Anda di halaman 1dari 12

PEMBAHASAN

Tujuan praktikum kali ini adalah untuk mengetahui dan memahami teknik pemisahan
secara ekstraksi cair-cair, menetapkan kualitas pemisahan menggunakan kromatografi cair
kinerja tinggi (KCKT), dan menetapkan kadar parasetamol, asam asetilsalisilat, dan kafein dalam
obat simptomatis untuk sakit kepala dengan menggunakan HPLC. Saat praktikum dilakukan
proses analisis farmasi yang meliputi pemisahan dan pemurnian suatu senyawa yang diinginkan
dari suatu senyawa campuran, validasi metode dengan HPLC dan Adisi.
Ekstraksi
Ekstraksi adalah metode yang dilakukan untuk memisahkan suatu senyawa dari suatu
campuran dengan suatu pelarut. Pelarut yang digunakan harus dapat mengekstrak substansi yang
diinginkan tanpa melarutkan material lainnya. Ekstraksi padat-cair dan cair-cair biasanya
dilakukan melalui 2 proses bertahap yaitu tahap kontak dan tahap kesetimbangan serta tahap
pemisahan. Oleh karena itu kesetimbangan analit dalam berbagai fase perlu diketahui. Dalam
Hukum Nernst dinyatakan bahwa Pada konsentrasi dan tekanan yang tetap, analit akan
terdistribusi dalam proporsi yang selalu sama di antara 2 pelarut yang tidak saling
campur.Perbandingan konsentrasi pada keadaan setimbang dalam 2 fase disebut koefisien
distribusi (KD). KD dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
g
konsentrasiAdalamS (
)
mL
KD :=
g
konsentrasiAdalam S ' (
)
mL
(Oxtoby, 2001)
Pada percobaan kali ini digunakan teknik pemisahan dengan ekstraksi cair-cair. Prinsip
dari ekstraksi cair-cair adalah pengambilan senyawa dari campuran berdasarkan kepolaran dan
kelarutannya dalam dua pelarut yang tidak saling campur. Beberapa factor yang dapat
mempengaruhi proses ekstraksi diantaranya adalah suhu, ukuran partikel, dan factor solvent.
Sampel yang akan diekstraksi pada percobaan ini terdiri dari parasetamol, asam asetil
salisilat (aspirin) dan kafein. Tujuan proses ekstraksi ini adalah untuk mendapatkan senyawa
yang terpisah diantara ketiga sampel tersebut. Sampel tersebut di larutkan pada fase air dan fase
organik dengan memperhatikan kelarutan analit yang ingin dipisahkan. Ekstraksi dilakukan
dengan menggunakan corong pisah yang merupakan alat gelas dengan bentuk seperti buah pir
yang dilengkapi dengan kran pada bagian bawah dan tutup untuk menutup lubang pada bagian

