Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Ilmu pengetahuan, etika dan hukum merupakan beberapa norma yang
mengatur peradaban manusia. Seringkali ketiganya harus berhadapan dengan ilmu
pengetahuan pada posisi berseberangan, padahal ada banyak hal di dunia ini yang
membutuhkan ketiganya agar ilmu pengetahuan memiliki batasan atau
pengendalian; tujuannya adalah memberikan rambu-rambu kepada manusia
supaya ilmu pengetahuan digunakan hanya untuk kebaikan dan hal-hal yang
bermanfaat bagi kepentingan umum, tidak menyimpang dari nilai-nilai dasar
kemanusiaan serta harkat dan martabat manusia itu sendiri (Sugiarto, 2011).
Bereproduksi merupakan salah satu hak asasi manusia yang paling awal.
Sejak zaman pembentukan manusia, manusia sudah melakukan kegiatan
reproduksi. Bahkan dalam beberapa kitab suci, Tuhan memerintahkan manusia
untuk bereproduksi demi kebaikan umat manusia. Pernyataan tersebut
menyiratkan bahwa memiliki keturunan dalam hal ini melalui kegiatan
bereproduksi merupakan hak setiap umat manusia di bumi (Niemitz, 2004).
Ilmu pengetahuan modern terus berkembang. Talcott Parson menambahkan
dalam teorinya The Sick Person mengenai hak untuk tidak memperoleh
keturunan, hak untuk tidak hamil, serta hak untuk menentukan jumlah anak yang
diinginkan. Konsep ini kelak mendasari beberapa norma program keluarga
berencana. Kombinasi ilmu pengetahuan lama dan modern akhirnya menetapkan
bahwa bereproduksi dan semua aspeknya merupakan hak sepenuhnya individu
bersangkutan (Moeloek, 2002; Wihel, 2005).
Namun, ilmu pengetahuan dan terutama teknologi yang terus berkembang
menyebabkan hal-hal yang dulu jelas dan mudah diselesaikan menjadi sulit dan
berada pada daerah abu-abu (grey area) atau kontroversial. Salah satu yang paling
kontroversial adalah teknik reproduksi buatan kloning. Meskipun pelaksanaannya
sudah berjalan sekitar 2-3 dekade ini, namun kontroversi di dalamnya masih

terjadi sampai hari ini. Beberapa nilai yang masih perlu mendapat kajian khusus
adalah aspek etika, moral, dan hukum. (Moeloek, 2002; Wihel, 2005).
Pembahasan ini bertujuan untuk mengetahui aspek legal kloning manusia dari
segi etika, moral, dan hukum dalam memenuhi kebutuhan informasi masyarakat
terhadap teknik reproduksi kloning manusia.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimanakah aspek legal kloning manusia dari segi etika, moral, dan
hukum ?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui tentang aspek legal kloning manusia dari segi etika,
moral, dan hukum.

1.4 Manfaat Penulisan


1. Sebagai sumber informasi tentang aspek legal kloning manusia dari segi
etika, moral, dan hukum khususnya di Indonesia.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Aspek Legal Kloning Menurut Hukum


Pembahasan dari aspek hukum sangat terkait dengan masalah etik dan
peraturan masing - masing negara penyelenggara. Melalui keputusan etik dan
moral yang kuat, maka dibuatlah peraturan hukum tertulis yang mengikat setiap
peneliti maupun penyelenggara teknik reproduksi buatan. Pada dasarnya,
peraturan hukum dibuat sebagai imbas dari aturan etika yang ada. Begitu pula
halnya di Indonesia. Indonesia sudah memiliki beberapa aturan hukum (tertulis)
mengenai teknik reproduksi buatan sejak tahun 1992.
Berikut beberapa peraturan hukum tentang teknik reproduksi buatan di
Indonesia menurut Moeloek, 2002 :
1.

Undang-undang Kesehatan nomor 16 tahun 1992, berisi :


a. Kehamilan di luar cara alami hanya menjadi jalan terakhir mendapat
keturunan pada pasangan suami-istri yang sah
b. Upaya kehamilan di luar cara alami tersebut hanya dilakukan oleh suamiistri sah dengan ketentuan:
i. Hasil pembuahan sperma dan ovum suami istri bersangkutan, hasilnya
ditanam pada rahim istri pemilik ovum tersebut
ii. Dilakukan tenaga kesehatan yang ahli di bidangnya
iii. Pada sarana kesehatan tertentu
c. Ketentuannya diatur oleh peraturan pemerintah

2.

Keputusan Menteri Kesehatan nomor 72 tahun 1999 tentang penyelenggaraan


teknologi reproduksi buatan berisi ketentuan umum, perizinan, pembinaan,
pengawasan, peralihan, penutup :
a. Pelayanan teknologi buatan hanya dari suami istri bersangkutan
b. Pelayanan merupakan bagian dari pelayanan infertilitas
c. Embrio yang dipindah ke rahim istri maksimal tiga, boleh empat bila :
i. Rumah sakit memiliki perawatan intensif bayi baru lahir

ii. Pasangan suami-istri sudah gagal menjalani teknik reproduksi minimal


dua kali
iii. Istri berusia lebih dari 35 tahun
d. Dilarang melakukan surogasi
e. Dilarang memperjual belikan ovum, sperma, embrio
f. Dilarang menghasilkan embrio semata-mata untuk kepentingan penelitian
g. Dilarang melakukan penelitian pada embrio berusia lebih dari 14 hari pasca
fertilisasi
h. Sel telur yang sudah dibuahi sperma tidak boleh dibiakkan lebih dari 14
hari
i. Dilarang melakukan penelitian dari ovum, sperma, dan embrio tanpa izin
pemiliknya
j. Dilarang melakukan fertilisasi trans spesies kecuali dengan tujuan
mendiagnosis masalah infertilitas. Setiap hybrid trans-spesies yang
terbentuk harus diakhiri pada tingkat dua sel.
Menurut poin f, g, h diatas, secara tidak langsung kloning pada manusia di
Indonesia tidak diperbolehkan karena kloning pada manusia saat ini masih dalam
tahap penelitian yang memerlukan waktu lebih dari 14 hari.
Meski sampai saat ini belum ada manusia yang lahir hidup dan sehat dari
teknologi kloning, namun yang menjadi perdebatan adalah bagaimana kedudukan
manusia hasil kloning tersebut di mata hukum. Di Indonesia, ada beberapa
peraturan yang tegas mengatur hak dan kewajiban warga Negara, namun
peraturan tersebut belum mengkhusus pada manusia hasil kloning. Meskipun
begitu, jika kloning suatu saat nanti dilegalkan maka peraturan perundang
undangan di Indonesia yang dapat melindungi hak dan kewajiban manusia hasil
kloning adalah sebagai berikut :
1.

Aspek Hukum Perdata


Hukum perdata adalah ketentuan yang mengatur hak-hak dan
kepentingan antara individu-individu dalam masyarakat. Hukum perdata
yang dapat melindungi hak-hak dan kepentingan manusia hasil kloning
adalah sebagai berikut :

a. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia


pasal 3 ayat (2) menyebutkan Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil serta
mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan
hukum dan ayat (3) berbunyi Setiap orang berhak atas
perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa
diskriminasi. Bahkan Pasal 5 ayat (3)

menyebut,berhak

memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan


kekhususannya.12
b. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan pasal 4
menyebutkan Tiap orang mempunyai hak yang sama dalam
memperoleh derajat kesehatan yang optimal.16
c. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan
pokok

Kesejahteraan

Sosial

pasal

menyebutkan

Setiap

Warganegara berhak atas taraf kesejahteraan sosial yang sebaikbaiknya dan berkewajiban untuk sebanyak mungkin ikut serta dalam
usaha-usaha kesejahteraan sosial.15
d. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional pasal 5 (1) menyebutkan Setiap warga negara mempunyai
hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu dan
pasal 5 (2) menyebutkan Warga negara yang memiliki kelainan fisik,
emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh
pendidikan khusus.17
2. Aspek Hukum Pidana
Hukum pidana adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang
menentukan perbuatan apa yang dilarang dan termasuk kedalam tindak
pidana, serta menentukan hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap
yang melakukannya. Tidak ada peraturan yang spesifik mengatur
perbuatan apa yang dilarang dan termasuk tindak pidana dari manusia hasil
kloning, namun jika manusia hasil cloning dianggap sebagai warga negara
Indonesia dan manusia seutuhnya maka seluruh peraturan dalam Kitab
Undang Undang Hukum Pidana akan berlaku padanya.

3. Aspek Hukum Administrasi Negara


Hukum administrasi negara adalah hukum yang selalu berkaitan
dengan aktivitas prilaku administrasi negara dan kebutuhan masyarakat
serta interaksi diantara keduanya. Manusia hasil kloning dilihat dari aspek
hukum administrasi negara yaitu :
a) Undang-Undang Dasar 1945 pasal 27 ayat 1 menyebutkan Segala
warga

negara

bersamaan

kedudukannya

dalam

hukum

dan

pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu


dengan tidak ada kecualinya sedangkan ayat 2 menyebutkan Tiaptiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan.14
4. Aspek Hukum Tata Usaha Negara
Tidak ada peraturan yang spesifik mengatur manusia hasil kloning
pada hukum tata usaha negara namun jika manusia hasil cloning dianggap
sebagai warga negara Indonesia dan manusia seutuhnya maka seluruh
peraturan dalam hukum tata usaha negara akan berlaku padanya.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan belum ada undang-undang khusus


yang mengatur manusia hasil kloning di Indonesia namun jika manusia hasil
kloning dianggap manusia seutuhnya maka peraturan perundang - undangan
yang mengatur warga Negara Indonesia juga berlaku pada manusia hasil
kloning.

2.2 Tinjauan Aspek Legal Kloning Menurut Etika dan Moral


Teknik reproduksi buatan mendapat kritik yang menarik dari segi etika dan
moral. Setidaknya, ada empat kesepakatan internasional penting mengenai
masalah etika dan moral teknik reproduksi buatan. Inggris merupakan Negara
yang pertama kali membuat kebijakan etika dan moral berkaitan dengan
kontroversi reproduksi buatan.
Committee of Enquiry into Human Fertilisation and Embriology yang
dibentuk pada tahun 1982 menghasilkan beberapa keputusan yang dapat dijadikan
referensi pelaksanaan teknik reproduksi buatan di negara-negara lain. Pada tahun

1984, Warnock menyampaikan hasil investigasi, telaah, dan kajiannya terhadap


reproduksi buatan. Secara umum, Warnock Report berisi perlu adanya pengaturan
yang jelas segi pelaksanaan teknik reproduksi buatan agar semuanya tidak
bertentangan dengan masalah etika, moral, sosial, dan hukum di negara masingmasing (Moeloek, 2002).
Selanjutnya, pada tahun 1990 dibentuk Human Fertilisation and Embriology
Authority (HFEA) yang memiliki wewenang menjadi penasihat dan pengatur
pelaksanaan reproduksi buatan di berbagai negara. HFEA juga membuat petunjuk
pelaksanaan dan memberikan rekomendasi kepada pemerintah negara pelaksana
atas berbagai masalah yang timbul akibat pelaksanaan teknik reproduksi buatan.
Semuanya bertujuan meminimalisasi dampak etika dan moral yang dapat
ditimbulkan teknik reproduksi buatan (Moeloek, 2002).
Beberapa kebijakan penting yang dikeluarkan HFEA adalah melarang :
1. Penelitian dan penyimpanan embrio manusia berusia lebih dari 14 hari
2. Menempatkan gamet atau embrio manusia di binatang dan sebaliknya
3. Menyimpan dan menggunakan embrio untuk kepentingan lain selain
memperoleh keturunan bagi pasangan sah yang telah diatur oleh peraturan
lain
4. Melakukan kloning untuk tujuan reproduksi manusia.
Poin nomor 4 pada peraturan yang dibuat oleh HFEA menegaskan bahwa
cloning untuk tujuan reproduksi manusia dilarang. Peraturan HFEA sangat jelas
dan eksplisit. Berbagai aturan tersebut disosialisasikan keseluruh negara di dunia
termasuk Indonesia. Rekomendasi HFEA ini sebagian digunakan oleh Panitia
Adhoc Khusus yang dibuat Departemen Kesehatan RI untuk mengatur syaratsyarat pelaksanaan reproduksi buatan di praktik klinik.
Selain telaah terhadap Warnock Report dan HFEA, ada dua lagi aturan
penting berkaitan dengan aspek etika dan moral dari teknik reproduksi buatan :

The International Islamic Center for Population Studies and Research


Lokakarya ini diselenggarakan pada bulan November 2000 dihadiri oleh
negara-negara Islam di dunia. Kesepakatan negara-negara Islam tidak jauh
berbeda dari Warnock Report dan HFEA :

1. IVF diperbolehkan kecuali mengambil ovum, sperma, atau embrio dari


donor
2. Pre-implantation

genetic

diagnosis

diperbolehkan

dengan

tujuan

mendiagnosis penyakit keturunan dan anomali genetik, kecuali melihat


jenis kelamin
3. Penelitian untuk melihat pematangan folikel, pematangan oosit in vitro,
dan pertumbuhan oosit in vitro diperbolehkan
4. Implantasi embrio dari suami yang sudah meninggal belum memiliki
keputusan tetap
5. IVF pada ibu pasca-menopause dilarang karena berisiko terhadap
kesehatan ibu dan anak transplantasi uterus masih kontroversial, penelitian
pada binatang diperbolehkan
6. Penggunaan sel punca untuk pengobatan diperdebatkan, diusulkan untuk
diperbolehkan
7. Kloning untuk tujuan reproduksi dan duplikasi manusia dilarang.
Keputusan dari The International Islamic Center for Population Studies and
Research poin 7 juga menunjukkan sikap negara negara islam di dunia juga
melarang dilakukannya kloning manusia. Keputusan ini juga menjadi landasan
Negara Indonesia sebagai negara Islam untuk melarang dilakukannya kloning
manusia

FIGO
Ketentuan ini diatur pada bulan Agustus 2000. Beberapa keputusan etik
tentang teknik reproduksi buatan adalah :
1. Preconceptional sex selection untuk tujuan diskriminasi sex tidak
dibenarkan. Penelitian boleh dilanjutkan untuk mengetahui adanya sexlinked genetic disorders.
2. Reproductive cloning atau duplikasi manusia tidak dibenarkan
3. Therapeutic cloning dapat disetujui
4. Penelitian pada embrio manusia sampai dengan 14 hari pasca-fertilisasi
(pre-embrio), tidak termasuk periode simpan beku :
a. Dapat diterima bila untuk tujuan kesehatan manusia

b. Hasil mendapat izin khusus dari pemilik pre-embrio tersebut


c. Harus disahkan oleh komite tertentu
d. Tidak boleh ditransfer ke uterus kecuali dalam rangka memperoleh hasil
kehamilan yang baik
e. Tidak untuk tujuan komersial
5. Tidak etis melakukan:
a. Melakukan penelitian seperti cloning setelah 14 hari pasca-fertilisasi
b. Mendapat hybrid dengan fertilisasi interspesies
c. Implantasi pre-embrio ke dalam uterus spesies lain
d. Manipulasi genom pre-embrio kecuali untuk tujuan pengobatan.
Pada ketentuan FIGO, kloning untuk terapi masih diperbolehkan. Teknik
terapi cloning saat ini masih dikembangkan terutama pada transplantasi organ.
Namun implementasinya di Indonesia sampai saat ini masih belum dilakukan
karena peraturan yang mengatur kloning untuk terapi di Indonesia sampai saat ini
belum ada. Keempat kesepakatan itu semuanya merupakan rambu-rambu yang
harus dipatuhi setiap pelaksana dan penyelenggara teknik reproduksi buatan.
Indonesia sendiri sudah menggunakan peraturan-peraturan di atas untuk tujuan
penelitian maupun praktik klinik.
Sebagai dokter, hal terpenting adalah selalu mengingat bahwa pelayanan
kesehatan maupun penelitian reproduksi manusia harus berujung pada
peningkatan kualitas hidup masyarakat, bukan untuk pemuasan ilmu maupun uang
semata. Kaidah dasar moral berupa non-maleficence, beneficence, justice, dan
autonomy haruslah dihormati sejak disumpah menjadi dokter.

2.2.1 Aspek Legal Kloning Menurut Etika Profesi Kedokteran Obstetri dan
Ginekologi Indonesia
Ketentuan etik teknik reproduksi buatan belum dicantumkan secara eksplisit
dalam Buku Kode Etik Kedokteran Indonesia. Namun, berdasarkan Mukernas
Etik Kedokteran Indonesia tahun 2002, sudah ditetapkan bahwa Negara kita juga
melarang teknik klonasi (kloning) pada manusia. Selain itu, Mukernas juga
menghimbau peneliti dan klinisi untuk tidak mempromosikan klonasi dalam
kaitannya dengan reproduksi manusia. Teknik klonasi hanya diperbolehkan secara

bioteknologi untuk kepentingan diagnostik dan pengobatan yang tidak


bertentangan dengan masalah etik dan hukum, juga untuk kepentingan penelitian
klonasi organ yang tujuannya untuk kesehatan manusia di masa akan dating
(Moeloek, 2002).
Menurut Affandi 2011 dalam buku panduan etika dan profesi obstetri dan
ginekologi di Indonesia, ada beberapa pasal etika profesi obstetri dan ginekologi
di Indonesia yang berhubungan dengan legalitas kloning. Pasal etika dan profesi
obstetri dan ginekologi di Indonesia tersebut diuraikan di bawah ini :

Pasal 14
Kloning untuk kepentingan komersial dan reproduksi dilarang.
Penjelasan
Kloning pada domba yang dilaporkan pada tahun 1997 adalah bahwa
reproduksi mamalia aseksual dimungkinkan dengan potensi juga pada manusia.
Kloning pada manusia dengan membelah mudigah juga dimungkinkan.
Dipermasalahkan 3 hal dalam kloning yang menyangkut etik dan dampak
sosialnya, yaitu:
1. Transfer sel kloning atau mudigah pada manusia;
2. Transfer sel kloning untuk menghasilkan jaringan/biakan sel manusia;
3. Transfer sel kloning atau membelah mudigah untuk menghasilkan manusia
kloning.
Sifat-sifat manusia amat ditentukan oleh DNA, misalnya golongan darah,
HLA, dan Haplotype. Tidaklah demikian dalam hal interaksi genetik dengan
lingkungan atau sosial. Ini berarti manusia klon akan identik dengan asalnya
dalam beberapa aspek. Pada kloning manusia dilakukan transfer sel yang
mengandung unsur gen yang sama dari seseorang. Ini berarti tidak menghargai
individu atau identitas orang tersebut. Selain mengandung risiko fisik yang belum
diketahui secara psikologik, juga bias berdampak buruk pada manusia yang
diproduksi dengan teknologi seperti ini (Affandi 2011).
Ciri-ciri

awal

yang

dapat

ditentukan

sebelumnya

(pre-determined),

memungkinkan teknologi kloning dipakai untuk maksud tertentu, misalnya donor


organ yang cocok. Mengatasi infertilitas dapat dilakukan dengan cara lain

10

misalnya inseminasi, FIV (Fertilisasi in Vitro), atau adopsi. Mengatasi infertilitas


dengan teknik kloning berarti mengabaikan aturan alam, yang dampaknya sulit
dikendalikan di kemudian hari (Affandi 2011).

Pasal 15
Mengobati seorang perempuan yang mempunyai defek mitokhondria dengan
jalan memasukkan sitoplasma berisi mitokhondria ke dalam protoplasma sel telur
perempuan tersebut, diperbolehkan.
Penjelasan
Perempuan dengan defek mitokhondria mempunyai risiko untuk menurunkan
kelainan ini kepada keturunannya. Pemberian suplemen sitoplasma yang
mengandung mitokhondria ke dalam protoplasma sel telur perempuan tersebut
tidak termasuk kloning. Akan tetapi, pemasukan inti salah satu sel somatik ke
dalam sel telur perempuan lain dianggap kloning. Oleh karena itu tindakan itu
dilarang (Affandi 2011).

Pasal 16
Riset pada praembrio seringkali diperlukan sehingga secara etis dibenarkan,
sepanjang:
a. Bertujuan untuk kepentingan kesehatan manusia, seperti yang tertulis dalam
definisi sehat menurut WHO;
b. Tidak membiarkan embrio berkembang melebihi 14 hari sejak terjadinya
pembuahan (tidak termasuk lamanya embrio dibekukan);
c. Informasi tidak bisa diperoleh dari model binatang;
d. Informed consent yang memadai dari kedua donor gamet
e. Projek riset praembrio diijinkan oleh badan etik yang kompeten;
f. Sebaiknya dilakukan pada praembrio yang berlebih (Surplus Praembrio) pada
FIV;
g. Praembrio bekas dipakai untuk riset tidak diimplantasikan ke dalam uterus,
kecuali ada argumentasi yang memadai bahwa kehamilan akan mencapai
kehamilan normal dan sukses.

11

Pasal 17
Riset pada praembrio menjadi tidak etis, bila:
a. kloning dengan tujuan menumbuhkan, melewati stadium praembrio;
b. memproduksi hibrid dengan fertilisasi interspesies
c. melakukan implantasi praembrio manusia ke dalam uterus spesies lain;
d. manipulasi genom, kecuali untuk tujuan pengobatan;
e. membuat bank gamet dan embrio untuk tujuan mencari untung
Penjelasan pasal 16 dan 17
Stadium praembrio didefinisasikan mulai dari saat pembuahan sampai
terbentuknya Primitive Streak, lamanya 14 hari. Riset pada praembrio diperlukan
untuk :
a. memperluas pengetahuan tentang proses perkembangan pada stadium itu;
b. memperbaiki penanganan infertilitas dan mengendalikan reproduksi;
c. memungkinkan skrining genetik untuk pencegahan dan pengobatan cacat
bawaan.
Dalam melakukan riset praembrio harus diperhatikan nilai-nilai etik, agama, dan
social (Affandi 2011).

Pasal 18
Donor "Gen" untuk kepentingan terapi genetik adalah etis sepanjang
berdasarkan altruistik dan bebas dari tujuan komersial.
Penjelasan
Terapi genetik yaitu usaha mengubah DNA manusia yang bertujuan untuk
meringankan penderitaan/penyakit seseorang yang dapat diidentifikasi. Perubahan
DNA manusia untuk tujuan lain tidak termasuk dalam terapi genetik. Pada tahun
1993 telah ditetapkan bahwa donor materi genetik harus dilakukan berdasar
altruistik dan tanpa eksploitasi komersial. Walaupun demikian, kompensasi untuk
penggantian biaya yang wajar masih bisa dibenarkan. Termasuk dalam kategori
"pembayaran" yaitu beberapa tindak medik seperti FIV dan sterilisasi dengan
mempersyaratkan donasi oosit. Oleh karena itu, tindakan demikian tidak etis
(Affandi 2011).

12

Pasal 19
Riset yang mempelajari perubahan DNA suatu sel somatik hanya dibenarkan
bila ditujukan untuk perbaikan pada kelainan yang berat atau kematian dini

Pasal 20
Riset perubahan DNA pada sperma, oosit, atau zigot yang kemudian
diimplantasikan pada uterus, saat ini dianggap tidak etis.
Penjelasan
1. Pada sel somatik perubahan genetik yang terjadi tidak diteruskan pada
keturunannya. Oleh karena itu, apabila dilihat dari sudut ini tidak ada masalah
etis. Akan tetapi, seperti halnya dengan riset-riset yang berkaitan dengan
manusia, masih banyak yang harus dipertanyaakan baik hasilnya maupun
dampaknya. Oleh karena itu, riset tentang perubahan DNA pada sel somatik
manusia harus mendapatkan persetujuan lebih dahulu dari badan tertentu. Bila
riset ini berhasil, dapat dibuat proposal untuk perubahan genetik sel somatic
intrauterine (Affandi 2011).
2. Berkenaan dengan perubahan DNA pada sperma, oosit, dan zigot, ada beberapa
hal yang perlu diperhatikan:
a. Perubahan genetik akan di teruskan pada keturunan
b. Pada saat ini belum ditemukan teknik untuk mengubah gen spesifik secara
tepat, aman, dan dapat dipertanggungjawabkan
c. Teknik memilih zigot yang bebas dari gen pembawa penyakit lebih
sederhana daripada memilih zigot yang mengandung pembawa penyakit,
mengubahnya, dan mentransfernya ke dalam rahim
Dari ketiga pertimbangan tersebut, maka riset yang menyangkut perubahan
DNA pada sperma, oosit, dan zigot manusia secara etis tidak diterima (Affandi
2011).

Pasal 21
Perubahan gen pada individu yang sudah sehat, hanya untuk mendapatkan
peningkatan kualitas, seperti tinggi badan, intelegensi, dan warna mata, saat ini
dianggap tidak etis.

13

Penjelasan
Perubahan genetik pada individu yang telah sehat (bebas dari gen pembawa
penyakit) bisa ditujukan untuk peningkatan kualitas yang dikehendaki misalnya
tinggi badan, intelegensi, dan warna mata, dengan cara menyisipkan (insert) gen
pembawa sifat tersebut. Ada beberapa hal yang harus dipermasalahkan pada
teknologi ini :
a. Masih belum jelas kriteria untuk mengakses teknologi ini;
b. Teknologi ini sangat potensial untuk dikomersialkan.
Pada kenyataannya sampai sekarang belum terdapat cukup bukti (evidence)
tingkat keamanan serta risikonya. Oleh karena itu, teknologi ini secara etis belum
diterima (Affandi 2011).

14

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kloning manusia untuk kepentingan komersial dan reproduksi dilarang atau
tidak legal di Indonesia sesuai dengan peraturan Undang-Undang Kesehatan
nomor 16 tahun 1992, Keputusan Menteri Kesehatan nomor 72 tahun 1999
tentang penyelenggaraan teknologi reproduksi buatan, Keputusan Mukernas Etik
Kedokteran Indonesia tahun 2002, dan panduan etika profesi obstetri dan
ginekologi di Indonesia. Meskipun kloning dilarang di Indonesia namun belum
ada peraturan perundang undangan yang khusus mengatur kloning pada manusia
di Indonesia. Kloning manusia untuk kepentingan komersial dan reproduksi juga
dilarang atau tidak legal di dunia sesuai dengan Warnock Report, kebijakan
HFEA, kesepakatan The International Islamic Center for Population Studies and
Research Nopember 2000, dan deklarasi FIGO Agustus 2000.
Sebagai dokter, hal terpenting adalah selalu mengingat bahwa pelayanan
kesehatan maupun penelitian reproduksi manusia harus berujung pada
peningkatan kualitas hidup masyarakat, bukan untuk pemuasan ilmu maupun uang
semata. Kaidah dasar moral berupa non-maleficence, beneficence, justice, dan
autonomy haruslah dihormati untuk kepentingan masyarakat.

3.2 Saran-saran
1. Masalah kloning pada manusia ini masih relatif baru dan akan terus
berkembang, maka sebaiknya perlu diikuti perkembangan kajian ilmiah
yang melibatkan berbagai disiplin ilmu. Dengan demikian akan bisa
diharapkan akan menghasilkan kebijaksanaan baru yang lebih tepat,
terutama untuk mempersiapkan peraturan khusus mengenai masalah ini.
2. Diperlukan perundang undangan yang khusus di Indonesia untuk
mengatur masalah kloning ini agar peneliti dapat mengetahui batasan
hukum yang jelas dalam meneliti teknologi kloning ini.

15

Anda mungkin juga menyukai