TINJAUAN PUSTAKA
Hasanuddin Makassar ,periode Januari 2000 sampai Juni 2001 didapatkan 33% dari
keganasan di bidang THT adalah KNF. Di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun
2002 -2007 ditemukan 684 penderita KNF.
2.3 Etiologi
Terjadinya KNF mungkin multifaktorial, proses karsinogenesisnya mungkin
mencakup banyak tahap. Faktor yang mungkin terkait dengan timbulnya KNF adalah:
1. Kerentanan Genetik
Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi
kerentanan terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu
relatif
lebih
menunjukkan gen HLA (human leukocyte antigen) dan gen pengkode enzim
sitokrom p4502E (CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap
karsinoma nasofaring, mereka berkaitan dengan sebagian besar karsinoma
nasofaring (Pandi, 1983 dan Nasir, 2009) .
2. Infeksi Virus Eipstein-Barr
Banyak perhatian ditujukan kepada hubungan langsung antara
karsinoma nasofaring dengan ambang titer antibody virus Epstein-Barr
(EBV). Serum pasien-pasien orang Asia dan Afrika dengan karsinoma
nasofaring primer maupun sekunder telah dibuktikan mengandung antibody Ig
G terhadap antigen kapsid virus (VCA) EB dan seringkali pula terhadap
antigen dini (EA); dan antibody Ig A terhadap VCA (VCA-IgA), sering
dengan titer yang tinggi. Hubungan ini juga terdapat pada pasien di Amerika
yang mendapat karsinoma nasofaring aktif. Bentuk-bentuk anti-EBV ini
berhubungan
dengan
(undifferentiated)
dan
karsinoma
karsinoma
nasofaring
nasofaring
tidak
berdifrensiasi
non-keratinisasi
(non-
pada telinga
gangguan pendengaran. Gejala ini merupakan gejala yang sangat dini. Radang telinga
tengah sampai pecahnya gendang telinga. Keadaan ini merupakan kelainan lanjut
yang terjadi akibat penyumbatan muara tuba, dimana rongga telinga tengah akan
terisi cairan. Cairan yang diproduksi makin lama makin banyak, sehingga akhirnya
terjadi kebocoran gendang telinga dengan akibat gangguan pendengaran
( Roezin, Anida, 2007 dan National Cancer Institute, 2009).
Gejala pada hidung adalah epistaksis akibat dinding tumor biasanya rapuh
sehingga oleh rangsangan dan sentuhan dapat terjadi pendarahan hidung atau
mimisan. Keluarnya
Stadium IVC - Setiap T, setiap N, M1(Roezin, Anida, 2007 dan National Cancer
Institute, 2009).
2.7 Diagnosis
Persoalan diagnostik sudah dapat dipecahkan dengan pemeriksaan CT-Scan
daerah kepala dan leher, sehingga pada tumor primer yang tersembunyi pun tidak
akan terlalu sulit ditemukan. Pemeriksaan foto tengkorak potongan anteroposterior,
lateral dan Waters menunjukan massa jaringan lunak di daerah nasofaring. Foto dasar
tengkorak memperlihatkan destruksi atau erosi tulang di daerah fossa serebri media.
Pemeriksaan darah tepi, fungsi hati, ginjal dan lain -lain dilakukan untuk mendeteksi
metastasis (Nasir,2008).
Pemeriksaan serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk infeksi virus E-B
telah menunjukkan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma nasofaring. Tetapi
pemeriksaan ini hanya digunakan untuk menentukan prognosis pengobatan.
Diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan biopsi nasofaring. Biopsi dapat
dilakukan dengan dua cara yaitu dari hidung atau dari mulut. Biopsi dari hidung
dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsi). Cunam biopsi dimasukkan
melalui rongga hidung menelusuri konka media ke nasofaring kemudian cunam
diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsy (Krishnakat, Samir,2002 dan Nasir, 2008).
