Anda di halaman 1dari 52

Kepada Yth:

Laporan Kasus Kamis 8 Maret 2012

Terapi Hemodialisa pada seorang anak dengan Gagal Ginjal Akut sebagai komplikasi dari Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus

Oleh Dr. Fahmi Hasan Pembimbing: Dr. Dahler Bahrun, SpAK Dr. Hertanti Indah Lestari, SpA Moderator: Dr. Aditiawati, SpAK Penilai: Dr. K. Yangtjik, SpAK

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA PALEMBANG 2012

PENDAHULUAN Glomerulonefritis akut adalah suatu proses peradangan dan proliferasi dari sel-sel glomerular yang terjadi lazimnya akibat proses imunologik. Nama lain dari glomerulonefritis akut ini adalah sindroma nefritik akut. Presentasi klinik yang khas dari penyakit ini ditandai oleh sekumpulan gejala-gejala yang timbul secara mendadak berupa edema, hematuria, hipertensi, oliguria, kongestif vaskuler serta insufisiensi ginjal. Glomerulonefritis akut paska streptokokus merupakan bentuk klinik glomerulonefritis akut akibat infeksi Streptokokus hemolitikus grup A.1-7 Glomerulonefritis akut paska streptokokus dapat menyerang semua umur, pada kelompok anak-anak banyak ditemukan pada usia 3-8 tahun dengan rasio anak laki-laki : perempuan adalah 2:1 dan di Indonesia kelompok umur 2,5-15 tahun merupakan kelompok umur tersering dengan rasio laki-laki : peremuan 1,39:1.13 Angka kejadian yang pasti tidak diketahui, karena banyak kasus asimptomatik terdapat pada satu keluarga yang berkontak dengan penderita GNAPS pada suatu epidemi. Insiden di negara maju berkurang sedangkan di Negara sedang berkembang masih meningkat.1-7 Diagnosis GNAPS lazimnya ditegakkan berdasarkan adanya riwayat infeksi streptokokus Hemolitikus grup A pada saluran nafas atas atau infeksi kulit (pioderma) sebelumnya, onset tiba-tiba dari gejala nefritis, hasil biakan apusan tenggorokan atau kerokan kulit dapat ditemukan kuman Streptokokus Hemolitikus grup A atau dijumpai peningkatan titer ASTO antibody dan penurunan kadar komplemen C3.8,9 Penyakit ini merupakan penyakit yang self limiting disease pada sebagian besar anak dengan kesembuhan sempurna. Walaupun demikian pada keadaan yang jarang anak-anak yang terserang penyakit ini dapat mengalami komplikasi berat berupa gagal ginjal akut (GGA).1-7 Gagal ginjal akut adalah satu bentuk kegawatdaruratan di bidang nefrologi yang dapat mengancam kehidupan dan menyebabkan kematian atau berlanjut menjadi gagal ginjal kronik stadium akhir bila penanganannya terlambat dilakukan.8,9 Pengobatan yang lazim dilakukan meliputi pengobatan konservatif atau suportif terhadap gagal ginjal dan komplikasi yang ditimbulkannya, namun adakalanya pengobatan ini tidak berhasil sehingga diperlukan terapi pengganti ginjal, baik itu berupa hemodialisis (HD) dan peritoneal dialysis(PD). Terapi pengganti ginjal berupa peritoneal dialysis (PD) merupakan tindakan yang lazim

digunakan pada pengobatan gagal ginjal akut pada anak, sedangkan hemodialisis jarang dilakukan.
20,23,24

Laporan kasus ini bertujuan membicarakan tentang penggunaan terapi hemodialisa pada seorang anak laki-laki usia 8 tahun dengan gagal ginjal akut sebagai komplikasi dari GNAPS.

KASUS DATA DASAR I. IDENTIFIKASI Seorang anak laki-laki, usia 8 tahun, berat badan 25 kg, tinggi badan 120 cm, beralamat di luar kota, datang ke instalasi rawat darurat RSMH Palembang pada tanggal 6 Januari 2012, pukul 02.30 WIB II. ANAMNESIS Keluhan utama Keluhan tambahan Riwayat Perjalanan Penyakit : Dua minggu sebelum masuk rumah sakit penderita batuk(+) demam(+) dan sakit tenggorokan(+), kemudian penderita berobat ke bidan mendapat obat 2 macam dan sembuh. Satu minggu sebelum masuk rumah sakit penderita tampak lemas dan nafsu makan berkurang, demam (+), batuk pilek (-), BAK warna seperti teh tua, BAB biasa. Penderita berobat ke dokter diberi dua macam puyer dan sirup tetapi tidak ada perubahan. Empat hari sebelum masuk rumah sakit muka penderita terlihat pucat (+), kelopak mata sembab (+), terutama pada saat bangun tidur, kedua tungkai juga bengkak (-), bak berkurang dari biasanya dan berwarna seperti teh tua, sakit saat bak (-), bak mengedan (-), sakit kepala (+), pandangan kabur (-), nyeri ulu hati (+),mual (+), muntah(+) dan tampak gelisah(+), kemudian penderita dibawa ke RSUD Lahat dan di lakukan pemeriksaan laboratorium dan didapatkan kesan uremia dan penurunan fungsi ginjal. Selama perawatan penderita mendapat tranfusi PRC dua kantong. Penderita kemudian dirujuk ke RSMH setelah tiga hari perawatanIRD RSMH Riwayat Penyakit Dahulu: Penderita tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya
Riwayat korengan (-) Riwayat sesak nafas tidak ada Riwayat sakit sendi tidak ada

: buang air kecil seperti teh tua : buang air kecil sedikit

Riwayat ruam pada kulit tidak ada Riwayat kontak KP disangkal

Riwayat Penyakit dalam Keluarga: Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga disangkal Riwayat Kelahiran: Lahir spontan, ditolong bidan, dari ibu G3P2A0, hamil cukup bulan, lahir langsung menangis, BBL: 3500 gram, panjang badan 50 cm. Riwayat imunisasi: BCG (+), scar (+), DPT 3x, Polio 3x, Hepatitis B 3x, Campak (+) Kesan: Imunisasi dasar lengkap Riwayat makanan: ASI: sejak lahir sampai 2 tahun Bubur susu: 6 bulan sampai 12 bulan Nasi tim: 12 bulan sampai 18 bulan Nasi biasa: 18 bulan sampai sekarang, 3x1/2 piring nasi, lauk-pauk -1 potong sedang ikan/ tahu/tempe Kesan: kualitas dan kuantitas cukup Riwayat pertumbuhan dan perkembangan: Tengkurap: umur 4 bulan Duduk : umur 7 bulan Berdiri : umur 10 bulan Berjalan : umur 13 bulan Penderita bermain dan bergaul dengan baik dengan lingkungannya Kesan : riwayat pertumbuhan dan perkembangan dalam batas normal Riwayat Keluarga: Penderita anak pertama dari keluarga dengan status ekonomi kurang

III. PEMERIKSAAN FISIK Keadaan Umum :Tampak sakit berat Kesadaran : GCS: Composmentis

Tekanan Darah : 120/90 mmHg Berdasarkan persentil : P50 : 95/67 mmHg P90: 109/72 mmHg P95: 112/78mmHg P99: 120/84 mmHg Kesan: Hipertensi stadium II Nadi Suhu Pernafasan Berat badan Tinggi badan : 118 x/menit (isi dan tegangan cukup) : 37,10C : 38x/menit (regular) : 25 kg : 120 cm

Status Gizi: BB/U: 96,1%, TB/U 93,7%, BB/TB: 108% Kesan status gizi : Gizi baik Keadaan Spesifik: Kulit: tampak anemis(+) Kepala : edema palpebra (+), konjungtiva pucat (+), sklera ikterik (-), pupil isokor, refleks cahaya (+/+) normal, nafas cuping hidung (-/-), tenggorokan; faring hiperemis (-) Leher : JVP 5+2 cmH2O, kaku kuduk (-), pembesaran KGB (-) Thoraks: bentuk normal, simetris, retraksi (+) intercostal, subcostal Paru : Simetris, stem fremitus kiri = kanan, redup kedua lapangan paru, vesikuler normal, ronkhi (-)/(-), wheezing(-)/(-) Jantung : iktus tak tampak, thrill tidak teraba, Bunyi jantung I dan II normal, murmur(-), irama gallop(-) Abdomen Ekstremitas : Datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba pembesaran,nyeri supra pubik (-), nyeri : sendi tidak tampak membengkak, purpura (-), akral hangat(+), edema pretibial (-) 6 ketuk CVA (-), bising usus (+) normal

Status Neurologis : EKSTREMITAS SUPERIOR Kiri Luas +5 eutoni N EKSTREMITAS INFERIOR Kanan Luas +5 eutoni N Kiri Luas +5 eutoni N -

FUNGSI MOTORIK

Kanan Gerakan Luas Kekuatan +5 Tonus eutoni Klonus Refleks fisiologis N Refleks patologis Fungsi sensorik : tidak ada kelainan Fungsi Otonom : tidak ada kelainan Nervi Kranialis : tidak ada kelainan Gejala Rangsang Meningeal : ( - ) RINGKASAN DATA DASAR :

Seorang anak laki-laki, usia 8 tahun, berat badan 25 kg, tinggi badan 120 cm, beralamat di luar kota, datang ke instalasi rawat darurat RSMH Palembang pada tanggal 6 Januari 2012, pukul 02.30 WIB dengan keluhan utama: buang air kecil seperti teh tua dan keluhan tambahan buang air kecil sedikit Riwayat perjalanan penyakit : Dua minggu sebelum masuk rumah sakit penderita batuk(+) demam(+) dan sakit tenggorokan(+), kemudian penderita berobat ke bidan mendapat obat 2 macam dan sembuh. Satu minggu sebelum masuk rumah sakit penderita tampak lemas dan nafsu makan berkurang, demam (+), batuk pilek (-), BAK warna seperti teh tua, BAB biasa. Penderita berobat ke dokter diberi 2 macam puyer dan sirup tetapi tidak ada perubahan. Empat hari sebelum masuk rumah sakit muka penderita terlihat pucat (+), kelopak mata sembab (+), terutama pada saat bangun tidur, kedua tungkai juga bengkak (-), bak berkurang dari biasanya dan berwarna seperti teh tua, sakit saat bak (-), bak mengedan (-), sakit kepala (+), pandangan kabur (-), nyeri ulu hati (+),mual (+), muntah(+) dan tampak gelisah(+), kemudian penderita dibawa ke RSUD Lahat dan di lakukan pemeriksaan laboratorium dan didapatkan kesan uremia dan penurunan fungsi ginjal. Selama

perawatan penderita mendapat tranfusi PRC dua kantong. Penderita kemudian dirujuk ke RSMH setelah tiga hari perawatanIRD RSMH . Dari pemeriksaan fisik didapatkan tampak sakit berat, Kesadaran : Composmentis, Tekanan Darah: 120/90 mmHg, Nadi: 118x/menit (isi dan tegangan kurang), Suhu: 37,10C, Pernafasan: 38x/menit (regular) Berat badan: 25 kg Tinggi badan: 120 cm dengan status gizi : baik, edema palpebra (+), nafas cuping hidung (+/+), Thoraks: simetris, retraksi (+) intercostal, subcostal, redup kedua lapangan paru, vesikuler menurun, ronkhi basah halus tak nyaring (+)/(+) dikedua lapangan paru terutama di bagian basal, Jantung :irama gallop (-), Abdomen: Datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba pembesaran, bising usus (+) normal. Ekstremitas : sendi tidak tampak membengkak, purpura (-), akral hangat(+), edema pretibial (-)

ANALISA AWAL Adanya riwayat infeksi saluran nafas diikuti bengkak pada kelopak mata, BAK berwarna merah tua dengan jumlah yang kurang. Dan pada pemeriksaan fisik dijumpai adanya , hipertensi, edema pada palpebra, dipikirkan kemungkinan anak ini menderita sindroma nefritis akut yang penyebabnya berhubungan dengan glomerulonefritis akut paska infeksi streptokokus (GNAPS). Untuk membuktikan GNAPS sebagai penyebab sindroma nefritis akut perlu dilakukan pemeriksaan penunjang yang lain meliputi urinalisis, biakan apusan tenggorokan, ASTO, C3, kimia darah, foto toraks dan EKG Penyebab sindrom nefritis akut lainnya yang perlu dipikirkan adalah lupus eritematosus sistemik, Purpura Henoch-Schonlein dan Nefropati IgA. Pada lupus eritematosus diagnosis dapat disingkirkan karena tidak dipenuhi 4 dari 11 kriteria ARA berupa eritema malar, lupus diskoid, fotosensitivitas, ulserasi mukokutaneus dan arthritis. Pada Purpura Henoch-Schonlein akan ditemukan gejala ruam pada kulit terutama dibokong dan ekstremitas, sakit sendi, gangguan gastrointestinal, sedangkan pada penderita ini tidak ditemukan. Pada Nefropati IgA akan didapatkan hematuria yang dipicu oleh episode panas yang berhubungan dengan ISPA, hematuria bersifat sementara dan hilang bila ISPA mereda sedangkan pada penderita ini tidak ditemukan sehingga Nefropati IgA dapat disingkirkan.

Edema pada anak bisa pula disebabkan oleh penyakit hati (cirrhosis) dapat disingkirkan secara klinis karena pada penderita tidak ditemukan riwayat penyakit hati seperti hepatitis B dan tanda tanda klinis lain seperti ikterik, venektasi (caput medusae) atau eritema palmaris. Gangguan gizi dapat disingkirkan karena tidak terdapat tanda tanda malnutrisi serta pertumbuhan dan perkembangan yang normal. MASALAH AWAL 1. Umum 2. Sindroma Nefritis Akut 3. Hipertensi Stadium II RENCANA AWAL M1 R/d R/th R/p M2 R/d R/th : Umum : Darah, urin, dan feses rutin : Tidak ada : Tidak ada : Sindroma Nefritis Akut : Kimia darah: ureum, kreatinin, asam urat, protein total, albumin, globulin, kolesterol total, : Istirahat Restriksi cairan Awasi intake-output Diet rendah garam R/p : menjelaskan kepada orang tua penderita bahwa anaknya menderita penyakit ginjal berat yang telah menimbulkan komplikasi berupa hipertensi berat untuk itu diperlukan perawatan khusus sehingga dapat diberikan pengobatan yang tepat terhadap gangguan tersebut, disamping itu diperlukan beberapa pemeriksaan penunjang untuk menilai sejauh mana gangguan pada fungsi organ tersebut dan untuk menilai fungsi ginjalnya.

ASTO, apusan tenggorok, elektrolit (Na, K, Ca, P), CRP, Rongent thoraks

M3 R/d R/th R/p

: Hipertensi stadium II : : Furosemide 2 x 25 mg IV : idem

10

CATATAN KEMAJUAN SELAMA PERAWATAN


Tanggal
6-1-2012 Pukul 02.30 M1 S O

Catatan kemajuan
Tidak ada Laboratorium : Darah rutin: Hb: 10,5 g/dl; Ht:31 vol%, WBC: 19,6x109 /L, Trombosit: 300x109, LED: 12 mm/jam, DC: 0/0/0/80/17/3, eritrosit: 2.690.000/mm2, MCH: 30 picogram, MCV: 85 mikrogram, MCHC: 36%, retikulosit: 1,6% Urin rutin: warna teh tua, sedimen: sel epitel (+), WBC : 10-15/LPB, RBC: 15-20/LPB, silinder nokhtah 1-3/LPB, protein +, glukosa (-) Feses rutin : telur cacing(-), parasit(-), jamur (-) - Anemia yang terjadi kemungkinan disebabkan oleh hemodilusi dan bisa juga disebabkan kehilangan darah akibat gross hematuria. - Lekositosis dan LED yang meningkat, hematuria, leukosituria dan proteinuria mendukung suatu SNA dan kemungkinan disertai dengan infeksi saluran kemih(M4). TISK - Konfirmasi dengan pemeriksaan penunjang yang lain untuk memastikan diagnosis seperti kimia darah, imunoserologis (C3,ASTO, CRP) dan kultur urin SNA BAK merah (+) bengkak kelopak mata(+) KU: sens : CM, TD: 120/90 mmhg, N: 118x/m (isi tegangan cukup). RR: 30x/m, T: 37,1 C KS: Kepala: NCH(-), edema palpebra(+) Thorak : simetris, retraksi -/-, Cor: BJ I II N, bising (-) gallop(-), Pulmo: Vesikuler (+)/(+) N, Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-) Abdomen : datar, lemas, heparr dan lien tidak teraba pembesaran, shifting dullness (), bising usus (+)N. Ekstremitas : pitting edema pretibial (-/-) BB : 25 kg Hasil laboratorium : BSS: 92 mg/dl, Protein total 6,1 gr/dl, albumin 2,5 gr/dl, globulin 3,6 gr/dl, kolesterol total 95 mg/dl, ASTO (+), CRP (+) ureum 340 mg/dl, creatinin 11,2 mg/dl, LFG = ( 0,55 x 120) = 5,8 ml/mnt/173m2Gagal Ginjal Akut (M5) 11,2 Natrium 130 mmol/l, Kalium 4,1 mmol/l Calsium 2,10 mmol/L (2,02-2,60) Asam urat 6,3 mg/dl, - Klinis edema, hipertensi stadium II dengan hematuri, proteinuri dan gagal ginjal akut menyokong diagnosis Sindroma Nefritis Akut dan adanya infeksi saluran nafas sebelumnya menyokong ke arah penyebabnya yaitu paska infeksi streptokokus (GNAPS)(M6) - Biakan apusan tenggorokan tidak dilakukan karena tidak dijumpai tanda tanda infeksi saluran nafas bagian atas. - ASTO pada penderita ini (+). Pada penderita dengan adanya riwayat infeksi saluran nafas sebelumnya dan ASTO > 200 iu menyokong ke arah penyebabnya yaitu paska infeksi streptokokus (GNAPS) - Hasil pemeriksaan fungsi ginjal menunjukkan penurunan LFGGagal ginjal Akut (M5) - kebutuhan cairan IWL+output /24 jam300 ml - Inj. furosemide 2 x 25 mg IV - catat intake output - balans cairan /12 jam - diet rendah protein0,5-1 gr/kgBB/hari

P
Balans cairan I :400 ml O :100 ml IWL :200ml B: +100ml D: 0,33 Ml/kgBB/jam

M2 S O

11

-diet rendah garam M3 S O A P M4 S O A P M5 Hipertensi std II Sakit kepala(+), pandangan kabur (-) KU & KS =M2 Hipertensi stadium II Inj. Furosemide 2 x 25 mg Ukur TD/ 8 jam TISK Nyeri BAK (-) KU & KS = M2 TISK Rencana kultur urin Inj. Ceftriakson 1x2 g GGA oliguria BAK sedikit (+) KU & KS = M2 Gagal Ginjal Akut Oliguria Inj. furosemide 2 x 25 mg IV catat intake output balans per 12 jam kebutuhan cairan IWL+output/ 24 jam300 ml diet nasi biasa 2000 kkal + 25 gr protein GNAPS BAK warna teh tua KU dan KS=M2 -GNAPS -Penderita GNAPS dengan keadaan umum sakit berat, leukositosis yang tinggi (19.600/mm3), CRP (+), perlu mendapat antibiotika berspektrum luas. Menunggu hasil C3 Inj. Ceftriakson 1x2 g SNA BAK merah (+) bengkak kelopak mata(+) berkurang KU: sens : CM, TD: 130/90 mmhg, N: 122x/m (isi tegangan cukup). RR: 34x/m, T: 37,4 C KS: Kepala: NCH(-), edema palpebra(+) Thorak : simetris, retraksi -/-, Cor: BJ I II N, bising (-) gallop(-), Pulmo: Vesikuler (+)/(+) N, Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-) Abdomen : datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba pembesaran, shifting dullness (-), bising usus (+)N. Ekstremitas : pitting edema pretibial (-/-) Hasil laboratorium: urin rutin : warna teh tua, sedimen: sel epitel (+), WBC : 8-10/LPB, RBC: 10-15/LPB, silinder nokhtah 1-2/LPB, protein +, glukosa (-) C3 : 100 mg/dl ( 80-150) GNA dengan normokomplemen SNA ec GNAPSM2 selesai - kebutuhan cairan IWL+output /24 jam - catat intake output - balans cairan /12 jam - ceftriaxon 1x2 g

S O A P

M6

S O A

7-1-2012

M2

BB : 25 kg
Balans cairan I :300 ml O :200 ml IWL :200ml B: - 100ml D: 0,66 Ml/kgBB/jam

S O

A P

12

M3 S O A P M4 S O A P

Hipertensi std. II Sakit kepala (+), pandangan kabur(-) KU & KS = M2 Hipertensi stadium II dengan pemberian dosis rendah dan tidak djumpai perbaikan maka dosis furosemid dinaikkan diberikan 3 kali sehari Furosemide 3x25 mg IV Ukur TD/ 8 jam TISK Nyeri BAK(-) KU & KS = M2 TISK Menunggu hasil kultur urin Inj. Ceftriakson 1x2 g GGA oliguria BAK sedikit (+) KU & KS = M2 Gagal Ginjal Akut Oliguria Inj. furosemide 2 x 25 mg IV catat intake output balans per 12 jam kebutuhan cairan IWL+output/ 24 jam400 ml periksa fungsi elektrolit dan ginjal berkala ( 2 kali seminggu) diet nasi biasa 2000 kkal + 25 gr protein GNAPS BAK warna teh tua KU dan KS=M2 -hasil C3normokomplemen, pada GNAPS umunya dijumpai penurunan titer C3 komplemen dan kembali mengalami kenaikan titer setelah 4-6 minggu. Penderita saat dilakukan pemeriksaan C3 memasuki minggu ke 4 dari onset. -GNAPS inj. Ceftriakson 1x2 g Hipertensi std II KU: sens : CM, TD: 120/90 mmhg, N: 124x/m (isi tegangan cukup). RR: 34x/m, T: 37,4 C KS: Kepala: NCH(-), edema palpebra(+) Thorak : simetris, retraksi -/-, Cor: BJ I II N, bising (-) gallop(-), Pulmo: Vesikuler (+)/(+) N, Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-) Abdomen : datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba pembesaran, shifting dullness (-), bising usus (+)N. Ekstremitas : pitting edema pretibial (-/-) Hipertensi stadium II Furosemide 3x25 mg IV Ukur TD/ 8 jam TISK KU & KS = M2 TISK Menunggu kultur urin Inj. Ceftriakson 1x2 g GGA oliguria BAK sedikit (+) KU & KS = M2 Gagal Ginjal Akut Oliguria

M5 S O A P

M6 S O A

8-1-2012

M3

BB : 25 kg
Balans cairan I :400 ml O :500 ml IWL :200ml B: - 300ml D: 1,66 Ml/kgBB/jam

S O

A P M4 S O A P M5 S O A

13

M6

S O A P S O

10-1-2012

M3

BB : 24.5 kg

A P M4 S O A P
Balans cairan I :700 ml O :250 ml IWL :200ml B: +250ml D: 0,83 Ml/kgBB/jam

Inj. furosemide 2 x 25 mg IV catat intake output balans per 12 jam kebutuhan cairan IWL+output/ 24 jam700 ml periksa fungsi elektrolit dan ginjal berkala ( 2 kali seminggu) diet nasi biasa 2000 kkal + 25 gr protein GNAPS BAK warna teh tua KU dan KS=M2 GNAPS inj. Ceftriakson 1x2 g Hipertensi std II KU: sens : CM, TD: 120/80 mmhg, N: 100x/m (isi tegangan cukup). RR: 28x/m, T: 37,4 C KS: Kepala: NCH(-), edema palpebra(+) Thorak : simetris, retraksi -/-, Cor: BJ I II N, bising (-) gallop(-), Pulmo: Vesikuler (+)/(+) N, Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-) Abdomen : datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba pembesaran, shifting dullness (-), bising usus (+)N. Ekstremitas : pitting edema pretibial (-/-) Hipertensi stadium II Furosemide 3x25 mg IV Ukur TD/ 8 jam TISK KU & KS = M2 TISK Menunggu kultur urin Inj. Ceftriakson 1x2 g BAK sedikit (+) KU & KS = M2 Gagal Ginjal Akut Oliguria Inj. furosemide 2 x 25 mg IV catat intake output balans per 12 jam kebutuhan cairan IWL+output/ 24 jam450 ml periksa fungsi elektrolit dan ginjal berkala ( 2 kali seminggu) diet nasi biasa 2000 kkal + 25 gr protein GNAPS BAK warna teh tua KU dan KS=M2 GNAPS inj. Ceftriakson 1x2 g Hipertensi std II Sakit kepala berkurang KU: sens : CM, TD: 120/80 mmhg, N: 100x/m (isi tegangan cukup). RR: 28x/m, T: 37,4 C KS: Kepala: NCH(-), edema palpebra(+) Thorak : simetris, retraksi -/-, Cor: BJ I II N, bising (-) gallop(-), Pulmo: Vesikuler (+)/(+) N, Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-) Abdomen : datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba pembesaran, shifting dullness (-), bising usus (+)N. Ekstremitas : pitting edema pretibial (-/-)

M5

S O A P

M6

S O A P S O

12-1-2012

M3

BB : 24,5 kg

14

A P M4

Hipertensi stadium II Furosemide 3x25 mg IV Ukur TD/ 8 jam TISK KU & KS = M2 Hasil kultur dan resistensi urin steril TISK Kultur urin sterilM4 selesai GGA oliguria BAK sedikit (+), muntah (+) KU & KS = M2 Hasil laboratorium : ureum 359 kreatinin 14,7LFG 4,5 Na: 131, K; 3,5, Ca : 2,05 Gagal Ginjal Akut Oliguriakadar ureum > 200 mg, disertai oliguria, dan hipertensi yg tidak berespon terhadap pengobatan serta adanya gejala uremia indikasi dilakukan dialisis Inj. furosemide 2 x 25 mg IV catat intake output balans per 12 jam kebutuhan cairan IWL+output/ 24 jam400 ml periksa fungsi elektrolit dan ginjal berkala ( 2 kali seminggu) rencana dilakukan hemodialisakonsul divisi nefrologi ilmu penyakit dalam GNAPS BAK warna teh tua KU dan KS=M2 GNAPS inj. Ceftriakson 1x2 g Hipertensi std II Sakit kepala berkurang KU: sens : CM, TD: 120/80 mmhg, N: 100x/m (isi tegangan cukup). RR: 28x/m, T: 37,4 C KS: Kepala: NCH(-), edema palpebra(+) Thorak : simetris, retraksi -/-, Cor: BJ I II N, bising (-) gallop(-), Pulmo: Vesikuler (+)/(+) N, Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-) Abdomen : datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba pembesaran, shifting dullness (-), bising usus (+)N. Ekstremitas : pitting edema pretibial (-/-) Hipertensi stadium II Furosemide 3x25 mg IV Ukur TD/ 8 jam GGA oliguria BAK sedikit (+), muntah (+) KU & KS = M2 Gagal Ginjal Akut Oliguria Inj. furosemide 2 x 25 mg IV catat intake output balans per 12 jam kebutuhan cairan IWL+output/ 24 jam periksa fungsi elektrolit dan ginjal berkala ( 2 kali seminggu) menunggu jadwal dilakukan hemodialisa diet nasi biasa 2000 kkal + 25 gr protein

S O A P

Balans cairan I :450 ml O :200 ml IWL :200ml B: +50ml D: 0,66 Ml/kgBB/jam

M5 S O A P

M6

S O A P S O

15-1-2012
BB : 24 kg

M3

A P M5

S O A P

15

M6 S O A P

17-1-2012
BB : 24 kg

M3 S O

Balans cairan I :400 ml O :250 ml IWL :200ml B: -50ml D: 0,83 Ml/kgBB/jam

A P M5 S O A P

GNAPS BAK warna teh tua KU dan KS=M2 GNAPS inj. Ceftriakson 1x2 g Hipertensi std II KU: sens : CM, TD: 120/90 mmhg, N: 100x/m (isi tegangan cukup). RR: 28x/m, T: 37,4 C KS: Kepala: NCH(-), edema palpebra(+) Thorak : simetris, retraksi -/-, Cor: BJ I II N, bising (-) gallop(-), Pulmo: Vesikuler (+)/(+) N, Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-) Abdomen : datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba pembesaran, shifting dullness (-), bising usus (+)N. Ekstremitas : pitting edema pretibial (-/-) Hipertensi stadium II Furosemide 3x25 mg IV Ukur TD/ 8 jam BAK sedikit (+) KU & KS = M2 Hasil laboratorium : ureum 359 kreatinin 14,7LFG 4,5 Na: 131, K; 3,5, Ca : 2,05 Gagal Ginjal Akut Oliguria Inj. furosemide 2 x 25 mg IV catat intake output balans per 12 jam kebutuhan cairan IWL+output/ 24 jam450 ml periksa fungsi elektrolit dan ginjal berkala ( 2 kali seminggu) dilakukan Hemodialisa hari pertama dengan QV 140 ml/menit QB 85 ml/menit diet nasi biasa 2000 kkal + 25 gr protein GNAPS BAK warna teh tua KU dan KS=M2 GNAPS inj. Ceftriakson 1x2 g Hipertensi std II Sakit kepala (-) KU: sens : CM, TD: 122/80 mmhg, N: 100x/m (isi tegangan cukup). RR: 28x/m, T: 37,3 C KS: Kepala: NCH(-), edema palpebra(-) Thorak : simetris, retraksi -/-, Cor: BJ I II N, bising (-) gallop(-), Pulmo: Vesikuler (+)/(+) N, Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-) Abdomen : datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba pembesaran, shifting dullness (-), bising usus (+)N. Ekstremitas : pitting edema pretibial (-/-) Hipertensi stadium II Furosemide 3x25 mg IV Ukur TD/ 8 jam GGA oliguria BAK lancar KU & KS = M2 Hasil laboratorium : ureum 151 kreatinin 6,4LFG 10,3 Na: 134, K; 3,1

M6 S O A P

20-1-2012 BB: 24 kg

M3

S O

Balans cairan I :450 ml O :500 ml IWL :200ml B: -250ml D: 1,66 Ml/kgBB/jam

A P M5

S O

16

A P

M6 S O A P

23-1-2012

M3 S O

A P
Balans cairan I :700 ml O :650 ml IWL :200ml B: -150ml D: 2,25 Ml/kgBB/jam

Gagal Ginjal Akut Oliguria perbaikan Inj. furosemide 2 x 25 mg IV catat intake output balans per 12 jam kebutuhan cairan IWL+output/ 24 jam700 ml periksa fungsi elektrolit dan ginjal berkala ( 2 kali seminggu) Hemodialisa hari kedua diet nasi biasa 2000 kkal + 25 gr protein GNAPS BAK warna jernih KU dan KS=M2 GNAPS inj. Ceftriakson 1x2 gstop Hipertensi std II KU: sens : CM, TD: 120/80 mmhg, N: 100x/m (isi tegangan cukup). RR: 28x/m, T: 37,3 C KS: Kepala: NCH(-), edema palpebra(-) Thorak : simetris, retraksi -/-, Cor: BJ I II N, bising (-) gallop(-), Pulmo: Vesikuler (+)/(+) N, Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-) Abdomen : datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba pembesaran, shifting dullness (-), bising usus (+)N. Ekstremitas : pitting edema pretibial (-/-) Hipertensi stadium II Furosemide 3x25 mg IV Ukur TD/ 8 jam GGA oliguria BAK lancar KU & KS = M2 Hasil laboratorium : ureum 144 kreatinin 7,9LFG 8,4 Na: 138, K; 3,1 Gagal Ginjal Akut Oligurianon oliguria Inj. furosemide 2 x 25 mg IV catat intake output balans per 12 jam kebutuhan cairan IWL+output/ 24 jam850 ml periksa fungsi elektrolit dan ginjal berkala ( 1 kali seminggu) Hemodialisa ke III diet nasi biasa 2000 kkal + 25 gr protein GNAPS BAK warna jernih KU dan KS=M2 Hasil urin rutin: warna jernih, sedimen : epitel(+), WBC 8-9/LPB, RBC 10-12/LPB, silinder noktah (+), protein (+), Glukosa(-) GNAPS -

M5 S O A P

M6 S O

A P

25-1-2012

M3 S O

Hipertensi std II KU: sens : CM, TD: 120/80 mmhg, N: 100x/m (isi tegangan cukup). RR: 28x/m, T: 37,3 C KS: Kepala: NCH(-), edema palpebra(-)

17

Balans cairan I :1200 ml O :1000 ml IWL :400ml B: -200ml D: 3,47 Ml/kgBB/jam

A P

Thorak : simetris, retraksi -/-, Cor: BJ I II N, bising (-) gallop(-), Pulmo: Vesikuler (+)/(+) N, Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-) Abdomen : datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba pembesaran, shifting dullness (-), bising usus (+)N. Ekstremitas : pitting edema pretibial (-/-) Hipertensi stadium II Furosemide 3x25 mg IV Ukur TD/ 8 jam GGA non oliguria BAK lancar KU & KS = M2 Hasil laboratorium : ureum 105 kreatinin 3,4LFG 19,4 Na: 144, K; 2,8 Gagal Ginjal Akut non oliguria Inj. furosemide 2 x 25 mg IV catat intake output balans per 12 jam kebutuhan cairan IWL+output/ 24 jam maintenance 16 gtt makro periksa fungsi elektrolit dan ginjal berkala ( 1 kali seminggu) Hemodialisa ke IV diet nasi biasa 2000 kkal + 25 gr protein GNAPS BAK warna jernih KU dan KS=M2 GNAPS -

M5 S O A P

M6 S O A P

28-1-2012

M3 S O

A P

Hipertensi std II KU: sens : CM, TD: 120/80 mmhg, N: 100x/m (isi tegangan cukup). RR: 28x/m, T: 37,3 C KS: Kepala: NCH(-), edema palpebra(-) Thorak : simetris, retraksi -/-, Cor: BJ I II N, bising (-) gallop(-), Pulmo: Vesikuler (+)/(+) N, Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-) Abdomen : datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba pembesaran, shifting dullness (-), bising usus (+)N. Ekstremitas : pitting edema pretibial (-/-) Hipertensi stadium II respon penderita dengan obat anti hipertensi tunggal tidak berhasil menurunkan tekanan darah dan saat ini fungsi ginjal penderita membaik sehingga ditambahkan obat golongan ACE- inhibitorcaptopril 2x 6,25 mg Furosemide 3x25 mg IV Ukur TD/ 8 jam GGA non oliguria BAK lancar KU & KS = M2 Hasil laboratorium : ureum 35 kreatinin 0,9LFG 73,9 Na: 142, K; 3,1kesan M5 selesai Inj. furosemide 2 x 25 mg IV catat intake output balans per 12 jam kebutuhan cairan KAEN 1B gtt 16/makro

M5 S O A P

18

periksa fungsi elektrolit dan ginjal berkala ( seminggu 1 kali ) diet nasi biasa 2000 kkal + 25 gr protein M6 S O BAK warna jernih KU dan KS=M2 Hasil urin rutin: warna jernih, sedimen : epitel(+), WBC 7-8/LPB, RBC 6-8/LPB, silinder noktah (+), protein (+), Glukosa(-) GNAPS Hipertensi std I KU: sens : CM, TD: 110/80 mmhg, N: 100x/m (isi tegangan cukup). RR: 20 x/m, T: 36,8 C KS: Kepala: NCH(-), edema palpebra(-) Thorak : simetris, retraksi -/-, Cor: BJ I II N, bising (-) gallop(-), Pulmo: Vesikuler (+)/(+) N, Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-) Abdomen : datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba pembesaran, shifting dullness (-), bising usus (+)N. Ekstremitas : pitting edema pretibial (-/-) Hipertensi stadium Idengan penilaian tiga kali berturut-turut dalam waktu berbeda Furosemide 3x25 mg IV captopril 2x 6,25 mg PO Ukur TD/ 8 jam BAK warna jernih KU dan KS=M2 GNAPS Hipertensi std I S O KU: sens : CM, TD: 110/80 mmhg, N: 100x/m (isi tegangan cukup). RR: 20 x/m, T: 36,9 C KS: Kepala: NCH(-), edema palpebra(-) Thorak : simetris, retraksi -/-, Cor: BJ I II N, bising (-) gallop(-), Pulmo: Vesikuler (+)/(+) N, Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-) Abdomen : datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba pembesaran, shifting dullness (-), bising usus (+)N. Ekstremitas : pitting edema pretibial (-/-) Hipertensi stadium I Furosemide 3x25 mg IV captopril 2x 6,25 mg PO Ukur TD/ 8 jam

A P

30-1-2012

M3 S O

A P

M6

S O A P

02-2-2012

M3

A P

M6 S O A P BAK jernih KU dan KS=M2 Hasil urin rutin: warna jernih, sedimen : epitel(+), WBC 6-8/LPB, RBC 6-7/LPB, silinder noktah (+), protein (+), Glukosa(-) GNAPS -

19

04-2-2012

M3 S O

Hipertensi std I KU: sens : CM, TD: 110/80 mmhg, N: 98x/m (isi tegangan cukup). RR: 20 x/m, T: 36,9 C KS: Kepala: NCH(-), edema palpebra(-) Thorak : simetris, retraksi -/-, Cor: BJ I II N, bising (-) gallop(-), Pulmo: Vesikuler (+)/(+) N, Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-) Abdomen : datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba pembesaran, shifting dullness (-), bising usus (+)N. Ekstremitas : pitting edema pretibial (-/-) Hipertensi stadium I Furosemide 3x25 mg IV captopril 2x 6,25 mg PO Ukur TD/ 8 jam BAK jernih KU dan KS=M2 Laboratorium : Darah rutin: Hb: 10,9 g/dl; Ht:31 vol%, WBC: 7,8x109 /L, Trombosit: 380x109, LED: 8 mm/jam, DC: 0/2/0/52/2210, Urin rutin: warna jernih, sedimen: sel epitel (-), WBC : 1-3/LPB, RBC: 0-1/LPB, silinder nokhtah (-), protein (-), glukosa (-) Ureum: 35, kreatinin : 0,7LFG 95,07 GNAPS perbaikanM6 selesai Hipertensi std I S O KU: sens : CM, TD: 110/80 mmhg, N: 98x/m (isi tegangan cukup). RR: 20 x/m, T: 36,9 C KS: Kepala: NCH(-), edema palpebra(-) Thorak : simetris, retraksi -/-, Cor: BJ I II N, bising (-) gallop(-), Pulmo: Vesikuler (+)/(+) N, Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-) Abdomen : datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba pembesaran, shifting dullness (-), bising usus (+)N. Ekstremitas : pitting edema pretibial (-/-) Hipertensi stadium I Furosemide 3x25 mg IV captopril 2x 6,25 mg PO penderita boleh pulang dan rawat jalan. Orang tua penderita di edukasi agar kembali kontrol 1minggu lagi untuk evaluasi fungsi ginjal dan tekanan darahnya.

A P

M6

S O

A P

6-1-2012

M3

A P

20

TINJAUAN PUSTAKA
Glomerulus akut (GNA) merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan proses peradangan dan proliferasi sel di glomeruli ginjal yang ditimbulkan oleh reaksi imunologik terhadap antigen tertentu.1-6 Secara klinis gangguan ini ditandai dengan gejala-gejala yang timbul secara mendadak terdiri dari hematuria dalam berbagai derajat, proteinuria, penurunan laju filtrasi glomerulus, oliguria, edema, kongesti vaskuler dan hipertensi. Pada anak-anak, GNA yang terjadi kebanyakan didahului oleh infeksi streptokokus yang nefritogenik dan disebut sebagai glomerulonefritis akut pasca streptokokus. ETIOLOGI Secara umum diketahui bahwa penyebab GNAPS didahului infeksi Streptokokus Hemolitikus grup A, tetapi tidak semua tipe Streptokokus Hemolitikus Grup A ini bersifat nefritogenik. Beberapa tipe yang sering menyerang saluran nafas adalah tipe M 1,2,4,12,18,25 dan yang menyerang kulit adalah tipe M 49,55,57, 60.1,7,8 INSIDEN Insiden penyakit ini tidak diketahui secara tepat, diperkirakan jauh lebih tinggi dari data statistik yang dilaporkan oleh karena banyaknya pasien yang tidak menunjukkan gejala sehingga tidak terdeteksi. Walaupun dapat menyerang semua usia, tetapi insiden tertinggi terjadi pada usia 210 tahun.8 Perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 2:1. Hasil penelitian multisenter di Indonesia pada tahun 1988 melaporkan adanya 170 pasien yang dirawat di RS pendidikan dalam 12 bulan. Pasien terbanyak dirawat di Surabaya (26,5%), kemudian disusul berturut-turut Jakarta (24,7%), Bandung (17,6%) dan Palembang (8,2%).1,2 Pasien laki-laki berbanding perempuan 1,3:1 dan terbanyak menyerang anak usia 6-8 tahun. PATOGENESIS Walaupun telah diteliti sejak tahun limapuluhan, patogenesis GNAPS belum diketahui secara pasti.4 Seperti beberapa penyakit ginjal lainnya, GNAPS termasuk golongan immune complex disease. 3-7 Beberapa bukti bahwa GNAPS termasuk penyakit imunologik adalah:

21

adanya periode laten antara infeksi streptokokus dan gejala klinik kadar imunologlobulin G (IgG) menurun dalam darah kadar komplemen C3 menurun dalam darah adanya endapan IgG dan C3 di glomerulus titer antistreptolisin O (ASTO) yang meninggi dalam darah GNAPS adalah suatu penyakit imunologik akibat reaksi antigen-antibodi yang terjadi dalam

sirkulasi atau in situ dalam glomerulus. Proses inflamasi yang mengakibatkan terjadinya jejas renal dipicu oleh: 1. 2. Aktivasi plasminogen menjadi plasmin oleh streptokinase yang kemudian diikuti oleh aktivasi kaskade komplemen. Deposit kompleks Ag-Ab yang telah terbentuk sebelumnya ke dalam glomerolus Antibodi antistreptokokus yang telah terbentuk sebelumnya berikatan dengan molekul tiruan (molecular mimicry) dari protein renal yang menyerupai antigen streptokokus. Pada mulanya kompleks imun yang berbentuk kecil dan tidak difagosit tetapi terus beredar dalam sirkulasi. Semakin banyak jumlah antibodi yang dibentuk, kompleks imun bertambah besar dan segera difagosit oleh makrofag.10 Tetapi pada keadaan jumlah antigen yang besar, mekanisme fagositosis ini tidak efektif lagi, sehingga kompleks imun tetap berada dalam sirkulasi dan mengendap, ini akan mengaktifkan sistem komplemen. Aktivasi dari sistem komplemen menimbulkan pelepasan amine vasoaktif dan aktivasi kinin atau sistem koagulasi. Di samping itu faktor kemotaktik juga ikut dilepaskan dan menyebabkan infiltrasi dari sel PMN dan kerusakan glomeruli. Sistem imun humoral dan kaskade komplemen akan aktif bekerja apabila terdapat deposit subepitel C3 dan IgG dalam membran basal glomerulus. Kadar C3 dan C5 yang rendah dan kadar komplemen jalur klasik (C1q,C2 dan C4) yang normal menunjukkan bahwa aktivasi komplemen melalui jalur alternatif.10 Deposit kompleks imun ini berhubungan dengan pengikatan kompleks imun pada berbagai reseptor, misalnya reseptor C3b (pada epitel glomerulus), reseptor Clq (pada sel endotel), reseptor Fe (pada sel interstisial ginjal, atau endotel yang rusak). Selain itu juga dipengaruhi afinitas antigen dalam kompleks imun untuk jaringan tertentu, misalnya afinitas DNA pada membran basalis glomerulus dan kolagen.1,10

22

Deposit imunoglobulin pada glomerulus menyebabkan tertariknya neutrofil, sel T dan makrofag. Aktivasi mediator selular dan humoral ini membebaskan produk toksik seperti enzim proteolitik dan komponen oksigen reaktif, yang akan mencerna GBM.1 Berbagai jenis sitokin dan faktor imunitas selular lainnya mengawali respon peradangan dengan proliferasi selular dan edema glomerulus. Kompleks imun yang mengandung IgG juga dapat menstimulasi mediator seperti komponen-komponen. Selain itu fragmen komplemen dengan vasoaktif kemotaktik (C3a, C5a) dapat meningkatkan penarikan neutrofil ke sisi yang cedera sehingga meningkatkan permeabilitas glomerulus.6 Adanya proliferasi sel-sel mesangial dan endotelial disertai infiltrasi lekosit polimorfonuklear, monosit dan eosinofil ke dalam lumen kapiler dan mesangium, terjadi penyumbatan dari lumen kapiler. Akibatnya glomerulus relatif kekurangan darah, yang berhubungan dengan penurunan laju filtrasi glomerulus.1,2,6 Selain itu adanya infiltrasi mediator-mediator peradangan ini menyebabkan kerusakan kapiler glomerulus, yang meningkatkan permeabilitasnya. Akibatnya pada GNAPS akan dijumpai hematuria (makroskopik atau mikroskopik), proteinuria, penurunan laju filtrasi glomerulus kadangkadang dengan oliguria, serta retensi air dan garam yang melibatkan sistem kardiovaskuler sehingga menyebabkan terjadinya edema, overload volume sirkulasi dan hipertensi. PATOFISIOLOGI Laju filtrasi glomerulus (LFG) yang berkurang pada GNAPS disebabkan oleh karena berkurangnya permukaan filtrasi glomerulus karena infiltrasi oleh sel-sel inflamasi dan berkurang permeabilitas membran basement.1 Penurunan LFG akan menimbulkan retensi natrium dan air yang mengakibatkan ekspansi cairan ekstraseluler. Ekspansi ini juga menyebabkan bendungan sirkulasi yang akhirnya menimbulkan edema pada berbagai organ tubuh. Bila bendungan sirkulasi ini hebat maka akan terjadi gejala-gejala seperti sesak nafas, edema paru dan pembesaran jantung. Bendungan sirkulasi ini memegang peranan dalam terjadinya hipertensi, anemia dan ensefalopati. Tetapi penurunan LFG bukan satu-satunya penyebab retensi natrium, mengingat kasus-kasus GNAPS dengan LFG normal. Penyebab lain ialah sekresi renin oleh aparatus juxta glomerulus yang merubah angiotensinogen menjadi angiotensin 1, selanjutnya oleh pengaruh angiotensin converting enzym (ACE), angiotensin 1 diubah menjadi angiotensin 2. Selanjutnya angiotensin 2 ini dapat menyebabkan vasokonstriksi 23

perifer dan juga merangsang kelenjar suprarenalis untuk mengeluarkan hormon aldosteron yang dapat mengakibatkan retensi natrium dan air. Selain aldosteron, pelepasan antidiuretik hormon (ADH) oleh hipofisis juga dapat mengakibatkan retensi natrium dan air.7 Penurunan LFG dapat mengakibatkan terjadinya GGA yang merupakan komplikasi GNAPS yang jarang terjadi. Gagal ginjal akut adalah penurunan fungsi ginjal yang mendadak dengan akibat hilangnya kemampuan ginjal untuk mempertahankan homeostasis tubuh. Akibat penurunan fungsi ginjal terjadi peningkatan metabolit persenyawaan nitrogen seperti ureum dan kreatinin serta gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit yang seharusnya dikeluarkan oleh ginjal. Pada GNAPS, GGA dapat terjadi pada < 1% pasien dan disebabkan karena penyempitan kapiler-kapiler glomerulus, terhimpit oleh proliferasi sel mesangial dan endotel kapiler sendiri. Tanda pertama yang harus diperhatikan pada GGA sebagai komplikasi dari GNAPS ialah adanya oliguria (200350ml/m2/hari).7 Walaupun begitunya GGA tidak selalu didahului oliguria. Oleh karena itu perlu diperiksa secepatnya kadar ureum dan kreatinin darah yang bila meningkat menunjukkan terjadi gagal ginjal. PATOLOGI Secara makroskopis ginjal membesar secara simetris, tampak pucat dan terdapat penebalan terutama di daerah korteks.4 Dengan menggunakan mikroskop cahaya akan tampak gambaran GNAPS pada fase akut berupa glomerulonefritis proliferatif difus. Kelainan yang ditemukan (1) glomerulus sembab sehinggga ruangan bowman terisi (2) hiperselularitas sel-sel endotel (3) mesangial dan epitel (4) sembab jaringan interstitial dan banyak mengandung sel-sel limposit dan polimorfonuklear (5) kadang-kadang dijumpai trombi-trombi fibrin pada lumen kapiler glomerulus. Pada beberapa kasus berat kadang-kadang dijumpai gambaran sabit dengan gambaran klinis dan histologi menyerupai glomerulonefritis kresentik progresif cepat.4 Pada pemeriksaan mikroskop elektron terlihat deposit padat-elektron dalam mesangium yang besar dan jelas yang dikenal dengan istilah humps yang terletak pada daerah subepitelial yang khas. Pada pemeriksaan mikroskop imunofloresen terlihat endapan IgG granular iregular dan C3 mulai dari yang halus sampai kasar tipikal di dalam mesangium dan di sepanjang dinding kapiler. Endapan imunoglobulin dalam kapiler glomerulus didominasi oleh IgG dan sebagian kecil IgM atau IgA. Pada umumnya tidak ditemukan C1q dan C4. Pewarnaan fibrin kadang-kadang dijumpai dalam mesangium.4 24

Lesi histologis yang abnormal lama kelamaan akan menghilang dalam waktu yang bervariasi. Deposit padat-elektron biasanya akan menghilang dalam waktu 1 tahun. Infiltrasi polimorfonuklear dan proliferasi sel mesangial dan endotel mulai menghilang dalam waktu 2-3 bulan tetapi kadang-kadang proliferasi mesangial terutama ekspansi matriks mesangial dapat menetap dalam beberapa tahun.4 MANIFESTASI KLINIK Gambaran klinis GNAPS sangat bervariasi, mulai dari tanpa keluhan, keluhan ringan, sampai timbulnya gejala-gejala berat dengan bendungan sirkulasi atau gagal ginjal akut. Gambaran klinik yang klasik ditemukan adalah adanya fase laten setelah infeksi saluran nafas atau kulit oleh kuman streptokokus B hemolitikus grup A dari strain nefritogenik sebelum timbulnya manifestasi klinik dari kerusakan glomerulus akut. Masa laten antara infeksi saluran nafas dengan timbulnya GNAPS biasanya 8-14 hari dan pada penyakit kulit dalam waktu 14-21 hari. Sebagian besar pasien tidak ingat kejadian faringitis atau impetigo sebelumnya dan orang tua pasien biasanya juga tidak memperhatikan adanya penyakit tersebut karena mereka tidak menganggapnya penting. Oleh karena itu sebaiknya dicari lesi kulit yang mungkin merupakan petunjuk. 3,4,6 Edema merupakan gejala yang paling sering ditemukan (90%) penderita terutama di daerah kelopak mata, timbul pada pagi hari dan hilang pada siang hari. Bila perjalanan penyakit bertambah berat dan progresif, edema menetap dan berat. Mekanisme edema berhubungan dengan retensi natrium dan air, selain itu mungkin berhubungan dengan faktor-faktor lain, antara lain derajat proteinuria. Jika terjadi retensi cairan yang hebat, dapat timbul asites dan edema genitalia ekterna.2,5,6 Hematuria makroskopik terdapat 30-70% kasus GNAPS, sedangkan hematuria mikroskopik dijumpai hampir pada semua kasus. Urin tampak coklat kemerahan seperti warna teh tua atau warna koka kola. Hematuria biasanya timbul dalam minggu pertama dan berlangsung beberapa hari. Hematuria mikroskopik dapat berlangsung lama, umumnya menghilang setelah 6 bulan timbulnya gejala-gejala.2,6 Hipertensi merupakan salah satu gejala utama yang terdapat pada 60-70% kasus GNAPS, biasanya ringan atau sedang. Timbulnya pada minggu pertama dan umumnya menghilang bersamaan dengan hilangnya gejala klinik yang lain. Sekitar 1-5% dapat terjadi hipertensi berat disertai ensepalopati. Mekanisme terjadinya hipertensi belum jelas, kemungkinan besar disebabkan 25

karena adanya retensi natrium dan air akibat penurunan filtrasi glomerulus, sehingga menyebabkan ekspansi volume plasma.6,7 Bendungan sirkulasi dapat terjadi pada GNAPS yang ditandai dengan adanya takipneu, dyspneu akibat edema paru atau efusi pleura. Dapat pula terjadi dekompensasio kordis ditandai takikardi, hepatomegali, irama gallop. Bendungan sirkulasi dapat terjadi akibat peningkatan volume plasma dan cairan ekstraseluler. Oliguria dapat terjadi pada 5-10% kasus GNAPS dengan produksi urin kurang dari 350 ml/m2/hari. Oliguria terjadi karena penurunan fungsi ginjal atau timbul kegagalan ginjal akut. Oliguria biasanya timbul pada minggu pertama dan biasanya menghilang bersamaan dengan timbulnya diuresis pada akhir minggu pertama. Anuria jarang terjadi, apabila persisten menunjukan bahwa problem yang mendasarinya adalah berat seperti obstruktif nefropati atau glomerulonefritis progresif cepat. Walaupun demikian terdapat kasus-kasus anuria dua hari atau lebih yang sembuh sempurna.7 Selain gejala-gejala utama diatas, kadang-kadang dijumpai gejala umum seperti lelah, malaise, letargi dan anoreksia. Gangguan tersebut biasanya menghilang dalam minggu pertama setelah istirahat di tempat tidur. Gejala gastrointestinal seperti nausea, sakit perut, konstipasi jarang ditemukan. Gejala pucat disebabkan anemia karena proses dilusi dan edema yang menekan kapilerkapiler. PEMERIKSAAN LABORATORIUM Urinalisa Jumlah urin biasanya berkurang dan berawarna gelap atau coklat (seperti air cucian daging). Hematuria biasanya terdapat pada hampir semua pasien dapat secara makroskopik maupun mikroskopik. Toraks eritrosit didapatkan pada 60-85% kasus yang menunjukkan adanya perdarahan glomerulus. Pada penderita GNAPS mungkin pula memberikan gejala-gejala leukosituria, toraks hialin dan torak glomeruler. Proteinuria biasanya tidak melebihi +2, secara kuantitatif pada umumnya kurang dari 2 gram/m2/24 jam. Pada kasus proteinuria +3 harus dipertimbangkan adanya gejala sindroma nefrotik atau akibat hematuria makroskopik. Hilangnya proteinuria tidak selalu bersamaan dengan hilangnya gejala-gejala klinik sebab lamanya proteinuri bervariasi antara beberapa minggu sampai beberapa bulan. Sebagai batas 6 bulan, bila lebih dari 6 bulan masih terdapat proteinuria,

26

disebut proteinuria persisten yang menunjukkan suatu glomerulonefritis kronik sehingga memerlukan biopsi ginjal untuk membuktikannya.6,8 Fungsi ginjal LFG pada umumnya berkurang dan pengurangan ini biasanya sejajar dengan beratnya kerusakan secara histologis. Menurunnya LFG terjadi akibat tertutupnya permukaan glomerulus dengan deposit kompleks imun. Kadar ureum dan kreatinin serum umumnya meningkat pada fase akut tetapi kemudian akan kembali normal. Pada sejumlah kecil kasus dapat disertai azotemia berat disertai peningkatan fosfat, hiperkalemia, hipokalsemia dan asidosis metabolik7 Darah Anemia normokrom normositer dapat terjadi yang disebabkan hemodilusi. Beberapa peneliti melaporkan adanya pemendekan masa hidup eritrosit, trombositopenia, peningkatan fibrinogen, faktor VIII dan aktivasi plasmin. Jumlah leukosit pada umumnya normal atau dapat pula sedikit meningkat dan jumlah trombosit pada umumnya normal. Laju endap darah (LED) pada umumnya meninggi pada fase akut dan menurun sesudah gejala klinik menghilang. Walaupun demikian LED tidak dipakai sebagai parameter sembuhnya GNAPS karena terdapat kasus-kasus GNA dengan LED tinggi walaupun gejala-gejala klinik sudah tidak ada.7 Kadar albumin dan protein total serum pada umumnya sedikit menurun yang disebabkan proses dilusi. Menurunnya kadar albumin serum berbanding terbalik dengan jumlah deposit imun kompleks pada mesangial glomerulus. Bakteriologi Pemeriksaan bakteriologi penting untuk mengisolasi dan mengidentifikasi kuman streptokokus. Biakan mungkin hasilnya negatif bila pasien telah diberi antimikroba. Pemeriksaan bakterologi ini hanya bersifat mendukung adanya infeksi streptokokus sebelumnya, tetapi tidak dapat memastikan diagnosis GNAPS karena sebagian besar penderita menunjukkan hasil negatif dan adanya hasil yang positif tidak menjamin mempunyai sifat nefritogenik, mungkin hanya infeksi sekunder dipengaruhi pemberian antibiotika. Serologi Pada pemeriksaan serologi dijumpai adanya peningkatan titer antibodi tehadap produksi antigen ekstraseluler streptokokus. Kenaikkan titer antibodi ini dapat diukur dengan tes streptosim

27

yaitu

antistreptolisin-O

(ASTO),

antistreptokinase

(ASKase),

antihialuronidase

(aHase),

antideoksiribonuklease-B (anti-DNase-B), antinikotiniladenin dinukleotidase (ANADase) yang digunakan untuk memastikan infeksi streptokokus sebelumnya. Titer ASTO adalah yang diukur karena mudah dititrasi dan biasanya diperiksa pada akhir minggu pertama atau permulaan minggu kedua oleh karena ASTO meningkat pada waktu-waktu tersebut. Kenaikan titer ASTO timbul 10-14 hari setelah infeksi streptokokus, mencapai puncak pada minggu ke 4 dan tetap tinggi beberapa bulan.4 Respon imunologi terhadap infeksi streptokokus pada faringitis berbeda dengan yang terdapat pada kulit. Sebagian besar anak-anak (95%) dengan faringitis akan berespon dengan peningkatan antibodi terhadap antigen multipel. Pada infeksi kulit atau piodermi, titer ASTO jarang meningkat karena perubahan atau inaktivasi streptolisin oleh lemak kulit akan tetapi titer anti-DnaseB tetap meningkat pada 90-95% kasus. Pengukuran titer setiap dua minggu akan menunjukkan perubahan level dan akan memberikan kemaknaan yang lebih baik bahwa infeksi sebelumnya secara sementara berhubungan dengan glomerulonefritis. Pemeriksaan imunologi Kadar C3 rendah pada hampir semua pasien dalam 2 minggu pertama, tetapi C4 normal atau sedikit meningkat, sedangkan kadar properdin menurun pada 50% kasus. Keadaan tersebut menunjukkan adanya aktivasi jalur komplemen. Keadaan tersebut menunjukkan adanya aktivasi jalur aktif komplemen. Penurunan C3 sangat mencolok pada pasien GNAPS, sering kadarnya sekitar 2040mg/dl (normal: 80-170 mg%). Tetapi penurunan C3 tidak berhubungan dengan parahnya penyakit dan kesembuhan. Kadar komplemen akan mencapai normal kembali dalam waktu 8-10 minggu, sehingga pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan secara serial. Pengamatan itu memastikan diagnosis, karena glomerulonefritis lain juga menunjukkan penurunan kadar C3 tidak berlangsung lama. 9 Biopsi Ginjal Biopsi ginjal jarang diindikasikan pada anak-anak dengan GNAPS, tetapi sebaiknya dipertimbangkan pada keadaan sebagai berikut pada onset dengan gejala yang atipikal seperti adanya anuria, sindroma nefrotik, azotemia yang nyata, tidak ada bukti serologis yang menunjukkan adanya infeksi streptokokus sebelumnya. Dan terlambatnya penyembuhan dengan kadar C3 yang menurun secara persisten, hipertensi yang bermakna dan hematuria makroskopik setelah 3 minggu

28

atau proteinuria yang persisten atau tanpa hematuria setelah 6 bulan. Hematuria mikroskopik selama lebih dari 1 tahun mungkin muncul dan sebaiknya diindikasikan untuk biopsi ginjal.10

Pemeriksaan Radiologis Pada foto toraks dapat ditemukan kardiomegali, bendungan paru dan efusi pleura. Manifestasi klinis ini kemungkinan disebabkan adanya kongesti sirkulasi sentral sekunder sebagai bagian dari venokonstriksi perifer dan hipervolemia. Menurut penelitian Albar dkk, didapatkan gambaran radiologis sebagai berikut: kardiomegali (84,1%), bendungan sirkulsi (68,2%), efusi pleura (65,9%) dan edema paru (48,9%).10 Elektrokardiografi Bila tidak terdapat hiperkalemi, perubahan-perubahan pada EKG biasanya tidak spesifik, umumnya berupa elevasi atau depresi segmen ST dan gelombang T terbalik. Bila terdapat hiperkalemia akan didapatkan gambaran EKG berupa gelombang T yang runcing yang merupakan gejala awal manifestasi pada jantung, walaupun hal ini tidak selalu terlihat. Penemuan selanjutnya dapat berupa pemanjangan PR interval, gelombang P yang mendatar, pelebaran kompleks QRS, perubahan segmen ST, takikardia ventrikuler dan fibrilasi ventrikel terminal.10 DIAGNOSIS Diagnosis GNAPS dicurigai pada pasien dengan gejala klinik yang akut dengan adanya gross hematuria, edema dan gagal ginjal akut dikuti dengan infeksi streptokokus sebelumnya. Urinalisa menunjukkan karakteristik untuk glomerulonefritis, bukti-bukti laboratorium tentang infeksi streptokokus sebelumnya dan rendahnya kadar komplemen C3 mendukung diagnosis. DIAGNOSIS BANDING Banyak kelainan ginjal yang menyerupai GNAPS, meliputi nefritis IgA dan beberapa glomerulonefritis kronik, nefritis Henoch-Schonlein (NHSP), nefritis familial. Anak-anak dengan IgA nefropati sering kali muncul dengan gross hematuri yang tiba-tiba diikuti dengan infeksi saluran nafas bagian atas, hal ini sering dibingungkan dengan GNAPS. Apabila episode hematuria mikroskopik, yang terjadi bersamaan atau hanya dalam waktu 2-5 hari setelah suatu infeksi saluran nafas atas

29

maka lebih dicurigai suatu Nefropati IgA. Pada keadaan ini jarang didapati hipertensi ataupun edema. Pada nefropati IgA biasanya dengan gejala hematuria mikroskopik atau proteinuria yang persisten atau rekuren. Sedangkan hematuria mikroskopik pada GNAPS biasanya tidak rekuren dan tidak menetap melebihi 6 bulan.6,17 Apabila dijumpai gejala arthralgia, arthritis, karditis, keterlibatan hepar dan perdarahan saluran cerna, kurang mendukung diagnosis GNAPS. Harus dipikirkan bentuk glomerulonefritis lain seperti nefritis lupus atau nefritis Henoch-Schonlein. Pada keadaan ini tidak terbukti infeksi streptokokus dan kadar komplemen serum normal. 6 MPGN memiliki gejala yang sama dengan GNAPS, namun gejala awal penyakit biasanya lebih berat dengan fungsi ginjal yang sangat berkurang, serta perjalanan penyakit berlangsung kronis. Pada evaluasi lanjutan didapati hipokomplemenemia menetap, dimana penurunan komplemen tidak membaik dalam waktu 8 minggu.1,2 Glomerulonefritis progresif cepat adalah glomerulonefritis dengan gambaran histopatologik adanya bentukan cresent (bulan sabit) yang menunjukkan prognosis yang buruk. 1,2 Penyebabnya bisa paska infeksi streptokokus. Namun gambaran klinis biasanya berat dan cepat memburuk serta penyembuhan penyakit berlangsung lama. GNAPS harus dibedakan dari glomerulonefritis kronik eksaserbasi akut. Penderita dapat mengalami episode hematuria makroskopik, hipertensi atau azotemia. Biasanya ditemukan riwayat gejala penyakit ginjal atau gambaran gagal ginjal kronik antara lain retardasi pertumbuhan atau osteodistrofi ginjal.6 PENATALAKSANAAN Beratnya manifestasi klinis dari penderita GNAPS sangat bervariasi, sehingga tidak semua pasien memerlukan perawatan di rumah sakit. Perawatan di rumah sakit hanya dianjurkan untuk anak yang menderita hipertensi, edema yang berat, oliguria, penurunan fungsi ginjal yang berat, adanya tanda dan gejala uremia atau dengan muntah-muntah hebat dan letargis. Terapi bersifat supportif dan simptomatik terhadap gejala serta komplikasi dari nefritis akut. Jika terdapat bukti infeksi streptokokus, penderita GNAPS harus mendapat terapi antibiotika antistreptokokus. Antibiotika pilihan untuk golongan streptokokus grup A adalah penisilin (penisilin prokain 50.000 UI/kg/hari) atau eritromisin (50 mg/kg/hari dibagi 3 dosis) selama 10 hari, alternatif lain seperti klindamisin atau sefalosporin.
2,3,8

Tujuan terapi antibiotika ini adalah untuk

30

mengeradikasi kuman dan membatasi penyebaran bakteri nefritogenik, namun tidak mempengaruhi perjalanan penyakit serta prognosis nefritis.7,13 Untuk mengatasi hipervolemia yang terjadi pada penderita GNAPS, diperlukan penatalaksanaan dengan diuretika serta restriksi cairan. Diuretik loop seperti furosemid (1-2 mg/kg/kali), bekerja di loop henle ascendens. Diuretika golongan ini menghambat sistem transport lumen, dan menghalangi reabsorbsi natrium dan klorida, dimana sampai 25% dari natrium yang difiltrasi beserta air dapat diekskresi.15 Restriksi cairan sangat penting untuk penatalaksanaan hipertensi ringan, menghilangkan edema dan kongesti sirkulasi. Masukan cairan dibatasi sesuai jumlah insensible water loss (IWL) untuk mengimbangi kebutuhan cairan ketika terapi dengan diuretik. Sedangkan pada penderita dengan oligouri kurang memberi respon dengan diuretik dan pembatasan cairan sehingga cairan harus dibatasi ketat untuk mengatasi edema dan hipervolemia.6,13 Efek penghambat ACE adalah menghalangi konversi angiotensin I menjadi angiotensin II melalui penghambatan aktivitas enzim konvertase, sehingga mengurangi produksi aldosteron serta menurunkan resistensi pembuluh darah sistemik sehingga menurunkan tekanan darah. Captopril adalah salah satu penghambat ACE. Captopril akan menurunkan resistensi vaskular dan meningkatkan kapasitas vena, sehingga curah jantung meningkat dan tekanan pengisian jantung menurun. Selain itu dapat memberikan efek diuresis ringan karena aliran darah ginjal yang meningkat serta berkurangnya aldosteron. Dosis yang diberikan 0,3 mg/kg/hari dibagi 2-3 dosis. Terapi antihipertensi dapat diteruskan dengan dosis maintenans apabila diperlukan. 12 Pembatasan aktivitas dilakukan selama fase awal, terutama bila ada hipertensi, gross hematuria dan edema berat. Tirah baring dapat menurunkan derajat dan durasi gross hematuria. Pembatasan bahan makanan (restriksi cairan, diet rendah garam, rendah protein) tergantung kepada beratnya edema, gagal ginjal dan hipertensi.7 KOMPLIKASI Komplikasi GNAPS terutama terjadi pada fase akut berupa edema paru akut, gagal jantung kongestif, hipertensi ensefalopati atau gagal ginjal akut. 1. Edema paru akut Secara klinik edema paru merupakan gejala yang paling sering ditemukan akibat kongesti pembuluh darah paru. Edema paru dapat bersifat asimptomatik dan hanya diketahui dengan 31

pemeriksaan radiologi berupa densitas paru bertambah difus, terutama sekitar hilus atau tampak bercak bercak yang tidak teratur dikedua lapangan paru. Bila bersifat simptomatik maka timbul gejala gejala edema paru berupa batuk, sesak nafas sampai sianosis. Pada pemeriksaan fisik terdengar ronkhi basah kasar atau basah halus. Edema paru dapat diatasi dengan pemberian diuretik misalnya furosemide atau kalau tidak berhasil dilakukan peritoneal dialisis.7

2. Gagal jantung kongestif Gagal jantung kongestif jarang terjadi pada anak (<5%) dibandingkan populasi dewasa (43%).7,10,11 Pada gagal ventrikel kiri atau bendungan vena pulmonal, dapat ditemui gejala dan tanda perubahan fungsi respirasi, antara lain takipnea, wheezing, ronkhi, sianosis, dispnea serta batuk. Keadaan ini biasanya mendahului kongesti vena sistemik. Apabila telah terjadi gagal ventrikel kanan maka akan terjadi bendungan vena sistemik dengan gejala dan tanda bendungan vena sistemik antara lain hepatomegali, refluks hepatojugular, dilatasi dan peningkatan pulsasi vena jugularis serta edema perifer. Gejala kongesti pulmonal bersama gejala kongesti vena sistemik menunjukkan kegagalan kedua ventrikel, sehingga menjadi gagal jantung kongestif.14 Penatalaksanaan terhadap gagal jantung kongestif bertujuan antara lain menghilangkan gejala bendungan vena pulmonal dan sistemik, memperbaiki penampilan miokardium, serta menghilangkan penyakit yang mendasari. Tujuan ini dicapai dengan cara manipulasi terhadap peningkatan beban volume dan beban tekanan yang mendasari serta terhadap penampilan miokardium sendiri.14 Tirah baring diperlukan pada penderita dengan penyakit akut yang berat untuk mencegah komplikasi. Dengan adanya gagal jantung kongestif, penderita diposisikan setengah duduk yaitu kepala dan bahu ditinggikan dengan ganjalan bantal sehingga membentuk sudut 45 0 dengan dasar (posisi semi Fowler), ditambah ganjalan untuk meninggikan lutut dalam keadaan fleksi. Tujuannya adalah mengurangi aliran balik ke jantung kanan sehingga mengurangi beban jantung dan memperbaiki fungsi paru-paru.13,17,18 3. Ensefalopati hipertensi (EH) EH adalah suatu keadaan hipertensi berat yang terjadi secara akut dan menimbulkan gejalagejala serebral mulai dari sakit kepala, mual, muntah-muntah, gangguan penglihatan, kejang-kejang

32

sampai kesadaran menurun. Hipertensi ensefalopati hanya ditemukan pada 5% kasus.2,6 Biasanya ditandai dengan sakit kepala, muntah, bingung, penurunan kesadaran, kejang, agitasi, afasia atau kebutaan sementara. Hipertensi ensefalopati dapat terjadi pada penderita dengan edema atau kelainan urin yang minimal. EH terjadi bila tekanan darah diastolik > 120 mmHg dan tekanan darah sistolik > 180 mmHg atau pada setiap tingkat hipertensi yang disertai gejala-gejala ensefalopati. Langkah pertama penanganan EH ini adalah menurunkan tekanan darah secepat mungkin. Hal ini dapat dicapai dengan pemberian obat-obat anti hipertensi seperti nifedipin dan klonidin. Nifedipin sublingual 0,1 mg/kgbb, lasix 1 mg/kgbb/kali 2x//hari, nifedipin dapat dinaikkan 0,1 mg/kgbb/kali setiap 5 menit pada 30 menit pertama, lalu setiap 15 menit pada 1 jam, selanjutkan tiap 30 menit (max 10 mg/kali). Klonidin drip 0,002 mg/kg/8 jam dalam 100 cc D5% 12 tetes mikro (max 0,006 mg/kg/bb) + lasix 1 mg/kgbb/kali.1,7 4. Gagal ginjal akut (GGA) Penurunan fungsi ginjal biasanya ringan sampai sedang dengan meningkatnya kadar kreatinin (45%). Walaupun GGA pada GNAPS tidak sering terjadi tetapi kenyataannya terjadi pada fase akut harus diwaspadai mengingat penanganan yang terlambat dapat menyebabkan kematian penderita. Perhatian terutama ditujukan terhadap kesimbangan cairan, pemberian kalori, asam basa, elektrolit, kejang, penanganan hipertensi, dan anemia.1,2,7 4.1. Terapi cairan dan kalori Pada penderita GGA renal harus dilakukan retriksi cairan. Pemberian cairan harus diperhitungkan berdasarkan insensible water lose (IWL) + jumlah urin 1 hari sebelumnya + cairan dari muntah, feses, selang nasogatrik dan lain-lain. Dikoreksi jika ada kenaikan suhu tubuh setiap 10C sebanyak 12%. Perhitungan IWL dapat dilakukan berdasarkan caloric expenditure yaitu sebagai berikut: Berat badan 0-10 kg: 100 kal/kgBB/hari 11-20 kg: 1000 kal + 50 kal/kgBB/hari diatas 10 kgBB >20 kg: 1500 kal + 20 kal/kgBB/hari diatas 20 kgBB Jumlah IWL = 25 ml per 100 kal Cairan sebaiknya diberikan peroral kecuali jika pasien sering muntah diberikan infus. Pada pasien dengan overload cairan, pemberian cairan perlu dikurangi sesuai dengan beratnya overhidrasi. Jenis cairan yang dipakai adalah pada pasien anuria glukosa 10-20% dan pada pasien dengan oliguria

33

glukosa 10%-NaCl=3:1. Bila dipakai vena central dapat diberikan larutan glucosa 30-40%. Jumlah kalori minimal untuk mencegah terjadinya katabolisme 400 kal/m2/hari. Pendapat lain menyebutkan jumlah kalori minimal adalah 50-60 kal/kgBB/hari. Bila terapi konservatif berlangsung selama lebih dari 3 hari harus dipertimbangkan pemberian emulsi lemak dan protein 0,5-1 g/kgBB/hari. Pemberian protein kemudian disesuaikan sesuai dengan jumlah diuresis.1,2,7 4.2. Terapi gangguan asam dan basa Bila hasil pemeriksaan analisis gas darah menunjukkan hasil asidosis metabolik, dikoreksi dengan cairan natrium bikarbonat sesuai hasil analisis gas darah yaitu base ekses x berat badan x 0,3 mEq, atau kalau hal ini tidak memungkinkan dapat diberikan koreksi buta 2-3 mEq/kgBB/hari setiap 12 jam. 1,2,7 4.3. Koreksi gangguan elektrolit Hiponatremia Hiponatremi (Natrium < 130 mEq/L) sering ditemukan karena pemberian cairan yang berlebihan sebelumnya dan cukup dikoreksi dengan retriksi cairan. Koreksi natrium dilakukan jika hiponatremia kurang dari 120 mEq/L yang tidak respon dengan retriksi cairan atau disertai dengan gejala serebral. Dosis yang diperlukan (140-Na serum)x BB x 0,6= mEq. Natrium diberikan hanya separuhnya untuk mencegah terjadinya hipertensi dan overload cairan. Pendapat lain menganjurkan pemberian Na serum cukup sampai Na 125 Meq/L sehingga pemberian Na=(125-Na serum) x 0,6 x BB Hiperkalemia Penanganan hiperkalemia dilakukan dengan menurunkan kadar kalium dengan merangsang pengeluaran kalium dari dalam tubuh. Selain itu penting juga agar penderita tidak makan makanan yang mengandung kalium dan harus hati-hati bila memberikan transfusi karena darah merupakan sumber kalium. Gejala berat biasanya timbul pada kalium > 7,5mEq/L, namun keadaan hipokalsemia dan asidosis dapat meningkatkan toksisitasnya, sehingga kadar kalium >5,8 Meq/L tanpa gejala apapun harus diterapi dengan pemberian Na-polistiren sulfonat resin (kayeksalat) peroral atau perektal. Jika gelombang T runcing muncul, natrium bikarbonat dapat digunakan karena dapat memindahkan dengan cepat kalium ke dalam sel. Meskipun demikian terapi ini sebaiknya digunakan dengan hatihati karena perubahan yang cepat pada pH serum akan mengurangi konsentrasi kalsium ion

34

(khususnya apabila pasien dalam keadaan hiperfosfatemia) dan akan mencetuskan spasme karpopedal dan kejang. Bila kadar K>7mEq/L atau jika ada kelainan EKG atau jika ada aritmia jantung maka kalsium glukonas 10% digunakan (dengan monitoring EKG) dengan dosis 0,5-1 ml/kgBB iv dalam 10-15 menit, natrium bikarbonat 7,5% 1-2 mEq/kgBB iv dalam 10-15 menit. Kalsium glukonas dapat meningkatkan potensial ambang sel yang sensitif karena itu akan menghalangi efek hiperkalemi di otot jantung. Kemudian dapat diikuti dengan pemberian glukosa dan insulin yang ,meningkatkan pengambilan kalium intra seluler. Efikasi B-agonis (albuterol nebulizer) untuk mengoreksi hiperkalemia telah digunakan pada orang dewasa yang dilakukan hemodialisis, tertapi pada anak masih jarang. Na-polistiren sulfonat (kayesalat), suatu penukar ion yang akan menukar ion K dari dalam tubuh diganti dengan ion natrium. Obat ini dapat diberikan dengan 2 cara: peroral, obat dicampur dengan 2-4 ml sorbitol 70% atau per rektal dicampur dengan 10 cc/kgbb sorbitol 25-30% atau dekstrose 10% diamkan selama 30-60 menit. Bila masih hiperkalemi dapat diulang tiap 2-4 jam. Hiperfosfatemia Bila ringan tidak perlu diterapi, bila berat dapat diberikan kalsium karbonat sebagai pengikat fosfat. Dosis yang dianjurkan 300-400 mg/kgBB oral. Sebaiknya kadar fosfat dipertahankan antara 5-6 mg/dl Hipokalsemia Tidak perlu diterapi kecuali bila ada tetani. Bila ada tetani dapat diberikan Ca-glukonas 10% dosis 0,5-1 ml/kgBB iv pelan-pelan 4.4. Asam urat serum Asam urat serum dapat meningkat 10-25mg%, kadang-kadang sampai 50mg% untuk itu perlu diberikan allupurinol dengan dosis 100-200 mg/hari pada anak umur 8 tahun dan 200-300 mg/hari di atas 8 tahun. 4.5. Anemia Transfusi dilakukan bila kadar Hb<6g% atau Ht < 20%. Sebaiknya diberikan packed red cell (10cc/kgBB) untuk mengurangi penambahan volume darah dengan tetesan lambat 4-6 jam (lebih kurang 10 tetes/menit) 1,2,7

35

4.6. Terapi pengganti ginjal Umumnya penderita yang tidak menunjukkan gejala oliguria atau katabolik, tidak perlu dilakukan dialisis/hemofiltrasi. Indikasi dialisis pada anak dengan GGA: 1,2,7,19,20 1. Kadar ureum darah >200mg% 2. Hiperkalemi > 7,5mEq/L 3. Bikarbonat serum< 12 mEq/L 4. Adanya gejal-gejala overhidrasi; seperti edema paru, dekompensasi jantung dan hipertensi yang tidak dapat diatasi dengan obat-obatan. 5. Perburukan keadaan umum dengan gejala uremia berat: perdarahan, kesadaran menurun sampai koma. Dialisis dapat dilakukan dengan dialisis peritoneal atau hemodialisis. Dilisis peritoneal mudah dilakukan di daerah terpencil. Karena itu dilisis peritoneal lebih banyak dipakai pada anak 19,20. Pada tinjauan pustaka ini akan dibahas mengenai terapi pengganti ginjal dengan hemodialisis. 4.6.1. Peritoneal dialisis Dialisis peritoneal merupakan salah satu terapi pengganti ginjal untuk penderita gagal ginjal tergantung pada keadaan klinis dan laboratories penderita tersebut.20,21 Dialisis peritoneal (DP) sudah dikenal sejak Ganter (1923) melakukan pertama kali pada seorang pasien uremia karena karsinoma uteri. Namun metode ini kurang diterima di klinik mengingat banyaknya komplikasi seperti peritonitis, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit serta komplikasi-komplikasi teknis lainnya.21 Metode Dialisis Peritoneal ini mulai dikenal sejak Maxwell dkk (1959) memperkenalkan tehnik modern intermittent dialysis. Pembaharuan dalam hal tehnik dan penggunaan antibiotika serta tersedianya peralatan dan cairan dialysis menjadikan metode ini semakin terkenal dan banyak digunakan di klinik dan dianggap sebagai tindakan yang aman. DP ternyata tidak hanya efisien pada orang dewasa tetapi juga merupakan pilihan utama pada indikasi tertentu pada bayi dan anak. 20

36

A. Peritoneum sebagai alat dialisis

Peritoneum terdiri dari membran yang tipis yang menghubungkan organ-organ abdomen dan sebagai bagian dari dinding perut. Lapisan peritoneum berlanjut dan menutupi rongga potensial disebut sebagai rongga peritoneum. Permukaan peritoneum terdiri dari kapiler halus berbentuk jala tertanam dijaringan interstisial dan dilapisi oleh sel-sel mesotel. Agar suatu zat dapat lewat dari darah didalam kapiler peritoneum ke dalam rongga peritoneum harus melewati endotel kapiler, membrane basal interstitium, mesotel dan tahanan lain di dalam kapiler dari rongga peritoneum akibat adanya darah dan cairan dialisat (stagnant fluid film).20,21 Total luas permukaan peritoneum dihubungkan dengan berat badan anak lebih besar dibandingkan orang dewasa. Luas rata-rata permukaan peritoneum anak : 383 cm/kgbb (281-488) dibandingkan orang dewasa 177 cm (131-206), namun tidak semua permukaan peritoneum bisa berfungsi sebagai alat dialysis.20,21 Pertukaran bahan-bahan antara cairan dialysis dalam rongga peritoneum dan sirkulasi darah melewati membrane peritoneum berlangsung dengan dua cara yang terjadi bersamaan, yaitu : 1. Difusi 2. Transpor secara konfektif Difusi bahan-bahan yang larut melewati membran peritoneum ditentukan oleh derajat/tingkat konsentrasi bahan-bahan terlarut melewati dua sisi permukaan peritoneum. Proses difusi bahanbahan terlarut melewati dua sisi permukaan peritoneum. Proses difusi bahan-bahan terlarut, proses transpornya terjadi dalam dua arah; ureum dan kreatinin, toksin, demikian juga elektrolit (seperti kalium) bergerak dari cairan dialysis ke darah. Karena cairan dialysis hipertonik dibandingkan dengan plasma, hal ini mendorong bergeraknya air dari darah ke cairan dialysis dalam rongga peritoneum (ultrafiltrasi). Berpindahnya bahan-bahan terlarut sebagai akibat transport dengan air secara ultrafiltrasi disebut sebagai transport konfektif (convective transport). Perpindahan bahan-bahan dengan berat molekul lebih besar seperti protein, sangat baik secara proses konfektif. Bertambahnya protein peritoneal dihubungkan dengan meningkatnya proses ultrafiltrasi. Ultrafiltrasi cairan selama dialysis peritoneal dipengaruhi oleh dua hal yaitu ; volume dialisat dan konsentrasi bahan osmotis (dekstrosa) yang dipakai. Oleh karena itu cairan dialisat

37

dengan dektrosa 4.2% lebih efisien daripada cairan dialisat dekstrosa 1.5% dan memakai 40 ml/kgbb pertukaran volume ultrafiltrasi yang dicapai lebih besar daripada 30 ml/kgbb volume dialisat.20,21

B. Indikasi dialisis peritoneal Dialisis peritoneal pada gagal ginjal20,21 Gagal ginjal akut Dialisis peritoneal yang dilakukan dini, pada pasien dengan gejala uremia dan perubahan biokimia belum berat mempunyai hasil yang lebih baik maka para klinisi memilih mengadakan dialysis dini sebelum gejala uremia berat timbul dan keadaan umum yang sudah jelek. Pada umumnya dialysis peritoneal untuk pasien gagal ginjal akut dilakukan dengan indikasi sebagai berikut : a. Indikasi klinis Sindrom uremia yang mencolok yaitu ; muntah-muntah, kejang, kesadaran menurun sampai koma Kelebihan cairan yang menimbulkan gagal jantung, edema paru dan hipertensi Asidosis yang tidak dapat dikoreksi dengan pemberian bikarbonat intravena Ureum darah > 200-300 mg/dl atau kreatinin 15 mg/dl Hiperkalemia > 7 mEq/L Bikarbonas plasma < 12 mEq/L

b. Indikasi biokimiawi -

C. Pemasangan kateter Dialisis Peritoneal Pada prinsipnya ada 3 cara dialisis peritoneal 21 : 1. Dialisis peritoneal intermiten (intermittent peritoneal perfusion) : kateter peritoneal dimasukkan kedalam rongga peritoneum melalui bantuan trokar (kateter otsuka) atau dimasukkan langsung (kateter abbott), didorong masuk ke rongga pelvis dengan semua lubang yang ada pada kateter harus berada dalam rongga peritoneum. Dengan cara ini cairan dibiarkan beberapa lama (30 menit) di rongga peritoneum kemudian dikeluarkan lagi. 2. Dialisis peritoneal mandiri berkesinambungan (DPMB) = continous ambulatory peritoneal dialisis (CAPD) : 38

Kateter silastik permanen (Tenckhoff) dipasang dikamar bedah dengan anestesi lokal/umum. Pada prinsipnya sama dengan pemasangan stilet dengan menggunakan trokar khusus. Hal ini dipakai pada pasien gagal ginjal kronik dengan membiarkan 4-6 jam dalam abdomen dan pasien boleh pergi kemana-mana, kesekolah atau bekerja. 3. Dialisis peritoneal berkesinambungan (continous peritoneal perfusion) : Dengan cara ini dilakukan pengaliran cairan dialisat ke rongga peritoneum secara terus menerus melalui dua lobang pada dinding abdomen, satu untuk memasukkan dan satu lagi untuk mengeluarkan cairan. Cara ini jarang dipakai karena menggunakan cairan yang banyak sekali meskipun mengurangi kemungkinan infeksi. Komplikasi20,21,22 1. Peritonitis 2. Erosi kulit akibat pemasangan Kateter 3. Hipertensi 4. Anoreksia 4.6.2. Hemodialisa Hemodialisis (HD) adalah: Suatu proses pemisahan zat-zat tertentu (toksin uremik) dari darah, melalui membran semipermeabel di dalam ginjal buatan yang disebut dialiser, dan selanjutnya dibuang melalui cairan dialisis yang disebut dialisat.23,24,25,26,27 Indikasi HD.23,27 Dialisis Akut Indikasi: tergantung dari progresivitas dan beratnya penyakit. Dialisis akut dilakukan pada GGA bila disertai gejala: Kelebihan cairan, seperti pada edema paru, CHF, hipertensi yang resisten terhadap obat hipertensi, dan membantu pengeluaran cairan pada pasien oliguria/anuria. Keadaan serius yang mengancam hidup atau gangguan metabolik yang tidak dapat dikontrol dengan obat.

39

Persiapan Hemodialisa.23 : 1. Pasien a. b. c. Persiapan mental Memberitahu pada pasien bahwa akan dilakukan HD Memberi penjelasan dan motivasi mengenai proses HD dan komplikasi yang mungkin terjadi selama HD. Persiapan fisik: BB, KU, vital signs, dll Mengisi izin hemodialisa (informed consent)

2. Mesin Hemodialisa 3. Dialisat: adalah cairan yang digunakan pada proses HD, terdiri dari campuran air dan elektrolit yang mempunyai konsentrasi hampir sama dengan serum normal dan mempunyai tekanan osmotik yang sama dengan darah. a. Komponen-komponennya: Bufer bikarbonat Kalsium dengan kadar rendah (1.25 mmol L-1) atau standar

Konsentrasi glukosa pada kadar fisiologis Kontrol kualitas dialisat (germ dan endotoksin) Fungsi Dialisat:

Mengeluarkan dan menampung cairan serta sisa-sisa metabolisme dari tubuh. Mencegah kehilangan zat-zat vital dari tubuh selama dialisa.

4. Alat-alat dan obat. Alat-alat: dyalizer (sesuai luas permukaan tubuh), blood line (sesuai permukaan tubuh), AV fistula, cairan dialisat, infus set, abocath. Obat-obatan: lidokain, betadin, heparin, dll.

40

Proses Pelaksanaan Hemodialisa.23,27 1) Menyiapkan Akses vaskular Untuk menghubungkan sirkulasi darah dari mesin dengan sirkulasi sistemik. Akses vaskular sementara: digunakan pada pasien GGA atau GGK sementara menunggu akses tetap dapat dipergunakan, atau pada pasien dialisis peritonel dan transplantasi yang memerlukan HD sementara. 1. Kanulasi vena perkutan (vein to vein catheterization) 2. Pirau ateriovenosa Akses vaskular tetap: 1. Fistula arteriovenosa 2. Arteriovenosa graft

2) Antikoagulansia Yaitu: obat yang diperlukan untuk mencega pembekuan darah selama hemodialisa. Heparin: - Dosis initial: 10-20 IU/kg - Continuous infusion: 20-30 IU/kg/jam (500-2000 IU/jam) Low molecular weight heparin: - Dosis initial: 1 mg/kg/bolus atau 25-100 IU/kg

3) Menyiapkan Prescription/setting HD Frekuensi HD: 2-3 x/minggu dengan lama/durasi: 3-4 jam/sesin 1. Ultra Filtration Goal (UFG) - Standar penurunan BW 1,5-2%/jam - Tidak lebih dari 5% BW loss per whole session - Memperhatikan berat badan kering pasien. 2. Ultra Filtration rate (UFR) - Tidak melebihi 1,5 0,5% BW/jam 3. QB - Extracorporeal blood flow rate harus cukup untuk mencapai target UFG

41

- Pada anak, QB= (BW(kg) + 10)x2,5 ml/min - Total extracorporeal blood flow rate harusnya kurang dari 10% TBV (Total Blood Volume), biasanya 8 ml/kg atau 150-200 ml/min/m2 (5-7 ml/min/kg) - Dialisis session pertama: QB = 90 ml/m2 atau 3 ml/kg atau di bawahnya dengan durasi tidak lebih dari 3 jam 4. QD - Biasanya dalam range 300-800 ml/min (umumnya 500 ml/min) 5. Urea dyalitic Reduction Rate (URR) URR= ratio post/pre HD, harusnya 0,35 URR= (selisih pre post)/pre, harusnya 0,60 6. Kt/v mnimum target 1,2-1,4 Kt/v Monitoring Hemodialisa: Selama hemodialisa dilakukan monitoring tanda vital, seperti: 1. Arterial Blood Pressure - Dimonitor dan dipertahankan antara 150-200 mmHg (tidak kurang dari -150 mmHg) 2. Venous Return Pressure - Dimonitor dan dipertahankan tidak melebihi +200 mHg) Contoh: HD untuk anak 20 kg (6 tahun) HD 1: - QB= 3 ml/kg 60 ml - Atau QB= (BW+10)x2,5 75 - UFR= 1-2% BW/jam 200-400 ml/jam - UFG max 5% BW 1000 ml - Heparin loading = 10-20 IU/kg 400 IU - Continuous heparin= 20-30 IU/kg/jam 500 IU/jam 1500 IU/3 jam - Durasi: 3 jam HD selanjutnya, frekuensi 3 x/mgg - QB dinaikkan bertahap 5-7 ml/min/kg 100-140 ml/min

42

Komplikasi HD. 23,27 1. Hipotensi: adalah komplikasi HD yang tersering karena volume darah pada anak relatif lebih sedikit. Kondisi ini ditandai dengan mual-muntah yang tiba-tiba, kejang perut dan takikardi. Hipotensi dapat diatasi segera dengan memberikan bolus cairan infus plasma ekspander seperti: NaCL fisiologis, albumin atau manitol. 2. Sindrom disekuilibrium, yaitu: kumpulan gejala neurologis dan sistemik yang timbul selama atau segera setelah HD. Manifestasi dini adalah: gelisah, sakit kepala, mual, muntah, pandangan kabur dan twitching. Sindrom ini dapat dihindari dengan mengurangi kecepatan pengeluaran zat-zat terlarut dengan mengurangi kecepatan aliran darah dan membatasi lama dialisis, atau dengan memberi manitol. Follow up Jangka Panjang 23,25,27 Pengawasan jangka panjang setiap apsien HD reguler sangat penting karena HD reguler ini dapat mempengaruhi kualitas hidup optimal. Pengawasan tersebut berhubungan dengan aspek medis, social dan professional, psikologis. 1. Aspek medis Gangguan endokrin, malnutrisi, defisiensi imun, anemia, gangguan system kardiovaskuler dan metabolisme. 2. 3. Aspek sosial Aspek psikologis Sering terjadi perubahan kepribadian, cenderung depresi, dsb.

43

Tabel 1. Perbandingan peritoneal dialisis dengan hemodialisis. 24

PROGNOSIS Prognosis untuk jangka pendek sangat baik oleh karena 95% penderita GNAPS sembuh dalam waktu 3 minggu. Sedangkan prognosis jangka panjang tergantung dari keadaan permulaan penyakit. Bila penderita sembuh sempurna pada minggu pertama maka prognosis jangka panjang juga baik. Pada kasus-kasus tertentu GNAPS dapat berlangsung kronik baik secara laboratorik maupun secara histologik. Pada orang dewasa kira-kira 15-30% kasus masuk proses kronik sedangkan pada anak 5-10% kasus menjadi glomerulonefritis kronik. Kematian yang cepat sangat jarang terjadi (<1%), biasanya berhubungan dengan gagal jantung dan azotemia.5 Pada sebagian anak dengan GNAPS dengan fase akut yang berat, juga dapat terjadi hialinisasi glomerulus dan menjadi gagal ginjal kronik.7,12 Konsentrasi C3 serum harus diukur kembali 4-6 minggu setelah episode akut. Apabila konsentrasi C3 serum tetap rendah, terutama dengan gejala yang menetap seperti hipertensi,

44

hematuria makroskopik, atau proteinuria massif, menjadi kecurigaan kuat untuk MPGN, dan sebaiknya dilakukan konfirmasi dengan biopsi ginjal. 7,12

FOLLOW UP Dengan adanya hematuria mikroskopik dan proteinuria persisten maka setiap GNAPS yang sembuh dianjurkan follow up tiap 4-6 minggu selama 6 bulan pertama. Bila ternyata masih terdapat hematuria mikroskopik atau proteinuria, follow up diteruskan tiap 3-6 bulan selama 1 tahun sampai kedua kelainan itu hilang. Seterusnya urin diperiksa lagi setiap tahun. Bila sesudah 1 tahun masih dijumpai hematuria mikroskopik dan atau proteinuria perlu dilakukan biopsi Diuresis akan normal kembali pada hari ke 7-10 setelah awal penyakit, dengan menghilangnya sembab dan secara bertahap tekanan darah menjadi normal kembali. Fungsi ginjal membaik dalam waktu 1 minggu dan menjadi normal dalam waktu 3-4 minggu. Hematuria mikroskopik dan oliguria menghilang dalam waktu 2-3 minggu, hipertensi dalam 4 minggu. Hematuria mikroskopik biasanya menetap selama berbulan-bulan dan terbukti menetap selama 3 tahun pada beberapa pasien. Proteinuria menghilang dalam beberapa bulan, apabila menetap maka difikirkan apakah ada kesalahan pemeriksaan atau ada kronisitas.

45

ANALISA KASUS
Telah dilaporkan suatu kasus glomerulonefritis akut paska infeksi streptokokus (GNAPS) dengan komplikasi berat berupa gagal ginjal akut pada seorang anak laki laki usia 8 tahun yang dirawat di Bagian IKA RSMH Palembang dari tanggal 6 Januari sampai 6 Februari 2012. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis didapatkan riwayat infeksi saluran nafas 2 minggu sebelum masuk rumah sakit diikuti bengkak di kelopak mata , BAK seperti air teh tua dengan jumlah yang sedikit, dan sakit kepala. Pada pemeriksaan fisik didapatkan edema palpebra, hipertensi stadium II. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan Darah rutin: Hb: 10,5 g/dl; Ht:31 vol%, WBC: 19,6x109 /L, Trombosit: 300x109, LED: 12 mm/jam, DC: 0/0/0/80/17/3, eritrosit: 2.690.000/mm2, MCH: 30 picogram, MCV: 85 mikrogram, MCHC: 36%, retikulosit: 1,6% Urin rutin: warna teh tua, sedimen: sel epitel (+), WBC : 10-15/LPB, RBC: 15-20/LPB, silinder nokhtah 1-3/LPB, protein +, glukosa (-) kimia klinik dan imunoserologi BSS: 92 mg/dl, Protein total 6,1 gr/dl, albumin 2,5 gr/dl, globulin 3,6 gr/dl, kolesterol total 95 mg/dl, ASTO (+), CRP (+) LFG = 5,8 ml/m/173m2, Hasil laboratorium C3 100 mg/dl ( N 80-150 mg/dl)). Berdasarkan data-data ini didapatkan kesan penderita mengalami SNA yang disebabkan oleh paska infeksi streptokokus B hemolyticus group A (GNAPS) dengan gagal gagal ginjal akut . Penyebab SNA pada anak beraneka ragam, salah satu diantaranya yang paling sering adalah paska infeksi streptokokus B hemolyticus yang nefritogenik. Untuk mencari penyebab dari SNA ini perlu dilakukan pemeriksaan penunjang seperti biakan kerokan kulit. Pada kasus ini pemeriksaan ini tidak dilakukan karena menurut kepustakaan tidak selalu ditemukan Streptokokus hemolitikus yang nefritogenik. Hal ini mungkin disebabkan penderita telah mendapat antibiotika sebelum MRS, juga lamanya periode laten menyebabkan sukarnya ditemukan kuman streptokokus. Kemudian perlu dilakukan pemeriksaan imunoserologi yaitu ASTO. Ada bermacam macam pemeriksaan serologi yang dapat digunakan sebagai petunjuk adanya paska infeksi streptokokus B hemolyticus yang nefritogenik seperti antistreptokinase (Ahase), antideoksiribonuklease-B (ADNase-B), antikokotiladenin dinucleotidase (ANADase). Pada pasien ini hanya dilakukan pemeriksaan ASTO dan hasilnya positif (>200 iu), Berdasarkan kepustakaan didapatkan peningkatan titer ASTO hanya ditemukan pada 50% pasien yang berhubungan dengan paska infeksi kulit (impetigo) dan hampir

46

95% paska infeksi tenggorokan. Respon titer ASO pada paska infeksi kulit sangat rendah disebabkan karena efek lemak kulit yang menghambat antigenitas streptolisin O, akan tetapi titer anti-Dnase-B tetap meningkat pada 90-95% kasus. Pemeriksaan gabungan titer ASO, antihialuronidase dan anti-Dnase-B dapat mendeteksi adanya infeksi streptokokus sebelumnya pada hampir 100% kasus.2,7 Pemeriksaan serial dengan interval 2-3 minggu mempunyai nilai yang lebih bermakna daripada pemeriksaan tunggal. 12 Pemeriksaan lain yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan komplemen. Pada pasien ini C3 normokomplemen. Keadaan ini disebabkan pada penderita proses perjalanan penyakit ketika diperiksa kadar C3 memasuki minggu ke 4 dari onset. Berdasarkan kepustakaan bahwa kadar C3 menurun pada saat onset pada 80-90% pasien (di Indonesia 66,6%), dan akan kembali normal dalam 4- 6 minggu setelah onset. 7 Pada pasien ini ini juga ditemukan anemia (Hb: 10,5 g/dl) akibat proses dilusi atau akibat proses gross hematuri. Berdasarkan kepustakaan bahwa anemia yang terjadi pada penderita GNAPS akibat proses dilusi oleh karena adanya overload cairan. Meskipun demikian anemia dapat juga terjadi akibat adanya proses gross hematuri.13 Penurunan fungsi ginjal bisa dalam derajat ringan berupa insufisiensi ginjal sampai derajat berat berupa gagal ginjal akut, dimana ini jarang terjadi (<1%). Pada pasien ini terjadi gagal ginjal akut ( LFG = 5,8 ml/mnt/173m2 ). Berdasarkan kepustakaan bahwa laju filtrasi glomerulus pada umumnya berkurang, dan pengurangan ini biasanya sejajar dengan beratnya kerusakan secara histologis. Menurunnya laju filtrasi glomerulus akibat tertutupnya permukaan glomerulus dengan deposit kompleks imun. Kadar ureum dan kreatinin serum pada umumnya meningkat pada fase akut, tetapi kemudian akan kembali normal.7,12 Pada penderita dijumpai nilai ureum 359 kreatinin 14,7 dengan LFG 4,5. Hipertensi berat yang tidak berespon dengan pengobatan, volume urin <240 ml/m2/24 jam, dan penderita tampak sakit
berat dan berdasarkan literature ini sudah merupakan indikasi dilakukan dialisis.2,5,6,12

Pada penderita kita lakukan terapi pengganti ginjal berupa hemodialisis (HD) dikarenakan permasalahan alat untuk pemasangan kateterisasi yang saat itu tidak tersedia dan penderita membutuhkan tindakan segera untuk mengatasi kegawatdaruratan pada penderita. Berdasarkan literature disebutkan terapi pengganti ginjal antara lain hemodialisis (HD) dan peritoneal dialysis(PD).23,24 Terapi pengganti ginjal berupa peritoneal dialysis (PD) merupakan tindakan yang

47

lazim digunakan pada pengobatan gagal ginjal akut pada anak, sedangkan hemodialisis jarang dilakukan.23,24 Hipertensi pada penderita GNAPS bisa dalam derajat ringan sampai berat tetapi 1-5% dapat terjadi hipertensi berat yang disertai dengan hipertensi ensefalopati.2 Pada penderita ini termasuk hipertensi derajat berat, yang bila tidak dilakukan dengan pengamatan yang benar dapat berkembang menjadi hipertensi ensefalopati. Terapi yang diberikan pada penderita ini adalah captopril 2 x 6,25 mg peroral. Terapi antihipertensi ini masih diteruskan setelah normotensi stabil beberapa hari dan diturunkan secara bertahap. Diuretika yang poten juga diberikan untuk hipertensi. Terapi yang diberikan adalah furosemide 3 x 25 mg . Dengan adanya glomerulonefritis akut yang didahului periode latent setelah infeksi streptokokus maka dapat ditegakkan diagnosis GNAPS. Terapi antibiotika telah diberikan bersifat broadspektrum oleh karena penderita tampak sakit berat dan tersangka infeksi saluran kemih sehingga pemberiannya diteruskan sambil melihat respon terapi. Selain itu pemeriksaan ulangan C3 penting untuk prognosis, dimana kadar C3 akan kembali normal dalam 4-6 minggu. Pemeriksaan biopsi tidak diindikasikan pada penderita ini karena diagnosis telah dapat ditegakkan berdasarkan klinis dan laboratoris serta perjalanan penyakit yang menunjukkan perbaikan dalam waktu cepat, baik klinis dan juga pemeriksaan urinalisa steril. Sehingga dapat disimpulkan penderita dengan GNAPS yang sembuh sempurna, yang tidak menunjukkan tanda tanda penyakit menjadi kronis. Walaupun demikian penderita harus dievaluasi terutama terhadap hematuri dan proteinuria mikroskopik sampai 6 12 bulan urinalisa normal.

PENUTUP Terima kasih disampaikan kepada Kepala Bagian IKA FK UNSRI /RSMH Palembang, Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI/RSMH Palembang yang telah memberi kesempatan kepada saya untuk mengajukan kasus ini. Khususnya kepada dr.Dahler Bahrun, SpAK, yang telah banyak memberikan bimbingan dan masukan sehingga kasus ini dapat diajukan.

48

Diagram Tumbuh Kembang anak A/Lk/8 tahun/25 kg dengan


Gagal Ginjal Akut sebagai komplikasi berat GNAPS

LINGKUNGAN
Mikro: - Ibu : SD - KB ( - ) - ASI : 0 12 bulan - Pekerjaan : IRT Mini: Ayah : SMP - Pekerjaan : buruh - Rumah dan ventilasi cukup Meso: -Dokter (+) -Puskesmas (+) - Askeskin (+)

M A K R O

KEBUTUHAN DASAR ASAH CUKUP ASIH CUKUP


ASUH CUKUP

TUMBUH KEMBANG

NEONATUS SEHAT

- Intake cukup - biaya kurang - Hygiene dan sanitasi cukup - hubungan sosial cukup

BAYI SEHAT

Tatalaksana - AB adekuat - restriksi cairan - diuretik - antihipertensi - diet rendah garam - hemodialisa

Gagal Ginjal Akut sebagai komplikasi berat GNAPS

Pemantauan berkala - urinalisa : hematuria, proteinuria - kadar C3 - tumbuh kembang

Tumbuh kembang optimal ?

GENETIK, HEREDOKONSTITUSIONAL BAIK

49

DAFTAR PUSTAKA
1. Noer MS. Glomerulonefritis. Dalam: Alatas S, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, penyunting. Buku ajar nefrologi anak. Edisi ke 2. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesi, 2002. p. 323-61. 2. Sukarwana N. Rekomendasi Mutakhir Tatalaksana Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus. Dalam: Naskah Lengkap Sinas Nefrologi Anak VIII dan Sinas Kardiologi Anak V. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Palembang; 2001, p.141-162. 3. Smith JM, Fiazan MK, Edy AA. The child with acute nephritic syndrome. Dalam: Webb NJA, Postlewaite RJ, penyunting. Clinical Pediatric Nephrology. 3rd ed. Oxford: Oxford University Press, 2003. h. 366-79. 4. Brewer ED, Berry PL. Glomerulonephritis and Nephrotic Syndrome. In: McMillan JA, DeAngelis CD, Feigin RD, eds. Oski's Pediatrics Principles and Practice. 3rd ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2001; p.1581-5. 5. Rollins DM, Joseph SW. Streptococcus Summary. Pathogenic Microbiology. University of Maryland. 2000. Available at: http://www/life.unid.edu/classroom/ bsci424/index.html 6. Koren AT. Post-streptococcal Glomerulonephritis. MEDLINEpIus Medical Encyclopedia Poststreptococcal GN. Available at: http://www.nlm.nih.gomedlineplus/ ency/anicle/000503.htm 7. Rauf S. Penatalaksanaan sindroma nefritik akut. Dalam: naskah lengkap Sinas Nefrologi Anak VII dan Sinas Kardiologi Anak IV. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Makasar; 1998: p.1-20. 8. Noer MS. Glomerulonefritis akut pasca streptokokus. Dalam: Simposium dan Workshop sehari Kegawatan pada Penyakit Ginjal Anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Makasar; 2006: p.48-63. 9. Tasic V, Polenakovic M. Thrombocytopenia during the course of acute poststreptococcal glomerulonephritis. The Turkish journal of Pediatrics 2003; 45: 148-151. 10. Susyanto BE, wahab S. Gagal Jantung Kongestif pada Anak. Makalah Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ikatan Dokter Indonesia. Padlan Patarai, Jakarta: 2002; p.1-18 11. Travis L: Acute Post-streptococcal Glomerulonephritis. eMedicine Journal, Vo13 (8). 2000. 12. Bergstein JM. Conditions particularly associated with Hematuria. In: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, eds. Nelson Textbook of Pediatrics. WB Saunders Company. USA. 2000; p.1581-1582. 13. Madiyono B, Rohimi S, Tambunan T. Keterlibatan sistem kardiovaskuler pada penyakit ginjal. Dalam: Naskah lengkap Sinas Nefrologi Anak VIII & Sinas Kardiologi Anak V. 14. Krost WS. Beyond the basics: right vs left heart failure. EMS Responder homepage. Didapat dari:http://publicsafety.com/article.jsp?id=3006&siteSection=8.

50

15. Todd JK. Group A Streptococcus. In: Behrman RE, Klieginan RM, Jenson HB, eds. Nelson Textbook of Pediatrics. WB Sauders Company. USA. 2000; p.802-845. 16. Emmahouilides GC, Allen HD, Riemenschneider TA, Gutgesell HP. Medical theraphy. In: Clinical synopsis of Moss and Adam's Heart Disease in Infants, Children, and Adolescents. Philadelphia. Williams & Wilkins. 1998; p.797-814. 17. Bernstein D. The Cardiovascular System. In: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, eds. Nelson Textbook of Pediatrics. WB Sauders Company. USA. 2000; p.1434-1435. 18. Mason PD. Fortnightly Review: Glomerulonephritis: Diagnosis and Treatment. BMJ. 1994 (309): p.1557- 1563. 19. Andrew SB, Alice MT. Continous-cycling peritoneal dialysis for children: an alternative to hemodialysis treatment. Pediatyrics 1984;74:254-258. 20. Setyowati Sudjatmiko, Oesrizal Oesman, hemodialisis. Dalam Buku Ajar Nefrologi Anak ; FK UI, Jakarta, 2002: 615-627 21. Lai WM, Chiu MC, Tse KC, Lau SC, Tong PC. Automated peritoneal dialysis: clinical experience in 32 children. HK J Paediatr 2004;9:44-49. 22. Ensari C. The basic needs of children on haemodialysis in Turkey. Nephrol Dial Transplant 2008;23:1447-1448. 23. Khanna R, Nolph KD. Dialysis as a treatment of end stage renal disease. Chapter 4: Principle of peritoneal dialysis. Halaman 4.1-4.11. 24. Rachmadi D,Meilyana F. hemodialisis pada anak dengan chronic kidney disease. Maj. Kedokt. Indo. Vol 59 (11)2009.555-560 25. National kidney and urologic disease information clearinghouse. Treatment methods for kidney failure. Peritoneal dialysis.2006 26. Damanik MP. Dialisisi peritoneal. Dalam; Husein a.,Taralan T,Partini P, peyunting.Buku ajar nefrologi, edisi ke-2.2002;594-606 27. Osrizal O, Setyowati S. Dialisis peritoneal mandiri berkesinambungan. Dalam; Husein a.,Taralan T,Partini P, peyunting.Buku ajar nefrologi, edisi ke-2.2002;607-14

51

A// 8 th/BB 25kg/PB 120cm

52

Anda mungkin juga menyukai