Pembimbing :
dr. Pujo Hendriyanto, SpPD
Disusun Oleh :
Jessica Philbertha
406138080
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA SEMARANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA
PERIODE 7 JULI 2014 13 SEPTEMBER 2014
HALAMAN PENGESAHAN
Nama
: Jessica Philbertha
Fakultas
: Kedokteran
Universitas
: Universitas Tarumanagara
Tingkat
: Program Pendidikan Profesi Dokter
Bidang Pendidikan
: Ilmu Penyakit Dalam
Periode Kepaniteraan Klinik
: 7 Juli 2014 13 September
2014
Judul Referat
: Gangguan Ginjal Akut dan Penyakit
Ginjal Kronik
Diajukan
: Agustus 2014
1
Pembimbing
(dr.
Pujo
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan berkat dan rahmat Nya sehingga saya dapat
menyelesaikan referat mengenai Gangguan Ginjal Akut dan
Penyakit Ginjal Kronik guna memenuhi salah satu persyaratan
dalam menempuh Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara di RSUD
Kota Semarang.
Pada kesempatan ini, saya ingin menyampaikan banyak terima
kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam
menyelesaikan referat ini, yaitu :
1.
dr. Susi Herawati, Mkes selaku direktur RSUD Kota
Semarang.
2.
dr. Pujo Hendriyanto, SpPD selaku ketua SMF Ilmu Penyakit
Dalam dan pembimbing kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit
Dalam RSUD Kota Semarang.
3.
dr. Syaiful Niam, SpPD selaku pembimbing kepaniteraan
klinik Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kota Semarang.
4.
dr.
Diana
Novitasari,
SpPD
selaku
pembimbing
kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kota
Semarang.
5.
dr. Dessy Andriani, SpPD selaku pembimbing kepaniteraan
klinik Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kota Semarang.
6.
Rekan-rekan anggota kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu
Penyakit Dalam RSUD Kota Semarang.
Saya menyadari penulisan referat ini masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat
2
DAFTAR ISI
HALAMAN
PENGESAHAN...............................................................................
......2
KATA
PENGANTAR..................................................................................
.............3
DAFTAR
ISI.................................................................................................
...........5
BAB
I.
PENDAHULUAN.............................................................................
............6
BAB
II.
ANATOMI
TRAKTUS
URINARIUS...............................................................8
BAB
III.
FISIOLOGI
TRAKTUS
URINARIUS............................................................15
BAB
IV.
GANGGUAN
GINJAL
AKUT.....................................................................18
BAB
V.
PENYAKIT
GINJAL
KRONIK......................................................................32
BAB
VI.
KESIMPULAN.................................................................................
........44
DAFTAR
PUSTAKA.......................................................................................
.......45
BAB I
PENDAHULUAN
Sistem urinaria adalah suatu sistem kerjasama tubuh yang bertujuan
untuk mempertahankan homeostatis. Salah satu organ yang terlibat
dalam sistem urinaria adalah ginjal. Ginjal berfungsi mempertahankan
keseimbangan H2O dalam tubuh, mengatur jumlah dan konsentrasi
sebagian besar ion CES termasuk Na +, K+, Cl-, HCO3-, Ca 2+, Mg2+, SO42-,
PO43-, dan H+, memelihara volume plasma yang sesuai, sehingga sangat
berperan dalam pengaturan jangka panjang tekanan darah arteri,
4
BAB II
ANATOMI TRAKTUS URINARIUS
Sistem traktus urinarius memegang peranan dalam pembentukan,
penampungan sementara, dan pengeluaran urin. Organ-organnya terdiri
dari :
1
Ren (ginjal), yang membentuk urin.
2
Ureter, yang mengalirkan urin dari ginjal ke kandung kemih.
3
Vesica urinaria, yang menampung air kemih (urin) untuk sementara.
4
Uretra, saluran yang mengluarkan urin.
Ginjal
Ginjal ada sepasang, berbentuk seperti kacang, berwarna merah
kecoklatan, dan permukaannya berkilap karena dibungkus capsula fibrosa.