atas. Pada ekstraksi ini pelarut yang digunakan adalah dietil eter, karena dapat melarutkan
berbagai senyawa organik, tidak dapat larut dalam air, dan mudah diuapkan karena titik didihnya
38C.
Pada saat melakukan LLE (Liquid-liquid Extraction), langkah pertama yang dilakukan
yaitu melarutkan serbuk sampel sebanyak 0,5 gram dengan 20 mL dietil eter dalam erlenmeyer
50 mL. Larutan dimasukkan kedalam corong pisah dan dibilas dengan 5 mL dietil eter. Tujuan
penambahan dietil eter ini adalah agar tidak terdapat sampel yang tertinggal didalam erlenmeyer.
Lalu larutan dietil eter diekstrak dengan 20 mL HCl 0,1 M dan kemudian akan terbentuk dua
lapisan. Tujuan pemberian HCl yaitu untuk menggerakkan kafein yang bersifat basa, sehingga
dapat masuk pada lapisan air (ekstrakHCl). Larutan bagian atas mengandung aspirin dan PCT
yang terlarut dalam dietil eter , larutan bagian bawah mengandung kafein yang terlarut dalam
HCl dan bagian bawah (air asam) inilah yang dikeluarkan lalu dimasukkan kedalam gelas beaker
dan diberi label Ekstrak HCl. Lapisan atas, dietileter diekstraksikan kembali dengan 20 mL
HCl 0,1 M yang baru, dan hasilnya digabungkan dengan hasil ekstraksi HCl yang pertama.
Biasanya akan terbentuk emulsi hal ini dikarenakan tercampurnya dua cairan yang memiliki
berat jenis yang berbeda serta adanya fase minyak ataupun air. Terjadinya emulsi karena
kemungkinan terdapat pengotor yang dapat berperan sebagai surfaktan. Sehingga dua pelarut
yang tadinya tidak dapat bercampur akan terbentuk emulsi. Untuk mengatasi terbentuknya
emulsi maka digunakan NaCl. Namun pada praktikum ini tidak terbentuk emulsi. Dapat
dilakukan penggojogkan yang kuat namun tetap konstan supaya fase air dan minyak dapat saling
campur.
Kemudian lapisan eter diekstrak dengan 20 mL dengan natrium bikarbonat (NaHCO 3)
10%. Dalam tahap ini terjadi tekanan yang tinggi sehingga menimbulkan letupan dari gas yang
ada di dalam corong pisah tersebut. Kemudian

lapisan air yang berada dibagian bawah

dikeluarkan kedalam erlenmeyer dan diberi label Ekstrak bikarbonat. Lapisan dietil eter
diekstraksi dengan 15 mL larutan natrium bikarbonat 10% yang baru, hasil yang didapat
digabungkan dengan hasil ekstraksi pertama.
Selanjutnya, lapisan eter dibilas dengan 20 mL larutan jenuh natrium klorida dan akan
membentuk dua lapisan. Lapisan air yang terdapat pada bagian bawah dikeluarkan, dan lapisan
eter (bagian atas) dipindahkan ke dalam erlenmeyer 50 mL. Ditambahkan sedikit natrium sulfat
anhidrat (Na2SO4) ke dalam larutan dietil eter dan dibiarkan selama 5 menit sampai mengering,

kemudian saring larutan eter dan dimasukkan kedalam erlenmeyer 50 mL lalu diberi label
Ekstrak parasetamol.
Kemudian dilakukan proses ekstraksi aspirin. Asam asetil salisilat merupakan suatu
senyawa asam organik, oleh karena itu aspirin larut dalam pelarut organik dimana dalam
praktikum ini digunakan dietil eter sebagai pelarut organiknya. Asam asetil salisilat atau aspirin
dapat bereaksi dengan pereaksi basa misalnya natrium hidroksida atau natrium bikarbonat
menghasilkan konjugat basa dari asam. Basa konjugat merupakan suatu garam dan larut dalam
air, oleh karena itu konjugat basa ini akan berpindah dari lapisan pelarut organic ke pelarut air.
Pengasaman kembali larutan basa dalam air ini akan menghasilkan asam asetilsalisilat kembali,
yang mengendap dalam larutan air akibat kelarutan bentuk asam dalam air yang terbatas dan
larut kembali dalam pelarut organic.
Proses ekstraksi aspirin dilakukan dengan mengambil ekstrak bikarbonat dari lapisan
bawah tahap kedua yang diletakkan di dalam penangas es dengan tujuan mencegah ekstrak
bikarbonat menguap. Kemudian ditambahkan larutan 6 M HCl kurang lebih 1,5 mL dan dicek
keasaman larutan sampai pH 1 menggunakan indikator universal. Pengasaman ini bertujuan
mengubah senyawa dari bentuk garam menjadi senyawa molekul aspirin. Reaksi yang terjadi
adalah sebagai berikut:
Bentuk garam diubah menjadi bentuk molekulnya kembali agar terlarut dalam dietil eter.
Setelah larutan mencapai pH 1, ekstrak aspirin lalu dituang ke dalam corong pisah dengan 5 mL
dietil eter yang berfungsi untuk membilas sisa ekstrak dalam erlenmeyer. Ekstrak aspirin
kemudian diekstraksi dengan menambahkan 20 mL dietil eter ke dalam corong pisah kemudian
digojog dengan hati-hati. Sesekali kran corong pisah dibuka untuk membuang gas yang ada
dalam corong pisah dan agar terjadi kesetimbangan konsentrasi zat yang akan diekstrasi pada
kedua lapisan. Pengeluaran gas ini dilakukan guna menghindari adanya tekanan pelarut ketika
penggojokan dilakukan. Saat mengeluarkan gas perlu ditekankan bahwa kran pada corong pisah
harus diarahkan menjauhi kita atau orang-orang yang ada disekitar kita mengingat gas yang
dikeluarkan tersebut bersifat toksik. Fungsi penggojogkan ini sendiri untuk memperbesar luas
bidang kontak antara kedua pelarut sehingga proses distribusi molekul-molekul ekstrak yang
terlarut menjadi lebih mudah terjadi. Namun pada penggojogkan yang terlalu keras akan
terbentuk emulsi sehingga sulit terjadi pemisahan, oleh karena itu penggojokan yang dilakukan

