Retinitis PDF
Retinitis PDF
Ringkasan
Di negara Barat pada era sebelum terapi antiretroviral (ART), kurang lebih sepertiga pasien
dengan AIDS menderita retinitis CMV yang mungkin dapat menimbulkan kebutaan. Infeksi
CMV di luar mata pada susuan saraf pusat (SSP), saluran perut-usus, dan organ lain
menyumbang pada mortalitas terkait AIDS.
Di negara berkembang, retinitis CMV diabaikan, dengan hanya sedikit data yang
menggambarkan luasnya masalah, dan tanpa strategi untuk penatalaksanaan penyakit.
Pemeriksaan skrining retina dilakukan di tingkat perawatan kesehatan primer di klinik AIDS
di lima negara di Afrika sub-Sahara dan Asia Tenggara pada 325 pasien dengan jumlah
CD4 di bawah 50. 20% pasien ini mempunyai retinitis CMV, umumnya tidak didiagnosis
sebelumnya, dan penelitian tambahan menemukan bahwa 37% mata dengan retinitis CMV
dibutakan oleh infeksi ini.
Penatalaksaan retinitis CMV secara sukses adalah tujuan yang realistis, dan harus mulai
dengan mendesentralisasi kemampuan diagnostik pada tingkat perawatan kesehatan
primer. Semua pasien yang berisiko tinggi (sedikitnya semua pasien dengan jumlah CD4 di
bawah 50) harus menerima pemeriksaan skrining retina dengan manik mata yang
diperbesar dan dengan memakai optalmoskop tidak langsung.
Pengobatan dengan valgansiklovir, sebuah obat oral yang efektif untuk penyakit mata dan
sistemik, adalah penting. Valgansiklovir, sebuah produk dari satu sumber yang
bermonopoli, adalah begitu mahal sehingga tidak terjangkau saat ini, tetapi harus
disediakan secara terjangkau.
disebabkan oleh retinitis CMV, dalam urutan kedua setelah katarak sebagai penyebab kebutaan, dan
melebihi glaukoma, kerusakan makular terkait penuaan, dan retinopati diabetes.7
Di artikel ini kami memberi data awal yang menggambarkan masalah dan menganjurkan cara
penatalaksanaan retinitis CMV yang mungkin di rangkaian terbatas sumber daya. Pengamatan kami
berdasarkan pengalaman dari proyek HIV/AIDS Mdecins Sans Frontires (MSF) di Kamboja, Afrika
Selatan, Lesoto, Myanmar, Thailand, dan Cina, dan dari penilaian lapangan di empat program ini, serta
program lain di tempat lain, oleh penulis utama (DH), seorang ahli optalmologi dengan pelatihan dan
pengalaman klinis dengan uveitis dan retinitis CMV.
Epidemiologi
Di negara berkembang, infeksi CMV umumnya didapat pada usia kanak-kanak, dan hampir 100% orang
dewasa seropositif.8,9,10 Seperti infeksi herpesvirus lain, CMV dapat tetap laten untuk seumur hidup.
Penyakit klinis yang jelas baru terjadi dengan tingkat kekebalan semakin rendah.
Data yang tersedia mengenai epidemiologi retinitis CMV di negara berkembang sulit ditafsir, karena
pasien sering tidak dikelompokkan berdasarkan jumlah CD4, serta teknik dan mutu pemeriksaan retina
yang beragam. Standar tertinggi (gold standard) untuk diagnosis retinitis CMV adalah optalmoskopi
tidak langsung dengan manik mata yang diperbesarkan (dilated pupil), namun beberapa penelitian
dilakukan tanpa diperbesarkan, dan beberapa memakai optalmoskop langsung dengan ruang penglihatan
yang sempit, yang tidak akan menemukan banyak kasus infeksi.11 Walau estimasi prevalensi untuk
infeksi HIV sekarang umumnya tersedia, proporsi pasien terinfeksi HIV dengan penyakit lanjut dan
jumlah CD4 di bawah 50, tingkat kerusakan kekebalan yang umumnya dibutuhkan untuk munculnya
CMV, sering tidak diketahui. Oleh karena itu, sulit ditentukan besarnya epidemi.
Dari data terbatas yang tersedia, tampaknya luasnya masalah di Asia Tenggara serupa dengan masalah
yang diamati di Eropa dan AS pada era sebelum ada ART. Pusat optalmologi di Chiang Mai, Thailand,
dan Chennai, India, melaporkan prevalensi retinitis CMV pada pasien dengan HIV setinggi 33% dan 17%
secara berurutan,12,13 walau penelitian lain di Asia Tenggara melaporkan angka yang lebih rendah.14
Di Afrika, masalah CMV tampaknya tidak sama berat, dengan prevalensi yang dilaporkan dari survei
lintas seksi berkisar dari 0-8,5%.15 Namun, penelitian longitudinal dari Togo, yang menindaklanjuti
pasien selama 20 bulan, menemukan kejadian retinitis CMV kumulatif 21,4%.16 Pada rangkaian tersebut,
ketahanan hidup setelah diagnosis retinitis CMV rata-rata 22 hari. Jangka waktu yang singkat dari
diagnosis sampai kematian pada contoh ini memberi kesan bahwa surevi lintas seksi mungkin
meremehkan risiko CMV secara kumulatif.
Pada rangkaian terbatas sumber daya, kekurangan diagnosis jelas adalah masalah yang paling bermakna
terhadap menentukan gambaran tepat mengenai epidemiologi CMV. Tetapi beberapa masalah selain
hambatan diagnosis mungkin menjelaskan perbedaan dalam prevalensi retinitis CMV yang dilaporkan.
Penjelasan yang mungkin ini termasuk perbedaan berdasarkan wilayah pada jangka waktu ketahanan
hidup pasien dengan jumlah CD4 yang rendah jangka waktu ketahanan hidup mengurangi masa
berisiko CMV dan kerentanan induk terhadap CMV yang berbeda secara genetik.17
Penelitian skrining kami pada pasien dengan jumlah CD4 di bawah 50 (lihat Tabel 1) menunjukkan angka
kejadian yang tinggi di Asia Tenggara, dan prevalensi yang lebih rendah pada penelitian yang terbatas
dari Afrika sub-Sahara. Namun, di wilayah tersebut retinitis CMV masih mewakili masalah yang cukup
berat akibat jumlah mutlak orang dengan HIV yang tinggi. Pengamatan kami mendukung hipotesis bahwa
retinitis CMV kurang didiagnosis secara bermakna.
Tabel 1. Retinitis CMV pada pasien dengan AIDS dan jumlah CD4 di bawah 50
Lokasi
74
17 (23%)
1,12%11
131
36 (27%)
1,9%*
37
12 (32%)
33%9
Kampala, Uganda
26
2 (8%)
57
1 (2%)
Jumlah
325
68
Skrining dilakukan di tingkat layanan kesehatan primer, di klinik atau bangsal HIV/AIDS, dengan penyelidikan terbuka untuk menentukan nilai pemeriksaan
retina pada tingkat layanan kesehatan primer untuk pasien dengan AIDS di rangkaian terbatas sumber daya, dengan perhatian khusus pada retinitis CMV.
Pasien diskrining terhadap apa saja dari alasan berikut: jumlah CD4 di bawah 50, keberadaan gejala mata, penyakit klinis stadium 4 bila tidak ada parameter
biologis, atau keberadaan atau diduga infeksi oportunistik lain. 480 pasien dengan infeksi HIV diskrining (Kamboja 97, Uganda 70, Afrika Selatan 83, Myanmar
179, Thailand 51). Semua pemeriksaan dilakukan oleh penulis utama (DH), memakai optalmoskop tidak langsung pada pasien dengan manik mata
diperbesarkan.
Tabel di atas termasuk hanya 325 pasien dengan jumlah CD4 tercatat pernah di bawah 50. Dengan sedikit pengecualian, diagnosis retinitis CMV belum diambil.
* Data Proyek MSF-Belanda Yangon yang belum diterbitkan dari 1.185 pasien dengan jumlah CD4 pernah di bawah 50 pada awal ART dengan 23 didiagnosis
retinitis CMV.
mudah diperiksa karena media okular adalah jernih dan manik mata mudah diperbesar. Dengan pemeriksa
yang terampil dan pasien yang bekerja sama, dengan manik mata diperbesar, pemeriksaan dapat
dilakukan dalam kurang dari dua menit.
Retinitis CMV dicirikan oleh pemutihan secara padat pada retina,
yang dapat kelihatan dari fluffy (seperti benang rambut halus)
sampai kering dan seperti butir-butir kecil. Hemoragi sering
ada, tetapi dengan jumlah yang sangat beragam, dan mungkin
tidak ada sama sekali. Retinitis itu cenderung mengikuti
saluran/pembuluh, menyebar secara sentrifugal (dari tengah ke
perifer), sering serupa dengan kobaran api di hutan, dengan
daerah bersih di tengah tempat retina dihancurkan total; batasan
retinitis aktif tidak rata, dan sangat dicirikan oleh lesi satelit kecil
berwarna putih (Gambar 1).
Pada pasien dengan AIDS yang tidak diobati, riwayat alami
retinitis CMV adalah retinitis nekrosis (kematian jaringan) yang
berlanjut pelan tetapi terus-menerus, dengan kehancuran seluruh
retina setelah tiga sampai enam bulan.19,20 Daerah retinitis meluas
Gambar 1. Contoh retinitis CMV
dengan kecepatan kurang lebih 750 mikron, atau separuh dari
diameter cakra setiap tiga minggu. Berdasarkan kecepatan
peluasan, kondisi paling lazim yang disalahkan sebagai retinitis CMV retinopati HIV dengan noda
kapas dapat secara mudah dibedakan dengan pemeriksaan ulang setelah tiga sampai empat minggu.
Noda kapas memperkecil atau memudahkan, tetapi retinitis CMV berlanjut.
Kebutaan akibat CMV adalah permanen, dan dapat terjadi cukup lama sebelum retina hancur total. Ada
tiga mekanisme untuk kehilangan penglihatan, dan untuk masing-masing mekanisme diagnosis dini
sangat penting untuk melindungi penglihatan. Pertama, kebutaan dapat terjadi akibat kerusakan langsung
pada makula atau saraf optik. Kedua, kebutaan dapat diakibatkan oleh lepasan retina, selama infeksi akut
atau setelahnya, bahkan bertahun-tahun setelah retinitis CMV pulih. Dalam era sebelum ART di negara
Barat, pasien dengan retinitis CMV mengalami lepasan retina dengan angka 33% per mata per tahun.21
Dalam rangkaian terbatas sumber daya, pasien yang mengalami lepasan retina terkait CMV akan tetap
buta pada mata yang bersangkutan. Akhirnya, sampai 20% pasien dengan retinitis CMV dapat
mengembangkan uveitis pemulihan kekebalan (immune recovery uveitis/IRU),22 setelah pemulihan sistem
kekebalan akibat penggunaan ART. IRU dapat menyebabkan kehilangan penglihatan akibat vitritis,
pembentukan selaput retina, edema makular sistoid, atau katarak. Semakin besar daerah retinitis CMV,
semakin tinggi risiko lepasan retina dan IRU,23,24 sekali lagi memberi dasar pemikiran yang sangat kuat
mengenai manfaat diagnosis dan pengobatan dini.
Pengobatan
Pengobatan yang berhasil untuk CMV pada pasien dengan AIDS membutuhkan obat khusus terhadap
CMV maupun pemulihan fungsi kekebalan melalui penggunaan terapi antiretroviral (ART). ART harus
diteruskan untuk seumur hidup, sementara pengobatan khusus untuk retinitis CMV diteruskan sedikitnya
sampai pemulihan retinitis. Setelah pemulihan kekebalan sudah mulai dan jumlah CD4 naik di atas 100
(dan umumnya setelah sedikitnya tiga bulan), kemungkinan reaktivasi retinitis CMV adalah rendah.29,30
Oleh karena itu pengobatan khusus untuk retinitis CMV umumnya hanya dibutuhkan untuk jangka waktu
yang terbatas.
Gansiklovir, terapi standar tertinggi baku untuk mengobati CMV,31,32 dapat diberikan secara sistemik
(sekali atau dua kali sehari infus intravena), atau lokal (suntikan pada mata).Valgansiklovir, sebuah
prodrug valin ester gansiklovir, yang mudah diserap, dapat mencapai tingkat dalam darah yang serupa
bila diberi secara oral, dan sama efektif dengan gansiklovir infus.33 Unsur anti-CMV lain misalnya
foskarnet dan sidofovir adalah lebih toksik atau mahal, dan tidak lebih efektif.34,35
Pada saat ini, hanya suntikan gansiklovir pada mata pengobatan lokal dianggap pilihan yang praktis di
rangkaian terbatas sumber daya. Untuk gansiklovir infus dan valgansiklovir oral, masalah utama adalah
harga obat. Biaya untuk pengobatan induksi selama dua minggu dengan gansiklovir infus sebesar 1.583
dolar AS, sementara untuk valganisiklovir oral sebesar 2.136 dolar. Untuk terapi rumatan, biaya untuk
gansiklovir infus sebesar 57 dolar per hari, dan untuk valgansiklovir oral sebesar 76 dolar per hari,
berdasarkan harga grosir rata-rata di AS.36 Berbedanya, biaya untuk pengobatan satu suntikan gansiklovir
per minggu pada mata hanya 0,57 dolar. Tetapi angka ini menyesatkan karena mereka mengabaikan biaya
untuk pembekalan bedah (sering tidak tersedia), dan tidak memberi angka dolar pada waktu dan
keterampilan dokter.
Suntikan gansiklovir pada mata tentu pilihan yang lebih baik daripada tidak diobati, walau pengobatan ini
tidak berhasil menangani penyakit sistemik. Pengobatan ini sangat efektif untuk penyakit lokal, dan harus
disediakan secara luas sebagai terapi pilihan. Pengobatan ini dapat terutama berguna pada empat keadaan:
(1) pasien dengan sitopenia sebelumnya, karena penekanan sumsum tulang adalah efek samping
gansiklovir yang terkenal; (2) pasien yang kurang patuh pada terapi oral; (3) pasien yang tidak dapat
menelan pil atau dengan penyerapan yang kurang pada perut-usus; dan (4) pasien yang tidak menanggapi
Kondisi
Tingkat keparahan
Retinitis CMV
Jumlah pasien
78
25
53
27
Jumlah mata
dipengaruhi
15
14
Hitung jari
103 mata dari 78 pasien dengan retinitis CMV. Dari 103 mata terinfeksi
dengan CMV, 37 (36%) memenuhi kriteria WHO untuk kebutaan.
terapi oral secara baik. Mulai terapi dengan suntikan pada mata (untuk dua minggu) ditambah
valgansiklovir oral juga dapat dipertimbangkan untuk induksi, agar mengendalikan infeksi secepatnya
pada pasien dengan penyakit dekat saraf optik atau makula, dan langsung mengancam penglihatan.
Sayangnya, ketersediaan terapi gansiklovir pada mata di rangkaian terbatas sumber daya sangat terbatas,
dan keadaan ini kemungkinan akan berlanjut. Dokter yang dilatih untuk menyuntik pada mata sangat
langka, dan peraturan lokal, seperti yang ada di Thailand, dapat membatasi pengobatan ini pada spesialis
optalmologi. Juga, suntikan pada mata adalah pengobatan invasif dengan angka rendah komplikasi berat
(endoftamitis, hemoragi vitreous, lepasan retina, dan katarak).37,38 Penerimaan pasien adalah hambatan
lain dan suntikan pada mata dapat menakuti pasien. Kepatuhan mungkin terutama sulit pada pasien yang
memperoleh manfaat tertinggi mereka tanpa gejala atau hanya dengan gejala ringan. Sebagiamana
kemampuan untuk diagnosis retinitis CMV berkembang, volume layanan yang semakin tinggi akan
dibutuhkan, termasuk semakin banyak pasien dengan penyakit tanpa gejala. Strategi suntikan pada mata
akan menjadi semakin tidak cocok. Pemberian pil secara sederhana jauh lebih realistis.
Kami menganggap bahwa pengobatan sistemik dengan valgansiklovir oral harus dipakai secara baku
sebagai strategi pengobatan primer karena (1) pengobatan sistemik untuk retinitis CMV mengurangi
penyakit CMV di luar mata;39 (2) pengobatan sistemik mengurangi mortalitas;40,41 dan (3) dengan
pengobatan lokal saja, ada 22-35% kejadian retinitis CMV baru pada mata lain yang tidak diobati.37,38
Suntikan gansiklovir pada mata sebagai strategi pengobatan primer jelas tidak cukup secara medis.
Valgansiklovir adalah obat esensial untuk mengobati retinitis CMV. Tanpa pilihan ini, kebanykan pasien
dengan retinitis CMV tidak pernah akan diobati.
Kalau retinitis CMV tidak didiagnosis, atau pasien yang terpengaruh tersebut tidak diobati dengan obat
anti-CMV sistemik, ada dampak buruk pada morbiditas dan mortalitas terkait AIDS, karena CMV adalah
penyakit sistemik,42 dan bentuk CMV di luar mata, termasuk kolitis, esofagitis, ensefalitis, radikulitis,
pneumonitis, penekanan sumsum tulang, dan infeksi CMV diseminata, dapat gawat. Di Barat, pada era
sebelum ART, infeksi CMV ditemukan dalam otopsi pada lebih dari separuh pasien dengan AIDS,43,44,45
dan penyakit CMV pada susunan saraf pusat (SSP) ditemukan pada kurang lebih 10% pasien
diotopsi.46,47,48
Sedikitnya pada pasien dengan penyakit SSP dengan penyebab yang tidak jelas, mendeteksi atau
mengesampingkan retinitis CMV mempunyai nilai diagnostik klinis yang jelas: penyakit SSP pada pasien
dengan retinitis CMV kemungkinan disebabkan oleh CMV, sementara pada pasien yang bebas retinitis,
gejala SSP kemungkinan tidak diakibatkan infeksi CMV.49,50 Penelitian yang diterbitkan melaporkan
penyakit CMV di luar mata sebagai penyebab primer kematian pada 1-19% pasien dengan AIDS,2,43,51
dan pengurangan pada mortalitas diamati dengan pengobatan retinitis CMV secara sistemik,40 bahkan
pada pasien yang gagal dengan ART.41
Pengalaman kami di rangkaian terbatas sumber daya adalah sesuai dengan laporan sebelumnya mengenai
morbiditas dan mortalitas akibat penyakit CMV di luar mata. Antara November 2001 dan September
2006, MSF mulai ART pada 330 pasien dewasa di dua rumah sakit distrik di daerah pedesaan di Thailand
Timur Laut (Rumah Sakit Distrik Ban Laem dan Kuchinarai), dan 28 pasien dengan gejala penglihatan
didiagnosis retinitis CMV (pemeriksaan skrining mata tidak dilakukan). Enam dari 28 pasien dengan
retinitis CMV juga mempunyai penyakit yang memberi kesan klinis CMV di luar mata (satu dengan
poliradikulopati, dua dengan ensefalitis, dua dengan esofagitis, dan satu dengan kolitis). Empat pasien ini
meninggal.
Akhirnya, pengalaman di Kamboja, Thailand, dan Myanmar menunjukkan bahwa, sedikitnya di Asia
Tenggara, pada beberapa tahun pertama, program yang menawarkan ART di rangkaian terbatas sumber
daya menarik sejumlah pasien yang besar dengan penyakit lanjut dan jumlah CD4 yang rendah justru
mereka yang paling rentan terhadap retinitis CMV. Penatalaksanaan CMV menjadi masalah penting
dengan peningkatan ART, dan kalau masalah retinitis CMV tidak diperhatikan, akan terjadi dampak
negatif pada penatalaksanaan program HIV/AIDS. Kebutaan adalah masalah yang sangat menyusahkan
pasien dan keluarga, dan juga menyebabkan kehilangan kepercayaan dengan pengobatan HIV di antara
petugas kesehatan. Bila kehilangan penglihatan terjadi tanpa penjelasan setelah ART dimulai, pasien
dapat mengkaitkan ART dengan kebutaan, dan pada skenario terburuk hal ini dapat mengakibatkan
keenggaan untuk mulai terapi ini yang dapat menyelamatkan jiwa.
menentukan dan mengembangkan pusat wilayah untuk melakukan pelatihan. Langkah serupa difasilitasi
oleh MSF di Thailand (lihat Boks 1).
2. Valgansiklovir harus tersedia dengan harga terjangkau. Banyak program HIV/AIDS di rangkaian
terbatas sumber daya enggan untuk menginvestasikan sumber daya untuk mengembangkan kemampuan
diagnostik karena pengobatan tidak tersedia atau terlalu mahal. Menyediakan pil valgansiklovir untuk
mengobati retinitis CMV akan memberi dorongan kuat pada program ART untuk menghadapi masalah
CMV.
Kesimpulan
Tempat yang realistis untuk menangani infeksi CMV, seperti infeksi oportunistik lain, adalah di klinik
AIDS oleh dokter AIDS. Diagnosis dan penatalaksanaan infeksi CMV seharusnya menjadi bagian dari
perawatan umum. Skrining untuk retinitis CMV harus menjadi bagian dari penilaian awal pasien berisiko
tinggi (minimal semua pasien dengan jumlah CD4 di bawah 50, dan mungkin kelompok lain) saat mereka
pertama masuk perawatan HIV. Teknik skrining harus sama seperti di negara Barat: pemeriksaan seluruh
retina melalui manik mata yang diperbesarkan penuh, memakai optalmoskop tidak langsung.
Pengobatan sistemik retinitis CMV dengan valgansiklovir oral harus menjadi perawatan baku, sama
seperti di negara Barat. Biaya untuk pengobatan dengan suntikan gansiklovir ke dalam mata terjangkau,
tetapi kekurangan dokter yang terlatih, terampil dan tersedia untuk melakukan suntikan pada mata
membatasi penggunaannya. Kita harus bergerak ke depan secara agresif dengan pelatihan keterampilan
esensial dan memberi akses pada obat esensial.
Penatalaksanaan penyakit CMV secara sederhana dan efektif di rangkaian terbatas sumber daya adalah
tujuan yang realistis, dan tujuan yang tidak diperhatikan dalam peningkatan pengobatan HIV di seluruh
dunia. Mortalitas terkait CMV terus-menerus tidak boleh diabaikan dan dibiarkan sebagai bagian dari
mortalitas HIV lanjut. Pasien tidak boleh tetap rentan terhadap kebutaan sementara dokter sedang
mengobati dan mengendalikan infeksi dasar dengan HIV.
Referensi
1. Holbrook JT, Jabs DA, Weinberg DV, Lewis RA, Davis MD, et al. (2003) Visual loss in patients with
cytomegalovirus retinitis and acquired immunodeficiency syndrome before widespread availability of highly active
antiretroviral therapy. Arch Ophthalmol 121: 99107.
2. Yust I, Fox Z, Burke M, Johnson A, Turner D, et al. (2004) Retinal and extra ocular cytomegalovirus end-organ
disease in HIV-infected patients in Europe: a EuroSIDA study, 19942001. Eur J Clin Microbiol Infect Dis 23: 550
559.
3. Ledergerber B, Egger M, Erard V, Weber R, Hirschel B, et al. (1999) AIDS-related opportunistic illnesses
occurring after initiation of potent antiretroviral therapy: the Swiss HIV Cohort Study. JAMA 282: 22202226.
4. Jacobson MA, Stanley H, Holtzer C, Margolis TP, Cunningham ET (2000) Natural history and outcome of new
AIDS-related cytomegalovirus retinitis diagnosed in the era of highly active antiretroviral therapy. Clin Infect Dis
30: 231233.
5. Kestelyn PG, Cunningham ET (2001) HIV/AIDS and blindness. Bull World Health Organ 79: 208213.
6. Guex-Crosier Y, Telenti A (2001) An epidemic of blindness: a consequence of improved HIV care. Bull World
Health Organ 79: 181.
7. Pathanapitoon K, Ausayakhum S, Kunavisarut P, Wattanakikorn S, Ausayakhum S, et al. (2007) Blindness and
low vision in a tertiary ophthalmologic center in Thailand: the importance of cytomegalovirus retinitis. Retina 27:
635640.
8. Ghebrekidan H, Ruden U, Cox S, Wahren B, Grandien M (1999) Prevalence of herpes simplex virus types 1 and
2, cytomegalovirus, and varicella-zooster virus infections in Eritrea. J Clin Virol 12: 5364.
9. Urwijeitaroon Y, Teawpatanataworn S, Kitjareontarm A (1993) Prevalence of cytomegalovirus antibody in Thainortheastern blood donors. Southeast Asian J Trop Med Public Health 24(Suppl 1): 180182.
10. Liu Z, Wang E, Taylor W, Yu H, Wu T, et al. (1990) Prevalence survey of cytomegalovirus infection in children
in Chengdu. Am J Epidemiol 131: 143150.
11. Carmichael TR, Sher R (2002) Screening for cytomegalovirus retinitis at an AIDS clinic. S Afr Med J 92: 445
447.
12. Ausayakhun S, Watananikorn S, Ittipunkul N, Chaidaroon W, Patikulsi, et al. (2003) Epidemiology of the ocular
complications of HIV infection in Chiang Mai. J Med Assoc Thai 86: 399406.
13. Biswas J, Madhavan HN, George AE, Kumarasamy N, Solomon S (2000) Ocular lesions associated with HIV
infection in India: a series of 100 consecutive patients evaluated at a referral center. Am J Ophthalmol 129: 915.
14. Pichith K, Chanroeun H, Bunna P, Nyvanny N, Thavary S, et al. (2001) [Clinical aspects of AIDS at the
Calmette hospital in Phnom Penh, Kingdom of Cambodia. A report on 356 patients hospitalized in the Medicine B
Department of the Calmette Hospital] Sante 11: 1723.
15. Kestelyn P (1999) The epidemiology of CMV in Africa. Ocul Immunol Inflamm 7: 173177.
16. Balo KP, Amoussou YP, Bechetoille A, Mihluedo H, Djagnikpo PA, et al. (1999) [Cytomegalovirus retinitis and
ocular complications in AIDS patients in Togo]. J Fr Ophthalmol 22: 10421046.
17. Hodge WG, Boivin JF, Shapiro SH, Lalonde RG, Shah KC, et al. (2004) Laboratory-based risk factors for
cytomegalovirus retinitis. Can J Ophthalmol 39: 733745.
18. van der Meer JT, Drew WL, Bowden RA, Galasso GJ, Griffiths PD, et al. (1996) Summary of the International
Consensus Symposium on advances in the Diagnosis, Treatment and Prophylaxis of Cytomegalovirus infection.
Antiviral Res 32: 119140.
19. Palestine AG, Rodrigues MM, Macher AM, Chan CC, Lane HC, et al. (1984) Ophthalmic involvement in
acquired immunodeficiency syndrome. Ophthalmology 91: 10921099.
20. Bowen EF, Wilson P, Atkins M, Madge S, Griffiths PD, et al. (1995) Natural history of untreated
cytomegalovirus retinitis. Lancet 346: 16711673.
21. Kempen JH, Jabs DA, Dunn JP, West SK, Tonascia J (2001) Retinal detachment risk in CMV retinitis related to
the acquired immunodeficiency syndrome. Arch Ophthalmol 119: 3340.
22. Kempen JH, Min Y, Freeman WR, Holland GN, Friedberg DN, et al. (2006) Risk of immune recovery uveitis in
patients with AIDS and cytomegalovirus retinitis. Ophthalmology 113(4): 68494.
23. Freeman WR, Friedberg DN, Berry C, Quiceno JI, Behette M, et al. (1993) Risk factors for development of
rhegmatogenous retinal detachment in patients with cytomegalovirus retinitis. Am J Ophthalmol 116: 713720.
24. Karavellas MP, Azen SP, MacDonald JC, Shufelt CL, Lowder CY, et al. (2001) Immune recovery vitiritis and
uveitis in AIDS: clinical predictors, sequelae, and treatment outcomes. Retina 21: 19.
25. Wei LL, Park SS, Skiest DJ (2002) Prevalence of visual symptoms among patients with newly diagnosed
cytomegalovirus retinitis. Retina 22: 278282.
26. Egbert PR, Pollard RB, Gallagher JG, Merigan TC (1980) Cytomegalovirus retinitis in immunosuppressed hosts.
II. Ocular manifestations. Ann Intern Med 93: 664670.
27. Gellrich MM, Lagreze WD, Rump JA, Hansen LL (1996) [Indications for eye examination of HIV patients
screening parameters for cytomegalovirus retinitis]. Klin Monatsbl Augenheilkd 209: 7278.
28. Janssens B, Heiden D, Sarin S, Zachariah R () Cytomegalovirus retinitis is an important problem that is being
missed in HIV-positive individuals attending routine clinics in Cambodia: is there a need to introduce routine CMV
screening [abstract THPE0053]. XVI International AIDS Conference; 1318 August 2006; Toronto, Canada.
29. Vrabec TR, Baldassano VF, Whitcup SM (1998) Discontinuation of maintenance therapy in patients with
quiescent cytomegalovirus retinitis and elevated CD4+ counts. Ophthalmology 105: 12591264.
30. Wohl DA, Kendall MA, Owens S, Holland G, Nokta M, et al. (2005) The safety of discontinuation of
maintenance therapy for cytomegalovirus (CMV) retinitis and incidence of immune recovery uveitis following
potent antiretroviral therapy. HIV Clin Trials 6: 136146.
31. Spector SA, Weingeist T, Pollard RB, Dieterich DT, Samo T, et al. (1993) A randomized, controlled study of
intravenous ganciclovir therapy for cytomegalovirus peripheral retinitis in patients with AIDS. J. Infect Dis 168:
557563.
32. [No authors listed] (1994) Foscarnet-Ganciclovir cytomegalovirus retinitis trial. 4. Visual outcomes. Studies of
Ocular Complications of AIDS Research Group in collaboration with the AIDS Clinical Trials Group.
Ophthalmology 101: 1250161.
33. Martin DF, Sierra-Madero J, Walmsley S, Wolitz RA, Macey K, et al. (2002) A controlled trial of valganciclovir
as induction therapy for cytomegalovirus retinitis. N Engl J Med 346: 11191126.
34. Jacobson MA (1997) Treatment of cytomegalovirus retinitis in patients with the acquired immunodeficiency
syndrome. N Engl J Med 337: 105114.
35. Drew WL, Ehrlich KS, (2007) Management of virus infections (cytomegalovirus, herpes simpex virus, varicellazooster virus). In Volberding P, Sande M, Lange J, Greene W, Gallant J, editors Global HIV/AIDS medicine
Elsevier. pp 437461.
36. American Academy of Pediatrics (2006) Red Book: 2006 Report of the Committee on Infectious Diseases 27th
edition American Academy of Pediatrics. 92 p.
37. Ausayakhun S, Yuvaves P, Ngamtiphakorn S, Prasitsilp J (2005) Treatment of cytomegalovirus retinitis in AIDS
patieints with intravitreal ganciclovir. J Med Assoc Thai 88(Suppl 9): S15S20.
38. Ausayakhun S, Watananikorn S, Ngamtiphakorn S, Prasitsilp J (2005) Intravitreal foscarnet for cytomegalovirus
retinitis in patients with AIDS. J Med Assoc Thai 88: 103107.
39. Morinelli EN, Dugel PU, Lee M, Klatt EC, Rao NA (1992) Opportunistic intraocular infections in AIDS. Trans
Am Ophthalmol Soc 90: 97108 discussion 108109.
40. Binquet C, Saillour F, Bernard N, Rougier MB, Leger F, et al. (2000) Prognostic factors of survival of HIVinfected patients with cytomegalovirus disease: Aquitaine Cohort, 19861997. Groupe d'Epidemiologie Clinique du
SIDA en Aquitaine (GECSA). Eur J Epidemiol 16: 425432.
41. Kempen JH, Jabs DA, Wilson LA, Dunn JP, West SK, et al. (2003) Mortality risk for patients with
cytomegalovirus retinitis and acquired immune deficiency syndrome. Clin Infect Dis 37: 13651573.
42. Murray HW, Know DL, Green WR, Susel RM (1977) Cytomegalovirus retinitis in adults. A manifestation of
disseminated viral infection. Am J Med 63: 574584.
43. Pecorella I, Ciardi A, Credendino A, Marasco A, Di Tondo U, et al. (1999) Ocular, cerebral and systemic
interrelationships of cytomegalovirus infection in a post-mortem study of AIDS patients. Eye 13(Part 6): 781785.
44. Wallace JM, Hannah J (1987) Cytomegalovirus pneumonitis in patients with AIDS. Findings in an autopsy
series. Chest 92: 198203.
45. Mohar A, Romo J, Salido F, Jessurun J, Ponce de Leon S, et al. (1992) The spectrum of clinical and pathological
manifestations of AIDS in a consecutive series of autopsied patients in Mexico. AIDS 6: 467473.
46. Lang W, Miklossy J, Deruaz JP, Pizzolato GP, Probst A, et al. (1989) Neuropathology of the acquired immune
deficiency syndrome (AIDS): a report of 135 consecutive autopsy cases from Switzerland. Acta Neuropathol (Berl)
77: 379390.
47. Chimelli L, Rosemberg S, Hahn MD, Lopes MB, Netto MB (1992) Pathology of the central nervous system in
patients infected with the human immunodeficiency virus (HIV): a report of 252 autopsy cases from Brazil.
Neuropathol Appl Neurobiol 18: 478488.
48. Drlicek M, Liszka U, Wondrusch E, Jellinger K, Lintner F, et al. (1993) [Pathology of the central nervous
system in AIDS. An overview of 184 patients]. Wien Klin Wochenschr 105: 467471.
49. Bylsma SS, Achim CL, Wiley CA, Gonzalez C, Kuppermann BD, et al. (1995) The predictive value of
cytomegalovirus retinitis for cytomegalovirus encephalitis in acquired immunodeficiency syndrome. Arch
Ophthalmol 113: 8995.
50. Ansari NA, Kombe AH, Kenyon TA, Hone NM, Tappero JW, et al. (2002) Pathology and causes of death in a
group of 128 predominantly HIV-positive patients in Botswana, 19971998. Int J Tuberc Lung Dis 6: 5563.
51. Leger F, Vital C, Vital A, Morlat P, Ragnaud JM, et al. (1997) Pathologic correlations between ocular and
cerebral lesions in 36 AIDS patient. Clin Neuropathol 16: 4548.
52. Chua A, Wilson D, Ford N (2005) HIV and cytomegalovirus in Thailand. Lancet Infect Dis 5: 328329.
53. Sommer A (2007) Global access to eye care. Arch Ophthalmol 125: 399400.
54. Resnikoff S, Pascolini D, Etya'ale D, Kocur I, Pararajasegaram R, et al. (2004) Global data on visual impairment
in the year 2002. Bull World Health Organ 82: 844851.
55. Ford N, Wilson D, Lotrowska M, Chaves GC, Kijtiwatchakul K (2007) Sustaining access to antiretroviral
therapy in the less developed world: lessons from Brazil and Thailand. AIDS 21(Suppl 4): S21S29.
56. Over M, Revenga A, Masaki E, Peerapatanapokin W, Gold J, et al. (2007) The economics of effective AIDS
treatment in Thailand. AIDS 21(Suppl 4): S105S116.
57. Lyttleton C, Beesey A, Sitthikriengkrai M (2007) Expanding community through ARV provision in Thailand.
AIDS Care 19: S44S53.
58. [No authors listed] (2004) Practitioners' guideline for OI and ARV management in people with HIV/AIDS
Nonthaburi (Thailand): Bureau of AIDS, TB and STI, Ministry of Public Health and the Thai AIDS Society.
Artikel alsi: Cytomegalovirus Retinitis: The Neglected Disease of the AIDS Pandemic
Sumber: Heiden D, Ford N, Wilson D, Rodriguez WR, Margolis T, et al. (2007) Cytomegalovirus Retinitis: The Neglected Disease of the AIDS
Pandemic. PLoS Med 4(12): e334
10