Dosen pengampu:
Salma, S.Psi., M.Psi.
Disusun oleh:
Ajeng F. Rahadianputri (15000119120076)
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
Maret, 2022
Daftar Isi
II. Permasalahan
Masa kecil Fisher mempengaruhi sifat mudah marah dan pemalunya. Ayahnya
tewas ditembak pacar ayahnya sebelum Fisher lahir. Ibunya yang masih remaja, Eva Mae
Fisher, dipenjara dan melahirkan Fisher disana. Fisher kemudian ditempatkan di panti
asuhan sampai ibunya dibebaskan. Namun, karena tidak dijemput oleh ibunya pada waktu
yang telah ditentukan, Fisher ditempatkan di panti asuhan yang dikelola oleh pasangan
Tuan dan Nyonya Tate pada usia dua tahun. Ny. Tate sangat membenci orang kulit hitam
walaupun mereka sendiri berkulit hitam. Ia seringkali membanding-bandingkan bagian
tubuh Fisher dengan Keith, saudara tirinya yang setengah kulit putih. Fisher menerima
pelecehan fisik dan emosional selama bertahun-tahun di tangan Ny. Tate, dan pelecehan
seksual oleh keponakannya yang sudah dewasa, Nadine. Dia akhirnya meninggalkan panti
asuhan pada usia 14 tahun. Setelah tinggal di jalanan selama beberapa tahun, Fisher
memutuskan untuk bergabung dengan Angkatan Laut AS. Semua trauma ini ditekan oleh
Fisher ke alam bawah sadarnya sehingga menimbulkan masalah baru yaitu displacement,
yaitu mengalihkan perasaan marahnya pada orang lain. Masalah lainnya yang muncul
karena trauma nya adalah masalah interaksi dengan lawan jenis. Fisher seringkali menjaga
jarak dengan lawan jenis dan kurang berhasil dalam menjalin hubungan.
Masalah lainnya adalah Fisher tidak memiliki figur yang dekat dengannya. Fisher
tumbuh di lingkungan dimana orang dewasa adalah orang-orang yang membahayakan
dirinya. Satu-satunya teman yang ia miliki ketika kecil mendapat penolakan dari keluarga
1
asuhnya dan meninggal ditembak karena merampok toko. Hal ini membuat Fisher marah
karena merasa ditinggalkan oleh figur dekatnya.
III. Identitas
A. Identitas Klien
Nama : Antwone Fisher
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Usia : 24 tahun
Pekerjaan : Angkatan Laut Amerika Serikat
Status Pernikahan : Belum Menikah
Jumlah Anak :0
B. Identitas Significant Other
Nama :-
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Pekerjaan : Komandan Angkatan Laut Amerika Serikat
Hubungan dengan klien : Superior-subordinate
2
g. Situasi sosial dan ekonomi klien.
B. Alloanamnesis
Alloanamnesis adalah anamnesis yang langsung ditujukkan kepada atasan klien.
Data yang dibutuhkan pada tahap ini antara lain:
a. Informasi mengenai latar belakang klien,
b. Informasi mengenai kinerja klien,
c. Informasi mengenai hubungan klien dengan rekan kerja dan atasan, serta
d. Informasi mengenai riwayat perilaku agresif klien.
C. Psikotes
Clinician Administered PTSD Scale for DSM-5 (CAPS-5)
Clinician Administered PTSD Scale for DSM-5 (CAPS-5), merupakan pedoman
wawancara semi terstruktur yang menilai gejala Posttraumatic Stress Disorder
(PTSD) sesuai dengan kriteria DSM-5 (Weathers et al., 2013). CAPS-5 dirancang
untuk membuat diagnosis PTSD kategoris, serta memberikan ukuran keparahan gejala
PTSD. Struktur CAPS-5 sesuai dengan kriteria DSM-5, dengan menilai frekuensi dan
intensitas gejala B, C, D dan E yang kemudian dijumlahkan untuk memberikan
peringkat keparahan. CAPS-5 dirancang untuk diadministrasikan oleh dokter dan
peneliti klinis yang memiliki pengetahuan tentang PTSD, tetapi juga dapat
diadministrasikan oleh paraprofessional yang terlatih dengan baik. Pengadministrasian
CAPS-5 membutuhkan waktu 45-60 menit.
Selain menilai 20 gejala PTSD pada DSM-5, pertanyaan menargetkan onset dan
durasi gejala, tekanan subjektif, dampak gejala pada fungsi sosial dan pekerjaan,
peningkatan gejala sejak pemberian CAPS sebelumnya, validitas respons keseluruhan,
keparahan PTSD secara keseluruhan, dan spesifikasi untuk subtipe disosiatif
(depersonalisasi dan derealisasi). Untuk setiap gejala, pertanyaan standar dan probe
disediakan. Administrasi CAPS-5 memerlukan identifikasi peristiwa traumatis sebagai
dasar untuk penyelidikan gejala. The Life Events Checklist for DSM-5 (LEC-5)
direkomendasikan selain pertanyaan Kriteria A yang termasuk dalam CAPS-5.