tidak boleh terlalu keras. Selanjutnya tempatkan corong pisah tegak lurus dan biarkan terbentuk
lapisan yang memisah dengan jelas, kemudian keluarkan lapisan air (lapisan bawah) ke dalam
corong pisah lainnya.
Lapisan eter dikeluarkan dan tampung ke dalam erlenmeyer. Ekstraksi kembali lapisan air
dengan dietil eter seperti langkah diatas dengan tujuan memaksimalkan hasil ekstraksi.
Kemudian dari hasil ekstraksi yang diambil adalah lapisan atas (eter), karena molekul aspirin
larut dalam pelarut organik. Setelah itu gabungkan lapisan eter kedua dengan lapisan eter hasil
ekstraksi pertama, lalu ditambahkan sedikit natrium sulfat anhidrat (Na 2SO4) hingga menutup
bagian dasar erlenmeyer kedalam dietil eter untuk menghilangkan tapak-tapak air. Setelah itu
biarkan proses pengeringan selama 5 menit di lemari asam karena kelarutan suatu zat padat dan
cair pada suatu pelarut akan meningkat seiring dengan kenaikan suhu bila proses pelarutannya
adalah endoterm, beberapa zat dalam larutan akan terurai dan menguap dengan pemanasan. Oleh
karena itu tidak digunakan oven karena ditakutkan zat larut kemudian menguap dan pelarutnya
akan habis. Lalu larutan disaring menggunakan corong yang diberi sedikit kapas dengan tujuan
agar natrium sulfat anhidrat (Na2SO4) tidak ikut bersama larutan yang diinginkan, larutan hasil
penyaringan dimasukkan ke dalam erlenmeyer 50 mL yang bersih untuk selanjutnya diperiksa
menggunakan HPLC.
Selanjutnya, Ekstrak HCl yang mengandung asam konjugat kafein dibasakan dengan
NaOH 1 M sampai pH 10 dengan menggunakan indikator universal pH dalam penangas es.
Tujuan Ekstrak HCl diletakkan ke dalam penangas es untuk mencegah ekstrak HCl menguap.
Karena kafein memiliki gugus amina yang merupakan basa nitrogen, sehingga akan mudah
bereaksi dengan senyawa yang dapat menghasilkan proton misalnya asam klorida. Dalam
percobaan ini, interaksi antara kafein dan HCl menghasilkan asam konjugat dari amina (suatu ion
ammonium) yang merupakan suatu garam dan larut dalam air, oleh karena itu konjugat asam ini
akan berpindah dari lapisan pelarut organik ke pelarut air. Sehingga, tujuan dari pembasaan
kembali ekstrak HCl dengan NaOH adalah untuk menghasilkan kembali amina yang tidak larut
dalam air. Di mana, amina yang terbentuk kembali akan mengendap dalam larutan air akibat
kelarutan bentuk basa dalam air yang terbatas dan larut kembali dalam pelarut organik (dietil
eter). Reaksinya sebagai berikut:

Pada praktikum kali ini terjadi fenomena larutan menjadi biru pada proses pembasaan. Hal
ini terjadi dikarenakan penggunaan pH indicator yang salah dimana pH indicator yang sudah
digunakan lalu digunakan lagi dalam pembacaan ukuran pH, hal ini membuat warna pH indicator
dapat larut dan mengontaminasi larutan tersebut.
Ekstrak HCl selanjutnya dituang ke dalam corong pisah dengan 5 mL dietil eter dengan
tujuan untuk membilas wadah ekstrak HCl. Ekstrak kafein selanjutnya diekstraksi menggunakan
20 mL dietil eter untuk membentuk 2 lapisan yaitu lapisan atas (eter) dan lapisan bawah (air).
Hasil ekstraksi yang diambil adalah lapisan atas (eter), karena molekul kafein larut dalam pelarut
organik. Sedangkan lapisan bawah (air) diekstraksi kembali lagi dengan dietil eter untuk
memaksimalkan dan menyeimbangkan hasil ekstraksi yang didapat, semakin banyak frekuensi
ektraksi maka semakin banyak hasil ektraksi yang diperoleh.
Kemudian lapisan eter hasil ekstraksi ini, ditambahkan Na2SO4 anhidrat secukupnya yang
digunakan dengan tujuan untuk menarik sisa air yang berada dalam larutan eter. Hal ini
dilakukan selama 5 menit, yang diasumsikan sebagai waktu optimal untuk pengeringan atau
menarik air dari larutan eter. Tahap terakhir, larutan eter ini disaring dengan kapas dan corong
yang bertujuan untuk memisahkan Na2SO4 anhidrat dengan larutan eter yang diinginkan.
Setelah disaring, eter kemudian dimasukkan ke dalam flakon dan diuapkan ke dalam
lemari asam sehingga menghasilkan asam asetil salisilat dimana hasil dari penguapan tersebut
yang nantinya akan diperiksa dengan HPLC dalam praktikum selanjutnya.
Ekstrak kering yang didapat kemudian dilarutkan dalam fase gerak yang digunakan dalam
uji dengan HPLC, yaitu metanol : asam asetat glasial : aquabidest (28:3:69) pada labu 10 mL,
kemudian diuji dengan HPLC.
VALIDASI METODE & PENETAPAN KADAR
Validasi metode dilakukan dengan menggunakan HPLC. HPLC merupakan teknik
pemisahan untuk permunian senyawa tertentu dalam suatu sampel dan untuk analisis kuantitatif,
yang didasarkan pada pengukuran luas atau area puncak analit dalam kromatogram,
dibandingkan dengan luas atau area standar.
Prinsip HPLC adalah senyawa-senyawa dalam kolom dipisahkan atas dasar kepolaran dan
kekuatan interaksi senyawa uji terhadap fase gerak dan fase diam. Senyawa-senyawa yang
interaksinya terhadap fase diam lebih lemah daripada interaksi terhadap fase gerak akan keluar
terlebih dahulu, dan sebaliknya senyawa yang berinteraksi kuat dengan fase diam akan keluar

lebih lama. Senyawa yang keluar dari kolom akan dideteksi oleh detektor kemudian direkam
dalam bentuk kromatogram. Dari kromatogram tersebut akan dapat diidentifikasikan waktu
retensi (tR) dan luas area/tinggi puncak. Informasi tR digunakan untuk analisis kualitatif,
sedangkan informasi luas area atau tinggi puncak untuk analisis kuantitatif (Sanagi, 2001).
Gambar HPLC sebagai berikut :

