Anda di halaman 1dari 15

SHARED PSYCHOTIC DISORDER

Oleh: Muhammad Irfan 070100334

Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan 2011

SHARED PSYCHOTIC DISORDER

Karya Tulis ini dibuat untuk melengkapi persyaratan kepaniteraan klinik di bagian Psikiatri FK USU

Oleh: Muhammad Irfan 070100334

Nama Pembimbing: Prof. dr. H. Syamsir BS, SpKJ (K)

Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan 2011


ii

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .......................................................................................................iii BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................................1 1.1. Latar Belakang .................................................................................1 1.2. Tujuan Penulisan ..............................................................................1 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .........................................................................2 2.1. Definisi .....................................................................................................2 2.2. Subtipe dan Karakteristik .........................................................................2 2.3. Diagnosis ..................................................................................................3 2.4. Diagnosis Banding....................................................................................5 2.5 Perjalanan Penyakit. .................................................................................6 2.6. Pengobatan ...............................................................................................6 2.7. Prognosis ..................................................................................................10 BAB 3 KESIMPULAN .......................................................................................11 DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................12

iii

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang Shared psychotic disorder adalah kondisi kelainan delusi yang berbagi antara 2

orang atau kadang-kadang lebih dari 2 orang yang memiliki hubungan emosional yang dekat. Sekitar 95% kasus shared psychotic disorder, melibatkan orang yang berasal dari keluarga yang sama. Sekitar 1/3 kasus terjadi pada kakak beradik, 1/3 lainnya suami-istri, sedangkan sisanya tidak ada hubungan keluarga. Pada 25% kasus, orang yang terpengaruhi umumnya memiliki disabilitas fisik, seperti tuli, penyakit serebrovaskular, atau disabilitas lainnya yang akan meningkatkan ketergantungan orang tersebut dengan orang yang lebih dominan. Kasus ini lebih sering dijumpai pada orang dengan sosioekonomi yang rendah dan pada wanita.5 Beberapa data menunjukkan orang yang menderita Shared psychotic disorder biasanya memiliki riwayat skizofrenia atau penyakit psikosis yang berhubungan. Biasanya orang yang terpengaruhi adalah orang yang mempunyai hubungan dekat dengan orang yang lebih dominan, menjalani hidup bersama dalam jangka waktu panjang, memiliki kebutuhan-kebutuhan yang dapat dipenuhi oleh orang yang dominan tersebut. Penegakan diagnosis Shared psychotic disorder dapat dilakukan dengan berpedoman kepada DSM IV-TR ataupun ICD-10-R yang akan dijabarkan pada BAB 2. Prinsip penanganan pada pasien Shared psychotic disorder adalah dengan memisahkan penderita primer dan sekunder, melakukan observasi, pemberian antipsikotik, serta monitoring sosial dan terai keluarga jika pasien akan kembali ke lingkungan tempat tinggalnya.6 1.2. Tujuan Penulisan Untuk meningkatkan pemahaman penulis dan pembaca mengenai penyakit psikotik berbagi (shared psychoti disorder)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Shared psychotic disorder atau folie deux, adalah kondisi kelainan delusi yang jarang terjadi yang berbagi antara 2 orang atau kadang-kadang lebih dari 2 orang yang memiliki hubungan emosional yang dekat.2,7 Gangguan waham terinduksi (selama bertahun-tahun disebut juga shared paranoid disorder, induced psychotic disorder, folie deux, folie impose, dan double insanity) pertama kali diuraikan Lasegue dan Falret pada tahun 1877.4,5 Kemungkinan gangguan tersebut jarang, tetapi gambaran insiden dan prevalensi tidak ada dan kepustakaan hampir seluruhnya berisi laporan kasus. Gangguan ditandai dengan transfer waham dari satu orang ke orang lain. Kedua orang tersebut sangat dekat dalam jangka waktu lama dan hidup bersama dalam isolasi sosial. Pada sebagian besar kasus, seseorang yang pertama kali mengalami waham (kasus primer) seringnya menderita secara kronis dan biaknya merupakan anggota yang berpengaruh dalam hubungan dekat dengan orang yang lebih mudah tersugesti (kasus sekunder) yang juga mengalami waham. Orang pada kasus sekunder sering kurang cerdas, lebih mudah tertipu, lebih pasif, atau kurang menghargai diri sendiri daripada orang pada kasus primer. Jika kedua orang tersebut dipisahkan, orang dengan kasus sekunder mungkin tidak mengalami lagi wahamnya, namun hal ini tidak selalu terjadi. Waham terjadi karena dengan pengaruh kuat anggota yang lebih dominan.5 Usia tua, intelegensia rendah, gangguan sensorik penyakit serebrovaskular, dan kecanduan alkohol adalah faktor-faktor yang dihubungkan dengan bentuk aneh gangguan psikotik tersebut. Predisposisi genetik terhadap psikosis idiopatik juga telah diusulkan sebagai faktor risiko yang mungkin.3 2.2. Subtipe dan Karakteristik Pada tahun 1942,Gralnick mengklasifikasikan folie deux menjadi 4 subtipe, yakni: 7 1. Subtipe A (folie impose) Delusi yang dialami oleh orang yang mengalami psikosis ditularkan kepada orang dengan mental yang baik. Kedua orang tersebut memiliki hubungan yang sangat akrab dan delusi yang dialami olehresipien akan menghilang setelah mereka dipisahkan. Pemeriksaan status mental keduanya akan signifikan terhadap pemikiran delusional,

