Anda di halaman 1dari 8

Karbon Monoksida

1. Biomolekuler Karbon Monoksida (CO) Karbon dan oksigen dapat bergabung membentuk senyawa karbon monoksida (CO) sebagai hasil pembakaran senyawa organik yang tidak sempurna dan karbon dioksida (CO2) sebagai hasil pembakaran sempurna. Karbon monoksida merupakan senyawa yang tidak berbau, tidak berasa dan pada suhu udara normal berbentuk gas yang tidak berwarna. Karbon monoksida terdiri dari satu atom karbon yang secara kovalen berikatan dengan satu atom oksigen. Dalam ikatan ini, terdapat dua ikatan kovalen dan satu ikatan kovalen koordinasi antara atom karbon dan oksigen.1 Karbon monoksida terbentuk apabila terdapat kekurangan oksigen dalam proses pembakaran. Gas karbon monoksida mempunyai potensi bersifat racun yang berbahaya karena mampu membentuk ikatan yang kuat dengan pigmen darah yaitu hemoglobin: Hemoglobin + CO COHb (karboksihemoglobin)1

Gambar 1. Oksihemoglobin dan Karboksihemoglobin

2.

Sifat Fisik dan Kimia Molekul CO memiliki panjang ikat 0,1128 nm. Perbedaan muatan formal dan

elektronegativitas saling meniadakan, sehingga terdapat momen dipol yang kecil dengan kutub negatif di atom karbon walaupun oksigen memiliki elektronegativitas yang lebih besar.
1

Chatani, N.; Murai, S. "Carbon Monoxide" in Encyclopedia of Reagents for Organic Synthesis (Ed: L. Paquette) 2004, J. Wiley & Sons, New York. DOI:10.1002/047084289

Alasannya adalah orbital molekul yang terpenuhi paling tinggi memiliki energi yang lebih dekat dengan orbital p karbon, yang berarti bahwa terdapat rapatan elektron yang lebih besar dekat
2

karbon. Selain itu, elektronegatif karbon yang lebih rendah menghasilkan awan elektron yang

lebih baur, sehingga menambah momen dipol. Ini juga merupakan alasan mengapa kebanyakan reaksi kimia yang melibatkan karbon monoksida terjadi pada atom karbon, dan bukannya pada atom oksigen. Panjang ikatan molekul karbon monoksida sesuai dengan ikatan rangkap tiga parsialnya. Molekul ini memiliki momen dipol ikatan yang kecil dan dapat diwakiliki dengan tiga struktur resonansi:1

Resonans paling kiri adalah bentuk yang paling penting. Hal ini diilustrasikan dengan reaktivitas karbon monoksida yang beraksi dengan karbokation. Dinitrogen bersifat isoelektronik terhadap karbon monoksida. Hal ini berarti bahwa molekul-molekul ini memiliki jumlah elektron dan ikatan yang mirip satu sama lainnya. Sifatsifat fisika antara N2 dan CO sangat mirip, walaupun CO lebih reaktif.

3.

Epidemiologi Gas CO adalah penyebab utama dari kematian akibat keracunan di Amerika Serikat dan

lebih dari separo penyebab keracunan fatal lainnya di seluruh dunia. Terhitung sekitar 40.000 kunjungan pasien pertahun di unit gawat darurat di Amerika Serikat yang berhubungan dengan kasus intoksikasi gas CO dengan angka kematian sekitar 500-600 pertahun yang terjadi pada 1990an.2 Sekitar 25.000 kasus keracunan gas CO pertahun dilaporkan terjadi di Inggris. Dengan angka kematian sekitar 50 orang pertahun dan 200 orang menderita cacat berat akibat keracunan gas CO.3 Di Singapura kasus intoksikasi gas CO termasuk jarang. Di Rumah sakit Tan Tock Seng Singapura pernah dilaporkan 12 kasus intoksikasi gas CO dalam 4 tahun (1999-2003). Di

Chatani, N.; Murai, S. "Carbon Monoxide" in Encyclopedia of Reagents for Organic Synthesis (Ed: L. Paquette) 2004, J. Wiley & Sons, New York. DOI:10.1002/047084289 2 Louise W Kao, Kristine A Nanagas. Carbon Monoxide Poisoning. Emerg MedClin N Arn22 (2004) 985-1018. 3 PK Handa, DYH Tai. Carbon Monoxide Poisoning: A Five-year Review at Tan Tock Seng Hospital, Singapore. Ann Acad Med Singapore 2005;34:.611-4.