(Underwood, 2002)
HPLC memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan HPLC adalah mampu memisahkan
molekul-molekul dari suatu campuran, memiliki resolusi yang baik, pelaksanaan yang mudah,
memiliki kecepatan analisis dan kepekaan yang tinggi, terjadinya dekomposisi/ kerusakan bahan
dapat dihindari, kolom dapat digunakan kembali, memiliki reprodusibilitas yang lebih baik,
instrument HPLC dapat bekerja secara otomatis dan kuantitatif, waktu analisisnya singkat, serta
kromatografi cair preparative memungkinkan dalam skala besar. Sedangkan kekurangan HPLC
adalah jika sampel sangat kompleks, maka resolusi yang baik sulit untuk diperoleh, keterbatasan
untuk identifikasi senyawa, kecuali jika KCKT dihubungkan dengan spektrometer massa (MS).
Senyawa yang dianalisis memiliki sifat polar, maka fase gerak yang digunakan adalah
metanol : asam asetat glasial : aquabidest (28:3:69) dan fase diam yang digunakan adalah ODS
(oktadesil silika). Oleh karena itu sistem HPLC yang digunakan adalah system HPLC terbalik
karena HPLC terbalik memiliki sistem kromatografi dengan kolom yang fase diamnya bersifat
non-polar dan fase geraknya bersifat polar.
Syarat dari fase gerak diantaranya adalah:
-

murni, tidak terdapat kontaminan

tidak bereaksi dengan wadah


sesuai dengan detektor
dapat melarutkan sampel
memiliki viskositas rendah

Faktor-faktor yang memepengaruhi pemisahan campuran dengan HPLC :


Suhu system
Sifat pelarut
Ukuran partikel fase diam
Kecepatan fase gerak dalam kolom
Bentuk atau susunan partikel fase diam
Kelarutan sampel dalam pelarut
Kapasitas fase diam
Larutan baku dibuat dengan konsentrasi 2000 g/mL. Larutan baku dibuat dengan tujuan

untuk membuat larutan intermediet dengan konsentrasi 160 g/mL yang kemudian akan
digunakan untuk membuat larutan seri dengan konsentrasi 8 g /mL ; 16 g/mL ; 32 g/mL ; 48
g/mL; 64 g/mL. Larutan seri dibuat dengan tujuan untuk menentukan kurva baku dan panjang
gelombang maksimal. Kurva baku ditentukan dengan HPLC dan panjang gelombang maksimal
ditentukan dengan spektrofotometri UV.
Prinsip dari spektrofotometer adalah penyerapan cahaya berupa cahaya ultraviolet (190
380 nm) oleh suatu molekul senyawa yang menyebabkan eksitasi elektron dari keadaan dasar
(ground state) menuju tingkat eksitasi (excited state). Jumlah elektron yang mengalami eksitasi
sebanding dengan besarnya absorbansi. Elektron dalam tingkat excited state berada dalam
keadaan tidak stabil dan cenderung akan kembali ke ground state dengan melepaskan energi /
emisi. Sumber sinar yang dipancarkan ke senyawa kemudian ada yang diserap dan ada yang
diteruskan. Sumber sinar yang diteruskan kemudian akan melewati detektor yang mempunyai
sistem read-out sehingga diperoleh nilai absorbansi dari zat tersebut.
Panjang gelombang maksimal merupakan gelombang dimana absorbansi terbaca
maksimal. Panjang gelombang maksimal diukur dengan menggunakan konsentrasi 32 g/mL
untuk setiap senyawa. Dipilih konsentrasi 32 g/mL karena pada konsentrasi tersebut SD nya
kecil dan supaya absorbansi yang didapat diantara 0,2 0,8. Karena bila absorbansi dibawah 0,2
maka kesalahan akan semakin besar, sedangkan absorbansi 0,8 merupakan batas deteksi pada
alat. Dalam pratikum maks yang digunakan adalah 273 nm, karena pada orientasi puncak
paracetamol dan kafein terbaca.

