Anda di halaman 1dari 80

LAPORAN CASE CONFERENCE

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn B USIA 74 TAHUN

DENGAN CKD ON HD DI HCU BEDAH BOUGENVILLE

RSUP FATMAWATI JAKARTA SELATAN

Disusun Oleh:

Nurfitri Annisa (41191095000021)


Ovi Wijayanti (41191095000020)
Putri Dewi Indah Sari (41191095000043)
Rahmah Zaidah (41191095000050)
Rendy Himawan (41191095000009)
Rifqiyani Audah (41191095000065)
Rima Fetiani (41191095000061)

PROGRAM PROFESI NERS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2020
KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirrahim.
Puji syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat, hidayah, serta karunianya. Shalawat dan salam selalu
tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW. Sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan ilmiah dalam bentuk laporan tanpa suatu halangan yang
amat berarti hingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan laporan ini dengan baik.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
memberikan bantuan dan dukungannya dalam pembuatan laporan ini. Tak lupa
penulis mengucapkan terima kasih kepada penanggung jawab (CI) ruangan yang
telah memberikan kesempatan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan Case Conference mengenai Klien dengan Gagal Ginjal Kronik.
Demikian yang dapat penulis sampaikan, apabila terdapat kata di dalam
laporan ini yang kurang berkenan mohon maaf yang sebesar-besarnya. Semoga
laporan ini dapat bermanfaat, memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi
sumbangan pemikiran bagi yang membacanya. Kami sadar bahwa laporan ini masih
banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu, kepada dosen pembimbing
kami meminta masukannya demi perbaikan pembuatan laporan kami di masa yang
akan datang dan kami mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Gagal ginjal adalah gagalnya ginjal membuang metabolit yang


terkumpul dari darah. Gagal ginjal merupakan penyakit sistemik dan
merupakan jalur akhir yang umum dari berbagai penyakit traktus
urinarius dan ginjal. Gagal ginjal mengakibatkan gangguan keseimbangan
elektrolit, asam basa dan air. Gagal ginjal di klasifikasikan menjadi gagal
ginjal akut dan gagal ginjal kronis (Smeltzer, 2008; Tambayong, 2001).
Keadaan dimana Penurunan cepat/tiba-tiba atau parah pada fungsi
filtrasi ginjal disebut gagal ginjal akut. Kondisi ini biasanya ditandai oleh
peningkatan konsentrasi kreatinin serum atau azotemia (peningkatan
konsentrasi BUN (blood Urea Nitrogen). Setelah cedera ginjal terjadi,
tingkat konsentrasi BUN kembali normal, sehingga yang menjadi patokan
adanya kerusakan ginjal adalah penurunan produksi urin, Sedangkan
dimana ginjal kehilangan kemampuannya untuk mempertahankan volume
dan komposisi cairan tubuh yang berlangsung progresif, lambat, samar
dan bersifat irreversible (biasanya berlangsung beberapa tahun) di sebut
dengan gagal ginjal kronik.
Diseluruh dunia menurut National Kidney Foundation (2004), 26
juta orang dewasa Amerika telah mengalami CKD, dan jutaan orang lain
beresiko terkena CKD. Perhimpunan nefrologi indonesia menunjukkan
12,5 persen dari penduduk indonesia mengalami penurunan fungsi ginjal,
itu berarti secara kasar lebih dari 25 juta penduduk mengalami CKD.
Chronic Kidney Disease merupakan gangguan fungsi renal yang progresif
dan irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga terjadi
uremia.
Menurut WHO, penyakit ginjal dan saluran kemih telah
menyebabkan kematian sebesar 850.000 orang setiap tahunnya. Hal ini
menunjukkan bahwa penyakit ini menduduki peringkat ke-12 tertinggi
angka kematian. Survey yang dilakukan oleh Perhimpunan Nefrologi
Indonesia pada tahun 2017, prevalensi gagal ginjal kronik di Indonesia
sekitar 15,4%, yang berarti terdapat sekitar 24 juta orang dewasa
Indonesia yang menderita gagal ginjal kronik. Sedangkan menurut
yayasan peduli ginjal, tahun 2017 di Indonesia terdapat 94.000 penderita
gagal ginjal kronik dan pada tahun 2018 akan meningkat menjadi 107.000
jiwa. Beberapa penelitian dalam sub Sahara Afrika telah meneliti
prevalensi CKD pada orang berisiko tinggi, termasuk orang-orang dengan
diabetes dan hipertensi. Di Tanzania, Prevalensi 84% pada pasien rawat
jalan dewasa penderita CKD dengan diabetes6.
Dan prevalensi CKD dari 47% di antara pasien Ghana, terutama
dari wilayah Greater Accra, disertai hipertensi. Selain itu, tercatat 44%
prevalensi pada pasien dengan hipertensi, 39% pada mereka dengan
diabetes, 16% pada orang dengan obesitas dan 12% pada mereka yang
memiliki virus human immunodeficiency (HIV) atau diperoleh sindrom
defisiensi immunodefi- (AIDS). Dari data yang dikumpulkan oleh
Indonesia Renal Registry (IRR), pada tahun 2017-2018 didapatkan
penyebab tersering kedua pada gagal ginjal kronis adalah diabetes melitus
(26%).
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas penulis tertarik mencari dan


membahas kasus Chronic Kidney Disease untuk menyelesaikan kasus
kelolaan case conference sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan tugas
profesi keperawatan medikal bedah 2 Program Profesi Ners Keperawatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
C. Tujuan

a. Tujuan Umum
Laporan case conference ini dibuat untuk memberikan
gambaran terkait penerapan asuhan keperawatan pada klien dengan
Chronic Kidney Disease di ruang HCU Bedah Bougenville Rumah
Sakit Umum Pusat Fatmawati.
b. Tujuan Khusus
1. Mahasiswa mampu menjelaskan masalah keperawatan yang di
hadapi klien
2. Mahasiswa mampu melakukan pengkajian terhadap masalah
yang terjadi pada klien
3. Mahasiswa mampu menentukan pohon masalah pada klien
4. Mahasiswa mampu menentukan diagnosa prioritas pada klien
5. Mahasiswa mampu merencanakan tindakan keperawatan yang
tepat bagi klien
6. Mahasiswa mampu memberikan intervensi dan implementasi
yang tepat untuk klien
7. Mahasiswa mampu menuliskan catatan perkembangan klien
8. Mahasiswa mampu menuliskan dokumentasi yang telah
diberikan kepada klien.
D. Manfaat
1. Institusi Pendidikan

2. Sebagai tambahan informasi dan pedoman bagi pembuatan makalah atau


penulisan berikutnya khususnya pada asuhan keperawatan klien dengan
Chronic Kidney Disease di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati
a. Sebagai bahan masukan yang diperlukan dalam pelaksanaan praktik
pelayanan keperawatan khususnya keperawatan medikal bedah pada
klien Chronic Kidney Disease.
b. Sebagai bahan pertimbangan oleh pihak rumah sakit untuk membuat
kebijakan dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan asuhan
keperawatan pada klien Chronic Kidney Disease.
3. Penulis
Sebagai tambahan pengetahuan tentang asuhan keperawatan klien
dengan Chronic Kidney Disease.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Chronic Kidney Disease (CKD)


A. Anatomi Fisiologi
Secara anatomi, kedua ginjal terletak pada sisi dari kolumna tulang
belakang antara T12 dan L3. Ginjal kiri terletak agak lebih superior dibanding
ginjal kanan. Permukaan anterior ginjal kiri diselimuti oleh lambung,
pancreas, jejunum, dan sisi fleksi kolon kiri. Permukaan superior setiap ginjal
terdapat kelenjar adreanal (Muttaqin, 2011).
Menurut Smeltzer (2008), organ ini terbungkus oleh jaringan ikat tipis
yang dikenal sebagai kapsula renis. Disebelah anterior, ginjal dipisahkan dari
kavum abdomen dan isinya oleh lapisan peritoneum. Di sebelah posterior,
organ tersebut dilindungi oleh dinding torak bawah. Darah dialirkan ke dalam
setiap ginjal melalui arteri renalis dan keluar dari dalam ginjal melalui vena
renalis. Arteri renalis berasal dari aorta abdominalis dan vena renalis
membawa darah kembali ke dalam vena kava inferior. Ginjal dengan efisien
dapat membersihkan bahan limbah dari dalam darah dan fungsi ini bisa
dilaksanakannya karena aliran darah yang melalui ginjal jumlahnya sangat
besar, 25% dari curah jantung.
Bagian unit fungsional terkecil dari ginjal adalah nefron. Ada sekitar 1
juta nefron pada setiap ginjal di mana apabila dirangkai akan mencapai
panjang 145 km (85 mil). Ginjal tidak dapat membentuk nefron baru, oleh
karena itu pada keadaan trauma ginjal atau proses penuaan akan terjadi
penurunan jumlah nefron secara bertahap di mana jumlah nefron yang
berfungsi akan menurun sekitar 10% setiap 10 tahun, jadi pada usia 80 tahun
jumlah nefron yang berfungsi 40% lebih sedikit daripada usia 40 tahun.
Nefron terdiri atas glomerulus yang akan dilalui sejumlah cairan untuk
difiltrasi dari darah dan tubulus yang panjang di mana cairan yang difiltrasi
diubah menjadi urine dalam perjalanannya menuju pelvis ginjal (Muttaqin,
2011).

(Sumber: Anatomi Ginjal dan Cairan Tubuh, 2009)

Kecepatan ekskresi berbagai zat dalam urine menunjukkan jumlah


ketiga proses ginjal yaitu filtrasi glomerulus, reabsorpsi zat dari tubulus renal
ke dalam darah, dan sekresi zat dari darah ke tubuluus renal. Pembentukan
urine dimulai dengan filtrasi sejumlah besar cairan yang bebas protein dari
kapiler glomerulus ke kapsula bowmen. Kebanyakan zat dalam plasma,
kecuali untuk protein, difiltrasi secara bebas sehingga konsentrasinya pada
filtrat glomerulus dalam kapsula bowmen hampir sama dengan dalam plasma.
Ketika cairan yang telah difiltrasi ini meninggalkan kapsula bowmen dan
mengalir melewati tubulus, cairan diubah oleh reabsorpsi air dan zat terlarut
spesifik yang kembali ke dalam darah atau oleh sekresi zat – zat lain dari
kapiler peritubulus ke dalam tubulus. Kemudian disekresi dari peritubulus ke
epitel tubulus dan menuju cairan tubulus. Sekresi merupakan proses penting
sebab filtrasi tidak mengeluarkan seluruh material yang dibuang dari plasma.

(Ginjal dan Neufron. Sumber: Fisiologi dan Cairan Tubuh, 2009)


Menurut Nursalam (2009), ureter merupakan saluran retroperitoneum
yang menghubungakan ginjal dengan kandung kemih. Kandung kemih
berfungsi sebagai penampung urine. Organ ini berbentuk seperti buah pir atau
kendi. Kandung kemih terletak di dalam panggul besar, di depan isi lainnya,
dan di belakang simpisis pubis. Sebagian besar dinding kandung kemih
tersusun dari otot polos yang dinamakan muskulus detrusor. Kontraksi otot ini
terutama berfungsi untuk mengosongkan kandung kemih pada saat buang air
kecil (urinasi).
Uretra muncul dari kandung kemih, pada laki-laki uretra berjalan
lewat penis dan pada wanita bermuara tepat di sebelah anterior vagina. Pada
laki-laki, kelenjar prostat yang terletak tepat di bawwah leher kandung kemih
mengelilingi uretra di sebelah posterior dan lateral. Sfingter urinarius eksterna
merupakan otot volunter yang bulat untuk mengendalikan proses awal urinasi
(Smeltzer, 2002).
Menurut Smeltzer (2008), system urinarius secara fisiologis terdapat
pada fungsi utama ginjal yaitu mengatur cairan serta elektrolit dan komposisi
asam basa cairan tubuh, mengeluarkan produk akhir metabolik dari dalam
darah dan mengatur tekanan darah. Di bawah ini beberapa fungsi dari ginjal
antara lain adalah sebagai berikut:

1. Pengaturan ekskresi asam

Katabolisme atau pemecahan protein meliputi produksi senyawa-senyawa


yang bersifat asam, khususnya asam fosfat dan sulfat. Disamping itu, bahan
yang asam akan dikonsumsi dengan jumlah tertentu setiap harinya. Berbeda
dengan CO2, bahan ini merupakan asam non-atsiri dan tidak dapat dieliminasi
lewat paru. Karena akumulasinya dalam darah akan menurunkan nilai PH
(bersifat lebih asam) dan menghambat fungsi sel, maka asam ini harus
diekskresikan ke dalam urin. Seseorang dengan fungsi ginjal yang normal
akan mengekskresikan kurang lebih 70 mEq asam setiap harinya. Ginjal dapat
mngeksresikan sebagian asam ini secaralangsung ke dalam urin sehingga
mencapai kadar yang akan menuunkan nilai pH urin sampai 4,5 yaitu 1000
kali lebih asam daripada darah.
Biasanya lebih banyak asam yang harus dieliminasi dari dalam tubuh jika
dibandingkan dengan jumlah yang dapat diekskresikan langsung sebagai asam
bebas dalam urin. Pekerjaan ini dilaksanakan melalui ekskresi renal asam
yang terikat pada zat pendapar kimiawi. Asam (H+) disekresikan oleh sel-sel
tubulus ginjal ke dalam filtrat dan disini dilakukan pendaparan terutama oleh
ion-ion fosfat serta amonia (ketika didapar dengan asam, amonia akan
berubah menjadi amonium). Fosfat terdapat dalam filtrat glomerulus dan
amonia dihasilkan oleh sel-sel tubulus ginjal serta disekresikan ke dalam
cairan tubuler. Melalui proses pendaparan, ginjal dapat mngekskresikan
sejumlah besar asam dalam bentuk yang terikat tanpa menurunkan lebih lanjut
nilai pH urin.
2. Pengaturan ekskresi elektrolit
1) Natrium

