Anda di halaman 1dari 22

Qiraat Al-Quran Dan Para Ahlinya

Qiraat adalah jamak dari qiraah, yang berarti bacaan, dan ia adalah masdar (verbal noun) dari qaraa. Menurut istilah ilmiah, qiraat adalah salah satu mazhab (aliran) pengucapan Quran yang dipilih oleh salah seorang imam ahli qiaraat sebagai suatu mazhab yang berbeda dengan mazhab lainnya. Qiraat ini ditetapkan berdasarkan sanad-sanadnya sampai kepada Rasulullah. Periode qurra (ahli atau imam qiraat) yang mengajarkan bacaan Quran kepada orang-orang menurut cara mereka-mereka masing adalah dengan berpedoman kepada masa para sahabat. Diantara para sahabat yang terkenal mengajar qiraat ialah Ubai ra, Ali bin Abi Thalib ra, Zaid ra, Ibn Masud ra dan Abu Musa al Ansary ra serta masih banyak lagi yang lainnya. Dari mereka itulah sebagian besar sahabat dan tabi`in di berbagai negeri belajar qiraat. Mereka itu semuanya bersandar kepada Rasulullah. Az Zahabi menyebutkan di dalam kitab Tabaqatul Qurra, bahwa sahabat yang terkenal sebagai guru dan ahli qiraat Quran ada tujuh orang, yaitu : 1. Usman bin Al-`Affan ra 2. Ali bin Abi Thalib ra 3. Ubai bin Kaab ra 4. Zaid bin Haritsah ra 5. Abu Darda ra 6. Abu Musa al Anshary ra. 7. Ibnu Mas`ud ra. Lebih lanjut ia menjelaskan, segolongan besar sahabat mempelajari qiraat dari Ubai, diantaranya Abu Hurairah, Ibn Abbas, dan Abdullah bin Sa`id, Ibn Abbas belajar pula kepada Zaid. Kemudian kepada para sahabat itulah sejumlah besar tabiin disetiap negri mempelajari qiraat. Diantara para tabiin tersebut ada yang tinggal di Madinah yaitu Ibnul Musayyab, Urwah, Salim, Umar bin Abdul Aziz, Sulaiman dan Ata- keduanya putra Yasar-, Muaz bin Haris yang terkenal dengan Muaz al Qari, Abdurrahman bin Hurmuz al Araj, Ibn Syihab az Zuhri, Muslim bin Jundab dan Zaid bin Aslam. Yang tinggal di Mekkah ialah : Ubaid bin Umar, Ata, bin Abu Rabah, Tawus, Mujahid, Ikrimah dan Ibn Abu Malikah. Tabiin yang tinggal di Kuffah ialah : Alqamah, al Aswad, Masruq, Ubaidah, Amr, bin Syurahbil, al Haris bin Qais, Amr bin Maimun, Abu abdurahman as Sulami, Said bin Jubair, an Nakhai, dan as Syabi.

Yang tinggal di Basyrah ialah : Abu Aliyah, Abu Raja, Nasr bin Asim, Yahya bin Yamar, al Hasan, Ibn Sirin dan Qatadah. Sedang yang tinggal di Syam ialah : al Mughirah bin Abu Syihab al Makhzumi-murid Usman, dan Khalifah bin Sad- sahabat Abu Darda. Pada permulaan abad pertama Hijrah dimasa tabiin, tampilah sejumlah ulama yang membulatkan tenaga dan perhatiannya terhadap masalah qiraat secara sempurna karena keadaan menuntut demikian, dan menjadikannya sebagai suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri sebagaimana mereka lakukan terhadap ilmu-ilmu syariat yang lainnya, sehingga mereka menjadi imam dan ahli qiraat yang diikuti dan dipercaya. Bahkan dari generasi ini dan generasi sesudahnya terdapat tujuh orang terkenal sebagai imam yang kepada mereka dihubungkan;ah (dinisbahkanlah) qiraat hingga sekarang ini. Para qiraat tersebut di madinah ialah : Abu Jafar Yazid bin Qaqa, kemudian Nafi bin Abdurrahman, ahli qiraat di mekkah ialah : Abdullah bin Kasir dan Humaid bin Qais al Araj. Di Kufah ialah : Asim bin Abu Najud, Sulaiman al Amasy, kemudian Hamzah dan kemudian al Kisai. Di Basrah ialah : Abdullah bin Abu Ishaq,, Isa Ibn Amr, , Abu Amar Ala, Asim al Jahdari dan Ya;kub al Hadrami. Dan di Syam ialah : Abdullah bin Amir, Ismail bin Abdullah bin Muhajir, kemudian Yahya bin Haris dan kemudian Syuraih bin Yazid al Hadrami. Ketujuh orang yang terkenal sebagai ahli qiraat diseluruh dunia diantara nama-nama tersebut ialah Abu Amr, Nafi , Asim, Hamzah, al KisaI, Ibn Amir dan Ibn Kasir. Qiraat-qiraat itu bukanlah tujuh huruf- sebagaimana yang dimaksdkan dalam hadis pada bab diatasmenurut pendapat yang paling kuat. Meskipun kesamaan bilangan diantara keduanya mengesankan demikian. Sebab qiraat-qiraat hanya merupakan madzhab bacaan quran para imam, yang secara ijma masih tetap exis dan digunakan umat hingga kini. Dan sumbernya adalah perbedaan langgam, cara pengucapan dan sifatnya, seperti : tafkhim, tarqiq, imalah, idgham, izhar, isyba, madd, qasr, tasydid, takhfif dan lain sebagainya. Namun semuanya itu hanya berkisar dalam satu huruf, yaitu huruf quraisy. Sedangkan maksud tujuh huruf adalah berbeda dengan qiraat, seperti yangvtelah kita jelaskan. Dan persoalannya sudah berakhir sampai pada pembacaan terakhir ( al Urdah al Akhirah), yaitu ketika wilayah expansi bertambah luas dan ikhtilaf tentang huruf-huruf itu menjadi kekhawatiran bagi timbulnya fitnah dan kerusakan, sehingga para sahabata pada masa Usman terdorong untuk mempersatukan umat islam pada satu huruf, yaitu huruf quraisy, dan menuliskan mushaf-mushaf dengan huruf tersebut sebagaimana telah kita jelaskan. Popularitas Tujuh Imam Qiraat Imam atau guru qiraat itu cukup banyak jumlahnya, namun yang populer hanya tujuh orang. Qiraat tujuh orang imam ini adalah qiraat yang telah disepakati. Akan tetapi disamping itu para ulama memilih pula tiga orang imam qiraat yang qiraatnya dipandang sahih dan mutawatir. Mereka adalah Abu Jafar Yazin bin Qaqa al Madani, Yakub Bin Ishaq al Hadrami dan Khalaf bin Hisyam. Ketiga imam

terakhir ini dan tujuh imam diatas dikenal dengan imam qiraat. Dan qiraat diluar yang sepuluh ini dipandang qiraat syaz. Seperti qiraat Yazidi, Hasan, Amasy, Ibn Jubair dan lain-lain. Meskipun demikian, bukan berarti tidak satupun dari qiraat sepuluh dan bahkan qiraat tujuh yang masyhur itu terlepas dari kesyazan, sebab didalam qiraat-qiraat tersebut masih terdapat juga beberapa kesyazan sekalipun hanya sedikit. Pemilihan qurra (ahli qiraat) yang tujuh itu dilakukan oleh para ulama terkemudian pada abad ketiga hijri. Bila tidak demikian maka sebenarnya para imam yang dapat mempertanggungjawabkan ilmunya itu cukup banyak jumlahnya. Pada abad permulaan kedua umat islam di Basrah memilih qiraat Ibn Amr dan Yakub; di Kufah orang-orang memilih qiraat Hamzah dan Asim; di Syam mereka memilih qiraat Ibn Amir; di mekkah mereka meilih qiraat Ibn Kasir, dan di madinag memilih qiraat Nafi. Mereka itulah tujuh orang qari, tetapi pada permulaan abad ke tiga Abu Bakar bin Mujahid menetapkan nama al KisaI dan membuang nama Yakub dari kelompok tujuh huruf tersebut. Berkata as Suyuti : Orang pertama yang menyusun kitab tentang qiraat ialah Abu Ubaid al Qasim bin Salam, kemudian Ahmad bin Jubair al Kufi, kemudian Ismail bin Ishaq al Maliki, murid Qalun, kemudian Abu Jafar bin Jarir at Tabari, kemudian Abu Bakar Muhammad bin Ahmad bin Umar ad Dajuni. Kemudian Abu Bakar bin Mujahid. Kemudian pada masa Ibn Mujahid ini dan sesudahnya, tampulah para ahli yang menyusun buku mengenai berbagai macam qiraat, baik yang mencakup qiraat maupun tidak, secara singkat maupun panjang lebar. Imam-imam qiraat itu sebenarnya tidak terhitung jumlahnya. Hafizul islam Abu Abdullah Az Zahabi telah mentusun tabaqat (sejarah hidup) mereka, kemudian diikuti pula oleh Hafizul Qurra Abul Khair bin Jaziri. Imam Ibn Jaziri didalam an Nasyr mengemukakan, Imam pertama yang dipandang telah menghimpun bermacam-macam qiraat dalam satu kitab adalah Abu Ubaid al Qasim Ibn Salam. Menurut perhitunganku, ia mengumpulkan dua puluh lima orang ulama ahli qiraat selain yang tujuh itu. Ia wafat pada 224. kemudian al Jaziri mengatakan pula, sesudah itu, Abu Bakar Ahmad bin Musa bin Abbas bin Mujahid merupakan orang pertama yang membatasi hanya pada qiraat tujuh imam saja. Ia wafat pada 324. selanjutnya ia mengatakan, kami mendapat berita dari sebagian orang yang tidak berpengetahuan bahwa qiraat yang benar ialah qiraat-qiraat yang berasal dari tujuh imam. Bahkan dalam pandangan sebagian besar orang yang jahil, qiraat-qiraat yang benar itu hanyalah yang terdapat didalam asySyatibiyyah dan at-Taisir. Sebab-sebab mengapa hanya tujuh imam qiraat saja yang masyhur pada hal masih banyak imam-imam qirat lain yang lebih tinggi kedudukannya atau setingkat dengan mereka dan jumlahnya pun lebih dari tujuh, ialah karena sangat banyaknya periwayat qiraat mereka. Ketika semangat dan perhatian para generasi sesudahnya menurun, mereka lalu berupaya untuk membatasi hanya pada qiraat yang sesuai dengan khat mushaf serta dapat mempermudah penghafalan dan pen-dabi-tan qiraatnya. Langkah yang ditempuh generasi penerus ini ialah memperhatikan siapa diantara ahli qiraat itu yang lebih populer kredibilitas dan amanahnya, lamanya waktu dalam menekuni qiraat adan adanya kesepakatn untuk diambil serta dikembangkan qiraatnya. Kemudian dari setiap negeri dipilihlah seorang imam. Tetapi tanpa mengabaikan penukilan qiraat imam diluar yang tujuh orang itu, seperti qiraat Yakub al Hadrami, Abu Jafar al Madani, Syaibah bin Nassa dsb.