3
Ada tiga versi CAPS-5 yang dapat digunakan sesuai dengan periode waktu yang
berbeda: past week, past month, dan worst month (lifetime). Status diagnostik PTSD
harus dievaluasi dengan versi CAPS-5 past month (untuk PTSD saat ini) atau bulan
worst month (untuk PTSD seumur hidup). Versi CAPS-5 minggu lalu harus digunakan
hanya untuk mengevaluasi gejala PTSD selama seminggu terakhir.
Informasi skoring untuk CAPS-5 harus ditinjau dengan cermat sebelum
peadministrasian wawancara. Secara singkat, asesor menggabungkan informasi
tentang frekuensi dan intensitas suatu item ke dalam satu peringkat keparahan. Skor
keparahan gejala total CAPS-5 dihitung dengan menjumlahkan skor keparahan untuk
20 gejala PTSD pada DSM-5. Demikian pula, skor keparahan klaster gejala CAPS-5
dihitung dengan menjumlahkan skor keparahan item individual untuk gejala yang
sesuai dengan klaster DSM-5 yang diberikan: Kriteria B (item 1-5); Kriteria C (butir
6-7); Kriteria D (butir 8-14); dan, Kriteria E (item 15-20). Skor klaster gejala juga dapat
dihitung untuk disosiasi dengan menjumlahkan item 19 dan 20.
Diagnosis PTSD pada CAPS-5 dapat ditegakkan jika setidaknya satu gejala kriteria
B terpenuhi, setidaknya satu gejala kriteria C terpenuhi, setidaknya dua gejala kriteria
D terpenuhi, setidaknya dua gejala kriteria E terpenuhi, kriteria F terpenuhi (gangguan
telah berlangsung satu bulan), dan kriteria G terpenuhi (gangguan menyebabkan
penderitaan yang signifikan secara klinis atau gangguan fungsional) (Foa et al., 2016).
Contoh pertanyaan pada CAPS-5: "In the past month, have you had any unwanted
memories of (EVENT) while you were awake, so not counting dreams?"
Untuk menghitung frekuensi, klien mungkin ditanya “In the past month, have you
had any unwanted memories of (EVENT) while you were awake, so not counting
dreams?" atau "How often have you had these memories in the past month?"
Untuk menghitung intensitas, klien mungkin ditanya "How much do these
memories bother you?" dan "Are you able to put them out of your mind and think about
something else?"
Tingkat keparahan PTSD dikategorikan sebagai berikut (Veterans Affairs, 2018):
● 0 = Absen: Klien menyangkal permasalahan atau laporan asesmen
responden tidak sesuai dengan kriteria gejala DSM-5.
4
● 1 = Ringan / subthreshold: Klien menggambarkan masalah yang konsisten
dengan kriteria gejala tetapi tidak cukup parah untuk dianggap signifikan
secara klinis. Permasalahan klien tidak memenuhi kriteria gejala DSM-5
dan dengan demikian tidak diperhitungkan dalam diagnosis PTSD.
● 2 = Sedang / threshold: Klien menggambarkan masalah yang signifikan
secara klinis. Permasalahan klien memenuhi kriteria gejala DSM-5 dan
dengan demikian diperhitungkan dalam diagnosis PTSD. Permasalahan
klien akan menjadi target intervensi. Pada peringkat ini, gejala harus
muncul dalam frekuensi minimal 2 x sebulan atau beberapa waktu (20-30%)
dengan kategori intensitas minimal Clearly Present (jelas hadir).
● 3 = Parah / markedly elevated: Klien menggambarkan masalah yang berada
di atas ambang batas. Permasalahan klien sulit untuk dikelola dan terkadang
berlebihan, dan akan menjadi target intervensi yang utama. Pada peringkat
ini, gejala harus muncul dalam frekuensi minimal 2 x seminggu atau
sebagian besar waktu (50-60%) dengan kategori intensitas minimal
Pronounced.
● 4 = Ekstrim /incapacitating: Klien menggambarkan gejala yang sangat
parah, jauh di atas ambang batas. Permasalahan klien meluas, tidak
terkendali, dan berlebihan, dan akan menjadi target prioritas untuk
intervensi.
5
setiap peristiwa traumatis, responden menilai pengalaman mereka pada skala nominal
5 poin (1 = happened to me; 2 = witnessed it; 3 = learned about it; 4 = not sure; 5 =
doesn’t apply). Dengan demikian, ada kemungkinan untuk mengumpulkan informasi
spesifik tentang PTE yang tidak dapat diperoleh dengan menggunakan pengukuran
trauma lainnya. Pertanyaan-pertanyaan dalam LEC juga dapat digunakan untuk
membandingkan orang dengan berbagai jenis paparan traumatis (yaitu,
menyaksikannya vs mempelajari tentang PTE tertentu). Dalam kasus lain, peneliti atau
psikolog mungkin tertarik tidak hanya pada intensitas paparan traumatis tertinggi
(yaitu, paparan langsung), tetapi juga pada jenis paparan trauma lainnya, sehingga perlu
mengumpulkan data tentang berbagai cara paparan traumatis dalam kasus yang sama.