Indonesia belum didapatkan data berapa kasus keracunan gas CO yang terjadi pertahun yang dilaporkan.4

4.

Mekanisme Keracunan Karbon Monoksida Karbon monoksida tidak mengiritasi tetapi sangat berbahaya (beracun) maka gas CO

dijuluki sebagai silent killer (pembunuh diam-diam). Keberadaan gas CO akan sangat berbahaya jika terhirup oleh manusia karena gas itu akan menggantikan posisi oksigen yang berkaitan dengan haemoglobin dalam darah. Gas CO akan mengalir ke dalam jantung, otak, serta organ vital. Ikatan kerbosihaemoglobin jauh lebih kuat 200 kali dibandingkan dengan ikatan antara oksigen dan haemoglobin. Akibatnya fatal. Jumlah CO yang diabsorbsi oleh tubuh tergantung pada ventilasi semenit, durasi paparan, dan konsentrasi relatif karbon monoksida di lingkungan ikatan CO dengan haemoglobin menimbulkan terjadinya penurunan kapasitas oksigen terhadap haemoglobin dan penurunan pengiriman oksigen ke sel berdasarkan tiga mekanisme. 1. Berikatan dengan hemoglobin Saat karbon monoksida terinhalasi maka ia akan mengambil posisi oksigen yang berikatan dengan hemoglobin, dimana normalnya hemoglobin akan mengangkut oksigen ke seluruh tubuh. Ikatan karbon monoksida dengan hemoglobin memiliki afinitas 200-300 kali dibandingkan ikatan oksigen dengan hemoglobin sehingga terjadi perubahan reversibel berupa perpindahan oksigen dari molekul hemoglobin. Efeknya kumulatif dan bertahan lama, menyebabkan kekurangan pengangkutan oksigen ke jaringan. Pemberian udara segar yang lama (atau oksigen murni) dibutuhkan untuk melepaskan ikatan antara CO dan haemoglobin.5 Selain itu, pembentukan COHb menyebabkan Hb mengikat oksigen lebih ketat. Sehingga terjadi pergeseran kurva diasosiasi oksigen-haemoglobin ke kiri yang berarti tekanan oksigen jaringan berada pada tingkat terendah. Sehingga oksigen yang dilepaskan ke jaringan menurun yang berlanjut pada hipoksia. Depresi miokard, vasolidatasi perifer,

Peter MC DeBlieux, VanDeVoort, John G Benitez, Halamka, Asim Tarabar. Toxicity, Carbon Monoxide. 2006 [cited 2007 jan 02]. Availabel from :URL :HYPERLINK http:/lwww.emedicine.com 5 McBeth C. Carbon Monoxide Poisoning. Utox Update Utah Poison Control Center Vol. 6, 2004.

dan distrimia ventrikel berperan dalam terjadi hipotensi, penurunan perfusi jaringan dan selanjutnya terjadi hipoksia jaringan.6

Gambar 2. Karbonmonoksida mengikat Hemoglobin

2.

Berikatan dengan kompleks sitokrom oksidase sehingga terjadi penurunan respirasi efektif intra sel Saat karbon monoksida berikatan dengan sitokrom oksidasi, terjadi disfungsi mitokondria sehingga oksidasi mitokondria untuk menghasilkan ATP berkurang. Terjadi pembebasan nitrit okside dari sel platelet dan endotel menjadi bentuk radikal bebas peroksinitrit. Lebih lanjut menginaktifkan enzim mitokondrial dan merusak endotel vaskular di otak. Hasil akhir berupa lipid peroksidase (degradasi asam lemak tak jenuh) di otak yang dimulai pada fase reperfusi sehingga terjadi demieliminasi reversible dari lipid sistem saraf pusat. Intoksida CO juga bisa menyebabkan stress oksidatif pada sel, dengan menghasilkan oksigen radikal yang mengkonversi xantin dehirogenase menjadi xanthin oksidasi.6

3.

