Anda di halaman 1dari 40

REFERAT

GANGGUAN GINJAL AKUT DAN


PENYAKIT GINJAL KRONIK
DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS DAN MELENGKAPI
SYARAT DALAM MENEMPUH PROGRAM STUDI PROFESI
DOKTER

Pembimbing :
dr. Pujo Hendriyanto, SpPD
Disusun Oleh :
Jessica Philbertha
406138080
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA SEMARANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA
PERIODE 7 JULI 2014 13 SEPTEMBER 2014

HALAMAN PENGESAHAN
Nama
: Jessica Philbertha
Fakultas
: Kedokteran
Universitas
: Universitas Tarumanagara
Tingkat
: Program Pendidikan Profesi Dokter
Bidang Pendidikan
: Ilmu Penyakit Dalam
Periode Kepaniteraan Klinik
: 7 Juli 2014 13 September
2014
Judul Referat
: Gangguan Ginjal Akut dan Penyakit
Ginjal Kronik
Diajukan
: Agustus 2014
1

Pembimbing

: dr. Pujo Hendriyanto, SpPD

Telah diperiksa dan disahkan tanggal :


Mengetahui,
Ketua SMF Ilmu Penyakit Dalam
Pembimbing,
RSUD Kota Semarang

(dr. Pujo Hendriyanto, SpPD)


Hendriyanto, SpPD)

(dr.

Pujo

KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan berkat dan rahmat Nya sehingga saya dapat
menyelesaikan referat mengenai Gangguan Ginjal Akut dan
Penyakit Ginjal Kronik guna memenuhi salah satu persyaratan
dalam menempuh Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara di RSUD
Kota Semarang.
Pada kesempatan ini, saya ingin menyampaikan banyak terima
kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam
menyelesaikan referat ini, yaitu :
1.
dr. Susi Herawati, Mkes selaku direktur RSUD Kota
Semarang.
2.
dr. Pujo Hendriyanto, SpPD selaku ketua SMF Ilmu Penyakit
Dalam dan pembimbing kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit
Dalam RSUD Kota Semarang.
3.
dr. Syaiful Niam, SpPD selaku pembimbing kepaniteraan
klinik Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kota Semarang.
4.
dr.
Diana
Novitasari,
SpPD
selaku
pembimbing
kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kota
Semarang.
5.
dr. Dessy Andriani, SpPD selaku pembimbing kepaniteraan
klinik Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kota Semarang.
6.
Rekan-rekan anggota kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu
Penyakit Dalam RSUD Kota Semarang.
Saya menyadari penulisan referat ini masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat
2

diharapkan penulis agar referat ini dapat menjadi lebih baik.


Saya juga memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila
banyak terdapat kesalahan maupun kekurangan dalam referat
ini. Akhir kata, saya berharap semoga referat ini dapat
bermanfaat khususnya bagi saya sendiri dan kepada Pembaca
pada umumnya.

Semarang, Agustus 2014


Penulis

DAFTAR ISI
HALAMAN
PENGESAHAN...............................................................................
......2

KATA
PENGANTAR..................................................................................
.............3
DAFTAR
ISI.................................................................................................
...........5
BAB
I.
PENDAHULUAN.............................................................................
............6
BAB
II.
ANATOMI
TRAKTUS
URINARIUS...............................................................8
BAB
III.
FISIOLOGI
TRAKTUS
URINARIUS............................................................15
BAB
IV.
GANGGUAN
GINJAL
AKUT.....................................................................18
BAB
V.
PENYAKIT
GINJAL
KRONIK......................................................................32
BAB
VI.
KESIMPULAN.................................................................................
........44
DAFTAR
PUSTAKA.......................................................................................
.......45

BAB I
PENDAHULUAN
Sistem urinaria adalah suatu sistem kerjasama tubuh yang bertujuan
untuk mempertahankan homeostatis. Salah satu organ yang terlibat
dalam sistem urinaria adalah ginjal. Ginjal berfungsi mempertahankan
keseimbangan H2O dalam tubuh, mengatur jumlah dan konsentrasi
sebagian besar ion CES termasuk Na +, K+, Cl-, HCO3-, Ca 2+, Mg2+, SO42-,
PO43-, dan H+, memelihara volume plasma yang sesuai, sehingga sangat
berperan dalam pengaturan jangka panjang tekanan darah arteri,
4

membantu memelihara keseimbangan asam basa tubuh, memelihara


osmolaritas, mengekskresikan produk sisa dari metabolisme seperti urea,
asam urat, dan kreatinin, mengekskresikan banyak senyawa asing,
misalnya obat, pestisida, dll, mensekresikan eritropoietin untuk
merangsang pembentukan sel darah merah, mensekresikan renin, suatu
hormon enzimatik yang memicu reaksi berantai yang penting dalam
proses konservasi garam oleh ginjal, dan mengubah vitamin D menjadi
bentuk aktifnya. Gangguan pada ginjal yang paling sering terjadi adalah
gangguan ginjal akut dan penyakit ginjal kronik.
Acute kidney injury (AKI) merupakan terminologi baru yang digunakan
sebagai pengganti gagal ginjal akut. AKI merupakan sebuah sindrom
dalam bidang nefrologi yang dalam 15 tahun terakhir menunjukkan
peningkatan insidens dengan angka mortalitas yang masih cukup tinggi.
Perubahan tersebut disertai dengan pengajuan kriteria diagnosis yang
terbukti lebih sensitif untuk mendeteksi AKI lebih dini sehingga dapat
diupayakan perbaikan prognosis pasien. Saat ini, diagnosis AKI ditegakkan
dengan menggunakan kriteria RIFLE/AKIN. Berdasarkan sumber
masalahnya, AKI dibagi menjadi 3 kelompok utama, yaitu pre renal, renal,
dan post renal. Dalam upaya diagnosis, perlu ditentukan etiologi, tahap
penyakit, dan komplikasi AKI. Penatalaksanaan AKI harus dilakukan secara
menyeluruh, mencakup upaya tatalaksana etiologi, pencegahan
menurunnya fungsi ginjal lebih jauh, terapi cairan dan nutrisi, serta
tatalaksana komplikasi yang dapat dilakukan secara konservatif atau
secara bedah yaitu mengganti ginjal.
Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan
fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi
pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Di
Amerika Serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan insidens penyakit
ginjal kronik diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan
angka ini meningkat sekitar 8 % setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan
populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal per
tahunnya. Di negara-negara berkembang lainnya, insidens ini diperkirakan
sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk per tahun.
Mengingat banyaknya kasus gangguan ginjal akut dan penyakit ginjal
kronik, maka hendaknya dokter harus waspada dan mengerti akan
perjalanan kedua penyakit ini agar insidens penyakit ini tidak terus
bertambah.

BAB II
ANATOMI TRAKTUS URINARIUS
Sistem traktus urinarius memegang peranan dalam pembentukan,
penampungan sementara, dan pengeluaran urin. Organ-organnya terdiri
dari :
1
Ren (ginjal), yang membentuk urin.
2
Ureter, yang mengalirkan urin dari ginjal ke kandung kemih.
3
Vesica urinaria, yang menampung air kemih (urin) untuk sementara.
4
Uretra, saluran yang mengluarkan urin.
Ginjal
Ginjal ada sepasang, berbentuk seperti kacang, berwarna merah
kecoklatan, dan permukaannya berkilap karena dibungkus capsula fibrosa.
Panjang ginjal adalah 11-12 cm, lebarnya 5-6 cm, dan tebalnya 3 cm
(ginjal kiri sedikit lebih panjang tetapi lebih tipis), dan beratnya kurang
lebih 130-150 cm.

Ginjal memiliki extremitas superior renis, extremitas inferior renis, fascies


anterior renis, fascies inferior renis, margo medialis renis, margo lateralis
renis. Facies anterior renis menghadap ke depan lateral, sementara facies
posterior renis menghadap ke belakang medial. Margo medialis renis,

yang cekung, membentuk hilum renale, tempat lewatnya pembuluh


darah, saraf, pembuluh limfe, dan ureter.
Pada potongan koronal ginjal, terlihat dua massa padat yang bisa
dibedakan ; massa sebelah dalam yang lebih gelap disebut medulla
renalis, sementara massa sebelah luar yang lebih pucat disebut cortex
renalis. Di sebelah dalam medulla renalis terdapat rongga yang disebut
sinus renalis, yang sumbunya sesuai dengan sumbu ginjal. Sinus renalis
berbatasan dengan capsula renalis yang sebagian masuk ke dalamnya.
Sinus renalis berisi calices renales, pelvis renales, dan pembuluhpembuluh darah yang tertanam di dalam massa lemak. Dinding sinus
tidak rata tetapi mempunyai 6 15 tonjolan yang disebut papillae renales.
Ke arah luar, papillae renales membentuk jaringan seperti jari-jari yang
berwarna lebih gelap, disebut piramida renales. Dasar piramida renalis
teletak pada cortex disebut basis piramida renalis. Piramida renalis
bergabung membentuk medulla renalis.
Pada papilla renalis terdapat lubang kecil tempat bermuaranya tubuli
renalis. Setelah melalui lubang-lubang tersebut, urine mengalir keluar ke
calices renalis minores, lalu bergabung menjadi calices renalis mayor lalu
ke pelvis renalis dan masuk ke ureter.

Ginjal terdiri dari susunan lobus-lobus dimana tiap lobus memiliki sistem
pembuluh darah yang terdiri dari sejumlah bangunan yang memegang
peranan dalam filtrasi urin. Sistem tersebut berawal di corpusculum
Malpighi (glomelurus dan capsula Bowman) yang terletak pada cortex
renalis. Pada glomelurus terdapat arteriola glomelularis afferens dan
efferens. Pada bagian ini terjadi filtrasi yang mengawali proses
pembentukan urin.
Dari corpusculum Malpighi, filtrat ditampung di dalam tubuli renales mulai
dari tubulus contortus proximalis, tubulus spiralis, ansa Henle (pars
ascendens dan descendens), tubulus contortus distalis, tubulus renis
arcuatus, tubulus colligens rectus, dan berakhir pada ductus papillaris.
Ginjal terletak pada bagian belakang rongga abdomen, di sebelah
columna vertebralis dan M. Psoas mayor. Tepi medial ginjal menghadap ke
arah medial depan. Letak ginjal kiri biasanya 1,5 cm lebih tinggi dan
terletak sedikit lebih medial. Pada pernafasan tenang dan posisi
7

berbaring, hilum renale terletak di bidang transpilorik. Pada pandangan


ventral, ekstremitas inferior ginjal kiri terletak di bidang subcostal. Pada
pandangan dorsal, hilum renale ginjal kiri terletak setinggi prosesus
spinosus vertebra lumbalis I dan ekstremitas inferiornya terletak 5 cm di
atas titik tertinggi crista iliaca.

Pembuluh darah yang memperdarahi ginjal adalah arteria renalis yang


merupakan cabang dari aorta abdominalis. Kedua arteria renalis tidak
hanya berfungsi untuk memperdarahi parenkim ginjal, tetapi juga
berperan dalam filtrasi urin. Arteri renalis berjalan menuju hilum renale.
Setelah mencapai hilum renale, A. Renalis bercabang menjadi 5 aa.
Segmentales renis. Lalu sesampainya pada piramida renalis bercabang
menjadi arteriae lobares renis. Sebelum memasuki medulla renalis
bercabang lagi menjadi aa. Interlobares renis. Pada perbatasan antara
cortex dan medulla renalis menjadi aa. Arcuatae renis yang berjalan
menuju cortex renalis dan membentuk percabangan yang memasuki
glomelurus (vas afferens glomeruli). Lalu setelah keluar dari glomelurus
menuju vas efferens glomeruli atau arteriola glomeluruli) dan masuk ke
vena yang namanya sesuai dengan nama arteri tempat masuknya darah
ke ginjal.
Persarafan ginjal dipersarafi oleh plexus coeliacus dan plexus
intermesentericus. Masuk mengikuti A. Renalis kemudian bergabung
dengan n. splanchinicus imus dan n. splanchnicus lumbalis I memebntuk
plexus renalis.
Ureter
Ureter dalah saluran yang menampung dan mengalirkan urin dari pelvis
renalis ke kandung kemih. Saluran ini mempunyai dinding yang tebal dan
lumen yang kecil, serta panjangnya kurang lebih 25 cm. Pada tempat
keluarnya dari pelvis renalis, ureter terletak di belakang arteria dan vena
renalis. Separuh ureter berada di rongga abdomen (pars abdominalis
ureteris) dan setelah menyilang dengan vasa iliaca communis masuk ke
rongga pelvis (pars pelvica ureteris).

Ureter dexter dan sinister bermuara ke dalam


sudut miring inferomedial. Muara ureter pada
ostium ureteris yang berbentuk pipih panjang
katup
untuk
mencegah
refluks

vesica urinaria
vesica urinaria
yang berfungsi
urin
ke

dengan
disebut
seperti
ureter.

Ureter memuliki 3 tempat penyempitan yaitu:


1
Di perbatasan antara pelvis renalis dan ureter (ureteropelvic
junction)
2
Di bagian yang menyilang vasa iliaca communis atau vasa iliaca
eksterna
3
Di muaranya pada vesica urinaria
Pada batu ginjal yang turun ke ureter dapat tersangkut di tempat
penyempitan tadi menyebabkan kolik dan retensi urin yang dapat
menimbulkan hidronefrosis.
Ureter diperdarahi oleh a. Renalis, a. Testicularis/ovarica, a. Iliaca interna,
a. Vesicalis inferior atau a. Uterina.
Ureter dipersarafi oleh sejumlah nervus yang berasal dari plexus renalis,
plexus testiularis/ovaricus, dan plexus hypogastricus. Adanya batu ureter
menyebabkan spasme pada otot dinding ureter yang menyebabkan nyeri
yang juga terasa pada daerah kulit yang dipersarafi oleg segmen torakal
XI-XII dan lumbal I-II. Nyeri khas pertama kali di daerah pinggang yang
kemudian menjalar ke scrotum dan penis/labium majus (reffered pain).
Vesica Urinaria
Vesica urinaria merupakan kantong muskulomembranosa yang dapat
merenggang dan berfungsi sebagai tempat penampunga urin. Pada orang
dewasa terletak pada rongga pelvis, di belakang simfisis pubis. Pada lakilaki terletak di depan rektum dan pada perempuan terdapat seviks uteri
dan vagina di antara vesica urinaria dan rektum. Ketika terisi penuh,
vesica urinaria akan mengembang ke atas sampai rongga abdomen.
Permukaan atas vesica urinaria dilapisi perineum. Pada laki-laki lapisan ini
meluas ke belakang membentuk lekukan di antara vesica urinaria dna
rektum disebut excavatio rectovesicalis. Pada perempuan, peritoneum
yang melapisi permukaan atas vesica urinaria meluas ke atas dan
berbatasan dengan corpus uteri membentuk excabatio vesicouterina;
9

lapisan peritoneum tersebut juga meluas ke belakang uterus dan


berbatasan dengan rectum membentuk excabatio rectouterina (cavum
Douglasi). Dalam keadaan normal, vesica urinaria dapat menampung
sampai 550 cc urin atau lebih. Sensasi ingin berkemih biasanya mulai
timbul sewaktu terdapat urin sebanyak 160-300 cc. Ketika volume urin
mencapai 450 cc vesica urinaria sudah menyantuh dinding depan
abdomen dan puncaknya berada 7-8 cm di atas crista pubica.

Vesica urinaria menempati sebuat ruangan berbentuk limas segitiga yang


kedua sisi sampingnya bertemu di depan (pada simfisis pubis). Sisi
samping ruangan tersebut dibentuk m. Obturatorius internus (di atasnya)
dan m. Levator ani (bagian bawahnya). Bagian bawahnya ditahan oleh
diafragma urogenital.
Ketika terisi sedikit urin, vesica urinaria berbentuk seperti piramida
dengan empat permukaan; yang menghadap ke atas disebut facies
superior vesicae, yang menghadap ke lateral bawah disebut facies
inferolateral vesicae (ada dua, kanan dan kiri), sementara yang
menghadap ke belakang bawah disebut facies posterior vesicae (basis
atau fundus vesicae). Puncaknya terletak di depan pada pertemuan facies
superior dan kedua facies inferolateralis, disebut apex vesicae. Bagian di
antara apex dan fundus disebut corpus vesicae.
Ligamentum umbilicale medianum atau chorda urachi melekat pada apex
vesicae. Kadang-kadang, chorda urachi ini masih paten ketika bayi lahir
sehingga urin dapat merembes keluar melalui umbilicus. Pada kedua
sudut superior basis vesicae, terdapat ostium ureteris (kanan dan kiti).
Pada sudut inferiornya, terdapat ostium urethrae internum; di bagian
permulaan urethra ini, terdapat otot polos sirkular yang disebut m.
Sphincter vesicae. Bagian bawah vesica urinaria ini, yang melekat erat
pada prostata, disebut cervix vesicae; bagian ini relatif tidak bergerak
karena difiksasi oleh ligamentum puboprostaticum dan ligamentum
laterale vesicae.
Permukaan dalam vesica urinaria berlipat-lipat, kecuali pada daerah
segitiga yang puncaknya menghadap ke bawah, disebut trigonum vesicae
(trigonum Lieutardi). Pada puncak segitiga tersebut, terdapat ostium
urethrae internum. Alasnya merupakan garis yang menghubungkan kedua
ostium ureteris (kanan dan kiri); di antara kedua ostium ureteris, terdapat
plica interureterica.
Lapisan-lapisan dinding vesica urinaria terdiri dari 4 lapisan :
10

Tunica serosa : berasal dari peritoneum parietal. Lapisan ini


menutupi facies superior, bagian atas facies inferolateralis, dan
fundus vesicae.
2
Tunuca muskularis : terdiri dari tiga lapisan otot polos
1
Lapisan luar, sebagian besar tersusun dari serabut-serabut
longitudianl
2
Lapisan tengah, sebagian besar berupa serabut sirkular
3
Lapisan dalam, sebagian besar berupa serabut longitudinal
3
Tunuca submukosa : tersusun dari jaringan ikat longgar.
Berhubungan erat dengan tunica mocosa.
4
Tunica mukosa : lapisan tipis, tidak mempunyai kelenjar.
Pembuluh darah yang memperdarahi vesica urinaria adalah a. Vesicalis
superior dan a. Vesicalis inferior; pada perempuan, vesica urinaria juga
didarahi oleh cabang-cabang a. Uterina dan a. Vaginalis. Dari vesica
urinaria, darah dialirkan ke plexus venosus vesicalis dan (pada laki-laki)
plexus venosus prostaticus, kemudian menuju vv. Vesicales, sebelum
akhirnya memasuki v. Iliaca interna.
Vesica urinaria mempunyai persarafan motorik dan sensorik. Serabut
saraf parasimpatisnya berasal dari nervi pelvici splanchnici, menyebabkan
perangsangan otot polos vesica urinaria (m. Detrusor vesicae) dan
menghambat m. Sphincter vesicae (otot motorik). Serabut simpatisnya
berasal dari nervi lumbales bagian atas (melalui plexus hipogastricus),
menghasilkan efek yang berlawanan. Persarafan sensorik berperan dalam
menimbulkan sensasi ingin miksi sewaktu kandung kemih terisi penuh.
Rasa nyeri yang dirasakan pad penyakit-penyakit vesica urinaria juga
terkait dengan persarafan ini. Serabut penghantar impuls nyeri berjalan
ke segmen lumbal dan sakral medulla spinalis; karena itu, nyeri tak
tertahankan yang timbul pada penyakit-penyakit terminal sulit diatasi.
Urethra
Urethra merupakan saluran yang keluar dari vesica urinaria, berawal dari
cervix vesicae (pada ostium urethra internum). Urethra laki-laki (kurang
lebih 20 cm) jauh lebih panjang dibandingkan urethra perempuan (hanya
sekitar 4 cm).

11

Urethra laki-laki tidak hanya berfungsi untuk saluran keluar urin, namun
juga sebagai saluran keluar bagi sekret yang dihasilkan oleh vesicula
seminalis, prostata, glandula bulbourethralis, dan sejumlah kelenjar
urethra waktu ejakulasi. Berbentuk seperti huruf S. Dibagi menjadi 3
bagian, yaitu :
1
Pars prostatica : bagian yang terletak di dalam prostata, hanya
sekitar 2,5 cm. Merupakan bagian prostat yang paling lebar.
Terdapat crista urethralis, sinus prostaticus, collicus seminalis,
utriculus prostaticus, dan ductus ejakulatorius.
2
Pars membranacea : menembus diafragma urogenital. Paling
pendek diantara bagian urethra lainnya. Dikelilingi oleh m. Sphincter
urethrae dan terdapat glandula bulbourethralis di lateral kanan dan
kirinya.
3
Pars spongiosa : bagian yang berada pada corpus spongiosum.
Merupakan bagian terpanjang (15 cm). Berakhir pada ostium
urethrae externum. Terdapat muara ductus glandula bulbourethralis
dan glandula urethralis. Tepat sebelum muara urethra terdapat
pelebaran yang disebut fossa navicularis urethrae.
Urethra perempuan berawal dari cervix vesicae sebelum akhirnya
bermuara di ostium urethrae externum pada vestibulum vaginae.
Sepanjang perjalanannya, urethra melekat erat pada dinding depan
vagina; bagian belakang bawah simfisis pubis, posisinya miring ke bawah
depan. Pada dinding posterior urethra terdapat tonjolan mukosa
longitudinal yang disebut crista urethralis.

BAB III
FISIOLOGI TRAKTUS URINARIUS
Sistem urinaria adalah suatu sistem kerjasama tubuh yang bertujuan
untuk mempertahankan homeostatis. Sistem ini terdiri dari ginjal, ureter,
vesica urinaria, dan uretra.
Fungsi spesifik dari ginjal adalah :
1
Mempertahankan keseimbangan H2O dalam tubuh.
2
Mengatur jumlah dan konsentrasi sebagian besar ion CES termasuk
Na+, K+, Cl-, HCO3-, Ca 2+, Mg2+, SO42-, PO43-, dan H+.
3
Memelihara volume plasma yang sesuai, sehingga sangat berperan
dalam pengaturan jangka panjang tekanan darah arteri. Fungsi ini
dilaksanakan melalui peran ginjal sebagai pengatur keseimbangan
garam dan H2O.
4
Membantu memelihara keseimbangan asam basa tubuh.
5
Memelihara osmolaritas.
6
Mengekskresikan produk sisa dari metabolisme seperti ures, asam
urat, dan kreatinin.
7
Mengekskresikan banyak senyawa asing, misalnya obat, pestisida,
dll.

12

Mensekresikan eritropoietin untuk merangsang pembentukan sel


darah merah.
9
Mensekresikan renin, suatu hormon enzimatik yang memicu reaksi
berantai yang penting dalam proses konservasi garam oleh ginjal.
10
Mengubah vitamin D menjadi bentuk aktifnya.
Setiap ginjal terdiri dari sekitar satu juta satuan fungsional berukuran
mikroskopik yang dikenal sebagai nefron, yang disatukan satu sama lain
oleh jaringan ikat. Susunan nefron di dalam ginjal membentuk dua daerah
khusus yaitu konteks di sebelah luar, dan medula di bagian dalam. Setiap
nefron terdiri dari komponen vakular dan komponen tubulus.
1
Komponen vaskular :
1
Arteriol aferen : mengangkut darah ke glomelurus.
2
Glomelurus : berkas kapiler yang menyaring plasma bebas
protein ke dalam komponen tubulus.
3
Arteriol eferen : mengangkut darah dari glomelurus.
4
Kapiler peritubulus : memperdarahi jaringan ginjal, berperan
dalam pertukaran dengan cairan di lumen tubulus.
2
Kombinasi komponen vaskuler dan tubulus :
1
Aparatus jukstaglomerulus : mensekresikan zat-zat yang
berperan dalam mengontrol fungsi ginjal.
3
Komponen tubulus :
1
Kapsula bowman : mengumpulkan filtrat glomerulus.
2
Tubulus proksimal : reabsorpsi dam sekresi tidak terkontrol zazat tertentu berlangsung di sini.
3
Lengkung henle : membentuk gradien osmotik di medula
ginjal yang penting dalam kemampuan ginjal menghasilkan
urin dengan berbagai konsentrasi.
4
Tubulus distal : sekresi dan reabsorpsi tidak terkontrol zat-zat
tertentu berlangsung di sini.
5
Tubulus pengumpul : reabsorpsi H2O dalam jumlah bervariasi
berlangsung disini; cairan yang meninggalkan tubulus
pengumpul menjadi urin, yang kemudia masuk ke pelvis
ginjal.

13

Terdapat 2 jenis nefron yaitu nefrom korteks (paling banyak dijumpai) dan
nefron jukstamedula. Glomerulus nefron korteks teletak di korteks luar,
sedangkan glomerulus nefron jukstamedula terletak di bagian dalam
korteks di samping medula. Lengkung Henle nefron korteks hanya sedikit
terbenam dalam medula, tetapi nefron jukstamedula memiliki lengkung
Henle yang panjang yang menyelam masuk ke dalam medula. Kapiler
peritubulus jukstamedula membentuk lengkung-lengkung halus yang
dikenal sebagai vasa rekta (penting untuk kemampuan ginjal
menghasilkan urin dalam berbagai konsentrasi).
Tahap pembentukan urin :
1
Filtrasi glomerulus
1
Cairan yang difiltrasi dari glomerulus ke dalam kapsul
Bowman harus melewati 3 lapisan yaitu dinding kapiler
glomerulus, lapisan gelatinosa aselular yang dikenal sebagai
membran basal, lapisan dalam kapsula Bowman. Ketiga
lapisan ini menahan sel darah merah dan protein plasma,
tepapi melewatkan H2O dan zat terlarut lain yang ukuran
molekularnya cukup kecil.

14

Gaya yang berperan dalam filtrasi glomerulus dalah tekanan


darah kapiler yang mendorong filtrasi juga tekanan osmotik
koloid plasma dan tekanan hidrostatik kapsul Bowman yang
melawan filtrasi. Perbedaan gaya yang mendorong dan
melawan filtrasi adlah tekanan filtrasi netto. GFR adalah laju
filtrasi sebenarnya yang merupakan perkalian antara koefisien
filtrasi dengan tekanan filtrasi netto. Faktor yang sering
menyebabkan perubahan GFR adalah perubahan tekanan
darah kapiler glomerulus.
3
Dalam keadaan normal, sekitar 20% plasma yang masuk ke
glomerulus difiltrasi dengan tekanan filtrasi netto 10 mmHg,
menghasilkan secara kolektif melalui semua glomerulus 180
liter filtrat glomerulus setiap hari untuk GFR rata-rata 125
ml/menit pada pria dan 160 liter filtrat per hari untuk GFR 115
ml/menit pada wanita.
Reabsorpsi tubulus
1
Air, natrium dan glukosa hampir 100% direabsorpsi,
sedangkan urea dan fenol sebagai zat sisa akan dibuang.
Terdapat 2 jenis reabsorpsi, yaitu pasif dan aktif.
2
Sistem renin angiotensin aldosteron : ginjal mensekresikan
hormon renin sebagai respons terhadap penurunan
NaCl/volume CES/tekanan darah arteri. Renin mengaktifkan
angiotensinogen, suatu protein plasma yang diproduksi oleh
hati, menjadi angiotensin I. Angiotensin I diubah menjadi
angiotensin II oleh ACE yang diproduksi paru. Angiotensin II
merangsang korteks adrenal mensekresikan aldosteron yang
merangsang reabsorpsi Na oleh ginjal.
Sekresi tubulus
1
Yang terpenting adalh sekresi H+, K+, dan ion-ion organik.

BAB IV
GANGGUAN GINJAL AKUT
15

Abstrak : Acute kidney injury (AKI) merupakan terminologi baru yang


digunakan sebagai pengganti gagal ginjal akut. AKI merupakan sebuah
sindrom dalam bidang nefrologi yang dalam 15 tahun terakhir
menunjukkan peningkatan insidens dengan angka mortalitas yang masih
cukup tinggi. Perubahan tersebut disertai dengan pengajuan kriteria
diagnosis yang terbukti lebih sensitif untuk mendeteksi AKI lebih dini
sehingga dapat diupayakan perbaikan prognosis pasien. Saat ini,
diagnosis AKI ditegakkan dengan menggunakan kriteria RIFLE/AKIN.
Berdasarkan sumber masalahnya, AKI dibagi menjadi 3 kelompok utama,
yaitu pre renal, renal, dan post renal. Dalam upaya diagnosis, perlu
ditentukan etiologi, tahap penyakit, dan komplikasi AKI. Penatalaksanaan
AKI harus dilakukan secara menyeluruh, mencakup upaya tatalaksana
etiologi, pencegahan menurunnya fungsi ginjal lebih jauh, terapi cairan
dan nutrisi, serta tatalaksana komplikasi yang dapat dilakukan secara
konservatif atau secara bedah yaitu mengganti ginjal.
Pendahuluan
Gangguan Ginjal Akut (GGA Acute Kidney Injury - AKI) yang memerlukan
dialisis, mempunyai mortalitas tinggi melebihi 50%. Nilai ini sangat tinggi
apabila disertai kegagalan multi organ. Walaupun terdapat perbaikan yang
nyata pada terapi penunjang, angka mortalitas belum banyak berkurang
karena penyakit dasar yang berat seperti trauma, sepsis, usia pasien
makin tua, dan pasien tersebut juga menderita penyakit kronik lainnya.
Dengan mortalitas yang tinggi maka diperlukan pengertian yang lebih
baik mengenai GGA. GGA telah dikenal oleh William Herberden pada
tahun 1802 dan diberi istilah ischuria renalis. Walaupun beberapa peneliti
terkenal yaitu Bowman, Charcot, dan William membuat beberapa
sumbangan pemikiran untuk kondisi ini namun sindrom ini dilupakan
orang. Perhatian terhadap sindrom ini berkembang kembali saat perang
dunia pertama dan terutama selama perang dunia kedua.
Laporan lengkap yang pertama mengenai GGA ditulis oleh Hackdradt
seorang ahli patologi Jerman pada tahun 1917, yang menjelaskan
keadaan seorang tentara yang mengalami luka trauma berat. Laporan ini
dilupakan orang sampai terjadinya perang dunia kedua, saat London
mendapat serangan Jerman, didapatkan banyak pasien crush kidney
syndrome, yaitu pasien-pasien dengan trauma berat akibat tertimpa
bangunan kemudian meninggal akibat GGA. Tonggak yang amat penting
adalah dimulai tindakan hemodialisis pada awal tahun 1950-an yang amat
mengurangi
kematian
karena
korban
trauma
akibat
perang.
Perkembangan penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa GGA yang
dapat pulih kembali ini terjadi juga pada pasien dengan transfusi darah
yang tidak cocok, abortus, gangguan hemodinamik kardiovaskular, sepsis,
dan berbagai akibat efek zat nefrotoksik.
Perubahan Istilah Gagal Ginjal Akut (Acute Renal Failure ARF)
Menjadi Gangguan Ginjal Akut (Acute Kidney Injury AKI)
Pada tahun 1951 Homer W Smith memperkenalkan istilah gagal ginjal
akut acute renal failure. Istilah ini mempunyai penekanan pada
kegagalan faal ginjal yang lanjut. Istilah ARF ini bertahan sampai tahun
16

2001. Dengan mortalitas yang masih tinggi dirasakan perlunya


mengetahui gangguan ginjal akut yang lebih awal.
Adanya pasien yang sembuh atau membaik dari penurunan fungsi ginjal
yang mendadak menunjukkan terdapat derajat dari GGA dari ringan
sampai berat. GGA dapat terjadi oleh bermacam sebab. Perbedaan
geografis juga menentukan sebab dari GGA misalnya di negara maju GGA
terjadi pada orang tua terutama pada usia lanjut sedangkan di negara
berkembang lebih kerap timbul pada usia muda dan anak-anak misalnya
karena malaria dan gastroenteritis akut. Laporan insidens GGA berlainan
dari negara ke negara, dari klinik ke klinik. Oleh karena kriteria diagnostik
yang tidak seragam dan kausa yang berbeda-beda.
Dengan demikian diperlukan suatu cara berpikir baru yang bermanfaat
bagi pengertian mekanisme timbulnya GGA, klasifikasi yang seragam dan
pentahapan dari GGA yang berdampak pada pengobatan dan penelitian
dari GGA.
Perubahan istilah GGA AKI menyebabkan :
1
Makna perubahan nilai serum kreatinin yang sedikit meninggi dapat
menyebabkan kondisi yang lebih berat.
2
Istilah gangguan (injury) lebih tepat dalam memberikan pengertian
patofisiologi pernyakit dari pada istilah gagal (failure).
3
Dipahami adanya tahap-tahap dari GGA.
Epidemiologi
Acute kidney injury (AKI), yang sebelumnya dikenal dengan gagal ginjal
akut (GGA) merupakan salah satu sindrom dalam bidang nefrologi yang
dalam 15 tahun terakhir menunjukkan peningkatan insidens. Beberapa
laporan dunia menunjukkan insidens yang bervariasi antara 0.5-0.9 %
pada komunitas, 0,7-18% pada pasien yang dirawat di rumah sakit,
hingga 20 % pada pasien yang dirawat di unit perawatan intensif (ICU),
dengan angka kematian yang dilaporkan dari seluruh dunia berkisar 25 %
hingga 80 %.
Insidens di negara berkembang, khususnya di komunitas, sulit didapatkan
karena tidak semua pasien AKI datang ke rumah sakit. Diperkirakan
bahwa insidens nyata pada komunitas jauh melebihi angka yang tercatat.
Peningkatan insidens AKI antara lain dikaitkan dengan peningkatan
sensitivitas kriteria diagnosis. Selain itu, juga disebabkan oleh
peningkatan nyata kasus AKI akibat meningkatnya populasi usia lanjut
dengan penyakit komorbid yang beragam, meningkatnya jumlah prosedur
transplantasi organ selain ginjal, intervensi diagnostik dan terapeutik yang
lebih agresif.
Klasifikasi RIFLE

17

Klasifikasi AKIN

Klasifikasi ini menilai tahap GGA dari nilai kreatinin serum dan diuresis.
Kemudian ada upaya dari kelompok Acute Kidney Injury Network (AKIN)
untuk mempertajam kriteria RIFLE sehingga pasien GGA dapat dikenali
lebih awal. Klasifikasi ini lebih sederhana dan memakai batasan waktu 48
jam. Disadari bahwa GGA merupakan kelainan yang kompleks, sehingga
perlu suatu standar baku untuk penegakan diagnosis dan klasifikasinya
dengan berdasarkan kriteria RIFLE. Atas sistem ini masih memerlukan
penelitian lebih lanjut. Diharapkan penelitian seperti ini dilakukan oleh
kelompok perhimpunan nefrologi dan perhimpunan kedokteran gawat
darurat. Atas dasar klasifikasi dan kriteria RIFLE dapat dibuat penelitian
bersama memakai kaidak-kaidah yang sama. Sehingga dapat dilakukan
usaha-usaha pencegahan dan pengobatan GGA yang lebih baik. AKIN
sebagi bentuk kebersamaan dalam satu sistem jaringan yang luas
diharapkan dapat memfasilitasi kerjasama penelitian.
Kriteria AKIN dapat meningkatkan insidens GGA tahap awal, walaupun
belum cukup kuat untuk perbaikan prognosis dibandingkan dengan
kriteria RIFLE.
Definisi GGA
Penurunan mendadak faal ginjal dalam 48 jam yaitu berupa kenaikan
kadar kreatinin serum 0.3 mg/dl ( 26.4 umol/l), presentasi kenaikan
kreatinin serum 50% (1.5 x kenaikan dari nilai dasar), atau
18

pengurangan produksi urin (oligouria yang tercatat 0.5 ml/kg/jam dalam


waktu lebih dari 6 jam).
Kriteria di atas termasuk baik nilai absolut maupun nilai presentasi dari
perubahan kreatinin untuk menampung variasi yang berkaitan dengan
umur, gender, indeks masa tubuh, dan mengurangi kebutuhan untuk
pengukuran nilai basal kreatinin serum dan hanya diperlukan 2 kali
pengukuran dalam 48 jam. Produksi air seni dimasukkan sebagai kriteria
karena mempunyai prediktif dan mudah diukur. Kriteria di atas harus
memperhatikan adanya obstruksi saluran kemih dan sebab-sebab
oligouria lain yang reversible. Kriteria di atas diterapkan berkaitan dengan
gejala klinik dan pasien sudah mendapat cairan yang cukup.
Perjalanan GGA dapat :
1
Sembuh sempurna
2
Penurunan faal ginjal sesuai dengan tahap-tahap GGK (CKD tahap 14)
3
Eksaserbasi berupa naik turunnya progresivitas GGK/CKD tahap 1-4
4
Kerusakan tetap dari ginjal (GGK, CKD tahap 5)

Diagnosis
Pemeriksaan jasmani dan penunjang adalah untuk membedakan GGA prerenal, GGA renal, dan GGA post renal. Dalam menegakkan diagnosis
gangguan ginjal akut perlu diperiksa :
1
Anamnesis yang baik, serta pemeriksaan jasmani yang teliti
ditunjukkan untuk mencari sebab gangguan ginjal akut seperti
misalnya operasi kardiovaskular, angiografi, riwayat infeksi (infeksi
kulit, infeksi tenggorokan, infeksi saluran kemih), riwayat bengkak,
riwayat kencing batu.
2
Membedakan gangguan ginjal akut (GGA) dengan gangguan ginjal
kronik (GGK) misalnya anemia dan ukuran ginjal yang kecil
menunjukkan gagal ginjal kronik.
3
Untuk mendiagnosis GGA diperlukan pemeriksaan berulang fungsi
ginjal yaitu kadar ureum, kreatinin atau laju filtrasi glomerulus pada
pasien yang dirawat selalu diperiksa asupan dan keluaran cairan,
berat badan untuk memperkirakan adanya kehilangan atau
kelebihan cairan tubuh. Pada gangguan ginjal akut yang berat
dengan berkurangnya fungsi ginjal ekskresi air dan garam
19

berkurang sehingga dapat menimbulkan edema bahkan sampai


terjadi kelebihan air yang berat atau edema paru. Ekskresi asam
yang berkurang juga dapat menimbulkan asidosis metabolik dengan
kompensasi pernafasan kussmaul. Umumnya manifestasi GGA lebih
didominasi oleh faktor-faktor presipitasi atau penyakit utamanya.
Penilaian pasien GGA :
1
Kadar kreatinin serum. Pada gangguan ginjal akut faal ginjal
dinilai dengan memeriksa berulang kali kadar serum kreatinin.
Kadar serum kreatinin tidak dapat mengukur secara tepat laju
filtrasi glomerulus karena tergantung dari produksi (otot),
distribusi dalam cairan tubuh dan ekskresi oleh ginjal.
2
Kadar cystatin C serum. Walaupun belum diakui secara umum
nilai serum cyctatin C dapat menjadi indikator gangguan ginjal
akut tahap awal yang cukup dapat dipercaya.
3
Volume urin. Anuria akut atau oligouria berat merupakan
indikator yang spesifik untuk gangguan ginjal akut, yang
dapat terjadi sebelum perubahan nilai-nilai biokimia darah.
Walaupun demikian volume urin pada GGA bisa bermacammacam. GGA pre renal biasanya hampir selalu disertai
oligouria (< 400 ml/hari), walaupun kadang-kadang tidak
dijumpai oligouria. GGA post renal dan GGA renal dapat
ditandai baik oleh anuria maupun poliuria.
4
Kelainan analisis urin
5
Pertanda biologis (biomarker). Syarat pertanda biologis GGA
adalah mampu dideteksi sebelum kenaikan kadar kreatinin
disertai dengan kemudahan teknik pemeriksaanya. Pertanda
biologis diperlukan untuk secepatnya mendiagnosis GGA.
Berdasarkan kriteria RIFLE/AKIN maka perlu dicari pertanda
untuk membuat diagnosis seawal mungkin. Beberapa
pertanda biologis mungkin bisa dikembangkan. Gambar
berikut menunjukkan beberapa pertanda biologis yang
dikaitkan dengan perjalanan penyakit GGA.
Pertanda biologis ini adalah zat-zat yang dikeluarkan oleh tubulus
ginjal yang rusak, seperti interleukin 18, enzim tubular, N-acetylb-glucosamidase,
alanine
aminopeptidase,
kidney injury
molecule I. Dalam satu penelitian pada anak-anak pasca bedah
jantung terbuka gelatinase-associated lipocalin (NGAL) terbukti
dapat dideteksi 2 jam setelah pembedakan, 24 jam lebih awal
dari kenaikan kadar kreatinin. Dalam masa akan datang
kemungkinan diperlukan kombinasi dari pertanda biologis.

20

Gejala Gangguan Ginjal Akut


Gejala klinis yang terjadi pada penderita GGA, yaitu :
1
Penderita tampak sangat menderita dan letargi disertai mual,
muntah, diare, pucat (anemia), dan hipertensi
2
Nokturia
3
Pembengkakan tungkai, kaki, atau pergelangan kaki. Pembengkakan
yang menyeluruh (karena terjadi penimbunan cairan).
4
Berkurangnya rasa, terutama di tangan atau kaki.
5
Tremor ringan
6
Kulit dari membran mukosa kering akibat dehidrasi
7
Nafas mungkin berbau urin (foto uremik), dan kadang-kadang dapat
dijumpai adanya pneumonia uremik
8
Manifestasi sistem saraf (lemah, sakit kepala, kedutan otot, dan
kejang)
9
Perubahan pengeluaran produksi urine (sedikit, mengandung darah,
berat jenis sedikit rendah, yaitu 1.010 g/ml)
10
Peningkatan konsentrasi serum urea (tetap), kadar kreatinin, dan
laju endap darah (LED) tergantung katabolisme (pemecahan
protein), perfusi renal, serta asupan protein, serum kreatinin
meningkat pada kerusakan glomerulus.
11
Pada kasus yang datang terlambat gejala komplikasi GGA
ditemukan lebih menonjol yaitu gejala kelebihan cairan berupa
gagal jantung kongestif, edema paru, perdarahan gastrointestinal
berupa hematemesis, kejang-kejang, dan kesadaran menurun
sampai koma
Gambaran Klinis Gangguan Ginjal Akut
GGA dapat dibagi menjadi 3 bagian besar, antara lain :
1
GGA pre-renal. Penyebab GGA pre renal adalah hipoperfusi ginjal.
Hipoperfusi dapat disebabkan oleh hipovolemia atau menurunnya
volume sirkulasi yang efektif. Pada GGA pre renal integritas ginjal
masih terpelihara sehingga prognosis dapat lebih baik apabila faktor
penyebab dapat dikoreksi. Apabila upaya perbaikan hipoperfusi
ginjal tidak berhasil maka akan timbul GGA renal berupa Nekrosis
Tubular Akut (NTA) karena iskemik. Keadaan ini dapat timbul sebagai
akibat bermacam-macam penyakit. Pada kondisi ini fungsi
otoregulasi ginjal akan berupaya mempertahankan tekanan perfusi,
melalui mekanisme vasodilatasi intrarenal. Dalam keadaan normal,
aliran darah ginjal dan LFG relatif konstan, diatur oleh suatu
mekanisme yang disebut otoregulasi. GGA pre renal disebabkan
oleh hipovolemia, penurunan volume efektif intravaskular seperti
pada sepsis dan gagal jantung serta disebabkan oleh gangguan
hemodinamik intra renal seperti pemakaian anti inflamasi non
steroid, obat yang menghambat angiotensin dan pada tekanan
darah, yang akan mengaktivasi baroreseptor kardiovaskular yang
selanjutnya akan mengaktivasi sistem saraf simpatis, sistem renin
angiotensin serta merangsang pelepasan vasopresin dan endothelin
1
(ET
1),
yang
merupakan
mekanisme
tubuh
untuk
21

mempertakankan tekanan darah dan curah jantung serta perfusi


serebral. Pada keadaan ini mekanisme otoregulasi ginjal akan
mempertahankan aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus
(LFG) dengan vasodilatasi arteriol afferen yang dipengaruhi oleh
refleks miogenik serta prostaglandin dan nitric oxide (NO), serta
vasokonstriksi arteriol aferen yang terutama dipengaruhi oleh
angiotensin II (A-II) dan ET 1. Mekanisme ini bertujuan untuk
mempertahankan homeostasis intrarenal. Pada hipoperfusi ginjal
yang berat (tekanan arteri rata-rata < 70 mmHg) serta berlangsung
dalam jangka waktu lama, maka mekanisme otoregulasi tersebut
akan terganggu, dimana arteriol afferen mengalami vasokonstriksi,
terjadi kontraksi mesangial dan peningkatan reabsorpsi Na+ dan air.
Keadaan ini disebut pre renal atau GGA fungsional, dimana belum
terjadi kerusakan struktural dari ginjal. Penanganan terhadap
penyebab hipoperfusi ini akan memperbaiki homeostasis intra renal
menjadi normal kembali. Otoregulasi ginjal bisa dipengaruhi
beberapa obat seperti ACE/ARB, NSAID, terutama pada pasienpasien berusia 60 tahun dengan kadar serum kreatinin mg/dl
sehingga dapat terjadi GGA pre renal. Proses ini lebih mudah terjadi
pada kondisi hiponatremi, hipotesis, penggunaan diuretik, sirosis
hati dan gagal jantung. Perlu diingat bahwa pada pasien usia lanjut
dapat timbul keadaan-keadaan yang merupakan risiko GGA pre
renal seperti penyempitan pembuluh darah ginjal (penyakit
renovaskular), penyakit ginjal polikistik dan nefrosklerosis internal.
2
GGA renal. GGA renal dapat disebabkan oleh kalainan vaskular
seperti vaskulitis, hipertensi maligna, glomerulus nefritis akut,
nefritis interstitial akut. Nekrosis tubular akut dapat disebabkan oleh
berbagai sebab seperti penyakit tropik, gigitan ular, trauma
(crushing injury/bencana alam, peperangan), toksin lingkungan dan
zat-zat nefrotoksik. Di Rumah Sakit (35-50% di ICU) NTA terutama
disebabkan oleh sepsis. Selain itu pasca operasi dapat terjadi NTA
pada 20-25%. Hal ini disebabkan adanya penyakit-penyakit seperti
hipertensi, penyakit jantung, penyakit pembuluh darah, diabetes
melitus, ikterus dan usia lanjut, jenis operasi yang berat seperti
transplantasi hati, transplantasi jantung. Dari golongan zat-zat
nefrotoksik perlu dipikirkan nefropati karena zat radio kontras, obatobatan seperti anti jamur, anti virus, dan anti neoplastik. Meluasnya
pemakaian NARKOBA juga meningkatkan kemungkinan NTA.
Kelainan yang terjadi pada NTA melibatkan komponen vaskular dan
tubuler, misalnya :
1
Kelainan vaskular. Pada NTA terjadi : 1) peningkatan Ca2+
sitosolik pada arteriol afferen glomerulus yang menyebabkan
peningkatan
sensitifitas
terhadap
substansi-substansi
vasokonstriktor dan gangguan otoregulasi. 2) terjadi
peningkatan stress oksidatif yang menyebabkan kerusakan
endotel vaskular ginjal, yang mengakibatkan prngikatan A-II
dan ET 1 serta penurunan prostaglandin dan ketersediaan NO
yang berasal dari endotelial NO systhase (eNOs). 3)
peningkatan mediator inflamasi seperti tumor necrosis factor
22

(TNF) dan interleukin 18, yang selanjutnya akan meningkatkan


ekspresi dari intercellular adhesion molecule 1 (ICAM 1) dan P
selectin dari sel endotel, sehingga terjadi peningkatan
perlengketan dari sel-sel radang, terutama netrofil. Keadaan
ini akan menyebabkan peningkatan radikal bebas oksigen.
Keseluruhan proses-proses tersebut di atas secara bersamasama menyebabkan vasokonstriksi intrasel yang akan
menyebabkan penurunan LFG.
2
Kelainan tubuler. Pada NTA terjadi : 1) peningkatan Ca2+
intrasel yang menyebabkan peningkatan calpain, cystolic
phospholipase A2, serta kerusakan actin, yang akan
menyebabkan penurunan basolateral Na+/K ATPase yang
selanjutnya menyebabkan penurunan reabsorpsi Na+ di
tubulus proksimalis, sehingga terjadi peningkatan pelepasan
NaCl ke makula densa. Hal tersebut mengakibatkan umpan
balik tubuloglomeruler. 2) peningkatan NO yang berasal dari
inducible NO systhase (iNOS), caspase dan mettaloproteinase
serta defisiensi heat shock protein, akan menyebabkan
nekrosis dan apoptosis sel. 3) obstruksi tubulus. Mikrovilli
tubulus proksimalis yang terlepas bersama debris selular akan
membentuk substrak yang akan menyumbat tubulus. Di
tubulus, dalam hal ini pada thick ascending limb diproduksi
Tamm Horsfall Protein (THP) yang disekresikan ke dalam
tubulus ke dalam bentuk monomer yang kemudian berubah
menjadi bentuk polimer yang akan membentuk materi berupa
gel dengan adanya NA+ yang konsentrasinya meningkat pada
tubulus distal. Gel polimerik THP bersama sel epitel tubuli
yang terlepas, baik sel yang sehat, nekrotik maupun
apoptotik, mikrovili dan matiks ekstraselular seperti
fibronektin akan membentuk silinder-silinde (cast) yang
menyebabkan obstruksi tubulus ginjal. 4) kerusakan sel
tubulus menyebabkan kebocoran kembali (backleak) dari
cairan intratubuler masuk ke dalam sirkulasi peritubuler.
Keseluruhan proses-proses tersebut di atas secara bersamasama akan menyebabkan penurunan LFG. Diduga juga proses
iskemia dan paparan bahan/obat nefrotioksik dapat merusak
glomerulus secara langsung. Pada NTA terdapat kerusakan
glomerulus dan juga tubulus. Kerusakan tubulus dikenal juga
dengan nama nekrosis tubular akut (NTA). Tahap-tahap
nekrosis tubular akut adalah tahap inisiasi, tahap kerusakan
yang berlanjut (maintenance) dan tahap penyembuhan. Dari
tahap inisiasi ke tahap kerusakan yang berlanjut terdapat
hipoksia, dan inflamasi yang sangat nampak pada
kortikomeduler. Proses inflamasi memegang peranan penting
pada patofisiologi dari GGA yang terjadi karena iskemia. Sel
endotel, lekosit, dan sel T berperan penting dari saat awal
sampai saat reperfusi.
GGA post renal. GGA post renal merupakan 10 % dari keseluruhan
GGA. GGA post renal disebabkan oleh obstruksi intra renal dan
23

ekstra renal. Obstruksi intra renal terjadi karena deposisi kristal


(urat, oxalat, sulfonamid) dan protein (mioglobin, hemoglobin).
Obstruksi ekstra renal dapat terjadi pada pelvis ureter oleh obstruksi
intrinsik (tumor, batu, nekrosis papila) dan ekstrinsik (keganasan
pada pelvis dan retroperitoneal, fibrosis) serta pada kandung kemih
(batu, tumor, hipertrofi/keganasan prostat) dan urethra (striktura).
GGA post renal terjadi bila obstruksi akut terjadi pada urethra, bulibuli dan ureter bilateral atau obstruksi pada ureter unilateral
dimana ginjal satunya tidak berfungsi. Pada fase awal dari obstruksi
total ureter akut, terjadi peningkatan aliran darah ginjal dan
peningkatan tekanan pelvis ginjal dimana hal ini disebabkan oleh
prostaglandin E2. Pada fase kedua setelah 1.5-2 jam terjadi
penurunan aliran darah ginjal di bawal normal akibat pengaruh
tromboksan A2 dan A II. Tekanan pelvis ginjal tetap meningkat tetapi
setelah 5 jam mulai meningkat. Fase ketiga atau fase kronik,
ditandai oleh aliran darah ginjal yang makin menurun atau
penurunan tekanan pelvis ginjal ke normal dalam beberapa minggu.
Aliran darah ginjal setelah 24 jam adalah 50% dari normal dan
setelah 2 minggu tinggal 20% dari normal. Pada fasi ini mulai terjadi
pengeluaran mediator inflamasi dan faktor-faktor pertumbuhan
yang akan menyebabkan febriosis interstitial ginjal.
Perjalanan Klinis GGA
Perjalanan klinis GGA dibagi menjadi 3 stadium, yaitu :
1
Stadium Oliguria
Stadium oliguria biasanya timbul dalam waktu 24 sampai 48 jam sesudah
terjadinya trauma pada ginjal. Produksi urin normal adalah 1-2 liter/24jam.
Pada fase ini pertama-tama terjadi penurunan produksi urin sampai
kurang dari 400cc/24 jam. Tidak jarang produksi urin sampai kurang dari
100cc/24 jam, keadaan ini disebut dengan anuria. Pada fase ini penderita
mulai
memperlihatkan
keluhan-keluhan
yang
diakibatkan
oleh
penumpukan air dan metabolit-metabolit yang seharusnya diekskresikan
oleh tubuh, seperti mual, muntah, lemah, sakit kepala, kejang dan lain
sebagainya. Perubahan pada urin menjadi semakin kompleks, yaitu
penurunan kadar urea dan kreatinin. Di dalam plasma terjadi perubahan
biokimiawi berupa peningkatan konsentrasi serum urea, kreatinin,
elektrolit (terutama K dan Na).
2
Stadium Diuresis
Stadium diuresis dimulai bila pengeluran kemih meningkat sampai lebih
dari 400 ml/hari, kadang-kadang dapat mencapai 4 liter/24 jam. Stadium
ini berlangsung 2 sampai 3 minggu. Volume kemih yang tinggi pada
stadium ini diakibatkan karena tingginya konsentrasi serum urea, dan juga
disebabkan karena masih belum pulihnya kemampuan tubulus yang
sedang dalam masa penyembuhan untuk mempertahankan garam dan air
yang difiltrasi. Selama stadium dini diuresis, kadar urea darah dapat terus
meningkat, terutama karena bersihan urea tak dapat mengimbangi
produksi urea endogen. Tetapi dengan berlanjutnya diuresis, azotemia
sedikit demi sedikit menghilang, dan pasien mengalami kemajuan klinis
yang benar.
24

3
Stadium Penyembuhan
Stadium penyembuhan GGA berlangsung sampai satu tahun, dan selama
masa itu, produksi urin perlahanlahan kembali normal dan fungsi ginjal
membaik secara bertahap, anemia dan kemampuan pemekatan ginjal
sedikit demi sedikit membaik, tetapi pada beberapa pasien tetap
menderita penurunan glomerular filtration rate (GFR) yang permanen.
Pengelolaan
Tujuan penglolaan adalah mencegah terjadinya kerusakan ginjal,
mempertahankan
homeostasis,
melakukan
resusitasi,
mencegah
komplikasi metabolik dan infeksi serta mempertahankan pasien tetap
hidup sampai faal ginjalnya sembuh secara spontan. Prinsip
penglolaannya dimulai dengan mengidentifikasi pasien beresiko GGA
(sebagai tindak pencegahan), mengatasi penyakit penyebab GGA,
mempertahankan
homeostasis,
mempertahankan
eopolemia,
keseimbangan cairan dan elektrolit, mencegah komplikasi metabolik
seperti hiperkalemis, asidosis, hiperfosfatemia, mengevaluasi status
nutrisi, kemudia mencegah infeksi dan selalu mengevaluasi obat-obat
yang dipakai.
Pencegahan
GGA dapat dicegah pada beberapa keadaan misalnya penggunaan zat
kontras yang dapat menyebabkan nefropati kontras. Pencegahan
nefropati akibat zat kontras adalah menjaga hidrasi yang baik, pemakaian
N asetil sistein serta pemakaian furosemid pada penyakit tropik perlu
diwaspadai kemungkinan GGA pada gastroenteritis akut, malaria, dan
demam berdarah.
Pemberian kemoterapi dapat menyebabkan ekskresi asam urat yang
tinggi sehingga menyebabkan GGA.
1
Pencegahan Primer
Pencegahan Primer adalah langkah yang harus dilakukan untuk
menghindari diri dari berbagai faktor resiko. Beberapa pencegahan yang
dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya GGA, antara lain :
1
Setiap orang harus memiliki gaya hidup sehat dengan
menjaga pola makan dan olahraga teratur.
2
Membiasakan meminum air dalam jumlah yang cukup
merupakan hal yang harus dilakukan setiap orang sehingga
faktor resiko untuk mengalami gangguan ginjal dapat
dikurangi.
3
Rehidrasi cairan elektrolit yang adekuat pada penderitapenderita gastroenteritis akut.
4
Transfusi darah atau pemberian cairan yang adekuat selama
pembedahan, dan pada trauma-trauma kecelakaan atau luka
bakar.
5
Mengusahakan hidrasi yang cukup pada penderita-penderita
diabetes melitus yang akan dilakukan pemeriksaan dengan
zat kontras radiografik.
6
Pengelolaan yang optimal untuk mengatasi syok kardiogenik
maupun septik.
25

Hindari pemakaian obat-obat atau zat-zat yang bersifat


nefrotoksik. Monitoring fungsi ginjal yang teliti pada saat
pemakaian obat-obat yang diketahui nefrotoksik.
8
Cegah hipotensi dalam jangka panjang.
9
Penyebab hipoperfusi ginjal hendaknya dihindari dan bila
sudah terjadi harus segera diperbaiki.
2
Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah langkah yang dilakukan untuk mendeteksi
secara dini suatu penyakit. Pencegahan dimulai dengan mengidentifikasi
pasien yang berisiko GGA. Mengatasi penyakit yang menjadi penyebab
timbulnya penyakit GGA. Jika ditemukan pasien yang menderita penyakit
yang dapat menimbulkan GGA seperti glomerulonefritis akut maka harus
mendapat perhatian khusus dan harus segera diatasi.
GGA prarenal jika tidak diatasi sampai sembuh akan memacu timbulnya
GGA renal untuk itu jika sudah dipastikan bahwa penderita menderita GGA
prarenal, maka sebaiknya harus segera diatasi sampai benar-benar
sembuh, untuk mencegah kejadian yang lebih parah atau mencegah
kecenderungan untuk terkena GGA renal.
3
Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah langkah yang biasa dilakukan untuk mencegah
terjadinya komplikasi yang lebih berat, kecacatan dan kematian. Pada
kasus GGA yang sangat parah timbul anuria lengkap. Pasien akan
meninggal dalam waktu 8 sampai 14 hari. Maka untuk mencegah
terjadinya kematian maka fungsi ginjal harus segera diperbaiki atau dapat
digunakan ginjal buatan untuk membersihkan tubuh dari kelebihan air,
elektrolit, dan produk buangan metabolisme yang bertahan dalam jumlah
berlebihan.
Hindari atau cegah terjadinya infeksi. Semua tindakan yang memberikan
risiko infeksi harus dihindari dan pemeriksaan untuk menemukan adanya
infeksi harus dilakukan sedini mungkin. Hal ini perlu diperhatikan karena
infeksi merupakan komplikasi dan penyebab kematian paling sering pada
gagal ginjal oligurik.
Penyakit GGA jika segera diatasi kemungkinan sembuhnya besar, tetapi
penderita yang sudah sembuh juga harus tetap memperhatikan
kesehatannya dan memiliki gaya hidup sehat dengan menjaga pola
makan, olahraga teratur, dan tetap melakukan pemeriksaan kesehatan
(medical check-up) setiap tahunnya, sehingga jika ditemukan kelainan
pada ginjal dapat segera diketahui dan diobati.
Terapi Khusus GGA
Bila GGA sudah terjadi diperlukan pengobatan khusus, umumnya dalam
ruang lingkup perawatan intensif sebab beberapa penyakit primernya
yang berat seperti sepsis, gagal jantung dan usia lanjut, dianjurkan untuk
inisiasi dialisis ini. Dialisis bermanfaat untuk koreksi akibat metabolik dari
GGA. Dengan dialisis dapat diberikan cairan/nutrisi dan obat-obat lain
yang diperlukan seperti antibiotik. GGA post renal memerlukan tindakan
cepat bersama dengan ahli urologi misalnya pembuatan nefrostomi,
mengatasi infeksi saluran kemih dan menghilangkan sumbatan yang
dapat disebabkan oleh batu, striktur uretra, atau pembesaran prostat.
26

Belum ada bukti yang nyata keunggulan antara terapi penggati intensif
dan terapi pengganti intermitten.
Nutrisi
Kebutuhan nutrisi pada GGA amat bervariasi sesuai dengan penyakit
dasarnya atau kondisi komorbidnya, dari kebutuhan yang biasa, sampai
dengan kebutuhan yang tinggi seperti pada pasien dengan sepsis.
Rekomendasi nutrisi GGA amat berbeda dengan GGK, dimana pada GGA
kebutuhan nutrisi disesuaikan dengan keadaan proses kataboliknya. Pada
GGK jusru dilakukan pembatasan-pembatasan.
GGA menyebabkan abnormalitas metabolisme yang amat kompleks, tidak
hanya pengaturan air, asam basa, elektrolit, tetapi juga asam
amino/protein, karbohidrat dan lemak. Heterogenitas GGA yang amat
tergantung dari penyakit dasarnya membuat keadaan ini lebih kompleks.
Oleh karena itu nutrisi pada GGA disesuaikan dengan proses katabolis
yang terjadi, sehingga pada suatu saat menjadi normal kembali.

Fase Perbaikan
Pada tahap ini terjadi poliuria yang sangat banyak sehingga perlu dijaga
keseimbangan cairan. Asupan cairan pengganti diusulkan sekitar 65-75%
dari jumlah cairan yang keluar. Pada tahap ini pengamatan faal ginjal
harus tetap dilakukan karena pasien pada dasarnya belum sembuh
sempurna.
Tatalaksana Komplikasi
Pengelolaan komplikasi yang mungkin timbul dapat dilakukan secara
konservatif, sesuai dengan anjuran. Pengelolaan komplikasi juga dapat
dilakukan dengan terapi pengganti ginjal yang diindikasikan pada keadaan
oligouria, anuria, hiperkalemia (K > 6.5 mEq/l0, asidosis berat (pH < 7.1),
azotemia (ureum > 200 mg/dL), edema paru, ensefalopati uremikum,
perikarditis uremikum, neuropati atau miopati uremikum, neuropati atau
miopati uremikum, disnatremia berat (Na > 160 mEq/l atau < 115 mEq/l),
hipertermia, kelebihan dosis obat yang dapat didialisis. Tidak ada
27

panduan pasti kapan waktu yang tepat untuk menghentikan terapi


pengganti ginjal. Secara umum, terapi dihentikan jika kondisi yang
menjadi indikasi sudah teratasi.

Kesimpulan
Istilah gangguan ginjal akut/acute kidney injury sebaiknya menggantikan
istilah gagal ginjal akut/ARF. Istilah gangguan ginjal akut memberikan
gambaran yang lebih jelas mengenai proses GGA dengan dibuatnya
kriteris RIFLE/AKIN.
Kriteria RIFLE dan AKIN memberikan cara berpikir baru dalam memahami
GGA, pentahapan dari GGA, standardisasi dalam definisi sehingga ada
keseragaman dalam mendeskripsikan GGA. Keseragaman ini akan
mendorong upaya pencegahan, pengobatan, dan penelitian yang
seragam.
Hasil akhir yang diharapkan adalah tatalaksana atau penanganan GGA
yang lebih baik.

BAB V
PENYAKIT GINJAL KRONIK
Definisi

28

Suatu proses patofisiologis dengan etiologi beragam, mengakibatkan


penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan umumnya berakhir dengan
gagal ginjal.
Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan
fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi
pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal.
Uremia adalah suatu sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi pada
semua organ, akibat penurunan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik.
Kriteria Penyakit Ginjal Kronik
1
Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan,
berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa
penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi :
1
Kelainan patologis
2
Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam
komposisi darah atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan
(imaging tests)
2
Laju filtrasi glomelurus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73m 2
selama 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal.
Klasifikasi
1
Berdasarkan derajat (stage penyakit)
Berdasarkan LFG yang dihitung dengan mempergunakan rumus KockcroftGault :
LFG (ml/mnt/1,73m2) = [(140 umur) x BB] : [72 x kreatinin plasma
(mg/dL)]
*) pada perempuan dikalikan 0,85
Derajat
1
2
3
4
5
2

Penjelasan
LFG (ml/mnt/1,73m2)
Kerusakan
ginjal 90
dengan LFG normal
atau meningkat
Kerusakan
ginjal 60-89
dengan
LFG
menurun ringan
Kerusakan
ginjal 30-59
dengan
LFG
menurun sedang
Kerusakan
ginjal 15-29
dengan
LFG
menurun berat
Gagal ginjal
< 15 atau dialisis

Berdasarkan etiologi
Penyakit
Penyakit ginjal diabetes
Penyakit ginjal non diabetes

Tipe Mayor (contoh)


Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit
glomerular
(penyakit
autoimun, infeksi, sistemik obat,
neoplasia)
29

Penyakit vaskular (penyakit pembuluh


darah
besar,
hipertensi,
mikroangiopati)
Penyakit tubulointerstitial (pielonefritis
kronik, batu, obstruksi, keracunan
obat)
Penyakit kistik (ginjal polikistik)
Rejeksi kronik
Keracunan
obat
(siklosporin/takrolismus)
Penyakit recurrent (glomerular)
Transplant glomerulopathy

Penyakit pada transplantasi

Epidemiologi
Di Amerika Serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan insidens penyakit
ginjal kronik diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan
angka ini meningkat sekitar 8 % setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan
populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal per
tahunnya. Di negara-negara berkembang lainnya, insidens ini diperkirakan
sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk per tahun.
Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik awalnya tergantung pada penyakit
yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang
terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan
hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving
nephrouf) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul
vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan
terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti peningkatan tekanan kapiler dan aliran
darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya
diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih
tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang
progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya
peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut
memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan
progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensinaldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming
growth factor (TGF ). Beberapa hal yang juga dianggap berperan
terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah
hipoalbuminuria,
hipertensi,
hiperglikemia,
dislipidemia.
Terdapat
variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis
glomerulus maupun tubulointerstitial.
Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya
cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan mana basal LFG masih
normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan
terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan
peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar
60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah
terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG
30

sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti, nokturia, badan
lemah, mual, nafsu makan kurang, dan penurunan berat badan. Sampai
pada LFG di bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia
yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan
metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah, dan lain
sebagainya, pasien juga mudah terkena infeksi saluran nafas, maupun
infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air
seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara
lain natrium dan kalium. Pada LFG di bawah 15% akan terjadi gejala dan
komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi
pengganti ginjal (renal replacemnet therapy) antara lain dialisis atau
transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada
stadium gagal ginjal.
Etiologi
Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 2000 mencatat
penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia sebagai
berikut :
Penyebab
Insiden
Glomerulonefritis
46,39%
Diabetes Melitus
18,65%
Obstruksi dan infeksi
12,85%
Hipertensi
8,46%
Sebab lain
13,65%
a. Glomerulonefritis
Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal yang
etiologinya tidak jelas, akan tetapi secara umum memberikan gambaran
histopatologi tertentu pada glomerulus (Markum, 1998). Berdasarkan
sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan primer dan
sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari
ginjal sendiri sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal
terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus
eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau amiloidosis
(Prodjosudjadi, 2006).
Gambaran klinik glomerulonefritis mungkin tanpa keluhan dan ditemukan
secara kebetulan dari pemeriksaan urin rutin atau keluhan ringan atau
keadaan darurat medik yang harus memerlukan terapi pengganti ginjal
seperti dialisis (Sukandar, 2006).
b. Diabetes melitus
Menurut American Diabetes Association (2003) dalam Soegondo (2005)
diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin atau kedua-duanya.
Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena
penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan
berbagai macam keluhan. Gejalanya sangat bervariasi. Diabetes melitus
dapat timbul secara perlahan-lahan sehingga pasien tidak menyadari
akan adanya perubahan seperti minum yang menjadi lebih banyak, buang
31

air kecil lebih sering ataupun berat badan yang menurun. Gejala tersebut
dapat berlangsung lama tanpa diperhatikan, sampai kemudian orang
tersebut pergi ke dokter dan diperiksa kadar glukosa darahnya (Waspadji,
1996).
c. Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik 140 mmHg dan tekanan darah
diastolik 90 mmHg, atau bila pasien memakai obat antihipertensi
(Mansjoer, 2001). Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi
dua golongan yaitu hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak
diketahui penyebabnya atau idiopatik, dan hipertensi sekunder atau
disebut juga hipertensi renal (Sidabutar, 1998).
Faktor Resiko
Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes
melitus atau hipertensi, obesitas atau perokok, berumur lebih dari 50
tahun, dan individu dengan riwayat penyakit diabetes melitus, hipertensi,
dan penyakit ginjal dalam keluarga (National Kidney Foundation, 2009).
Gambaran Klinis
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi :
1
Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus,
infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi,
hiperurikemia, Lupus Eritomatous Sistemik (LES), dan lain
sebagainya.
2
Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual
muntah, nokturia, kelebihan volume cairan (volume overload),
neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang
sampai koma.
3
Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodisfrofi
renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan
elektrolit (sodium, kalium, khlorida).
Diagnosis
Pendekatan diagnosis gagal ginjal kronik (GGK) mempunyai sasaran
berikut:
1
Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG)
2
Mengejar etiologi GGK yang mungkin dapat dikoreksi
3
Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible
factors)
4
Menentukan strategi terapi rasional
5
Meramalkan prognosis
Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan
pemeriksaan yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis,
pemeriksaan fisik diagnosis dan pemeriksaan penunjang diagnosis rutin
dan khusus (Sukandar, 2006).
Gambaran Laboratoris
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi :
32

1
2

Sesuai penyakit yang mendasarinya.


Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan
kreatinin serum, dan penurunan LFG yang dihitung menggunakan
rumus Kockcroft-Gault. Kadar kreatinin saja tidak bisa dipergunakan
untuk memperkirakan fungsi ginjal.
Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin,
peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia,
hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis
metabolik.
Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria, cast,
isostenuria.

Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis Penyakit Ginjal Kronik meliputi :
1
Foto polos abdomen, bisa tampak batu radioopak.
2
Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak
bisa melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya
pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami
kerusakan.
3
Pielografi anterograd atau reterograd dilakukan sesuai indikasi.
4
Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang
mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu
ginjal, kista, massa, kalsifikasi.
5
Pemeriksaan pemindai ginjal atau renografi dikerjakan bila ada
indikasi.
Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal
Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan
ukuran ginjal masih mendekati normal, dimana diagnosis secara
noninvasif tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan
untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis, dan
mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Biopsi ginjal indikasikontra dilakukan pada keadaan dimana ukuran ginjal yang sudah
mengecil (contracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang tidak
terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal nafas,
dan obesitas.
Tatalaksana
Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi :
1
Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
2
Pencegahan dan teapi terhadap kondisi komorbid (comorbid
condition)
3
Memperlambat perburukan (progression) fungsi ginjal
4
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular
5
Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
6
Terapi penganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal
Perencanaan tatalaksana penyakit ginjal kronik sesuai dengan
derajatnya :
Derajat
LFG (ml/mnt/1,73m2)
Rencana tatalaksana
33

90

60-89

30-59

15-29

< 15

Terapi penyakit dasar,


kondisi
komorbis,
evaluasi
perburukan
(progression)
fungsi
ginjal,
memperkecil
resiko kardiovaskular
Menghambat perburukan
(progression)
fungsi
ginjal
Evaluasi
dan
terapi
kombinasi
Persiapan untuk terapi
pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal

Terapi Spesifik Terhadap Penyakit Dasarnya


Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum
terjadinya penurunan LFG, sehingga perburukan fungsi ginjal tidak terjadi.
Pada ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasonografi, biopsi, dan
pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat
terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah menurun sampai 2030% dari normal, terapi penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.
Pencegahan dan Terapi Terhadap Kondisi Komorbid
Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG
pada pasien Penyakit Ginjal Kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi
komorbid (superimposed factors) yang dapat memperburuk keadaan
pasien. Faktor-faktor komorbid ini antara lain, gangguan keseimbangan
cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obat-obat
nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit
dasarnya.
Menghambat Perburukan Fungsi Ginjal
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya
hiperfiltrasi glomerulus.
Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus ini adalah :
Pembatasan Asupan Protein. Pembatasan asupan protein mulai dilakukan
pada LFG 60 ml/menit, sedangkan di atas nilai tersebut, pembatasan
asupan protein tidak selalu dianjurkan. Protein diberikan 0,60,8/kgBB/hari, yang 0,35-0,50 gram di antaranya merupakan protein nilai
biologi tinggi. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35 kkal/kgBB/hari.
Dibutuhkan pemantauan yang teratur terhadap status nutrisi pasien, bila
terjadi malnutrisi, jumlah asupan kalori dan protein dapat ditingkatkan.
Berbeda dengan lemak dan karbohidrat, kelebihan protein tidak disimpan
dalam tubuh tapi dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang
terutama diekskresikan melalui ginjal. Selain itu, mekanan tinggi protein
yang mengandung ion hidrogen, fosfat, sulfat, dan ion anorganik lain juga
diekskresikan melalui ginjal. Oleh karena itu, pemberian diet tinggi protein
pada penyakit ginjal kronik akan mengakibatkan penimbunan substansi
34

nitrogen dan ion anorganik lain, dan mengakibatkan gangguan klinis dan
metabolik yang disebut uremia. Dengan demikian, pembatasan asupan
protein akan mengakibatkan berkurangnya sindrom uremik. Masalah
penting lain adalah, asupan protein berlebih akan mengakibatkan
perubahan hemodonamik ginjal berupa peningkatan aliran darah dan
tekanan intraglomerulus yang akan meningkatkan progresifitas
perburukan fungsi ginjal. Pembatasan asupan protein juga berkaitan
dengan pembatasan asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu
berasal dari sumber yang sama. Pembatasan fosfat perlu untuk mencegah
terjadinya hiperfosfatemia.
LFG ml/menit
Asupan protein g/kg/hari Fosfat g/kg/hari
>60
Tidak dianjurkan
Tidak dibatasi
25-60
0,6-0,8/kg/hari, termasuk 10 g
0,35 g/kg/hari nilai
biologi tinggi
5-25
0,6-0,8/kg/hari, termasuk 10 g
0,35 g/kg/hari protein
nilai biologi tinggi atau
tambahan 0,3 g asam
amino
esensial
atau
asam keton
<60 (sindrom nefrotik) 0,8/kg/hari
(+1
g 9 g
protein/g
proteinuria
atau 0,3 g/kg tambahan
asam amino esensial
atau asam keton
Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus.
Pemakaian obat antihipertensi, di samping bermanfaat untuk memperkecil
resiko kardiovaskular juga sangat penting untuk memperlambat
perburukan
kerusakan
nefron
dengan
mengurangi
hipertensi
intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Beberapa studi membuktikan
bahwa, pengendalian tekanan darah mempunyai peran yang sama
pentingnya dengan pembatasan asupan protein, dalam memperkecil
hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Di samping itu,
sasaran terapi farmakologis sangat terkait dengan derajat proteinuria.
Saat ini diketahui sacara luas bahwa, proteinuria merupakan faktor resiko
terjadinya perburukan fungsi ginjal, dengan kata lain derajat proteinuria
berkaitan dengan proses perburukan fungsi ginjal pada penyakit ginjal
kronik.
Beberapa obat antihipertensi, terutama ACE inhibitor, melalui berbagai
studi terbukti dapat memperlambat proses perburukan fungsi ginjal. Hal
ini terjadi lewat mekanisme kerjanya sebagai antihipertensi dan
antiproteinuria.
Pencegahan dan Terapi Terhadap Penyakit Kardiovaskular
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan hal
yang penting, karena 40-50% kematian pada penyakit ginjal kronik
35

disebabkan oleh penyakit kardiovaskular. Hal-hal yang termasuk dalam


pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskular adalah pengendalian
diabetes,
pengendalian
hipertensi,
pengendalian
dislipidemia,
pengendalian anemia, pengendalian hiperfosfatemia, dan terapi terhadap
kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit. Semua ini
dikaitkan dengan pencegahan dan terapi terhadap komplikasi penyakit
ginjal kronik secara keseluruhan.
Komplikasi
Derajat
1
2

Penjelasan
Kerusakan
dengan
normal
Kerusakan
dengan
penurunan
ringan
Penurunan
sedang

Penurunan
berat

Gagal ginjal

LFG (ml/mnt)
ginjal 90
LFG

Komplikasi
-

ginjal 60-89

Tekanan
mulai turun

darah

LFG
LFG 30-59

LFG 25-29

< 15

Hiperfosfatemia
Hipokalemia
Anemia
Hiperparatiroid
Hipertensi
Hiperhomosisteine
mia
Malnutrisi
Asidosis metabolik
Cenderung
hiperkalemia
Gagal jantung
Uremia

Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi


Penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang
manifestasinya sesuai dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang
terjadi.
Anemia
Anemia terjadi pada 80-90% pasien penyakit ginjal kronik. Anemia pada
penyakit ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoietin.
Hal-hal lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah defisiensi
besi, kehilangan darah (misal, perdarahan saluran cerna, hematuria),
masa hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi
asam folat, penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses
inflamasi akut maupun kronik. Evaluasi terhadap anemia dimulai saat
kadar hemoglobin 10 g% atau hemtokrit 30%, meliputi evaluasi
terhadap status besi (kadar besi serum/serum iron, kapasitas ikat besi
total/total iron binding capacity, feritin serum), mencari sumber
perdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis dan lain
sebagainya. Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab
36

utamanya, di samping penyebab lain bila ditemukan. Pemberian


eritropoietin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan. Dalam pemberian EPO
memerlukan besi dalam kerjanya. Pemberian transfusi pada penyakit
ginjal kronik harus dilakukan secara hati-hati, berdasarkan indikasi yang
tepat dan pemantauan yang cermat. Transfusi darah yang dilakukan
secara tidak cermat dapat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh,
hiperkalemia, dan perburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin menurut
berbagai studi klinik adalah 11-12 g/dl.
Osteodistrofi Renal
Penetalaksanaan osteodistrofi renal dilaksanakan dengan cara mengatasi
hiperfosfatemia dan pemberian hormon kalsitriol. Penatalaksaan
hiperfosfatemia meliputi pembatasan asupan fosfat, pemberian pengikat
fosfat dengan tujuan menghambat absorpsi fosfat di saluran cerna.
Dialisis yang dilakukan pada pasien dengan gagal ginjal juga berperan
dalam mengatasi hiperfosfatemia.
Mengatasi hiperfosfatemia
1
Pembatasan asupan fosfat. Pemberian diet rendah fosfat sejalan
dengan diet pada pasien penyakit ginjal kronik secara umum yaitu,
tinggi kalori, rendah protein dan rendah garam, karena fosfat
sebagian besar terkandung dalam daging dan produk hewan seperti
susu dan telur. Asupan fosfat dibatasi 600-800 mg/hari. Pembatasan
asupan fosfat yang terlalu ketat tidak dianjurkan, untuk menghindari
terjadinya malnutrisi.
2
Pemberian pengikat fosfat. Pengikat fosfat yang banyak dipakai
adalah garam kalsium, aluminium hidroksida, garam magnesium.
Garam-garam ini diberikan secara oral, untuk menghambat absorpsi
fosfat yang berasal dari makanan, garam kalsium yang banyak
dipakai adalah kalsium karbonat dan kalsium asetat.
3
Pemberian bahan kalsium mimetik. Akhir-akhir ini dikembangkan
sejenis obat yang dapat menghambat reseptor Ca pada kelenjar
paratiroid, dengan nama sevelamer hidrokhlorida. Obat ini disebut
juga calcium mimetic agent, dan dilaporkan mempunyai efektivitas
yang sangat baik serta efek samping yang minimal.
Pemberian Kalsitriol
Pemberian kalsitriol untuk mengatasi osteodistrofi renal banyak
dilaporkan, tetapi pemakaiannya tidak begitu luas, karena dapat
meningkatkan absorpsi fosfat dan kalsium di saluran cerna sehingga
dikhawatirkan mengakibatkan penumpukan garam kalsium karbonat di
jaringan, yang disebut kalsifikasi metastatik. Di samping itu juga dapat
mengakibatkan penekanan yang berlebihan terhadap kelenjar paratiroid.
Oleh karena itu, pemakaiannya dibatasi pada pasien dengan kadar fosfat
darah normal dan kadar hormon paratiroid (PTH) > 2,5 nilai normal.
Pembatasan Cairan dan Elektrolit
Pembatasan asupan air pada pasien penyakit ginjal kronik, sangat perlu
dilakukan. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya edem dan
komplikasi kardiovaskular. Air yang masuk ke dalam tubuh dibuat
seimbang dengan air yang keluar, baik melalui urin maupun insensible
water loss. Dengan berasumsi bahwa air yang keluar melalui insensible

37

water loss antara 500-800 ml/hari (sesuai dengan luas permukaan tubuh),
makan air yang masuk dianjurkan 500-800 ditmabah jumlah urin.
Elektrolit yang diawasi asupannya adalah kalium dan natrium.
Pembatasan kalium dilakukan, karena hiperkalemia dapat mengakibatkan
aritmia jantung yang fatal. Oleh karena itu, pemberian obat-obat yang
mengandung kalium dan makanan yang tinggi kalium darah dianjurkan
3,5-5,5 mEq/lt. Pembatasan natrium dimaksudkan untuk mengendalikan
hipertensi dan edema. Jumlah garam natrium yang diberikan, disesuaikan
dengan tingginya tekanan darah dan derajat edema yang terjadi.
Asidosis Metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat
diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera
diberikan intravena bila pH 7,35 atau serum bikarbonat 20 mEq/L.
Terapi Pengganti Ginjal (Renal Replacement Therapy)
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada Penyakit Ginjal Kronik stadium 5,
yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. terapi pengganti tersebut dapat
berupa hemodialisis, peritoneal dialisis, atau transplantasi ginjal.
1
Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala
toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu
cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal
ginjal (LFG). Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan
indikasi elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu
perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan
kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter,
muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan
kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8
mL/menit/1,73m, mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat (Sukandar,
2006).
Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang
telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Umumnya
dipergunakan ginjal buatan yang kompartemen darahnya adalah kapilerkapiler selaput semipermiabel (hollow fibre kidney). Kualitas hidup yang
diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi sampai sekarang
14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal (Rahardjo, 2006).
2
Dialisis peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis
(CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik
CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun),
pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular,
pasien-pasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan
hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke,
pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup, dan
pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi
non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk
melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal
(Sukandar, 2006).
38

3
Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal).
Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:
1
Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih
seluruh (100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya
mengambil alih 70-80% faal ginjal alamiah
2
Kualitas hidup normal kembali
3
Masa hidup (survival rate) lebih lama
4
Komplikasi
(biasanya
dapat
diantisipasi)
terutama
berhubungan dengan obat imunosupresif untuk mencegah
reaksi penolakan
5
Biaya lebih murah dan dapat dibatasi

BAB VI
KESIMPULAN
Gangguan ginjal akut adalah penurunan mendadak faal ginjal dalam 48
jam yaitu berupa kenaikan kadar kreatinin serum 0.3 mg/dl ( 26.4
umol/l), presentasi kenaikan kreatinin serum 50% (1.5 x kenaikan dari
nilai dasar), atau pengurangan produksi urin (oligouria yang tercatat 0.5
ml/kg/jam dalam waktu lebih dari 6 jam). Gangguan Ginjal Akut
diklasifikasikan menjadi penyabab pre renal, renal, dan post renal. Pada
gangguan ginjal akut yang berat dapat menyebabkan kelebihan cairan
yang sering bermanifestasi sebagai udem ekstremitas maupun edema
paru. Penatalaksanaan didasarkan pada penyebabnya.
Penyakit ginjal kronik adalah kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi
lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan
atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi
kelainan patologis dan terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan
dalam komposisi darah atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan
(imaging tests). Penyakit ginjal kronik diklasifikasikan berdasarkan laju
filtrasi glomerulus. Gagal ginjal/CKD stage V dengan LFG < 15 ml/menit
adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal

39

yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti


ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal.

DAFTAR PUSTAKA
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Harjadi Widjaja I. 2011. Anatomi Pelvis. Jakarta : EGC. Hal 51-93.


Sherwood L. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta :
EGC. Hal 462-502
Guyton. 2000. Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC. Page 307-347.
Netter FH. 2006. Atlas of Human Anatomy. 4th ed. US : Saunders.
Page 563-622.
Suwitra Ketut, Markum HMS. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta : InternaPublishing. Hal 1035-1049.
Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL,
Loscalzo J. 2008. Harrisons Principle od Internal Medicine 17th
edition. New York : McGraw-Hill. Chapter 279-280.
Roesli RMA. 2008. Diagnosis dan Etiologi Gangguan Ginjal Akut.
Bandung : Pusat Penerbitan Ilmiah Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK
UNPAD. Hal 27-40.
Loekman JS. 2008. Makalah Lengkap The 8th Jakarta Nephrology &
Hypertension Course and Symposium on Hypertension. Jakarta :
PERNEFRI. Page 13-17.
Roesli R. 2007. Kriteria RIFLE Cara yang Mudah dan Terpercaya
Untuk Menegakkan Diagnosis dan Memprediksi Prognosis Gagal
Ginjal Akut. Jakarta. Halaman 18-24.
Waikar SS, Liu KD, Chertow GM. 2008. Diagnosis, Epidemiology, and
Outcomes of Acute Kidney Injury. Page 844-861.

40

Anda mungkin juga menyukai