Anda di halaman 1dari 14

PEREKONOMIAN INDONESIA

ERA KOLONIAL, ORDE LAMA, ORDE BARU

GHANIA NIRMALA PUTRI


C1C014070
AKUNTANSI A 2014

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

Cermin Kelam Program Tambal Sulam


Duit selalu membawa persoalan pelik bagi Indonesia. Pada masa-masa awal
kemerdekaan, Negara ini sudah dihadapkan dengan masalah hiperinflasi, karena
beredarnya duit yang tak terkendali. Keadaan ekonomi pun semrawut.
Ketika pasukan sekutu menduduki kota-kota besar Indonesia untuk mengembalikan
kekuasaan Belanda, sejumlah bank juga dikuasi. Untuk menggaji antek-antek
mereka, brankas bank dibuka, yang mengakibatkan Rp 2,5 milyar duit membanjiri
pasar.
Akibatnya, ekonomi Indonesia tambah loyo. Pemerintah Republik belum bisa
berbuat banyak. Hendak melarang duit Jepang, belum punya pengganti. Maka,
diambil langkah kompromi, alat pembayaran yang sah disepakati tiga macam, yaitu
uang keluaran De Javasche Bank, duit pendudukan Jepang, dan mata uang
pemerintah Hindia Belanda.
Tapi keputusan itu tidak menyelesaikan masalah. Saat pendudukan Dai Nippon,
petani adalah produsen yang paling banyak menyimpan uang. Tapi nilainya tergerus
ketika Belanda melakukan blockade ekonomi, November 1945.
Pemerintah pun terancam bangkrut. Pihak Belanda menduga, pemerintah RI segera
gulung tikar karena kas Negara kosong. Dalam situasi krisis, Ir. Surachman, Menteri
Keuangan RI, minta persetujuan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pisat
(BPKNIP) untuk meminjam duit rakyat. KNIP adalah cikal bakal Dewan Perwakilan
Rakyat. KNIP setuju.
Negara akan mengutang kepada rakyat sebesar Rp 1 Milyar, yang bakal
dikembalikan dalam jangka waktu 40 tahun. Pada Juli 1946, rakyat seluruh Jawa dan
Madura diminta menyetor duit ke Bank Tabungan Pos dan kantor-kantor gadai.
Terkumpul 500 Juta. Ini sekaligus menunjukkan dukungan rakyat pada pemerintah
yang baru merdeka.
Saat kondisi ekonomi belum benar-benar oke, Allied Forces Netherlands East Indies
(AFNEI atau sekutu) dibawah komando Letnan Jenderal MontaguStopford
mengeluarkan uang baru. Duit anyar itu dikenal sebagai uang NICA (Netherlands
Indies Civil Administration).

Duit itu untuk mengganti uang Jepang yang sudah terkikis nilainya. Serupiah (100
sen) Jepang hanya dihargai 3 sen uang NICA. Pemerintah RI lewat Sutan Sjahrir,
perdana menteri, memproses kebijakan sekutu itu, dan melarang rakyat
menggunakan uang NICA. Sebagai gantinya, pemerintah mengeluarkan uang kertas
baru, Oeang Repoeblik Indonesia (ORI). Serupiah ORI dihargai 1.000 duit Jepang.
Setiap keluarga hanya diizinkan punya 300 ORI, sedangkan bujangan hanya 100
ORI.
Untuk mengoordinasi urusan ekonomi, pemerintah mendirikan Bank Negara
Indonesia, 1 November 1946. Bank ini berfungsi menangani penukaran ORI dengan
duit asing. BNI 46 dipimpin Margono Djojohadikusumo. Namun situasi perang
menyulitkan ekonomi kita. Pendapatan Negara tidaksebanding dengan pengeluaran.
Apalagi, hasil perkebunan dan pertanian tidak dapat diekspor karena blockade
ekonomi. Untuk mengubah situasi, dilakukan upaya-upaya menembus sekat itu.
Misalnya, membantu India yang tengah kelaparan dengan 500.000 ton beras.
Imbalannya, India akan mengirim bahan pakaian.
Pemerintah juga melakukan hubungan dagang langsung dengan pihak asing. Lewat
Banking and Trading Corporation (BTC) pimpinan Sumitro Djojohadikusumo dan
Ong Eng Die, mereka menjalin hubungan dagang dengan Isbransten Inc, perusahaan
swasta di Amerika Serikat.
Martin Behrmann, kapal milik Isbransten, masuk Indonesia dan berlabuh di Cirebon.
Kapal itu mengangkut barang pesanan BTC, dan saat kembali akan memuat barang
ekspor RI. Tapi, malang, kapal ini ditangkap patrol Belanda dan diseret ke
Tanjungpriok. Seluruh muatannya dibeslah.
Untuk membiayai pemerintahan dan pembangunan, utang luar negeri menjadi
pilihan. Djuanda, Menteri kemakmuran, mendapat kredit US$ 100 juta, yang lebih
dari separonya digunakan membangun proyek transportasi dan komunikasi, seperti
pelabuhan, Bandar udara dan kereta api.
Pada 1951, pendapatan dari ekspor turun. Sementara pengusaha dalam negeri belum
bisa bersaing dengan asing. Sehingga timbul gagasan memproteksi pedagang
pribumi ini. Lagi-lagi program itu gagal akibat kolusi

Agar tidak makin terpuruk, pemerintah melakukan penghematan dengan menekan


biaya ekspor. Tetapi terjadi deficit anggaran sebesarRp 3 milyar pada 1952. Deficit
itu ditutupi dengan mencetak uang bar, yang mengakibatkan inflasi melambung.
Defisit anggaran terjun bebas dan pada puncaknya, tahun 1957, mencapai Rp 5,3
milyar.
Untuk mengatasinya, Kabinet Ali Sastroamidjojo I membentuk Viro perancang
Negara. Yang bertugas merancang pembangunan jangka panjang. Mei 1956, biro
yang dipimpin Djuanda menghasilkan Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT)
1956-1961 dan disahkan DPR pada 11 November 1958.
Musyawarah Nasional Pembangunan kemudian digelar untuk melaksanakan RPLT
dengan dana yang dipatok Rp 12,5 milyar. Lagi-lagi, rencana ini buyar karena situasi
keamanan yang terganggu. Saat itu terjadi pemberontakan PRRI/Premesta, yang
membutuhkan biaya besar untuk menumpasnya. Belum lagi ketegangan politik
antara Indonesia dan Belanda memanas akibat kasus Irian Barat.
Dalam rangka pembebasan Irian Barat, pemerintah mengeluarkan Undang-undang
Nomor 86/1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan milik Belanda di Indonesia.
Nasionalisasi ini bertujuan memberi manfaat pada masyarakat Indonesia serta
memperkokoh keamanan dan pertahanan Negara.
Sejak keluar Undang-undang Nasionalisasi, sejumlah perusahaan Belanda, termasuk
perusahaan farmasi, dibeslah. Pertimbangannya, perusahaan farmasi merupakan
cabang produksi yang penting bagi masyarakat dan menguasai hajat hidup orang
banyak. Maka sejumlah perusahaan farmasi milik Belanda diambil alih lewat
Peraturan Pemerintah Nomor 1/1960 tentang penentuan Perusahaan-perusahaan
farmasi Milik Belanda yang dikenakan Nasionalisasi.
Perusahaan seperti NV Chemicalienchandel Rathkamp & Co, NV Pharmaceutiche
Handelsvereeniging J.van Gorkom & Co, NV Bataviasche Volks & Stads Apotheek,
dan NV Multipharma, Jakarta, berpindah pemilik. Begitu juga perusahaan farmasi di
Bandung, Surabaya, Mojokerto, dan Malang. Misalnya NV Indonesische Combinatie
Voor Chemische Industrie, NV Bandungsche Kinine Fabriek, NV
Jodiumonderneming Watudakon, NV Verbandstoffenfabriek, Drogistery Bellem, dan
CV Apotek Malang.

Nasionalisasi juga merambah perusahaan listrik dan gas, yang kemudian menjadi
PLN dan perusahaan gas Negara. Juga perusahaan penerbangan yang menjelma jadi
Garuda Indonesia Airlines. Begitu pula perusahaan perkebunan dilebur dalam PTPN.
Perusahaan minyak Belanda juga berubah menjadi pertamina.
Namun nasionalisasi justru memukul pasar modal Indonesia yang dirintis sejak 1950.
Akyivitas bursa yang berkembang sejak Bank Industri Negara mengeluarkan obligasi
pada 1954, 1955, dan 1956 jadi hancur. Sebab pembeli obligasi yang kebanyakan
warga Belanda, perorangan, dan badan hukum angkat kaki.
Bursa semakin loyo ketika badan nasionalisasi perusahaan belanda melarang bursa
berdagang saham milik perusahaan Belanda di Indonesia, 1960. Larangan itu
termasuk berdagang saham yang memakai satuan harga mata uang Belanda. Selain
larang itu, tingkat inflasi yang terus naik mengurangi kepercayaan masyarakat
terhadap bursa.
Akibatnya, nasionalisasi yang diniatkan member manfaat pada masyarakat,
kenyataannya justru membuat ekonomi Indonesia makin terpuruk. Pemerintah RI
kesulitan mengendalikan perekonomian. Duit yang beredar kian membengkak.
Untuk membendungnya, pemerintah menerbitkan Perpu Nomor 2/1959 yang
menyunat nilai mata uang. Pecahan Rp 500 dan Rp 1000 digunting menjadi Rp 50
dan Rp 100. Simpanan di bank juga dibekukan lewat perpu nomor 3/1959, untuk
mengurangi peredaran uang di masyarakat.
Upaya itu berhasil mengurangi peredaran uang dari 34 milyar menjadi 13 milyar.
Tapi cuma sementara. Empat bulan kemudian, uang kembali banjir sampai Rp 34
milyar. Bahkan, pada akhir 1966, mencapai 22 trilyun. Pemerintah kembali
kelimpungan dan terpaksa mengeluarkan rupiah baru yang nilainya seperseribu dari
duit lama. Jadi, uang lama Rp 1000 dihargai Cuma Rp 1 dalam uang baru.
Jalan itupun rupanya tak menyelesaikan masalah secara tuntas. Jalan terakhir
kemudian ditempuh, yaitu menguras pundi-pundi devisa dan cadangan emas/ akhir
1965, cadangan devisa di Bank Indonesia ludes. Sampai-sampai, yang tersisa Cuma
saldo negative US$3 juta.
Dihadang Spekulan Ali-Baba

Saat harga minyak dunia melonjak hingga US$ 60 per barel, Indonesia sebagai
penghasil minyak tak ikut menikmati kenaikan itu. Pendapatan Indonesia dari ekspor
karet dan minyak, ketika itu sontak terdongkrak dan membuat anggaran belanja
pemerintah pada 1951 surplus. Gara-gara kaya mendadak, nafsu mengimpor barangbarang lain yang menguras devisa juga ikut tumbuh. Meningkatnya impor kemudian
diikuti kenaikan upah dan harga yang melecut inflasi.
Kondisi ini menyulitkan Indonesia. Apalagi, keputusan ekonomi konferensi Meja
Bundar, 27 Desember 1949, membebani RI dengan utang pada Belanda sebagai
bekas penjajah. Kesepakatan itu tertuang dalam Financial-Economic Agremeement
(Finec). Meskipun baru lahir, RI langsung menanggung utang luar negeri Rp 1,5
milyar dan dalam negeri Rp 2,8 milyar.
Meski termehek-mehek, pemerintah RI tetap berusaha membayar utang. Utang RI
masih terus dibayar hingga sebesar 82% sampai Februari 1956, ketika cabinet
Burhanuddin Harahap membatalkan Finec. Ketaatan membayar utang itu untuk
menjaga investasi asing tetap tertarik pada Indonesia. Karena pengusaha dan
pedagang Indonesia saat itu belum dapat menggantikan peran asing.
Maka, dicanangkanlah Program Benteng yang digagas Sumitro Djojohadikusumo ,
menteri perdagangan dan perindustrian Kabinet Natsir. Program ini bertujuan
menciptakan industri impor milik pribumi, memberikan bantuan modal, dan
melindungi kepentingan pribumi. Program ini untuk menumbuhkan kapitalisme
pribumi dengan mengamankan dominasi dibidang impor. Dengan bantuan
pemerintah, diharapkan pengusaha pribumi dapat menggusur oligopoly The Big
Five.
The Big Five adalah perusahaan dagang Belanda yang terdiri dari Borsumij,
Jacobson van de Berg, Geowehry, Internatio, dan Lindeteves. Tidak hanya mereka
yang akan digusur, Benteng juga diharapkan bisa menendang perusahaan Inggris,
seperti MacLaine Watson. Lewat Benteng, sedikitnya 700 perusahaan pribumi
mendapat kredit usaha.
Kebijakan yang hanya member lisensi impor kepada golongan pribumi melahirkan
pengusaha-pengusaha atau importer-importir aktentas. Yaitu pengusaha tidak
bermodal dan tidak berkantor. Dengan membawa sebuah aktentas, mereka keluar-

masuk kantor instansi pemerintah untuk mendapatkan lisensi impor bermacammacam barang.
Dengan mengantongi lisensi itu, mereka mendatangi para pedagang Tionghoa untul
menjual lisensi tersebut. Kerja sama inilah yang kemudian terkenal dengan sebutan
system Ali-Baba. Ali sebagai idiom untuk pribumi, sedangkan Baba mewakili
pedagang Tionghoa. Eksperimen untuk mengangkat nasib kaum pribumi itu berubah
menjadi arena korupsi dan kolusi.
Repotnya program yang dimulai pada masa Kabinet Natsir (6 September 1950-27
April 1951) itu diteruskan dengan lebih antusias oleh Iskaq Tjokrohadisoerjo,
Menteri ekonomi dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo (Agustus 1953-November
1954). Bank Negara Indonesia diharuskan membiayai Program pribumiisasi) itu.
Meskipun bursa efek dibuka di Jakarta, 4 Juni 1952, sebagai alternative pembiayaan,
tapi pengusaha tidak berminat. Mereka lebih terbiasa dengan kredit bank, yang
dananya akhirnya dari pemerintah juga.
Program benteng berhasil menumbuhkan beberapa perusahaan pribumi, seperti NV
Maskapai Asuransi Indonesia (pimpinan V.B. Tumbelaka), NV Indonesia Servic
Company (Hasyim Ning), dan NV Putera (Mas Agoes). Juga CV Sjachsam
(pimpinan Sutan Sjachsam, adik sutan Sjahrir) dan NV Djakarta Lloyd serta PT
Transistor Radio Manufacturing (Thayeb Gobel).
Meskipun ada perusahaan yang bisa dikembangkan, program Benteng gagal
mewujudkan cita-cita mengangkat pengusaha pribumi menggantikan kiprah asing
dalam perekonomian nasional. Karena banyaknya para spekulan menyalahgunakan
fasilitas ini. Akhirnya, pada1957, secara resmi program benteng dihentikan oleh ir.
Rooseno, Menteri Ekonomi, atas dasar menghilangkan diskriminasi rasial.
Ekonomi Bikin Saya Pusing
Dalam dua dekade, pamor presiden Soekarno rontok. Kehilangan Bung Hatta
menjadi salah satu penyebabnya.
Awalnya hubungan antara presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohamad Hatta
ibarat pedang tajam bermata dua. Yang satu mengurusi politik, satunya lagi intens di

bidang ekonomi. Ke atas pundak kedua proklamator itu penduduk Indonesia


menggantungkan nasib mereka.
Namun pasangan ideal itu harus pecah juga. Bung Karno sangat terobsesi dengan
sosialisme ala Indonesia. Yang dia pikirkan hanyalah revolusi nasional. Soekarno
juga mengangkat dirinya menjadi presiden seumur hidup.
Dan pada akhirnya Bung Hatta mengundurkan diri pada Desember 1956. Dampak
nya terbukti sangat besar buat pemerintahan di masa itu. Pasalnya tak ada lagi sosok
yang mampu member sumbangan pemikiran pembangunan sector ekonomi di Tanah
Air. Sejak lepas dari penjajahan Jepang.
Didalam negeri Bung Karno berupaya menumbuhkan rasa nasionalisme pada
rakyatnya. Ia pun membangun simbol-simbol nasionalisme seperti Monumen
Nasional (Monas) dan Patung Dirgantara, untuk menyebur beberapa. Soekarno
seakan mengatakan beberapa. Soekarno seakan mengatakan, nasionalisme bakal
mengerek pertumbuhan ekonomi.
Lewat Dekrit Presiden 5 Juli 1959, kekuasaan politik Soekarno makin besar. Ia
meluncurkan kebijakan yang kian radikal : anti-imprealisme, anti-kapitalis, dan antiBarat. Yang diterjemahkan kedalam slogan : penyelesaian revolusi nasional,
membangun ekonomi sosialis ala Indonesia, dan berdiri diatas kaki sendiri
(berdikari).
Dikancah Internasional, Soekarno ingin sekali mendirikan blok baru, diluar blok
Timur dan Barat. Semangat anti-kolonialisme juga ingin ditularkan pada berbagai
Negara di Benua Asia dan Afrika. Bersama Burma (sekarang Myanmar), Pakistan,
India, dan Sri Lanka, Indonesia memprakarsai digelarnya konferensi Tingkat Tinggi
(KTT) Asia Afrika pada 20-24 April 1955 di Gedung Merdeka, Bandung. Tak
berhenti sampai disitu, Bung Karno ikut pula membidani KTT Non-Blok Yugoslavia.
Ketika Inggris berencana menggabungkan tiga koloninya (Brunei, Sabah, dan
Serawak) ke dalam Malaysia, Bung Karno menganggap langkah itu bakal
mengancam lkemerdekaan Indonesia. Kondisi ini mendorong Soekarno
mengampanyekan semangat ganyang Malaysia. Konfrontasi dengan jiran itu pun
tak terhindarkan selama 1962 sapai 1966.

Sebagai bangsa yang baru merdeka, Bung Karno tak pernah mau negaranya
dipandang sebelah mata. Ini yang terjadi ketika Indonesia dipilih Asian Games
Federation 23 Mei 1958 menjadi tuan rumah Asian Games IV 1962. Kondisi
Indonesia yang terpuruk dan tak adanya sarana olahraga mumpuni, membuat
Indonesia jadi bahan hinaan sebuah harian Singapura.
Soekarno beraksi dengan membangun kompleks olahraga canggih di kawasan
Senayan, Jakarta seluas 279,1 hektar, dan menelan biaya sekitar Rp 1,096 triliun,
Soekarno membangun Gelanggang Olahraga Senayan. Dimulai pada 1959, proyek
ini selesai pada 21 Juli 1962.
Ditengah kawasan itu berdiri megah stadion Utama Senayan, berkapasitas 110.000
penonton dan menjadi stadion terbesar di dunia saat itu. Belum lagi fasilitas lain
yang kala itu sengaja dibangun untuk mendukung pelaksanaan Asian Games IV,
seperti jembatan Semanggi, stasiun pemancar TVRI, empat areal parker mulai timur,
barat, selatan hingga utara. Belum lagi Hotel Indonesia, ruas jalan Thamrin, Jalan
Jenderal Sudirman, Jalan Gatot Subroto, dan by-pass yang ikut dibangun guna
melengkapi sarana pendukung perhelatan besar itu.
Sukses itu memang mendapat acungan jempol dari banyak Negara. Bayangkan saja,
Negara yang baru merdeka ini sudah menjadi tuan rumah kegiatan internasional
besar. Indonesia ternyata mampu melayani kebutuhan 1.748 atlet dari 17 negara
peserta. namun lawan politiknya di dalam negeri menyebut semua pembangunan itu
sebagai proyek mercusuar. Soekarno bergeming. Ia sendiri belum merasa puas.
Setahun kemudian ia memprakarsai penyelenggaraan Ganefo (Games of the New
Emerging Forces), yang kemudian berlangsung pada 10 sampai 22 November 1963.
Peserta olahraga yang sengaja digelar untuk menyaingi olimpiade ini diikuti 2.250
atlet dari 48 negara di kawana Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika Selatan. Serta diliput
oleh sekitar 500 wartawan asing. Namun Ganefo hanya digelar sekali itu.
Tragisnya, semua usaha Soekarno mengangkat derajat Indonesia dimata internasional
harus dibayar mahal. Selama periode 1950-1965, Negara ini harus menghadapi
kenyataan semakin tertatih disektor ekonomi. Seluruh proyek yang dicangkan
Soekarno tadi membutuhkan biaya sangat besar. Karena tak punya basis pendapatan
kuat, satu-satunya jalan keluar adalah mencetakuang. Percetakan uang tak henti-

hentinya dilakukan yang berdampak inflasi bahkan samapai pada taraf hiperinflasi
yang mencapai tiga digit.
Perhelatan Ganefo itu memang ide yang sangat cemerlang tapi kita sendiri belum
siap untuk itu, gagasan itu bisa berhasil seandainya perekonomian Indoenesia kuat.
Walaupun kondisi perekonomian Indonesia belum kuat tapi Soekarno berani
mengeluarkan Indonesia dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. (PBB) pada Agustus
1964, akibatnya Indonesia lepas dari bantuan Negara-negara kaya. Presiden pertama
RI itu lebih kepincut pada konsep sosialis ala Cina dan ingin menerapkannya di
Tanah Air. Maka Soekarno membentuk Poros Moskow Peking-Jakarta). Uni soviet
saat itu dibutuhkan untuk member bantuan persenjataan ketika Indonesia sibuk
merebut Irian Barat dari tangan Belanda.
Kemerosotan ekonomi akibat ekspansi politik yang tidak hati-hati itu pulalah yang
menurunkan Soekarno dari kekuasaannya. Lewat surat perintah Sebelas Maret,
Soekarno menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada Soeharto.
Koeli Kontrak di Kebun Tebu
Sitem ekonomi kolinial tak cuma meninggalkan kemelaratan. Juga membawa budaya
cocok tanam, sistem uang, dan budaya industri. Sistem kolonial memang eksploitatif
dan diskriminatif. Tapi kecermatan dan akuntabilitasnya boleh ditiru.
Sejarah ekonomi kolonial Hindia Belanda adalah buku tebal yang sarat dengan
nuansa benci tapi rindu. Tak bisa dihapus dari jejak sejarah bahwa pemerintah Hindia
Belanda telah menjadikan bumi nusantara ini sebagai keajaiban Asia karena
kekuatan ekonominya. Hindia Belanda identik dengan gula, kopi, tembakau, teh,
kina, karet dan minyak sawit, yang menjadi komoditas penting di pasar dunia.
Richard Robinson dalam Indonesia, The Rise of Capital, 1986, mencatat bahwa pada
1930-an seluruh perkebunan Hindia Belanda mencapai luas hampir 2,8 juta hektar.
Ekspornya senilai 1,6 milyar gulden pada 1929.
Skala ekonomi Hindia Belanda tergolong raksasa untuk ukuran asia. Malaysia,
Thailand, dan Filipina jelas belum apa-apa. Menjelang Belanda angkat kaki karena
ditendang Jepang, organisasi ekonomi Oost Indie sudah cukup canggih untuk ukuran
zaman itu. Bank-bank bertebaran. Pasar modal telah beroperasi. Modal asingpun

membanjir di perkebunan, pertambangan, dan manufaktur. Infrastruktur ekonominya


cukup memadai. Pelabuhan-pelabuhannya siap melayani bongkar muat kapal. Jalur
kereta api merentang 6.811 kilometer dengan lebih dari 1.000 unit lokomotif.
Namun disisi lain, hiruk pikuk kegiatan ekonomi itu jauh dari niat memakmurkan
rakyat. Pribumi tetap jadi warga kelas tiga. Statistik 1930, seperti dikemukakan Prof.
Mubyarto (almarhum), 2005, dalam situs ekonomirakyat.com menunjukkan bahwa
dari penerimaan Hindia Belanda yang sekitar 670 juta gulden saat itu, 59,1 juta
warga bumiputra Cuma kecipratan 3,6 juta gulden (0,54%). Penduduk asia lain
terutama Tionghoa yang populasinya 1,3 juta, dapat menangguk 0,4 juta gulden.
Sedangkan bagian terbesar 665 juta gulden (99,4%) dinikmati warga kulit putih yang
cuma berjumlah 241.000 jiwa. Namun dalam versinya yang lebih moderat J.F
Haccou dalam papernya yang diterbitkan yayasan Obor 1987 sebagai bunga rampai
Politik etis dan revolusi Kemerdekaan, menyatakan bahwa pada 1929 warga pribumi
menikmati porsi lebih dari separuh atas 3,5 milyar pendapatan nasional ketika itu.
Manisnya Gula Menggoda Raja
Industri gula tanah air berkembang seiring dengan perjalanan kolonialisme Belanda
di bumi Nusantara. Gula yang bermula dari indurti rumah tangga tumbuh menjadi
industry raksasa. Bahkan, pada 1820 hingga 1890, industri gula di Jawa mampu
menguasai pasaran dunia, menggeser gula bit produk Eropa.
Pertumbuhan industri gula zaman Belanda didorong oleh empat hal yakni :
penggantian teknologi, restrukturisasi perusahaan gula Belanda, penggantian
varietas, dan pendirian lembaga riset. Hasilnya pada 1930 Hindia Belanda adalah
pengekspor gula terbesar kedua di dunia setelah Afrika Selatan.
Tak ingin industrinya hancur Pemerintah Hindia belanda mendirikan Proefstation
Oost Java (POJ), cikal bakal pusat penelitian perkebunan Gula Indonesia.
Salah satu karya terkenalnya adalah bibit tebu varietas POJ2878. Tebu varietas
unggul ini kebal terhadap serangan hama sereh yang meluluhlantahkan kebun tebu
kala itu. Inovasi-inovasi POJ membuahkan presentasi luar biasa. Satu hektar
tanaman tebu menghasilkan 14,79 ton gula Kristal.