Jumlah elektrolit dan air yang harus dieksresikan lewat


ginjal setiap harinya sangat bervariasi menurut jumlah yang
dikonsumsi. Seratus delapan puluh liter filtrat yang terbentuk oleh
glomerulus setiap harinya mengandung sekitar 1100 gr natrium
klorida. Seluruh elektrolit dan air kecuali 2 liter air dan 6 hingga 8
gram natrium klorida, secara normal direabsorbsi oleh ginjal. Air
dan filtrat mengikuti natrium yang direabsorbsi untuk
mempertahankan keseimbangan osmotik. Kemudian air, natrium
klorida, elektrolit lain dan produk limbah diekskresikan sebagai
urin. Jadi, lebih dari 99% air dan natrium yang disaring pada
glomerulus direabsorbsi ke dalam darah pada saat urin
meninggalkan tubuh. Dengan mengatur jumlah natrium yang
direabsorbsi (dan dengan demikian air) ginjal dapat mengatur
volume cairan tubuh.
(1) Jika natrium diekskresikan dalam jumlah yang melebihi jumlah
natrium yang dikonsumsi maka pasien akan mengalami
dehidrasi.
(2) Jika kalium dieksresikan dalam jumlah yang kurang dari
jumlah kalium yang dikonsumsi pasien akan menahan cairan.
Pengaturan jumlah natirum yang dieksresikan tergantung
pada aldosteron yatu hormon yang disintesis dan dilepas oleh
korteks adrenal. Dengan terjadinya peningkatan kadar aldosteron
dalam darah, jumlah natrium yang diekskresikan ke dalam urin
menjadi lebih sedikit mengingat aldoteron meningkatkan
reabsorbsi natrium dalam ginjal.
Pelepasan aldoteron dari korteks adrenal terutama
dikendalikan oleh angiotensin yang merupakan hormon peptida
yang dibuat dalam hati dan diaktifkan dalam paru. Kadar
angiotensin lebih lanjut dikendalikan oleh renin, yaitu hormon
yang dilepaskan dari sel-sel ginjal. Sistem yang kompleks ini akan
diaktifkan ketika tekanan di arteriol renal turun hingga di bawah
nilai normal. Sistem yang kompleks ini akan diaktifkan ketika
tekanan dalam arteriol renal turun hingga di bawah normal seperti
yang terjadi pada keadaan syok dan dehidrasi. Pengaktivan sistem
ini akan menimbulkan efek peningkatan retensi air dan
peningkatan volume cairan intravaskuler. Hormon
adrenokortikotropik juga menstimulasi sekresi aldosteron tanpa
tergantung pada perubahan cairan.
2) Kalium

Elektrolit lain yang konsentrasinya dalam cairan tubuh


diatur oleh ginjal adalah kalium, yaitu ion dengan jumlah yang
besar di dalam sel. Ekskresi kalium oleh ginjal akan meningkat
seiring dengan meningkatnya kadar aldosteron sehingga berbeda
dengan efek aldosteron pada ekskresi natrium. Retensi kalium
merupakan akibat yang paling fatal dari gagal ginjal.
3. Pengaturan ekskresi air

Pengaturan jumlah air yang diekskresikan juga merupakan fungsi ginjal


yang penting. Akibat asupan air atau cairan yang besar, urin yang encer harus
diekskresikan dalm jumlah yang besar. Sebaliknya, jika asupan cairannya
sedikit, urin yang akan diekskresikan menjadi lebih pekat.
1) Osmolalitas
Derajat relatif pengenceran atau pemekatan urin dapat diukur
dalam pengertian osmolailtas. Istilah ini mrencerminkan jumlah
partikel (elektrolit dan molekul lainnya) yang larut dalam urin. Filtrat
dalam kapiler glomerulus normalnya memiliki osmolalitas yang sama
dengan darah dengan nilai kurang lebih 300 mOsm/L (300 mmol/L).
Ketika filtrat melewati tubulus dan saluran pengumpul osmolalitasnya
dapat berkisar dari 50-1200 mOsm/L yang mencerminkan kemampuan
pengenceran dan pemekatan yang maksimal dari ginjal.
Osmolalitas spesimen urin dapat diukur. Dalam pengukuran
osmolalitas urin, yang disebut larutan adalah komponen air dalam urin
dan partikelnya yaitu elektrolit serta produk akhir metabolisme.
Apabila individu mengalami dehidrasi atau kehilangan cairan maka
dalam urin biasanya akan terdapat lebih sedikit air dan secara
proporsional lebih banyak partikel (yang menunjukkan osmolalitas
yang tinggi) yang membuat urin menjadi lebih pekat. Kalau seseorang
mengekskresikan air dengan jumlah yang besar ke dalam urin, maka
partikel-partikel tersebut akan diencerkan dan urin akan tampak encer.
Substansi tertentu dapat mengubah volume air yang
diekskresikan dan dinamakan sebagai substansi yang osmotik-aktif.
Apabila substansi ini tersaring, substansi tersebut akan menarik air
lewat glomerulus serta tubulus dan meningkatkan volume air. Glukosa
dan protein merupakan dua contoh molekul yang osmotik aktif.
Osmolalitas urin yang normal adalah 30-1100 mOsm/kg; sesudah
terjadi retensi cairan selama 12 jam, osmolalitas urin biasanya akan
berkisar dari 500 hingga 850 mOsm/kg. Kisaran nilai-nilai normal
yang luas ini membuat pemeriksaan tersebut hanya berarti dalam
situasi ketika kemampuan ginjal untuk memekatkan dan
mengencerkan terganggu.
2) Berat jenis urin
Berat jenis urin tidak begitu tepat dibandingkan osmolalitas
urin dan mencerminkan kuantitas maupun sifat partikel. Oleh karena
itu protein, glukosa dan bahan kontras yang disuntikkan secara
intravena akan memberikan pengaruh yang lebih besar pada berat jenis
daripada osmolalitas. Berat jenis normal berkisar dari 1,015 – 1,025
(bila asupannya normal).
3) Hormon Antidiuretik (ADH)
Pengaturan ekskresi air dan pemekatan urin dilaksanakan di
dalam tubulus dengan memodifikasi jumlah air yang direabsorbsi yang
berhubungan dengan reabsorbsi elektrolit. Filtrat glomerulus pada
hakekatnya memiliki komposisi elektrolit yan g sama seperti dalam
plasma darah tanpa protein. Jumlah air yag direabsorbsi berada di
bawah kendali hormon antidiuretik (ADH/ vasopresor).
ADH merupakan hormon yang disekresikan oleh bagian
posterior kelenjar hipofisis sebagai respon terhadap perubahan
osmolalitas darah. Dengan menurunnya asupan air, osmolalitas darah
cenderung meningkat dan menstimulasi pelepasan ADH. Kemudian
ADH bekerja pada ginjal untuk meningkatkan reabsorbsi air dengan
demikian mengambalikan osmolalitas darah ke keadaan normal.
Dengan asupan air yang berlebihan sekresi ADH oleh kelenjar
hipofisis akan ditekan dan dengan demikian, lebih sedikit air yang
akan direabsorbsi oleh tubulus ginjal. Situasi yang terakhir ini
menyebabkan volume air meningkat (diuresis). Kehilangan
kemampuan untuk memekatkan dan mengencerkan urin merupakan
manifestasi penyakit ginjal yang paling dini. Pada keadaan ini akan
diekresikan urin yang encer dengan berat jenis yang tetap atau
osmolalitas yang tetap.
4. Otoregulasi tekanan darah

Pengaturan atau regulasi tekanan darah juga merupakan salah


satu fungsi sistem renal. Suatu homron yang dinamakan renin
disekresikan oleh sel-sel jukstaglomerular ketika tekanan darah turun.
Suatu enzim akan mengubah renin menjadi angiotensin I yang
kemudian diubah menjadi angiotensin II, yaitu senyawa
vasokonstriktor paling kuat. Vasokonstriksi menyebabkan peningkatan
tekanan darah. Aldosteron disekresikan oleh korteks adrenal sebagai
reaksi terhadap stimulasi oleh kelenjar hipofisis dan pelepasan ACTH
sebagai reaksi terhadap perfusi yang jelek atau peningkatan
osmolalitas serum. Akibatnya adalah peningkatan tekanan darah.

B. Definisi
Chronic kidney disease (CKD) atau penyakit ginjal kronis
didefinisikan sebagai kerusakan ginjal untuk sedikitnya 3 bulan dengan atau
tanpa penurunan glomerulus filtration rate (GFR) (Nahas & Levin,2015).
CKD atau gagal ginjal kronis (GGK) didefinisikan sebagai kondisi dimana
ginjal mengalami penurunan fungsi secara lambat, progresif, irreversibel, dan
samar (insidius) dimana kemampuan tubuh gagal dalam mempertahankan
metabolisme, cairan, dan keseimbangan elektrolit, sehingga terjadi uremia
atau azotemia (Smeltzer, 2014)
Pengertian lain dari Chronic Kidney Disease (CKD) adalah suatu
kondisi kerusakan ginjal yang terjadi selama tiga bulan atau lebih, yang
dimanifestasikan dengan abnormalitas struktural atau fungsional ginjal,
dengan penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) hingga kurang dari 60 ml
per menit/1,73m2 disertai dengan abnormalitas hasil pemeriksaan
laboratorium darah, urine atau pemeriksaan imaging dan kondisi pasien
semakin memburuk.

C. Klasifikasi

Klasifikasi gagal ginjal kronis berdasarkan derajat (stage) LFG (Laju


Filtration Glomerulus) dimana nilai normalnya adalah 125 ml/min/1,73m2
dengan rumus Kockroft – Gault sebagai berikut :

Derajat Penjelasan LFG (ml/mn/1.73m2)

1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal ≥ 90


atau ↑
2 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ atau 60-89
ringan

3 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ atau 30-59


sedang

4 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ atau 15-29


berat

5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis

D. Etiologi
Diabetes dan hipertensi baru-baru ini telah menjadi etiologi tersering
terhadap proporsi GGK di US yakni sebesar 34% dan 21%. Sedangkan
glomerulonefritis menjadi yang ketiga dengan 17%. Infeksi nefritis
tubulointerstitial (pielonefritis kronik atau nefropati refluks) dan penyakit
ginjal polikistik masing-masing 3,4%. Penyebab yang tidak sering terjadi
yakni uropati obstruktif, lupus eritomatosus dan lainnya sebesar 21 %. (US
Renal System, 2010 dalam Price & Wilson, 2016). Penyebab gagal ginjal
kronis yang menjalani hemodialisis di Indonesia tahun 2000 menunjukkan
glomerulonefritis menjadi etiologi dengan prosentase tertinggi dengan
46,39%, disusul dengan diabetes melitus dengan 18,65%, obstruksi dan
infeksi dengan 12,85%, hipertensi dengan 8,46%, dan sebab lain dengan
13,65% (Sudoyo, 2016).
E. Faktor Resiko
Faktor Resiko Chronic Kidney Disease Terdapat beberapa faktor
resiko terjadinya chronic kidney disease. Faktor tersebut yaitu diabetes,
hipertensi, riwayat keluarga dengan penyakit ginjal, penyakit kardiovaskular,
infeksi HIV, riwayat batu ginjal, usia, aktifitas fisik rendah, merokok, dan
obesitas.
1. Diabetes
Diabetes dapat menyebabkan nefropati sebagai komplikasi
mikrovaskuler. Diabetes nefropati merupakan glomerulopati yang paling
banyak terjadi, dan merupakan penyebab pertama dari end stage renal
disease atau gagal ginjal tahap akhir di USA dan Eropa (Molitch et al,
2004). Selain itu United States Renal Data System (2009) menunjukkan
bahwa sekitar 50% pasien dengan gagal ginjal tahap akhir adalah
penderita diabetes. Penelitian dari NHAES III, HUNT II, UK cross-
sectional study dan longitudinal study menunjukkan bahwa diabetes
berhubungan secara signifikan meningkatkan resiko CKD (The National
Collaborating Centre for Chronic Conditions, 2008).
2. Hipertensi
Hipertensi merupakan penyebab kedua dari end stage renal disease
atau gagal ginjal tahap akhir. Sebagai contoh, berdasarkan United States
Renal Data System (2009), sekitar 51-63% dari seluruh pasien dengan
CKD mempunyai hipertensi (Novoa et al, 2010). Pada empat penelitian
lain di Australia, Washington, US menunjukkan orang dengan hipertensi
mempunyai resiko yang lebih besar untuk berkembang menjadi CKD
dibandingkan orang dengan normotensi (The National Collaborating
Centre for Chronic Conditions, 2008). Hipertensi menyebabkan glomerulo
nefropati dengan menurunkan aliran darah ke renal yang menjadikan
arteriolar vaskulopati, obstruksi vaskular dan penurunan densitas vaskular.
Kejadian ini akan dikompensasi hingga tidak lama akan terjadi penurunan
GFR.
3. Penyakit Kardiovaskular
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Elsayed et al pada tahun
2005, orang dengan penyakit kardiovakular telah menunjukkan
peningkatan resiko secara signifikan pada penurunan fungsi ginjal
dibanding dengan orang tanpa penyakit kardiovaskular. (The National
Collaborating Centre for Chronic Conditions, 2008). Penyakit
kardiovaskular menyebabkan menurunnya aliran darah ke ginjal.
Penurunan perfusi renal mengaktivasi sistem renin-angiotensinaldosteron
yang menyebabkan vasokonstriksi alteriol dan meningkatkan tekanan
glomerulus sehingga dapat menjadikan nefron rusak. Kerusakan nefron ini
berdampak pada penurunan laju filtrasi glomerulus.
4. Riwayat Batu Ginjal
Gillen et al (2005) menggunakan the Third National Health and
Nutrition Examination Survey (NHANES III) pada populasi di USA
mendapatkan data bahwa riwayat batu ginjal dapat menurunkan fungsi
ginjal pada orang dengan berat badan berlebih (overweight).
5. Usia
Pada empat cross sectional study oleh Drey et al. (2003), Coresh et
al. (2003), Hallan et al. (2006), Chadban et al. (2003) menunjukkan bahwa
lansia (usia di atas 65 tahun) memiliki resiko lebih besar eGFR
<60ml/menit/1,73m2 dibandingkan usia muda (The National
Collaborating Centre for Chronic Conditions, 2008).
6. Merokok
Efek merokok pada penurunan fungsi ginjal telah diteliti melalui
penelitian kohort dan case control study. Pada penelitian kohort oleh Orth
et al. (2005) ditemukan bahwa kelompok perokok mengalami penurunan
fungsi ginjal sebanyak 20% setelah 5 tahun dibandingkan dengan bukan
perokok. Kejadian proteinuria meningkat pada kedua kelompok perokok
dan bukan perokok, tetapi tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada
kedua grup (The National Collaborating Centre for Chronic Conditions,
2008). Pada penelitian kontrol kasus oleh Orth et al. (1998) menunjukkan
bahwa perokok secara signifikan menunjukkan proses menjadi gagal
ginjal tingkat akhir (The National Collaborating Centre for Chronic
Conditions, 2008). Tiga penelitian lain yaitu Haroun, et al. (2003), Stengel
et al. (2003), Retnakaran et al. (2006) juga menunjukkan bahwa perokok
secara signifikan mempunyai resiko lebih tinggi untuk mendapatkan
penyakit gagal ginjal (The National Collaborating Centre for Chronic
Conditions, 2008).
F. Patofisiologi