Berikatan dengan mioglobin membentuk karboksi mioglobin (COMb) CO juga memiliki afinitas tinggi terhadap mioglobin, dan berikatan secara langsung dengan otot jantung dan skelet yang menyebabkan toksisitas secara langsung ( case history). Ikatan CO dengan mioglobin dapat mengganggu cardiac out put dan menimbulkan iskemia

Tomaszewksi Christian. Carbon Monoxide Poisoning, Earl Awareness and Intervention can save live. Postgraduate Medicine online Vol. 105 No. 1 (online) January 1999

serebral. Ditemukan gejala yang lambat muncul akibat terpapar kembali CO dengan peningkatan kadar COHb. Hal ini dikarenakan lambatnya pelepasan ikatan CO dengan mioglobin setelah berikatan dengan hemoglobin.7 Mekanisme keracunan CO adalah perinhalasi. Absorbsi CO terjadi di paru-paru di mana CO kontak dengan sel darah merah di kapiler dan mengadakan ikatan dengan CO-Hb. Karbon monoksida menyebabkan hipoksia jaringan dengan cara bersaing dengan oksigen untuk melakukan ikatan pada hemeprotein pembawa oksigen. Di samping itu, lebih kuatnya afinitas hemoglobin terhadap CO mulai dari 30-500 kali lebih kuat dibandingkan afinitas oksigen yang menyebabkan adanya karboksihemoglobin yang mengganggu afinitas oksigen terhadap sehingga mengurangi pelepasan oksigen ke jaringan. Namun demikian, ikatan reaksi ini adalah reversibel.5,6 Karbon monoksida juga memiliki efek toksik langsung pada tingkat seluler dengan cara mengganggu respirasi mitokondria, karena karbon monoksida terikat pada kompleks sitokrom oksidase. Berbeda dengan hemoglobin, afinitas sitokrom oksidase lebih kuat terhadap oksigen. Akan tetapi selama anoksia seluler, karbon monoksida dapat terikat pada sitokrom oksidase tersebut.5 Oleh karena afinitas hemoglobin yang lebih kuat terhadap karbon monoksida, konsentrasi rendah di udara dapat menghasilkan saturasi darah yang tinggi dengan gas ini. Kelembaban, suhu lingkungan yang tinggi, pada daerah ketinggian dan afinitas fisik akan meningkatkan kecepatan respirasi, dan juga absorbsi karbon monoksida. The Occupational Safet and Health Administration (OSHA) menganjurkan batas keterpaparan maksimum yang dapat diterima adalah 35 ppm selama 8 jam. Untuk alasan keamanan, para pekerja yang terpapar karbon monoksida seharusnya tidak pernah memiliki karboksihemoglobin darah di atas 5%. Peningkatan kadar karboksigemoglobin sebesar 10-14% sudah pernah ditemukan pada pemadam kebakaran setelah memadamkan kebakaran. Peningkatan kadar

karboksihemoglobin sebesar 13% dapat juga ditemukan pada polisi yang bertugas
5 6

McBeth C. Carbon Monoxide Poisoning. Utox Update Utah Poison Control Center Vol. 6, 2004. Tomaszewksi Christian. Carbon Monoxide Poisoning, Earl Awareness and Intervention can save live. Postgraduate Medicine online Vol. 105 No. 1 (online) January 1999
7

Harper Adam, Baker Croft James, Carbon Monoxide poisoning: Undected by both patients and their doctors, British Geriatrics Society Vol. 33:105-109 (online) 2004 (Cited March 2008] available from URL: http://www.nejm.org

diterowongan atau pekerja-pekerja dibengkel di mana kendaraan bermotor dinyalakan. Jadi asphyxia dengan kegagalan pernapasan atau sirkulasi merupakan sebab kematian dari kematian karbon atau kombinasi dari kedua hal tersebut di atas.5,6

4. GEJALA DAN TANDA Misdiagnosis sering terjadi karena beragamnya keluhan dan gejala pada pasien. Gejala-gejala yang muncul sering mirip dengan gejala penyakit lain. Pada anamnesa secara spesifik didapatkan riwayat paparan oleh gas CO. Gejala-gejala yang muncul sering tidak sesuai dengan kadar HbCO dalam darah. Penderita trauma inhalasi atau penderita luka bakar harus dicurigai kemungkinan
8

terpapar dan keracunan gas CO. Pada pemeriksaan tanda vital didapatkan takikardi, hipertensi

atau hipotensi, hipertermia, takipnea. Pada kulit biasanya didapatkan wama kulit yang merah seperti buah cherry, bisa juga didapatkan lesi di kulit berupa eritema dan bula.2,9 Tabel 1.1 Gejala keracunan CO % Saturasi COHb 10 10-20 Tidak ada Rasa berat pada kening, mungkin sakit kepala ringan, pelebaran pembuluh darah subkutan, dispnea, gangguan koordinasi 20-30 Sakit kepala, berdenyut pada pelipis, Gejala - gejala

emosional 30-40 Sakit kepala keras, lemah, pusing, penglihatan buram, mual dan muntah, kollaps 40-50 Sama dengan yang tersebut di atas tetapi dengan k10emungkinan besar untuk kollaps atau sinkop. Pernapasan dan nadi bertambah
2 5