D. Dokumen
Dokumen yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis untuk klien adalah hasil
psikotes Clinician Administered PTSD Scale for DSM-5 (CAPS-5) dan The Life Events
Checklist for DSM-5 (LEC-5).
V. Hasil Asesmen
Berdasarkan kriteria diagnostik PTSD pada DSM-5, Antwone Fisher memenuhi:
● Kriteria A1, A2, dan A3,
● Kriteria B2 dan B4,
● Kriteria C1 dan C2,
● Kriteria D2, D3, dan D4,
● Kriteria E1 dan E6,
● Kriteria F,
● Kriteria G, dan
● Kriteria H
6
ICD-10-CM DSM-5 Disorder, Condition, or Problem
F43.10 Posttraumatic Stress Disorder
7
DSM-5 menjabarkan kriteria diagnosis PTSD untuk orang dewasa, remaja, dan anak-
anak berusia di atas 6 tahun menjadi:
A. Paparan terhadap kematian atau ancaman kematian, cedera serius, atau kekerasan seksual
dalam satu (atau lebih) cara berikut:
1. Mengalami peristiwa traumatis secara langsung.
2. Menyaksikan secara langsung peristiwa yang terjadi pada orang lain.
3. Mengetahui bahwa peristiwa traumatis terjadi pada anggota keluarga dekat atau
teman dekat. Dalam kasus kematian atau terancam kematian dari anggota keluarga
atau teman, peristiwa tersebut pasti merupakan kekerasan atau tidak disengaja.
4. Mengalami paparan berulang atau ekstrem terhadap detail yang tidak
menyenangkan dari peristiwa traumatis (mis., responden yang pertama yang
mengumpulkan sisa-sisa manusia: petugas polisi yang berulang kali terpapar detail
pelecehan anak).
Catatan: Kriteria A4 tidak berlaku untuk paparan melalui media elektronik,
televisi, film, atau gambar, kecuali paparan ini terkait dengan pekerjaan.
B. Adanya satu (atau lebih) gejala intrusi berikut yang terkait dengan peristiwa traumatis,
dimulai setelah peristiwa traumatis terjadi:
1. Ingatan tidak menyenangkan yang berulang, tidak disengaja, dan mengganggu dari
peristiwa traumatis.
Catatan: Pada anak-anak yang lebih tua dari 6 tahun, tema atau aspek dari
peristiwa traumatis dapat muncul pada permainan yang berulang.
2. Mimpi tidak menyenangkan yang berulang dimana isi dan/atau pengaruh mimpi
tersebut terkait dengan peristiwa traumatis.
Catatan: Pada anak-anak, mungkin ada mimpi menakutkan tanpa konten yang
dapat dikenali.
3. Reaksi disosiatif (misalnya, kilas balik) dimana individu merasa atau bertindak
seolah-olah peristiwa traumatis itu terulang kembali. (Reaksi semacam itu dapat
terjadi pada suatu kontinum, dengan ekspresi yang paling ekstrem adalah hilangnya
kesadaran sepenuhnya terhadap lingkungan saat ini.)
Catatan: Pada anak-anak, peragaan ulang trauma dapat terjadi dalam permainan.
8
4. Tekanan psikologis yang intens atau berkepanjangan saat terpapar isyarat internal
atau eksternal yang melambangkan atau menyerupai aspek dari peristiwa traumatis.
5. Reaksi fisiologis yang ditandai terhadap isyarat internal atau eksternal yang
melambangkan atau menyerupai aspek dari peristiwa traumatis.
C. Penghindaran persisten dari rangsangan yang terkait dengan peristiwa traumatis, dimulai
setelah peristiwa traumatis terjadi, sebagaimana dibuktikan oleh salah satu atau kedua hal
berikut:
1. Penghindaran atau upaya untuk menghindari ingatan, pikiran, atau perasaan yang
menyedihkan tentang atau terkait erat dengan peristiwa traumatis.
2. Penghindaran atau upaya untuk menghindari pengingat eksternal (orang, tempat,
percakapan, aktivitas, objek, situasi) yang membangkitkan ingatan, pikiran, atau
perasaan yang menyedihkan tentang atau terkait erat dengan peristiwa traumatis.
D. Perubahan negatif pada kognisi dan suasana hati yang berkaitan dengan peristiwa
traumatis, dimulai atau memburuk setelah peristiwa traumatis terjadi, sebagaimana
dibuktikan oleh dua (atau lebih) berikut ini:
1. Ketidakmampuan untuk mengingat aspek penting dari peristiwa traumatis
(biasanya karena amnesia disosiatif dan bukan karena faktor lain seperti cedera
kepala, alkohol, atau obat-obatan).
2. Keyakinan atau ekspektasi negatif yang terus-menerus dan berlebihan tentang diri
sendiri, orang lain, atau dunia (misalnya, "Saya jahat," "Tidak ada yang bisa
dipercaya," 'Dunia ini benar-benar berbahaya, ""Seluruh sistem saraf saya hancur
secara permanen ”).
3. Kognisi yang terus-menerus dan terdistorsi tentang penyebab atau konsekuensi dari
peristiwa traumatis yang menyebabkan individu menyalahkan dirinya sendiri atau
orang lain.
4. Keadaan emosi negatif yang persisten (mis., takut, ngeri, marah, bersalah, atau
malu).
5. Berkurangnya minat atau partisipasi secara nyata dalam aktivitas yang signifikan.
6. Perasaan terlepas atau terasing dari orang lain.
9
7. Ketidakmampuan yang terus-menerus untuk mengalami emosi positif (misalnya,
ketidakmampuan untuk mengalami kebahagiaan, kepuasan, atau perasaan cinta).
E. Perubahan nyata dalam ketertarikan dan reaktivitas yang terkait dengan peristiwa
traumatis, yang dimulai atau memburuk setelah peristiwa traumatis terjadi, sebagaimana
dibuktikan oleh dua (atau lebih) berikut ini:
1. Perilaku mudah tersinggung dan ledakan kemarahan (dengan sedikit atau tanpa
provokasi) biasanya diekspresikan sebagai agresi verbal atau fisik terhadap orang
atau objek.
2. Perilaku sembrono atau merusak diri sendiri.
3. Kewaspadaan yang berlebihan.
4. Respon kaget yang berlebihan.
5. Masalah dengan konsentrasi.
6. Gangguan tidur (mis., kesulitan jatuh atau tetap tertidur atau tidur gelisah).
Tentukan apakah:
Terdapat gejala disosiatif: Gejala individu memenuhi kriteria gangguan PTSD, sebagai
respons terhadap stresor, individu mengalami gejala persisten atau berulang dari salah satu dari
berikut ini:
1. Depersonalisasi: Pengalaman merasa terpisah yang terus-menerus atau berulang, dan
seolah-olah dirinya adalah pengamat dari luar, proses mental atau tubuh dirinya sendiri
(misalnya, merasa seolah-olah berada dalam mimpi; merasakan perasaan tidak nyata
tentang diri atau tubuh atau waktu bergerak lambat).
2. Derealisasi: Pengalaman yang terus-menerus atau berulang dari ketidaknyataan
lingkungan (misalnya, dunia di sekitar individu dialami sebagai tidak nyata, seperti mimpi,
jauh, atau terdistorsi).
10
Catatan: Untuk menggunakan subtipe ini, gejala disosiatif tidak boleh disebabkan oleh
efek fisiologis suatu zat (misalnya, pingsan, perilaku selama keracunan alkohol) atau
kondisi medis lain (misalnya, kejang parsial kompleks).
Tentukan bila:
Terdapat ekspresi tertunda (delayed expression): Jika kriteria diagnostik lengkap tidak
terpenuhi sampai setidaknya 6 bulan setelah kejadian (walaupun awitan dan ekspresi beberapa
gejala mungkin segera terjadi).
Hal-hal terkait yang mendukung diagnosis PTSD termasuk regresi perkembangan, seperti
dapat terjadinya kehilangan bahasa pada anak-anak (American Psychiatric Association, &
American Psychiatric Association, 2013). Halusinasi semu auditori, seperti memiliki pengalaman
indrawi mendengar pikiran seseorang yang diucapkan oleh satu atau lebih suara yang berbeda,
serta ide paranoid yang dapat hadir. Setelah peristiwa traumatis yang berkepanjangan, berulang,
dan parah (misalnya, pelecehan masa kanak-kanak, penyiksaan), individu mungkin juga
mengalami kesulitan dalam mengatur emosi atau mempertahankan hubungan interpersonal yang
stabil, atau gejala disosiatif. Ketika peristiwa traumatis diakhiri oleh peristiwa kematian yang
kejam, gejala kehilangan yang bermasalah dan PTSD mungkin ada.
PTSD dapat terjadi pada semua usia, dimulai setelah tahun pertama kehidupan (American
Psychiatric Association, & American Psychiatric Association, 2013). Gejala biasanya mulai
muncul dalam 3 bulan pertama setelah trauma, meskipun mungkin ada penundaan berbulan-bulan,
atau bahkan bertahun-tahun, sebelum kriteria diagnosis terpenuhi. Ada banyak bukti untuk apa
yang disebut DSM-IV sebagai "delayed onset" tetapi sekarang disebut "delayed expression",
dengan pengakuan bahwa beberapa gejala biasanya muncul segera dan penundaan itu memenuhi
kriteria penuh.
Seringkali, reaksi individu terhadap trauma awalnya memenuhi kriteria untuk acute stress
disorder (ACD) segera setelah trauma. Gejala PTSD dan dominasi relatif dari gejala yang berbeda
dapat bervariasi dari waktu ke waktu. Durasi gejala juga bervariasi, dengan pemulihan lengkap
dalam waktu 3 bulan terjadi pada sekitar setengah dari orang dewasa, sementara beberapa individu
tetap bergejala selama lebih dari 12 bulan dan kadang-kadang selama lebih dari 50 tahun.
