Anda di halaman 1dari 14

Tugas Jurnal

IKTERUS OBSTRUKTIF

oleh:
ARDIANSYAH
H1A 012 007

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM


2014

Ikterus merupakan salah satu masalah yang tersering yang muncul dalam praktik
gastroenterological. Hal ini disebabkan karena dibutuhkannya hal-hal penunjang klinis untuk
menegakkan penyebabnya. Penyebab terjadinya ikterik bisa dikerenakan akibat terjadinya suatu
obstruksi baik parsial maupun total pada saluran duktus, ataupun di dalam hepar ke saluran
pencernaan. Sehingga perlunya penanganan segera karena sobstruksi jaundice merupakan salah
satu medical emergency.1,2
Ikterik obstruksi bukan merupakan suatu definitive diagnosis, melainkan harus mulai
dipikirkan penyebab terjadinya suatu obstruksi atau cholestasis yang paling sering menyebabkan
terjadinya obstruksi ialah pada extrahepatik baik di akibatkan secara mekanik baik yang
disebabkan oleh batu empedu (cholelitiasis), kanker saluran empedu (biliary tract cancer),
ataupun terjadinya atresia bilier, yang dapat menimbulkan berbagai macam komplikasi seperti
inflamasi pada kandung empedu (cholesistisis) ataupun terjadi post infeksi akibat bakteri
(cholangitis).3
ETIOLOGI
Penyebab terjadinya obstruksi jaundice yang terbanyak ialah diakibatkan karena
pembentukan batu empedu (prevalensi sekitar 85-90%, namun bervariasi di Negara barat sekitar
7.9% pria dan 16.6% wanita, di Asia 3-15%, dan 4.21-11% di Cina namun ada beberapa etnik
tertentu yang prevalensinya sangat tinggi, seperti di Pima India 73% dan Indian America sekitar
64.1%) dan sisanya biasanya tidak diketahui atau berkaitan dengan Cholangiocarcinoma,
ampularry cancers, kanker pancreas, ataupun disebabkan oleh billiary stricture.4,5
PATOFISIOLOGI
Empedu merupakan organ sekresi serbaguna yang memiliki beragam fungsi, termasuk
dalam membantu pencernaan lemak di usus dan penyerapannya, melakukan intoksikasi serta
sebagai rute utama ekskresi untuk berbagai senyawa endogen dan metabolisme produk, seperti
kolesterol, bilirubin, dan banyak hormon lainnya.6
Pada ikterus obstruktif, efek pathophysiologic dapat terlihat dengan tidak adanya bahanbahan konstituen empedu seperti bilirubin, garam empedu, dan lipid yang disekresikan ke dalam
usus, yang menyebabkan peningkatan kadar bilirubin dalam darah, sehingga feses sering terlihat

seperti pucat atau seperti dempul karena bilirubin tidak atau sangat sedikit mencapai usus. Tidak
adanya garam empedu dapat menyebabkan malabsorpsi, menyebabkan steatorrhea dan
kekurangan vitamin larut lemak (terutama A, K, dan D), kekurangan vitamin K dapat
mengurangi kadar protrombin.7 Pada kolestasis yang lama, seiring terjadi malabsorbsi vitamin D
dan Ca sehingga dapat menyebabkan osteoporosis atau osteomalacia.6
Retensi bilirubin dapat menyebabkan peningkatan bilirubin conjugated dan unconjugated
(campuran). Beberapa bilirubin terkonjugasi mencapai ginjal sehingga dapat menggelapkan
warna urin. Tingginya kadar sirkulasi garam empedu berhubungan dengan malabsorbsi, namun
tidak dapat menyebabkan, pruritus. Retensi kolesterol dan fosfolipid menghasilkan
hiperlipidemia.8
Lipid beredar sebagai lipoprotein yang low-density dan biasanya disebut protein X.
Penyakit hati kolestasis ditandai dengan akumulasi zat hepatotoksik, disfungsi mitokondria dan
gangguan pertahanan antioksidan hepar. Penyimpanan asam empedu hidrofobik telah
diindikasikan sebagai penyebab utama hepatotoksisitas dengan perubahan beberapa fungsi sel
penting. Kedua gangguan metabolisme mitokondria dan akumulasi asam hidrofobik empedu
berhubungan dengan peningkatan produksi radikal bebas dalam menyebabkan kerusakan
oksidatif.9,10
1. Obstruksi et causa Batu Empedu

Kelainan yang menyebabkan pembentukan batu empedu diduga akibat kelainan yang berasal
dari proses sekunder oleh karena peningkatan dari kehilangan garam empedu di intestinal.
Menariknya, penurunan dari ekspresi dari penurunan ekspresi terkait dengan transport
protein garam empedu pada bagian ileum tergantung transport natrium dan asam, protein
sitosol lipid pada daerah ileum juga mengikat, dan transporter basolateral terlarut (organik
dan ) baru-baru ini dijelaskan dalam perempuan pasien non-obesitas sebagai pencetus gall
stone ini.3

Gambar 1. Pembentukkan Batu Empedu9


Diet kolesterol tinggi juga dilaporkan dapat meningkatkan sekresi kolesterol empedu dan
menurunkan sintesis asam empedu sehingga menyebabkan batu empedu. Temuan ini
menunjukkan pentingnya penyerapan kolesterol usus dalam patogenesis batu empedu.
Menariknya, peningkatan ekspresi kolesterol penyerapan protein usus NPC1L1 (NiemannPick C1-seperti protein 1) baru-baru ini dilaporkan memegang peran pada pasien dengan batu
empedu.9,10

Gambar 2. Patogenesis Terbentuknya Batu Empedu3

Secara umum, ABCG5-G8 mengangkut kolesterol ke dalam empedu, dan diatur oleh LXR
reseptor sel. ABCB11 dan ABCB4 sebagai transport garam empedu dan fosfatidilkolin
menuju ke dalam empedu, dan diatur oleh FXR reseptor sel. Kelebihan sekresi kolesterol hati
oleh empedu atau kurangnya sekresi garam-fosfatidilkolin menyebabkan penjenuhan
kolesterol di empedu. Selanjutnya, kolesterol jenuh dapat membentuk vesikel-vesikel yang
dibentuk akibat konsentrasi kolesterol jenuh di empedu. Komposisi empedu hidrofobik, atau
terdiri atas rantai fosfolipid tak jenuh. Nukleasi kristal kolesterol mungkin terjadi dari
vesikula jenuh agregat tersebut yang kemudian menyatu.
Selain itu, penggunaan obat-obatan seperti steroid atau produk berbahan lipid dapat
menyebabkan terjadinya batu empedu.3,9,10

Gambar 3. Pengaruh Obat-obatan dalam pembentukkan batu empedu9


2. Atresia Bilier

Meskipun etiologi atresia bilier masih belum diketahui, ada bukti yang dapat mendukung
adanya suatu proses kerusakan yang di mediasi oleh sistem imun pada biliari tree, yang
kebanyakan didukung oleh adanya infeksi virus. Penelitian yang dilakukan oleh Al-Masri et
al, ditemukan adanya kaitan yang sangat berpengaruh dengan aktivitas interferon tipe 1,
respon ini juga di mediasi oleh system innate imun terutama pada pasien yang terkena infeksi
virus, pada pasien dengan atresia bilier terutama yang etiologinya disebabkan akibat
kolestasis sejak neonatal biasanya disertai tanpa penyakit hati. Namun tetap interferon tipe 1
didapatkan berperan dalam proses ini.6

5
3. Cholangiocarcinoma (cca) muncul dari epitel pada saluran empedu dengan prevalensi 1-

2/100.000 penduduk di Inggris, CCA ini sering muncul pada riwayat perokok berat atau
penderita diabetes. Hal ini diketahui juga diketahui sebagai primary sclerosing cholangitis
(PSC), yang disebabkan oleh infeksi empedu kronis atau berulang, sirosis, hepatitis C,
penyakit Caroli dan hepatolithiasis.7
Sekitar 60-70%, CCA timbul di wilayah perihilar (Klatskin tumor), yang melibatkan saluran
empedu extrahepatic utama dan berpotensi menjadi luas, dan dapat melalui bifurkasi empedu
saluran di tingkat hati. Dua puluh sampai tiga puluh persen dari tumor timbul pada sisi hati
dari saluran empedu (CBD) yang berada di luar duktus sistikus, kadang-kadang meluas juga
ke ampula, dan sering menyebabkan keadaan striktur.5,6
GEJALA KLINIS
Secara umum, manifestasi klinis dari obstruktif jaundice ialah apabila terdapat urin
berwarna gelap, tinja pucat dan pruritus merupakan ciri khas dari ikterus obstruktif. Riwayat
demam,

kolik

empedu

dan

jaundice

intermiten

mungkin

bisa

sebagai

sugestif

kolangitis/choledocholithiasis. Berat badan menurun, adanya massa pada perut, nyeri yang
menjalar ke punggung dan bisa dikaitkan dengan sugestif dari kanker pankreas. Ikterus yang
mendalam atau deep icterus (dengan rona kehijauan) yang muncul berfluktuasi dalam intensitas
mungkin karena kanker periampula.2,7

Tabel 1. Presentasi Klinis pada Obstruksi Jaundice berdasarkan etiologi1

Sebagian besar pasien datang terlambat dalam perjalanan penyakit dengan tanda-tanda
obstruksi bilier dan sepsis dan kematian biasanya hasil dari obstruksi berulang atau refrakter dan
sepsis, bukan dari penyakit metastasis. Berikut tabel yang menjelaskan perbedaan klinis
obstruksi jaundice malignan dengan benigna dalam suatu penelitian yang diadakan oleh Ayub J,
2008.2

Tabel 2. Tanda dan Gejala pada Obstruksi Jaundice (Maligna dan Benigna)2
DIAGNOSIS
a. Laboratorium
Peningkatan kadar bilirubin serum dengan fraksi terkonjugasi yang lebih dominan
merupakan indikasi pemeriksaan lab ini. Serum gama glutamil transpeptidase (GGT)
dapat meningkat pada kolestasis. Secara umum, pasien dengan penyakit batu empedu
memiliki hiperbilirubinemia yang lebih sedikit dibandingkan dengan ekstra hati obstruksi
ganas. Bilirubin serum biasanya didapatkan kurang dari 20 mg/dL. Fosfatase alkali
mungkin dapat meningkat sampai sepuluh kali lipat dari normal. Peningkatan WBC
mungkin juga terjadi dalam kolangitis. Dalam kanker pankreas dan kanker penyebab
obstruktif lainnya, bilirubin serum dapat naik hingga 35 sampai 40 mg / dL, fosfatase
alkali meningkat hingga sepuluh kali normal, tetapi transaminase dapat tetap normal.
Penanda tumor seperti CA 19-9, CEA dan CA-125 biasanya meningkat pada kanker
pankreas, cholangiocarcinoma dan kanker peri-ampullary, tetapi mereka tidak spesifik
dan dapat meningkat pada penyakit hepatobilier jinak lainnya.6,10
b. Imaging
-

Gold satandart untuk dapat mendiagnosis primary sclerosing cholangitis (PSC) tetap
menggunakan kolangiografi endoscopic retrograde (ERC). Karena ERC merupakan

tindakan invasif dan dapat membawa risiko, bagaimanapun, magnetic resonance


kolangiografi (MRC) telah dibuktikan banyak membawa kemajuan dalam
mendiagnosis PSC ini. Berstad et al mencatat bahwa sensitivitas dan spesifisitas
MRC untuk mendiagnosis PSC adalah masing-masing 80% dan 87%. Penting untuk
dicatat bahwa sensitivitas dan spesifisitas sangat bervariasi dari satu lembaga ke
lembaga. MRC adalah tes pertama yang diterima untuk mendiagnosa PSC, tapi ERC
masih mungkin diperlukan dalam kasus-kasus tertentu.6,11
-

USG dapat menunjukkan ukuran dari saluran-saluran empedu, dapat menentukan


tingkat obstruksi, dapat mengidentifikasi penyebab dan memberikan informasi lain
yang terkait dengan penyakit (misalnya metastase hati, batu empedu, hati perubahan
parenkim). Ini mengidentifikasi obstruksi saluran empedu dengan akurasi 95%
meskipun hasil sebagian besar tergantung pada operator. Hal ini juga akan
menunjukkan batu dalam kandung empedu dan saluran empedu apakah membesar
atau tidak, tetapi tidak dapat diandalkan untuk batu kecil atau striktur pada saluran
empedu. USG juga dapat menunjukkan tumor, kista, atau abses di pankreas, hati, dan
struktur sekitarnya.2,9

CT-scan digunakan untuk dapat menyediakan visualisasi yang sangat baik dan
berguna

dalam

visualisasi

hati,

kandung

empedu,

pankreas,

ginjal,

dan

retroperitoneum. Hal ini dapat membedakan antara obstruksi intrahepar dengan


ekstrahepar dengan akurasi 95%. Namun, CT tidak dapat menentukan obstruksi
secara lengkap yang disebabkan oleh batu empedu kecil, tumor, atau striktur.2

TREATMENT
Pengobatan batu empedu didasarkan pada pengobatan dengan menghilangkan batu dari
saluran kandung empedu atau empedu. Ketika penyebab penyakit lain ini sebagai penyebabnya
sudah ditegakkan seperti kondisi yang mengakibatkan cholelithiasis, seperti anemia hemolitik,
obesitas, diabetes mellitus, dll, diperlakukan.
Bedah merupakan terapi yang sangat eksklusif pada GD dan telah dilakukan selama
bertahun-tahun.2 Oleh karena itu, perawatan bedah dan medis untuk cholelithiasis sama-sama
digunakan saat ini. Perlakuan dasar untuk GD adalah: (1) kolesistektomi cavitary endoskopi, (2)
litholytic Terapi (LT), (3) extracorporeal shock wave lithotripsy (ESWL), (4) ex-tracorporeal
gelombang kejut lithotripsy + terapi Litholytic, dan (5) transhepatik LT perkutan.9
Akhir-akhir ini pengobatan dalam batu empedu berkembang pesat, terutama dengan
munculnya pengobatan medis baru seperti litholytic terapi (batu disolusi) dan lithotripsy
(pemecahan batu). Sekitar 30% dari pasien dengan batu kandung empedu dapat menjalani terapi
litholytic. Pelarutan batu empedu didasarkan pada patofisiologi cholepoiesis dan choleresis di
cholelithiasis dan dilakukan dengan asam empedu. Para ilmuwan menetapkan eksperimental
bahwa rasio antara konsentrasi asam empedu menyebabkan redistribusi fase dalam proses ini.9

Gambar 4. Fase serta komponen empedu yang terlibat.9

Prinsipnya ialah dengan menggunakan obat obatan asam empedu, misalnya pada
litholytic mengandung chenodeoxycholic atau ursodeoxycholic acid (UDCA). Dalam sebuah
penelitian dikatakan sangat efektif dan tidak banyak menyebabkan efek samping.
Agar pengobatan litolitik terapi sempurna, harus melihat criteria berikut, seperti (1) batu
yang terbentuk harus terdiri atas kolesterol atau campurannya, (2) ukuran batu tidak boleh lebih
dari 1.5 cm, dan (3) harus dipastikan gallbladder masih dapat berfungsi dengan baik atau
kerusakan tidak lebih dari volume empedu. Penggunaan dosis berasarkan berat badan
seseorang. Untuk keberhasilan terapi yang adekuat harus diminum pada malam hari dengan
single dose, atau dapat digunakan 1/3 pada pagi hari dan sisanya pada malam hari. Awal fase
pembentukkan serta belum menjadi batu kompak dapat menentukan keberhasilan pengobatan.
Penggunaan obat mulai dari 6 bulan hingga 2 tahun. Ketika dalam 3-6 bulan initial terapi batu
mengalami penurunan dalam ukuran maka lanjutkan hingga seluruh batu terlarut, jika dalam 12
bulan tidak menunjukkan pengurangan maka harus di stop, dan lakukan pembedahan.
Keberhasilan penggunaan UDCA ialah 60-90%.9

Gambar 5. Management Gall Stone1

10

Sedangkan dalam pengobatan obstruksi

yang di akibatkan oleh CCA, 24-

norUrsodeoxycholic acid (norUDCA) adalah C23 homolog dari UDCA. Obat ini merupakan
obat yang lebih poten dari UDCA. Dalam studi yang dilakukan oleh Fickert et al, terdapat
keuntungan penggunaan norUDCA yang di ujicobakan dalam tikus, bersamaan dengan
penggunaan UDCA. Pada tikus dengan norUDCA lebih menunjukkan perbaikan dalam level
ALT dan ALP serta pada liver histologisnya. Penggunaan dosis baik UDCA atau norUDCA
adalah sekitar 10-16 mg/kgBB, atau rata-rata penggunaan dalam berbagai studi ialah 15
mg/kgBB.6

Gambar 6. Alogaritma Penatalaksanaan CCA5


Pada atresia biler, atau striktur pembedahan merupakan target utama, selain
menyembuhkan penyebabnya. Namun diketahui, pembedahan yang dilakukan dalam pengobatan
untuk ini dapat menimbulkan resiko trauma sekitar 0.1-0.2%, selain itu dapat digunakan juga Yplasty ataupun pengangkatan secara utuh, atau penggunaan balloon dilated.6

11

KOMPLIKASI dan PROGNOSIS


Komplikasi biasanya menyebabkan kolesistisis atau peradangan, bahkan dapat mencapai
sirosis hepatis. Paling sering terjadi ialah pseudo aneurism akibat tekanan vascular yang menjadi
tinggi, disertai dengan gangguan pembekuan darah akibat terganggunya produksi zat pembekuan
darah yang berada pada hepar. Prognosis, berdasarkan komplikasi dan pengobatan dasar
penyakit.2,4,12

12

DAFTAR PUSTAKA
1. Briggs, Peterson. Investigation and management of obstructive jaundice. UK: Elsevier.
2007; Pp. 74-76.
2. Siddique, et al. Evaluation of the aetiological spectrum of obstructive jaundice. Pakistan:
J Ayub Med Coll Abbottabad. 2008; 20(4):62-65. [Cited 2014 November 11] available at
URL: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19999207
3. Venneman, N.G., and Erpecum KJ. Pathogenesis of Gallstones. Gastroenterol Clin N Am
2010;

39:171-183.

[Cited

2014

November

10]

available

at

URL:

http://gastro.ucsd.edu/fellowship/materials/Documents/Gallstones/pathogenesis%20gallst
ones.pdf
4. Sulegaon, et al. A Comparative Study of Early Versus Interval Cholecystectomy in a case
of Acute Cholecystitis. International Journal of Scientific Research 2014; 3(7):392-395
[Cited

2014

November

10]

available

at

URL:

http://theglobaljournals.com/ijsr/file.php?val=July_2014_1405664145__121.pdf
5. Skipworth, et al. Review article: surgical, neo-adjuvant and adjuvant management
strategies in biliary tract cancer. London: AP&T Alimentary Pharmacology and
Therapeutics. 2011; 34:1063-70. [Cited 2014 November 11] available at URL:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3235953/
6. Jacqueline, et al. Cholestasis and cholestatic syndromes. USA: Lippicont Williams &
Wilkins. 2007; 23:232-36.
7. Papadopoulos, et al. Hemostasis Impairment in Patients with Obstructive Jaundice.
Greece: J Gastrintestinal Liver Dis. 2007; 16(2):177-82. [Cited 2014 November 10]
available at URL: http://www.rjge.ro/jgld/2007/2/7.pdf
8. Selvi, et al. A clinicopathological study of cholecystitis with special reference to analysis
of cholelithiasis. US: International Journal of Basic Medical Science. 2011; 2(2):68-71.
[Cited

2014

November

11]

available

at

URL:

http://www.ijbms.com/wp-

content/uploads/2011/07/thamil-selvi-cholecystitis.pdf
9. Reshetnyak Vasiliy Ivanovich. Concept of the pathogenesis and treatment of cholelitiasis.
Japan: World J Hepatology. 2012; 4(2):18-34. [Cited 2014 Nopvember 10] available at
URL: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3295849/

13

10. Zollner, Trauner. Clinic in Liver Disease: Mechanism of Cholestasis. Austria: Elsevier
Saunders. 2008; Pp. 5-18. [Cited 2014 November 11] available at URL:
http://cmapspublic2.ihmc.us/rid=1GJ32CRGJ-M39QDL-1B5X/Cholestasis.pdf
11. Artifon, et al. EUS-Guided Biliary Drainage: A Review Article. Brazil: JOP. J Pancreas.
2012;

13(1):7-17.

[Cited

2014

November

11]

available

at

URL:

http://omicsonline.com/open-access/eusguided-biliary-drainage-a-review-article.pdf
12. Caminitii, et al. Pseudoaneurysm of the Hepatic Artery and Hemobilia: A Rare
Complication of Laparoscopic Cholecytectomy; Clinical Case and Literature Review.
Italy: Acta Chir Belg. 2011; 111:400-03. [Cited 2014 November 11] available at URL:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22299330

Anda mungkin juga menyukai