Secara ringkas patofisiologi gagal ginjal kronis dimulai pada fase awal
gangguan, keseimbangan cairan, penanganan garam, serta penimbunan zat-zat
sisa masih bervariasi dan bergantung pada bagian ginjal yang sakit. Sampai
fungsi ginjal turun kurang dari 25% normal, manifestasi klinis gagal ginjal
kronik mungkin minimal karena nefron-nefron sisa yang sehat mengambil alih
fungsi nefron yang rusak. Nefron yang tersisa menigkatkan kecepatan filtrasi,
reabsorpsi, dan sekresinya, serta mengalami hipertrofi. Seiring dengan makin
banyaknya nefron yang mati, maka nefron yang tersisa menghadapi tugas
yang semakin berat sehingga nefron-nefron tersebut ikut rusak dan akhirnya
mati. Sebagian dari siklus kematian ini tampaknya berkaitan dengan tuntutan
pada nefron-nefron yang ada untuk meningkatkan reabdorpsi protein. Pada
saat penyusutan progresif nefron-nefron, terjadi pembentukan jaringan parut
dan aliran darah ginjal akan berkurang yang menyebabkan penurunan fungsi
renal (Muttaqin, 2011).
Fungsi renal menurun karena produk akhir metabolism protein
tertimbun dalam darah, sehingga mengakibatkan terjadinya uremia dan
memengaruhi seluruh system tubuh. Semakin banyak timbunan produksi
sampah maka gejala semaklin berat. Gangguan clearance renal terjadi akibat
penurunan jumlah glomerulus yang berfungsi. Penurunan laju filtrasi
glomerulus dideteksi dengan memeriksa clearance kreatinin urin tamping 24
jam yang menunjukkan penurunan clearance kreatinin dan peningkatan kadar
kreatinin serum (Nursalam, 2009).
Selain itu, kadar nitrogen urea darah (BUN) biasanya meningkat.
Kreatinin serum merupakan indicator yang paling sensitive dari fungsi renal
karena substansi ini diproduksi seacra konstan oleh tubuh. BUN tidak hanya
dipengaruhi oleh penyakit renal, tetapi juga oleh masukan protein dalam diet,
katabolisme (jaringan dan luka RBC), dan medikasi seperti steroid (Smeltzer,
2008).
Menurut Muttaqin (2011), terdapat beberapa respons gangguan pada GGK :

1. Ketidakseimbangan cairan

Mula-mula ginjal kehilangan fungsinya sehingga tidak mampu


memekatkan urin (hipothenuria) dan kehilangan airan yang berlebihan
(polioria). Hipothenuria tidak disebabkan atau berhubungan dengan
penuruna jumlah nefron, tetapi oleh peningkatan beban zat tiap nefron.
Hal terjadi karena keutuhan nefron yang membawa zat tersebut dan
kelebihan air untuk nefron-nefron tersebut tidak dapat berfungsi lama.
Terjadi osmotic diuretic, menyebabkan seseorang menjadi dehidrasi.
Jika jumlah nefron yang tidak berfungsi meningkat, maka ginjal tidak
mampu menyaring urin (isothenuria). Pada tahap ini glomerulus
menjadi kaku dan plasma tidak dapat difilter dengan mudah melalui
tubulus, maka akan terjadi kelebihan cairan dengan retensi air dan
natrium.
2. Ketidakseimbangan natrium

Ketidakseimbangan natrium merupakan masalah yang serius di mana


ginjal dapat mengeluarkan sedikitnya 20-30 mEq setiap hari atau dapat
meningkat sampai 200 mEq per hari. Variasi kehilangan natrium
berhubungan dengan intact nephron theory. Dengan kata lain, bila
terjadi kerusakan nefron, maka tidak terjadi pertukaran natrium.
Nefron menerima kelebihan natrium sehingga menyebabkan GFR
menurun dan dehidrasi. Kehilangan natrium lebih meningkat pada
gangguan gastrointestinal, terutama muntah dan diare. Keadaan ini
memperburuk hiponatremia dan dehidrasi. Pada GGK yang berat
keseimbangan natrium dapat dipertahankan meskipun terjadi
kehilangan yang fleksibel pada nilai natrium. Orang sehat dapat pula
meningkat di atas 500 mEq/hari. Bila GFR menurun di bawah 25-30
ml/menit, maka eksresi natrium kurang dari 25 mEq/hari, maksimal
eksresinya 150-200 mEq/hari. Pada keadaan ini natrium dalam diet
dibatasi yaitu sekitar 1-1,5 gram/hari.
3. Ketidakseimbangan kalium

Jika keseimbangan cairan dan asidosis metabolic terkontrol, maka


hyperkalemia jarang terjadi sebelum stadium IV. Keseimbangan
kalium berhubungan dengan sekresi aldosterone. Selama urin output
dipertahankan, kadar kalium biadanya terpelihara. Hyperkalemia
terjadi karena pemasukan kalium yang berlebihan, dampak
pengobatan, hiperkatabolik (infeksi), atau hiponatremia. Hyperkalemia
juga merupakan karakteristik dari tahap uremia.
Hypokalemia terjadi pada keadaan muntah atau diare berat, pada
penyakit tubuler ginjal, dan penyakit nefron ginjal, di mana kondisi ini
akan menyebabkan ekskresi kalium meningkat. Jika hypokalemia
persisten, kemungkinan GFR menurun dan produksi NH3 meningkat;
HCO3 menurun dan natrium bertahan.
4. Ketidakseimbangan asam basa

Asidosis metabolic terjadi karena ginjal tidak mampu mengekskresikan


ion hydrogen untuk menjaga pH darah normal. Disfungsi renal tubuler
mengakibatkan ketidakmampuan pengeluaran ion H dan pada
umumnya penurunan ekskresi H+ sebanding dengan penurunan GFR.
Asam yang secara terus-menerus dibentuk oleh metabolisme dalam
tubuh dan tidak difiltrasi secara efektif, NH3 menurun dan sel tubuler
tidak berfungsi. Kegagalan pembentukan bikarbonat memperberat
ketidakseimbangan. Sebagian kelebihan hydrogen dibuffer oleh
mineral tulang. Akibatnya asidosis metabolic memungkinkan
terjadinya osteodistrofi.
5. Ketidakseimbangan magnesium
Magnesium pada tahap awal GGK adalah normal, tetapi menurun
secara progresif dalam ekskresi urin sehingga menyebabkan
akumulasi. Kombinasi penurunan ekskresi dan intake yang berlebihan
pada hipermagnesiema dapat mengakibatkan henti napas dan jantung.
6. Ketidakseimbangan kalsium dan fosfor

Secara noirmal kalsium dan fosfor dipertahankan oleh paratiroid


hormone yang menyebabkan ginjal mereabsorpsi kalsium, mobilisasi
kalsium dari tulang, dan depresi reabsorpsi tubuler dari fosfor. Bila
fungsi ginjal menurun 20-25% dari normal, hiperfosfatemia dan
hipokalsemia terjadi sehingga timbul hiperparathyroidisme sekunder.
Metabolism vitamin D terganggu dan bila hiperparathyroidisme
berlangsung dalam waktu lama dapat mengakibatkan osteorenal
dystrophy.
7. Anemia

Penurunan Hb disebabkan oleh hal-hal berikut :


a. Keruskan produksi eritropoetin
b. Masa hidup sel darah merah pendek karena perubahan plasma
c. Peningkatan kehilangan sel darah merah karena ulserasi
gastrointestinal, dialysis, dan pengambilan darah untuk
pemeriksaan laboratorium.
d. Intake nutrisi tidak adekuat
e. Defisiensi folat
f. Defisiensi iron/zat besi
g. Peningkatan hormone paratiroid merangsang jaringan fibrosa atau
osteoitis fibrosis, menyebabkan produksi sel darah di sumsum
menurun
Menurut Corwin (2000), kegagalan ginjal membentuk eritropoietin
dalam jumlah yang adekuat sering kali menimbulkan anemia dan
keletihan akibat anemia berpengaruh buruk pada kualitas hidup. Selain
itu, anemia kronis menyebabkan penurunan oksigensi jaringan di
seluruh tubuh dan mengaktifkan refleks-refleks yang ditujukan untuk
meningkatkan curah jantung guna memperbaiki oksigenasi. Akhirnya,
perubahan tersebut merangsang individu yang menderita gagal ginjal
mengalami gagal jantung kongestif sehingga gagal ginjal kronis
menjadi satu faktor resiko yang terkait dengan penyakit jantung.
8. Ureum kreatinin

Urea yang merupakan hasil metabolic protein meningkat


(terakumulsai) . kadar BUN bukan indicator yang tepat dari penyakit
ginjal sebab peningkatan BUN dapat terjadi pada penurunan GFR dan
peningkatan intake protein. Penilaian kreatinin serum adalah indicator
yang lebih pada gagal ginjal sebab kreatinin diekskresikan sama
dengan jumlah yang diproduksi tubuh.
G. Manifestasi Klinis
Menurut Brunner & Suddart (2002) setiap sistem tubuh pada gagal ginjal
kronis dipengaruhi oleh kondisi uremia, maka pasien akan menunjukkan
sejumlah tanda dan gejala. Keparahan tanda dan gejala bergantung pada
bagian dan tingkat kerusakan ginjal, usia pasien dan kondisi yang mendasari.
Tanda dan gejala pasien gagal ginjal kronis adalah sebagai berikut:
1) Manifestasi kardiovaskuler
Mencakup hipertensi (akibat retensi cairan dan natrium dari aktivasi
sistem renin-angiotensin-aldosteron), pitting edema (kaki, tangan,
sakrum), edema periorbital, Friction rub perikardial, pembesaran vena
leher.
2) Manifestasi dermatologi
Warna kulit abu-abu mengkilat, kulit kering, bersisik, pruritus,
ekimosis, kuku tipis dan rapuh, rambut tipis dan kasar.
3) Manifestasi Pulmoner
Krekels, sputum kental dan liat, napas dangkal, pernapasan Kussmaul
4) Manifestasi Gastrointestinal
Napas berbau amonia, ulserasi dan pendarahan pada mulut, anoreksia,
mual, muntah, konstipasi dan diare, pendarahan saluran
gastrointestinal
5) Manifestasi Neurologi
Kelemahan dan keletihan, konfusi, disorientasi, kejang, kelemahan
tungkai, panas pada telapak kaki, perubahan perilaku
6) Manifestasi Muskuloskeletal
Kram otot, kekuatan otot hilang, fraktur tulang, foot drop
7) Manifestasi Reproduktif
Amenore dan atrofi testikuler

H. Komplikasi
Seperti penyakit kronis dan lama lainnya, penderita CKD akan
mengalami beberapa komplikasi. Komplikasi dari CKD menurut Smeltzer dan
Bare (2010) serta Suwitra (2016) antara lain adalah:
1. Hiperkalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, kata
bolisme, dan masukan diit berlebih.
2. Perikarditis, efusi perikardial, dan tamponad jantung akibat retensi
produk sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem
renin angiotensin aldosteron.
4. Anemia akibat penurunan eritropoitin.
5. Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar
kalsium serum yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal
dan peningkatan kadar alumunium akibat peningkatan nitrogen dan ion
anorganik.
6. Uremia akibat peningkatan kadar uream dalam tubuh.
7. Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebihan.
8. Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.
9. Hiperparatiroid, Hiperkalemia, dan Hiperfosfatemia.
I. Pemeriksaan Penunjang

Dalam Mutaqin (2011) disebutkan ada pengkajian diagnostik pada pasien


dengan GGK yaitu :

1. Laboratorium

a. Laju endap darah : meninggi yang diperberat oleh adanya anemia dan
hipoalbuminemia. Anemia normositer normokrom dan jumlah
retikulosit yang rendah.
b. Ureum dan kreatinin : meninggi, biasanya perbandingan antara ureum
dan kreatinin kurang lebih 30 : 1. Ingat perbandingan bisa meninggi
oleh karena perdarahan saluran cerna, demam, luka bakar luas,
pengobatan steroid, dan obstruksi saluran kemih. Perbandingan ini
berkurang : ureum lebih kecil dari kreatinin pada diet rendah protein,
dan tes klirens kreatinin yang menurun.
c. Hiponatremi : umumnya karena kelebihan cairan.

d. Hiperkalemia : biasanya terjadi pada gagal ginjal lanjut bersama


dengan menurunnya diuresis.
e. Hipokalsemia dan hiperfosfatemia : terjadi karena berkurangnya
sintesis vitamin D pada GGK.
f. Phosphate alkalin meninggi akibat gangguan metabolisme tulang ,
terutama isoenzim fosfatase lindi tulang.
g. Hipoalbuminemia dan hipokolesterolemia, umumnya disebabkan
gangguan metabolisme dan diet rendah protein.
h. Peningkatan gula darah akibat gangguan metabolisme karbohidrat
pada gagal ginjal (resistensi terhadap pengaruh insulin pada jaringan
perifer).
i. Hipertrigliserida, akibat gangguan metabolisme lemak, disebabkan
peningkatan hormon insulin dan menurunnya lipoprotein lipase.
j. Asidosis metabolik dengan kompensasi respirasi menunjukkan Ph
yang menurun, BE yang menurun, PCO2 yang menurun, semuanya
disebabkan retensi asam-basa organik pada gagal ginjal.
2. Radiologi

a. Foto polos abdomen untuk menilai bentuk dan besar ginjal (adanya
batu atau adanya suatu obstruksi). Dehidrasi akan memperburuk
keadaan ginjal oleh sebab itu penderita diharapkan tidak puasa.
b. Intra Vena Pielografi (IVP) untuk menilai sistem pelviokalises dan
ureter. Pemeriksaan ini mempunyai resiko penurunan faal ginjal pada
keadaan tertentu misalnya usia lanjut, diabetes melitus dan nefropati
asam urat.