Kekambuhan dan intensifikasi gejala dapat terjadi sebagai respons terhadap pengingat trauma asli,
11
stresor kehidupan yang sedang berlangsung, atau peristiwa traumatis yang baru dialami. Untuk
individu yang lebih tua, kesehatan yang menurun, fungsi kognitif yang memburuk, dan isolasi
sosial dapat memperburuk gejala PTSD.
Individu yang terus mengalami PTSD hingga usia tua dapat mengekspresikan lebih sedikit
gejala hyperarousal, penghindaran, dan kognisi negatif dan suasana hati dibandingkan dengan
orang dewasa yang lebih muda dengan PTSD, meskipun orang dewasa yang lebih tua yang
terpapar peristiwa traumatis selama kehidupan selanjutnya mungkin menunjukkan lebih banyak
penghindaran, hyperarousal, masalah tidur, dan mantra menangis daripada orang dewasa muda
yang terkena peristiwa traumatis yang sama. Pada individu yang lebih tua, gangguan ini dikaitkan
dengan persepsi kesehatan yang negatif, pemanfaatan perawatan primer, dan ide bunuh diri.
Faktor risiko (dan protektif) dari PTSD umumnya dibagi menjadi faktor pra-trauma, peri-
trauma, dan pasca-trauma (American Psychiatric Association, & American Psychiatric
Association, 2013).
1. Faktor pra-trauma
● Temperamental. Termasuk masalah emosional masa kanak-kanak pada usia 6 tahun
(misalnya, paparan traumatis sebelumnya, masalah eksternalisasi atau kecemasan) dan
gangguan mental sebelumnya (misalnya, gangguan panik, gangguan depresi, PTSD, atau
gangguan obsesif-kompulsif [OCD]).
● Environmental. Termasuk status sosial ekonomi yang lebih rendah; pendidikan rendah;
paparan trauma sebelumnya (terutama selama masa kanak-kanak); kesulitan masa kanak-
kanak (misalnya, kekurangan ekonomi, perselisihan keluarga, perpisahan orang tua atau
kematian); karakteristik budaya (misalnya, strategi coping fatalistik atau menyalahkan diri
sendiri); kecerdasan yang lebih rendah; status ras/etnis minoritas; dan riwayat psikiatri
keluarga. Dukungan sosial sebelum paparan peristiwa traumatis bersifat protektif.
● Genetic & physiological. Termasuk jenis kelamin perempuan dan usia yang lebih muda
pada saat paparan trauma (untuk orang dewasa). Genotipe tertentu mungkin bersifat
protektif atau meningkatkan risiko PTSD setelah terpapar peristiwa traumatis.
2. Faktor peri-trauma
● Environmental. Termasuk tingkat keparahan (dosis) trauma (semakin besar trauma,
semakin besar kemungkinan PTSD), ancaman kehidupan yang dirasakan, cedera pribadi,
kekerasan interpersonal (terutama trauma yang dilakukan oleh pengasuh atau melibatkan
12
ancaman terhadap pengasuh yang disaksikan anak-anak), dan, bagi personel militer,
menjadi pelaku, menyaksikan kekejaman, atau membunuh musuh. Akhirnya, disosiasi
yang terjadi selama trauma dan menetap setelahnya merupakan faktor risiko.
3. Faktor pasca-trauma
● Temperamental. Termasuk penilaian negatif, strategi koping yang tidak tepat, dan
perkembangan ACD.
● Environmental. Termasuk paparan berulang berikutnya yang menjadi pengingat
pengalaman traumatis, peristiwa kehidupan yang merugikan berikutnya, dan kerugian
finansial atau trauma terkait lainnya. Dukungan sosial (termasuk stabilitas keluarga, untuk
anak-anak) merupakan faktor protektif yang memoderasi hasil setelah trauma.
B. Analisis Kasus
Berdasarkan kriteria diagnostik PTSD pada DSM-5, Antwone Fisher memenuhi:
● Kriteria A1, A2, dan A3. Semasa kecil, Fisher mengalami kekerasan fisik, verbal,
dan seksual secara langsung yang dilakukan oleh ibu asuh dan sepupu ibu asuhnya.
Fisher juga menyaksikan secara langsung bagaimana saudara-saudara tirinya
menerima kekerasan fisik dari ibu asuh mereka. Ketika remaja, Fisher menyaksikan
teman dekatnya tewas ditembak ketika merampok sebuah toko. Fisher juga
mempelajari bahwa ayahnya tewas karena ditembak oleh salah satu mantan pacar
ayahnya dua bulan sebelum dirinya lahir.
