MAKALAH3
MAKALAH3
PETUNJUK PRAKTIS
BUDIDAYA ULAT SUTERA
Oleh : Haris Setiana, S.Si. **
KPH Kedu Utara – Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah
Pendahuluan
J enis ulat sutera Bombyx mori merupakan jenis ulat sutera yang
sekarang banyak dibudidayakan oleh masyarakat di Indonesia. Dalam
pertumbuhannya, jenis ulat sutera ini sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim
dan lingkungan termasuk di antaranya adalah suhu, kelembaban, cahaya,
aliran udara dll. (Kartasubrata, dkk. 2000). Oleh karenanya teknik
pemeliharaan ulat sutera ini sangat bervariasi sesuai dengan adaptasinya
terhadap kondisi lingkungan yang ada (Jolly, 1987).
Jenis ulat sutera Bombyx mori merupakan jenis ulat yang monophagous
atau hanya makan daun murbei saja.
Pada siklus alami, ulat sutera yang menghasilkan satu generasi dalam
satu tahun disebut univoltine, dua kali dalam satu tahun disebut bivoltine,
dan jika lebih dari itu disebut multivoltine.
Untuk keperluan makan 1 box ulat yang berisi 25.000 butir telur
dibutuhkan makanan sebanyak 1,2 ton (daun beserta cabang) atau
800 kg (daun saja) dari mulai ulat menetas sampai membuat kokon.
4
b.2. Disinfeksi
Larutan kaporit 2 - 5 %
Untuk menghasilkan larutan kaporit 5% dilakukan
pencampuran kaporit dari toko = 60% dengan air.
Perbandingan 1 : 11.
Pada stadia telur, terjadi apa yang disebut pertumbuhan embrio telur agar
bisa menetas menjadi ulat. Dalam pertumbuhan ini, diperlukan kondisi
optimal agar telur bisa menetas. Kondisi optimal yang diperlukan ini tentu
saja dipengaruhi oleh cara penanganan kita terhadap telur ulat sutera dan
faktor lingkungan termasuk temperatur, kelembaban dan pencahayaan.
Dalam pengambilan atau pengiriman telur ini tentunya banyak faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan telur.
Untuk memperkecil pengaruh tersebut terhadap pertumbuhan telur ulat
sutera, maka beberapa hal perlu diperhatikan, antara lain :
a. Pada waktu 7 – 10 hari sebelum penetasan, telur baru mulai tumbuh,
pengaruh luar masih bisa ditolerir oleh telur. Untuk itu dianjurkan agar
pengambilan telur dilakukan antara 7 – 10 hari sebelum tanggal
penetasan.
b. Pada waktu membawa telur, jangan sampai terkena sengatan matahari
secara langsung. Untuk itu pada waktu membawa telur hendaknya
dilapisi (dibungkus) dengan kain lembab dan selalu menjaga agar kain
tersebut tetap lembab selama perjalanan.
c. Jangan meletakkan telur pada tempat dengan suhu panas dan kering
seperti misalnya bagasi.
9
d. Untuk mobil ber-AC, box telur sebaiknya juga dibungkus dengan kain
lembab karena udara AC merupakan udara kering sehingga akan
mempengaruhi telur.
e. Hindarkan sentuhan tangan yang kotor dan hindarkan juga kontaminasi
tembakau (rokok) baik secara langsung maupun tidak langsung.
f. Telur hendaknya tidak disimpan pada kotak yang tertutup rapat, karena
dalam proses pertumbuhannnya, telur membutuhkan udara.
g. Usahakan agar telur tidak sering terkena guncangan dan hindarkan
dari bahan kimia seperti pupuk, pestisida (insektisida) atau bensin.
h. Setelah sampai di tempat tujuan, telur harus segera diinkubasikan pada
tempat dengan kondisi yang sesuai untuk pertumbuhan telur dan
dilakukan pencahayaan.
