Anda di halaman 1dari 4

FRAKSINASI BERTINGKAT

Fraksinasi adalah proses pemisahan suatu kuantitas tertentu dari campuran (padat,
cair, terlarut, suspensi atau isotop) dibagi dalam beberapa jumlah kecil (fraksi) komposisi
perubahan menurut kelandaian. Pembagian atau pemisahan ini didasarkan pada bobot dari
tiap fraksi, fraksi yang lebih berat akan berada paling dasar sedang fraksi yang lebih ringan
akan berada diatas. Fraksinasi bertingkat biasanya menggunakan pelarut organik seperti eter,
aseton, benzena, etanol, diklorometana, atau campuran pelarut tersebut. Asam lemak, asam
resin, lilin, tanin, dan zat warna adalah bahan yang penting dan dapat diekstraksi dengan
pelarut organik (Adijuwana dan Nur 1989).
Fraksinasi bertingkat umumnya diawali dengan pelarut yang kurang polar dan
dilanjutkan dengan pelarut yang lebih polar. Tingkat polaritas pelarut dapat ditentukan dari
nilai konstanta dielektrik pelarut. Emapat tahapan fraksinasi bertingkat dengan
menggunakan empat macam pelarut yaitu (1) ekstraksi aseton, (2) fraksinasi n-heksan, (3)
fraksinasi etil eter, dan (4) fraksinasi etil asetat (Lestari dan Pari 1990).
Ekstraksi merupakan suatu proses penyaringan suatu senyawa kimia dari suatu bahan alam
dengsan menggunakan pelarut tertentu. Ekstraksi bisa dilakukan dengan berbgai macam
metode yang sesuai dengan sifat dan tujuan ekstraksi. Pada proses ekstraksi ini dapat
digunakan sampel dalam keadaan segar atau yang telah dikeringkan. Tergantung pada sifat
tumbuhan dan senyawa yang akan diisolasi. Untuk mengekstraksi senyawa utama yang
terdapat dalam bahan tumbuhan dapat digunakan pelarut yang cocok.
Banyak metode yang digunakan untuk proses ekstraksi, baik dengan cara dingin
maupun dengan cara panas. Cara dingin meliputi maserasi dan perkolasi, sedangkan cara
panas meliputi refluks, digesti, infus, dekok, dan sokletasi.
Cara Dingin
1. Maserasi
Salah satu metode yang digunakan dalam fraksinasi adalah dengan menggunakan
metode maserasi. Maserasi merupakan proses perendaman sampel menggunakan pelarut
organik pada temperatur ruangan proses ini sangat menguntungkan dalam isolasi senyawa
bahan alam karena dengan perendaman sampel akan terjadi pemecahan dinding sel dan
membran sel karena perbedaan tekanan antara di dalam dan luar sel, sehingga metabolit
sekunder yang ada dalam sitoplasma akan terlarut dalam pelarut organik dan ekstraksi
senyawa akan sempurna karena dapat diatur lama perendaman yang dilakukan. Pemilihan
pelarut untuk proses maserasi akan memberikan efektivitas yang tinggi dengan
memperhatikan kelarutan kelarutan senyawa bahan organik dalam pelarut tersebut. Secara
umum pelarut metanol merupakan pelarut yang banyak digunakan dalam proses isolasi
senyawa organik bahan alami karena dapat melarutkan seluruh golongan metabolit sekunder.
Maserasi yang digunakan mempengaruhi tinggi rendahnya rendemen yang didapat, biasanya
digunakan untuk mendapatkan zat warna alami dari ekstraktif. Kelebihan metode maserasi
pada ekstraksi zat warna alami yaitu zat warna mengandung gugus-gugus yang tidak stabil
(mudah menguap seperti ester dan eter tidak akan rusak atau menguap karena berlangsung
pada konndisi dingin. Selain itu kelebihan dari maserasi adalah cara pengerjaan yang
dilakukan lebih sederhana dan dapat dilakukan untuk bahan-bahan atau zat yang tidak tahan
terhadap pemanasan. Kelemahan dari metode maserasi adalah banyak pelarut yng dibutuhkan
selama proses maserasi dan waktu yang dibutuhkan lama (Irwan 2010).
2. Perkolasi
Perkolasi adalah cara penyaringan yang dilakukan dengan mengalirkan cairan penyari
melalui serbuk simplisia yang telah dibasahi. Kekuatan yang berperan pada perkolasi adalah
gaya berat, kekentalan, daya larut, tegangan permukaan, difusi, osmosa, adesi, daya kapiler,

a.
b.
c.
1.