Panjang ginjal adalah 11-12 cm, lebarnya 5-6 cm, dan tebalnya 3 cm
(ginjal kiri sedikit lebih panjang tetapi lebih tipis), dan beratnya kurang
lebih 130-150 cm.
Ginjal terdiri dari susunan lobus-lobus dimana tiap lobus memiliki sistem
pembuluh darah yang terdiri dari sejumlah bangunan yang memegang
peranan dalam filtrasi urin. Sistem tersebut berawal di corpusculum
Malpighi (glomelurus dan capsula Bowman) yang terletak pada cortex
renalis. Pada glomelurus terdapat arteriola glomelularis afferens dan
efferens. Pada bagian ini terjadi filtrasi yang mengawali proses
pembentukan urin.
Dari corpusculum Malpighi, filtrat ditampung di dalam tubuli renales mulai
dari tubulus contortus proximalis, tubulus spiralis, ansa Henle (pars
ascendens dan descendens), tubulus contortus distalis, tubulus renis
arcuatus, tubulus colligens rectus, dan berakhir pada ductus papillaris.
Ginjal terletak pada bagian belakang rongga abdomen, di sebelah
columna vertebralis dan M. Psoas mayor. Tepi medial ginjal menghadap ke
arah medial depan. Letak ginjal kiri biasanya 1,5 cm lebih tinggi dan
terletak sedikit lebih medial. Pada pernafasan tenang dan posisi
7
vesica urinaria
vesica urinaria
yang berfungsi
urin
ke
dengan
disebut
seperti
ureter.
11
Urethra laki-laki tidak hanya berfungsi untuk saluran keluar urin, namun
juga sebagai saluran keluar bagi sekret yang dihasilkan oleh vesicula
seminalis, prostata, glandula bulbourethralis, dan sejumlah kelenjar
urethra waktu ejakulasi. Berbentuk seperti huruf S. Dibagi menjadi 3
bagian, yaitu :
1
Pars prostatica : bagian yang terletak di dalam prostata, hanya
sekitar 2,5 cm. Merupakan bagian prostat yang paling lebar.
Terdapat crista urethralis, sinus prostaticus, collicus seminalis,
utriculus prostaticus, dan ductus ejakulatorius.
2
Pars membranacea : menembus diafragma urogenital. Paling
pendek diantara bagian urethra lainnya. Dikelilingi oleh m. Sphincter
urethrae dan terdapat glandula bulbourethralis di lateral kanan dan
kirinya.
3
Pars spongiosa : bagian yang berada pada corpus spongiosum.
Merupakan bagian terpanjang (15 cm). Berakhir pada ostium
urethrae externum. Terdapat muara ductus glandula bulbourethralis
dan glandula urethralis. Tepat sebelum muara urethra terdapat
pelebaran yang disebut fossa navicularis urethrae.
Urethra perempuan berawal dari cervix vesicae sebelum akhirnya
bermuara di ostium urethrae externum pada vestibulum vaginae.
Sepanjang perjalanannya, urethra melekat erat pada dinding depan
vagina; bagian belakang bawah simfisis pubis, posisinya miring ke bawah
depan. Pada dinding posterior urethra terdapat tonjolan mukosa
longitudinal yang disebut crista urethralis.
BAB III
FISIOLOGI TRAKTUS URINARIUS
Sistem urinaria adalah suatu sistem kerjasama tubuh yang bertujuan
untuk mempertahankan homeostatis. Sistem ini terdiri dari ginjal, ureter,
vesica urinaria, dan uretra.
Fungsi spesifik dari ginjal adalah :
1
Mempertahankan keseimbangan H2O dalam tubuh.
2
Mengatur jumlah dan konsentrasi sebagian besar ion CES termasuk
Na+, K+, Cl-, HCO3-, Ca 2+, Mg2+, SO42-, PO43-, dan H+.