c. USG untuk menilai besar dan bentuk ginjal, tebal parenkim ginjal,
kepadatan parenkim ginjal, anatomi sistem pelviokalises, ureter
proksimal, kandung kemih dan prostat.
d. Renogram untuk menilai fungsi ginjal kanan dan kiri, lokasi dari
gangguan (vaskular, parenkim, ekskresi) serta sisa fungsi ginjal.
e. EKG untuk melihat kemungkinan: hipertrofi ventrikel kiri, tanda-tanda
perikarditis, aritmia, gangguan elektrolit (hiperkalemia).
J. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan keperawatan pada pasien dengan CKD dibagi tiga
yaitu:
a. Konservatif
 Dilakukan pemeriksaan lab. darah dan urin
 Observasi balance cairan
 Observasi adanya odema
 Batasi cairan yang masuk
b. Dialysis
 Peritoneal dialysis
Peritoneal Dialysis merupakan salah satu terapi
pengganti ginjal yang fungsinya sama dengan hemodialisis,
tetapi dengan metode yang berbeda. Peritoneal dialisis
adalah metode dialisis dengan bantuan membran
peritoneum (selaput rongga perut), jadi darah tidak perlu
dikeluarkan dari tubuh untuk dibersihkan dan disaring oleh
mesin dialysis.
Jenis Peritoneal Dialisis
1. APD (Automated Peritoneal Dialysis).
Merupakan bentuk terapi dialysis peritoneal
yang baru dan dapat dilakukan di rumah, pada
malam hari sewaktu tidur dengan menggunakan
mesin khusus yang sudah diprogram terlebih
dahulu.
2. CAPD (Continous Ambulatory Peritoneal
Dialysis). Bedanya tidak menggunakan mesin
khusus seperti APD. Dialisis peritoneal diawali
dengan memasukkan cairan dialisat (cairan
khusus untuk dialisis) ke dalam rongga perut
melalui selang kateter, lalu dibiarkan selama 4-6
jam.4,5
 Hemodialisis
Hemodialisis merupakan terapi untuk pasien gagal
ginjal tahap akhir. Metode ini menggantikan kerja yang
biasanya dijalankan ginjal, yaitu pembersihan darah dari
sisa metabolisme, zat toksik, dan pengeluaran timbunan air
dalam tubuh (Agoes, 2010).
Menurut Sukandar (2013) hemodialisaa dalah salah
satu terapi pengganti ginjal buatan dengan tujuan untuk
eliminasi sisa-sisa produk metabolisme (protein) dan
koreksi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
antara kompartemen darah dan diasillat melalui selaput
membran semipermeabel yang berperan sebagai ginjal
buatan.
c. Transplantasi Ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal
(anatomi dan faal). Pertimbangan program transplantasi ginjal,
yaitu:
a. Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih
seluruh (100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya
mengambil alih 70-80% faal ginjal alamiah.
b. Kualitas hidup normal kembali
c. Masa hidup (survival rate) lebih lama
d. Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama
berhubungan dengan obat imunosupresif untuk mencegah
reaksi penolakan
e. Biaya lebih murah dan dapat dibatasi (Dewi, 2016).

K. Pengkajian Fokus Keperawatan


a. Demografi.
Penderita CKD kebanyakan berusia diantara 30 tahun, namun ada juga
yang mengalami CKD dibawah umur tersebut yang diakibatkan oleh
berbagai hal seperti proses pengobatan, penggunaan obat-obatan dan
sebagainya. CKD dapat terjadi pada siapapun, pekerjaan dan lingkungan
juga mempunyai peranan penting sebagai pemicu kejadian CKD. Karena
kebiasaan kerja dengan duduk / berdiri yang terlalu lama dan lingkungan
yang tidak menyediakan cukup air minum / mengandung banyak
senyawa/ zat logam dan pola makan yang tidak sehat.
b. Riwayat penyakit yang diderita pasien sebelum CKD seperti DM,
glomerulo nefritis, hipertensi, rematik, hiperparatiroidisme, obstruksi
saluran kemih, dan traktus urinarius bagian bawah juga dapat memicu
kemungkinan terjadinya CKD.
c. Pola nutrisi dan metabolik.
Gejalanya adalah pasien tampak lemah, terdapat penurunan BB dalam
kurun waktu 6 bulan. Tandanya adalah anoreksia, mual, muntah, asupan
nutrisi dan air naik atau turun.
d. Pola eliminasi
Gejalanya adalah terjadi ketidak seimbangan antara output dan input.
Tandanya adalah penurunan BAK, pasien terjadi konstipasi, terjadi
peningkatan suhu dan tekanan darah atau tidak singkronnya antara
tekanan darah dan suhu.
e. Pengkajian fisik
a. Penampilan / keadaan umum.
Lemah, aktifitas dibantu, terjadi penurunan sensifitas nyeri. Kesadaran
pasien dari compos mentis sampai coma.
b. Tanda-tanda vital.
Tekanan darah naik, respirasi riet naik, dan terjadi dispnea, nadi
meningkat dan reguler.
c. Antropometri.
Penurunan berat badan selama 6 bulan terahir karena kekurangan nutrisi,
atau terjadi peningkatan berat badan karena kelebihan cairan.
d. Kepala.
Rambut kotor, mata kuning / kotor, telinga kotor dan terdapat kotoran
telinga, hidung kotor dan terdapat kotoran hidung, mulut bau ureum, bibir
kering dan pecah-pecah, mukosa mulut pucat dan lidah kotor.
e. Leher dan tenggorok.
Peningkatan kelenjar tiroid, terdapat pembesaran tiroid pada leher.
f. Dada
Dispnea sampai pada edema pulmonal, dada berdebar-debar. Terdapat
otot bantu napas, pergerakan dada tidak simetris, terdengar suara
tambahan pada paru (rongkhi basah), terdapat pembesaran jantung,
terdapat suara tambahan pada jantung.
g. Abdomen.
Terjadi peningkatan nyeri, penurunan pristaltik, turgor jelek, perut
buncit.
h. Genital.
Kelemahan dalam libido, genetalia kotor, ejakulasi dini, impotensi,
terdapat ulkus.
i. Ekstremitas.
Kelemahan fisik, aktifitas pasien dibantu, terjadi edema, pengeroposan
tulang, dan Capillary Refill lebih dari 1 detik.
j. Kulit.
Turgor jelek, terjadi edema, kulit jadi hitam, kulit bersisik dan mengkilat /
uremia, dan terjadi perikarditis.
ANALISA DATA

NO DATA PROLEM ETIOLOGI


1 S: Kelebihan volume cairan Penurunan fungsi ginjal
- Ortopnea
- Dispnea
O:
- Edema
- Berat badan meningkat dalam
waktu singkat
- Mepatomegali
- Oliguria
2 S: Pola nafas tidak efektif Hambatan upaya nafas
- Klien mengatakan nafasnya
masih sesak
O:
- Penggunaan alat bantu
pernafasan
- Ekspirasi memanjang
- Pola nafas abnormal
3 S: Kurang pengetahuan Kurang terpaparnya
- Tidak mengetahui jenis penyakit informasi kesehatan
yang diderita
O:
- Tidak mengetahui jenis penyakit
yang diderita
PRIORITAS DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan fungsi ginjal
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan Hambatan upaya nafas
3. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang terpaparnya informasi
NO Diagnosa Keperawatan Tujuan & KH Intervensi Keperawatan

1. Kelebihan volume cairan Tujuan: Fluid Management :


b.d penurunan fungsi ginjal Setelah dilakukan asuhan 1. Kaji status cairan ; timbang berat
keperawatan selama 1 x 24 jam badan,keseimbangan masukan dan haluaran,
volume cairan seimbang. turgor kulit dan adanya edema

Kriteria Hasil: 2. Batasi masukan cairan

NOC : Fluid Balance 3. Identifikasi sumber potensial cairan

 Terbebas dari edema, efusi, 4. Jelaskan pada pasien dan keluarga rasional
anasarka pembatasan cairan

 Bunyi nafas bersih,tidak adanya 5. Kolaborasi pemberian cairan sesuai terapi.


dipsnea Hemodialysis therapy
 Memilihara tekanan vena sentral, 1. Ambil sampel darah dan meninjau kimia darah
tekanan kapiler paru, output (misalnya BUN, kreatinin, natrium, pottasium,
jantung tingkat phospor) sebelum perawatan untuk

 Vital sign normal. mengevaluasi respon thdp terapi.

2. Rekam tanda vital: berat badan, denyut nadi,


pernapasan, dan tekanan darah untuk
mengevaluasi respon terhadap terapi.

3. Sesuaikan tekanan filtrasi untuk menghilangkan


jumlah yang tepat dari cairan berlebih di tubuh
klien.
4. Bekerja secara kolaboratif dengan pasien untuk
menyesuaikan panjang dialisis, peraturan diet,
keterbatasan cairan dan obat-obatan untuk
mengatur cairan dan elektrolit pergeseran antara
pengobatan

2 Pola nafas tidak efektif Setelah dilakukan asuhan Respiratory Monitoring


berhubungan dengan keperawatan selama 1 x 4 jam pola 1. Monitor rata – rata, kedalaman, irama dan usaha
Hambatan upaya nafas nafas adekuat. respirasi
Kriteria Hasil: 2. Catat pergerakan dada,amati kesimetrisan,
NOC : Respiratory Status penggunaan otot tambahan, retraksi otot

 Peningkatan ventilasi dan supraclavicular dan intercostal

oksigenasi yang adekuat 3. Monitor pola nafas : bradipena, takipenia,

 Bebas dari tanda tanda distress kussmaul, hiperventilasi, cheyne stokes

pernafasan 4. Auskultasi suara nafas, catat area penurunan /


tidak adanya ventilasi dan suara tambahan
 Suara nafas yang bersih, tidak ada
sianosis dan dyspneu (mampu Oxygen Therapy
mengeluarkan sputum, mampu 1. Auskultasi bunyi nafas, catat adanya crakles
bernafas dengan mudah, tidak ada 2. Ajarkan pasien nafas dalam
pursed lips) 3. Atur posisi senyaman mungkin
 Tanda tanda vital dalam rentang 4. Batasi untuk beraktivitas
normal
5. Kolaborasi pemberian oksigen

3 Kurang pengatahuan Setelah dilakukan tindakan 1. Mengkaji pengetahuan pasien dan keluarga
berhubungan dengan keperawatan selama 1x4 jam 2. Memberikan penjelasan tentang penyakit klien
kurang terpaparnya diharapkan ps dan keluarga
3. Menjelaskan prosedur tindakan yang akan
informasi mengetahui informasi kesehatan
dilakukan
pasien dengan kriteria hasil :
4. Menyediakan waktu untuk berdiskusi kepada
- Ps mengetahui jenis
keluarga pasien
penyakitnya
5. Menyediakan leaflet pasien gagal ginjal
- Ps mengetahui hal apa saja
6. Menjelasakan diit pasien gagal ginjal
yang harus dilakukan untuk
mengobati penyakitnya

- Ps tahu prosedur tindakan cuci


darah
BAB III
KASUS
A. Pengkajian
Pengkajian dilakukan pada tanggal 16 Desember 2019 di ruang HCU Bedah
RSUP Fatmawati. Pengkajian didapat melalui wawancara klien, keluarga dan
status klien.
a) Identitas
1. Identitas Klien
Nama : Tn. BI
Umur : 74 tahun 9 bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status Perkawinan : Duda
Pendidikan : Tamat Akademi
Pekerjaan : Pensiun
Suku : Jawa
No. RM : 01738461
Tanggal Masuk : 13 Desember 2019
Tanggal Pengkajian : 16 Desember 2019
Diagnosa Medis : CKD on HD
Alamat : Jl. Kp Baru Kebon Jeruk, Jakarta Barat
2. Identitas Penanggung Jawab
Nama : Sdr CY
Jenis Kelamin : Perempuan
Hubungan dengan klien : Anak
Alamat : Jl. Kp Baru Kebon Jeruk, Jakarta Barat

b) Status Kesehatan Saat ini


1. Alasan Kunjungan
Klien mengatakan sulit BAK ± 2 minggu SMRS, nyeri ketika BAK,
BAK sedikit-sedikit dan sering bolak-balik ke kamar mandi, sesak ± 3 hari
SMRS kemudian klien dibawa ke Rumah Sakit Harapan Kita dirawat
selama 2 hari. Dari hasil pemeriksaan terdapat masalah pada urologi
sehingga dirujuk ke Rumah Sakit Pelni dirawat selama 3 hari. Dari hasil
pemeriksaan USG ginjal diperoleh hasil gambaran parenchymal renal
disease bilateral dan pelviokaliektasis ringan kanan kemudian
direncanakan untuk biopsi prostat yang dilakukan di RSUP Fatmawati.

2. Keluhan Utama
Klien mengeluh sesak napas, bengkak pada seluruh tubuh, batuk
namun tidak dapat mengeluarkan dahak, nyeri saat berkemih, BAK
sedikit..

3. Riwayat Penyakit Dahulu


Klien mengatakan mempunyai riwayat jantung, CKD sejak 2019.
Diabetes mellitus disangkal. Klien pernah mengalami kecelakaan waktu
remaja.