dan daya geseran (friksi). Cara perkolasi lebih baik jika dibandingkan dengan cara maserasi
karena
Aliran cairan penyari menyebabkan adanya pergantian larutan yang terjadi dengan larutan
yang konsentrasinya lebih rendah sehungga meningkatkan derajat perbedaan konsentrasi.
Ruangan diantara serbuk-serbuk simplisia membentuk saluran tempat mengalir cairan
penyari karena kecilnya saluran kapiler tersebut maka kecepatan pelarut cukup untuk
mengurangi lapisan batas, sehingga dapat meningkatkan perbedaan konsentrasi.
Selain itu, penggunaan metode perkolasi lebih mengefisienkan waktu dan jumlah pelarut jika
dibandingkan dengan metode maserasi (Irwan 2010).
Cara panas
Refluks
Metode ini akan digunakan apabila dalam sintesis senyawa tersebut menggunakan pelarut
yang volatil. Pada kondisi ini jika dilakukan pemansan yang biasa maka pelarut akan
menguap sebelum reaksi berjalan hingga selesai. Prinsip dari metode ini adalah pelarut volatil
yang digunakan akan menguap pada suhu tinggi. Namun akan didinginkan dengan kondensor
sehingga pelarut yang tadinya dalam bentuk uap akan mengembun pada kondensor dan akan
turun lagi ke dalam wadah reaksi sehingga pelarut akan tetap ada selama reaksi berlangsung.
Sedangkan aliran gas N2 diberikan agar tidak ada uap air atau gas oksigen yang masuk
terutama senyawa golongan anorganik karena sifatnya yang reaktif (Sukmana 2010).

2. Digesti
Digesti adalah metode ekstraksi dengan pemanasan lemah yaitu pada suhu 400-500

a.
b.
c.
d.

C. Cara ini hanya dapat digunakan untuk simplisia yang zat aktifnya tahan terhadap
pemanasan. Dengan pemanasan diperoleh keuntungan antara lain
Kekentalan pelarut berkurang yang dapat mengakibatkan berkurangnya lapisan-lapisan
batas.
Daya melarutkan cairan penyari akan meningkat sehingga pemanasan tersebut mempunyai
pengaruh yang sama dengan pengadukan.
Koefisien difusi berbanding lurus dengan suhu absolute dan berbanding terbalik dengan
kekentalan, sehingga kenaikan suhu akan perpengaruh terhadap kecepatan difusi. Umumnya
kelarutan zat aktif akan meningkat bila suhu dinaikkan.
Jika cairan penyari mudah menguap pada suhu yang digunakan maka perlu dilengkapi
dengan pendingin yang baiksehingga cairan akan menguap kembali ke bejana.

3. Sokletasi
Merupakan suatu cara pengekstraksian tumbuhan dengan memakai alat soklet. Pada cara
ini pelarut dan simplisia ditempatkan secara terpisah. Sokletasi digunakan untuk simplisis
dengan kaasiat yang relatif stabil dan tahan terhadap pemanasn. Prinsip sokletasi adalah
penyaringan secara terus-menerus sehingga penyaringan lebih sempurna dengan memakai
pelarut yang relatif sedikit. Jika penyaringan telah selesai maka pelarutnya diuapkan dan
sisanya adalah zat yang tersari. Biasanya pelarut yang digunakan adalah pelarut yang mudah
menguap dan memiliki titik didih yang rendah.
4. Infudasi
Infudasi adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplisia dengan air pada suhu
900
C selama 15 menit. Proses penyaringan yang umumnya digunakan menyari zat
kandungan aktif yang larut dalam air dan bahan-bahan nabati. Penyaringan dengan metode
ini menghasilkan sari yang tidak stabil dan mudah tercemar oleh kuman dan kapang. Oleh

sebab itu, sari yang diperoleh dari cairan ini tidak boleh disimpan lebih dari 24 jam (Irwan
2010).
5. Dekok
Dekok adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur 90
C selama 30 menit.
Peguapan ekstrak larutan dilakukan dengan penguap berpusing dengan pengurangan tekanan
yaitu rotary evaporator sehingga diperoleh ekstrak yang kentaln (Harborne 1987).
Serbuk kayu yang digunakan pada praktikum kali ini adalah dari jenisAcasia
mangium. Akasia termasuk pada kayu kelas awet 3, cukup tahan terhadap cuaca dan kondisi
normal akan tetapi akan mudah terserang jamur dan serangga apabila diletakkan pada kondisi
luar ruangan yang terlalu basah. Kurang baik untuk pemakaian yang langsung diletakkan di
atas tanah. Kayu akasia memiliki teras yang berwarna coklat muda hingga coklat tua
kehijauan. Kayu gubal berwarna krem keputihan, sangat jelas dan mudah dibedakan dengan
kayu terasnya. Akasia termasuk pada kayu kelas awet 3, cukup tahan terhadap cuaca dan
kondisi normal akan tetapi akan mudah terserang jamur dan serangga apabila diletakkan pada
kondisi luar ruangan yang terlalu basah. Kurang baik untuk pemakaian yang langsung
diletakkan di atas tanah.
Hasil praktikum fraksinasi bertingkat menunjukkan bahwa kandungan ekstrak aseton yang diperoleh dari 2000 gram serbuk kayu akasia (kadar
air 13,94%) adalah 172,543 gram (19,660%). Ekstrak aseton ini kemudian difraksinasi secara bertingkat menggunakan metode ekstraksi pelarut-pelarut yang
tidak bercampur (solvent-solvent extraction) secara berturut-turut dengan n-heksan, etil eter dan etil asetat. Kandungan zat ekstraktif fraksinasi bertingkat
dalam beberapa pelarut organik terhadap ekstrak aseton kayu akasia.