3
Memelihara volume plasma yang sesuai, sehingga sangat berperan
dalam pengaturan jangka panjang tekanan darah arteri. Fungsi ini
dilaksanakan melalui peran ginjal sebagai pengatur keseimbangan
garam dan H2O.
4
Membantu memelihara keseimbangan asam basa tubuh.
5
Memelihara osmolaritas.
6
Mengekskresikan produk sisa dari metabolisme seperti ures, asam
urat, dan kreatinin.
7
Mengekskresikan banyak senyawa asing, misalnya obat, pestisida,
dll.
12
13
Terdapat 2 jenis nefron yaitu nefrom korteks (paling banyak dijumpai) dan
nefron jukstamedula. Glomerulus nefron korteks teletak di korteks luar,
sedangkan glomerulus nefron jukstamedula terletak di bagian dalam
korteks di samping medula. Lengkung Henle nefron korteks hanya sedikit
terbenam dalam medula, tetapi nefron jukstamedula memiliki lengkung
Henle yang panjang yang menyelam masuk ke dalam medula. Kapiler
peritubulus jukstamedula membentuk lengkung-lengkung halus yang
dikenal sebagai vasa rekta (penting untuk kemampuan ginjal
menghasilkan urin dalam berbagai konsentrasi).
Tahap pembentukan urin :
1
Filtrasi glomerulus
1
Cairan yang difiltrasi dari glomerulus ke dalam kapsul
Bowman harus melewati 3 lapisan yaitu dinding kapiler
glomerulus, lapisan gelatinosa aselular yang dikenal sebagai
membran basal, lapisan dalam kapsula Bowman. Ketiga
lapisan ini menahan sel darah merah dan protein plasma,
tepapi melewatkan H2O dan zat terlarut lain yang ukuran
molekularnya cukup kecil.
14
BAB IV
GANGGUAN GINJAL AKUT
15
17
Klasifikasi AKIN
Klasifikasi ini menilai tahap GGA dari nilai kreatinin serum dan diuresis.
Kemudian ada upaya dari kelompok Acute Kidney Injury Network (AKIN)
untuk mempertajam kriteria RIFLE sehingga pasien GGA dapat dikenali
lebih awal. Klasifikasi ini lebih sederhana dan memakai batasan waktu 48
jam. Disadari bahwa GGA merupakan kelainan yang kompleks, sehingga
perlu suatu standar baku untuk penegakan diagnosis dan klasifikasinya
dengan berdasarkan kriteria RIFLE. Atas sistem ini masih memerlukan
penelitian lebih lanjut. Diharapkan penelitian seperti ini dilakukan oleh
kelompok perhimpunan nefrologi dan perhimpunan kedokteran gawat
darurat. Atas dasar klasifikasi dan kriteria RIFLE dapat dibuat penelitian
bersama memakai kaidak-kaidah yang sama. Sehingga dapat dilakukan
usaha-usaha pencegahan dan pengobatan GGA yang lebih baik. AKIN
sebagi bentuk kebersamaan dalam satu sistem jaringan yang luas
diharapkan dapat memfasilitasi kerjasama penelitian.
Kriteria AKIN dapat meningkatkan insidens GGA tahap awal, walaupun
belum cukup kuat untuk perbaikan prognosis dibandingkan dengan
kriteria RIFLE.
Definisi GGA
Penurunan mendadak faal ginjal dalam 48 jam yaitu berupa kenaikan
kadar kreatinin serum 0.3 mg/dl ( 26.4 umol/l), presentasi kenaikan
kreatinin serum 50% (1.5 x kenaikan dari nilai dasar), atau
18
Diagnosis
Pemeriksaan jasmani dan penunjang adalah untuk membedakan GGA prerenal, GGA renal, dan GGA post renal. Dalam menegakkan diagnosis
gangguan ginjal akut perlu diperiksa :
1
Anamnesis yang baik, serta pemeriksaan jasmani yang teliti
ditunjukkan untuk mencari sebab gangguan ginjal akut seperti
misalnya operasi kardiovaskular, angiografi, riwayat infeksi (infeksi
kulit, infeksi tenggorokan, infeksi saluran kemih), riwayat bengkak,
riwayat kencing batu.