4. Riwayat penyakit keluarga


Klien mengatakan didalam keluarganya tidak ada yang menderita
penyakit seperti dirinya, penyakit kronis ataupun penyakit menular
lainnya seperti hipertensi, diabetes mellitus, TBC, hepatitis, HIV.

c) Alergi
Klien tidak mempunyai alergi terhadap obat, makanan maupun debu.

d) Pola Kebiasaan
1. Pola nutrisi
Sebelum di RS: klien mengatakan makan 3-4x/hari dengan porsi nasi dan
lauk dihabiskan. Nafsu makan baik, tidak ada mual,
muntah dan sariawan. Tidak ada alergi makanan,
makanan pantangan tidak ada, penggunaan obat sebelum
makan tidak ada, tidak menggunakan alat bantu makan
(NGT).
Saat di RS: klien mengatakan tidak nafsu makan, makan 2x/hari,
menghabiskan makanan sekitar ¼ porsi.
2. Pola Eliminasi
Sebelum di RS: klien mengatakan BAK sering tetapi sedikit, terdapat
keluhan nyeri saat BAK, warna kuning keruh, tidak
menggunakan alat bantu (kateter). BAB 2-3 x/minggu,
warna kuning kecoklatan, tidak menggunakan laksatif.
Saat di RS : Klien BAK spontan sering tetapi sedikit, terdapat
keluhan nyeri saat BAK, warna kuning keruh,
menggunakan pampers. Saat di RS klien mengatakan
sulit untuk BAB, sudah 4 hari belum BAB.
3. Pola personal hygine
Sebelum di RS : klien mengatakan mandi sekali setiap harinya pada
pagi hari, keramas sehari sekali, sikat gigi 2 kali sehari
pagi dan sore
Saat di RS : klien mengatakan mandi sekali setiap harinya pada
pagi hari. sikat gigi satu kali pada pagi hari.
4. Pola istirahat dan tidur
Sebelum RS: klien mengatakan sehari tidur siang selama 1 jam dan pada
malam hari tidurnya selama 7 jam. Tidak ada kebiasaan
yang dilakukan sebelum tidur.
Saat di RS : klien mengatakan sering tidur saat di rumah sakit karena
tidak ada kegiatan yang dilakukan.
5. Pola Aktivitas dan latihan
Sebelum RS: klien mengatakan setiap pagi melakukan jalan pagi sekitar
1,5 KM. sudah tidak lagi bekerja dan jika terlalu banyak
melakukan aktivitas sering sesak dan lemas.
Saat di RS : Klien tidak melakukan aktivitas olahraga. Pasien dengan
total care.
6. Kebiasaan yang mempengaruhi kesehatan
Sebelum di RS: klien riwayat merokok dan berhenti merokok sejak 2001.
Tidak pernah menggunakan NAPZA
Saat di RS : klien tidak merokok dan tidak menggunakan NAPZA

e) Genogram

f) Riwayat Lingkungan
Kebersihan : klien mengatakan lingkungan tempat tinggal bersih, rumah
tidak dekat dengan tempat pembuangan sampah.
Bahaya : lingkungan tempat tinggal klien tidak denkat dengan jalan
raya, sungai maupun pinggir rel kereta. Lantai tidak licin,
penataan rumah rapi, tidak ada kabel yang berserakan
Polusi : lingkungan rumah tidak terdapat polusi yang berlebihan
karena jauh dari jalan raya
g) Aspek psikososial
1. Pola pikir dan persepsi
Berdarsarkan hasil pengkajian pada aspek psikososial klien tidak
menggunakan alat bantu penglihatan (kacamata) dan pendengaran. Klien
tidak ada kesulitan dalam hal membaca ataupun menulis, tidak mengalami
pusing kepala
2. Persepsi diri
Hal yang dipikirkan saat ini yaitu klien ingin segera cepat sembuh dan
segera pulang kerumah. Harapan setelah menjalani perawatan penyakit
yang diderita saat ini tidak mengalami kekambuhan. Perubahan setelah
sakit klien tidak dapat beraktifitas seperti biasanya, aktivitas selalu dibantu
dan selalu ingin tidur. Suasana hatinya, klien mengatakan biasa saja. Saat
di rumah sakit klien selalu ditemani oleh anaknya dan sering dikunjungi
oleh saudara yang lainnya.
3. Hubungan komunikasi
Bahasa utama yang digunakan yaitu Bahasa Indpnesia. Saat berbicara
jelas, mampu mengerti orang lain dan interaksi dengan orang lain baik.
Dirumah ia tinggal bersama dengan anaknya.
4. Kehidupan keluarga
Adat istiadat yang dianut yaitu budaya Jawa. Pembuat keputusan
dalam keluarganya diambil oleh anaknya. Pola komunikasi antar anggota
keluarganya baik dan harmonis. Keuangan di keluarga memadai.
5. Kesulitan dalam keluarga
Tidak ada kesulitan dalam hubungan dengan sanak suara maupun
dengan anaknya.
6. Kebiasaan seksual
Klien seorang duda dan berumur 74 tahun sudah tidak melakukan
hubungan seksual
7. Pertahanan koping
Dalam mengambil keputusan klien dibantu oleh anaknya. Hal yang
ingin dirubah dari kehidupannya yaitu klien ingin hidup sehat dan akan
melakukan hemodialisa rutin. Hal yang dilakukan ketika klien sedang
stress yaitu mencoba mencari solusi dan menceritakan kepada anaknya
8. Sistem Nilai Kepercayaan
Klien merupakan seorang muslim. Sumber kekuatannya yaitu Allah
SWT. Ia mengaku bahwa Tuhan, agama dan kepercayaanya saat ini sangat
penting. Kegiatan agama yang sering dilakukan yaitu sholat 5 waktu dan
berdzikir
h) Tingkat Perkembangan
Klien merupakan seorang laki-laki dengan usia 74 tahun sudah
memasuki fase lanjut usia.

B. Pengkajian Fisik
a. Pemeriksaan Fisik Umum
a) Berat badan : 85 kg
b) Tinggi badan : 167 cm
c) Tekanan darah : 184/85 mmHg
d) Nadi : 105 x/menit
e) Frekuensi nafas : 25 x/menit
f) Suhu tubuh : 36,5ᵒC
g) Keadaan umum : Sedang
h) Pembesaran kelenjar getah bening: tidak ada pembesaran kelenjar getah
bening
b. Sistem penglihatan
Sisi mata simetris, kelopak mata normal, pergerakan bola mata
normal, konjungtiva anemis, kornea normal, sclera an ikterik, pupil isokor,
otot-otot mata tidak ada kelainan, fungsi penglihatan baik, tidak ada tanda-
tanda peradangan pada daerah mata, tidak memakai kacamata maupun lensa
kontak, reaksi terhadap cahaya positif.
c. Sistem pendengaran
Daun telinga normal, tidak ada serumen, kondisi telinga tengah
normal, tidak ada cairan yang keluar dari telinga, perasaan penuh di telinga
tidak ada, tinnitus tidak ada, fungsi pendengaran normal, tidak memakai alat
bantu pendengaran.
d. Sistem wicara
Klien saat berbicara normal, artikulasi dan pengucapan jelas.
e. Sistem pernafasan
Terdapat sputum pada jalan napas , pernafasan sesak, frekuensi nafas
25 x/menit, menggunakan alat bantu pernafasan yaitu Non Rebreathing Mask
10 Lpm, irama tidak teratur, jenis pernafasan spontan, kedalaman pernafasan
dangkal, terdapat batuk, tidak ada nyeri tekan pada daerah dada, bunyi sonor,
suara nafas ronkhi pada kedua paru (kanan dan kiri), tidak ada nyeri saat
bernafas.
f. Sistem kardiovaskular
Sirkulasi perifer : frekuensi nadi 105 x/menit, , tidak teratur, denyut
kuat, tekanan darah 184/85 mmHg, tidak ada distensi vena jugularis bagian
kanan maupun kiri, temperature kulit normal, warna kulit pucat, pengisian
kapiler > 2 detik, terdapat pembesaran jantung (kardiomegali)
Sirkulasi jantung : irama jantung tidak teratur, tidak ada kelainan
bunyi jantung normal tidak ada suara tambahan, sakit dada tidak ada, nyeri
dada tidak ada.
g. Sistem hematologi
Klien tampak pucat, tidak ada perdarahan, mimisan tidak ada, pteki
tidak ada, perdarahan gusi tidak ada, purpura tidak ada, ekimosis tidak ada
h. Sistem syaraf pusat
Klien tidak ada keluhan sakit kepala, tingkat kesadaran composmentis,
GCS : E4M6V5, tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK, gangguan sistem
persyarafan tidak ada seperti : kejang, mulut mencong, pelo, disorientasi,
kelumpuhan ekstremitas, polinueritis, reflex fisiologis normal, reflex patalogis
tidak ada.
i. Sistem pencernaan
Keadaan mulut : gigi tidak caries, terdapat beberapa yang sudah copot,
tidak mengginakan gigi palsu, stomatitis tidak ada, lidah tidak kotor, saliva
normal, tidak ada muntah, nyeri tekan daerah perut tidak ada, bising usus 5
x/menit, tidak diare, tidak konstipasi, hepar tidak teraba, abdomen asites
j. Sistem endokrin
Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid, nafas tidak bau keton, tidak
terdapat luka gangrene, polidipsi dan polyphagia disangkal, tidak tremor,
tidak ada exoptalmus.
k. Sistem urogenital
Intake 800 ml, output 50 ml, balance +750 ml, perubahan pola kemih
retensi, BAK sedikit, warna kuning keruh, terdapat distensi kandung kemih,
terdapat keluhan sakit penggang skala 4/10.
l. Sistem integument
Turgor kulit baik, temperature kulit hangat, suhu 36,8ᵒC, warna kulit
pucat, kedaan kulit baik, tidak ada lesi maupun ulkus, tidak ada kelainan kulit,
konsisi kulit daerah pemasangan infus tidak phlebitis, tidak ada kemerahan
maupun bengkak, kedaan rambut tektur baik, kebersihan kepala bersih
m. Sistem musculoskeletal
Kondisi klien lemah, pergerakan terbatas, tidak ada sakit tulang; sendi
maupun tidak terdapat fraktur, tiak ada kelainan bentuk tulang, keadaan tonus
otot baik kekuatan otot 5555 5555
5555 5555
Data Tambahan
Klien mengetahui bahwa ia memiliki penyakit gagal ginjal dan harus melakukan
hemodialisa setiap minggunya. Namun dari gejala yang sering dirasakan klien tidak
pernah BAK sedikit seperti saat ini dan merasakan nyeri saat BAK. Sebelumnya klien
diberitahu bahwa terdapat tumor pada prostatnya namun belum dilakukan biopsy
sehingga belum jelas penyakitnya.

Data Penunjang

Tanggal 14 Desember 2019 Jam 02.17


PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN

HEMATOLOGI

Hemoglobin 7.1 g/dL 13.2-17.3

Hematokrit 22 % 33-45

Trombosit 88 ribu/ul 150-440

Eritrosit 2.29 juta/uL 4.40-5.90

VER/HER/KHER/RDW

RDW 15.6% 11.5-14.5

HEMOSTASIS

PT 15.9 detik 11.5-14.5

FUNGSI HATI

SGOT 41 U/l 0-34

FUNGSI GINJAL

Ureum Darah 205 mg/dl 20-40

Kreatinin Darah 10.7 mg/dl (nilai kritis) 0.6-1.5

Analisa Gas Darah


Ph 7.345 7.370-7.440

HCO3 20.5 mmol/L 21.0-28.0

BE -4.7 mmol/L -2.5-2-5

ELEKTROLIT DARAH

Kalium (Darah) 5.71 mmol/l 3.10-5.10

Tanggal 14 Desember 2019 Jam 22.20


PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN

HEMATOLOGI

Hemoglobin 8.6 g/dL 13.2-17.3

Hematokrit 27 % 33-45

Leukosit 12.9 ribu/ul 5.0-10.0

Trombosit 74 ribu/ul 150-440

Eritrosit 2.89 juta/uL 4.40-5.90

VER/HER/KHER/RDW

KHER 31.9 fl 80.0-100.0

RDW 15.6% 11.5-14.5

FUNGSI GINJAL

Ureum Darah 167 mg/dl 20-40

Kreatinin Darah 8.4 mg/dl 0.6-1.5


Tanggal 16 Desember 2019 Jam 18.19

PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN

Analisa Gas Darah

Ph 7.220 (nilai kritis) 7.370-7.440

PCO2 49.2 mmHg 35.0-45.0

PO2 132.9 mmHg 83.0-108.0

HCO3 19.7 mmol/L 21.0-28.0

O2 Saturasi 98.1% 95.0-99.0

BE -4.7 mmol/L -2.5-2-5

Tanggal 17 Desember 2019 Jam 07.25 Post HD

PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN

HEMATOLOGI

Hemoglobin 9.4 g/dL 13.2-17.3

Leukosit 10.8 ribu/ul 5.0-10.0

Trombosit 98 ribu/ul 150-440

Eritrosit 3.59 juta/uL 4.40-5.90

VER/HER/KHER/RDW

KHER 27.8 fl 80.0-100.0


RDW 16.6 % 11.5-14.5

FUNGSI GINJAL

Ureum Darah 240 mg/dl (nilai kritis) 20-40

Kreatinin Darah 10.0 mg/dl 0.6-1.5

Tanggal 17 Desember 2019 Jam 11.49

PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN

ELEKTROLIT DARAH

Kalium (Darah) 5.90 mmol/l 3.10-5.10

Tanggal 19 Desember 2019 jam 10.16

PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN

HEMATOLOGI

Hemoglobin 9.9 g/dL 13.2-17.3

Hematokrit 31 % 33-45

Lekosit 24.2 ribu/ul 5.0-10.0

Trombosit 117 ribu/ul 150-440

Eritrosit 3.21 juta/uL 4.40-5.90

VER/HER/KHER/RDW
RDW 16.8% 11.5-14.5

HEMOSTASIS

PT 17.7 detik 11.5-14.5

FUNGSI GINJAL

Ureum Darah 419 mg/dl (nilai kritis) 20-40

Kreatinin Darah 13.5 mg/dl (nilai kritis) 0.6-1.5

ELEKTROLIT DARAH

Natrium (Darah) 132 mmol/l 135-147

Kalium (Darah) 7.25 mmol/l (nilai kritis) 3.10-5.10

PCT Kuantitatif 28.59 ng/mL <0.5: normal

0.5-< 2 ng/mL: Sepsis


Berat

>= 10 ng/mL : Syok


Sepsis

Tanggal 19 Desember 2019 Jam 23.35

PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN

HEMATOLOGI

Hemoglobin 10.1 g/dL 13.2-17.3

hematokrit 31 % 33-45
Leukosit 27.2 ribu/ul 5.0-10.0

Trombosit 133 ribu/ul 150-440

Eritrosit 3.28 juta/uL 4.40-5.90

VER/HER/KHER/RDW

RDW 17.0 % 11.5-14.5

FUNGSI GINJAL

Ureum Darah 293 mg/dl (nilai kritis) 20-40

Kreatinin Darah 11.1 mg/dl 0.6-1.5

1. Radiologi
1) Tanggal 15 Desember 2019
Thoraks Foto Dewasa
- Infiltrat di perihiler dan parakardial bilateral, DD/ Pneumonia
- Hilus kanan menebal, DD/vascular, limfadenopati
- Kardiomegali
- CDL dengan posisi tip distal di proyeksi vena cava superior
- Tidak tampak gambaran pneumotoraks, pneumomediastinum, maupun
emfisema subkutis
2) Tanggal 17 Desember 2019
CT Scan Urografy
Kesan:
- Edema ginjal bilateral disertai fat stranding disekitarnya dan
akumulasi cairan di perinefrik ginjal kiri, serta pelviektasis dan
hidroureter bilateral, suspek pyelonephritis.
- Penebalan dinding vesika urinaria (suspek cystitis) disertai lesi isodens
di intralumen vesika urinaria, DD/blood clot, pus.
- Kista multipel berkalsifikasi di ginjal bilateral.
- Hipertrofi prostat, suspek BPH
- Kesuraman di subkutis anteroinferior abdomen setinggi vertebra S1,
DD/edema. Proses inflamasi.
- Infiltrat di basal paru bilateral yang tervisualisasi, DD/ pneumonia
- Efusi pleura minimal kiri.
3) Thoraks Foto Dewasa 18 Desember 2019
Kesan:
- Dibandingkan radiografi thoraks tanggal 15 Desember 2019, saat ini:
- Infiltrat di perihilar bilateral dan parakardial kanan, berkurang. Tidak
tampak lagi infiltrate di parakardial kiri.
- Penebalan hilus kanan, stqa.
- Tidak tampak kelainan radiologis pada jantung
- Posisi tip CVC relative stqa.
Therapi
Tanggal Jenis obat Keterangan