Jenis
Fraksi
Fraksi nHeksan
Fraksi Etil
Eter
Fraksi Etil
Asetat
Fraksi
Residu
Ekstrak
Aseton

Berat
Ekstrak
Padatan
(gram)*)
7,39

Kadar
Ekstrak
(%)*)

69,43

7,91

36,65

4,18

59,07

6,73

172,54

19,66

0,84

Keterangan: *) dihitung berdasarkan berat kering oven


Tabel di atas menunjukkan bahwa hasil yang diperoleh dipengaruhi oleh jenis senyawa yang terdapat dalam sampel dan kelarutan senyawa
tersebut dalam pelarut yang digunakan. Hasil fraksinasi bertingkat ekstrak aseton kayu akasia sebagian besar mengandung senyawa-senyawa yang bersifat
semi polar. Berdasarkan klasifikasi kelas komponen kimia kayu (Lestari dan Pari 1990) yang menyatakan bahwa kadar ekstraktif kayu termasuk tinggi jika
kadar zat ekstraktif lebih besar dari 4%, maka kandungan zat ekstraktif kayu akasia yang diperoleh tergolong tinggi.
Kayu yang berkadar ekstraktif tinggi diperkirakan lebih tahan terhadap serangan organisme perusak kayu dibandingkan yang berkadar
ekstraktif rendah. Tetapi faktor ketahanan kayu lebih tergantung kepada senyawa-senyawa bioaktif yang terdapat pada zat ekstraktif tersebut (Lestari dan
Pari 1990).

Perbedaan kandungan zat ekstraktif kayu maupun kulit kayu dapat disebabkan oleh
beberapa faktor, antara lain jenis kayu, jenis pelarut yang digunakan, ukuran serbuk,
frekuensi pengadukan dalam perendaman dan kadar air serbuk. Kandungan zat ekstraktif
setiap jenis kayu tidak sama. Beberapa hasil penelitian menunjukkan setiap jenis kayu
memiliki kandungan ekstrak aseton yang berbeda-beda.
Pelarut aseton digunakan dalam praktikum fraksinasi bertingkat ini dengan
pertimbangan bahwa pelarut ini memiliki sifat baik yaitu dapat dicampur dengan air dalam

berbagai perbandingan. Selain itu, pelarut aseton memiliki nilai polaritas dan konstanta
dielektrik yang tinggi sehingga zat ekstraktif yang terlarut cenderung bersifat polar.
Zat ekstraktif pada kayu teras lebih beracun jika dibandingkan dengan kayu gubal
pada pohon yang sama dan keawetan teras tersebut akan berkurang secara drastis apabila
kayu tersebut di ekstraksi dengan air panas atau pelarut organik (Syafii dan Yoshimoto 1993).
Hasil dari ekstrak aseton, n-heksan, dan metanol kayu teras memiliki karakteristik resistensi
terhadap rayap tanah yang lebih tinggi dari kulit dan kayu gubalnya. Hanum and Van Der
Maesen (1997) menyatakan bahwa kayu akasia mengandung flavanoiddalam jumlah yang
sangat besar yaitu sekitar 70% dari volume kayu terasnya. Harborne (1987) menyatakan
bahwa senyawa yang tergolong flavanoid dapat berfungsi sebagai antioksidan, antidiare,
antikanker, antiinflamasi, antialergi, pengawet makanan, dan penurunan tekanan darah tinggi.
Hal ini menunjukkan bahwa kayu akasia mengandung senyawa bioaktif. Oleh karena itu,
kayu akasia diduga mengandung senyawa bioaktif yang bersifat racun terhadap serangga
perusak kayu khususnya rayap tanah. Komponen bioaktif kayu akasia diharapkan dapat
dimanfaatkan sebagai bahan pengawet alami kayu.

Daftar Pustaka
Irwan. 2010. Ekstraksi Menggunakan Proses Infudasi, Maserasi, dan Perkolasi. (Terhubung
Berkala).http://www.irwanfarmasi.blogspot.com/2010. (11 Juni 2011).
Sukmana N. C. 2010. Metode Sintesis Refluks. (Terhubung
Berkala).http://www.ndarucs.blogspot.com. (11 Juni 2010).
Adijuwana, Nur M.A. 1989. Teknik Spektroskopi dalam Analisis Biologi. Bogor: Pusat Antar
Universitas IPB.
Harborne J.B. 1987. Metode Fitokimia. Bandung: Institut Teknologi Bandung.
Lestari SB, Pari G. 1990. Analisis kimia beberapa jenis kayu Indonesia.Jurnal Penelitian Hasil
Hutan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan VII (3) : 96-100.
Syafii W, Yoshimoto T. 1993. Extractives from Some Tropical Hardwoods and Their Influences on
The Growth of Wood-Decaying Fungi. Indonesian Journal of tropical Agricultural. Volume 4,
Number 2.
Hanum IF, Van Der Maesen LJG (Editor). 1997. Plant Resources of South East Asia. No.11.
Bogor :PROSEA

Anda mungkin juga menyukai