tidak dapat mengambil keputusan dengan baik, perhatian dan konsentrasi yang lemah, afek pada keduanya dapat terpengaruh ataupun tidak terpengaruh. 2. Subtipe B (folie simultane) Kemunculan psikosis yang identik secara simultan terjadi pada 2 individu yang keduanya memiliki hubungan yang sangat akrab. Pemeriksaan status mental menunjukkan individu yang terkena mengalami paranoia, lack of insight, pada kasus yang berat juga terdapat gangguan proses berpikir. 3. Subtipe C (folie communique) Psikosis muncul pada resipien setelah lama bersama dan menetap bahkan setelah resipien dipisahkan dengan pasangannya. Pemeriksaan status mental menunjukkan kewaspadaan yang berlebihan, berpikir obsesif, murung, mengunyah-ngunyah, cemas dan lack of reasoning. 4. Subtipe D (folie induite) Delusi baru yang diadopsi oleh individu lainnya dengan psikosis. Pemeriksaan status status mental menunjukkan klinis yang sama dengan pasien psikosis, yakni paranoia, lack of reasoning, pengambilan keputusan dan insight. Kontak mata yang terbatas, bizarre mannerisms, pemikiran-pemikiran magis juga dapat terlihat pada pemeriksaan. Gangguan psikosis berbagi lebih sering dijumpai pada wanita dan menggambarkan peran wanita yag submisisf di keluarga. Akan tetapi tidak ada bukti bahwa terjadi peningkatan kerentanan pada wanita masa kini. Baik laki-laki ataupun wanita penderita sekunder, dipengaruhi secara ekual oleh penderita wanita primer. 2.3. Diagnosis Untuk menegakkan diagnosis Shared psychotic disorder dapat digunakan kriteria diagnostik dariDiagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Fourth Edition Text Revision (DSM-IV-TR) :3,4 1. Waham berkembang pada seseorang yang mempunyaihubungan dekat dengan orang lain, yang sebelumnya telahmempunyai waham. 2. 3. Isipikiran waham sama seperti orang yang telah mempunyai waham. Gangguanyang tidak disebabkan oleh gangguan psikotik lain (misalnya skizofrenia) atau gangguan mood dengan gambaran psikotikdantidak disebabkan, oleh efek fisiologi direk suatu zat (seperti, penyalahgunaan obat dan pengobatan) atau kondisi medis umum
3

Sedangkan kriteria diagnosis folie deux berdasarkan International Statistical Classification of Diseases 10th Revision (ICD-10R) :3,7 1. Dua orang berbagi delusi yang sama atau sistem delusi dan salaing mendukung satu sama lain tentang kepercayaan ini. 2. 3. Orang-orang ini memiliki hubungan yang dekat Adanya bukti kontekstual atau temporal yang mengindikasikan bahwa delusi diinduksi kepada anggota pasif dengan adanya kontak dengan anggota aktif. Hingga saat ini belum ada penjelasan mengenai folie deux yang dapat menjelaskan mengenai semua aspek dari folie deux ini. Survei dari literatur menunjukkan, bahwa sebagian besar orang yang terkena Shared psychotic disorder atau folie deux adalah wanita dengan usia yang lebih rendah dibandingkan dengan pasangan, orangtua, saudara, atau teman yang memiliki gejala yang sama. Survei lebih lanjut menunjukkan bahwa pasien primer rentan terhadap skizofrenia dan sering didiagnosis dengan delusi paranoid episodik.7 Sering ditemui bahwa perkembangan ego yang terganggu pada awal kehidupan. Seperti teori yang dikemukakan oleh Freud dalam kompleks oedipus dan electra, pada anak akan muncul ketertarikan dengan orangtua yang berlawan jenis dengannya dan membandingkan dirinya dengan orangtua yang memiliki jenis kelamin yang sama dengan dirinya. Jika hubungan antara orangtua dan anak diisi dengan kecemburuan, penolakan atau amarah atau jika hubungan menjadi lebih dekat dibandingkan hubungan yang sehat antara orangtua dan anaknya, maka simptoma folie deux akan muncul. Anak yang memiliki hubungan yang terlalu dekatdengan orang tua yang berlawanan jenis dengannya, umumnya akan mengalami delusi intimasi seksual yang berbagi dengan orangtuanya. Orang yang mengalami gangguan cenderungh membentuk hubungan simbiosis dengan orang lain yang memiliki gangguan psikiatrik yang sama. Mereka cenderung membentuk hubungan yang tidak sehat, rasa percaya diri yang rendah, dan kurangnya rasa bertanggungjawab. Studi kasus individual menunjukkan bahwa delusi dan simptoma psikotik jarang ditransmisikan kepada orang yang sehat dari pasangan yang memiliki sikap tidak wajar akibat penyakit psikotik, akan tetapi pada orang yang pasif yang memiliki predisposisi genetik terhadap psikosis, gangguan ini dapat terbentuk.

2.4. Diagnosis Banding3 1. Delirium, Demensia, dan Gangguan Terkait Zat. Delirium dan demensia sebaiknya dipertimbangkan dalam diagnosis banding pasien dengan waham. Delirium dapat dibedakan berdasarkan adanya fluktuasi tingkat kesadaran atau gangguan kemampuan kognitif. Waham pada awal perjalanan penyakit demensia, seperti pada demensia tipe Alzheimer, dapat memberikan gambaran gangguan waham; namun, uji neuropsikoiogis biasanya mendeteksi gangguan kognitif. Meskipun penyalahgunaan alkohol memberi gambaran yang mirip dengan pasien gangguan waham, gangguan waham harus dibedakan dari gangguan psikotik akibat alkohol dengan halusinasi. Intoksikasi obat simpatomimerik (termasuk amfetamin), marijuana, atau L-dopa mungkin menyebabkan gejala waham. 2. Gangguan Lain Diagnosis banding psikiatri untuk gangguan waham meliputi malingering dan gangguan buatan (factitious) dengan tanda dan gejala psikologis yang dominan. Gangguan yang tidak dibuat-buat sebagai diagnosis banding adalah skizofrenia, gangguan rnood, gangguan obsesif-kompulsif, gangguan somatoform, dan gangguan kepribadian paranoid. Gangguan waham dibedakan dari skizofrenia berdasarkan tidak adanya gejala skizofrenik lain dan kualitas waham yang tidak aneh, pasien dengan gangguan waham juga tidak mengalami gangguan fungsi seperti yang terjadi pada skizofrenia. Gangguan waham tipe somatik dapat menyerupai gangguan depresif atau gangguan somatoform. Tipe somatik pada gangguan waham dibedakan dengan gangguan depresif berdasarkan tidak adanya tanda lain depresi dan tidak adanya kualitas pervasif terhadap depresi. Gangguan wahjam dapat dibedakan dari gangguan somatoform berdasarkan tingkat keyakinan somatik yang dipertahankan pasien. Pasien dengan gangguan somatoform menyadari kemungkinan bahwa mereka tidak mengalami gangguan, sedangkan pasien dengan gangguan waham tidak meragukan keyakinan mereka. Memisahkan gangguan kepribadian paranoid dari gangguan waham memerlukan perbedaan klinis yang kadang-kadang sulit antara kecurigaan yang ekstrim dan waham yang nyata. Umumnya, jika klinisi meragukan bahwa gejala adalah suatu waham, diagnosis gangguan waham sebaiknya tidak dibuat.

2.5. Perjalanan Penyakit 3 Beberapa klinisi dan data penelitian menunjukkan bahwa stresor psikososial yang dapat diidentifikasi sering menyertai munculnya gangguan waham. Sifat stresor dapat sedemikian rupa hingga menimbulkan kecurigaan atau perhatian pada pasien tersebut. Contoh stresor tersebut adalah imigrasi yang baru saja dilakukan, konflik sosial dengan anggota keluarga atau teman, dan isolasi sosial. Awitan mendadak biasanya dianggap lebih sering daripada awitan perlahan. Beberapa klinisi percaya bahwa seseorang dengan gangguan waham mungkin memiliki intelegensia di bawah rata-rata dan bahwa kepribadian pramorbid orang tersebut mungkin ekstrover, dominan, dan hipersensitif. Kecurigaan atau perhatian awal seseorang secara bertahap menjadi rumit, mem butuhkan lebih banyak perhatian orang tersebut, dan akhirnya menjadi waham. Ia mulai bertengkar dengan rekan kerja, mencari perlindungan dari FBI atau polisi, atau mulai mengunjungi banyak dokter umum atau bedah untuk melakukan konsultasi, berkonsultasi dengan penasehat hukum untuk melakukan gugatan, atau mendatangi polisi untuk kecurigaan wahamnya. 2.6. Pengobatan 3 1. Gangguan Waham Gangguan waham umumnya dianggap resisten terhadap pengobatan, dan intervensi sering difokuskan pada penanganan morbi ditas gangguan dengan mengurangi efek waham terhadap kehidupan pasien (dan keluarga). Namun, pada tahun-tahun terakhir, pandangan menjadi kurang pesimistik atau terbatas pada pe rencanaan pengobatan yang efektif untuk keadaan tersebut. Tujuan pengobatan adalah menegakkan diagnosis, memutuskan intervensi yang sesuai, dan menangani komplikasi. Dasar keberhasilan tujuan tersebut adalah hubungan pasien-dokter yang terapeutik dan efektif, yang sebenarnya tidak mudah ditegakkan. Pasien tidak mengeluh mengenai gejala psikiatri dan sering memulai pengobatan berlawanan

dengan keinginannya; bahkan ahli psikiatri dapat ditarik dalam jaringan waham mereka. Pada gangguan waham terinduksi, pasien harus dipisahkan.1 Jika diindikasikan rawat inap. sebaiknya mereka ditempatkan di unit berbeda dan tidak dapat melakukan kontak. Salah satu yang lebih sehat akan berhenti memiliki keyakinan waham (kadang-kadang tanpa intervensi terapeutik lain) pada sekitar 10-40% kasus.4,7 Yang lebih sakit akan tetap memiliki keyakinan yang salah.

2.

Psikoterapi Unsur penting dalam psikoterapi yang efektif adalah menegakkan suatu hubungan

yang menyebabkan pasien mulai mempercayai terapis. Terapi individual tampaknya lebih efektif daripada terapi kelompok; terapi perilaku, kognitif, dan suportif yang berorientasi pemahaman sering efektif. Awalnya, seorang terapis sebaiknya tidak menyetujui maupun menentang waham pasien. Meskipun ahli terapi harus menanyakan waham untuk menegakkan luasnya, pertanyaan persisten mengenai kemungkinan tersebut ada sebaiknya dihindari. Dokter dapat merangsang motivasi pasien agar menerima bantuan dengan menekankan keinginan untuk membantu pasien terhadap ansietas atau iritabiutasnya, tanpa menunjukkan bahwa waham diobati, tetapi terapis sebaiknya tidak mendukung secara aktif gagasan bahwa waham benar-benar ada. Dalam psikoterapi, seorang terapis harus memiliki sikap dapat dipercaya. Terapis sebaiknya tepat waktu dan membuat janji sctcratur mungkin, dengan tujuan mengembangkan hubungan yang kuat dan saling percaya dengan pasien. Kepuasan berlebih sebenarnya meningkatkan kekerasan dan kecurigaan pasien karena akhirnya mereka harus menyadari bahwa tidak semua permintaannya dapat terpenuhi. Terapis dapat menghindari kepuasan berlebih dengan tidak memperpanjang waktu perjanjian yang telah dirancang, dengan tidak memberikan janji lebih kecuali jika sangat diperlukan, dan tidak lunak terhadap biaya. Pendekatan yang berguna dalam membangun persekutuan terapeutik adalah membentuk empati terhadap pengalaman internal pasien yang dipenuhi oleh perasaan dikejar-kejar. Terapis mungkin dapat membantu dengan berkomentar "Anda pasti lelah karena hal yang telah anda lalui". Tanpa menyetujui setiap kesalahan persepsi waham, seorang terapis dapat mengetahui bahwa, dari perspektif pasien, persepsi tersebut menyebabkan keadaan distres. Tujuan akhir adalah membantu pasien meragukan persepsinya Oleh karena kurang kaku, rasa lemah dan inferior, disertai depresi dapat muncul. Bila pasien membiarkan perasaan rentannya masuk ke dalam terapi, gabungan terapeutik positif telah ditegakkan, dan terapi konstruktif menjadi mungkin. Bila ada anggota keluarga, klinisi dapat memutuskan untuk melibatkan mereka dalam rencana pengobatan. Tanpa terlihat sebagai musuh menurut waham pasien, seorang klinisi harus mencoba mencari keluarga yang dapat dijadikan sebagai rekan dalam proses pengobatan. Akibatnya, baik pasien maupun anggota keluarga perlu memahami bahwa ahli terapi mempertahankan kerahasiaan dokter-pasien dan bahwa komunikasi dari keluarga
7

dibahas dengan pasien. Keluarga mungkin beruntung mendapatkan bantuan ahli terapi sehingga mendukung pasien. Hasil terapi yang baik bergantung pada kemampuan seorang psikiater memberikan respons atas ketidakpercayaan pasien terhadap orang lain dan konflik interpersonal, frustasi, dan kegagalan yang terjadi. Tanda pengobatan yang berhasil dapat berapa penyesuaian sosial yang memuaskan bukan pengurangan waham pasien. 3. Rawat Inap di Rumah Sakit Pasien dengan gangguan waham biasanya dapat menjalani pengobatan sebagai pasien rawat jalan, tetapi klinisi harus mempertimbangkan rawat inap untuk beberapa alasan, yakni: a. Pasien mungkin memerlukan evaluasi neurologis dan medis lengkap untuk menentukan apakah keadaan medis nonpsikiatri menyebabkan gejala waham. b. Pasien memerlukan penilaian kemampuan pasien mengontrol impuls Kekerasan, seperti melakukan pembunuhan dan bunuh diri, yang mungkin disebabkan oleh isi waham. c. Perilaku pasien mengenai waham secara signifikan dapat mempengaruhi

kemampuannya berfungsi dalam keluarga atau pekerjaannya, mereka mungkin memerlukan intervensi profesional untuk menstabilkan hubungan sosial atau pekerjaan. Jika seorang dokter yakin bahwa pasien akan menerima peng:obatan terbaik di rumah sakit, maka dokter tersebut harus mencoba membujuk pasien agar mau dirawat di rumah sakit, jika gagal mungkin akan terjadi masalah hukum. Jika seorang dokter meyakinkan pasien bahwa rawat inap tidak dapat dihindarkan. Namun, pasien sering secara sukarela masuk ke Rumah sakit untuk menghindari masalah hukum.

4.

Farmakoterapi Dalam situasi gawat darurat, pasien yang teragitasi berat harus diberikan obat

antipsikotik intramuskulr. Meskipun belum dilakukan uji coba klinis secara adekuat terhadap banyak pasien, sebagian besar klinisi berpikir bahwa obat antipsikotik adalah pengobatan pilihan gangguan waham. Pasien mungkin menolak pengobatan karena dengan mudah dapat memasukkan pemberian obat ke dalam sistem waham mereka, dokter sebaiknya tidak memaksa memberikan obat segera setelah rawat inap tetapi sebaiknya habiskan beberapa hari membina rapport dengan pasien. Dokter harus menjelaskan efek simpang potensial kepada pasien sehingga pasien tidak mencurigai dokter berbohong. Riwayat pasien terhadap respons pengobatan adalah petunjuk terbaik untuk memilih obat. Dokter harus memulai dengan dosis rendah (misalnya, 2 mg haloperidol [Haldol]) dan menaikkan dosis perlahan. Jika seorang pasien gagal memberikan respons terhadap obat pada rentang dosis terapeutik setelah uji coba 6 minggu. obat antipsikotik golongan lain harus diberikan dalam uji coba klinis. Beberapa penelitian mengindikasikan bahwa pimozide (Orap) dapat efektif pada gangguan waham. terutama pada pasien dengan waham somatik. Penyebab lazim kegagalan obat adalah ketidakpatuhan, yang juga harus dievaluasi. Kepatuhan terhadap pemberian obat dipermudah jika pasien menerima psikoterapi secara bersamaan Jika pasien tidak sembuh dengan pengobatan antipsikotik, obat harus dihentikan. Pada pasien yang tidak berespons terhadap obat antipsikotik, beberapa data menunjukkan bahwa dosis rumatan dapat rendah. Meskipun secara esensial tidak ada studi yang mengevaluasi pemakaian antidepresan, litium (Eskalith) atau antikejang (seperi karbamazepin [Tegretol] dan Valproat [Depakenel]) pada pengobatan gangguan waham uji coba dengan obatobatan tersebut dapat dibenarkan pada pasien yang tidak memberikan respons terhadap obat antipsikotik. Uji coba dengan obat tersebut juga harus dipikirkan bila pasien mempunyai gambaran gangguan mood maupun riwayat keluarga yang mengalami gangguan mood.