● Kriteria B2 dan B4. Pada adegan pembukaan film, Fisher bangun dari tidurnya
yang gelisah karena bermimpi mengenai kejadian traumatis yang dialami semasa
kecil. Mimpi ini kemudian menjadi internal cue yang membuat suasana hati fisher
tidak baik. Penampilan fisiknya sebagai african-american juga menjadi external
cue, dibuktikan saat ia merasa sangat marah ketika salah satu rekan kerjanya
mencoba berbicara dengannya dengan mengatakan “what’s with your face?” tanpa
bermaksud menjadi rasis. Namun, Fisher menganggap rekannya mengeluarkan
cacian rasis. External cue lainnya adalah hal-hal yang berkaitan dengan
seksualitasnya. Hal ini dibuktikan pada adegan ketika Fisher menjadi sangat marah
ketika rekan kerjanya mempertanyakan seksualitasnya dan memanggilnya dengan
sebutan “faggot” yang berarti pria homoseksual.
13
● Kriteria C1 dan C2. Fisher tidak ingin berbicara mengenai dirinya dan masa
lalunya selama satu bulan pertama sesi konseling dengan psikiaternya. Ia akhirnya
membuka diri dan mulai bercerita agar tidak perlu datang lagi untuk konseling.
Fisher juga sempat menolak ketika psikiaternya menyarankan untuk mencari
keluarga aslinya. Fisher juga menolak ketika disarankan oleh pacarnya untuk
menemui keluarga asuhnya untuk menemukan keluarga aslinya.
● Kriteria D2, D3, dan D4. Ketika psikiaternya menyatakan bahwa sesi konseling
Fisher telah usai, Fisher menunjukkan rasa marah dan berkata bahwa “I keep on
trusting people and they keep on leaving me” dan merasa menyesal telah
mempercayai orang lain, dalam hal ini adalah psikiaternya. Kemudian ia bercerita
mengenai teman baiknya, Jesse, yang tewas ditembak ketika merampok sebuah
toko. Fisher mengaku bahwa ia merasa marah karena Jesse meninggalkannya
sendirian.
● Kriteria E1 dan E6. Fisher dijatuhi hukuman berupa penurunan pangkat, didenda,
dilarang memasuki kapal selama 45 hari, dan diperintahkan untuk mendapatkan
treatment dari psikiatris karena memukuli salah satu rekan kerjanya yang berusaha
berbicara dengannya. Ia juga pernah dijebloskan kedalam penjara karena memukuli
rekan kerjanya yang mempertanyakan seksualitasnya. Pada awal film, Fisher
digambarkan gelisah ketika tidur sebelum bangun karena mimpi yang
mengingatkannya pada pengalaman traumatis nya di masa kecil.
● Kriteria F. Fisher meninggalkan panti asuhan pada usia 14 tahun. Di dalam film,
Fisher berusia 24 tahun, dimulai ketika musim panas (dinilai dari kostum yang
digunakan oleh para aktor) dan berakhir setelah thanksgiving pada musim gugur.
Dengan demikian, gangguan pada kriteria B, C, D, dan E terjadi selama lebih dari
satu bulan.
● Kriteria G. Gejala-gejala yang muncul mengganggu kehidupan sosial Fisher
karena ia menjadi tidak membaur dengan rekan-rekan kerjanya dan mengalami
kesulitan untuk mendekati wanita yang ia sukai. Fisher juga diturunkan pangkatnya
karena serangan fisik yang ia lakukan kepada rekan kerjanya.
● Kriteria H. Gejala-gejala yang muncul pada Fisher bukan merupakan efek obat-
obatan atau kondisi medis lainnya.
14
Tidak ditemukan gejala disosiatif dan delayed expression pada Fisher. Namun, Fisher
mengalami kesulitan dalam mengatur emosi atau mempertahankan hubungan interpersonal yang
stabil. Hal ini digambarkan melalui hubungannya dengan rekan kerjanya yang akur namun mudah
bertengkar karena Fisher diingatkan kepada pengalaman traumatis nya.
Faktor risiko (dan protektif) dari PTSD yang dapat ditemukan pada kasus Fisher yaitu:
1. Faktor pra-trauma
● Temperamental. Termasuk paparan pada peristiwa traumatis di masa kecil.
● Environmental. Termasuk status sosial ekonomi menengah kebawah; paparan trauma
sebelumnya; kesulitan masa kanak-kanak berupa kekurangan ekonomi dan
ketidakhadiran figur orang tua; status ras/etnis sebagai african-american; dan
dukungan sosial (bersifat protektif) dari teman dekat.
2. Faktor peri-trauma
● Environmental. Termasuk tingkat keparahan (dosis) trauma yang besar dan kekerasan
interpersonal yang dilakukan oleh pengasuh.
4. Faktor pasca-trauma
● Temperamental. Termasuk penilaian negatif terhadap dunia.
● Environmental. Termasuk paparan berulang berikutnya yang menjadi pengingat
pengalaman traumatis serta dukungan sosial dari psikiater dan kekasih sebagai faktor
protektif.
15
5. Tidak lagi menghindari orang, tempat, kegiatan, dan benda yang mengingatkan pada
peristiwa traumatis.
16
(Marks et al., 1998; Kubany et al., 2004; Ehlers et al. , 2005 dalam Watkins, Sprang, &
Rothbaum, 2018).
CBT telah terbukti lebih efektif daripada wait-list, terapi suportif, dan buklet self-
help (Power et al., 2002; Blanchard et al., 2003; Ehlers et al., 2003 dalam Watkins, Sprang,
& Rothbaum, 2018). Jonas et al. (2013) menemukan bahwa CBT berhasil menghilangkan
diagnosis PTSD pada 61% hingga 82,4% pesertanya dan peserta CBT lebih banyak
kehilangan diagnosis PTSD daripada peserta wait-list therapy dan peserta konseling
suportif sebanyak 26%.
Pada kasus ini, akan digunakan Trauma Focused-Cognitive Behavioral Therapy
(TF-CBT). TF-CBT adalah model psikoterapi yang ditujukan untuk seseorang yang
mengalami masalah emosional dan perilaku klinis yang signifikan terkait peristiwa
traumatis yang mereka alami. Tujuan dari TF-CBT ini adalah untuk membantu klien dalam
menghadapi peristiwa traumatis yang dialami, mengatasinya secara efektif, dan
mengintegrasikan peristiwa traumatis tersebut ke dalam riwayat hidup mereka untuk
kemudian menjadi modal dalam melanjutkan hidup. Terdapat beberapa komponen TF-
CBT yang disingkat menjadi PRACTICE yaitu diantaranya adalah Psychoeducation,
Relaxation, Affective Identification and Regulation, Cognitive coping, In vivo mastery,
Conjoint Caregiver-Client sessions, dan Enhancing safety and Future Development.
17
C. Prosedur Pelaksanaan Intervensi
4. Penutupan sesi
18
3 Mengidentifikasi 75’ 1. Klien dapat mengidentifikasi 1. Pembukaan sesi terapi
perasaan dan Regulasi emosi yang mereka rasakan dari
2. Terapis menelaah
emosi trauma yang dialami
kembali kejadian traumatis
2. Klien dapat mengelola emosi dan menanyakan perasaan
yang dihasilkan klien
3. Terapis memvalidasi
perasaan klien
4. Terapis membantu
klien dalam mengelola dan
meregulasi emosi yang
ditimbulkan
5. Penutupan sesi
19
4 Koping kognitif dan 60’ 1. Klien memahami pemikiran 1. Pembukaan sesi terapi
relaksasi kognisi yang tepat
2. Terapis menjelaskan
2. Klien memahami dan mampu mengenai kognisi yang tepat
melakukan koping kognitif dan berguna
5. Terapis memberikan
teknik relaksasi (teknik
pernapasan dan relaksasi
otot) untuk menghadapi
emosi yang muncul
6. Terapis memberikan
self-report kepada klien
untuk mengetahui
implementasi teknik yang
dipelajari pada sesi ini
7. Penutupan sesi
20
5 Membuat narasi trauma 75’ 1. Klien dapat mengurangi 1. Pembukaan sesi terapi
bayangan mengerikan atau
2. Terapis menanyakan
menyakitkan dari kejadina
dan mengevaluasi mengenai
traumatis yang dialami
self-report dari sesi
2. Klien mampu menghadapi sebelumnya
situasi dan hal-hal yang berkaitan
3. Terapis memancing
dengan kejadian traumatis
klien untuk menceritakan
3. Klien mampu kejadian traumatis
mengidentifikasi perasaan yang
4. Terapis membantu
dirasakan dan mengklasifikasikan
mengidentifikasi pemikiran
perasaan tersebut apakah harus
yang perlu dan tidak perlu
dipertahankan atau tidak
5. Terapis memberi
apresiasi terhadap klien
6. Penutupan sesi
21
6 Membuat narasi trauma 75’ 1. Klien menumbuhkan emosi 1. Pembukaan sesi terapi
dan memproses trauma yang lebih sehat
2. Terapis meninjau
bagian 2
2. Mengurangi kecemasan pada kembali alur cerita dari sesi
klien sebelumnya
5. Terapis memberikan
apresiasi kepada klien
6. Penutupan sesi
22
7 Membuat narasi trauma 75’ 1. Klien menumbuhkan emosi 1. Pembukaan sesi terapi
dan memproses trauma yang lebih sehat
2. Terapis meninjau
bagian 3
2. Mengurangi kecemasan pada kembali alur cerita dari sesi
klien sebelumnya
4. Terapis memberikan
self-report kepada klien
mengenai perilaku dan
pemikiran
5. Terapis memberikan
apresiasi kepada klien
6. Penutupan sesi
23
8 Membuat narasi trauma 75’ 1. Klien menumbuhkan emosi 1. Pembukaan sesi terapi
dan memproses trauma yang lebih sehat
2. Terapis menanyakan
bagian 4
2. Mengurangi kecemasan pada dan mengevaluasi mengenai
klien self-report dari sesi
sebelumnya
3. Klien lebih terbuka dalam
menceritakan kejadian traumatis 3. Terapis memeriksa
kembali kepercayaan dan
emosi klien terkait kejadian
traumatis dan membantu
untuk mengidentifikasi
kembali kepercayaan yang
tidak tepat
4. Terapis memberikan
self-report kepada klien
mengenai perilaku dan
pemikiran
5. Terapis memberikan
apresiasi kepada klien
6. Penutupan sesi
24
9 Penutupan sesi 60’ 1. Klien dapat memahami apa 1. Pembukaan sesi terapi
konseling dan Evaluasi yang didapatkan selama proses
2. Terapis mengeveluasi
konseling
self-report yang sudah diisi
2. Klien memiliki keyakinan oleh klien
akan perubahan dari dirinya
3. Terapis menekankan
3. Klien mampu adanya perubahan positif
mengimplementasikan hal yang pada klien
bermanfaat dari proses konseling
4. Terapis mengapresiasi
klien
5. Penutupan sesi
X. Rancangan Evaluasi
Evaluasi akan diberikan kepada klien dalam bentuk self-report setelah menyelesaikan sesi
terapi tertentu untuk mengetahui perubahan perilaku dan kognisi klien. Kemudian, dapat meminta
feedback dari klien dan orang-orang yang berada di dekat klien untuk mengetahui apakah terdapat
perbedaan perilaku klien setelah menjalani proses intervensi. Evaluasi juga dilakukan guna
mengetahui apakah tujuan intervensi telah tercapai.