Biopsi melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang
dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang berada didalam mulut ditarik
keluar dan diklem bersam-sama ujung kateter yang di hidung. Demikian juga dengan
kateter dari hidung disebelahnya, sehingga palatum mole tertarik keatas. Kemudian
dengan kaca laring dilihat daerah nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat tumor
melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop yang dimasukkan melalui
mulut, massa tumor akan terlihat lebih jelas. Biopsi tumor nasofaring umumnya
dilakuan dengan anestsi topical dengan Xylocain 10%.Bila dengan cara ini masih
belum didapatkan hasil yang memuaskan maka dilakukan pengerokan dengan kuret
daerah lateral nasofaring dalam nakrosis. Endoskopi dapat membantu dokter untuk
melihat bagian dalam tubuh dengan hanya menggunakan thin,fexible tube. Pasien
disedasi semasa tuba dimasukkan melalui mulut ataupun hidung untuk menguji area
kepala ataupun leher. Apabila endoskopi telah digunakan untuk
melihat
(residu) atau kambuh (residif) diindikasikan, tetapi sering timbul komplikasi yang
berat akibat operasi (Roezin, Anida, 2007).
Perawatan paliatif harus diberikan pada pasien dengan pengobatan radiasi.
Mulut rasa kering disebakan oleh keusakan kelenjar liur mayor maupun minor
sewaktu penyinaran. Tidak banyak yang dilakukan selain menasihatkan pasien untuk
makan dengan banyak kuah, membawa minuman kemanapun pergi dan mencoba
memakan dan mengunyah bahan yang rasa asam sehingga merangsang keluarnya air
liur. Gangguan lain adalah mukositis rongga mulut karena jamur, rasa kaku di daerah
leher karena fibrosis jaringan akibat penyinaran, sakit kepala, kehilangan nafsu
makan dan kadang-kadang muntah atau rasa mual ( Roezin, Anida, 2007).
Kesulitan yang timbul pada perawatan pasien pasca pengobatan lengkap
dimana tumor tetap ada (residu) akan kambuh kembali (residif). Dapat pula timbul
metastasis jauh pasca pengobatan seperti ke tulang, paru, hati, otak. Pada kedua
keadaan tersebut diatas tidak banyak tindakan medis yang dapat diberikan selain
pengobatan simtomatis untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Pasien akhirnya
meninggal dalam keadaan umum yang buruk , perdarahan dari hidung dan nasofaring
yang tidak dapat dihentikan dan terganggunya fungsi alat-alat vital akibat metastasis
tumor (Fuda Cancer Hospital Guangzhou, 2002 dan Roezin, Anida, 2007).
2.9 Prognosis
Prognosis karsinoma nasofaring secara umum tergantung pada pertumbuhan
lokal dan metastasenya. Karsinoma skuamosa berkeratinasi cenderung lebih agresif
daripada yang non keratinasi dan tidak berdiferensiasi, walau metastase limfatik dan
hematogen lebih sering pada ke-2 tipe yang disebutkan terakhir. Prognosis buruk bila
dijumpai limfadenopati, stadium lanjut, tipe histologik karsinoma skuamus
berkeratinasi . Prognosis juga diperburuk oleh beberapa faktor seperti stadium yang
lebih lanjut,usia lebih dari 40 tahun, laki-laki dari pada perempuan dan ras Cina
daripada ras kulit putih (Arima, 2006) .
2.10 Komplikasi
Toksisitas dari radioterapi dapat mencakup xerostomia, hipotiroidisme,
fibrosis dari leher dengan hilangnya lengkap dari jangkauan gerak, trismus, kelainan
gigi, dan hipoplasia struktur otot dan tulang diiradiasi. Retardasi pertumbuhan dapat
terjadi sekunder akibat radioterapi terhadap kelenjar hipofisis. Panhypopituitarism
dapat terjadi dalam beberapa kasus. Kehilangan pendengaran sensorineural mungkin
terjadi dengan penggunaan cisplatin dan radioterapi. Toksisitas ginjal dapat terjadi
pada pasien yang menerima cisplatin. Mereka yang menerima bleomycin beresiko
untuk menderita fibrosis paru. Osteonekrosis dari mandibula merupakan komplikasi
langka radioterapi dan sering dihindari dengan perawatan gigi yang tepat (Maqbook,
2000 dan Nasir, 2009).
2.11 Pencegahan