Sebelum melakukan deteksi dengan HPLC, larutan seri yang akan dideteksi dilakukan
penyaringan terlebih dahulu dengan menggunakan milipore. Penyaringan ini bertujuan agar
partikel penganggu yang terlarut dalam larutan sampel tidak ikut terlarut sehingga ketika diukur
menggunakan HPLC serta puncak yang muncul juga hanya puncak yang diinginkan. Setelah
dilakukan penyaringan kemudian tidak langsung dilakukan deteksi dengan HPLC namun
dilakukan degassing terlebih dahulu untuk menghilangkan buih. Degassing seharusnya dilakukan
selama 15 menit. Namun pada praktikum hanya dilakukan 5 menit untuk degassing.
Setelah persiapan larutan seri kemudian dilakukan pembuatan fase gerak dengan cara
mencampurkan akuabides, metanol dan asam asetat glasial dengan perbandingan 69 : 28 : 3
dalam labu takar 500 ml. Digunakan 345 mL akuabides, 140 mL metanol dan 15 mL asam asetat
glasial. Setelah itu disaring menggunakan kertas saring dengan bantuan pompa vakum untuk
menghilangkan kotoran atau partikel kecil karena adanya partikel yang kecil dapat terkumpul
dalam kolom atau dalam tabung yang sempit, sehingga dapat mengakibatkan suatu kekosongan
pada kolom atau tabung tersebut. Kemudian dilakukan degassing untuk menghilangkan buih.
Degassing dilakukan selama 15 menit.
Kemudian dilakukan kondisioning HPLC dengan cara mengalirkan fase gerak selama 30
menit untuk memastikan aliran yang digunakan pada saat deteksi tidak terisi/ terdapat gelembung
yang dapat mengganggu hasil pembacaan HPLC. Optimasi bertujuan untuk efesiensi waktu,
mendapatkan pemisahan yang bagus dan resolusi yang baik. Kemudian dilakukan deteksi
kromatogram fase gerak dengan cara zero test. Hasil deteksi ini harus memiliki hasil berupa garis
lurus karena apabila terdapat peak akan mempengaruhi hasil pengujian selanjutnya.
Setelah itu dilakukan penginjekkan larutan stok. Penginjekkan larutan stok paracetamol
dan kafein akan menghasilkan peak yang nantinya akan digunakan sebagai pembanding pada
peak sampel.peak tersebut juga digunakan untuk menentukan rumus regresi linier. Pada
praktikum diperoleh data regresi linier paracetamol adalah y = 9194.9x + 16741 dengan r =
0.999. Nilai r yang baik adalah yang mendekati 1, maka r paracetamol ini dapat dikatakan baik.
Hasil regresi linier kafein adalah y = 23035x + 45730 dengan r = 0.999, sehingga dapat
dikatakan nilai r kafein juga memiliki hasil yang baik.

Tahap selanjutnya adalah penginjekkan sampel. Penginjekkan dilakukan dengan


memasukkan sampel campuran paracetamol dan kafein sebanyak 20L. Luas peak yang
dihasilkan digunakan untuk menghitung kadar senyawa dalam sampel menggunakan kurva baku
yang telah diperoleh sebelumnya. Diperoleh kadar sebenarnya untuk paracetamol adalah
194.6584 g/mL , dan kadar sebenarnya untuk kafein adalah 55.7973 g/mL.
ADISI
Setelah melakukan uji kinerja pemisahan secara ekstraksi cair-cair kemudian dilakukan
deteksi adisi. Tujuan dilakukannya adisi ini adalah sebagai indikator dari setiap kesalahan yang
dilakukan oleh praktikan, jadi adisi ini sebagai indikator untuk % recovery.
Langkah pertama yang dilakukan adalah mengambil 2mL campuran paracetamol dengan
konsentrasi 2200 ppm dan 2mL paracetamol dengan konsentrasi 1960 ppm. Disiapkan labu ukur
10mL sebanyak 8 buah, masing masing 4 untuk paracetamol dan kafein. Diambil 2 mL campuran
kafein dan paracetamol lalu dimasukkan ke masing-masing labu ukur 25 mL. Untuk labu A di ad
pelarut hingga batas tanda, labu B ditambahkan 0,5 mL intermediet kafein dan 0,5mL
intermediet paracetamol lalu di ad pelarut hingga batas tanda, labu C ditambahkan 1mL
intermediet kafein dan 1 mL intermediet paracetamol lalu di ad pelarut hingga batas tanda, labu
D ditambahkan 2 mL intermediet kafein dan 2 mL intermediet paracetamol lalu di ad pelarut
hingga batas tanda. Setelah itu, dari setiap labu tersebut disaring menggunakan milipore ke
dalam flakon, selanjutnya keempat flakon tersebut di degassing bertujuan untuk menghilangkan
buih.
KARAKTERISTIK VALIDASI METODE
Validasi metode menurut USP (United States Pharmacopeia) dilakukan untuk menjamin
bahwa metode analisis akurat, spesifik, reprodusibel dan tahan pada kisaran analit yang akan
dianalisis. Suatu metode analisis harus divalidasi untuk mengatasi problem analisis. ICH
(International Conference on Harmanization) membagi karakteristik validasi metode menjadi
beberapa yaitu :
1. Akurasi (ketepatan)