2
Membedakan gangguan ginjal akut (GGA) dengan gangguan ginjal
kronik (GGK) misalnya anemia dan ukuran ginjal yang kecil
menunjukkan gagal ginjal kronik.
3
Untuk mendiagnosis GGA diperlukan pemeriksaan berulang fungsi
ginjal yaitu kadar ureum, kreatinin atau laju filtrasi glomerulus pada
pasien yang dirawat selalu diperiksa asupan dan keluaran cairan,
berat badan untuk memperkirakan adanya kehilangan atau
kelebihan cairan tubuh. Pada gangguan ginjal akut yang berat
dengan berkurangnya fungsi ginjal ekskresi air dan garam
19
20
3
Stadium Penyembuhan
Stadium penyembuhan GGA berlangsung sampai satu tahun, dan selama
masa itu, produksi urin perlahanlahan kembali normal dan fungsi ginjal
membaik secara bertahap, anemia dan kemampuan pemekatan ginjal
sedikit demi sedikit membaik, tetapi pada beberapa pasien tetap
menderita penurunan glomerular filtration rate (GFR) yang permanen.
Pengelolaan
Tujuan penglolaan adalah mencegah terjadinya kerusakan ginjal,
mempertahankan
homeostasis,
melakukan
resusitasi,
mencegah
komplikasi metabolik dan infeksi serta mempertahankan pasien tetap
hidup sampai faal ginjalnya sembuh secara spontan. Prinsip
penglolaannya dimulai dengan mengidentifikasi pasien beresiko GGA
(sebagai tindak pencegahan), mengatasi penyakit penyebab GGA,
mempertahankan
homeostasis,
mempertahankan
eopolemia,
keseimbangan cairan dan elektrolit, mencegah komplikasi metabolik
seperti hiperkalemis, asidosis, hiperfosfatemia, mengevaluasi status
nutrisi, kemudia mencegah infeksi dan selalu mengevaluasi obat-obat
yang dipakai.
Pencegahan
GGA dapat dicegah pada beberapa keadaan misalnya penggunaan zat
kontras yang dapat menyebabkan nefropati kontras. Pencegahan
nefropati akibat zat kontras adalah menjaga hidrasi yang baik, pemakaian
N asetil sistein serta pemakaian furosemid pada penyakit tropik perlu
diwaspadai kemungkinan GGA pada gastroenteritis akut, malaria, dan
demam berdarah.
Pemberian kemoterapi dapat menyebabkan ekskresi asam urat yang
tinggi sehingga menyebabkan GGA.
1
Pencegahan Primer
Pencegahan Primer adalah langkah yang harus dilakukan untuk
menghindari diri dari berbagai faktor resiko. Beberapa pencegahan yang
dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya GGA, antara lain :
1
Setiap orang harus memiliki gaya hidup sehat dengan
menjaga pola makan dan olahraga teratur.
2
Membiasakan meminum air dalam jumlah yang cukup
merupakan hal yang harus dilakukan setiap orang sehingga
faktor resiko untuk mengalami gangguan ginjal dapat
dikurangi.
3
Rehidrasi cairan elektrolit yang adekuat pada penderitapenderita gastroenteritis akut.
4
Transfusi darah atau pemberian cairan yang adekuat selama
pembedahan, dan pada trauma-trauma kecelakaan atau luka
bakar.
5
Mengusahakan hidrasi yang cukup pada penderita-penderita
diabetes melitus yang akan dilakukan pemeriksaan dengan
zat kontras radiografik.
6
Pengelolaan yang optimal untuk mengatasi syok kardiogenik
maupun septik.
25
Belum ada bukti yang nyata keunggulan antara terapi penggati intensif
dan terapi pengganti intermitten.