25
Daftar Pustaka
American Psychiatric Association, & American Psychiatric Association. (2013).
Diagnostic and statistical manual of mental disorders: DSM-5. Arlington, VA
Berghuis, D. J., Peterson, L. M., & Bruce, T. J. (2014). The Complete Adult Psychotherapy
Treatment Planner: Includes DSM-5 Updates (Vol. 296). John Wiley & Sons.
Ehlers, A., and Clark, D. M. (2000). A cognitive model of posttraumatic stress disorder. Behav.
Res. Ther. 38, 319–345. doi: 10.1016/S0005-7967(99)00123-0
Ferry, E., Retno, I., & Gading, E. A. (2019). Modul Penelitian Trauma Focused Cognitive
Behavior Therapy (TF-CBT) Untuk Lanjut Usia Di Daerah Pasca Bencana.
Foa, E. B., McLean, C. P., Zang, Y., Zhong, J., Rauch, S., Porter, K., ... & Kauffman, B. Y.
(2016). Psychometric properties of the Posttraumatic Stress Disorder Symptom Scale
Interview for DSM–5 (PSSI–5). Psychological Assessment, 28(10), 1159.
Jonas, D. E., Cusack, K., Forneris, C. A., Wilkins, T. M., Sonis, J., Middleton, J. C., et al.
(2013). Psychological and Pharmacological Treatments for Adults With Posttraumatic
Stress Disorder (PTSD): Comparative Effectiveness Review No. 92. (Prepared by the RTI
International-University of North Carolina Evidence-Based Practice Center Under
Contract No. 290-2007-10056-I). AHRQ Publication No. 13-EHC011-EF. Rockville,
MD: Agency for Healthcare Research and Quality.
Rzeszutek, M., Lis-Turlejska, M., Palich, H., & Szumiał, S. (2018). The Polish adaptation of the
Life Events Checklist (LEC-5) for PTSD criteria from DSM-5. Psychiatr Pol, 52(3), 499-
510.
Watkins, L. E., Sprang, K. R., & Rothbaum, B. O. (2018). Treating PTSD: A review of
evidence-based psychotherapy interventions. Frontiers in behavioral neuroscience, 12,
258.
Weathers, F. W., Blake, D. D., Schnurr, P. P., Kaloupek, D. G., Marx, B. P., & Keane, T. M.
(2013). The Life Events Checklist for DSM-5 (LEC-5) – Standard. [Measurement
instrument]. Available from https://www.ptsd.va.gov/
Weathers, F. W., Bovin, M. J., Lee, D. J., Sloan, D. M., Schnurr, P. P., Kaloupek, D. G., ... &
Marx, B. P. (2018). The Clinician-Administered PTSD Scale for DSM–5 (CAPS-5):
Development and initial psychometric evaluation in military veterans. Psychological
assessment, 30(3), 383.
26
World Health Organization. (1992). The ICD-10 classification of mental and behavioural
disorders: clinical descriptions and diagnostic guidelines. World Health Organization.
VA.gov: Veterans Affairs. (2018, September 24). Retrieved from
https://www.ptsd.va.gov/professional/assessment/adult-int/caps.asp
VandenBos, G. R. (2015). APA dictionary of clinical psychology. American Psychological
Association.
27
Lampiran 1
Be sure to consider your entire life (growing up as well as adulthood) as you go through the list
of events.
Fire or explosion
Transportation accident
(for example, car
accident, boat accident,
train wreck, plane crash)
Exposure to toxic
substance (for example,
28
dangerous chemicals,
radiation
Other unwanted or
uncomfortable sexual
experience
Combat or exposure to a
war-zone (in the
military or as a civilian)
29
Life-threatening illness
or injury
30