3.4. Hakitate
b. Pelaksanaan Pemeliharaan
Menggunakan sasak yang dialasi dan ditutup dengan kertas
paraffin dan ditempatkan pada rak pemeliharaan.
Di sekeliling sasak diletakkan kain basah Untuk
mempertahankan temperatur dan kelembaban yang dibutuhkan
serta menjaga agar daun tidak cepat layu.
Daun untuk ulat kecil harus dipilih yang masih muda dan
lunak, berasal dari pohon yang berumur 1,5 (satu setengah) bulan
setelah pangkas.
Pengambilan daun dilakukan pada pagi atau sore hari ketika
matahari tidak bersinar terik dan tidak hujan.
- Pengambilan daun pada waktu panas akan mengakibatkan daun
cepat layu.
- Pemberian daun yang basah akan menyebabkan berkembangnya
penyakit (terutama yang disebabkan jamur) baik pada tempat
pemeliharaan maupun pada tubuh ulat.
Pemungutan daun dilakukan dengan cara dipetik, dipilih
sesuai dengan tingkat instar :
Instar Lembar daun dari pucuk terpanjang Ukuran daun rajangan (cm)
I 4–5 0,5 - 1,0
II 5–6 1,0 - 2,0
III 7–8 2,0 - 3,0
Selama Tidur
1. Taburkan bubuk kapur, arang atau sekam padi secara
merata untuk mengeringkan permukaan sasak. Dengan jalan ini ulat
sutera yang bangun tidak akan makan daun murbei kering.
2. Temperatur diusahakan 1oC lebih tinggi dibandingkan
dengan temperatur selama periode makan.
3. Hindarkan peredaran udara yang kuat dan langsung ke
tubuh ulat
4. Jangan ganggu sasak, karena akan menyebabkan
pergantian kulit tidak sempurna dan pertumbuhan menjadi tidak
seragam.
16
Setelah Bangun
1. Pemberian makan dilakukan ketika sebagian besar ulat
sudah bangun (90%).
2. Setengah jam sebelum diberi makan, ulat ditaburi dengan
campuran kapur dan kaporit.
3. Di atas ulat dipasang jaring, kemudian diberi makan.
Tahan terhadap mutu daun yang jelek, tetapi tentu saja akan
mempengaruhi kualitas kokon.
Mempunyai daya tahan yang lebih tinggi terhadap bahan
kimia dibandingakn dengan ulat kecil.
c. Pelaksanaan Pemeliharaan
Pemungutan daun dilakukan pada kebun yang sudah
berumur 3 bulan setelah pangkas. Ulat besar lebih banyak
membutuhkan nutrisi protein untuk pertumbuhan organ-organ
reproduksi.
Karena jumlah kebutuhan daun murbei meningkat, daun
murbei sebaiknya diambil dari kebun yang dekat dengan lokasi
pemeliharaan ulat sutera.
Pemeliharaan sudah tidak lagi menggunakan kertas paraffin
Pemberian makan dilakukan bersama rantingnya di atas
sasak dan diletakkan secara saling silang sehingga daun yang
diberikan bisa rata dan pertumbuhan ulat bisa seragam.
Mulai instar V hari ketiga, pertumbuhan ulat sangat pesat
sehingga perlu diberi tambahan makan pada malam hari agar
kokon yang akan dihasilkannya bermutu baik.
Ulat sakit banyak terjadi pada instar ke-5 dan pada waktu
ulat mengokon. Untuk mencegah terjadinya penyebaran penyakit,
ulat yang sakit dipilih dan dibuang ke dalam baskon atau ember
yang berisi larutan kaporit 2 - 5%. Pada akhir pemeliharaan ulat-
ulat tersebut dikubur di lokasi pembuangan.
18
Secara umum penyakit pada ulat sutera terbagi menjadi 2 katagori besar,
yaitu penyakit menular dan tidak menular. Penyakit menular disebabkan oleh
agen-agen biologis seperti bakteri, jamur, virus, protozoa dan semacam
mikroorganisme patogen yang masuk ke dalam tubuh ulat sutera dan bersifat
menggganggu. Penyakit ini dapat menyebar dari larva yang terinfeksi kepada
larva yang sehat. Penyakit tidak menular merupakan penyakit yang
disebabkan oleh serangga, pengaruh bahan-bahan kimia atau kerusakan
secara mekanis. Penyakit ini biasanya tidak menyebar dari satu larva kepada
larva yang lain.
19
Penyakit yang akan dibahas hanya beberapa penyakit yang umum terjadi di
pemelihara.
a. NPV
Penyebab : - Nuclear Polyhedrosis Virus
- Pemberian daun basah
Gejala : Kulit larva yang terserang membengkak, jarak antar
segmen membesar, tubuh mengkilat berwarna putih
susu. Dinding tubuh mudah sekali pecah dan akan
meneteskan cairan berwarna putih susu yangakan diikuti
dengan penyusutan tubuh kemudian mati. Larva yang
mati biasanya membusuk dan berwarna hitam. Jika
larva terinfeksi sebelum ganti kulit, maka larva tidak bisa
mengalami ganti kulit; jika larva terinfeksi setelah ganti
kulit, maka larva akan memiliki segmen yang besar.
Ulat kecil biasanya akan mati sekitar 3 - 4 hari setelah
terinfeksi, sedang ulat besar biasanya mati setelah 4 - 6
hari setelah terinfeksi.
Pencegahan :
Disinfeksi ruangan, peralatan jika akan memulai
pemeliharaan dengan formalin 4%.
Dinsinfeksi selama pemeliharaan dengan formalin.
20
b. Flacherie
Penyebab : - Virus flacherie
- Temperatur yang tinggi selama ganti kulit, makanan
yang kurang baik (daun basah atau daun panas).
Gejala : Pada stadia awal penyakit, terjadi penurunan konsumsi
daun murbei, waktu untuk menyelesaikan ganti kulit
tidak seragam, dan terjadi perbedaan besar tubuh pada
setiap ulat. Terjadi penyusutan pada tubuh larva,
mencret dan muntah. Warna tubuh akan menjadi
kehitaman.
Pencegahan :
Memperbaiki cara inkubasi; memperbaiki mutu daun; kondisi
lingkungan dan metode pemeliharaan.
kulit atau mati. Infeksi pada instar II atau instar III akan
memperlihatkan kerutan pada tubuh ulat, warna tubuh kusam
dan tubuh berbintik-bintik terutama pada bagian belakang
(tanduk ekor) dan bagian depan sampai bagian kaki. Ulat-ulat
akan sulit mengalami ganti kulit dan basanya sulit menjadi
pupa.
Pada pupa : pupa yang terinfeksi biasanya menjadi lamban,
bagian perut menjadi lunak dan muncul bintik hitam pada tubuh
pupa.
4.5. Keracunan
a. Keracunan bahan kimia pertanian
Gejala : Bergerak-gerak tak menentu, pembesaran bagian dada,
mengangkat kepala, muntah-muntah, tubuh memendek
dan kejang-kejang.
b. Keracunan tembakau
Gejala : Gerakan melemah, nafsu makan tidak ada, kepala
menggeleng-geleng, muntah-mutah kemudian jatuh
5. Pengokonan
Setelah mengalami pergantian kulit empat kali, ulat sutera akan mengalami
tidur. Tetapi ulat-ulat tersebut akan membuat kokon dan di dalam kokon ulat
akan berubah bentuk menjadi pupa.
Pada saat ulat mulai mengokon, pada saat itu pemelihara harus mulai
memindahkan ulat-ulat yang matang ke tempat pengokonan, agar ulat-ulat
tadi dapat membuat kokon yang baik.
24
Ulat yang sudah mempunyai ciri seperti tersebut diatas harus segera
diambil dan dipindahkan ke tempat pengokonan. Ulat yang belum siap
mengokon masih perlu diberi makan berupa daun lembaran secukupnya.
Jika ulat terlambat dikokonkan, maka ulat akan membuat kokon di tempat
ulat yaitu pada sisa-sisa ranting sehingga ukurannya kecil dan bentuknya
tidak normal dan tidak baik untuk dipintal.
temperatur = 22 - 23 oC
kelembaban = 65 - 70 %
Pada hari keempat sampai dengan hari keenam, setelah ulat berubah
menjadi pupa, temperatur ruangan dinaikkan sampai 23 - 24oC.
e. Cara mengokonkan
Pemindahan dengan memungut satu-satu
Ulat-ulat yang sudah matang diambil satu-satu lalu dikumpul dan
dipindahkan ke tempat pengokonan.
Adapula cara dimana pemungutan satu-satu ini waktunya
ditangguhkan sehingga hampir semua ulat matang, kemudian
dipungut, dikumpulkan dan dipindahkan ke dalam tempat pengokonan
5. Pemanenan Kokon
a. Waktu yang Tepat untuk pemanenan
Waktu panen kokon dilakukan 6 - 7 hari sejak ulat dikokonkan pada
temperatur 23 - 24oC, pada saat pupa di dalam kokon sudah berwarna
coklat tua. untuk itu sebaiknya dilakukan pemeriksaan dengan
mengambil beberapa butir kokon sebagai sampel.
Pemanenan kokon terlalu awal dapat merusak pupa yang masih
muda sehingga mudah terluka kemudian membusuk dan menimbulkan
kokon cacat pintal. Bahkan, mungkin masih berupa ulat sehingga
kalkulasi rendemen pintalnya akan rendah.
Jika panen dilakukan terlambat, akan kehilangan waktu yang tepat
untuk pengeringan kokon dan kokon akan rusak karena diterobos
kupu yang keluar dari dalam kokon.
c. Seleksi Kokon
Kokon-kokon yang telah dibersihkan dari serabutnya, diseleksi dan
disortasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Seleksi harus dilakukan dengan hati-hati karena menyangkut harga
kokon.
Sortasi kokon meliputi : kokon normal, dan kokon cacat yaitu
kokon dobel, kokon tipis, kokon tipis ujung, kokon berlubang, bentuk
tidak normal, kokon pipih, kokon yang bernoda.
Untuk kokon normal dilakukan grading mutu sesuai dengan
ketentuan (standar) yang berlaku.
6. Pengeringan Kokon
Apabila kulit kokon rusak maka kokon tersebut tidak akan bisa dipintal
menjadi benang sutera. Disamping itu dalam keadaan kering kokon dapat
disimpan lebih lama pada temperatur dan kelembaban yang normal.
Kokon yang baru dipanen mengandung air sekitar 61 – 64% dan apabila
dikeringkan hingga mencapai kering standar, kandungan air akan berkisar
6 – 12%. Kering standar adalah keadaan dimana kadar air pada kokon
mencapai titik minimal. Kering standar dicapai apabila ratio kokon kering dan
kokon segar berkisar antara 38 – 42%.
a. Cara Pengeringan
Dalam pengeringan kokon, ada tiga cara pengeringan yaitu penjemuran,
pengukusan dan pengeringan oven
a.1. Penjemuran, dilakukan dengan memanfaatkan panas matahari.
Pengeringan dilakukan selama tiga harti terus menerus. Menurut
penelitian yang telah dilakukan, waktu yang diperlukan untuk
mematikan pupa berkisar 3 – 5 hari.
a.2. Pengukusan
- Pengukusan adalah pengeringan kokon yang memanfaatkan uap
panas yang berasal dari panas uap air yang mendidih. Alat yang
diperlukan untuk melakukan pengeringan dengan cara ini adalah
panci pengukusan (dandang), kompor, karung goni dan kain blacu.
Pengukusan dilakukan selama 5 – 10 menit setelah air mendidih,
waktu pengukusan tersebut sudah dapat mematikan pupa yang
ada di dalam kokon. Lama pengukusan jangan lebih dari 20 menit
30
karena dapat merusak sericin yang terdapat pada kulit kokon dan
jika kokonnya dipintal akan menyebabkan rendahnya daya gulung
(serat suteranya sering putus).
b. Penyimpanan Kokon
Penyimpanan kokon diperlukan apabila kokon akan dijual tetapi waktu
yang diperlukan untuk menjual kokon relatif lama. Di samping itu jika
harus menunggu proses pemintalan selanjutnya.
31
Bahan dan alat yang diperlukan untuk menyimpan kokon adalah kantung
terigu, kardus bekas yang diberi lubang-lubang kecil di sekelilingnya atau
dari rak-rak kayu.
7. Analisa Usaha
Produksi daun
Jumlah pohon per hektar = 20.000 pohon.
Asumsi produksi per pohon = 0,5 Kg satu kali pungut x 20.000 = 10.000 Kg.
Jumlah produksi/ha/tahun = 4 x 10.000 = 40.000 kg
Pemeliharaan Ulat
1 boks membutuhkan pakan sebanyak 1.250 kg.
Jumlah pemeliharaan ulat sutera pertahun = 32 box.
Jumlah pemeliharaan per bulan dengan asumsi pemeliharaan sebanyak 10
bulan sebanyak 3 – 4 box.
Penetasan : 90 %
Rendemen pemeliharaan : 90%
Hasil produksi : 90 % x 25.000 = 22.500 ulat
90 % x 22.500 = 20.250
20.250 x 2 gr = 40,5 Kg
b. Perhitungan
Investasi Perhektar
No Jenis Kegiatan Biaya Usaha Tani (Rp)
1. Persiapan dan Penanaman Kebun Murbei 2.330.000
2. Pemeliharaan kebun belum produksi dan Peralatan 3.422.000
3. Bangunan Ulat Kecil 3.200.000
4. Peralatan Ulat kecil 836.000
5. Bangunan Ulat besar 8.000.000
6. Peralatan untuk ulat besar 3.300.000
7. Alat pengokonan 2.800.000
Jumlah 23.888.000
Perhitungan Usia Teknis : - Kebun = 15 tahun
- Bangunan dan Peralatan = 5 tahun
Biaya Produksi
No Jenis Kegiatan Usaha Tani (Rp)
1. Pemeliharaan kebun produksi dan Peralatan 3.058.000
2. Pemeliharaan ulat 7.998.900
Harga pasaran kokon untuk saat ini berkisar antara Rp 17.000,- sampai
dengan Rp 20.000,-. Dengan harga pasaran seperti itu, maka keuntungan
yang dapat diperoleh berkisar antara Rp 9 juta sampai Rp 14 juta
pertahun.
8. Kesimpulan
1. Jenis ulat sutera Bombyx mori merupakan jenis ulat sutera yang
tergantung pada kondisi iklim dan lingkungan termasuk suhu,
kelembaban, cahaya dan aliran udara.
2. Dalam melaksanakan pemeliharaan ulat sutera perlu diketahui
karakteristik pada masing-masing tingkatan dalam siklus hidup ulat
sutera mulai dari telur sampai dengan kokon.
3. Sebelum melakukan pemeliharaan ulat sutera perlu ada persiapan
pemeliharaan baik persiapan daun murbei, persiapan ruangan dan
alat-alat pemeliharaan maupun persiapan sumber daya manusia
(pemelihara).
4. Dalam melakukan persiapan ruangan dan alat perlu diperhatikan
ketepatan dalam melaksanakan disinfeksi.
5. Pengambilan telur dan cara inkubasi yang benar akan memberikan
hasil penetasan dengan persentase sesuai dengan yang diharapkan.
6. Teknik pemeliharaan yang sesuai dengan ketentuan baik pada ulat
kecil, ulat besar maupun pengokonan dan pemanenan kokon akan
memberikan hasil produksi kokon yang tinggi.
34
9. Daftar Pustaka