Nutrisi
Kebutuhan nutrisi pada GGA amat bervariasi sesuai dengan penyakit
dasarnya atau kondisi komorbidnya, dari kebutuhan yang biasa, sampai
dengan kebutuhan yang tinggi seperti pada pasien dengan sepsis.
Rekomendasi nutrisi GGA amat berbeda dengan GGK, dimana pada GGA
kebutuhan nutrisi disesuaikan dengan keadaan proses kataboliknya. Pada
GGK jusru dilakukan pembatasan-pembatasan.
GGA menyebabkan abnormalitas metabolisme yang amat kompleks, tidak
hanya pengaturan air, asam basa, elektrolit, tetapi juga asam
amino/protein, karbohidrat dan lemak. Heterogenitas GGA yang amat
tergantung dari penyakit dasarnya membuat keadaan ini lebih kompleks.
Oleh karena itu nutrisi pada GGA disesuaikan dengan proses katabolis
yang terjadi, sehingga pada suatu saat menjadi normal kembali.
Fase Perbaikan
Pada tahap ini terjadi poliuria yang sangat banyak sehingga perlu dijaga
keseimbangan cairan. Asupan cairan pengganti diusulkan sekitar 65-75%
dari jumlah cairan yang keluar. Pada tahap ini pengamatan faal ginjal
harus tetap dilakukan karena pasien pada dasarnya belum sembuh
sempurna.
Tatalaksana Komplikasi
Pengelolaan komplikasi yang mungkin timbul dapat dilakukan secara
konservatif, sesuai dengan anjuran. Pengelolaan komplikasi juga dapat
dilakukan dengan terapi pengganti ginjal yang diindikasikan pada keadaan
oligouria, anuria, hiperkalemia (K > 6.5 mEq/l0, asidosis berat (pH < 7.1),
azotemia (ureum > 200 mg/dL), edema paru, ensefalopati uremikum,
perikarditis uremikum, neuropati atau miopati uremikum, neuropati atau
miopati uremikum, disnatremia berat (Na > 160 mEq/l atau < 115 mEq/l),
hipertermia, kelebihan dosis obat yang dapat didialisis. Tidak ada
27
Kesimpulan
Istilah gangguan ginjal akut/acute kidney injury sebaiknya menggantikan
istilah gagal ginjal akut/ARF. Istilah gangguan ginjal akut memberikan
gambaran yang lebih jelas mengenai proses GGA dengan dibuatnya
kriteris RIFLE/AKIN.
Kriteria RIFLE dan AKIN memberikan cara berpikir baru dalam memahami
GGA, pentahapan dari GGA, standardisasi dalam definisi sehingga ada
keseragaman dalam mendeskripsikan GGA. Keseragaman ini akan
mendorong upaya pencegahan, pengobatan, dan penelitian yang
seragam.
Hasil akhir yang diharapkan adalah tatalaksana atau penanganan GGA
yang lebih baik.
BAB V
PENYAKIT GINJAL KRONIK
Definisi
28
Penjelasan
LFG (ml/mnt/1,73m2)
Kerusakan
ginjal 90
dengan LFG normal
atau meningkat
Kerusakan
ginjal 60-89
dengan
LFG
menurun ringan
Kerusakan
ginjal 30-59
dengan
LFG
menurun sedang
Kerusakan
ginjal 15-29
dengan
LFG
menurun berat
Gagal ginjal
< 15 atau dialisis
Berdasarkan etiologi
Penyakit
Penyakit ginjal diabetes
Penyakit ginjal non diabetes
Epidemiologi
Di Amerika Serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan insidens penyakit
ginjal kronik diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan
angka ini meningkat sekitar 8 % setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan
populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal per
tahunnya. Di negara-negara berkembang lainnya, insidens ini diperkirakan
sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk per tahun.
Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik awalnya tergantung pada penyakit
yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang
terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan
hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving
nephrouf) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul
vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan
terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti peningkatan tekanan kapiler dan aliran
darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya
diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih
tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang
progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya
peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut
memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan
progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensinaldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming
growth factor (TGF ). Beberapa hal yang juga dianggap berperan
terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah
hipoalbuminuria,
hipertensi,
hiperglikemia,
dislipidemia.