Para penulis kitab tentang qiraat telah memberikan andil besar dalam membatasi qiraat pada jumlah tertentu, sebab pembatasannya pada sejumlah imam qiraat tertentu tersebut, merupakan faktor bagi popularitas mereka padahal masih banyak qari-qari lain yang lebih tinggi kedudukannya dari mereka. Dan ini menyebabkan orang menyangka bahwa para qari yang qiraat-qiraatnya dituliskan itulah imam-imam qiraat terpercaya. Ibn Jabr al Makki telah menyusun sebuah kitab tentang qiraat, yang hanya membatasi hanya pada lima orang qari saja. Ia memilih seorang Imam dari setiap negeri, dengan pertimbangan bahwa mushaf yang dikirimkan Usman kenegeri-negeri itu hanya lima buah. Sementara itu seebuah pendapat mengatakan bahwa Usman mengirimkan tujuh buah mushaf; lima buah seperti ditulis oleh al makki ditambah satu mushaf ke Yaman dan satu mushaf lagi ke Bahrain. Akan tetapi kedua mushaf terakhir ini tidak terdengar kabar beritanya. Kemudian Ibn Mujahid dan lainnya berusaha untuk menjaga bilangan mushaf yang disebarkan Usman tersebut. Maka dari mushaf Bahrain dan mushaf Bahrain itu mereka mencantumkan pula ahli qiraatnya untuk menyempurnakan jumlah bilangan (tujuh). Oleh karena itu, para ulama berpendapat bahwa berpegang pada qiraat tujuh ahli qiraat itu, tanpa yang lain, tidaklah berdasarkan pada asar maupun sunah.sebab jumlah itu hanyalah hasil usaha pengumpulan oleh beberapa orang terkemudian, yang kemudian kumpulan tersebut tersebar luas. Seandainya Ibn Mujahid menuliskan pula qari itupun akan terkenal pula. Abu Bakar Ibnul Arabi berkata : Penentuan ketujuh orang qari ini tidak dimaksudkan behwa qiraat yang boleh dibaca itu hanya terbatas tujuh sehingga qiraat yang lainnya tidak boleh dipakai, seperti qiraat Abu Jafa, Syaibah, al Amasyi dll. Karena para qari ini pun kedudukannya sama dengan tujuh atau bahkan lebih tinggi, pendapat ini dikatakan pula oleh banyak ahli qiraat lainnya. Abu Hayyan berkata : Dalam kitab karya Ibn Mujahid dan orang yang mengikutinyasebenarnya tidak terdapat qiraat yang masyhur, kecuali sedikit sekali. Sebagai misal Abu Amr Ibnul Ala, ia terkenal mempunyai tujuh belas perawi-kemudian disebutkanlah nama-nama mereka itu. Tetapi dalam kitab Ibn Mujahid hanya disebutkan al Yazidi, dan dari al Yazidi inipun diriwayatkan oleh sepuluh orang perawi. Maka bagaimana ia dapat merasa cukup dengan hanya menyebutkan as Susi dan ad Dauri, padahal keduanya tidak mempunyai kelebihan apa-apa dari yang lain ? sedang para perawi itu sama dalam tingkat ke-dabit-an, keahlian dan kesetaraannya untuk diambil. Dan katanya pula: aku tidak mengetahui alasan sikap Ibn Mujahid ini selain dari kurangnya ilmu pengetahuan yang dimilikinya, Macam-macam Qiraat, Hukum dan Kaidahnya Sebagian ulama menyebutkan bahwa qiraat itu ada yang mutawatir, ahad dan syaz. Menurt mereka, qiraat mutawatir ialah qiraat yang tujuh, sedang qiraat ahad ialah tiga qiraat yang menggenapkannya menjadi sepuluh qiraat ditambah qiraat pra sahabat, dan selain itu adalah qiraat syaz. Dikatakan, bahwa qiraat yang sepuluh adalah dalam hal ini baik dalam qiraat yang termasuk qiraat tujuh, qiraat sepuluh maupun lainnya adalah dabit atau kaidah tentang qiraat yang sahih. Abu Syamah dalam al Mursyidul Wajiz mengungkapkan, tidak sepantasnya kita tertipu oleh setiap qiraat yang disandarkan kepada salah satu ahli qiraat tujuh dengan menyatakannya sebagai qiraat yang sahih (benar) dan seperti itulah qiraat tersebut diturunkan kecuali bila qiraat itu telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam dabit. Dengan begitu, maka seorang penyusun tidak seyogyanya hanya memindahkan (menukil) qiraat yang dikatakannya berasal dari seorang imam tersebut tanpa menukil qiraat dari yang lain, atau khusus

hanya menukilkan qiraat dari imam tujuh orang saja. Tetapi hendaknya ia menukilkan semua qiraat berasal dari qurra lain. Cara demikian ini tidak mengeluarkan sesuatu qiraat dari kesahihannya. Sebab, yang menjadi pedoman ialah terpenuhinya sifat-sifat atau syarat-syarat , bukan siapa yang kepadanya qiraat itu dihubungkan. Hal ini karena qiraat yang dihubungkan kepada stiap qari yang tujuh atau yang lain itu, ada yang disepakati (mujma alaih) da ada pula yang syaz. Hanya saja karena popularitas qari yang tujuh dan banyaknya qiraat mereka yang telah disepakati kesahihannya maka jiwa merasa lebih tenteram dan cenderung menerima qiraat yang berasal darimereka melebihi qiraat yang bersumber dari qari-qari lainnya. Menurut mereka, dabit atau kaidah qiraat yang sahih adalah sebagai berikut: 1. Kesesuaian qiraat tersebut sesuai dengan kaidah bahasa arab sekalipun dalam satu segi, baik segi itu fasih ataupun lebih fasih, sebab qiraat adalah sunah yang harus diikuti, diterima apa adanya dan menjadi rujukan dengan berdasarkan pada isnad, bukan rayu (penalaran). 2. Qiraat sesuai dengan salah satu mushaf Usmani, sekalipun hanya mendekati saja. Sebab dalam penulisan mushaf-mushaf itu para sahabat teah bersungguh-sungguh dalam membuat rasm (cara ppenulisan mushaf) sesuai dengan bermacam-macam dialek qiraat yang mereka ketahui. Misalnya mereka akan menuliskan asshiratha dalam ayat ihdinassirathalmustaqim (al Fatihah: 6) dengan shad sebagai ganti dari sin. Mereka tidak menuliskan sin yakni assiratha. Meskipun dalam satu segi berbeda dalam satu rasm. Namun qiraat dengan sin pun telah memenuhi atau sesuai dengan bahasa asli lafaz tersebut yang dikenal, sehingga kedua bacaan itu dianggap sebanding. Dan bacaan isymam untuk itupun dimungkinkan pula. Yang dimaksud dengan sesuai yang hanya sekadar mendekati saja (muwafaqah ihtimaliyah) adalah seperti contoh diatas. Misal yang lainnya seperti Maalikiyaumiddin (al Fatihah: 4), lafal Maliki dituliskan dalam semua mushaf dengan membuang Alif, sehingga dibaca sesuai dengan rasm secara tahqiq (jelas) dan dibaca pula Maliki sesuai dengan rasm secara ihtimal (kemungkinan). Dan demikian pula contoh yang lain. Contoh qiraat-qiraat yang berbeda tetapi sesuai dengan rasm secara tahqiq adalah Talamuun, dengan Ta dan Ya. Juga Yaghfirlakum dengan Ya dan nun dan lain-lain. Kekosongan rasm dari titik dan dan syakal baik ketika dihilangkan maupun ketika ditetapkan merupakan bukti betapa tingginya para sahabat dalam ilmu ejaan khususnya dan dalam pemahaman yang cemerlang terhadap kajian setiap ilmu. Dalam menentukan qiraat yang sahih tidak disyaratkan qiraat itu harus sesuai dengan semua mushaf, cukup dengan apa yang tedapat dalam sebagian mushaf saja. Misalnya qiraat Ibn Amr Wabizzuburi wabalkitabi (Ali-Imran: 184) dengan menetapkan Ba pada kedua lafaz itu, qiraat ini dipandang sahih karena yang demikian ditetapkan pula dalam mushaf Syami. 3.Qiraat itu harus sahih isnadnya, sebab qiraat merupakan sunah yang diikuti yang didasarkan pada keselamatan penukilan dan kesahihan riwayat. Sering kali ahli bahasa arab mengingkari sesuatu qiraat

