Anda di halaman 1dari 49

Laporan Kasus

Myelitis Transversa

Oleh:

Shelin Amanda Pusparesa, S.Ked

NIM. 2130912320079

Pembimbing:
dr. Steven, M.Si, Med, Sp.S

DEPARTEMEN/KSM NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN ULM/RSUD ULIN
BANJARMASIN
November, 2022
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL i

DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5

BAB III LAPORAN KASUS 17

BAB IV PEMBAHASAN 42

BAB V PENUTUP 46

DAFTAR PUSTAKA 47

ii
3

BAB I

PENDAHULUAN

Myelitis adalah kelainan neurologi pada medulla spinalis yang disebabkan

proses inflamasi. Serangan inflamasi pada medulla spinalis dapat merusak atau

menghancurkan mielin yang merupakan selubung sel saraf. Kerusakan ini

menyebabkan jaringan parut pada sistem saraf yang mengganggu hubungan

antara saraf pada medulla spinalis dan tubuh. Istilah transverse menunjukan

posisi dari peradangan di sepanjang medulla spinalis.1

Penyebab pasti dari myelitis transversa belum ditemukan akan tetapi dapat

terjadi karena berbagai etiologi seperti infeksi langsung oleh virus, bakteri,

jamur, maupun parasit. Namun juga dapat disebabkan oleh proses non-infeksi

atau melalui jalur inflamasi. Myelitis trasnversa sering terjadi setelah infeksi atau

setelah vaksinasi dan dapat juga terjadi sebagai komplikasi dari syphilis, campak,

penyakit lyme. Faktor etiologi lain yang dikaitkan dengan kejadian myelitis

transversa adalah penyakit demyelinasi (multiple sclerosis (MS), neuromyelitis

optica (NMO) dan ensefalomielitis disebarluaskan akut (ADEM)), sindrom

paraneoplastik, penyakit vaskuler, iskemik sumsum tulang belakang meskipun

tidak jarang tidak ditemukannya faktor penyebab mielitis transverse sehingga

disebut sebagai "idiopatik"2

Myelitis transversa lebih sering terjadi pada orang dewasa, tetapi pada

anak-anak didapatkan 20% dari kasus. Meskipun laki-laki lebih cenderung untuk

terkena myelitis transversa (rasio pria: wanita 1,1-1,6: 1), dominan perempuan

terlihat di antara remaja di daerah seperti di Amerika Serikat, Kanada, Eropa, dan
4

sebagian Australia. Tidak ada perbedaan dalam prevalensi etnis. 3 Berdasarkan

data yang diperoleh dari rekam medik RSUD A Wahab Sjahranie Samarinda

diperoleh data penyakit dengan myelitis transversa akut 3 bulan terakhir

didapatkan hanya 1 pasien pada tahun 2018.4

Berikut disajikan sebuah laporan kasus seorang wanita berusia 35 tahun

dengan diagnosis suspek myelitis transversa yang dirawat di ruang Seruni pada

tanggal 7 – 12 November 2022 di RSUD Ulin Banjarmasin.


5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Myelitis adalah kelainan neurologi pada medulla spinalis yang disebabkan

proses inflamasi. Serangan inflamasi pada medulla spinalis dapat merusak atau

menghancurkan mielin yang merupakan selubung sel saraf. Kerusakan ini

menyebabkan jaringan parut pada sistem saraf yang mengganggu hubungan

antara saraf pada medulla spinalis dan tubuh. Istilah transverse menunjukan

posisi dari peradangan di sepanjang medulla spinalis.1

B. Epidemiologi

Myelitis transversa lebih sering terjadi pada orang dewasa, tetapi pada anak-

anak didapatkan 20% dari kasus. Meskipun laki-laki lebih cenderung untuk

terkena myelitis transversa (rasio pria: wanita 1,1-1,6: 1), dominan perempuan

terlihat di antara remaja di daerah seperti di Amerika Serikat, Kanada, Eropa, dan

sebagian Australia. Tidak ada perbedaan dalam prevalensi etnis. Insidensi

mielitis transversa idiopatik berkisar dari 1,3 hingga 8 kasus per sejuta penduduk

setiap tahun. Walaupun penyakit ini dapat muncul pada semua usia, namun

puncaknya terjadi pada usia 10-19 tahun dan 30-39 tahun. Insidensi meningkat

hingga 24,6 kasus per sejuta penduduk.2

C. Etiologi dan Klasifikasi

Berbagai macam penyebab yang mendasari terjadinya myelitis transversa

antara lain:5,6

1. Idiopatik
6

2. Infeksi dan post-infeksi

a) Infeksi primer:

 Virus: Hepatitis B, herpes zoster, cytomegalovirus, epstein-barr

virus, HIV

 Bakteri: campylobacter jejuni, mycoplasma pneumoniae, rickettsia

spp, coxiella burnetti

 Fungal: aspergillosis, blastomycosis, cryptococcosis

 Parasit: echinococcus, cysticercosis, paragonimiasis,

schistosomiasis

b) Post-infeksi: influenza

3. Pasca traumatik

4. Autoimun: multiple sclerosis (MS)

5. Penyakit kolagen vascular: systemic lupus erythematosus (SLE)

6. Pasca vaksinasi: chickenpox, rabies

Myelitis transversa dibagi menjadi 2 subkelompok berdasarkan luasnya

peradangan medulla spinalis dan onsetnya.8,9

1. Menurut luasnya peradangan:

a) Myelitis transversa komplit akut terjadi ketika adanya kehilangan

gerakan dan sensasi secara total dibawah tingkat sumsum tulang

belakang yang mengalami peradangan.

b) Myelitis transversa parsial akut terjadi ketika hanya mempengaruhi

sebagian dari luas penampang medulla spinalis sehingga hanya

menyerang satu sisi tubuh.


7

2. Menurut onset:

Myelitis transversa dapat berupa akut (berkembang beberapa jam hingga

beberapa hari) atau subakut (berkembang lebih dari 1 hingga 2 minggu).

D. Faktor resiko

Saat ini tidak ada risiko keturunan atau faktor genetik yang telah

diidentifikasi untuk mielitis transversal.1

E. Patofisiologi

Hingga saat ini, para peneliti belum bisa menentukan secara pasti

penyebab myelitis transversa. Pada kasus myelitis transversa post infeksi,

mekanisme sistem imun baik pada viral atau bakteri tampaknya berperan penting

dalam menyebabkan kerusakan saraf spinal. Molekuler mimikri dari viral dapat

menstimulasi generasi antibodi yang dapat memberikan reaksi silang dengan

antigennya sendiri, menghasilkan formasi imun kompleks dan aktivasi dari

complement-mediated atau cell mediated yang dapat menimbulkan injury

terhadap jaringannya sendiri.

Pasien yang mengikuti vaksin HBV memiliki kadar antibodi anti-HbSAg

serum dan CSF yang sangat tinggi. Antibodi yang bersirkulasi dapat membentuk

kompleks imun yang mengendap di area fokus sumsum tulang belakang. Suatu

mekanisme diusulkan pada pasien dengan MT berulang dan titer HbSAg tinggi,

di mana sirkulasi kompleks imun yang mengandung anti-HbSAg terdeteksi

dalam serum dan CSF selama fase akut dan hilangnya kompleks ini setelah

perawatan berkorelasi dengan pemulihan fungsional.