Terdapat
variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis
glomerulus maupun tubulointerstitial.
Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya
cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan mana basal LFG masih
normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan
terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan
peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar
60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah
terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG
30
sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti, nokturia, badan
lemah, mual, nafsu makan kurang, dan penurunan berat badan. Sampai
pada LFG di bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia
yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan
metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah, dan lain
sebagainya, pasien juga mudah terkena infeksi saluran nafas, maupun
infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air
seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara
lain natrium dan kalium. Pada LFG di bawah 15% akan terjadi gejala dan
komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi
pengganti ginjal (renal replacemnet therapy) antara lain dialisis atau
transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada
stadium gagal ginjal.
Etiologi
Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 2000 mencatat
penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia sebagai
berikut :
Penyebab
Insiden
Glomerulonefritis
46,39%
Diabetes Melitus
18,65%
Obstruksi dan infeksi
12,85%
Hipertensi
8,46%
Sebab lain
13,65%
a. Glomerulonefritis
Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal yang
etiologinya tidak jelas, akan tetapi secara umum memberikan gambaran
histopatologi tertentu pada glomerulus (Markum, 1998). Berdasarkan
sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan primer dan
sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari
ginjal sendiri sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal
terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus
eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau amiloidosis
(Prodjosudjadi, 2006).
Gambaran klinik glomerulonefritis mungkin tanpa keluhan dan ditemukan
secara kebetulan dari pemeriksaan urin rutin atau keluhan ringan atau
keadaan darurat medik yang harus memerlukan terapi pengganti ginjal
seperti dialisis (Sukandar, 2006).
b. Diabetes melitus
Menurut American Diabetes Association (2003) dalam Soegondo (2005)
diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin atau kedua-duanya.
Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena
penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan
berbagai macam keluhan. Gejalanya sangat bervariasi. Diabetes melitus
dapat timbul secara perlahan-lahan sehingga pasien tidak menyadari
akan adanya perubahan seperti minum yang menjadi lebih banyak, buang
31
air kecil lebih sering ataupun berat badan yang menurun. Gejala tersebut
dapat berlangsung lama tanpa diperhatikan, sampai kemudian orang
tersebut pergi ke dokter dan diperiksa kadar glukosa darahnya (Waspadji,
1996).
c. Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik 140 mmHg dan tekanan darah
diastolik 90 mmHg, atau bila pasien memakai obat antihipertensi
(Mansjoer, 2001). Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi
dua golongan yaitu hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak
diketahui penyebabnya atau idiopatik, dan hipertensi sekunder atau
disebut juga hipertensi renal (Sidabutar, 1998).
Faktor Resiko
Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes
melitus atau hipertensi, obesitas atau perokok, berumur lebih dari 50
tahun, dan individu dengan riwayat penyakit diabetes melitus, hipertensi,
dan penyakit ginjal dalam keluarga (National Kidney Foundation, 2009).
Gambaran Klinis
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi :
1
Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus,
infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi,
hiperurikemia, Lupus Eritomatous Sistemik (LES), dan lain
sebagainya.
2
Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual
muntah, nokturia, kelebihan volume cairan (volume overload),
neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang
sampai koma.
3
Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodisfrofi
renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan
elektrolit (sodium, kalium, khlorida).
Diagnosis
Pendekatan diagnosis gagal ginjal kronik (GGK) mempunyai sasaran
berikut:
1
Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG)
2
Mengejar etiologi GGK yang mungkin dapat dikoreksi
3
Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible
factors)
4
Menentukan strategi terapi rasional
5
Meramalkan prognosis
Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan
pemeriksaan yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis,
pemeriksaan fisik diagnosis dan pemeriksaan penunjang diagnosis rutin
dan khusus (Sukandar, 2006).