hanya karena qiraat itu tidak sejalan dengan aturan atau lemah menurut kaidah bahasa, namun demikian para imam qiraat tidak menanggung beban apapun atas keingkaran mereka itu. Itulah syarat-syarat yang ditentukan dalan dabit bagi qiraat yang sahih. Apa bila ketiga syarat ini yang terpenuhi, yaitu: 1) sesuai dengan bahasa arab 2) sesuai degan rasm mushaf dan 3) sahih sanadnya, maka qiraaat tersebut adalah qiraat yang sahih. Dan bila salah satu syarat atau lebih tidak terpenuhi maka qiraat itu dinamakan qiraaat yang lemah, syaz atau batil. Yang mengherankan ialah bahwa sebagian ahli nahwu masih juga menyalahkan qiraat sahih yang telah memenuhi ayarat-syarat tersebut, hanya semata-mata qiraat tersebut bertentangan dengan kaidah ilmu nahwu yang mereka jadikan tolok ukur bagi kesahihan bahasa. Seharusnya qiraat yang sahih itu dijadikan sebagai hakim atau pedoman bagi kaidah-kaidah nahwu dan kebahasaan, bukan sebaliknya, menjadikan khaidah ini sebagai pedoman bagi quran. Hal ini karena quran adalah sumber pertama dan pokok bagi pengambilan kaidah-kaidah bahasa, sedang quran sendiri didasarkan pada kesahihan, penukilan dan riwayat yang menjadi landasan para Qari; bagaimanapun juga adanya. Ibn Jaziri ketika memberikan komentar terhadap syarat pertama kaidah qiraaat yang sahih ini menegaskan, kata-kata dalam kaidah diatas meskipun hanya dalam satu segi, yang kami maksudkan adalah satu segi dari ilmu nahwu, baik segi itu fasih maupun lebih fasih, disepakati maupun diperselisihkan. Sedikit berlawanan dengan kaidah nahwu tidaklah mengurangi kesahihan, sesuatu qiraat jika qiraat tersebut telah tersebar luas, populer dan diterima para imam berdasarkan isnad yang sahih, sebab hal terakhir inilah yang menjadi dasar terpenting dan sendi paling utama. Memang, tidak sedikit qiraat yang diingkari oleh ahli nahwu atau sebagian besar mereka, tetapi keingkaran mereka iti tidak perlu dihiraukan. Seperti mensukunkan Baari kum dan Ya murkum mengkhafadkan Walarham , menasabkan Liyujzi ya qauman dan memisahkan antara mudhaf dengan mudhaf ilaih, seperti dalam ayat Qatlu aula dahum syuraka ihim dan sebagainya; Berkata Abu Amr ad Dani, para imam qiraat tidak memperlakukan sedikitpun huruf-huruf quran menurut aturan yang paling populer dalam dunia kebahasaan dan paling sesuai dengan kaidah bahasa arab, tetapi menurut yang paling mantap (tegas) dan sahih dalam riwayat dan penukilan. Karena itu bila riwayat itu mentap maka, aturan kebahasaan dan popularitas bahasa tidak bisa menolak atau mengingkarinya, sebab qiraat adalah sunah yang harus diikuti dan wajib diterima seutuhnya serta dijadikan sumber acuan. Zaid bin Sabit berkata qiraat adalah sunah muttabaah, sunah yang harus diikuti. Baihaqi menjelaskan maksud perkataan tersebut ialah bahwa mengikuti orang-orang sebelum kita dalam hal qiraat quran merupakan sunah atau tradisi yang harus diikuti, tidak boleh menyalahi mushaf dan merupakan imam dan tidak pula menyalahi qiraat-qiraat yang masyhur, meskipun tidak berlaku dalam bahasa arab. Sebagian utama menyimpulkan macam-macam qiraat menjadi enam macam : 1. Mutawatir ; yaitu qiraat yang dinukil oleh sejumlah besar periwayat yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, dari sejumlah orang yang seperti itu dan sanadnya bersambung hingga penghabisannya, yakni Rasulullah. Dan inilah yang umum dalam hal qiraat.

2. Masyhur, yaitu qiraat yang sahih sanadnya, tetapi tidak mencapai derajat mutawatir, sesuai dengan kaidah bahasa arab dan rasm Usmani serta terkenal pula dikalangan para ahli qiraat, sehingga karenanya tidak dikategorikan qiraat yang salah atau syaz. Para ulama menyebutkan bahwa qiraat semacam ini termasuk qiraat yang dapat diapakai atau digunakan. 3. Ahad, yaitu qiraat yang sahih sanadnya tetapi menyalahi rasm Usmani, menyalahi kaidah bahasa arab atau tidaj terkenal seperti halnya qiraat masyhur yang telah disebutkan. Qiraat macam ini tidak termasuk qiraat yang dapat diamalkan bacaannya. Diantara contohnya ialah seperti yang diriwayatkan dari Abu Bakrah, bahwa Nabi membaca Mutta kiina ala rafa rifa khudrin wa aba qariya hisanin (ar Rahman : 76) dan yang diriwayatkan dari Ibn Abbas bahwa ia membaca Laqad ja akum rasulun min anfusikum (at Taubah :128), dengan membaca fathah huruf Fa. 4. Syaz, yaitu qiraat yang tidak sahih sanadnya, sepeti qiraat arab Malaka yaumad daini (al Fatihah: 4), dengan bentuk fil madi dan menasabkan Yauma. 5. Maudu, yaitu qiraat yang tidak ada asalnya. 6. Mudraj, yaitu yang ditambahkan kedalam qiraat sebagai penafsiran, seerti qiraat Ibn Abbas; Laisa alaikum junahun an tabtaghu fadlan min rab bakum fi mawasimil hajja faidzak fad tum min arafatin (al Baqarah :198). . kalimat fi mawasimil hajja adalah penafsiran yang disisipkan kedalam ayat. Keenam macam terakhir ini tidak boleh diamalkan bacaannya. Jumhur berpendapat bahwa qiraat yang tujuh itu mutawatir. Dan yang tidak mutawatir, seperti Masyhur, tidak boleh dibaca didalam maupun diluar salat. An-Nawawi dalam kitab beliau Al-Majmu` Syarh Al Muhazzab berkata: qiraat yang syaz tidak boleh dibaca baik di dalam maupun diluar salat, karena ia bukan quran. Quran yang ditetapkan dengan sanad yang mutawatir, sedang qiraat yang syaz tidak mutawatir. Orang yang berpendapat selain ini adalah salah satu jahil. Seandainya seseorang menyalahi pendapat ini dan membaca dengan qiraat yang syaz, maka ia harus diingkari baik bacaab itu didalam maupun diluar salat. Para fuqaha bagdad sepakat bahwa orang yang membaca quran dengan qiraat yang syaz harus disusruh bertobat. Ibn Abdil Barr menukilkan ijma kaum muslimin bahwa quran tidak boleh dibaca dengan qiraat yang syaz dan juga tidak syah salat di belakang orang yang membaca quran dengan qiraat-qiraat yang syaz itu. 1. Menunjukkan betapa terjaga dan terpeliharanya kitab Allah dari perubahan dan penyimpangan pada hal kitab ini mempunyai sekian banyak segi bacaan yang berbeda-beda. 2. Meringankan umat islam dan memudahkan mereka untuk membaca quran. 3. Bukti kemukjizatan quran dari segi kepadatan makna (Ijaz)nya, karena setiap qiraat menunjukkan sesuatu hukum syara tertentu tanpa perlu pergulangan lafaz. Misalnya ayat Wam sahu bi ruu sikum wa arjulikum ila kabaini (al Midah:6) dengan m,enasbkan dan mengkhafadkan kata Waarjulikum. Dalam qiraat yang menasabkan dalam penjelasan qiraat dengan jar (khafad) menjelaskan hukum dengan alasan lafaz itu di athafkan kepada ma;mul fiil masaha Wa am sahu