8

Pada penyakit autoimun, sistem imun yang secara normal melindungi tubuh

terhadap organisme, melakukan kesalahan dengan menyerang jaringan tubuh

sendiri yang menyebabkan inflamsi dan pada beberapa kasus merusak mielin

medulla spinalis.

Beberapa kasus mielitis transversa juga disebabkan oleh malformai arteri-vena

spinalis (kelainan yang merubah aliran darah) atau penyakit vaskuler seperti

atherosklerosis yang menyebabkan iskemik. Sehingga menurunkan kadar

oksigen pada jaringan medulla spinalis. Iskemik  dapat disebabkan perdarahan

(hemorragik) dalam medulla spinalis,  pembuluh darah yang menyumbat atau

sempit, atau faktor lainnya. Pembuluh darah membawa oksigen dan nutrisi ke

jaringan  medulla spinalis dan membuang hasil metabolisme. Saat pembuluh

darah tersumbat atau menyempit dan  tidak dapat membawa sejumlah oksigen ke

jaringan medulla spinalis. Saat area medulla spinalis menjadi kekurangan

oksigen atau  iskemik.  sel dan serabut  saraf mulai mengalami perburukan secara

cepat. Kerusakan ini menyebabkan inflamasi yang luas kadang – kadang

menyebabkan mielitis transversa4,6

F. Manifestasi Klinis

Gejala myelitis transversa yang umum muncul melibatkan gejala sensorik,

motorik, dan otonom.1,7

1. Gejala sensorik:

a) Nyeri merupakan gejala awal dari myelitis transversa. Nyeri

terlokalisir dibagian punggung.


9

b) Perubahan sensasi mendadak seperti kesemuatan, terbakar, atau

tertusuk di bagian ekstremitas bawah atau disebut dengan paraestesia.

2. Gejala motorik:

Gejala myelitis transversa tergantung dari segmen mana dari medulla

spinalis yang terkena peradangan, dan seberapa banyak kerusakan yang

terjadi. Myelitis transversa setingkat servikal dapat mempengaruhi lengan

dan kaki sedangkan myelitis transversa setingkat torakal dan lumbar tidak

mempengaruhi lengan. Gejala motorik dari myelitis transversa ditandai

dengan kelumpuhan yang progresif. Gejala myelitis transversa bisa timbul

secara bersamaan dengan infeksi atau sesudah gejala infeksi primernya

sembuh. Kelemahan otot pada tungkai dapat berkembang sangat cepat

menjadi kehilangan gerakan total (paralisis). Kelumpuhan mula-mula

bersifat flaksid, kemudian secara berangsur berubah menjadi spastik,

dengan ditandai refleks fisiologis yang meningkat.

3. Gejala otonom:

Sebanyak 86% pasien mengalami gangguan otot sfingter, pada awal

perjalanan penyakit terjadi retensi urin serta gangguan pasase usus dan

disfungsi seksual sering terjadi tergantung pada segmen medulla spinalis

yang terlibat.

G. Diagnosis

Myelitis transversa memiliki diagnosis diferensial yang luas. Riwayat

medis, tinjauan sistem medis, sosial serta riwayat perjalanan, dan pemeriksaan

fisik secara umum dapat memberikan petunjuk saat itu terhadap kemungkinan
10

infeksi maupun penyebab paraneoplastik, serta penyebab terkait dengan

inflamasi sistemik atau penyakit autoimun. Dari anamnesis biasanya didapatkan

riwayat kelemahan motorik berupa kelemahan pada tubuh seperti paresis pada

kedua tungkai yang terjadi secara progesif dalam beberapa minggu. Kelainan

fungsi sensorik berupa rasa nyeri terutama di daerah pinggang, lalu perasaan

kebas atau seperti terbakar yang terjadi secara mendadak pada tangan maupun

kaki. Lalu kelainan fungsi otonom seperti retensi urin, urinary urgency maupun

konstipasi. Pada pemeriksaan fisik juga ditemukan kelainan neurologis berupa

defisit motorik berupa kelemahan pada kaki dan tangan serta adanya perubahan

sensorik.1,10 Adapun dibawah ini adalah kriteria diagnostik MT menurut Elliot

M,dkk:11

1. Terdapat defisit sensorik dan motorik bilateral (tidak harus simetris) dan

adanya disfungsi medulla spinalis otonom

2. Level sensorik yang jelas

3. Adanya perkembangan defisit klinis ke titik terendah antara 4 jam dan 21

hari setelah timbulnya gejala

4. Adanya tanda-tanda inflamasi medula spinalis: pleositosis cairan

serebrospinal atau peningkatan indeks IgG atau MRI dengan penambah

gadolinium yang menunjukkan lesi medula spinalis.

Myelitis transversa merupakan kondisi yang tidak selalu mudah untuk

didiagnosis. Kombinasi kelemahan pada kaki dan gangguan sensasi yang tidak

biasa adalah gejala umum dari masalah di sumsum tulang belakang apapun

penyebabnya. Penting untuk mengesampingkan kondisi yang mungkin


11

menyebabkan tekanan pada sumsum tulang belakang seperti abses, kumpulan

pembuluh darah yang tidak normal, stroke, atau tumor. Diagnosis myelitis

transversa tergantung pada riwayat medis pasien, pemeriksaan fisik, MRI, pungsi

lumbal, dan tes darah.1

1. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Langkah pertama dalam evaluasi diagnostik myelitis transversa untuk

menyingkirkan lesi akibat compression (penekanan). Jika dicurigai

mielopati, MRI spinal cord harus diperoleh sesegera mungkin dengan

pemakaian kontras gadolinium. Hasil MRI pada myelitis transverse

biasanya menunjukkan adanya lesi medulla spinalis intrinsik yang

biasanya meningkat dengan pemberian gadolinium Jika tidak ada lesi

struktural seperti massa tulang belakang atau spondylolisthesis, maka

langkah kedua adalah untuk mengidentifikasi ada atau tidaknya

peradangan saraf tulang belakang dengan pungsi lumbal. Pemindaian MRI

menghasilkan gambar tulang belakang menggunakan medan magnet yang

kuat dan gelombang radio. Ini berbeda dengan X-ray karena menghasilkan

gambar yang sangat rinci.1,12


12

Gambar 2.1. Gambaran MRI pada myelitis transversa akut.11

2. Pungsi Lumbar

Sumsum tulang belakang dikelilingi oleh cairan bening yang disebut

dengan cairan serebrospinal (CSF). Setelah kemungkinan adanya kompresi

disingkirkan, evaluasi CSF sangat diperlukan untuk mencari penyebab dari

myelitis transversa. Untuk beberapa orang dengan myelitis transversa

tanda tanda kemungkinan infeksi/peradangan diindikasikan oleh kelainan

pada CSF. Jika CSF menunjukkan bukti peradangan (pleositosis,

peningkatan protein, pita oligoclonal, atau peningkatan indeks


13

imunoglobulin G) maka patologi infeksi, demielinasi, dan inflamasi perlu

dipertimbangkan.13

3. Tes serologi

Selain neuroimaging dari spinal cord dan laboratorium CSF, darah/ tes

serologi sering membantu dalam mengesampingkan adanya gangguan

sistemik seperti penyakit rematologi (misalnya, penyakit Sjogren atau

lupus eritematosa sistemik ), gangguan metabolisme. Tes laboratorium

seperti : indeks IgG, vPCR virus, antibodi lyme dan mikoplasma, dan

VDRL bisa dilakukan untuk evaluasi lebih lanjut dalam menentukan

etiologinya seperti infeksi sifilis, HIV, campak, rubella dan lainnya,

karena infeksi atau imunisasi juga dapat memicu serangan myelitis. Jika

ada kecurigaan neuromyelitis optica spectrum disorders (NMOSD),

antibodi AQP4 dan MOG juga harus diskrining.1,13

Tabel 2.1. Pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis penyebab MT.11