Oral Injeksi

16/12/2019 Paracetamol 1000 mg/ 8 Cefoperazone 1 gr/ 12


jam, atorvastatin 20 mg/24 jam, ranitidine 50 mg/12
jam, nitrokaf 2,5 mg/12 jam, RL 500 ml/24 jam,
jam, allopurinol 1 tab/24 neprolit 250 mg/ 12 jam
jam, concor 2,5mg/ 24
jam, furosemide 4 mg/24
jam, coralan 5 mg/24 jam,
CaCo3 500mg/8 jam,
bicnat 500 mg/8 jam, Na-
acetylsistein 200 mg/12
jam, salbutamol 1 mg/8
jam.

17/12/2019 ISDN 5 mg/8 jam, v. bloc Obat


3,125 mg/ 12 jam. tambahan

18/12/2019 concor 2,5mg/ 24 jam, Stop


furosemide 4 mg/24 jam,
coralan 5 mg/24 jam

18/12/2019 Amlodipine 5 mg/24 jam Omeprazole 40 mg Obat


dalam NaCl 100 ml/ 8 tambahan
jam

19/12/2019 Nefrosteril 250 ml/12 Tambahan


jam

20/12/2019 Amlodipine 5 mg/24 jam Tambahan


(DI STOP) , roculax 500
mg/8 jam, meropenem 1
gr/8 jam

Tanggal Jenis diit Keterangan

16 – 17 Diit lunak , susu 3x150 ml Per oral


Des

18 Des Diit blender 3x300 ml , susu 3x250 ml Per NGT

19 Des Dipuasakan Rencana biopsy prostat


tanggal 20 Des.

20 Des Dipuasakan Biopsy prostat dan


produksi NGT kehitaman

RESUME
Klien datang ke IGD Fatmawati tanggal 13 Desember 2019 pukul 00.05
diantar oleh ambulan dinas kesehatan dengan rujukan dari RS . Pelni untuk rencana
pro biopsy prostat. Saat datang klien mengeluh sesak napas sejak 4 hari SMRS, BAK
sedikit, susah BAB sejak 4 hari SMRS,kedua kaki bengkak saat aktivitas. Dari hasil
pemeriksaan fisik didapatkan TD 130/60 mmHg, HR 112 x/menit, RR 24 x/ menit
Suhu 36,7 C. mata konjungtiva anemis, leher: terpasang triple lumen, abdomen:
terdapat shifting dullness, ekstremitas: edema tungkai bawah. Diagnose keperawatan
yang muncul adalah hypervolemia berhubungan dengan gangguan mekanisme
regulas dan pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya napas.
Tindakan keperawatan mandiri yang dilakukan adalah memposisikan klien semi
fowler, memonitor pola napas, memonitor bunyi napas, memberikan oksigen 10
liter/menit. Tindakan keperawatan kolaborasi pemeriksaan darah lengkap, Analisa
Gas Darah dan EKG. Terapi kolaborasi yang diberikan nitrokaf 2x2,5 mg, coralan 1x
5 mg, allopurinol 1x 100 mg, CaCo3 3x500 mg, candesartan 1x16 mg, bicnat 3x500
mg, concor 1x2,5 mg, furosemide 1x40 mg, atorvastatin 1x 20 mg, paracetamol
3x1000 mg, ranitidine 2x25 mg, aspilet 1x80 mg. Hasil laboratorium darah lengkap
Hb 7,1 g/dl, Ht 22 %, trombosit 88 ribu/ul, erotrosit 2,29 juta/ul, RDW 15,6 %, PT
15,9 detik, SGOT 41 u/I, Ureum darah 205 mg/dl, kreatinin darah 10,7 mg/dl. Hasil
Analisa Gas Darah pH 7,345 , HCO3 20,5 mmol/L, BE -4,7 mmol/L, kalium darah
5,71 mmol/L. Nilai fungsi ginjal dalam batas kritis maka dilakukan tindakan HD
tanggal 14 Desember 2019. Tanggal 14 Desember pasien dipindahkan ke HCU Bedah
Bougenville .
ANALISA DATA
DATA MASALAH PENYEBAB

Data Subjektif Gangguan Pertukaran Gas Ketidakseimbangan


Klien mengatakan : sesak, Ventilasi Perfusi
riwayat merokok, pusing

Data Objektif
- Tampak sulit berbicara
- Nadi 116 x/menit
- tampak gelisah
- RR 24 x/menit
- Pola napas irregular
- Kedalaman dangkal
- Nafas cepat
- Ronkhi +/+
- pH 7.220
- PCO2 49.2 mmHg
- HCO3 19.7 mmol/L
- BE -4.7 mmol/L
- Asidosis respiratorik dan
metabolik
- Hasil foto thoraks terdapat
infiltrate di perihiler &
parakardial bilateral dd
pneumonia
Data Subjektif Perfusi perifer tidak efektif Penurunan konsentrasi
- hemoglobin
Data Objektif
- Nadi teraba lemah
- CRT > 3 detik
- BAK sedikit
- Warna kulit pucat
- Turgor kulit menurun
- Edema pada tungkai kaki
dan asites pada perut
- Hemoglobin 8,6 mg/dL
- Eritrosit 2.89 juta/Ul
Data Subjektif Hipervolemia Gangguan mekanisme
Klien mengeluh nyeri, BAK regulasi
sedikit
Data Objektif
Edema anarsaka, berat badan
85 kg, terdapat suara
tambahan paru ronkhi +/+,
Hemoglobin 8.6 g/dl,
hematocrit 27%, intake 800,
output 50, balance +750

Prioritas Diagnosa Keperawatan


1. Gangguan pertukaran gas b.d ketidak seimbangan ventilasi-perfusi
2. Perfusi perifer tidak efektif b.d penurunan konsentrasi hemoglobin
3. Hipervolemia b.d gangguan mekanisme regulasi
Rencana Keperawatan
No Tgl Diagnosa Keperawatan Tujuan Rencana Tindakan

1 16/12/19 Gangguan pertukaran Pertukaran gas Manajemen jalan napas


gas b.d kestidak Setelah dilakukan askep 2x24 1. Monitor pola napas (frekuensi,
seimbangan ventilasi jam diharapkan oksigenasi pada kedalaman, usaha napas)
dan perfusi membrane alveolus kapiler 2. Monitor bunyi napas tambahan
dalam batas normal dengan 3. Posisikan semi fowler
kriteria : 4. Lakukan penghisapan lender kurang
1. Tingkat kesadaran dari 15 detik
composmentis 5. Berikan oksigen
2. Bunyi napas vesikuler 6. Kolaborasi pemberian bronkodilator
3. PCO2 35-45 mmHg Manajemen asam basa
4. PO2 83-108 mmHg 1. Identifikasi penyebab
5. Nadi 60-100 x/menit ketidakseimbangan asam-basa
6. pH arteri 7,35-7,45 2. Monitor frekuensi dan kedalaman
7. pola napas regular napas
3. Monitor status neurologis
4. Monitor irama dan frekuensi jantung
5. Monitor perubahan pH, PaCO2, HCO3
6. Ambil specimen darah arteri untuk
pemeriksaan AGD
2 16/12/19 Perfusi perifer tidak Perfusi perifer Perawatan sirkulasi
efektif b.d Penurunan
Setelah dilakukan askep 3x24 1. Periksa sirkulasi perifer (nadi perifer,
konsentrasi hemoglobin
jam diharapkan aliran darah edema, pengisian kapiler, warna, suhu)
pembuluh darah distal adekuat
2. Identifikasi factor risiko gangguan
dengan kriteria :
sirkulasi (DM, perokok, lansia,
1. Denyut nadi perifer kuat
hipertensi, kolestrol tinggi)
2. Warna kulit tidak pucat
3. Lakukan pencegahan infeksi
3. Edema perifer berkurang
4. Lakukan hidrasi
4. Pengisian kapiler < 3 detik
5. Anjurkan minum obat pengontrol
5. Akral hangat
tekanan darah secara teratur
6. Turgor kulit baik
Manajemen sensasi perifer
7. Tekanan darah 110-130/70-
1. Monitor perubahan kulit
90 mmHg
2. Kolaborasi pemberian analgetik
3. Kolaborasi pemberian kortikosteroid
4. Kolaborasi pemberian produk darah
5. Monitor hasil pemeriksaan
laboratorium
6. Hindari pemakaian benda-benda yang
berlebihan suhunya
3 16/12/19 Hipervolemia b.d Keseimbangan cairan Manajemen hipervolemia
gangguan mekanisme Setelah dilakukan askep 3x24
1. Periksa tanda gejala hypervolemia
regulasi jam diharapkan volume cairan (dyspnea, edema, suara tambahan nafas)
antara CIS dan CES seimbang
2. Identifikasi penyebab hipervolemi
dengan kriteria :
1. Asupan cairan diperbatasi 3. Monitor status hemodinamik
2. Haluaran urin balance
4. Monitor intake dan output cairan
dengan intake
3. Membrane mukosa lembab 5. Monitor tanda hemokonsentrasi (kadar
4. Edema berkurang natrium, BUN, hematocrit)
5. Tidak ada tanda-tanda
6. Batasi asupan cairan dan garam
dehidrasi
6. Turgor kulit baik 7. Tinggikan kepala tempat tidur
7. Mata tidak cekung
8. Anjurkan lapor jika keluaran urin <0,5
ml kg /jam

9. Ajarkan cara membatasi cairan

10. Kolaborasi pemberian diuretic


Implementasi

Tanggal Diagnosa Implementasi

16/12/19 Gangguan pertukaran 1. Memonitor pola napas


gas R : Frekuensi 28x/menit, dalam, upaya napas spontan
2. Memonitor bunyi napas
R : Ronkhi +/+
3. Memonitor sputum
R : klien tidak dapat batuk efektif, tidak dapat mengeluarkan sputum
4. Memposisikan semi fowler
R : klien merasa lebih nyaman ketika posisi kepala lebih tinggi
5. Memberikan oksigen NRM 8 Lpm
R : sesak berkurang,
6. Kolaborasi pemberian bronkodilator
R : Pemberian obat Na-acetylsistein 200 mg/12 jam dan salbutamol 1 mg/8
jam
7. Monitor status neurologis
R : kesadaran composmentis
8. Monitor irama dan frekuensi jantung
R : Irama jantung cepat, N : 96 x/menit
Perfusi perifer tidak 1. Memeriksa sirkulasi perifer
R : nadi perifer lemah, edema anarsaka, pengisian kapiler > 3 detik, suhu
efektif 36,8ᵒC
2. Mengidentifikasi factor risiko gangguan sirkulasi (DM, perokok, lansia,
hipertensi, kolestrol tinggi)
R : Hipertensi, klien masuk ke lanjut usia
3. Melakukan hidrasi
R : pemberian cairan RL 500 ml/24 jam
4. Menganjurkan minum obat pengontrol tekanan darah
R : pemberian obat concor 2,5 mg/24 jam
5. Memonitor perubahan kulit
R : lesi (-), gangrene (-), gatal (-), perubahan kulit (-)
6. Kolaborasi pemberian analgetik
R : Pemberian obat nitrokaf 2,5 mg/12 jam, coralan 2,5 mg/24 jam
7. Kolaborasi pemberian produk darah
R : pemberian PRC 250 ml, saat transfusi alergi (-), demam (-)
Hipervolemia 1. Memeriksa tanda gejala hypervolemia

R : RR 28x/menit, edema anarsaka, bunyi nafas ronkhi +/+

2. Mengidentifikasi penyebab hipervolemi

R : Hipervolemia karna penyakit ckd, mekanis regulasi ginjal terganggu

3. Memonitor status hemodinamik

R : Kesadaran composmentis, TD 136/66 mmHg, N 92x/menit, , S 36,8ᵒC,


Sao2 100%

4. Memonitor intake dan output cairan

R : intake : 1200 ml, output 450 ml, balance +750 ml

5. Membatasi asupan cairan dan garam

R : asupan cairan dan garam dibatasi, klien makan diit yang diberikan oleh
rumah sakit, diit lunak, susu 3x150 ml