biruusikum waarjulikum dengan demikian, maka kita dapat menyimpulkan dua hukum tanpa berpanjang lebar kata. Inilah sebagian makna kemukjizatan quran dari segi kepadatan maknanya. 4. Penjelasan terhadap apa yang mungkin masih global dalam qiraat lain.misalnya, lafaz yathhurna dalam ayat Wala taq rabu hunna hatta yathhurna (al Baqarah: 222), yang dibaca dengan tasydid, yaththharna dan takhfif yath hurna. Qiraat dengan tasydid menjelaskan makna qiraat dengan tahfif, sesuai dengan pendapat jumhur ulama. Karena itu isteri yang haid tidak halal dicampuri oleh suaminya. Karena telah suci dari haid, yaitu terhentinya darah haid, sebelum isteri tersebut bersuci dari air. Dan qiraat Fam dzu ila dzikrillah menjelaskan arti yang dimaksud qiraat Fas aw yaitu pergi, bukan berjalan cepat- dalam firmanNya : Ya ayyuhall ladzina amanu idza nu diya ti lissalati min yaumil jumati fas aw ila dzikrillah ( al Maidah: 38) sebagai ganti kata Aidiya huma juga menjelaskan tangan mana yang harus dipotong. Demikian pula qiraat Wallahu akhun aw ukhtun min umma falikulla wahidin min humas sudusu (an Nisa; 12) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan saudara dalam ayat tersebut adalah saudara lakilaki seibu. Oleh karena itu para ulama mengatakan bahwa dengan adanya perbedaan qiraat, maka timbulah perbedaan dalam hukumnya. Berkata Abu Ubaidah dalam fadailul quran, : maksud qiraat yang syaz ialah ; menafsirkan qiraat yang masyhur dan menjelaskan makna-maknanya. Misalnya qiraat Aisyah dan Hafsah Washalatil wustha shalatil ashri(al Bqarah:238). Qiraat Ibn Mausud Faqthau aimana huma (al Maidah:38), dan qiraat Jabir Fainnallaha min badi ikri hinna lahunna ghafururrahim (an Nur: 33) katanya pula : huruf-huruf (qiraat) ini dan yang serupa dengannya telah menjadi penafsiran quran. Qiraat- penafsiran- ini adalah diriwayatkan dari tabiin dan kemudian dianggap baik. Maka bagaimana pula bila yang demikian itu diriwayatkan dari tokoh-tokoh sahabat dan bahkan kemudian menjadi bagian dari suau qiraat ? tentu hal ini lebih baik dan labih kuat dari pada sekedar tafsir. Setidak-tidaknya, manfaat yang dapat dipetik dari huruf-huruf ini ialah pengetahuan tentang tawil yang benar (sahih). Ketujuh imam qiraat yang masyhur dan disebutkan secara khusus oleh Abu Bakar bin Mujahid karena menurutnya mereka adalah ulama yang terkenal hafalan, ketelitian dan cukup lama menekuni dunia qiraat serta telah disepakati untuk diambil dan dikembangkan qiraatnnya adalah : 1. Abu Amirbin Ala Beliau seorang guru besar para perawi. Nama lengkapnya adalah Zabban bin Ala bin Amr Al Mazini Al Basri. Ada yang mengataklan bahwa namanya adalah Yahya. Juga dikatakan bahwa nama aslinya adalah Kunyah-nya itu. ia wafat di Kufah 154 H. dan dua orang perawinya adalah ad Dauri dan as Susi. Ad-Dauri adalah Abu Umar Hafs bin Umar bin Abdul Aziz adDauri anNahwi. Ad Dauri nama tempat di Bagdad. Ia wafat pada 264 H.

As-Susi adalah Abu Syuaib Salih bin Ziyad bin Abdullah asSusi. Ia wafat pada 261 H. 2. Ibn Kasir. Nama lengkapnya Abdullah bin Kasir al Makki. Dia termasuk seorang tabiin dan wafat dimekkah tahun 120 H. dua orang perawinya ialah al Basyi dan qunbul. Al Bazi adalah Ahmad bin Muhammad bin Abdullah bin Abu Baza, muadzin di mekkah dia diberi kunyah Abu Hasan. Dan wafat di mekkah pada 250 H. Sedang Qunbul adalah Muhammad bin Abdurrahman bin Muhammad bin Khalid bin Said al Makki al Makhzumi, ia diberi kunyah Abu Amr dan diberi julukan (panggilan) Qunbul. Dikatakan bahwa ahlul bait di Mekah ada yang dikenal dengan nama Qanabailah. Ia wafat di mekkah pada 291 H. 3. Nafi al Madani. Nama lengkapnya adalah Abu Ruwain Nafi bin Abdrrahman bin Abu Nuaim al Laisi, berasal dari sifahan, dan wafat di madinah pada 169 H. Dua orang perawinya ialah Qalun dan Warasy. Qalun ialah Isa bin Munya al Madani. Ia adalah seorang guru bahasa arab yang mempunyai kunyah Abu Musa dan mempunyai julukan Qalun. Diriwayatkan bahwa Nafi memberinya nama panggilan Qalun karena keindahan suaranya. Sebab kata Qalun dalam bahasa rumawi berarti baik. Ia wafat dimedinah pada 220 H. Sedang Warasy ialah Usman bin Said al Misry. Ia diberi kunyah Abu Said dan diberi julukan Warasy karena teramat putihnya. Ia wafat di Mesir 198 H. 4. Ibn Amir asy Syami. Nama lengkapnya ialah Abdullah bin Amir al Yahsubi, seorang qadi (hakim) didamaskus pada masa pemerintahan Walid bin Abdul Malik. Nama panggilanya adalah Abu Imran, ia termasuk seorang tabiin. wafat didamaskus pada 118 H. Dua orang perawinya ialah Hisyam dan Ibn Zakwan. Hisyam ialah Hisyam bin Imar bin Nusair, qadi Damaskus. Ia diberi kunyah Abul Walid. Dan wafat pada 245 H. Sedang Ibn Zakwan adalah Abdullah bin Ahmad bin Basir bin Zakwan al Qurasyi ad Dimasyqi. Ia diberi kunyah Abu Amr. Dilahirkan pada 173 H. dan wafat di Damaskus pada 242 H. 5. `Asim al Kufi. Ia adalah Asim bin Abu Najud, dan dinamakan pula Abu Bahdalah, Abu Bakar. Ia termasuk seorang tabiin, dan wafat di kufah pada 128 H. dua orang perawinya ialah Syubah dan Hafs. Syubah ialah Abu Bakar Syubah bin Abbas bin Salim al Kufi. Wafat 193 H.

Sedang Hafs adalah Hafs bin Sulaiman bin Mughirah al Bazzaz al Kufi. Nama pangilannya adalah Abu Amr, ia adalah orang terpercaya. Menurut Ibn Muin, ia lebih pandai qiraatnya dari pada Abu Bakar. Wafat pada 180 H. 6. Hamzah AlKufi. Ia adalah Hamzah bin Habib bin Imarah Az Zayyat al Fardi at Taimi. Ia diberi kunyah Abu Imarah. Dan wafat di Halwan pada masa pemerintahan bu Jafar al Mansyur tahun 156 H. Dua orang perawinya ialah Khalaf dan Khalad. Khalaf ialah Khalaf bin Hisyam al Bazzaz. Ia diberi kunyah Abu Muhhamad. Wafat dibagdad 229 H. Sedang Khalad adalah Khalad bin Walid,dn dikatakan pula Ibn Khalid as Sairafi al Kufi. Ia diberi kunyah Abu Isa, wafat 220 H. 7. Al Kisai Al-Kufi Beliau adalah Ali bin Hamzah. Seorang imam ilmu nahwu di Kufah. Ia diberi kunyah Abul Hasan. Dinamakan dengan al Kisai karena ia memakai kisa disaat ihram. Ia wafat di Barnabawaih, sebuah perkampungan di Ray, dalam perjalanan menuju Khurasan bersama arRsyid pada 189 H. Dua orang perawinya adalah Abul Haris dan Hafs ad Dauri. Abul haris adalah al Lais bin Khalid al Bagdadi, wafat pada 240 H. Sedang Hafs ad Dauri adalah juga perawi Abu Amr yang telah disebutkan terdahulu. Adapun ketiga imam qiraat yang menyempurnakan imam qiraat tujuh, menjadi sepuluh ialah : 8. Abu Jafar al Madani. Beliau adalah Yazid bin Qaqa, wafat dimadinah pada 128 H. dan dikatakan pula 132 H. Dua orang perawinya ialah Ibn Wardan dan Ibn Jimaz. Ibn Wardan adalah Abul Haris Isa bin Wardan al Madani, wafat dimadinah pada awal 160 H. Sedang Ibn Jimaz adalah Abur Rabi Sulaiman bin Muslim bin Jimas al Madani, wafat pada akhir 170 H. 9. Ya`kub al Basyri. Beliau adalah Abu Muhhammad Ya;kub bin Ishaq bin Zaid al Hadrami, wafat di basrah pada 205 H, tetapi dikatakan pula 185 H. Dua orang perawinya ialah Ruwais dan Rauh. Ruwais adalah Abu Abdullah Muhammad bin Mutawakkil al LuluI al Basyri. Ruwais adalah julukannya, wafat di Basrah pada 238 H. Sedang Rauh adalah Abul Hasan Rauh bin Abdul Mumin al Basri an Nahwi, wafat pada 234 H atau 235 H. 10. Khalaf.

Beliau adalah Abu Muhammad Khalaf bin Hisyam bin Salab al Bazar al Baghdadi, ia wafat pada 229 H, tetapi dikatakan pula bahwa tahun kewafatannya tidak diketahui. Dua orang perawinya ialah Ishaq dan Idris. Ishaq adalah Abu Ya;kub Ishaq bin Ibrahim bin Usman al Waraq al Marwazi kemudian al Bagdadi. Wafat pada 286 H. Sedang Idris adalah Abul Hasan Idris bin Abdul Karim al Bagdadi al Haddad. Ia wafat pada hari Idul adha 292 H. Sebagian ulama menambahkan pula empat qiraat kepada yang sepuluh itu, keempat qiraat itu adalah : 1. Qiraat al Hasanul Basri, maula (mantan sahaya) kaum anshar dan kaum tabiin besar yang terkenal dengan kezuhudannya.wafat pada 110 H. 2. Qiraat Muhammad bin Abdurrahman yang dikenal dengan Ibn Muhaisin, wafat pada 123 H. dan ia adalah syaikh. Guru Abu Amr. 3. Qiraat Yahya bin Mubarak al Yazidi an Nahwi dari Bagdad. Ia mengambil qiraat dari Abu Amr dan Hamzah, dan ia adalah syaikh atau guru ad Dauri dan as Susi. Wafat pada 202 H. 4. Qiraat Abul Faraj Muhammad bin Ahmad asy Syanbusy, wafat 388 H.

Diskusi Kelas Mata Kuliah Studi Al-Quran Semester Satu Program Pascasarjana

A. Latar Belakang Sesungguhnya agama islam adalah agama yang dibangun di atas fondasi wahyu, dan wahyu merupakan hal yang bersandar pada qiraah. Maka turunya wahyu pertama kepada Rasulullah SAW di gua Hira dimulai dengan surat al alaq. ???????? ???????? ??????? ??????? ?????? ??? ?????? ?????????? ???? ?????? ??? ???????? ???????? ?????????? ??? ??????? ?????? ???????????? ??? Dalam hal ini, menurut Sheikh Abu Hasan Ali Husni al-Nadawi , bahwa agama islam memang dirancang oleh Allah SWT agar perhatian dan kepedulian pembawa (penganutnya)-nya terfokus pada qiraah al-Sahifah yang diturunkan dari langit yang merupakan penutup semua kitab suci, memelihara dan membacanya, menyempurnakan bacaaan dan memperbaikinya, menjaga akurasi (dabt) dan tahqiq, sehingga terjagalah kebenaran, detil dan keamanahan dalam mentransmisinya dari generasi ke generasi dan dari zaman ke zaman.

Demikianlah Al-Quran dibaca sekarang seperti dibaca di zaman Rasulullah SAW, dimana detil bacaan dari linat, tafkhimat, tarqiqot, imalat, al-Ishmam, wasal dan waqaf terpelihara sebagaimana adanya, laksana kaset rekaman. Sebuah kondisi yang tidak dialami oleh sahifah samawiyyah, kitab insani , atau agama apapun selama sejarah manusia dari dahulu hingga sekarang. Maka ketika dakwah, perkembangan dan jangkauan Islam mulai meluas, Rasulullah SAW memberdayakan para sahabatnya untuk mengajari masyarakat yang tinggal di wilayah luar Mekkah. Seperti halnya untuk wilayah Yastrib, Rasulullah SAW mengutus Musab bin Umair dan Ibn Ummi maktun ke Yastrib (madinah) untuk berdakwah dan mengajari komunitas wilayah tersebut tentang AlQuran sebagai petunjuk dan way of life. Pada periode Madinah, kemudian kota Mekah dapat ditaklukkan, Rasulullah SAW meminta Muadh bin Jabal untuk berdiam di sana mengajari masyarakat Mekkah Al-Quran. Begitu juga halnya saat Islam telah berhasil memasuki wilayah Sham, Umar bin al-Khattab bersama Muadh dan Abu al-Darda diutus ke daerah ini untuk menyebarkan agama Islam. Dan di zaman Khalifah Umar bin al-Khattab, ia mengutus Ibn Masud sebagai muqri di wilayah Kufah. Pada era madinah ini, di saat wilayah sudah mekar dan kehidupan semakin kompleks lahirlah kelompok-kelompok yang menekuni bacan Al-Quran dan mempeljari kandungan isinya. Ketika aktivitas seperti ini terus berkembang terminology qurra muncul sebagai sebutan lain bagi kelompok-kelompok diatas. Menjelang pertengahan abad pertama islam, kota Kufah popular setelah Madinah - sebagai tempat berseminya imu-ilmu pengetahuan tenang Al-Quran, dan secara khusus adalah Ilmu Qiraat. BAB II Pembahasan A. Pengertian Qiraat Qiraat ( ?????) secara etimologi adalah bentuk jama dari qiraah (?????) yang merupakan bentuk masdar dari qaraa (????) yang berarti membaca. Adapun secara istilahiy, qiraat punya beberapa pengertian. Pertama, berarti suatu mazhab dari berbagai mazhab cara membaca Al-Quran oleh seorang imam dari para imam qiraat (aimmah al-qurra) dengan sanad-sanad yang kuat kepada Rasulullah SAW dan berbeda dari yang lainnya. Kedua, ilmu tentang kaifiyyah, fungsi kalimat-kalimat dalam Al-Quran dan perbedaannya yang dapat dikaitkan kepada pembawanya. Ketiga, ilmu untuk mengetahui kesepakatan pembaca dan pembawa Al-Quran dan perbedaan mereka dalam hadhaf, ithbat , tahrik, taskin, fasal, wasal, dan lain-lain yang berkenaan dengan pengucapan, penggantian al-ibdal (????????) dan lainnya dari aspek pendengaran.

Keempat, cara pengucapan lafaz-lafaz Al-Quran baik yang disepakati ataupun yang diperselisihkan, dinisbah-kan kepada Imam qiraat dan diperoleh berdasarkan periwayatan yang sahih dari Nabi Muhammad SAW. B. Qiraat di Zaman Rasulullah Suatu hal yang selalu dialami oleh setiap bidang ilmu adalah development process dari yang sangat sederhana kemudian berkembang dan berkembang. Begitu juga halnya dengan ilmu Qiraat yang tentu bermula dari zaman Rasulullah SAW, kendati belum berbentuk formatnya kini yang telah dibukukan sedemikian sempurna. Yang ada ketika itu adalah bentuk dasarnya berupa al-Qiraah, al-Iqra, alAkhdhu, al-Arad dan al-Riwayah. Yang menjadi kelebihan dari ilmu ini bahwa ia didukung oleh wahyu pertama yang turun kepada Rasulullah SAW yang membawa kalimat al-qiraah. Para ahli sejarah menyebutkan bahwa orang yang pertama kali menuliskan ilmu qiraah adalah Imam Abu Ubaid al-Qasim bin Sallam (w.224 H). Ia menulis sebuah kitab berjudul al-Qiraah yang menghimpun qiraah, setidak-tidaknya, dari 25 orang perawi. Latar belakang antusias ulama ahli qiraah memelihara qiraah yang diriwayatkan, menurut Ibnul Jazary, karena pada abad tiga belas hijriah kebohongan semakin meluas, sedangkan ilmu mengenai al-Quran dan as-Sunnah telah banyak melahirkan cabangcabang ilmu. Suasana qiraah yang biasa terjadi di zaman Rasulullah SAW, sebagaimana dikatakan oleh Ibn alJaziri:Ada yang menghafal Al-Quran secara keseluruhan dan diantara mereka (sahabat) ada yang hafal sebagaian saja. Menurut al-Imam Abu Ubaid al-Qasim bin Slaam dibukunyaAl-Qiraat yang juga menegaskan tentang keberadaan qiraah diantara para shaabt, ia menyebutkan nama-nama Abu Bakar, Uthman, Ali, Talhah, Saad, Ibn Masud, Hudhaifah, Salim, Abu Hurairah, Ibn Umar, Ibn Abbas, Amr bin al-As, Abdullah, Muawiyah, Ibn Zubair, Abdullah bin al-Saib, Aishah, Hafsah dan Ummu Slamah. Kesemuanya dari kaum Muhajirin. Adapun dari pihak Ansar adalah Ubay bin Kaab, Muadh bin Jabal, Abu al-Darda, Zaid bin Thabit, Abu Zaid, Majma bin Jariyah dan Anas bin Malik. Menurut Abu Muhammad Makki bahwa hal ini menjadi indikator skala keperdulian para sahabat terhadap ilmu qiraah. Dan bukti lain dari itu bahwa al-Bukhari secara pribadi memberi bab tersendiri bagi para qurra dari para sahabat Rasulullah SAW. Begitu juga dengan Ibn Hajar yang menjelaskan makna qurra yaitu mereka yang mashur dengan hafalan Al-Quran dan mengajarkannya.

C. Sabat Ahruf Allah telah mensyaratkan kepada umatnya untuk membaca Al-Quran dan menghafalnya. Dia telah meringankan umat-Nya untuk membaca Al-Quran dengan tujuh huruf yang menurut Abdul Samad alTabari adalah Shafin kafin. Imam Bukhari, Muslim, NasaI, Tirmidzi, Abu Dawud, dan Malik meriwayatkan hadis dari Umar bin Khattab r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda : ??? ??? ? ???? ??? ???? ???? ? ??? : ?? ??? ?????? ???? ??? ???? ???? ?? ?????? ???? ????

Artinya : Rasulullah SAW bersabda : Bahwa sesungguhnya Alquran itu diturunkan dengan tujuh macam bacaan, maka kalian bacalah dengan cara yang mudah dari cara-cara itu.(HR.Jamaah) Para ulama berijtihad untuk dapat menafsirkan hadits ini dan menjabarkan maknanya secara sungguh-sungguh, bahkan Ibn al-jaziri rahimahullah- mengatakan bahwa ia memikirkan, memperhatikan subtansi hadits tersebut hingga lebih kurang 30 tahun. Ada beberapa pendapat soal makna al-Ahruf al-Sab (tujuh huruf) diantaranya ada yang memahaminya dengan tujuh bahasa atau lahjat (dialek) yang ada di tengah komunitas Arab saat itu. Adapun al-Sheikh al-Zarqani memilih lafaz al wajhu sebagai penafsiran kalimat harf, maka makna tujuh huruf atau sabati ahruf berarti tujuh bentuk bacaan atau sabati awjuhin li al qiraah. Al-Razi dalam memahami makna sabati ahruf mengatakan bahwa hal itu tidak keluar dari perbedaan akan sabat awjuh, yaitu : Pertama, perbedaan dalam al-asma dari ifrad, tathniyyah, jama, tadhkir, tanith, mubalaghah dan lain-lainnya. Kedua, perbedaan dalam tasrif al-afal dan apa yang disanadkannya dari kata kerja madi, mudari, dan amr, dengan isnad-nya kepada mudhakkar, muannath, mutakallim, mukhatab, fail, dan maful bihi. Ketiga, wujuh al-Irab. Keempat, penambahan dan pengurangan atau al-ziyadah wa al-naqs. Kelima, mengajukan atau mengakhirkan atau al-taqdim wa al-takhir. Keenam, al-qalbu dan al-ibdal dalam bentuk kalimat dengan kalimat atau huruf dengan lainnya. Ketujuh, perbedaan bahasa dari harakat fath, imalah, tarqiq, tafkhim, tahqiq dan lain-lain. Kendati demikian bukan berarti bahwa makna al-ahruf al-sab itu otomatis berkonotasi al-qiraah alsab yang kita kenal dewasa ini. Menurut Abdul Samad bahwa hal itu karena qiraah yang shahih dan digunakan dewasa ini tidak hanya tujuh, namun sepuluh (ashrun) yang merupakan bagian dari al-ahruf al-sab diatas. Dan pemahaman seperti itu adalah sebuah hal yang lumrah terjadi karena karya yang ditulis oleh Ibn Mujahid yaitu al-Sab yang memilih tujuh para qurra (Nafi, Ibn Kathir, AbuAmr, IbnAmir,Asim, Hamzah dan al-Kasai) telah membentuk opini masyarakat secara luas. Apalagi setelah karya itu banyak lagi para penulis yang membahas masalah tujuh qurra tersebut, sehingga mereka menganggap yang dimaksud dengan al-Ahruf al-Sab adalah al-qiraat al-Sab. D. Qiraah al-Sab Zaman para qurra atau ahdu al-qurra yang membentuk cara men-tilawah Al-Quran yang dikenal dewasa ini, menurut para pakar qiraah semuanya merujuk kepada zaman yang terkenal mengajari qiraah itu adalah Ubay ,Ali, Zaid bin Thabit, Ibn Masud, Abu Musa al-Ashari, Abu al-Darda dan Uthman. Syekh Manna al-Qattan menegaskan bahwa dari mereka inilah para sahabat lain berguru, termasuk Abu Hurairah dan IbnAbbas. Abdullah bin al-Saib belajar dari Ubay, sedangkan IbnAbbas

belajar dari Zaid. Begitu juga halnya dengan para Tabiin di berbagai wilayah negeri Islam ketika itu berguru kepada para sahabat-sahabat diatas, dan semuanya ber-isnad kepada baginda Rasulullah SAW. Pada periode Tabiin yaitu di awal seratus tahun pertama, mereka benar-benar memperhatikan penyempurnaan al-qiraah dan menjadikannya sebagai disiplin ilmu tersendiri, seperti layaknya ilmuilmu shariah. Mereka sangat serius dan benar-benar mencari ridha Allah guna menjaga keutuhan AlQuran sedemikian rupa sehingga umat muslim berikutnya hanya mengikuti. Level qurra yang mensuksesi imam-imam di atas yang menjadi sandaran al-qiraat dewasa ini yaitu Abu jafar Yazid bin al-Qaqa dan Nafi bin Abdurrahman (Madinah); Abdullah Ibn kathir dan hamid bin Qais al-Araj (Mekkah); Asim bin Abi al-Najud, Sulaiman al-Amash, Hamzah dan al-Kasal (Kufah); Abdullah bin Abi Ishaq, Isa bin Amr, AbuAmr bin alAla ,Asim al-Jahdi dan Yaqub al-Hadrami (Basrah); dan Abdullah bin Amir, Ismail bin Abdullah bin al-Muhajir, yahya bin al-Harith dan Sharih binn Yazid alHadrami (Sham). Dari mereka ini lalu muncul tokoh-tokoh qiraat yang tersohor hingga kini yaitu Abu Amr, Nafi, Asim, Hamzah, al-Kasal, IbnAmir, dan Ibn Kathir yang kemudian dikenal sebagai mahzab qiraah dengan al-qiraah al-sab yang ditetapkan olej ijma para ulama dengan derajat muttafaqalaihi. Kendati demikian, ada pendapat yang mengatakan bahwa qiraah yang mutawatir dan shahih ituseperti disinggung diatas-tidak hanya al-qiraah al-sab, tapi al-qiraah al-ashr. Tapi ada juga pendapat yang mengatakan bahwa tiga qiraah lain yang diluar al-qiraah al-sab termasuk ahad. Namun pendapat terakhir ini tidak kuat karena ternyata para ulama qiraah menegaskan derajat tawatur qiraah yang sepuluh. Alasannya karena sanad-sanadnya (asanid) kuat dan sampai pada derajat al-sihhah. Adapun yang disepakati tidak sampai pada derajat sihhah adalah empat qiraah dari qiraah arbaahashr (qiraah empat belas). E. Jenis Qiraah Menurut Manna al-Qattan bahwa sebagaian ulama menyimpulkan qiraat menjadi enam macam. Pertama, al-mutawatir. Yang disebut mutawatir adalah apa yang disampaikan oleh sekelompok orang yang tidak mungkin melakukan kebohongan. Contohnya qiraah sabah, menurut jumhur, qiraah sabah ini semua riwayatnya adalah mutawatir. Kedua, al-mashur yaitu qiraah yang sanadnya benar dan belum sampai ke derajat al-tawatur, walau itu secara bahasa tidak jadi persoalan. Ketiga, al-ahad yaitu qiraah yang sanadnya benar, tapi dari segi bahasa dan rasm-nya berbeda dari kaidah yang ada. Keempat, al-shadzdzah yaitu qiraah yang bersanad tidak benar, seperti bacaan : ??? ??? ????? dengan bentuk fiil madhi yang berasal dari bacaan Ibnu Sumaifai. Kelima, al-maudu yaitu qiraah yang tidak punya dasar dan rujukan.

???? ???? ???? ?? ????? ??????? Keenam, al-mudarraj yaitu qiraah yang berlebihan laksana tafsir seperti qiraah-nya Said bin Abi Waqqash ??? ?? ?? ??? ?? ?? dengan ditambah ?? ?? F. Syarat Diterimanya Qiraah Para ulama qiraah meletakkan syarat diterima atau tidaknya qiraah sehingga dapat membedakannya dari yang shadh sehingga tidak dibaca di saat shalat serta berbagai kesempatan lain. Pertama, isnad qiraah harus benar. Dalam hal ini para ulama berselisih pendapat, namun kebanyakan dari mereka mensyaratkan al-tawatur sebagai syarat penerimaan. Di sini Ibn al-Jaziri berpendapat lain, yaitu menerima riwayat yang disampaikan secara ahad dari perawi-perawi yang dapat dipercaya (alThiqat). Menurut Abdul Samad pendapat yang lebih rajih adalah syarat al-tawatur, karena Al-Quran dibaca oleh umat, karena hukum-hukumnya diimplementasikan, dihafal dan qiraahnya dijaga, dan ini bagian dari tawatur yang dimaksud. Kedua, qiraah harus sejalan dengan kaidah-kaidah bahasa Arab. Syarat ini disepakati oleh para imam. Namun yang dimaksud dengan ( ??? ?? ?? ) yaitu aspek nahwu yang umum walau terdapat perbedaan yang tidak sampai merusak tatanan bahasa yang baku. Sementara itu, sebagaian mufassir dan ahli nahwu membantah hal ini dan mengatakan bahwa itu tidak boleh. Qiraah yang ada harus mengikuti kaidah bahasa Arab, karena qiraah yang thabitah dan baku akan menjadi penguat bagi bahasa Arab dan bukan sebaliknya. Ketiga, Qiraah harus selaras dengan khat salah satu masahif, walau itu hanya kemungkinan. Karena pengucapan suatu kalimat yang sama dengan yang tertulis dapat saja sesuai dengan rasm al-mushaf aluthmani. Dan bisa juga itu hanya kemungkinan , karena apa yang kita ketahui bahwa rasm al-mushaf itu punya asal-usul yang khusus yang dapat dibaca lebih dari satu bacaan. Dalam konteks ini seperti ( ??? ??? ????? ) yang ditulis dengan ( ??? ) tanpa alif di seluruh masahif. Maka barangsiapa yang membacanya tanpa alif, itu sesuai dengan rasm secara determinatif (tahqiqan) dan barangsiapa yang membacanya dengan ( ???? ??? ?????) maka itu sesuai secara implikatif (taqdiran) Dengan demikian, berarti qiraah yang tidak dilengkapi dengan kelulusan tiga syarat di atas dikategorikan sebagai al-qiraah al-shadzah. G. Manfaat Qiraah Menurut Abdul Samad al-Tabari ilmu Qiraat ini sangat besar kegunaannya, karena tidak terpisahkan dari Al-Quran yang menjadi kaidah dan objek ilmu ini. Tentu hal ini berkaitan erat dengan sabda Rasulullah SAW yang berbunyi : Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Al-Quran dan mengajarkannya. Dan diantara manfaat ilmu ini yaitu:

Pertama, menjelaskan kemuliaan umat dan keagungan kitab suci Al-Quran yang telah dianugerahkan oleh Allah kepada mereka dengan memperbolehkan umat untuk men-tilawah-nya dengan beberapa cara dalam rangka kemudahan yang diberikan. Kedua, menjelaskan skala keterikatan para ulama umat ini dengan Al-Quran, luangnya waktu bagi mereka untuk mempelajari dan mengajarkannya secara benar dan tepat. Ketiga, sejumlah ilmu sangat terkait dengan ilmu qiraat ini. Sebagai contoh bahwa para ulama tafsir telah mewarisi ilmu dengan berbagai kemudahan dalam memahami ayat-ayat Al-Quran. Seperti dalam firman Allah, ?????????? ??????? ??? ???????? ????????? ??????? ???????? ? ??????? ???? ?????????? ?????????? ???? 37. Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, Maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Ayat ini akan punya makna lain bila dibaca dengan qiraah Imam Ibn Kathir yaitu: ?????????? ??????? ??? ???????? ????????? ? Pada qiraah yang kedua seolah-olah al-kalimat ( ?????? ) ini yang menemui Adam dan al-kalimat ini menjadi mulia sebab pengampunan bagi dirinya. Selain itu kita juga bisa mengambil contoh qiraah Ibnu Masud (QS al-Maidah 5: 38) yang berbunyi wa as-sariqu wa as-sariqatu fa iqthau aidiyahuma .... dalam qiraat lain dibaca ... fa iqthau aimanahuma... Begitu juga halnya dengan ulama fiqh yang memahami ayat berikut ???? ????????????? ?????? ?????????? ? Kata yath-hurna bisa dibaca yath-hurna, dan bisa pula dibaca yaththaharuna. Jika dibaca dengan qiraah pertama, artinya menjadi dan jangalah kamu mendekati mereka (istri-istrimu) sampai mereka suci (berhenti dari haid tanpa mandi terlebih dahulu). Jika dibaca dengan qiraah kedua, artinya menjadi dan janganlah kamu mendekati mereka (istri-istrimu) sampai mereka bersuci (berhenti dari haid dan telah mandi wajib terlebih dahulu).

Keempat, menjadi wajhu al-tarjih bagi hukum yang diperselisihkan. Dalam hal ini seperti qiraah ( ?? ??? ?? ???? ????? ) tentang kaffarah al-yamin, di mana di dalamnya ada aksentuasi syarat iman dalam kaffarah tersebut, sebagaimana dibenarkan oleh Imam Shafii dan lainnya. Sementara Abu Hanifah tidak mensyaratkan hal demikian. Kelima, bahwa perbedaan yang terjadi dalam qiraat dapat dipahami sebagai isyarat-isyarat detil dan rahasia implisit yang terkandung dalam ayat-ayat al-Quran yang tidak dimiliki oleh kitab-kitab suci lain. Dan ini menjadi keistimewaan al-Quran yang menjadi mukjizat abadi Rasulullah SAW.

I. Qiraat dan Orisinalitas Al-Quran Kalau ada klaim bahwa perbedaan qiraat sampai tujuh atau sepuluh merupakan tanda kelemahan alQuran sungguh hakikat persoalan ini adalah sebaliknya. Ia menjadi sumber kekuatannya, dan ini merupakan hikmah dari Allah kepada umatnya. Fleksibilitas pewahyuan Al-Quran kepada kaum Arab ketika itu secara keseluruhan kembali kepada keturunan Adnan, Qathan, dan Qadaah menjadi keistimewaan Al-Quran yang mampu mengakomodir bahasa-bahasa Arab di zamannya. Kendati secara global heterogenitas bahasa Arab saat itu dapat direduksi menjadi bahasa Arab selatan dan bahasa Arab utara. Namun perkembangan berikutnya, khususnya setelah abad ke-6 M, bahasa Arab selatan menjadi pasif dan bahasa Arab utara lebih dinamis dan unggul. Dan diantara bahasa Arab utara yang ada, bahasa Arab kaum Quraisy ternyata lebih baik. Hal itu, menurut Muhammad Makki disebabkan oleh faktor kehidupan relijius yang semarak di antara masyarakatnya serta aktivitas ekonomi dan sosial mereka yang lebih maju. Bahasa Arab Quraisy pun terpecah-pecah dalam bahasa-bahasa kabilah yang perbedaan dialeknya membuat bahasa-bahasa tersebut keluar dari bahasa Arab yang formal dan baku. Menurut Abu Ubaid hal demikian membuat Al-Quran terlihat mampu mengakomodir dialek-dialek bahasa Arab ketika itu, dengan diturunkan sesuai dengan dialek (baca: bahasa) kabilah-kabilah Arab ketika itu. Sebagai bukti konkrit, secara eksplisit hal ini dapat dicermati dari hadits Rasulullah SAW sebagai berikut ; Dari Urwah bin al-Zubair bahwa al-Miswar bin Makhramah dan Abdurrahman bin Abdin al-qariy berkata bahwa mereka berdua telah mendengar Umar bin al-Khattab berkata, Aku pernah mendengar Hisham bin Hakim bin Hizam membaca surat al-Furqan semasa hidup Rasulullah sallallahu alaihi wasallam dan akupun menyimak bacaannya. Ternyata dia membaca surah tersebut dengan beberapa qiraat yang belum pernah Rasulullah sallallahu alaihi wa-sallam bacakan untuk kami. Ketika itu aku hampir saja memukulnya di saat dia shalat, tapi aku tetap bersabar hingga ia mengucap salam. Lalu akupun menarik sorbannya dan aku bertanya, Siapa yang mengajarkan surat yang tadi aku dengar? Hisham menjawab, Rasulullah yang membacakannya untukku. Maka aku berkata,Engkau telah berdusta, karena Rasulullah sallallahu alaihi wasallam tidak membacakan untuk kami seperti yang engkau baca. Akhirnya aku berangkat dengannya menghadap Rasulullah sallallahu alaihi wasallam, lalu aku berkata, Sesungguhnya aku mendengar (pria ini) membaca surah al-Furqan dengan qiraat yang belum pernah Baginda bacakan. Maka Rasulullah sallallahu alaihi wasallam, Lepaskan ia, dan bacalah wahai Hisham! Maka ia pun membaca persis seperti yang aku dengar. Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda,Seperti itulah Al-Quran diturunkan . Kemudian Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda, Wahai Umar, bacalah! Maka akupun membaca seperti yang diajarkan Rasulullah sallallahu alaihi wasallam, lalu Baginda bersabda,Seperti itu pula ia diturunkan. Sesungguhnya AlQuran ini diturunkan dengan tujuh huruf (qiraat), maka bacalah dengan cara yang termudah menurutmu. Hal ini berarti bahwa potret qiraah yang ada sekarang ini memang demikian wujud pewahyuannya kepada baginda Rasulullah, karena saat di-qiraah-kan oleh para sahabat beliau tidak menyalahkannya. Maka dari itu ilmu ini merupakan ilmu yang tidak terpisahkan dari Al-Quran , apalagi bila dikaitkan dengan maknanya secara sematik yang berasal dari kata qaraa yang berarti tatabba kalmitatihi bi al-

nadhar wa nataqa biha (mengikuti kalimat-kalimatnya dengan melihat dan diucapkan) dan jamaahu wa damma badahu bi badin (mengumpulkan dan menyatukan yang satu dengan lainnya). Al-Quran aslinya sama dengan al-qiraah yang keduanya merupakan bentuk masdar dari kata kerja qaraa dengan wazan (timbangan) fulan. Ini seperti di dalam ayat 17-18 surat al-Qiyamah : ??? ????????? ????????? ?????????????? ???? ??????? ??????????? ????????? ???????????? ???? Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. Ini artinya bahwa Al-Quran dan qiraah (recitation) merupakan hal yang integral. Dalam kata lain kita dapat pahami bahwa Al-Quran adalah qiraah dan viceversa. Qiraah dapat dipahami sebagai partikel subtansial dari Al-Quran yang merupakan kalamullah yang diturunkan kepada Rasulullah sallallahu alaihi wasallam , dimana men-tilawah-nya dikategorikan sebagai wujud taabbud kepada Allah SWT dan akan mendapat pahala. Dengan seluruh komponen ilmu qiraah, ia diyakini sebagai garda terdepan membentengi orisinalitas Al-Quran dai generasi ke generasi.

Penutup Sekali lagi, kita dapat memahami ilmu qiraat dapat diartikan sebagai bagian dari firman Allah SWT yang berbunyi Surat Al-Hijr ayat 9: ????? ?????? ???????? ?????????? ??????? ????? ???????????? ??? Dari ayat diatas dapt dipahami bahwa subjek datang dalam bentuk plural, dan para qurra adalah bagian darinya. Karena detil bacaan Al-Quran dipelihara dengan kerangka teoritis qiraat dengan isnad yang mutawatir (persyaratan diterimanya sebuah qiraah dan kategorisasi qiraat). Kalau pun suatu saat nanti ada versi Al-Quran lain yang berusaha untuk mencederai dan menggugat integritas Al-Quran yang sahih dalam bentuk apa pun- qiraat dapat menjadi perisainya, qiraat dapat dipahami sebagai salah satu pilar penyangga otentisitas, integritas dan keutuhan kitab suci umat Islam dan mujizat abadi Rasulullah sallallahu alaihi wasallam ini, dahulu, kini dan masa depan.

FOOTNOTE

Al Alaq : 1-3 Mantan ketua Persatuan Ulama di Lucknow dan anggota majma al-Lughah al-arabiyyah di damaskus. Ali Ahmadi, Al-Qiraat dan Orisinalitas Al-Quran, Jurnal Al-Insan vol.1. no.1 januari 2005.Depok: Lembaga Kajian dan Pengembangan Al-Insan. 51.

Berasal dari ?? ? ???? to become soft, tender, gentle artinya adalah tashil (?????) dan Abu Mashar menyebutnya dengan ??????? yang merupakan mustolah yang dipakai oleh para qurra. Dan makna ????? adalah ????? ? Menebalkan Menipiskan Ibid. lihat juga Imam al-Muqri Abi Muhammad Makkiy bin Abi Talib hamush ibn Mukhtar al-Qaisi alQairuwani al-Qurtubi, Kitab al-Tabsirah fi al-Qiraat al-Sab lil Imam al-Muqri Abi Muhammad makkiy bin Abi Talib Hamush ibn Mukhtar al-Qaisi al-Qairuwani al-Qurtubi al-Mutawaffa sanah (437 H- 1045 M), Bombay: al-Dar al-Salafiyyah, 17-18. Ali Ahmadi, Al-Qiraat dan Orisinalitas Al-Quran, 52. Lihat juga Mabahith Manna al-Qattan, Mabahith fi Ulum al-Quran, Muassasah al-Risalah,cet.17.1990.Beirut Ali Ahmadi, Al-Qiraat dan Orisinalitas ., Lihat juga Al-Imam Abu Mashar al-Tabari, al-Talhis fi al-Qiraat al-Thaman, dirasah wa tahqiq Muhammad hasan Aqil Musa, cet.1.1992.13. Pengguguran huruf. Lihat juga Ahmad Izzan. Ulumul Quran, Telaah Tekstualis dan Kontekstualis Alquran (Bandung : taffakur, 2009) 116. Penetapan huruf Pemberian harokat Pemberian tanda sukun Pemisahan huruf Penyambungan huruf Ibdal (penggantian lafal-lafal tertentu) juga disebut al-takhfi. Namun Abu Mashar sering menyebut dengan al-tarku atau tark al-hamzah. Ibid. Ibid. Ibid. lihat juga Yufni Faisol, Ringkasan Disertasi Pengaruh perbedaan Qiraat terhadap Makna Ayat (Suatu Tinjauan Qawaid Bahasa Arab). Jakarta:UIN Jakarta.2003.10. Ahmad Izzan. Ulumul Quran,205. Ali Ahmadi, Al-Qiraat dan Orisinalitas. 53,. Lihat juga Imam al-Muqri Abi Muhammad Makkiy bin Abi Talib Hamush ibn Mukhtar al-Qaisi al-Qairuwani al-Qurtub. 92. Ibid. Ibid.

Ibid. Abu Muhammad Makkiy, 48. Ali Ahmadi, Al-Qiraat dan Orisinalitas, 54. Contoh perbedaan dalam al-ifrad dan al-jama yaitu (??? ????? ) (:8???? ??? ?) dan ?? ????? Contoh perbedaan tasrif al-afal dari al-madi yaitu ??? ??? ???? ??? dan (:19???? ) (??? ??? ???? ??? ) Contohnya ( ??????:15 ) ( ? ???????? ???? ) dan (? ???????? ???? ) Seperti contoh ( ???? ????? ??? ?? ) dan (???? ????? ??? ?? ) (1 ???? ??: 00 ) Contoh ( ????? ???? ????? ????? ) dan ( ????? ???? ????? ????? ) Contoh ( ?????? ) dan ( ?????? ) ( : 259?? ???? ) Abdul Samad.17., lihat Manna al-Qattan, Mabahith fi Ulum al-Quran.cet.17.( Beirut: Muassasah alRisalah). 172. Ibid.,19. Untuk wilayah Madinah, para tabiin yang berguru kepada para sahabat adalah Ibn al-Masib,Urwah , Salim,Umar bin Abdil Aziz, Sulaiman, Ibn Yasar, Muadh bin al-Harith, Abdurrahman ibn harmaz alAraj, Ibn Shihab al-Zuhri, Muslim bin Jundub dab Zaid bin Aslam. Di Makkah yaitu Ubeid binUmair, Ata bin Abi Rawahah, Tawus, Mujahid, Ikrimah dan Ibn Abi Malikah. Di Kufah, Alqamah, al-Aswad, Maruq, Ubaidah, Amr bin Sarhabil, al-Harith bin Qais, Amr bin Maimun, Abu Abdurrahman al-Silmi, Said bin Jubair dan al-Sabi. Di Basrah Abu Aliyah, Abu Raja, Nas bin Asim, Yahya bin Yamar, al-Hasan, Ibn Sirin dan Qatadah. Di Sham yaitu al-Mughirah bin Abi Shihab al-Makhzumi, Sahib Uthman, Khalifah bin Saad dan Shabi Abi al-Darda, lihat Al-Qattan.,170-171. Manna al-Qattan. Studi Ilmu-ilmu Quran. terj.Mudzakir As, cet.8 (Bogor: PT Pustaka Litera Antarnusa, 2004)170. Ibid. Ibid. Ditambah Abu Jafar Yazid bin al-Qaqa al-Madani, Yaqub bin Ishaq al-Hadrami dan Khalaf bin Hisham, lihat Manna, hal.172. dan Al-Imam al-Allamah al-Sheikh Abdullah bin Abdul Mumin Ibn al-Wajih alWasity, Al-Kanz fi al-Qiraat al-Qiraat al-Ashar, tahqiq maha al-Humshiy (Mekkah: Dar al-Kutub alIlmiyyah,1998) Manna al-Qattan . Studi Ilmu-ilmu Quran, 175. Sheikh Abdul Hamid Yusuf Mansur.,13.

Abdul Djalal. Ulumul Quran. ( Surabaya: Dunia Ilmu, 2008) 336-337. Abdul Samad al-Tabari., 20 .Lihat juga Manna al-Qattan.,176. Ibid. Ibid., 21. lihat al-Imam Abi Umar wa Uthman bin Said al-Dani.,Mukhtasar fi Mazahib al-Qurra al-Sabbi al-Amsar (Mekkah: Maktabah Abbas Ahmad al-Baz,2000). Ali Ahmadi, Al-Qiraat dan Orisinalitas, 57. Lihat juga Nurudin Itir. Al-Tafsir wa Ulum al-Quran. ( Mansurat jamiah dimashq, 1992) 294-295. Al-Baqarah : 37. Ahmad Izzan. Ulumul Quran, 208. Al-baqarah : 222. Abdu al-Samad.,15. Muhammad makki.,50. Ibid., 51. Lihat juga Abdul Djalal. Ulumul Quran. ( Surabaya: Dunia Ilmu, 2008) 329. dengan redaksi sedikit berbeda , Kitab al-Quran itu diturunkan dalam tujuhh bacaan / tujuh cara membaca, yang relevan dengan bacaan (dialek) dari suku-suku bangsa Arab yang ada pada waktu turunya al-Quran dahulu. Lihat CD al-Hadith al-Sharif, dari buku Shahih al-Bukhari, urut: 56,no hadith:4608, kitab : Faddail alQuran, bab: Unzila al-Quran ala Sabati Ahruf. Lihat Muhammad Khair Abu Harb, al-Mujam al-Madrasi, al-Jumhuriyyah al-Arabiyyah al-Surriyah Wizarah al-Tarbiyah,1985) 842. Manna al-Qattan.,20-21.

Anda mungkin juga menyukai