternyata salah seorang peserta adalah guru
honor di sebuah SMP di kawasan transmigrasi di Kabupaten Luwu Timur mengajarkan mata pelajaran
IPA Terpadu, pada hal awalnya honor untuk guru Agama Hindu sedangkan latar belakang pendidikan
hanya SPG (Sekolah Pendidikan Guru) setara SMA. Sebuah kondisi yang sungguh memprihatinkan bagi
pendidikan di negara ini!!!

Sebuah Illustrasi: Seorang Guru biologi harus memiliki pemahaman yang benar terhadap kurikulum
pendidikan biologi. Guru biologi harus dapat memahami batasan materi biologi dan keterampilan ilmiah
yang mestinya dimiliki oleh anak di setiap jenjang pendidikan. Hal ini penting, agar tidak terjadi
overlapping antara pembelajaran biologi di SD, SMP dan SMA. Akibatnya dapat berdampak pada
ketidakjelasan grade di setiap jenjang pendidikan yang memunculkan kebingungan yang berujung stress
dan frustasi terhadap anak dalam mengikuti pembelajaran di kelas.  

Selain itu, seorang Guru biologi  hendaknya dapat memiliki kemampuan dalam mengembangkan
kurikulum nasional tentang pembelajaran biologi menjadi kurikulum berbasis sekolah yang lebih
kontekstual bagi anak. Penjabaran kurikulum menjadi silabus pembelajaran yang sesuai dengan
resources yang ada, akan dapat menciptakan situasi pembelajaran yang bermakna dan dimaknai oleh
anak.

Kompetensi pedagogik
Kompetensi pedagogik merupakan kemampuan Guru dalam pengelolaan pembelajaran peserta
didik
yang sekurangkurangnya meliputi:

a. pemahaman wawasan atau landasan kependidikan;


b. pemahaman terhadap peserta didik;
c. pengembangan kurikulum atau silabus;
d. perancangan pembelajaran;
e. pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis;
f. pemanfaatan teknologi pembelajaran;
g. evaluasi hasil belajar; dan
h. pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.

Kompetensi kepribadian sekurang-kurangnya mencakup kepribadian yang:

a. beriman dan bertakwa;


b. berakhlak mulia;
c. arif dan bijaksana;
d. demokratis;
e. mantap;
f. berwibawa;
g. stabil;
h. dewasa;
i. jujur;
j. sportif;
k. menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat;
l. secara obyektif mengevaluasi kinerja sendiri; dan
m. mengembangkan diri secara mandiri dan berkelanjutan.

Kompetensi sosial merupakan kemampuan Guru sebagai bagian dari Masyarakat yang sekurang-
kurangnya meliputi
kompetensi untuk:
a. berkomunikasi lisan, tulis, dan/atau isyarat secara santun;
b. menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional;
c. bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, pimpinan
satuan pendidikan, orang tua

atau wali peserta didik;


d. bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar dengan mengindahkan norma serta sistem
nilai yang berlaku; dan
e. menerapkan prinsip persaudaraan sejati dan semangat kebersamaan.

Kompetensi profesional merupakan kemampuan Guru dalam menguasai pengetahuan bidang


ilmu pengetahuan,

teknologi, dan/atau seni dan budaya yang diampunya yang sekurang-kurangnya meliputi
penguasaan:
a. materi pelajaran secara luas dan mendalam sesuai dengan standar isi program satuan
pendidikan, mata pelajaran, dan/atau
kelompok mata pelajaran yang akan diampu; dan
b. konsep dan metode disiplin keilmuan, teknologi, atau seni yang relevan, yang secara
konseptual menaungi atau koheren
dengan program satuan pendidikan, mata pelajaran, dan/atau kelompok mata pelajaran yang akan
diampu.

Kompetensi Guru dirumuskan ke dalam:

a. standar kompetensi Guru pada satuan pendidikan di TK atau RA, dan pendidikan formal
bentuk lain yang sederajat;
b. standar kompetensi Guru kelas pada SD atau MI, dan pendidikan formal bentuk lain yang
sederajat;
c. standar kompetensi Guru mata pelajaran atau rumpun mata pelajaran pada SMP atau MTs,
SMA atau MA, SMK atau MAK
dan pendidikan formal bentuk lain yang sederajat; dan
d. standar kompetensi Guru pada satuan pendidikan TKLB, SDLB, SMPLB, SMALB dan
pendidikan formal bentuk lain yang
sederajat.

Kompetensi profesional seorang guru adalah seperangkat kemampuan yang harus dimiliki oleh
seorang guru agar ia
dapat melaksanakan tugas mengajarnya dengan berhasil.

UNTUK MENJADI GURU PROFESIONAL, SESEORANG HARUS :


1. mengerti dan menyenangi dunia pendidikan, dan didukung dengan kompetensi
profesionalisme.
2. menerapkan prinsip mengajar yang baik serta mempunyai komitmen yang tinggi terhadap
pendidikan.
3. mempunyai motivasi kerja yang baik sehingga dapat meningkatkan kinerja guru dalam proses
belajar mengajar.
4. berjiwa sabar dan bisa dijadikan suri tauladan bagi anak didiknya, baik dalam berkata maupun
bersikap.
5. memiliki multi peran sehingga mampu menciptakan kondisi belajar mengajar yang efektif dan
suasana sekolah yang
kondusif.
6. mengikuti perkembangan teknologi komunikasi dan informasi untuk dunia pendidikan.
7. mempunyai program pengajaran yang jelas dan terarah sesuai dengan kurikulum.
8. berbudi pekerti luhur dan berkepribadian yang santun dan bertanggungjawab.

Anda mungkin juga menyukai