6. Meninggikan kepala tempat tidur

R : Posisi klien fowler dengan modifikasi tempat tidur

7. Mengajarkan cara membatasi cairan

R : minum klien terbatasi

8. Kolaborasi pemberian diuretic

R : Pemberian furosemide 4mg/24 jam dan neprolit 250 mg/12 jam

17/12/19 Gangguan pertukaran 1. Memonitor pola napas


gas R : Frekuensi 20x/menit, dalam, upaya napas spontan
2. Memonitor bunyi napas
R : Ronkhi +/+
3. Memonitor sputum
R : klien tidak dapat batuk efektif, tidak dapat mengeluarkan sputum
4. Memposisikan semi fowler
R : klien merasa lebih nyaman ketika posisi kepala lebih tinggi
5. Memberikan oksigen NRM 8 Lpm
R : sesak berkurang,
6. Kolaborasi pemberian bronkodilator
R : Pemberian obat Na-acetylsistein 200 mg/12 jam dan salbutamol 1 mg/8
jam
7. Monitor status neurologis
R : kesadaran composmentis
8. Monitor irama dan frekuensi jantung
R : Irama jantung cepat, N : 93 x/menit
Perfusi perifer tidak 1. Memeriksa sirkulasi perifer
efektif R : nadi perifer lemah, edema anarsaka, pengisian kapiler > 3 detik, suhu
36,9ᵒC
2. Melakukan hidrasi
R : pemberian cairan RL 500 ml/24 jam
3. Menganjurkan minum obat pengontrol tekanan darah
R : pemberian obat concor 2,5 mg/24 jam
4. Memonitor perubahan kulit
R : lesi (-), gangrene (-), gatal (-), perubahan kulit (-)
5. Kolaborasi pemberian analgetik
R : Pemberian obat nitrokaf 2,5 mg/12 jam, coralan 2,5 mg/24 jam, ISDN 5
mg/8jam
6. Memonitor hasil pemeriksaan laboratorium
R : Hb 9,4 g/dl, eritrosit 3,59 juta/ul, KHER 27,8 fl, RDW 16,6%
Hipervolemia 1. Memeriksa tanda gejala hypervolemia

R : RR 20x/menit, edema anarsaka, bunyi nafas ronkhi +/+

2. Memonitor status hemodinamik

R : Kesadaran composmentis, TD 133/70 mmHg, N 84x/menit, , S 36,9ᵒC,


Sao2 100%

3. Memonitor intake dan output cairan

R : intake : 1271 ml, output 350 ml, balance +921 ml

4. Membatasi asupan cairan dan garam

R : asupan cairan dan garam dibatasi, klien makan diit yang diberikan oleh
rumah sakit, diit lunak, susu 3x150 ml

5. Meninggikan kepala tempat tidur

R : Posisi klien fowler dengan modifikasi tempat tidur


6. Mengajarkan cara membatasi cairan

R : minum klien terbatasi

7. Memonitor hasil laboratorium

R : ureum 240 mg/dl, kreatinin 10,0 mg/dl, Edema ginjal bilateral, Penebalan
dinding vesika urinaria (suspek cystitis) disertai lesi isodens di intralumen
vesika urinaria

8. Kolaborasi pemberian diuretic

R : Pemberian furosemide 4mg/24 jam dan neprolit 250 mg/12 jam

18/12/19 Gangguan pertukaran 1. Memonitor pola napas


gas R : Frekuensi 25x/menit, dalam, upaya napas spontan
2. Memonitor bunyi napas
R : Ronkhi +/+
3. Memonitor sputum
R : klien tidak dapat batuk efektif, tidak dapat mengeluarkan sputum
4. Memposisikan semi fowler
R : klien merasa lebih nyaman ketika posisi kepala lebih tinggi
5. Memberikan oksigen NRM 15 Lpm
R : sebelumnya klien merasa sesak bertambah
6. Kolaborasi pemberian bronkodilator
R : Pemberian obat Na-acetylsistein 200 mg/12 jam dan salbutamol 1 mg/8
jam
7. Monitor status neurologis
R : kesadaran composmentis
8. Monitor irama dan frekuensi jantung
R : Irama jantung cepat, N : 82 x/menit
Perfusi perifer tidak 1. Memeriksa sirkulasi perifer
efektif R : nadi perifer lemah, edema anarsaka, pengisian kapiler > 3 detik, suhu
36,7ᵒC
2. Melakukan hidrasi
R : pemberian cairan RL 500 ml/24 jam
3. Menganjurkan minum obat pengontrol tekanan darah
R : pemberian obat amlodipine 5 mg/24jam
4. Memonitor perubahan kulit
R : lesi (-), gangrene (-), gatal (-), perubahan kulit (-)
5. Kolaborasi pemberian analgetik
R : Pemberian obat nitrokaf 2,5 mg/12 jam, ISDN 5 mg/8jam
Hipervolemia 1. Memeriksa tanda gejala hypervolemia

R : RR 25x/menit, edema anarsaka, bunyi nafas ronkhi +/+

2. Memonitor status hemodinamik


R : Kesadaran composmentis, TD 151/86 mmHg, N 92x/menit, , S 36,8ᵒC,
Sao2 97%

3. Memonitor intake dan output cairan

R : intake : 1499ml, output 450 ml, balance +1044 ml

4. Membatasi asupan cairan dan garam

R : asupan cairan dan garam dibatasi, klien makan diit yang diberikan oleh
rumah sakit, diit susu 3x250 ml

5. Meninggikan kepala tempat tidur

R : Posisi klien fowler dengan modifikasi tempat tidur

6. Kolaborasi pemberian diuretic

R : Pemberian neprolit 250 mg/12 jam

19/12/19 Gangguan pertukaran 1. Memonitor pola napas


gas R : Frekuensi 28x/menit, dalam, upaya napas spontan
2. Memonitor bunyi napas
R : Ronkhi +/+
3. Memonitor sputum
R : klien tidak dapat batuk efektif, tidak dapat mengeluarkan sputum
4. Memposisikan semi fowler
R : klien merasa lebih nyaman ketika posisi kepala lebih tinggi
5. Memberikan oksigen NRM 15 Lpm
R : sesak berkurang,
6. Kolaborasi pemberian bronkodilator
R : Pemberian obat Na-acetylsistein 200 mg/12 jam dan salbutamol 1 mg/8
jam
7. Monitor status neurologis
R : kesadaran composmentis
8. Monitor irama dan frekuensi jantung
R : Irama jantung cepat, N : 96 x/menit
Perfusi perifer tidak 1. Memeriksa sirkulasi perifer
efektif R : nadi perifer lemah, edema anarsaka, pengisian kapiler > 3 detik, suhu
36,7ᵒC
2. Melakukan hidrasi
R : pemberian cairan RL 500 ml/24 jam
3. Menganjurkan minum obat pengontrol tekanan darah
R : pemberian obat amlodipine 5 mg/24jam
4. Memonitor perubahan kulit
R : lesi (-), gangrene (-), gatal (-), perubahan kulit (-)
5. Kolaborasi pemberian analgetik
R : Pemberian obat nitrokaf 2,5 mg/12 jam, ISDN 5 mg/8jam
Hipervolemia 1. Memeriksa tanda gejala hypervolemia

R : RR 28x/menit, edema anarsaka, bunyi nafas ronkhi +/+


2. Memonitor status hemodinamik

R : Kesadaran apatis, TD 113/58 mmHg, N 95x/menit, , S 36,7ᵒC, Sao2


100%
3. Memonitor intake dan output cairan

R : intake : 744 ml, output 950 ml, balance -206 ml


4. Membatasi asupan cairan dan garam

R : Klien dipuasakan
5. Meninggikan kepala tempat tidur

R : Posisi klien fowler dengan modifikasi tempat tidur


6. Kolaborasi pemberian diuretic

R : Pemberian neprolit 250 mg/12 jam


20/12/19 Gangguan pertukaran 1.Memonitor pola napas
gas R : Frekuensi 28x/menit, dalam, upaya napas spontan
2. Memonitor bunyi napas
R : Ronkhi +/+
3. Memonitor sputum
R : klien tidak dapat batuk efektif, tidak dapat mengeluarkan sputum
4. Memposisikan semi fowler
R : klien merasa lebih nyaman ketika posisi kepala lebih tinggi
5. Memberikan oksigen NRM 15 Lpm
R : klien merasa sesak terus bertambah
6.Kolaborasi pemberian bronkodilator
R : Pemberian obat Na-acetylsistein 200 mg/12 jam dan salbutamol 1 mg/8
jam
7.Monitor status neurologis
R : kesadaran apatis
8.Monitor irama dan frekuensi jantung
R : Irama jantung cepat, N : 96 x/menit
Perfusi perifer tidak 1. Memeriksa sirkulasi perifer (nadi perifer, edema, pengisian kapiler, warna,
efektif suhu)

R : nadi perifer lemah, edema anarsaka, pengisian kapiler > 3 detik, suhu
38ᵒC
2. Melakukan hidrasi

R : pemberian cairan RL 500 ml/24 jam


3. Memonitor perubahan kulit

R : lesi (-), gangrene (-), gatal (-), perubahan kulit (-)


4. Kolaborasi pemberian analgetik

R : Pemberian obat nitrokaf 2,5 mg/12 jam, ISDN 5 mg/8jam

Hipervolemia 1. Memeriksa tanda gejala hypervolemia

R : RR 26x/menit, edema anarsaka, bunyi nafas ronkhi +/+

2. Memonitor status hemodinamik

R : Kesadaran apatis, TD 116/47 mmHg, N 103x/menit, , S 38ᵒC, Sao2 97%

3. Memonitor intake dan output cairan

R : intake : 370 output 500 ml, balance -130 ml

4. Membatasi asupan cairan dan garam

R : klien dipuasakan

5. Meninggikan kepala tempat tidur

R : Posisi klien fowler dengan modifikasi tempat tidur

6. Kolaborasi pemberian diuretic

R : Pemberian neprolit 250 mg/12 jam


Evaluasi

Tanggal Diagnosa Evaluasi

Selasa, Gangguan pertukaran gas S : Klien mengeluh sesak napas

17-12-19 O : Kesadaran composmentis, Frekuensi 20x/menit, bunyi nafas


ronkhi +/+, Nadi 84x/menit, pola napas irregular

A : Gangguan pertukaran gas belum teratasi

P : Lanjutkan manajemen jalan napas dan manajemen asam


basa

Rabu, Perfusi perifer tidak efektif S:-

18-12-19 O : Denyut perifer kuat, warna kulit pucat, edema anarsaka,


CRT > 3detik, akral hangat, turgor kulit menurun, TD
133/70 mmHg

A : perfusi perifer tidak efektif belum teratasi

P : Lanjutkan perawatan sirkulasi dan manajemen sensasi


perifer
Rabu, Hipervolemia S : Klien mengeluh sesak

18-12-19 O : intake : 1499 ml, output 450 ml, balance +1044 ml, mukosa
lembab, edema anarsaka, tanda-tanda dehidrasi (-), turgor
kulit menurun, mata cekung (-)