2.7.

Prognosis 3 Pada 10-40% kasus, Shared Psychotic Disorder dapat sembuh hanya dengan

pemisahan pasien primer dan sekunder tanpa pemberian antipsikotik . 5 Gangguan waham dianggap merupakan diagnosis yang cukup stabil. Kurang dari 25 persen kasus gangguan waham akhirnya didiagnosis sebagai skizofrenia, dan kurang dari 10 persen pasien mengalami gangguan mood. Sekitar 50 persen pasien sembuh dengan follow-up jangka panjang, 20 persen mengalami pengurangan gejala, dan 30 persen tidak mengalami perubahan gejala. Faktor berikut berkorelasi dengan prognosis baik: tingkat pekerjaan, sosial, dan penyesuaian fungsional yang baik, jenis kelamin perempuan, awitan sebelum usia 30, awitan mendadak, durasi penyakit singkat, dan adanya faktor presipitasi. Meskipun data yang dapat diandalkan terbatas, pasien dengan waham kejar, somatik. dan erotik dianggap mempunyai prognosis yang lebih baik daripada pasien dengan waham cemburu dan kebesaran.

10

BAB 3 KESIMPULAN Shared psychotic disorder merupakan kondisi kelainan delusi yang berbagi antara 2 orang atau kadang-kadang lebih dari 2 orang yang memiliki hubungan emosional yang dekat. Shared psychotic disorder memiliki beberapa subtipe, yakni: 1. Subtipe A (folie impose) Delusi yang dialami oleh orang yang mengalami psikosis ditularkan kepada orang dengan mental yang baik. 2. Subtipe B (folie simultane) Kemunculan psikosis yang identik secara simultan terjadi pada 2 individu yang keduanya memiliki hubungan yang sangat akrab. 3. Subtipe C (folie communique) Psikosis muncul pada resipien setelah lama bersama dan menetap bahkan setelah resipien dipisahkan dengan pasangannya. 4. Subtipe D (folie induite) Delusi baru yang diadopsi oleh individu lainnya dengan psikosis. Diagnosis Shared psychotic disorder dapat ditegakkan menggunakan DSM-IV-TR ataupun ICD-10-R. Pengobatan yang dilakukan berupa psikoterapi dengan tujuan menegakkan suatu hubungan yang menyebabkan pasien mulai mempercayai terapis, Rawat inap pada pasienpasien yang memiliki indikasi dilakukan rawat inap serta untuk melakukan obaservasi pada pasien, dan farmakoterapi untuk menghilangkan gejala-gejala psikotik yang ada pada pasien, biasanya dilihat terlebih dahulu riwayat respon pasien terhadap obat antipsikotik, jika memiliki respon yang baik, maka obat tersebut akan digunakan. kriteria

11

DAFTAR PUSTAKA 1. Baron, D., Sholevar, E. 2009. Psychiatry and Behavioral Science. Temple University Press: Philadelphia 2. Saddock, B.J., Saddock, V.A., Pedro, R., 2009. Comprehensive Textbook of Psychiatry 9th ed. Lippincott Williams & Wilkins: USA 3. Saddock, B.J., Saddock, V.A., Pedro, R.2004.Buku ajar Psikiatri Praktis edisi 2. EGC: Jakarta 4. Tasman et al, 2008. Psychiatry 3rd edition. Wiley-Blackwell: England 5. Kay, J., Tasman, A.2006. Essential of Psychiatry. John Wiley & Sons: USA 6. Ebert, M.H., et al. 2000. Current : Diagnosis and Treatment in Psychiatry. Lange: USA 7. Sharon, I. et al. 2011. Shared Psychotic Disorder. Available
[Accessed

from:
on 12

http://emedicine.medscape.com/article/293107-overview#showall. September 2011]

12

Anda mungkin juga menyukai