Kemungkinan Penyebab Pemeriksaan Penunjang

Infeksi Serologi darah; kultur,serologi, dan

PCR CSF; foto thorax dan

pemeriksaan imaging lainnya sesuai

indikasi

Autoimun sistemik atau penyakit Pemeriksaan fisik; pemeriksaan

inflamasi serologi; foto thorax dan sendi;

pemeriksaan imaging lainnya sesuai

indikasi
14

Paraneoplastik Foto thorax, Ct scan, PET; antibodi

paraneoplastik serum dan CSF

Acquired CNS Demyelinating MRI otak dengan kontras

Disease (MS,NMO) gadolinium; CSF rutin; pemeriksaan

visual evoked potential; serum

NMO-IgG

Post infeksi atau post vaksinasi Anamnesis riwayat infeksi dan

vaksinasi sebelumnya; konfirmasi

serologi adanya infeksi; eksklusi

penyebab lain.

H. Tatalaksana

1. Kortikosteroid

Bentuk pengobatan yang paling umum dari myelitis transversa adalah

dengan pemberian kortikosteroid jangka pendek untuk mengurangi

peradangan dan mengurangi aktivitas sistem kekebalan di sumsum tulang

belakang. Kortikosteroid yaitu metil prednisolon dapat diberikan 1 gr/hari

selama 3 - 5 hari secara intravena. Adapun untuk dosis anak yaitu 20-30

mg/kg/hari selama 3 - 5 hari. Pemberikan kortikosteroid dapat diikuti

dengan pemberian prednison oral mulai dari 1-2 mg/kg/hari dan tappering

off selama 2 – 4 minggu.11,14

2. Plasma Exchange
15

Jika kortikosteroid tidak efektif bisa diberikan pengobatan yang disebut

dengan Plasma Exchange (PLEX) juga dikenal sebagai plasmapharesis.

Perawatan ini tidak cocok untuk semua pasien. Beberapa zat yang

menyerang sumsum tulang belakang sebagai bagian dari reaksi autoimun

ditemukan dalam plasma (cairan tak berwarna dalam darah kita). Tujuan

pertukaran plasma ini adalah untuk menghilangkan zat-zat ini dari darah.

Pertukaran plasma ini dilakukan dengan menjalankan darah pasien melalui

mesin yang memisahkan sel-sel darah dari plasma. Sel-sel darah kemudian

dikembalikan ke dalam tubuh dengan plasma baru atau cairan yang setara.

Sangat mungkin bahwa pertukaran plasma akan terjadi lebih dari tiga

hingga lima sesi daripada sekaligus.1

3. Immunoglobulin

Dalam beberapa kasus mungkin diberikan perawatan yang disebut

imunoglobulin intravena (IVIg). Immunoglobulin adalah solusi antibodi,

dibuat oleh sistem kekebalan tubuh dan diambil dari donor yang sehat

(mereka digunakan untuk mengobati sejumlah kondisi medis). Tubuh

menggunakan antibodi sebagai alat untuk mengatur respon imun. IVIg

mengurangi dan mengubah respons sistem kekebalan.1

I. Komplikasi

Mielitis transversa dapat menyebabkan respiratory failure jika lesi terletak

pada medula spinalis servikalis atas. Evaluasi respirasi secara regular harus

dilakukan selama masa observasi. Imobilisasi yang terjadi akibat adanya defisit

motorik dapat menyebabkan trombosis vena dalam maupun emboli paru.


16

Umumnya, manifestasi klinis dari trombosis vena dalam adalah edema pada

tungkai disertai eritema dan nyeri lokal.11

J. Prognosis

Ad vitam: dubia ad bonam

Ad sanationam: dubia ad bonam

Ad fungsionam: dubia ad bonam

Sebagian besar orang dengan myelitis transversa mengalami pemulihan

sebagian yang terjadi dalam 3 bulan pertama setelah serangan. Bagi sebagian

orang, pemulihan dapat berlanjut hingga 2 tahun. Namun jika tidak ada perbaikan

selama 3 sampai 6 bulan pertama, pemulihan total tidak mungkin terjadi

(meskipun pemulihan sebagian masih dapat terjadi dan masih membutuhkan

rehabilitasi). Banyak orang dengan myelitis transversa hanya mengalami satu

episode meskipun myelitis transversa berulang atau kambuh kadang-kadang

terjadi, terutama ketika penyebab yang mendasarinya (seperti MS atau NMOSD)

dapat ditemukan.15
17

BAB III

LAPORAN KASUS

A. Identitas

Nama pasien : Nn. A

Umur : 35 tahun

Alamat : Jl. Semudi Lama, Menteng Palangkaraya

Jenis kelamin : Perempuan

Agama : Kristen

Status perkawinan : Belum menikah

Pekerjaan : Guru TK

Masuk RS : 7 November 2022

No. RM : 01-51-66-71

B. Anmnesis

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 8


November 2022

Keluhan Utama : Kelemahan kedua ekstremitas bawah

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang ke Poliklinik saraf RSUD Ulin pada tanggal 7 November


2022 pukul 09.00 WITA dengan keluhan kelemahan pada kedua ekstremitas
bawah. Kelemahan dirasakan sejak 2 minggu SMRS (H1 Senin, 24/10/22).
Kelemahan dirasakan mendadak saat hendak ke WC pasien terjatuh 2 kali, namun
pada saat itu masih dapat digerakkan dan duduk. Sebelum kelemahan terjadi,
pasien dapat beraktivitas seperti biasa. Riwayat trauma atau terjatuh dalam waktu
dekat disangkal. Kemudian pasien dirawat di RS Doris Sylvanus Palangkaraya,
18

namun keluhan bertambah berat hingga tidak dapat digerakkan. Keluhan ini
disertai mati rasa dari umbilicus-ujung jari kaki. Sebelum pasien mengeluhkan
mati rasa, tidak ada keluhan kesemutan maupun kebas yang dirasakan pasien. Saat
berada di RSUD Ulin, pasien mengeluhkan rasa panas yang seperti berada di
dalam kedua kaki pasien.

Pasien juga sempat mengeluhkan demam 3 minggu SMRS, demam muncul


mendadak, naik turun namun tidak dipengaruhi cuaca dan waktu, demam
dirasakan selama seminggu. Demam disertai nyeri perut hilang timbul seperti
ditusuk-tusuk di bagian ulu hati hingga menembus ke belakang. Pasien sempat ke
dokter dan hanya diberi obat maag serta penurun nyeri, pasien juga pergi ke
tukang pijat. Nyeri kepala (-) mual muntah (-), batuk (-), pilek (-). Selain itu,
pasien juga mengaku BAK yang keluar terus-menerus saat sebelum kelemahan.
Lalu pasien juga mengeluhkan belum BAB sejak 8 hari yang lalu (terakhir BAB
31 Oktober 2022)

Riwayat Penyakit Dahulu :

• Riwayat keluhan serupa berupa kelemahan disangkal

• Riwayat jatuh dari motor 10 tahun yang lalu

• Riwayat batuk lama disangkal

• Pasien terdiagnosis HIV/AIDS di RS Doris Sylvanus Palangkaraya sebelum

dirujuk ke RSUD Ulin Banjarmasin

Riwayat Penyakit Keluarga :

• Keluhan serupa berupa kelemahan disangkal

• Penyakit lain seperti hipertensi, diabetes mellitus, stroke tidak diketahui

pasien

• TBC (-)

• HIV/AIDS tidak diketahui pasien


19

Riwayat Sosial dan Kebiasaan:

Pasien makan semua makanan, tidak dibatasi. Sering makan gorengan dan

bersantan. Sering minum air putih, jarang minum teh/kopi/susu. Berolahraga

aerobik 3 kali seminggu. Aktif berhubungan seksual. Memiliki riwayat suntik

putih di klinik abal-abal 10 tahun yang lalu.

C. Pemeriksaan Fisik (dilakukan pada tanggal 8 November 2022)

1. Keadaan Umum

Keadaan sakit : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis (E4-V5-M6)

TD : 100/60 mmHg

Nadi : 109 x/menit

Respirasi : 18 x/menit

Suhu : 36.4oC

SpO2 : 99% on room air

2. Kepala/Leher

Mata : Konjungtiva anemis (-), sklera tidak ikterik, ptosis

(-/-), edema palpebra (-), pupil isokor

diameter 2mm/2mm, refleks cahaya langsung

(+/+), refleks cahaya tidak langsung (+/+)

Mulut : Bibir lembab

Leher : Peningkatan JVP (-), pembesaran KGB (-)


20

3. Thorax

Pulmo : Bentuk dan pergerakan simetris, suara napas

vesikuler, wheezing (-), ronki (-)

Cor : Bunyi jantung SI & SII tunggal, murmur (-)

Abdomen : Tampak cembung, bising usus (+), timpani di

seluruh lapang abdomen, hepatomegaly (-),

splenomegaly (-), tidak teraba massa, shifting

dullness (-), undulasi (-)

4. Ekstremitas

Edema Plegi Akral hangat Paresis


D S D S D S D S
- - - - + + 5 5
- - + + - - 0 0

D. Status Pskiatri Singkat

Emosi dan Afek : Eutim

Proses Berfikir : Realistik

Kecerdasan : Seuai tingkat pendidikan

Penyerapan : Baik

Kemauan : Baik

Psikomotor : Aktif
21

E. Neurologis

1. Kesan Umum

Kesadaran : Compos Mentis

GCS : E4V5M6

Pembicaraan :

Disartri : tidak ada

Monoton : tidak ada

Scanning : dalam batas normal

Afasia :

Motorik : tidak ada

Sensorik : tidak ada

Anomik : tidak ada

Konduksi : tidak ada

Global : tidak ada

Kepala :

Besar : normal

Asimetri : tidak ada

Tortikolis : tidak ada

Muka :

Mask/topeng : tidak ada

Miopatik : tidak ada

Fullmoon : tidak ada


22

2. Pemeriksaan Khusus

a. Rangsangan Selaput Otak

Kaku kuduk : (-/-)

Kernig : (-/-)

Laseque : (-/-)

Bruzinski I : (-/-)

Bruzinski II : (-/-)

Bruzinski III : (-/-)

Bruzinski IV : (-/-)

b. Saraf Kranialis Otak

1) N. Olfaktorius Kanan Kiri

Hyposmia (-) (-)

Parosmia (-) (-)

Halusinasi (-) (-)

2) N. Optikus Kanan Kiri

Visus Normal Normal

Lapang pandang Normal Normal

Funduskopi Tidak dilakukan Tidak dilakukan

3) N. Occulomotorius, N. Trochlearis, N. Abducens

Kedudukan bola mata Kanan Kiri

Tengah Tengah

Pergerakan bola mata ke

Nasal : Normal Normal


23

Temporal : Normal Normal

Atas : Normal Normal

Bawah : Normal Normal

Temporal bawah : Normal Normal

Eksopthalmus : - -

Ptosis : - -

Pupil

Bentuk bulat bulat

Lebar 2 mm 2 mm

Perbedaan lebar isokor isokor

Reaksi cahaya langsung (+) (+)

Reaksi cahaya konsensual (+) (+)

Reaksi akomodasi (+) (+)

Reaksi konvergensi (+) (+)

4) N. Trigeminus Kanan Kiri

Cabang Motorik

Otot Maseter Normal Normal

Otot Temporal Normal Normal

Otot Pterygoideus Int/Ext Normal Normal

Cabang Sensorik

I. N. OftalmicusNormal Normal

II. N. Maxillaris Normal Normal

III. N. Mandibularis Normal Normal


24

Refleks kornea langsung Normal Normal

Refleks kornea konsensual Normal Normal

5) N. Facialis
Kanan Kiri

Waktu Diam

Kerutan dahi Sama tinggi sama tinggi

Tinggi alis Sama tinggi sama tinggi

Sudut mata Sama tinggi sama tinggi

Lipatan nasolabial Simetris Simetris

Waktu Gerak

Mengerutkan dahi Sama tinggi Sama tinggi

Menutup mata (+) (+)

Bersiul (tidak dilakukan) (tidak dilakukan)

Memperlihatkan gigi Simetris Simetris

Pengecapan 2/3 depan lidah tidak dilakukan Tidak dilakukan

Sekresi air mata Cukup Cukup

Hiperakusis (-) (-)

5) N. Vestibulokoklearis

Vestibuler

Nistagmus : (-)

Tinitus aurium : Kanan: (-) Kiri : (-)

Uji Romberg : Tidak dilakukan

Cochlearis
25

Mendengar suara bisikan bisa bisa

Tes Rinne Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Tes Weber Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Tes Swabach Tidak dilakukan Tidak dilakukan

6) N. Glossopharyngeus dan N. Vagus

Bagian Motorik :

Suara :+

Menelan :+

Kedudukan arcus pharynx : Dalam batas normal

Kedudukan uvula : normal

Detak jantung : normal

Bising usus : normal

Bagian Sensorik:

Pengecapan 1/3 belakang lidah tidak dilakukan

Refleks muntah : (+)

7) N. Accesorius

Kanan Kiri

Mengangkat bahu + +

Memalingkan kepala Simetris Simetris

8) N. Hypoglossus

Kedudukan lidah waktu istirahat : di tengah


26

Kedudukan lidah waktu bergerak : di tengah

Artikulasi : Jelas

Atrofi : tidak ada

Kekuatan lidah menekan pada bagian : kuat/kuat

Fasikulasi/Tremor pipi (kanan/kiri) : -/-

c. Sistem Motorik

Kekuatan Otot

Tubuh : Otot perut : normal

Otot pinggang : normal

Kedudukan diafragma : Gerak : normal

Istirahat : normal

Lengan (Kanan/Kiri)

M. Deltoid : 5/5

M. Biceps : 5/5

M. Triceps : 5/5

Fleksi sendi pergelangan tangan : 5/5

Ekstensi sendi pergelangan tangan : 5/5

Membuka jari-jari tangan : 5/5

Menutup jari-jari tangan : 5/5

Tungkai (Kanan/Kiri)

Fleksi artikulasio coxae : 0/0

Ekstensi artikulatio coxae : 0/0

Fleksi sendi lutut : 0/0


27

Ekstensi sendi lutut : 0/0

Fleksi plantar kaki : 0/0

Fleksi dorsal kaki : 0/0

Gerakan jari-jari kaki : 0/0

Besar Otot :

Atrofi : -/-

Pseudohipertrofi :-

Respon terhadap perkusi : normal

Palpasi Otot :

Nyeri :-

Kontraktur :-

Konsistensi : Normal

Tonus Otot :

Lengan Tungkai

Kanan Kiri Kanan Kiri

Hipotoni - - - -

Spastik - - - -

Rigid - - - -

Rebound - - - -

Gerakan Involunter

Tremor : Waktu Istirahat : -/-

Waktu bergerak : -/-

Chorea : -/-
28

Athetose : -/-

Balismus : -/-

Torsion spasme : -/-

Fasikulasi : -/-

Myokimia : -/-

Koordinasi :

Telunjuk kanan – kiri: tidak dilakukan

Telunjuk-hidung : tidak dilakukan

Gait dan station : tidak dilakukan

d. Sistem Sensorik

Kanan/kiri

Rasa Eksteroseptik

 Rasa nyeri superfisial: - (ekstremitas bawah) / - (pada ekstremitas bawah)

 Rasa suhu : tidak dilakukan

 Rasa raba ringan : - (pada ekstremitas bawah) / - (pada ekstremitas

bawah)

Rasa Proprioseptik

 Rasa getar : tidak dilakukan

 Rasa tekan : - (pada ekstremitas bawah) / - (pada ekstremitas

bawah)

 Rasa nyeri tekan : - (pada ekstremitas bawah) / - (pada ekstremitas

bawah)
29

 Rasa gerak posisi : - (pada ekstremitas bawah)/ - (pada ekstremitas

bawah)

Rasa Enteroseptik

 Refered pain : tidak ada

e. Fungsi luhur

 Apraxia : Tidak ada

 Alexia : Tidak dilakukan

 Agraphia : Tidak dilakukan

 Fingerognosis : Tidak ada

 Membedakan kanan-kiri : Tidak ada

 Acalculia : Tidak ada

f. Refleks-refleks

Refleks kulit

 Refleks kulit di dinding perut : Tidak ditemukan refleks kulit dinding

perut

 Refleks cremaster : Tidak dilakukan

 Refleks gluteal : Tidak dilakukan

 Refleks anal : Tidak dilakukan

Refleks Tendon/Periosteum (Kanan/Kiri):

 Refleks Biceps : +2/+2

 Refleks Triceps : +2/+2

 Refleks Patella : +2/+2


30

 Refleks Achiles : +2/+2

Refleks Patologis :

Tungkai

Babinski : -/- Chaddock : -/-

Oppenheim : -/- Schaffer : -/-

Gordon : -/-

Lengan

Hoffmann-Tromner : -/-

Susunan Saraf Otonom

 Miksi : inkontinensi (+)

 Defekasi : konstipasi (+)

 Sekresi keringat : normal

 Salivasi : normal

g. Columna Vertebralis

Kelainan Lokal

 Skoliosis : tidak ada

 Khypose : tidak ada

 Khyposkloliosis : tidak ada

 Gibbus : tidak ada

2. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Laboratorium
31

Pemeriksaan laboratorim (09 November 2022 07:57:40 WITA di RSUD Ulin

Banjarmasin)

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan

HEMATOLOGI

Hemoglobin 8.3 14 .0 – 18.0 g/dl

Leukosit 2.8 4.0 – 10.5 ribu/ul

Eritrosit 3.04 4 – 6.00 juta/ul

Hematokrit 26.3 42.0 – 52.0 %

Trombosit 339 150 – 450 rb/ul

RDW-CV 14.9 12,1-14,0 %

MCV,MCH,MCHC

MCV 86.5 75.0 – 96.0 Fl

MCH 27.3 28.0-32.0 Pg

MCHC 31.6 33.0-37.0 %

HITUNG JENIS

Basofil% 0.4 0.0-1.0 %

Eosinofil% 0.0 1.0-3.0 %

Neutrofil% 84.0 50.0-81.0 %

Limfosit% 11.0 20.0-40.0 %

Monosit% 4.6 2.0-8.0 %

Basofil# 0.01 <1.00 Ribu/ul

Eosinofil# 0.00 <3.00 Ribu/ul

Neutrofil# 2.37 2.50-7.00 Ribu/ul

Limfosit# 0.31 1.25-4.00 Ribu/ul

Monosit# 0.13 0.30-1.00 Ribu/ul

KIMIA

DIABETES
32

Glukosa Darah Sewaktu 113 <200.00 mg/dl

HATI DAN PANKREAS

SGOT 26 5-34 U/L

SGPT 29 0-55 U/L

Albumin 3.5 3.5-5.2 g/dl

GINJAL

Ureum 26 0-50 mg/dl

Kreatinin 0.50 0.57-1.11 mg/dl

ELEKTROLIT

Natrium 133 136-145 Meq/L

Kalium 4.1 3.5-5.1 Meq/L

Chlorida 101 98-107 Meq/L

Kalsium 7.5 8-10.0 Mg/dl

IMUNO-SEROLOGI

Anti-HIV (Elisa) 776.04 <1.00 S/CO


(reaktif)

INFEKSI LAIN

LIMPHOCYT SUBSET

CD4 22 410-1590 Cell/ul

Kesimpulan: Anemia, leukopenia, neutropenia, limfositopenia, hiponatremia,

hipokalsemia, HIV/AIDS

2. CT-Scan Spine Thorakal tanpa Kontras


33

Interpretasi:
34

- Curve dan alignment Vertebra thorakal baik


- Sela sendi intervertebralis tidak menyempit
- Canalis spinalis terletak di bagian tengah
- Tampak deformitas pada Vertebra Thoracalis 5
- Jaringan lunak paravertebra tidak tampak kelainan

Kesimpulan : Fraktur kompresi Vertebra Thoracalis 5

3. DIAGNOSIS

Diagnosis Klinis : Paraplegi inferior

Diagnosis Topis : Segmen medulla spinalis Th 5 – 10

Diagnosis Etiologi : Susp. Myelitis Transversa

4. TATALAKSANA

Terapi yang telah diberikan di Ruang Seruni RSUD Ulin Banjarmasin (7 - 12

November 2022)

• IVFD NS 0,9% 20 tpm

• Inj. Metilprednisolon 3x125mg

• Inj. Ranitidin 2x50mg

• Inj. Ceftriaxone 2x1 gr

• PO. Pyridoxine 1x10mg

• PO Fluconazole 2x50mg

• PO Gabapentin 3x100mg

• Dulcolac tab 1x1

5. PROGNOSIS

Ad vitam : dubia ad bonam


35

Ad funtionam : dubia ad bonam

Ad sanationam : dubia ad bonam

6. FOLLOW-UP

(Tanggal Pemeriksaan 9 November 2022 di Ruang Seruni)

S O A P
- Paraplegi Kesadaran:Compos mentis Diagnosis Klinis: - IVFD NS 0,9% 20
inferior GCS: E4-V5-M6 Paraplegi inferior tpm
- Stomatitis TD: 110/60 mmHg - Inj.
HR: 120 x/menit Diagnosis Topis: Methylprednisolone
RR: 20 x/menit Segmen myelum 3x125mg
Suhu: 36,4 oC Th 5-10
- Inj. Ranitidin 2x50mg
SpO2: 99% room air
Diagnosis - Inj. Ceftriaxone 2x1
Pemeriksaan fisik Etiologi: gr
Susp. Myelitis - PO. Fluconazole
- - 2x50mg
Rh - - transversa dd
- - spondilitis tb - PO. Gabapentin
3x100mg
Wh - -
- Daftar MRI
- - - Transfusi PRC 2 kolf
- -
Suara jantung S1 S2
tunggal
Rangsang meningeal : (-)
- N.I : Penghidu +
- N.II : Reflek pupil (+/+)
- N.III : (+/+)
- N.IV : (+/+)
- N.V : Refleks kornea
( +/+)
- N.VI : (+/+)
- N.VII : Parese wajah (-)
- N.VIII : Pendengaran (+)
- N.IX, X: Refleks
muntah (+), refleks
menelan (+)
- N.XI : Tpz (+/+), scm
(+/+)
- N.XII : Deviasi lidah
(-)

RCL: + | +
RCTL: +|+
36

Isokor: 2 mm | 2 mm

Reflex Fisiologis
BPR +2 | +2 KPR +2 | +2
TPR +2 | +2 APR +2 | +2

Refleks patologis
Babinski: - / -
Chaddock: -/ -
Hofman: - / -
Tromner: - / -
Gordon: -/-
Schaeffer: -/-

M = 5/5
0/0

G = B/B

T/T

S + +

- -

T Eu Eu
Eu Eu
A
- -
- -

(Tanggal Pemeriksaan 10 November 2022 di Ruang Seruni)

S O A P
- Paraplegi Kesadaran:Compos mentis Diagnosis Klinis: - IVFD NS 0,9% 20
inferior GCS: E4-V5-M6 Paraplegi inferior tpm
- Sariawan TD: 120/90 mmHg - Inj.
HR: 82 x/menit Diagnosis Topis: Methylprednisolone
RR: 20 x/menit Segmen myelum 3x125mg
Suhu: 36,9 oC Th 5-10
- Inj. Ranitidin 2x50mg
SpO2: 99% room air
Diagnosis - Inj. Ceftriaxone 2x1
Pemeriksaan fisik Etiologi: gr
Susp. Myelitis - PO. Fluconazole
- - 2x50mg
Rh - - transversa
- - - PO. Gabapentin
3x100mg
37

Wh - - - PO Pyridoxine
- - 1x10mg
- - - Dulcolac tab 1x1
Suara jantung S1 S2
tunggal
Rangsang meningeal : (-)
- N.I : Penghidu +
- N.II : Reflek pupil (+/+)
- N.III : (+/+)
- N.IV : (+/+)
- N.V : Refleks kornea
( +/+)
- N.VI : (+/+)
- N.VII : Parese wajah (-)
- N.VIII : Pendengaran (+)
- N.IX, X: Refleks
muntah (+), refleks
menelan (+)
- N.XI : Tpz (+/+), scm
(+/+)
- N.XII : Deviasi lidah
(-)

RCL: + | +
RCTL: +|+
Isokor: 2 mm | 2 mm

Reflex Fisiologis
BPR +2 | +2 KPR +2 | +2
TPR +2 | +2 APR +2 | +2

Refleks patologis
Babinski: - / -
Chaddock: -/ -
Hofman: - / -
Tromner: - / -
Gordon: -/-
Schaeffer: -/-

M = 5/5
0/0

G = B/B

T/T

S + +
38

- -

T Eu Eu
Eu Eu
A
- -
- -

(Tanggal Pemeriksaan 11 November 2022 di Ruang Seruni)

S O A P
- Paraplegi Kesadaran:Compos mentis Diagnosis Klinis: - IVFD NS 0,9% 20
inferior GCS: E4-V5-M6 Paraplegi inferior tpm
- Sariawan TD: 110/70 mmHg - Inj.
HR: 89 x/menit Diagnosis Topis: Methylprednisolone
RR: 22 x/menit Segmen myelum 3x125mg
Suhu: 36,8 oC Th 5-10
- Inj. Ranitidin 2x50mg
SpO2: 98% room air
Diagnosis - Inj. Ceftriaxone 2x1
Pemeriksaan fisik Etiologi: gr
Susp. Myelitis - PO. Fluconazole
- - 2x50mg
Rh - - transversa
- - - PO. Gabapentin
3x100mg
Wh - -
- PO Pyridoxine
- - 1x10mg
- - - Dulcolac tab 1x1
Suara jantung S1 S2
tunggal
Rangsang meningeal : (-)
- N.I : Penghidu +
- N.II : Reflek pupil (+/+)
- N.III : (+/+)
- N.IV : (+/+)
- N.V : Refleks kornea
( +/+)
- N.VI : (+/+)
- N.VII : Parese wajah (-)
- N.VIII : Pendengaran (+)
- N.IX, X: Refleks
muntah (+), refleks
menelan (+)
- N.XI : Tpz (+/+), scm
(+/+)
- N.XII : Deviasi lidah
39

(-)

RCL: + | +
RCTL: +|+
Isokor: 2 mm | 2 mm

Reflex Fisiologis
BPR +2 | +2 KPR +2 | +2
TPR +2 | +2 APR +2 | +2

Refleks patologis
Babinski: - / -
Chaddock: -/ -
Hofman: - / -
Tromner: - / -
Gordon: -/-
Schaeffer: -/-

M = 5/5
0/0

G = B/B

T/T

S + +

- -

T Eu Eu
Eu Eu
A
- -
- -

(Tanggal Pemeriksaan 12 November 2022 di Ruang Seruni)

S O A P
- Paraplegi Kesadaran:Compos mentis Diagnosis Klinis: - IVFD NS 0,9% 20
inferior GCS: E4-V5-M6 Paraplegi inferior tpm
- Sariawan TD: 110/70 mmHg - Inj.
HR: 89 x/menit Diagnosis Topis: Methylprednisolone
RR: 20 x/menit Segmen myelum 3x125mg
Suhu: 36,8 oC Th 5-7
- Inj. Ranitidin 2x50mg
SpO2: 99% room air
40

Diagnosis - Inj. Ceftriaxone 2x1


Pemeriksaan fisik Etiologi: gr
Susp. Myelitis - PO. Fluconazole
- -
Rh - - transversa 2x50mg
- - - PO. Gabapentin
3x100mg
Wh - - - PO Pyridoxine
- - 1x10mg
- - - Dulcolac tab 1x1
Suara jantung S1 S2 - BLPL
tunggal - Jadwal MRI 6
Rangsang meningeal : (-) Desember 2022
- N.I : Penghidu +
- N.II : Reflek pupil (+/+)
- N.III : (+/+)
- N.IV : (+/+)
- N.V : Refleks kornea
( +/+)
- N.VI : (+/+)
- N.VII : Parese wajah (-)
- N.VIII : Pendengaran (+)
- N.IX, X: Refleks
muntah (+), refleks
menelan (+)
- N.XI : Tpz (+/+), scm
(+/+)
- N.XII : Deviasi lidah
(-)

RCL: + | +
RCTL: +|+
Isokor: 2 mm | 2 mm

Reflex Fisiologis
BPR +2 | +2 KPR +2 | +2
TPR +2 | +2 APR +2 | +2

Refleks patologis
Babinski: - / -
Chaddock: -/ -
Hofman: - / -
Tromner: - / -
Gordon: -/-
Schaeffer: -/-

M = 5/5
0/0
41

G = B/B

T/T

S + +

- -

T Eu Eu
Eu Eu
A
- -
- -
42

BAB IV

PEMBAHASAN

Telah dilakukan alloanamnesis terhadap Nn. A, 35 tahun dengan keluhan

utama kelemahan kedua ekstremitas bawah serta mati rasa. Awalnya pasien

merasakan BAK yang keluar terus-menerus tanpa bisa ditahan, saat hendak ke

kamar mandi pasien merasakan kelemahan hingga terjatuh 2 kali. Setelah itu

pasien dibawa ke RS Doris Sylvanus Palangkaraya. Namun sekitar 2 hari

kemudian keluhan bertambah hingga kedua kaki pasien tidak dapat digerakkan

sama sekali dan menjadi mati rasa. Berdasarkan teori, gejala myelitis transversa

meliputi disfungsi motorik, sensorik, dan/atau otonom. Defisit motorik termasuk

paraparesis yang berkembang pesat, yang dapat melibatkan ekstremitas atas yang

berbentuk flaksid pada awalnya dan diikuti oleh spastisitas. Umumnya, ada

keterlibatan sensorik dengan gejala berupa nyeri, disestesia, dan parestesia pada

segmen yang terlibat. Disfungsi saraf otonom pada myelitis transversa termasuk

urgensi urin, inkontinensia kandung kemih / usus, kesulitan / ketidakmampuan

untuk berkemih, sembelit usus, atau disfungsi seksual.16

Pasien berjenis kelamin perempuan berusia 35 tahun dan memiliki riwayat

aktif berhubungan seksual serta riwayat suntik putih di klinik abal-abal sekitar 10

tahun yang lalu. Pasien terkonfirmasi mengidap HIV/AIDS dan kemudian

disarankan untuk ke RSUD Ulin Banjarmasin untuk dilakukan MRI. Saat

menjalani perawatan di Ruang Seruni RSUD Ulin Banjarmasin, dilakukan

pemeriksaan HIV kembali pada pasien dan didapatkan hasil reaktif. Berdasarkan

teori, HIV menyebabkan cedera tulang belakang secara tidak langsung melalui
43

modulasi imun, degenerasi, dan atau terkait dengan infeksi serta neoplasma.

Seperti halnya ensefalitis, karakteristik myelitis yang berkaitan dengan HIV yaitu

adanya multinucleated giant cells, astrosit reaktif, dan deteksi dari antigen HIV

secara immunohistokimia pada parenkim. Meskipun mekanisme pastinya belum

jelas, hal ini disebabkan dari adanya disregulasi sistem imun dan proinflamatori

pada sistem saraf pusat. Virus HIV diketahui masuk ke SSP pertama kali dengan

menginfeksi monosit perifer, memanfaatkan reseptor permukaan CD4 dan CCR5

co-reseptor.17

Berdasarkan hasil CT Scan Spine Thorakal tanpa kontras, didapatkan

adanya deformitas di vertebra thorakalis 5 berupa fraktur kompresi. Hal ini tidak

sejalan dengan teori dimana harus menyingkirkan kemungkinan kompresi. 16 Akan

tetapi, dari anamnesis didapatkan bahwa kelemahan/disfungsi motorik dan

otonom terjadi mendadak dan kelemahan itulah yang membuat pasien terjatuh.

Sehingga kemungkinan fraktur kompresi yang terjadi adalah sebagai hasil dari

kelemahan yang dialami pasien. Selain itu, CT Scan thorakal yang dilakukan tidak

dapat menilai medulla spinalis sehingga harus dilakukan MRI untuk memastikan

dan menegakkan diagnosis.

Pasien diberikan IVFD NS 0,9% 20 tpm. Cairan isotonis seperti 0,9%

normal salin bertujuan untuk menjaga euvolemi. Standar perawatan dan terapi lini

pertama untuk pengobatan myelitis transversal adalah kortikosteroid intravena.

Seharusnya tidak ada penundaan pengobatan sambil menunggu hasil tes lebih

lanjut. Kortikosteroid intravena sering digunakan untuk mencegah kerusakan

lebih lanjut pada sumsum tulang belakang akibat pembengkakan. Selama fase
44

akut, ini dapat menyebabkan pemulihan lebih cepat dan lebih sedikit kecacatan,

dan ditoleransi dengan baik. Rejimen potensial mencakup metilprednisolon atau

deksametason selama 3 sampai 5 hari. Durasi terapi lebih lanjut harus diarahkan

seiring dengan perkembangan kasus klinis.16,17 Seperti pada pasien ini diberikan

injeksi metilprednisolon sebanyak 3x125 mg.

Pasien memperoleh ranitidine yang merupakan obat golongan histamin (H2)

blocker. Pemberian gastroprotector wajib dilakukan pada pasien rawat inap di

ruang rawat intensif neurologi. Penghambatan reversibel reseptor H2 dalam sel

parietal lambung mengakibatkan penurunan volume dan konsentrasi asam

lambung. Efek penurun asam ranitidin lebih menonjol untuk sekresi asam basal

dan nokturnal daripada sekresi asam yang distimulasi oleh makanan. Efek tidak

langsung tambahan dari ranitidin adalah penurunan sekresi pepsin dan

peningkatan flora bakteri pereduksi nitrat.18

Pasien mendapatkan antibiotik berupa ceftriaxone 2x1 gram perhari, dimana

antibiotik sering diresepkan untuk pasien HIV-positif untuk mencegah atau

mengobati infeksi oportunistik dan infeksi yang sudah ada. Antibotik kadang

diberikan dalam kombinasi dengan obat lain, seperti antiretroviral (ARV),

antivirus, antijamur, antiparasit, dan antidiare. Pemberian antibiotik secara

bersamaan dengan produk obat lain dapat mengakibatkan interaksi obat yang

sinergis atau antagonis.19

Vitamin B6 atau piridoksin adalah vitamin yang larut dalam air yang

ditemukan secara alami di banyak makanan, serta ditambahkan ke makanan dan

suplemen. Pyridoxal 5 'phosphate (PLP) adalah bentuk koenzim aktif dan ukuran
45

paling umum dari kadar darah B6 dalam tubuh. PLP adalah koenzim yang

membantu lebih dari 100 enzim untuk melakukan berbagai fungsi, termasuk

pemecahan protein, karbohidrat, dan lemak; mempertahankan kadar homosistein

normal (karena kadar tinggi dapat menyebabkan masalah jantung); dan

mendukung fungsi kekebalan tubuh dan kesehatan otak.20

Gabapentin adalah agen anti-epilepsi yang pada awalnya dikembangkan

sebagai senyawa mimetik gamma-aminobutyric acid (GABA) untuk mengobati

spastisitas, dan telah terbukti memiliki efek antikonvulsan yang kuat. Awalnya

disetujui hanya untuk digunakan pada kejang parsial, namun saat ini menunjukkan

harapan dalam pengobatan sindrom nyeri kronis, terutama nyeri neuropatik.

Gabapentin tidak memiliki aksi GABAergik langsung dan tidak menghalangi

pengambilan atau metabolisme GABA. Gabapentin memblokir fase tonik

nosisepsi yang diinduksi oleh formalin dan karagenan, dan memberikan efek

penghambatan yang kuat pada model nyeri neuropatik dari hiperalgesia mekanis

dan alodinia mekanis/termal.21

Pasien juga mendapat obat-obatan lain seperti flukonazol dan dulcolac

untuk mengobati gejala simtomatik berupa sariawan dan sembelit yang diderita

pasien. Flukonazol juga berfungsi sebagai obat anti jamur yang terkait dengan

penggunaan kortikosteroid dan antibakteri spektrum luas serta pada infeksi HIV.22
BAB V
PENUTUP

Telah dilaporkan sebuah kasus dengan nama Nn. A usia 35 tahun dengan

keluhan utama kelemahan pada kedua ekstremitas bawah yang progresif, disertai

adanya penurunan sensoris berupa mati rasa dan disertai gangguan otonom berupa

inkontinensia urin. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan

diagnosis mengarah pada myelitis transversa.

Tatalaksana pada pasien yang telah diberikan adalah IVFD NS 0,9% 20 tpm,

Inj. ranitidin 2x50mg, Inj. Metilprednisolon 3x125mg, Inj. Ceftriaxone 2x1 gr,

PO. Pyridoxine 1x10mg, PO Fluconazole 2x50mg, PO Gabapentin 3x100mg,

Dulcolac tab 1x1. Pasien dirawat selama 6 hari sejak tanggal 7-12 November 2022

di Ruang Seruni. Pasien BLPL tanggal 12 November 2022 dan telah mendapatkan

jadwal MRI di RSUD Ulin Banjarmasin.

46
DAFTAR PUSTAKA

1. Jacob A, Lunn M, Mutch K. Transverse Myelitis. London: Brain & Spine


Foundation; 2016. p. 3-11.
2. Bakheet MF, Elkady A. The Differential Diagnosis of Acute Inflammatory
Transverse Myelitis, Review Article. Journal of Teaching Hospitals and
Institutes. 2019; 9:8-21.
3. Absoud M, Greenberg BM, Lim M, Lotze T, Thomas T, Deiva K. Pediatric
Transverse Myelitis. American Academy of Neurology. 2016; 2:46-50.
4. Isniamin M. Analisa Praktik Klinik Keperawatan pada Pasien Myelitis
Transversa dengan Intervensi Inovasi Mobilisasi dan ROM untuk Mencegah
Kontraktur dan Luka Tekan (Dekubitus) di Ruang ICU RSUD Abdul Wahab
Sjahranie Samarinda: universitas muhammadiyah Kalimantan timur; 2018.
5. Greenberg MS. Handbook of Neurosurgery. Ed 8. New York: Thieme; p. 187-
8.
6. Rodriguez Y, Rojas M, Pacheco Y, Ampudia YA, Santana CR, Monsalve
DM,et al. Guillain–Barré syndrome, transverse myelitis and infectious
diseases. Cellular and Molecular Immunology. 2018; 15:547-62.
7. Widodo DP. Proceedings of Update in child neurology: Everything you
should know about motor and movement problems in children. Jakarta: Ikatan
Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta; 2017. p. 31.
8. Beistero B, Guimaraes J. Review of the Etiological Causes and Diagnosis of
Myelitis and Its Medical Orientation Protocol. Journal of Neurology &
Neurophysiology. 2017;8:1-8.
9. Genetic and Rare Diseases. Transverse Myelitis.. Available from:
https://rarediseases.info.nih.gov/diseases/7796/transverse-myelitis
10. Waluyo SA. Analisis Praktik Klinik Keperawatan Pada Pasien Myelitis
Transversal Infection Dengan Intervensi Inovasi Pemberian kompres
Menggunakan Cool Pack Untuk Menurunkan Nyeri Terhadap Tindakan
Invasif Pada Anak Yang Dirawat Di Ruang PICU RSUD A. Wahab Sjahranie
Samarinda: universitas muhammadiyah Kalimantan timur; 2019.

46
11. Frohman EM, Wingerchuk DM. Transverse Myelitis. The new england
journal of medicine. 2010; 363:564-72.
12. Simon RP, Aminoff MJ, Greenberg DA. Clinical Neurology. Ed 10. USA:
McGraw-Hill Education;2018. p. 241-2
13. Young V, Quaghebeur G. Transverse MyelitisandNeuromyelitis Optica
Spectrum Disorders. Seminars in Ultrasound CT and MRI. 2017:384-95.
14. Theroux LM, Brenton JN. Acute Transverse and Flaccid Myelitis in Children.
Curr Treat Options Neural. 2019; 21:64.
15. National Institute of Neurological Disorders and Stroke. Transverse Myelitis
Fact Sheet. Available from: https://www.ninds.nih.gov/Disorders/Patient-
Caregiver-Education/Fact-Sheets/Transverse-Myelitis-Fact-Sheet
16. Simone CG, Emmady PD. Transverse Myelitis. [Updated 2022 Aug 8]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022
Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK559302/
17. Levin NS, Lyons LJ. HIV and Spinal Cord Disease. Handbook of Clinical
Neurology. 2018;213-15.
18. Morgan KA, Ahlawat R. Ranitidine. [Updated 2021 Dec 16]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-. Available
from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK532989/
19. Faiela C, Sevene E. Antibiotic prescription for HIV-positive patients in
primary health care in Mozambique: A cross-sectional study. S Afr J Infect
Dis. 2022 Feb 28;37(1):340. doi: 10.4102/sajid.v37i1.340. PMID: 35284563;
PMCID: PMC8905412.
20. Vitamin B6. The Nutrition Source. 2019. Available from:
https://www.hsph.harvard.edu/nutritionsource/vitamin-b6/
21. Rose, M.A. and Kam, P.C.A. (2002), Gabapentin: pharmacology and its use in
pain management. Anaesthesia, 57: 451-462. https://doi.org/10.1046/j.0003-
2409.2001.02399.
22. Infeksi Jamur: Pio Nas. Depan. Available from:
https://pionas.pom.go.id/ioni/bab-12-telinga-hidung-dan-tenggorok/123-obat-
yang-bekerja-pada-tenggorok/1232-antiinfeksi-0

46
46

Anda mungkin juga menyukai