A : Hipervolemia belum teratasi

P : Lanjutkan manajemen hypervolemia

Jum’at Gangguan pertukaran gas S : Mengatakan Sesak

20-12-19 O : Kesadaran menurun (apatis), bunyi napas ronkhi +/+,


Frekuensi 27x/menit, nadi 88x/menit, pola napas irregular

A : Gangguan pertukaran gas belum teratasi

P : Manajemen jalan napas dan manajemen asam basa


BAB IV
PEMBAHASAN
Tn. B (74 tahun) datang ke IGD Fatmawati pada tanggal 13 Desember 2019 pukul
00.05 WIB diantar oleh ambulan dinas kesehatan dengan rujukan dari RS. Pelni untuk
rencana pro biopsy prostat. Pasien datang dengan keluhan sesak napas sejak 4 hari SMRS,
BAK sedikit, susah BAB sejak 4 hari SMRS, kedua kaki bengkak saat aktivitas. Hasil
pemeriksaan fisik di IGD didapatkan TD 130/60 mmHg, HR 112 x/menit, RR 24 x/
menit, Suhu 36,7 C. mata konjungtiva anemis, leher: terpasang triple lumen, abdomen:
terdapat shifting dullness, ekstremitas: edema tungkai bawah. Pasien dirawat di Triase
Merah. Hasil pemeriksaan darah lengkap Hb 7,1 g/dl, Ht 22 %, trombosit 88 ribu/ul,
erotrosit 2,29 juta/ul, RDW 15,6 %, PT 15,9 detik, SGOT 41 u/I, Ureum darah 205 mg/dl,
kreatinin darah 10,7 mg/dl. Interpretasi nilai fungsi ginjal 7,28 % (CKD stage 5). Hasil
AGD asidosis metabolik terkompensasi sebagian, kalium darah 5,71 mmol/L. Diagnosa
medis Hipertensi ec CKD on HD. Diagnosa keperawatan yang muncul adalah
hipervolemia berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi dan gangguan
pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan ventilasi perfusi. Tindakan
keperawatan kolaborasi yang dilakukan di IGD adalah pemasangan IV line pengambilan
sampel untuk pemeriksaan darah lengkap, Analisa Gas Darah. EKG dan pemberian terapi
nitrokaf 2x2,5 mg, coralan 1x 5 mg, allopurinol 1x 100 mg, CaCo3 3x500 mg,
candesartan 1x16 mg, bicnat 3x500 mg, concor 1x2,5 mg, furosemide 1x40 mg,
atorvastatin 1x 20 mg, paracetamol 3x1000 mg, ranitidine 2x25 mg, aspilet 1x80 mg.
Tindakan keperawatan mandiri yang dilakukan di IGD adalah memposisikan klien semi
fowler, memonitor pola napas, memonitor bunyi napas, memberikan oksigen 10
liter/menit.
Tn. B masuk ke ruangan HCU Bedah Bougenville pada tanggal 14 Desember
2019 pukul 17.00 WIB dengan keluhan sesak nafas sejak 4 hari SMRS, BAK sedikit,
susah BAB sejak 4 hari SMRS, kedua kaki bengkak saat aktivitas. Hasil pemeriksaan
AGD adalah asidosis metabolic terkompensasi sebagian dan nilai fungsi ginjal 7,28 %.
Hasil pemeriksaan darah lengkap Hb 7,1 g/dl, Ht 22 %, trombosit 88 ribu/ul, erotrosit
2,29 juta/ul, RDW 15,6 %, PT 15,9 detik, SGOT 41 u/I, Ureum darah 205 mg/dl,
kreatinin darah 10,7 mg/dl. Masalah keperawatan yang ditegakan antara lain gangguan
pertukaran gas, hipervolemia dan perfusi perifer tidak efektif. Pada tanggal 16 Desember
2019 hasil thoraks infiltrate di perihiler dan parakardial bilateral dan leukosit 24,2 ribu/ul
sehingga ditegakan masalah keperawatan resiko infeksi. Pada tanggal 18 Desember 2019
klien mengeluh mual, klien tampak muntah dan terdapat residu 400 ml berwarna hijau
kehitaman disertai distensi abdomen sehingga masalah keperawatan yang ditegakan
adalah disfungsi motilitas gastrointestinal. Pada tanggal 21 Desember 2019 pukul 06.18
klien meninggal dunia sehingga masalah keperawatan belum teratasi.
1. Gangguan pertukaran gas
Masalah keperawatan paling utama yang ditegakan pada Tn. B adalah
gangguan pertukaran gas. Menurut Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
tahun 2017 gangguan pertukaran gas adalah kelebihan atau kekurangan oksigenasi
dan atau eliminasi karbondioksida pada membrane alveolus – kapiler. Hasil
pengkajian pada Tn. B didapatkan yaitu klien mengeluh sesak napas memiliki
riwayat merokok, tampak gelisah dan sulit bicara, RR 24x/menit, pernapasan
dangkal, pola napas ireguler, sputum kuning kental, batuk efektif (-), ronkhi +/+,
asidosis metabolic terkompensasi sebagian, serta hasil foto thorak terdapat
infiltrate di perihiler dan parakardial bilateral.
Salah satu keluhan utama pasien meliputi sesak napas dan pernapasan
dangkal. Sesak napas yaitu adanya peningkatan kerja pernapasan karena
kompensasi tubuh untuk mengeluarkan atau menurunkan kadar asam dalam darah
melalui proses respiratorik. Faktor yang dapat mempengaruhi peningkatan kerja
pernapasan karena Peningkatan konsentrasi ion hidrogen/keasaman darah pada
asidosis respiratorik ditandai dengan pernafasan cepat dan dangkal yang bertujuan
untuk menurunkan PCO2 darah sebagai kompensasi penurunan bikarbonat darah.
Kelelahan otot pernafasan dapat terjadi apabila pernafasan kusmaul (Romy, 2012).
Sedangkan batuk dan produksi sputum yang berlebih terjadi karena adanya reflek
protektif yang timbul akibat iritasi percabangan trakeabronkial, pembersihan yang
tidak efektif sputum akan terkumpul dan perlu di obsevasi sumber sputum,
warna, volume, konsistensi sputum (Muttaqin, 2008). Akibat dari sekresi
sputum yang berlebihan meliputi batuk. Dapat menyebabkan obstruksi
saluran pernafasan dan sumbatan pada saluran pernafasan (Ringel, 2012).
Pengeluaran dahak yang tidak lancer juga menyebabkan penumpukan sputum
yang membuat perlengketan pada jalan nafas sehingga jalan nafas tidak efektif
dan menimbukan sesak nafas (Nugroho, 2011). Untuk mengatasi masalah
keperawatan tersebut dilakukan intervensi pemberian nebulizer dengan obat
ekspetoran dan bronkodilator serta penghisapan lender (suctioning).
Implementasi yang telah dilakukan adalah pemberian nebulizer dengan
obat salbutamol. Tujuan dari terapi nebulizer dengan obat-obat bronkodilator
antara lain mengurangi sesak nafas, relaksasi dari spasme bonkhiale,
mengencerkan dahak, melancarkan saluran pernafasan dan melembabkan saluran
pernafasan. Selanjutnya dilakukan tindakan suctioning hal ini bertujuan untuk
membantu membersihkan dan mengeluarkan secret serta mempertahankan
kepatenan jalan napas sebagai pilihan terakhir apabila pasien tidak mampu untuk
batuk efektif (Maidarti, 2014). Selanjutnya klien dimonitor saturasi oksigennya
dan kolaborasi pemberian terapi oksigen dengan Non Rebreathing Mask. Terapi
oksigen diperlukan untuk menjaga kestabilan PaO2 dimana terapi oksigen dapat
meningkatkan nilai FiO2 yang merupakan faktor untuk menentukan saturasi
oksigen, dimana PaO2 yang tinggi hemoglobin membawa oksigen lebih banyak
dan PaO2 rendah akan membawa sedikit oksigen (takatelide, 2017).
Hasil evaluasi pada tanggal 16 Desember 2019 didapatkan data bahwa
klien masih mengeluh sesak, frekuensi nafas meningkat 28x/menit, batuk efektif (-
), sputum kuning kental, sumbatan jalan napas teratasi, bunyi napas ronkhi +/+,
SaO2 100 %, NRM 15 lpm. Maka planning selanjutnya yang akan dilakukan
adalah melanjutkan intervensi manajemen oksigen, jalan napas dan pemantauan
respirasi.
2. Perfusi perifer tidak efektif
Masalah keperawatan lain yang dialami Tn. B adalah Perfusi Perifer
Tidak Efektif. Perfusi perifer tidak efektif yaitu penurunan sirkulasi darah pada
level kapiler yang dapat mengganggu metabolism tubuh (SIKI,2018). Berdasarkan
hasil pengkajian didapatkan data sebagai berikut nadi teraba lemah, CRT > 3
detik, warna kulit pucat, turgor kulit menurun. Hasil pemeriksaan darah lengkap
didapat Hb 8,6 mg/dl dan eritrosit 2,89 juta/Ul.
Hasil pemeriksaan darah lengkap didapatkan Hb 8,6 mg/dl dimana
hemoglobin merupakan alat transport untuk oksigen yang dibutuhkan seluruh
tubuh. Normalnya salah satu fungsi ginjal adalah memproduksi hormon
eritropoetin untuk menstimulasi pembentukan sel darah merah di sumsum tulang.
Jika ginjal fungsinya terganggu maka proses sekresi hormone eritropoietin ikut
terganggu sehingga stimulus pembentukan sel darah merah menurun. Produksi
eritrosit pun ikut menurun sehingga aliran oksigen ke perifer ikut menurun disertai
dengan timbulnya gejala kulit pucat, nadi teraba lemah, turgor kulit menurun
karena sirkulasi perifer menurun (Wilson,2005). Intervensi yang dilakukan untuk
mengatasi masalah tersebut antara lain memeriksa sirkulasi perifer yang meliputi
nadi, perifer, edema, pengisian kapiler, warna dan suhu. Indentifikasi faktor resiko
gangguan sirkulasi meliputi DM, perokok, lansia, hipertensi dan kolesterol tinggi.
Melakukan pencegahan infeksi dan hidrasi (SIKI,2018).
Implementasi yang dilakukan adalah memeriksa sirkulasi perifer meliputi
nadi perifer, edema, pengisian kapiler, warna dan suhu. Identifikasi faktor resiko
gangguan sirkulasi meliputi hipertensi, memonitor perubahan kulit, kolaborasi
pemberian produk darah. Terapi parenteral berupa produk darah dapat
meningkatkan hemoglobin lebih cepat 2 gr% (Manuaba,2010).
3. Hypervolemia
Masalah keperawatan lain yang dialami Tn B adalah hypervolemia.
Hipervolemia adalah peningkatan volume cairan intravascular, interstisial dan atau
intraselular(SIKI,2018). Berdasarkan hasil pengkajian didapatkan data sebagai
berikut klien mengeluh sesak napas, tampak edema anasarka, berat badan 85 kg,
Hb 8,6 g/dl, BAK sedikit 50 cc, intake 800 ml dan output 50 ml (balance +750),
GFR 7,28%.
Salah satu keluhan utama pasien adalah sesak napas dan edema anasarka.
Adanya penumpukan cairan berlebihan di ruang intestisial juga mengurangi
kelenturan paru dan mempermudah kolaps alveoli dan saluran respiratorik kecil.
Resistensi jalan napas juga meningkat akibat kompresi saluran respiratorik kecil
oleh cairan dan penumpukan cairan di interstisial peribronkial. Efek ini bersama-
sama akan mengurangi komplians paru dan meningkatkan resistensi jalan napas
yang secara langsung meningkatkan kerja pernapasan, akhirnya terjadi kelelahan
otot respiratorik, dan terjadi gagal napas (Larsen,2003). Klien juga mengeluh
buang air kecil sedikit, hal ini dikarenakan penumpukan cairan pada intertisial,
terdapat penahanan natrium oleh tubuh pada penderita gagal ginjal kronik. Sifat
natrium yang mengikat air menyebabkan tekanan kapiler pada glomerulus naik
sehingga volume intertisial pun ikut naik dan terjadilan penahanan air didalam
tubuh. Akibatnya cairan yang harus dikeluarkan menjadi sedikit atau bahkan tidak
ada sama sekali. Namun tidak semua orang dengan gagal ginjal mengalami
penurunan output urin, hal ini kembali lagi kepada nilai GFR untuk menentukan
fungsi dari ginjal (Slamet,2001). Hasil pemeriksaan fungsi ginjal didapatkan
bahwa ginjal berfungsi hanya sekitar 7,28 %, GFR adalah salah satu pemeriksaan
untuk mengetahu seberapa besar fungsi ginjal. Ketika ginjal bekerja dengan baik,
ginjal akan menyaring limbah dan cairan berlebih tersebut serta membuangnya
dalam bentuk urin, jika ginjal tidak bekerja dengan baik maka tidak cukup bagi
tubuh untuk membuuang semua limbah dalam tubuh dan hormone yang penting
tidak dapat disekresikan (National kidney Foundation,2008). Untuk mengatasi
masalah tersebut maka intervensi yang harus dilakukan adalah periksa tanda gejala
hypervolemia, monitor status hemodinamik, monitor intake dan output cairan,
monitor tanda hemokonsentrasi, batasi asupan cairan dan garam, tinggikan kepala
tempat tidur dan kolaborasi pemberian antidiuretic.
Implementasi yang telah dilakukan adalah 1) monitor status hemodinamik.
Pemantauan tekanan darah menjadi salah satu intervensi utama dalam penanganan
klien dengan overload karena TD merupakan salah satu indikator adanya
peningkatan volume cairan intravaskuler. Peningkatan volume cairan berlebih
pada kompartemen intarvaskuler lebih lanjut akan menyebabkan perpindahan
cairan dari dalam pembuluh darah menuju jaringan interstisial tubuh. Oleh sebab
itu, intervensi pemantauan TD pada pasien GGK sangat penting untuk
memperkirakan kemungkinan terjadinya overload pada pasien (Black &
Hawk,2009). 2) monitor intake dan output cairan, pemantauan cairan ini
diharapkan dapat mencegah terjadinya overload cairan pada klien. Intake cairan
klien terkontrol sesuai dengan haluaran urin, berkurangnya kelebihan cairan yang
dialami klien dibuktikan dengan tidak ada peningkatan BB yang meningkat
signifikan setiap harinya, edema/ascites berkurang, tekanan darah stabil, suara
nafas vesikuler, status mental CM, tidak ada distensi vena leher (JVP tidak
meningkat), serta balance cairan yang negative (Angrainy, 2016) 3) membatasi
asupan cairan dan garam , pembatasan cairan harus dilakukan untuk menyesuaikan
asupan cairan dengan toleransi ginjal dalam regulasi (ekresi cairan), hal tersebut
dikarenakan penurunan laju ekresi ginjal dalam membuang kelebihan cairan tubuh
sehubungan dengan penurunan LFG. Pada pasien ginjal intake cairan yang
direkomendasikan bergantung pada jumlah urin 24 jam, yaitu jumlah urin 24 jam
sebelumnya ditambahkan 500-800 cc (IWL) (Europan Society for Parenteral and
Enteral Nutrition dalam Pasticci, Fantuzzi, Pegoraro, Mc Cann, Bedogni, 2012). 4)
kolaborasi pemberian antidiuretic, terapi ini digunakan untuk membuang
kelebihan garam dan air dalam tubuh melalui urin selain itu biasanya diuretic
diberikan pada pasien untuk penumpukan cairann dalam tubuh dan efektifk untuk
mengobati darah tinggi atau hipertensi
BAB V

PENUTUP
a. Kesimpulan
Dari penjelasan di atas disumpulkan bahwa Chronic Kidney Disease
(CKD) merupakan penurunan fungsi ginjal secara progresif dan irreversible
dimana ginjal menunjukkan kegagalan dalam memelihara metabolisme
keseimbanagn cairan dan elektrolit sehingga berujung pada uremia. Hipertensi dan
diabetes merupakan penyebab tertinggi dari CKD. Faktor resiko yang
menyebabkan CKD yaitu hipertensi, diabetes, usia, riwayat batu ginjal perilaku
merokok, dan pola hidup. Dan dampak ditimbulkan Anemia, asidosis metabolik,
Chronic Kidney Disease-Mineral Bone Disorder (CKD-MBD) dan Gangguan
Kardivaskuler. Pada pasien didapatkan masalah keperawatan yaitu gangguan
pertukaran gas, perfusi perifer tidak efektif, hypervolemia
Daftar Pustaka
Bakta, I Made & I Ketut Suastika. 2000. Gawat Darurat di Bidang Penyakit
Dalam. Jakarta: EGC.
Corwin, E. J. 2009. Buku Saku Patofisiologi, Edisi 3. EGC: Jakarta.
Firmansyah, Adi. 2010. Usaha Memperlambat Perburukan Penyakit Ginjal
Kronik ke Penyakit Ginjal Stadium Akhir. PPDS Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia: Jakarta.
Hayward RA, Levin JM. 2003. Penyunting. Current pediatric diagnosis and
treatment. Edisi ke-16. Boston: Mc Graw Hill.
Jodhpur, Rajasthan. 2014. Management of Hypertension in CKD. Reed Elsevier
India Pvt. Lta.
Mansjoer, A dkk. 2014. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius
Mutaqien & Kumala. 2011. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan.
Salemba Medika: Jakarta.
Nahas, Meguid El & Adeera Levin. Chronic Kidney Disease: A Practical Guide to
Understanding and Management. USA: Oxford University Press. 2016
Price, Sylvia A. & Lorraine M. Wilson. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC. 2015
Smeltzer, S. 2015. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddarth.
Volume 2 Edisi 8. Jakarta: EGC.
Suyono, Slamet. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jilid I II.
Jakarta.: Balai Penerbit FKU
Sudoyo. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2016
Smeltzer, Susanne C & Bare, Brenda G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-
Bedah. EGC: Jakarta
Sudoyo, A. W dkk. 2009. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid II. Edisi V. Pusat Penerbitan IPD FK UI: Jakarta.
Udjianti, Wajan J. 2015. Keperawatan Kardiovaskuler. Jakarta: Salemba medika

Anda mungkin juga menyukai