Akurasi merupakan kedekatan antara nilai terukur (nilai rata-rata hasil analisis)
dengan nilai yang diterima sebagai nilai yang sebenarnya baik nilai konvensi, nilai
sebenarnya, ataupun nilai rujukan. Akurasi juga dapat dijadikan sebagai petunjuk
kesalahan sistemik. Kecermatan hasil analis sangat ditentukan sebaran galat sistematik di
dalam keseluruhan tahapan analisis. Oleh karena itu untuk mencapai kecermatan yang
tinggi hanya dapat dilakukan dengan cara mengulangi galat sistematik tersebut
menggunakan alat yang telah dikalibrasi. Akurasi dapat diketahui dari nilai % recovery.
Persen recovery dapat dihitung dengan rumus:
Nilai yang didapat
recovery =
100
Nilai yang sebenarnya
Biasanya persyaratan untuk %recovery adalah tidak boleh lebih dari 5%. % recovery
untuk paracetamol adalah 125.7399781 % dan persen recovery untuk kafein adalah
88.54715483 %. Hal ini menunjukkan banyaknya kesalahan saat praktikum dilaksanakan
dimulai dari pengekstrakan, penyimpanan, preparasi dan perhitungan kadar sampel. Hal ini
juga menunjukkan banyaknya zat yang hilang selama proses praktikum berlangsung.
Ditambah lagi saat pengekstrakan dengan corong pisah tidak ada pembersihan dengan
etanol. Sehingga pengotor sudah pasti banyak dan itu mempengaruhi akurasi.

2. Presisi
Presisi merupakan ukuran keterulangan metode analisis dan biasanya diekpresikan
sebagai simpangan baku relatif dari sejumlah sampel yang berbeda signifikan secara
statistik. Dokumentasi presisi mencakup : simpangan baku, simpangan baku relative (RSD)
atau kefisien variasi (CV) dan kisaran kepercayaan. Nilai SD dapat dihitung dengan rumus:
d2
SD=
n1
Sedangkan nilai RSD / CV dapat dihitung dengan rumus:
SD
RSD=
100
x

Pada praktikum kali ini, pada senyawa paracetamol didapat nilai CV sebesar 21.57% dan
senyawa kafein didapat nilai CV sebesar 8.49%.