Gambaran Laboratoris
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi :
32
1
2
Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis Penyakit Ginjal Kronik meliputi :
1
Foto polos abdomen, bisa tampak batu radioopak.
2
Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak
bisa melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya
pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami
kerusakan.
3
Pielografi anterograd atau reterograd dilakukan sesuai indikasi.
4
Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang
mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu
ginjal, kista, massa, kalsifikasi.
5
Pemeriksaan pemindai ginjal atau renografi dikerjakan bila ada
indikasi.
Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal
Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan
ukuran ginjal masih mendekati normal, dimana diagnosis secara
noninvasif tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan
untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis, dan
mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Biopsi ginjal indikasikontra dilakukan pada keadaan dimana ukuran ginjal yang sudah
mengecil (contracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang tidak
terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal nafas,
dan obesitas.
Tatalaksana
Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi :
1
Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
2
Pencegahan dan teapi terhadap kondisi komorbid (comorbid
condition)
3
Memperlambat perburukan (progression) fungsi ginjal
4
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular
5
Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
6
Terapi penganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal
Perencanaan tatalaksana penyakit ginjal kronik sesuai dengan
derajatnya :
Derajat
LFG (ml/mnt/1,73m2)
Rencana tatalaksana
33
90
60-89
30-59
15-29
< 15
nitrogen dan ion anorganik lain, dan mengakibatkan gangguan klinis dan
metabolik yang disebut uremia. Dengan demikian, pembatasan asupan
protein akan mengakibatkan berkurangnya sindrom uremik. Masalah
penting lain adalah, asupan protein berlebih akan mengakibatkan
perubahan hemodonamik ginjal berupa peningkatan aliran darah dan
tekanan intraglomerulus yang akan meningkatkan progresifitas
perburukan fungsi ginjal. Pembatasan asupan protein juga berkaitan
dengan pembatasan asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu
berasal dari sumber yang sama. Pembatasan fosfat perlu untuk mencegah
terjadinya hiperfosfatemia.
LFG ml/menit
Asupan protein g/kg/hari Fosfat g/kg/hari
>60
Tidak dianjurkan
Tidak dibatasi
25-60
0,6-0,8/kg/hari, termasuk 10 g
0,35 g/kg/hari nilai
biologi tinggi
5-25
0,6-0,8/kg/hari, termasuk 10 g
0,35 g/kg/hari protein
nilai biologi tinggi atau
tambahan 0,3 g asam
amino
esensial
atau
asam keton
<60 (sindrom nefrotik) 0,8/kg/hari
(+1
g 9 g
protein/g
proteinuria
atau 0,3 g/kg tambahan
asam amino esensial
atau asam keton
Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus.
Pemakaian obat antihipertensi, di samping bermanfaat untuk memperkecil
resiko kardiovaskular juga sangat penting untuk memperlambat
perburukan
kerusakan
nefron
dengan
mengurangi
hipertensi
intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Beberapa studi membuktikan
bahwa, pengendalian tekanan darah mempunyai peran yang sama
pentingnya dengan pembatasan asupan protein, dalam memperkecil
hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Di samping itu,
sasaran terapi farmakologis sangat terkait dengan derajat proteinuria.
Saat ini diketahui sacara luas bahwa, proteinuria merupakan faktor resiko
terjadinya perburukan fungsi ginjal, dengan kata lain derajat proteinuria
berkaitan dengan proses perburukan fungsi ginjal pada penyakit ginjal
kronik.
Beberapa obat antihipertensi, terutama ACE inhibitor, melalui berbagai
studi terbukti dapat memperlambat proses perburukan fungsi ginjal. Hal
ini terjadi lewat mekanisme kerjanya sebagai antihipertensi dan
antiproteinuria.