Louise W Kao, Kristine A Nanagas. Carbon Monoxide Poisoning. Emerg MedClin N Arn22 (2004) 985-1018. McBeth C. Carbon Monoxide Poisoning. Utox Update Utah Poison Control Center Vol. 6, 2004. 6 Tomaszewksi Christian. Carbon Monoxide Poisoning, Earl Awareness and Intervention can save live. Postgraduate Medicine online Vol. 105 No. 1 (online) January 1999 9 Zeki Palili, Hayriye Saricao, Ahmet Acar. Skin lesions in carbonmonoxide intoxication. Journal of the European Academy of Dermatology and Venereology 9 (1997),152-154.

cepat 50-60 Sinkop, pernapasan dengan nadi bertambah cepat, koma dengan kejang intermitten.

Pernapasan cheyne stokes. 60-70 Koma dengan kejang, depresi jantung dan pernafasan, mungkin mati. 70-80 Nadi lemah, pernapasan lambat, gagal

pernapasan dan mati Pada korban koma dapat ditemukan sianosis dan pucat, pernapasan cepat, mungkin pernapasa cheyne stokes, menjelang kematian pernapasan menjadi lambat. Nadi cepat dan lemah, tekanan darah rendah, pupil melebar dan reaksi cahaya menghilang, suhu badan di bawah normal, tetapi pada keadaan terminal mungkin terjadi hipertermia.11

Pemeriksaan CO (karbon monoksida) 1. Untuk penentuan COHb secara kualitatif dapat dikerjakan uji difusi alkali.11 Ambil 2 tabung reaksi. Masukkan ke dalam tabung pertama 1-2 tetes darah korban dan tabung kedua 1-2 tetes darah normal sebagai kontrol. Encerkan masing-masing darah dengan menambahkan 10 ml air sehingga warna merah pada kedua tabung kurang lebih sama. Tambahkan pada masing-masing tabung 5 tetes larutan NaOH 10-20%, lalu dikocok. Darah normal segera berubah warna menjadi merah hijau kecoklatan karena segera terbentuk hematin alkali, sedangkan darah yang mengandung COHb tidak berubah warnanya untuk beberapa waktu, tergantung pada konsentrasi COHb, karena COHb lebih bersifat resisten terhadap pengaruh alkali. COHb dengan kadar saturasi 20% memberi warna merah muda (pink) yang bertahan selama beberapa detik, dan setelah 1 menit baru berubah warna menjadi coklat kehijauan. Perlu diperhatikan bahwa darah yang dapat digunakan sebagai kontrol dalam uji dilusi alkali ini haruslah darah dengan Hb yang normal. Jangan gunakan
11

Budiyanto, Arif et al. Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi 1. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1997, 159- 164.

darah foetus karena dikatakan bahwa darah foetus juga bersifat resisten terhadap alkali. 2. Dapat pula dilakukan uji formalin (Eachloz-Liebmann).11 Darah yang akan diperiksa ditambahkan larutan formalin 40% sama banyaknya. Bila darah mengandung COHb 25% saturasi maka akan terbentuk koagulat berwarna merah yang mengendap pada dasar tabung reaksi. Semakin tinggi kadar COHb, semakin merah warna koagulatnya. Sedangkan pada darah normal akan terbentuk koagulat yang berwarna coklat. 3. Cara Gettler-Freimuth (semi-kuantitatif)11 Prinsipnya sebagai berikut : Darah + Kalium ferisianida CO dibebaskan dari COHb CO + PdCl2 + H2O Pd + CO2 + HCl Paladium (Pd) ion akan diendapkan pada kertas saring berupa endapan berwarna hitam. Dengan membandingkan intensitas warna hitam tersebut dengan warna hitam yang diperoleh dari pemeriksaan terhadap darah dengan kadar COHb yang diketahui, maka dapat ditentukan konsentrasi COHb secara semi kuantitatif.

11

Budiyanto, Arif et al. 1997. Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi 1. Jakarta: Bagian Kedokteran

Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai