Anda di halaman 1dari 34

1

PETUNJUK PRAKTIS
BUDIDAYA ULAT SUTERA
Oleh : Haris Setiana, S.Si. **
KPH Kedu Utara – Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah

Pendahuluan

J enis ulat sutera Bombyx mori merupakan jenis ulat sutera yang
sekarang banyak dibudidayakan oleh masyarakat di Indonesia. Dalam
pertumbuhannya, jenis ulat sutera ini sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim
dan lingkungan termasuk di antaranya adalah suhu, kelembaban, cahaya,
aliran udara dll. (Kartasubrata, dkk. 2000). Oleh karenanya teknik
pemeliharaan ulat sutera ini sangat bervariasi sesuai dengan adaptasinya
terhadap kondisi lingkungan yang ada (Jolly, 1987).

Tujuan dari pemeliharaan ulat sutera adalah untuk menghasilkan kokon.


Untuk dapat menghasilkan kokon dengan produksi yang tinggi, maka
perlu diketahui karakter ulat sutera dan perlakuan-perlakuan tertentu yang
disesuaikan dengan karakteristik masing-masing tingkatan dalam siklus
hidupnya ( Jolly, 1987).

Berdasarkan hal tersebut, perlulah kiranya kita mengetahui perlakuan-


perlakuan apa saja yang harus dilakukan dalam memelihara ulat sutera
agar kita dapat mencapai tujuan yang diinginkan terutama dalam
pencapaian produksi kokon yang berkualitas baik. Berikut secara garis
besar akan dibahas mengenai cara memelihara ulat sutera.

** Asper Produksi PPUS Candiroto KPH Kedu Utara


2

Karakteristik dan Siklus Hidup Ulat Sutera

Jenis ulat sutera yang banyak dibudidayakan di Indonesia adalah jenis


Bombyx mori, termasuk dalam keluarga bombicidae.

Jenis ulat sutera Bombyx mori merupakan jenis ulat yang monophagous
atau hanya makan daun murbei saja.

Dalam siklus hidupnya, jenis ini mengalami metamorfosa sempurna mulai


dari telur, berubah menjadi ulat, kemudian menjadi pupa dan akhirnya
menjadi kupu yang kemudian bertelur lagi. Secara periodik terjadi empat
kali pergantian kulit (Soekarman, 1998).

Pada siklus alami, ulat sutera yang menghasilkan satu generasi dalam
satu tahun disebut univoltine, dua kali dalam satu tahun disebut bivoltine,
dan jika lebih dari itu disebut multivoltine.

Di daerah tropis, varietas yang banyak terdapat adalah polyvoltine. Jenis


ini sangat tahan terhadap kondisi pemeliharaan yang jelek tetapi produksi
kokonnya sangat kecil dan tentu saja kualitas beang suteranya lebih
rendah dibandingkan dengan varietas dari negara sub-tropis yang
biasanya uni atau bivoltine. Pada saat ini jenis yang banyak dipelihara
pada saat ini adalah dari jenis bivoltine.

I. Pemeliharaan Ulat Sutera

Pemeliharaan ulat sutera sangat tergantung pada keadaan alam dan


kemampuan dari para pemeliharanya. Oleh karenanya sebelum
melakukan pemeliharaan ulat sutera perlu diketahui terlebih dahulu
kecocokan tempat untuk pemeliharaan. Keadaan lingkungan sekitar untuk
3

pemeliharaan ulat sutera perlu dipertimbangkan pada tempat yang


mempunyai iklim dan tanah yang cocok baik untuk pertumbuhan murbei
maupun untuk hidup ulat sutera sehingga dapat menghasilkan kokon yang
berkualitas baik (Katsumata, 1972).

Berikut disajikan beberapa hal penting yang harus dilakukan dalam


melakukan pemeliharaan ulat sutera.

I.1. Persiapan Pemeliharaan

Sebelum melakukan pemeliharaan ulat sutera, perlu dipersiapkan hal-hal


sebagai berikut :

a. Persiapan daun murbei


Daun murbei sebagai pakan khusus untuk ulat sutera diperoleh dari
kebun murbei yang sudah dipersiapkan sesuai dengan jumlah dan
persyaratan daun yang diperlukan.

Agar dapat menghasilkan produksi kokon yang berkualitas baik sudah


dibuat standar jumlah daun yang harus diberikan sesuai dengan
jumlah ulat yang dipelihara.

Sebelum memutuskan jumlah ulat yang dipelihara, sebaiknya


dilakukan sampling untuk memperkirakan jumlah daun yang dapat
diproduksi dari kebun yang ada.

Untuk keperluan makan 1 box ulat yang berisi 25.000 butir telur
dibutuhkan makanan sebanyak 1,2 ton (daun beserta cabang) atau
800 kg (daun saja) dari mulai ulat menetas sampai membuat kokon.
4

b. Persiapan ruangan dan alat-alat pemeliharaan


b.1. Persiapan sarana dan prasarana
Ruangan dan peralatan yang akan dipergunakan harus sudah
dipersiapkan sesuai dengan perkiraan kebutuhan.

Untuk kebutuhan pemeliharaan ulat, sarana dan prasarana yang


perlu dipersiapkan adalah :
- Ruangan (brak pemeliharaan) dan ruang daun
- Kotak penetasan
- Rak, sasak dan sarangan pengokonan
- Jaring ulat
- Gunting stek, pisau perajang daun
- Alat pengukur temperatur dan kelembaban ruangan
- Kertas parafin, bagor atau kertas alas
- Pemanas ruangan.

Ruangan dan perlengkapan untuk pemeliharaan ulat kecil (instar I


s/d instar III) sebaiknya dipisahkan dengan ruangan dan peralatan
untuk pemeliharaan ulat besar (instar IV s/d V).

Khusus untuk pengokonan, jika tidak tersedia ruangan yang


khusus, dapat dilakukan pada ruagan pemeliharaan ulat besar
dengan pengaturan secukupnya.

b.2. Disinfeksi

Disinfeksi merupakan suatu tindakan yang dilakukan untuk


mencegah infeksi kuman penyakit pada ulat sutera yang
dipelihara. Meskipun untuk disinfeksi dibutuhkan biaya tambahan,
tanpa disinfeksi yang baik dan benar, produksi kokon yang
berkualitas tidak akan dapat tercapai, sehingga pemeliharaan ulat
5

sutera tidak akan memberikan hasil atau pendapatan sesuai


dengan yang diharapkan.

Disinfeksi harus dilakukan dilakukan 6 – 8 hari sebelum ruangan


dan alat-alat digunakan. Untuk lebih menghemat biaya, bila petani
berkelompok alat penyemprot dapat digunakan bersama dan akan
meningkatkan hasil disinfeksi.

Disinfektan yang dapat dipergunakan :


 Larutan formalin 2 - 5 %
Untuk menghasilkan larutan formalin 5% dilakukan
pencampuran formalin dari toko = 36% dengan air.
Perbandingan 1 : 6

 Larutan kaporit 2 - 5 %
Untuk menghasilkan larutan kaporit 5% dilakukan
pencampuran kaporit dari toko = 60% dengan air.
Perbandingan 1 : 11.

Jumlah disinfektan yang disemprotkan :


 Formalin 2-5 % = 0,5 liter/m2
 Kaporit 2 - 5 % = 0,5 liter/m2

Dalam pembuatan larutan disinfektan, harus diperhatikan


ketepatan konsentrasi yang dibuat. Jika konsentrasi larutan
disinfektan kurang akan mengakibatkan resistensi kuman
sehingga untuk mematikan kuman penyakit akan dibutuhkan
konsentrasi yang lebih tinggi.
6

Apabila terjadi wabah penyakit, sebagai tindakan pencegahan


agar tidak terjadi penyebaran penyakit, ruangan dan alat yang
baru saja digunakan langsung disemprot dengan formalin atau
kaporit dan dibiarkan selama 24 jam. Kemudian dicuci sebelum
dilakukan disinfeksi kedua berupa penguapan dengan larutan
formalin yang dipanaskan (bila ruangan dapat ditutp rapat).

Untuk alat pemeliharaan tertentu dapat didisinfeksi dengan


melakukan perendaman dalam larutan disinfektan. Pengeringan
peralatan pemeliharaan dilakukan dengan penjemuran di bawah
sinar matahari. Khusus untuk kertas parafin dan kertas alas bisa
didisinfeksi bersama-sama ketika melakukan penguapan.

Selain ruangan dan peralatan, lingkungan sekitar ruangan


pemeliharaan perlu dilakukan penyemprotan dengan larutan
kaporit.

Untuk mencegah terjadinya infeksi kuman penyakit, di luar


ruangan pemeliharaan selalu disediakan larutan formalin atau
kaporit 1% untuk mencuci tangan para petugas pemelihara
sebelum bekerja di dlam ruangan. Larutan ini diusahakan agar
diganti setiap hari.

b.3. Menghindarkan ulat sutera dari serangan hama

Salah satu hal yang mengganggu pemeliharaan ulat sutera


adalah hama yang memakan/mematikan ulat sutera yang
dipelihara. Jika tidak dilakukan pencegahan, maka hal ini akan
menurunkan hasil produksi.
7

Hama-hama yang mengganggu tersebut diantaranya adalah


tikus, cecak, tokek, kadal dan semut.

Berikut yang dapat dilakukan untuk menghindari gangguan hama


tersebut :
b.3.1. Dari tikus
- Sebelum pemeliharaan dilakukan, dipasang “racumin”
agar nantinya ulat tidak diserang tikus
- Menutup pintu setiap selesai melakukan kegiatan di
ruangan pemeliharaan.
b.3.2. Dari semut
- Melilitkan kain pada kaki rak, kemudian diberi sedikit solar
atau merendam kaki rak dalam mangkok-mangkok kecil
yang terbuat dari plastik yang diisi air.

c. Kesiapan sumber daya manusia

Salah satu hal yang dapat mempengaruhi hasil pemeliharaan ulat


sutera adalah karena tidak dikuasainya teknik-teknik pemeliharaan ulat
sutera.

Pengetahuan mengenai cara melakukan pemeliharaan ulat sutera


perlu dikuasai terlebih dahulu karena ulat sutera dalam
perkembangannya sangat tergantung kepada para pemeliharanya.

Untuk itu sebelum melakukan pemeliharaan ulat sutera, para


pemelihara hendaknya dilatih atau belajar terlebih dahulu agar
keterampilan dalam pemeliharaan ulat sutera dapat dikuasai.
8

I.2. Pengambilan Telur

Pada stadia telur, terjadi apa yang disebut pertumbuhan embrio telur agar
bisa menetas menjadi ulat. Dalam pertumbuhan ini, diperlukan kondisi
optimal agar telur bisa menetas. Kondisi optimal yang diperlukan ini tentu
saja dipengaruhi oleh cara penanganan kita terhadap telur ulat sutera dan
faktor lingkungan termasuk temperatur, kelembaban dan pencahayaan.

Setelah telur diproses untuk penetasan, telur seharusnya berada pada


kondisi lingkungan (ruangan) dengan temperatur 25oC dan kelembaban
85% serta dilakukan pencahayaan 16 jam terang dan 8 jam gelap
terhadap telur. Telur ulat sutera yang akan ditetaskan harus diambil atau
dikirimkan dari produsen telur.

Dalam pengambilan atau pengiriman telur ini tentunya banyak faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan telur.
Untuk memperkecil pengaruh tersebut terhadap pertumbuhan telur ulat
sutera, maka beberapa hal perlu diperhatikan, antara lain :
a. Pada waktu 7 – 10 hari sebelum penetasan, telur baru mulai tumbuh,
pengaruh luar masih bisa ditolerir oleh telur. Untuk itu dianjurkan agar
pengambilan telur dilakukan antara 7 – 10 hari sebelum tanggal
penetasan.
b. Pada waktu membawa telur, jangan sampai terkena sengatan matahari
secara langsung. Untuk itu pada waktu membawa telur hendaknya
dilapisi (dibungkus) dengan kain lembab dan selalu menjaga agar kain
tersebut tetap lembab selama perjalanan.
c. Jangan meletakkan telur pada tempat dengan suhu panas dan kering
seperti misalnya bagasi.
9

d. Untuk mobil ber-AC, box telur sebaiknya juga dibungkus dengan kain
lembab karena udara AC merupakan udara kering sehingga akan
mempengaruhi telur.
e. Hindarkan sentuhan tangan yang kotor dan hindarkan juga kontaminasi
tembakau (rokok) baik secara langsung maupun tidak langsung.
f. Telur hendaknya tidak disimpan pada kotak yang tertutup rapat, karena
dalam proses pertumbuhannnya, telur membutuhkan udara.
g. Usahakan agar telur tidak sering terkena guncangan dan hindarkan
dari bahan kimia seperti pupuk, pestisida (insektisida) atau bensin.
h. Setelah sampai di tempat tujuan, telur harus segera diinkubasikan pada
tempat dengan kondisi yang sesuai untuk pertumbuhan telur dan
dilakukan pencahayaan.

Dengan melaksanakan hal-hal tersebut di atas, satu tahapan untuk


menghasilkan persentase penetasan yang tinggi sudah kita lalui .

I.3. Inkubasi Telur

Pengertian inkubasi dalam persuteraan mempunyai arti penyimpanan


telur dengan maksud menetaskan, dilakukan di dalam ruangan dimana
temperatur, kelembaban dan pencahayaannya diatur.

Inkubasi merupakan suatu langkah penting untuk keberhasilan penetasan


telur. Setelah telur dikeluarkan dari penyimpanan, kondisi lingkungan
tempat inkubasi mempunyai pengaruh terhadap perkembangan embrio
dan keseragaman penetasan. Untuk itu perlu diperhatikan hal-hal seperti
berikut ini :
a. Ciri-ciri telur yang dapat menetas
 Telur yang akan menetas, selama masa inkubasinya mengalami
pertumbuhan embrio yang dapat diketahui dari perubahan warna
telur sebagai berikut :
10

 Telur yang baru dikeluarkan induknya berwarna kuning


muda
 Setelah perlakuan (treatment), berangsur menjadi kuning
tua, kemudian berwarna coklat muda, coklat tua, hitam, abu-abu
tua, abu-abu muda. Dua hari sebelum penetasan terdapat bintik
biru pada bagian ujung telur yang lancip (keadaan ini
dinamakan “blue head” atau “bintik biru”
b. Telur ditempatkan pada kotak penetasan di dalam ruangan yang
bersih/sudah didisinfeksi.
c. Tutup yang berupa kertas pelapis tipis dipersiapkan dan digunakan
dengan tujuan jika penetasan belum serempak dan akan ditunda
esok harinya, ulat yang sudah menetas lebih dulu tidak akan keluar
dari kotak penetasan (tidak aktif bergerak).
d. Diusahakan agar temperatur ruangan = 25oC dan kelembaban
ruangan 85%
- Jika temperatur harian ruangan inkubasi lebih tinggi, biasanya
waktu penetasan akan lebih cepat dari waktu penetasan normal.
- Jika temperatur harian lebih rendah, penetasan biasanya akan
lebih lambat.
- Jika kelembaban terlalu tinggi, akan memperlambat penetasan
bahkan sulit menetas.
- Jika kelembaban terlalu rendah, telur akan kekurangan air, bisa
menyebabkan kematian telur.
e. Dilakukan pencahayaan dalam ruangan (dengan lampu neon biasa)
untuk merangsang pertumbuhan telur denganketentuan 16 jam
terang dan 8 jam gelap, dimana secara sederhana bisa dilakukan :
- Jam 6 pagi sampai dengan jam 10 malam, lampu ruangan
dihidupkan, dan mulai jam 10 malam sampai jam 6 pagi lampu
ruangan dipadamkan.
f. Jika telur sudah mencapai bintik biru (ditandai dengan perubahan
warna telur menjadi warna kelabu), pada hari tersebut tetap dilakukan
11

pencahayaan sampai siang/sore hari agar telur tetap dapat tumbuh.


Pada waktu sore hari ketika bintik biru telah serempak, dilakukan
penggelapan total (lampu dipadamkan dan kotak penetasan ditutup
dengan kain hitam. Penggelapan total dilakukan selama 36 jam.
g. Pada hari H penetasan dilakukan hal-hal sebagai berikut :
- lampu ruangan dinyalakan pada pagi hari (jam 5 pagi) dan kain
hitam dibuka.
- jika yang menetas baru sedikit, segera ditutup kembali dan
ditunggu hari berikutnya.
- jika yang menetas sudah banyak, tutup dibuka dan lampu
dinyalakan agar penetasan dapat serempak. Biasanya masih ada
telur yang belum menetas. Jika telur tersebut masih ingin
ditetaskan, telur tersebut ditutup kembali dengan kain hitam dan
laksanakan perlakuan yang sama seperti di atas sampai menetas
esok harinya.

Dengan melaksanakan kegiatan seperti tersebut, besar harapan


dihasilkan persentase penetasan yang tinggi.

3.4. Hakitate

Istilah Hakitate mempunyai arti pekerjaan pengurusan ulat pertama kali


sejak menetas dari telur meliputi persiapan dalam ruangan dan pemberian
makan.

Hakitate dilakukan sekitar pukul 8 – 9 pagi. Setengah jam sebelum diberi


makan ulat ditaburi campuran kaporit dan kapur dengan konsentrasi
campuran 3%. Tujuan penaburan tepung disinfektan adalah untuk
mencegah serangan penyakit yang disebabkan jamur Aspergillus yaitu
muskardin.
12

Bila hakitate tidak dilaksanakan dengan benar dan tepat, akan


menyebabkan banyaknya ulat yang lemah dan pertumbuan ulat tidak
seragam.

Cara melakukan hakitate :


a. Kotak penetasan yang sudah penuh dengan ulat diletakkan di atas
sasak yang telah disiapkan.
b. Ulat yang baru menetas ditaburi dengan tepung disinfektan dan
dibiarkan selama 30 menit.
c. Segera diberi makan secukupnya. Daun yang diberikan merupakan
daun yang masih muda dan lunak dan telah dirajang.
d. Dalam waktu 20 – 30 menit ulat akan berada pada daun murbei.
Selanjutnya ulat ditempatkan pada sasak (yang telah dialasi kertas
parafin) dengan menggunakan sikat bulu, atur kembali dan tutupi
dengan kertas parafin.
e. Kotak yang berisi telur yang belum menetas ditutup lagi kemudian
ditempatkan di dalam ruang inkubasi telur.
f. Prosentase tetasan dihitung secara sampling.
g. Pemberian makan selanjutnya dilakukan dua jam berikutnya.

3.5. Pemeliharaan Ulat Ulat Kecil


a. Karakter Ulat Kecil (Instar I - III)
 Tahan terhadap temperatur dan kelembaban yang tinggi

Instar Ulat Temperatur (oC) Kelembaban (%)


I 27 - 28 85 - 90
II 26 - 27 85 - 90
III 25 - 26 80 - 85

 Peka terhadap kualitas/mutu daun yang dimakan; kualitas


daun yang jelek mengakibatkan persentase kematian ulat yang
tinggi.
13

b. Pelaksanaan Pemeliharaan
 Menggunakan sasak yang dialasi dan ditutup dengan kertas
paraffin dan ditempatkan pada rak pemeliharaan.
 Di sekeliling sasak diletakkan kain basah Untuk
mempertahankan temperatur dan kelembaban yang dibutuhkan
serta menjaga agar daun tidak cepat layu.
 Daun untuk ulat kecil harus dipilih yang masih muda dan
lunak, berasal dari pohon yang berumur 1,5 (satu setengah) bulan
setelah pangkas.
 Pengambilan daun dilakukan pada pagi atau sore hari ketika
matahari tidak bersinar terik dan tidak hujan.
- Pengambilan daun pada waktu panas akan mengakibatkan daun
cepat layu.
- Pemberian daun yang basah akan menyebabkan berkembangnya
penyakit (terutama yang disebabkan jamur) baik pada tempat
pemeliharaan maupun pada tubuh ulat.
 Pemungutan daun dilakukan dengan cara dipetik, dipilih
sesuai dengan tingkat instar :

Instar Lembar daun dari pucuk terpanjang Ukuran daun rajangan (cm)
I 4–5 0,5 - 1,0
II 5–6 1,0 - 2,0
III 7–8 2,0 - 3,0

 Daun pucuk jangan dipergunakan untuk ulat karena :


• kurang nutrisi
• merugikan pertumbuhan murbei dan mengurangi produksi
daun
 Perajangan daun dilakukan agar pemberian makan lebih
mudah dan merata. Daun yang dirajang kecil memungkinkan ulat
kecil dapat segera memakan daun karena tidak perlu bergerak
terlalu jauh.
14

 Penyimpanan daun tidak boleh lebih dari 24 jam karena


akan layu dan kehilangan nutrisi (kandungan gizi). Daun sebaiknya
disimpan dalam ruangan yang sejuk, ditutup dengan kain basah
yan bersih. Nafsu makan ulat akan kecil bila daun dalam keadaan
layu.
 Pemberian makan dapat dilaksanakan 3 atau 4 kali sehari,
yaitu pada pagi, siang, sore dan malam hari. Pada prinsipnya
mencukupi kebutuhan pakan ketika ulat membutuhkan makanan.
 Ulat kecil lebih banyak membutuhkan karbohidrat yang
dipergunakan untuk pertumbuhannya yang sangat pesat.
 Untuk pembersihan ulat (Bed cleaning), karena ulat masih
kecil dan sisa daun belum terlalu banyak maka frekuensinya
belum terlalu banyak. Dilaksanakan paling cepat setelah pemberian
makan kedua.
Instar Jumlah Pembersihan Waktu
I - setelah ganti kulit ke-1
II 1 setelah ganti kulit ke-2
III 2 setelah ganti kulit ke-3

 Hal lain yang harus diperhatikan adalah perluasan tempat.


Perluasan tempat seringkali kurang dilakukan sehingga daun
pakan bertumpuk terlalu tebal yang didalamnya msaih banyak ulat.
Ketika dilakukan pembersihan banyak ualt yang turut terbuang.
Untuk mengatasi hal ini, maka sebelum dibuang, sisa pakan
diperluas kemudian ditaruh jaring dan diberi sedikit daun yang
masih segar agar ulat yang masih tersisa dapat naik ke atas jaring.

c. Perlakuan Sebelum dan Sesudah Ulat Tidur

Seperti telah dijelaskan, ulat sutera mengalami masa ganti kulit


sebanyak 4 kali. Bila penanganan pergantian kulit pada ulat sutera
tidak ditangani dengan tepat dapat menyebabkan ketidakseragaman
15

pertumbuhan ulat sutera. Pergantian kulit juga sering diistilahkan masa


tidur.

Hal-hal yang harus dilakukan ketika ulat sutera tidur adalah :


Sebelum Tidur
1. Ciri ulat tidur :
 Tidak mau makan, mulut menyempit, badan mengkilap dan
kepala tegak ke atas
2. Tempat hidup ulat diperluas agar kelembaban menurun.
Perluasan tempat juga dimaksudkan untuk penyesuaian luas bagi
ulat instar berikutnya setelah bangun tidur.
3. Bila masih terdapat ulat yang bangun, maka masih dilakukan
pemberian makan secara tipis untuk ulat-ulat yang masih bangun
tersebut. Penghentian pemberian makan ketika masih terdapat ulat
yang masih bangun akan menyebabkan lambatnya ulat-ulat tersebut
ganti kulit. Jika perbandingan ulat yang telah tidur dan ulat yang
masih bangun, bisa dipancing dan dipisahkan dengan
menggunakan jaring ulat.

Selama Tidur
1. Taburkan bubuk kapur, arang atau sekam padi secara
merata untuk mengeringkan permukaan sasak. Dengan jalan ini ulat
sutera yang bangun tidak akan makan daun murbei kering.
2. Temperatur diusahakan 1oC lebih tinggi dibandingkan
dengan temperatur selama periode makan.
3. Hindarkan peredaran udara yang kuat dan langsung ke
tubuh ulat
4. Jangan ganggu sasak, karena akan menyebabkan
pergantian kulit tidak sempurna dan pertumbuhan menjadi tidak
seragam.
16

Setelah Bangun
1. Pemberian makan dilakukan ketika sebagian besar ulat
sudah bangun (90%).
2. Setengah jam sebelum diberi makan, ulat ditaburi dengan
campuran kapur dan kaporit.
3. Di atas ulat dipasang jaring, kemudian diberi makan.

4. Jumlah daun yang diberikan tidak usah terlalu banyak.

5. Setelah ulat ada di atas jaring, dipindahkan ke sasak baru.

6. Apabila ulat yang bangun tidak seragam, ulat dibagi menjadi


dua kelompok.

3.6. Pemeliharaan Ulat Besar


a. Karakteristik Ulat Besar (Instar IV - V)
 Sensitif terhadap temperatur dan kelembaban yang tinggi
serta sirkulasi udara yang buruk

Instar Temperatur (oC) Kelembaban (%)


IV 25 – 26 75
V 24 – 25 70

 Tahan terhadap mutu daun yang jelek, tetapi tentu saja akan
mempengaruhi kualitas kokon.
 Mempunyai daya tahan yang lebih tinggi terhadap bahan
kimia dibandingakn dengan ulat kecil.

b. Ruangan dan Alat Pemeliharaan Ulat Besar


Untuk pemeliharaan ulat besar, digunakan bangunan yang sederhana
dan murah. Bangunan bervariasi tergantung kondisi iklim setempat.
17

Pada kondisi temperatur rendah dan kelembaban tinggi, bangunan


pemeliharaan seharusnya diberi alat pemanas.

Pada kondisi temperatur dan kelembaban yang tinggi, bangunan


pemeliharaan harus dilengkapi dengan ventilasi yang baik, biasanya
terdapat ventilasi pada bagian atapnya.

Bahan yang digunakan untuk mendirikan bangunan pemeliharaan


bervariasi : kayu atau bata.

c. Pelaksanaan Pemeliharaan
 Pemungutan daun dilakukan pada kebun yang sudah
berumur 3 bulan setelah pangkas. Ulat besar lebih banyak
membutuhkan nutrisi protein untuk pertumbuhan organ-organ
reproduksi.
 Karena jumlah kebutuhan daun murbei meningkat, daun
murbei sebaiknya diambil dari kebun yang dekat dengan lokasi
pemeliharaan ulat sutera.
 Pemeliharaan sudah tidak lagi menggunakan kertas paraffin
 Pemberian makan dilakukan bersama rantingnya di atas
sasak dan diletakkan secara saling silang sehingga daun yang
diberikan bisa rata dan pertumbuhan ulat bisa seragam.
 Mulai instar V hari ketiga, pertumbuhan ulat sangat pesat
sehingga perlu diberi tambahan makan pada malam hari agar
kokon yang akan dihasilkannya bermutu baik.
 Ulat sakit banyak terjadi pada instar ke-5 dan pada waktu
ulat mengokon. Untuk mencegah terjadinya penyebaran penyakit,
ulat yang sakit dipilih dan dibuang ke dalam baskon atau ember
yang berisi larutan kaporit 2 - 5%. Pada akhir pemeliharaan ulat-
ulat tersebut dikubur di lokasi pembuangan.
18

 Untuk Pembersihan Ulat (Bed Cleaning), karena daun yang


diberikan jumlahnya banyak, jika sistem pemeliharaan ulat
menggunakan sasak dan rak, maka pembersihan sisa-sisa daun
dilakukan setiap hari agar tumpukan daun tidak terlalu tebal.

Instar Jumlah Pembersihan Waktu


IV 1 Sebelum tidur ke -4
V 2 Hari ketiga dan keenam

 Untuk Perluasan (Spacing), agar mendapatkan ulat dengan


besar yang maksimal, maka harus dilakukan pemencaran. Hal ini
dilakukan agar tidak terjadi kekurangan makanan karena
kompetisi untuk mendapatkan makanan dari ulat-ulat itu sendiri.
- Lakukan perluasan pada saat yang tepat
- Lakukan perluasan dengan hati-hati. Perluasan yang dilakukan
secara tidak hati-hati akan menyebabkan banyak ulat yang
hilang.
- Sesudah selesai diperluas, tempat ulat disusun kembali.
- Kalau sudah tidak dapat diperluas, dibagi menjadi dua, pada
sasak yang lain.

4. Penyakit Pada Ulat Sutera

Secara umum penyakit pada ulat sutera terbagi menjadi 2 katagori besar,
yaitu penyakit menular dan tidak menular. Penyakit menular disebabkan oleh
agen-agen biologis seperti bakteri, jamur, virus, protozoa dan semacam
mikroorganisme patogen yang masuk ke dalam tubuh ulat sutera dan bersifat
menggganggu. Penyakit ini dapat menyebar dari larva yang terinfeksi kepada
larva yang sehat. Penyakit tidak menular merupakan penyakit yang
disebabkan oleh serangga, pengaruh bahan-bahan kimia atau kerusakan
secara mekanis. Penyakit ini biasanya tidak menyebar dari satu larva kepada
larva yang lain.
19

Penyakit yang akan dibahas hanya beberapa penyakit yang umum terjadi di
pemelihara.

4.1. Penyakit yang disebabkan virus


Jenis penyakit : Nuclear Polyhedrosis Virus (NPV), Cytoplasmic
Polyhedrosis virus (CPV), Flacherie dan Denso Nucleosis Virus

a. NPV
Penyebab : - Nuclear Polyhedrosis Virus
- Pemberian daun basah
Gejala : Kulit larva yang terserang membengkak, jarak antar
segmen membesar, tubuh mengkilat berwarna putih
susu. Dinding tubuh mudah sekali pecah dan akan
meneteskan cairan berwarna putih susu yangakan diikuti
dengan penyusutan tubuh kemudian mati. Larva yang
mati biasanya membusuk dan berwarna hitam. Jika
larva terinfeksi sebelum ganti kulit, maka larva tidak bisa
mengalami ganti kulit; jika larva terinfeksi setelah ganti
kulit, maka larva akan memiliki segmen yang besar.
Ulat kecil biasanya akan mati sekitar 3 - 4 hari setelah
terinfeksi, sedang ulat besar biasanya mati setelah 4 - 6
hari setelah terinfeksi.

Pencegahan :
 Disinfeksi ruangan, peralatan jika akan memulai
pemeliharaan dengan formalin 4%.
 Dinsinfeksi selama pemeliharaan dengan formalin.
20

b. Flacherie
Penyebab : - Virus flacherie
- Temperatur yang tinggi selama ganti kulit, makanan
yang kurang baik (daun basah atau daun panas).
Gejala : Pada stadia awal penyakit, terjadi penurunan konsumsi
daun murbei, waktu untuk menyelesaikan ganti kulit
tidak seragam, dan terjadi perbedaan besar tubuh pada
setiap ulat. Terjadi penyusutan pada tubuh larva,
mencret dan muntah. Warna tubuh akan menjadi
kehitaman.

Pencegahan :
 Memperbaiki cara inkubasi; memperbaiki mutu daun; kondisi
lingkungan dan metode pemeliharaan.

4.2. Penyakit yang disebabkan Jamur


Jenis penyakit : Aspergillosis, muscardine putih dan muscardine hijau.
a. Muscardin putih
Penyebab : - Jamur Beauveria bassiana
- Temperatur tinggi; kelembaban tinggi; cahaya
kurang.
Gejala : Infeksi terjadi pada stadia ulat dan pupa.
 Pada stadia ulat : pada stadia awal penyakit, gejala kurang
jelas terlihat, tetapi pada stadium lanjutan, pada tubuh larva
akan nampak bintik berminyak. Sewaktu akan mati, kotoran
menjadi lunak disertai muntahan. Ketika mati ulat menjadi
lunak dan kemudian akan mengeras dan warna berubah
menjadi merah. Satu sampai dua hari kemudian akan tumbuh
21

hypha di antara segmen, bahkan seluruh tubuh kemudian


akan tertutup oleh conidiia (butiran-butiran) berwarna putih.

 Pada stadia pupa : infeksi menghasilkan pupa yang disebut


mummified pupa. Reaksi pupa terhadap rangsangan lambat
dan bagian dada menyusut, perut menjadi keriput. Hypha dan
Conidia akan tumbuh di antara mebran-membran
intersegmen.

Pencegahan dan Penanganan :


 Disinfeksi ruangan, dan disifeksi peralatan
 Ulat yang mati dibakar
 Taburi ulat dengan campuran kapur dan kaporit pada ulat
besar setiap pagi sebelum makan.

4.3. Penyakit yang disebabkan oleh Protozoa


Jenis yang menyebabkan penyakit pada ulat sutera adalah Nosema
bombycis.
a. Pebrine
Penyebab : - Nosema bombycis
- Tidak dilakukan disinfeksi, kondisi lingkungan yang
kurang baik dan makanan yang tidak memenuhi
syarat.
Gejala :
 Pada ulat : stadia ulat instar I yang terinfeksi
memperlihatkan warna tubuh yang relatif gelap, nafsu makan
berkurang, waktu ganti kulit menjadi panjang dan pertumbuhan
yang lambat. Ulat yang tingkat terinfeksinya sangat tinggi akan
mati pada instar I, sedang larva yang tingkat infeksinya lebih
ringan biasanya akan mati pada instar II atau III. Jika infeksi
terjadi pada awal instar I, biasanya ulat akan terlambat ganti
22

kulit atau mati. Infeksi pada instar II atau instar III akan
memperlihatkan kerutan pada tubuh ulat, warna tubuh kusam
dan tubuh berbintik-bintik terutama pada bagian belakang
(tanduk ekor) dan bagian depan sampai bagian kaki. Ulat-ulat
akan sulit mengalami ganti kulit dan basanya sulit menjadi
pupa.
 Pada pupa : pupa yang terinfeksi biasanya menjadi lamban,
bagian perut menjadi lunak dan muncul bintik hitam pada tubuh
pupa.

Pencegahan dan penanganan :


 Melakukan disinfeksi ruangan dan peralatan secara ketat
dan sering serta selalu melakukan waspada terhadap tanda-
tanda penyakit.

4.4. Penyakit yang disebabkan oleh Bakteri


Jenis penyakit : Sotto dan Septicaemia
a. Septicaemia
Penyebab : - Bacillus sp
- Kondisi lingkungan dan makanan yang kurang baik.
Gejala : Gerakan ulat melambat, nafsu makan berkurang, tubuh
menjadi ramping, bagian dada membengkak, bagian perut
menyusut, kotoran lembek dan seperti pasir.
Ulat yang mati tubuhnya menjadi lembek, kepala
membesar. Dinding tubuh gampang hancur dan
menimbulkan bau.
Ulat yang terinfeksi, setelah mati, bangkainya kaan
berwarna hijau paa bgian depan dada atau pada segmen
(ruas) ke 4 - 6, kemuadian menghitam dan meneteskan
cairan.
23

4.5. Keracunan
a. Keracunan bahan kimia pertanian
Gejala : Bergerak-gerak tak menentu, pembesaran bagian dada,
mengangkat kepala, muntah-muntah, tubuh memendek
dan kejang-kejang.

b. Keracunan tembakau
Gejala : Gerakan melemah, nafsu makan tidak ada, kepala
menggeleng-geleng, muntah-mutah kemudian jatuh

Pencegahan dan Penanganan untuk a dan b :


 Jauhkan ulat dari bahan-bahan tersebut di atas.
 Segera pisahkan daun yang mengandung bahan-bahan
kimia atau tembakau tersebut
 Ciprati dengan air gula merah ke seluruh tubuh ulat.

5. Pengokonan

Setelah mengalami pergantian kulit empat kali, ulat sutera akan mengalami
tidur. Tetapi ulat-ulat tersebut akan membuat kokon dan di dalam kokon ulat
akan berubah bentuk menjadi pupa.

Pada saat ulat mulai mengokon, pada saat itu pemelihara harus mulai
memindahkan ulat-ulat yang matang ke tempat pengokonan, agar ulat-ulat
tadi dapat membuat kokon yang baik.
24

Apabila tempat pengokonan tidak baik dan cara pengokonan dilakukan


dengan tidak hati-hati atau pengurusan selama pengokonan kurang baik,
maka kokon-kokon yang dihasilkan akan mempunyai kualitas yang kurang.
Walaupun pemeliharaan yang dilakukan sudah baik dan ulat dalam keadaan
yang sangat sehat, tetapi apabila pekerjaan pengokonan tidak baik atau iklim
waktu pengokonan kurang baik sehingga ulat tidak dapat membuat kokon,
maka hasil yang didapatkan akan kurang baik.

a. Tanda-tanda ulat akan mengokon


 Pada akhir instar V, ulat tidak mau makan lagi dan kepalanya
bergerak-gerak mencari pegangan untuk mulai membuat kokon
 Tubuh ulat menjadi transparan (tembus cahaya)
 Kotoran yang dikeluarkan lebih lunak
 Dari mulutnya mulai mengeluarkan serat sutera.

b. Alat Pengokonan (sarangan)


Alat pengokonan yang baik mempunyai :
 Lubang/jarak yang cukup besar dan banyak
 Terbuat dari bahan yang cukup dapat menyerap uap air
 Tahan panas dan murah

Model alat pengokonan (sarangan)


 Model jeruji terbuat dari bambu atau kayu
 Model harmonika terbuat dari rotan, jerami yang dianyam atau
plastik
 Model rotary : terbuat dari karton yang dirangkai membentuk
beberapa ruang sel, satu ruang untuk satu kokon
25

Model Sarangan Bambu Model Rotary Seriframe

c. Waktu yang Tepat Untuk Mengokonkan

Ulat yang sudah mempunyai ciri seperti tersebut diatas harus segera
diambil dan dipindahkan ke tempat pengokonan. Ulat yang belum siap
mengokon masih perlu diberi makan berupa daun lembaran secukupnya.

Jika ulat yang belum matang dipindahkan ke tempat pengokonan,


kemungkinan besar ulat mati di dalam kokon, kandungan sutera pada
kokon menjadi rendah dan daya gulung juga jelek.

Jika ulat terlambat dikokonkan, maka ulat akan membuat kokon di tempat
ulat yaitu pada sisa-sisa ranting sehingga ukurannya kecil dan bentuknya
tidak normal dan tidak baik untuk dipintal.

Banyaknya ulat yang dipindahkan ke dalam tempat pengokonan harus


diatur. Bila ulat yang dimasukkan terlalu banyak, maka akan banyak
terjadi kokon-kokon yang kotor dan buruk. Sebaliknya bila terlalu sedikit,
maka penggunaan alat-alat menjadi tidak ekonomis.

d. Kondisi Lingkungan untuk Pengokonan

Untuk memperoleh kokon dengan daya gulung (reelability) dan kualitas


sutera yang baik, sangat penting memperhatikan kondisi lingkugan,
khususnya selama tiga hari pertama :
26

 temperatur = 22 - 23 oC
 kelembaban = 65 - 70 %

Pada hari keempat sampai dengan hari keenam, setelah ulat berubah
menjadi pupa, temperatur ruangan dinaikkan sampai 23 - 24oC.

Untuk mengontrol kelembaban ruangan pengokonan, harus diperhatikan


juga uap yang ditimbulkan oleh urine dan kotoran ulat. Untuk menghindari
hal tersebut di bawah sarangan pengokonan ditaruh beberapa lembar
kertas yang dapat menyerap cairan dan setiap 5 - 6 jam dikeluarkan dari
ruangan pengokonan.

e. Cara mengokonkan
 Pemindahan dengan memungut satu-satu
Ulat-ulat yang sudah matang diambil satu-satu lalu dikumpul dan
dipindahkan ke tempat pengokonan.
Adapula cara dimana pemungutan satu-satu ini waktunya
ditangguhkan sehingga hampir semua ulat matang, kemudian
dipungut, dikumpulkan dan dipindahkan ke dalam tempat pengokonan

 “Shaking methode” (memungut dengan cabang-cabang pohon)


Cabang murbei yang dipenuhi ulat diambil, kemudian digoyang
sedemikian rupa sehingga ulatnya jatuh.
Tempat untuk jatuhnya ulat matang, dibawahnya dipasang daun pisang
atau daun kelapa, lalu dipasang plastik. Ini bertujuan, agar ulat yang
jatuh tidak terluka.

 Pengokonan secara alami (self mounting)


Sarangan pengokonan disimpan di atas ulat yang sudah matang (80-
85%) selama 20 - 24 jam dan dibiarkan sampai ulat naik ke atas
sarangan.
27

Sarangan pengokonan kemudian dipindahkan ke dalam ruangan


pengokonan. Jika digunakan sarangan bambu, penempatannya harus
diatur agar terdapat sirkulasi udara yang baik sehingga dapat diperoleh
kokon yang baik.

5. Pemanenan Kokon
a. Waktu yang Tepat untuk pemanenan
 Waktu panen kokon dilakukan 6 - 7 hari sejak ulat dikokonkan pada
temperatur 23 - 24oC, pada saat pupa di dalam kokon sudah berwarna
coklat tua. untuk itu sebaiknya dilakukan pemeriksaan dengan
mengambil beberapa butir kokon sebagai sampel.
 Pemanenan kokon terlalu awal dapat merusak pupa yang masih
muda sehingga mudah terluka kemudian membusuk dan menimbulkan
kokon cacat pintal. Bahkan, mungkin masih berupa ulat sehingga
kalkulasi rendemen pintalnya akan rendah.
 Jika panen dilakukan terlambat, akan kehilangan waktu yang tepat
untuk pengeringan kokon dan kokon akan rusak karena diterobos
kupu yang keluar dari dalam kokon.

b. Cara Panen Kokon


 Kokon-kokon dengan kulit yang terlalu tipis atau ulat yang
membusuk dan tidak dapat membuat kokon dipisahkan terlebih dahulu
agar nodanya tidak menempel pada kokon-kokon yang bagus.
 Pemanenan dilakukan sesuai dengan urutan hari ulat mengokon.
 Pemanenan harus dilakukan dengan hati-hati. Kokon-kokon yang
dipanen jangan dilempar karena akan menyebabkan matinya pupa
dalam kokon.
 Setelah panen kokon selesai, jangan ditumpuk terlalu banyak
karena kokon-kokon akan menjadi lembab dan mempengaruhi kualitas
kokon.
28

 Serabut (floss) yang ada di luar kulit kokon harus dibersihkan


dengan tangan atau alat pembersih floss

c. Seleksi Kokon
 Kokon-kokon yang telah dibersihkan dari serabutnya, diseleksi dan
disortasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
 Seleksi harus dilakukan dengan hati-hati karena menyangkut harga
kokon.
 Sortasi kokon meliputi : kokon normal, dan kokon cacat yaitu
kokon dobel, kokon tipis, kokon tipis ujung, kokon berlubang, bentuk
tidak normal, kokon pipih, kokon yang bernoda.
 Untuk kokon normal dilakukan grading mutu sesuai dengan
ketentuan (standar) yang berlaku.

6. Pengeringan Kokon

Sekitar 10 – 12 hari setelah naik sarangan, pupa dalam kokon berubah


menjadi kupu yang akan keluar menembus kulit kokon sehingga tidak dapat
dipintal.

Pengangkutan kokon ke pabrik pemintalan dilakukan sesegera mungkin


setelah selesai melaksanakan pemanenan dan seleksi kokon. Untuk tempat
kokon dapat digunakan keranjang bambu atau karung dengan volume 10 kg.

Jika kokon tidak akan segera dipintal, dilakukan pengeringan kokon.


Pengeringan kokon dimaksudkan untuk mematikan pupa dan mengurangi
kadar air yang ada pada kokon dengan tujuan agar pupa tidak berubah
menjadi kupu (ngengat) yang bisa merusak kulit kokon.
29

Apabila kulit kokon rusak maka kokon tersebut tidak akan bisa dipintal
menjadi benang sutera. Disamping itu dalam keadaan kering kokon dapat
disimpan lebih lama pada temperatur dan kelembaban yang normal.

Kokon yang baru dipanen mengandung air sekitar 61 – 64% dan apabila
dikeringkan hingga mencapai kering standar, kandungan air akan berkisar
6 – 12%. Kering standar adalah keadaan dimana kadar air pada kokon
mencapai titik minimal. Kering standar dicapai apabila ratio kokon kering dan
kokon segar berkisar antara 38 – 42%.

Tanda-tanda kokon yang mencapai kering standar adalah :


- Berat kokon lebih ringan
- Suara kokon akan gemerincing apabila kokon dikocok
- Jika pupa di dalam kokon dikeluarkan dan ditekan, pupa akan hancur.

a. Cara Pengeringan
Dalam pengeringan kokon, ada tiga cara pengeringan yaitu penjemuran,
pengukusan dan pengeringan oven
a.1. Penjemuran, dilakukan dengan memanfaatkan panas matahari.
Pengeringan dilakukan selama tiga harti terus menerus. Menurut
penelitian yang telah dilakukan, waktu yang diperlukan untuk
mematikan pupa berkisar 3 – 5 hari.

a.2. Pengukusan
- Pengukusan adalah pengeringan kokon yang memanfaatkan uap
panas yang berasal dari panas uap air yang mendidih. Alat yang
diperlukan untuk melakukan pengeringan dengan cara ini adalah
panci pengukusan (dandang), kompor, karung goni dan kain blacu.
Pengukusan dilakukan selama 5 – 10 menit setelah air mendidih,
waktu pengukusan tersebut sudah dapat mematikan pupa yang
ada di dalam kokon. Lama pengukusan jangan lebih dari 20 menit
30

karena dapat merusak sericin yang terdapat pada kulit kokon dan
jika kokonnya dipintal akan menyebabkan rendahnya daya gulung
(serat suteranya sering putus).

a.3. Pengeringan Oven


Pengeringan oven adalah pengeringan kokon yang memanfaatkan
udara panas di suatu alat ruangan tertentu dengan sumber panas
berasal dari alat-alat pemanas seperti kompor, elemen listrik atau
alat pemanas lainnya.

Alat pengeringan ini biasa disebut oven. Pengeringan oven


mempunyai kelebihan dibanding dengan penjemuran dan
pengukusan. Selain mematikan pupa juga sekaligus menurunkan
kadar air serta mengeringkan kokon dalam jumlah yang lebih
banyak.

Oven yang digunakan dalam pengeringan ini merupakan oven yang


dibuat khusus untuk pengeringan kokon dengan kapasitas
40 – 70 Kg kokon. Di dalam oven terdiri dari rak-rak tempat
menyimpan kokon.

- Lama pengeringan dengan menggunakan oven ini biasanya


membutuhkan waktu sekitar 30 – 60 menit dengan temperatur
80 – 95oC.

b. Penyimpanan Kokon
Penyimpanan kokon diperlukan apabila kokon akan dijual tetapi waktu
yang diperlukan untuk menjual kokon relatif lama. Di samping itu jika
harus menunggu proses pemintalan selanjutnya.
31

Waktu penyimpanan tergantung cara pengeringan yang dilakukan dan


tergantung tingkat kekeringan kokon yang akan disimpan.

Bahan dan alat yang diperlukan untuk menyimpan kokon adalah kantung
terigu, kardus bekas yang diberi lubang-lubang kecil di sekelilingnya atau
dari rak-rak kayu.

7. Analisa Usaha

Dalam Menjalankan suatu usaha, tentunya perlu dipertimbangkan


perhitungan ekonomis usaha yang dilakukan. Untuk itu ditampilkan suatu
analisa usaha sederhana mengenai persuteraan.

Pemeliharaan dilakukan sesuai dengan produksi daun murbei yang


dihasilkan. Dengan melaksanakan teknik pemeliharaan yang sesuai dengan
standar, maka diharapkan hasil sebagai berikut :

Produksi daun
Jumlah pohon per hektar = 20.000 pohon.
Asumsi produksi per pohon = 0,5 Kg satu kali pungut x 20.000 = 10.000 Kg.
Jumlah produksi/ha/tahun = 4 x 10.000 = 40.000 kg

Pemeliharaan Ulat
1 boks membutuhkan pakan sebanyak 1.250 kg.
Jumlah pemeliharaan ulat sutera pertahun = 32 box.
Jumlah pemeliharaan per bulan dengan asumsi pemeliharaan sebanyak 10
bulan sebanyak 3 – 4 box.

Perkiraan hasil produksi kokon


Jumlah isi : 25.000 butir
32

Penetasan : 90 %
Rendemen pemeliharaan : 90%
Hasil produksi : 90 % x 25.000 = 22.500 ulat
90 % x 22.500 = 20.250
20.250 x 2 gr = 40,5 Kg

b. Perhitungan
 Investasi Perhektar
No Jenis Kegiatan Biaya Usaha Tani (Rp)
1. Persiapan dan Penanaman Kebun Murbei 2.330.000
2. Pemeliharaan kebun belum produksi dan Peralatan 3.422.000
3. Bangunan Ulat Kecil 3.200.000
4. Peralatan Ulat kecil 836.000
5. Bangunan Ulat besar 8.000.000
6. Peralatan untuk ulat besar 3.300.000
7. Alat pengokonan 2.800.000
Jumlah 23.888.000
Perhitungan Usia Teknis : - Kebun = 15 tahun
- Bangunan dan Peralatan = 5 tahun

Maka penyusutan/tahun (A) 4.010.666

 Biaya Produksi
No Jenis Kegiatan Usaha Tani (Rp)
1. Pemeliharaan kebun produksi dan Peralatan 3.058.000
2. Pemeliharaan ulat 7.998.900

Jumlah Biaya (B) 11.056.000

Harga Pokok Produksi Kokon Basah dengan 6.824


Produksi 1.620 Kg/Ha/Tahun - C B:C
Kokon baik 90% (1.458) - D
Maka HPP kokon basah B:D 7.582
Penyusutan per Kg A:C 2.475

Maka HPP Kokon Basah 10.057


Harga Pokok Penjualan dengan keuntungan 11.159 ~ 12.068
20%
33

Apabila produksi kokon basah = 1.620 kg/ha/tahun dengan biaya produksi


termasuk penyusutan investasi sebesar Rp 15.066.666,- dengan asumsi
kokon terjual 90% dengan harga Rp 15.000,- maka petani sutera akan
mendapatkan keuntungan sebesar Rp 6.803.334,- pertahun atau
Rp 566.945,-/bulan.

Harga pasaran kokon untuk saat ini berkisar antara Rp 17.000,- sampai
dengan Rp 20.000,-. Dengan harga pasaran seperti itu, maka keuntungan
yang dapat diperoleh berkisar antara Rp 9 juta sampai Rp 14 juta
pertahun.

8. Kesimpulan
1. Jenis ulat sutera Bombyx mori merupakan jenis ulat sutera yang
tergantung pada kondisi iklim dan lingkungan termasuk suhu,
kelembaban, cahaya dan aliran udara.
2. Dalam melaksanakan pemeliharaan ulat sutera perlu diketahui
karakteristik pada masing-masing tingkatan dalam siklus hidup ulat
sutera mulai dari telur sampai dengan kokon.
3. Sebelum melakukan pemeliharaan ulat sutera perlu ada persiapan
pemeliharaan baik persiapan daun murbei, persiapan ruangan dan
alat-alat pemeliharaan maupun persiapan sumber daya manusia
(pemelihara).
4. Dalam melakukan persiapan ruangan dan alat perlu diperhatikan
ketepatan dalam melaksanakan disinfeksi.
5. Pengambilan telur dan cara inkubasi yang benar akan memberikan
hasil penetasan dengan persentase sesuai dengan yang diharapkan.
6. Teknik pemeliharaan yang sesuai dengan ketentuan baik pada ulat
kecil, ulat besar maupun pengokonan dan pemanenan kokon akan
memberikan hasil produksi kokon yang tinggi.
34

7. Jika kokon tidak segera dipintal, maka dapat dilakukan pengeringan


kokon agar kokon tidak rusak dan bisa disimpan.
8. Jika dapat dicapai hasil produksi kokon yang tinggi dan berkualitas,
maka dapat memberikan keuntungan bagi para pemelihara ulat sutera.

9. Daftar Pustaka

Budisantoso, Harry. 1994. Informasi teknis : Pengeringan dan Penyimpanan


Kokon Sutera. Departemen Kehutanan. Balai Penelitian Kehutanan.
Ujung Pandang.
Daus, Amir; Haris. S. 1998. Pemeliharaan Ulat Sutera dan Pengokonan.
Materi Pelatihan Persuteraan Alam Untuk Penyuluh dan Petani Oleh
Perum Perhutani. Perum Perhutani Unit I. Semarang.
Ho Lim, Soo; Taek Kim, Young; Poong Lee, Sang; Jun Rhee, In; Jung
Sung,Lim; Ho Im, Byung. 1990. Sericulture Training Manual, FAO
Agricultural Service Bulletin No. 80, Food and Agriculture
Organisation of The United nations. Rome.
Jolly, Manjeet. 1987. Appropriate Sericulture Techniques. International Centre
for Training & Research in Tropical Sericulture. Mysore.
Kartasubratra, Junus; M. Kaomini; W. Saleh, W. Moerdoko. 2000. Sutera Alam
Indonesia, Yayasan Sarana Wana Jaya. Jakarta.
Katsumata, F. 1972. Petunjuk Sederhana Bagi Pemelihara Ulat Sutera.
Tokyo. Japan
Soekarman. 1998. Pemeliharaan Ulat Sutera. Materi Pelatihan Persuteraan
Alam. Kerjasama Perum Perhutani dan MPAI. Direksi Perum
Perhutani. Jakarta.
Pang-chuan, Wu; C. Da-huang. 1988. Silkworm Rearing, FAO Agricultural
Service Bulletin no. 73/2. Food and Agriculture Organization of The
United Nations. Rome.

Anda mungkin juga menyukai