Nilai CV sampel yang didapat tidak

termasuk nilai CV yang baik, dimana nilai CV yang baik <2%. Makin kecil nilai CV
maka kedekatan antar data yang didapat makin baik.
3. Spesifisitas
Spesifisitas adalah kemampuan untuk mengukur analit yang dituju secara tepat dan
spesifik dengan adanya komponen-komponen lain dalam matrix sampel seperti
ketidakmurnian, produk degradasi, dan komponen matrix.
Parameter spesifisitas adalah waktu retensi (t R) dan area under curve (AUC). Berdasarkan
hasil praktikum dapat disimpulkan bahwa metode yang digunakan memiliki spesifisitas
karena dapat menganalisis senyawa yang dituju meskipun terdapat pengotor, peak yang
dihasilkan spesifik untuk masing-masing senyawa (memiliki waktu retensi (tR) dan area
under curve (AUC) masing-masing), detektor yang digunakan spesifik karena
menggunakan detektor UV-VIS pada gelombang 273 nm yang dapat mendeteksi sampel
(parasetamol dan kafein).
4. Batas deteksi (Limit of Detection, LOD)
LOD adalah konsentrasi analit terendah yang masih dapat ditemukan dengan metode yang
digunakan. Limit deteksi dihitung berdasarkan garis regrasi dari kurva baku dan digunakan
untuk mengetahui sentitivitas suatu metode analisis. Sebagai contoh batas deteksi
merupakan banyaknya sampel yang menunjukkan respon (S) 3 kali terhadap (N) atau LOD
dapat dihitung dengan rumus:
LOD=3,3

SD
S

Didapat nilai LOD parasetamol pada praktikum sebesar 3.290 g/ml, LOD kafein sebesar
95.8279 g/ml.
5. Batas Kuantifikasi (Limit of Quantification, LOQ)
LOQ didefinisikan sebagai konsentrasi analit terendah dalam sampel yang dapat
ditentukan dengan presisi dan akurasinya.
LOQ dapat dihitung dengan rumus:
LOQ=10

SD
S

Didapat nilai LOQ parasetamol pada praktikum sebesar 10.967 g/ml, LOQ kafein
sebesar 319.4264 g/ml.
6. Linearitas
Linearitas merupakan salah satu parameter untuk menilai kesahihan metode analisis
dengan melihat dengan melihat nilai hubungan respon dari berbagai konsentrasi zat baku
pada suatu kurva baku yang dilihat sebagai nilai koefisien korelasi (r). nilai r yang baik
1.
Pada praktikum diperoleh regresi linier paracetamol adalah y = 9194.9x + 16741 dengan
r = 0.999. Nilai r yang baik adalah yang mendekati 1, maka r paracetamol ini dapat
dikatakan baik. Hasil regresi linier kafein adalah y = 23035x + 45730 dengan r = 0.999,
sehingga dapat dikatakan nilai r kafein juga memiliki hasil yang baik.
7. Kisaran (range)
Kisaran merupakan kisaran suatu prosedur analisis yaitu inteval antar konsentrasi
(jumlah) analit pada level atas dan pada level bawah dalam suatu sempel yang mana
dapat ditunjukkan bahwa prosedur analisis mempunyai level akurasi, presisi, dan
linearitas yang sesuai. Kisaran konsentrasi yang diuji tergantung pada jenis metode dan
kegunaannya.
8. Kekasaran (reggedness)
Ketahanan merupakan tingkat reprodusibilitas hasil yang diperoleh dibawah kondisi yang
bermacam-macam yang diekspresikan sebagai persen standar deviasi relatif (%RSD).
Kondisi-kondisi ini meliputi laboratorium analisis, alat, reagen, dan waktu percobaan
yang berbeda.
9. Ketahanan (Robutness)
Merupakan kapasitas metode untuk tetap tidak terpengaruh oleh adanya variasi parameter
metode yang kecil. Suatu praktek yang baik untuk mengevaluasi ketahanan suatu metode
adalah dengan melakukan variasi parameter-parameter yang penting dalam metode secara
sistematis seperti: persentase pelarut organik, pH, kekuatan ionik, suhu, dsb., lalu
mengukur pengukurannya pada pemisahan.
10. Stabilitas
Untuk memperoleh hasil-hasil analisis yang reprodusibel dan reliabel maka sampel,
reagen, dan baku yang digunakan harus stabil pada waktu tertentu. Stabilitas semua
larutan dan reagen sangat penting baik yang berkaitan dengan suhu atau yang berkaitan
dengan waktu.
(Gandjar dan Abdul, 2007)

Anda mungkin juga menyukai