Pencegahan dan Terapi Terhadap Penyakit Kardiovaskular
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan hal
yang penting, karena 40-50% kematian pada penyakit ginjal kronik
35
Penjelasan
Kerusakan
dengan
normal
Kerusakan
dengan
penurunan
ringan
Penurunan
sedang
Penurunan
berat
Gagal ginjal
LFG (ml/mnt)
ginjal 90
LFG
Komplikasi
-
ginjal 60-89
Tekanan
mulai turun
darah
LFG
LFG 30-59
LFG 25-29
< 15
Hiperfosfatemia
Hipokalemia
Anemia
Hiperparatiroid
Hipertensi
Hiperhomosisteine
mia
Malnutrisi
Asidosis metabolik
Cenderung
hiperkalemia
Gagal jantung
Uremia
37
water loss antara 500-800 ml/hari (sesuai dengan luas permukaan tubuh),
makan air yang masuk dianjurkan 500-800 ditmabah jumlah urin.
Elektrolit yang diawasi asupannya adalah kalium dan natrium.
Pembatasan kalium dilakukan, karena hiperkalemia dapat mengakibatkan
aritmia jantung yang fatal. Oleh karena itu, pemberian obat-obat yang
mengandung kalium dan makanan yang tinggi kalium darah dianjurkan
3,5-5,5 mEq/lt. Pembatasan natrium dimaksudkan untuk mengendalikan
hipertensi dan edema. Jumlah garam natrium yang diberikan, disesuaikan
dengan tingginya tekanan darah dan derajat edema yang terjadi.
Asidosis Metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat
diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera
diberikan intravena bila pH 7,35 atau serum bikarbonat 20 mEq/L.
Terapi Pengganti Ginjal (Renal Replacement Therapy)
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada Penyakit Ginjal Kronik stadium 5,
yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. terapi pengganti tersebut dapat
berupa hemodialisis, peritoneal dialisis, atau transplantasi ginjal.
1
Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala
toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu
cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal
ginjal (LFG). Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan
indikasi elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu
perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan
kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter,
muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan
kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8
mL/menit/1,73m, mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat (Sukandar,
2006).
Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang
telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Umumnya
dipergunakan ginjal buatan yang kompartemen darahnya adalah kapilerkapiler selaput semipermiabel (hollow fibre kidney). Kualitas hidup yang
diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi sampai sekarang
14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal (Rahardjo, 2006).
2
Dialisis peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis
(CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik
CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun),
pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular,
pasien-pasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan
hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke,
pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup, dan
pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi
non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk
melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal
(Sukandar, 2006).
38
3
Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal).
Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:
1
Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih
seluruh (100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya
mengambil alih 70-80% faal ginjal alamiah
2
Kualitas hidup normal kembali
3
Masa hidup (survival rate) lebih lama
4
Komplikasi
(biasanya
dapat
diantisipasi)
terutama
berhubungan dengan obat imunosupresif untuk mencegah
reaksi penolakan
5
Biaya lebih murah dan dapat dibatasi
BAB VI
KESIMPULAN
Gangguan ginjal akut adalah penurunan mendadak faal ginjal dalam 48
jam yaitu berupa kenaikan kadar kreatinin serum 0.3 mg/dl ( 26.4
umol/l), presentasi kenaikan kreatinin serum 50% (1.5 x kenaikan dari
nilai dasar), atau pengurangan produksi urin (oligouria yang tercatat 0.5
ml/kg/jam dalam waktu lebih dari 6 jam). Gangguan Ginjal Akut
diklasifikasikan menjadi penyabab pre renal, renal, dan post renal. Pada
gangguan ginjal akut yang berat dapat menyebabkan kelebihan cairan
yang sering bermanifestasi sebagai udem ekstremitas maupun edema
paru. Penatalaksanaan didasarkan pada penyebabnya.
Penyakit ginjal kronik adalah kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi
lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan
atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi
kelainan patologis dan terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan
dalam komposisi darah atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan
(imaging tests). Penyakit ginjal kronik diklasifikasikan berdasarkan laju
filtrasi glomerulus. Gagal ginjal/CKD stage V dengan LFG < 15 ml/menit
adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal
39
DAFTAR PUSTAKA
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
40