Bandingkan dengan industri gula sekarang, rendemen tebu hanya mencapai 6%, 7%
dengan produksi Cuma 4-5 ton gula per hektar. Oleh sebab itu, dari 200.000 hektar
tanaman tebu hanya menghasilkan 1,7 juta ton gula. Artinya dari segi kualitas dan
kuantitas, industri gula masa kolonial lebih baik dari masa kini.
Manisnya bisnis gula pada zaman Belanda sampai menggoda raja Jawa. KGPAA
Mangkunegoro IV ikut terjun dalam bisnis gula. Raja Pura Mangkunegaran solo itu
mendirikan dua pabrik gula. Pada 1861, sang raja membangun pabrik gula (PG)
colomadu.
Sepuluh tahun kemudian, mangkunegoro IV mengoperasikan PG Tasikmadu. Dua
pabrik gula itu kini terletak di Kabupaten Karanganyar, Jawa tengah. Pada tahun
1998 PG Colomadu mengalami gulung tikar karena kekurangan pasokan tebu. PG
tasikmadu sekarang juga menghadapi persoalan semakin sempitnya lahan tebu.
Untuk memecahkan persoalan lahan, Administrator PG Tasikmadu menjalin kerja
sama dengan petani tebu. Pabrik gula bertindak selaku pengolah tebu yang ditanam
petani. Gula yang dihasilkan dibagi dua : sebanyak 56% untuk petani dan 445 untuk
pabrik. Dengan cara seperti itu banyak petani yang tertarik untuk bekerja sama.
Lewat cara itu PG Tasikmadu mendapat pasokan tebu dari berbagai daerah diluar
kabupaten karanganyar antara lain dari petani di Grobongan, Sragen, Sukoharjo,
Wonogiri dan Boyolali. Sulitnya mempertahankan industri pengolahan tebu juga
dialami PG Djatiroto Lumajang Jawa Timur yang berdiri sejak 1910.
Tembakau Deli Sang Primadona
Rumah-rumah besar beratap nyiur bertebaran dikawasan ladang tembakau Tanjung
Morawa, Deli Serdang, Sumatera Utara. Di dalamnya tergantung ribuan lembaran
daun tembakau kering tertata rapi. Warnanya kuning kecokelatan, sedap aromanya.
Dialah tembakau Deli yang kondang di seantero dunia sejak akhir 1800-an. Di zaman
kolonial Belanda, tembakau Deli merajai pasaran dunia. Riwayat tembakau
berkualitas nomor satu ini dimulai sejak 1863. Kala itu pengusaha tembakau Belanda
bernama J.F. Van Leuwen melakukan uji coba penanaman tembakau di kawasan
Tanjung Sepassal. Percobaan ini dilakukannya atas saran Said Abdullah bin Umar
Bilsagih, seorang saudagar kebangsaan Arab.

Ternyata hasil uji coba itu amat menggembirakan. Dari tanah Deli itulah tumbuh
tembakau bermutu tinggi. Kemudian Van Leuwen menjual tembakau Deli ke pasaran
dunia. Dalam waktu singkat tembakau Deli tersohor sebagai pembungkus cerutu
terbaik di jagat ini.
Perkebunan tembakau Deli pun tumbuh seperti jamur di musin hujan. Pada 1889
tercatat 170 perusahaan perkebunan tembakau Belanda bermain di Deli. Luas areal
tanaman tembakau mencapai 250.000 hektar. Tembakau Deli menjadi primadona
arena lelang tembakau sejagat di Bremen, Jerman.
Masa keemasan tembakau Deli berangsur surut seiring kebijakan yang dikeluarkan
pemerintah. Pada masa itu peralihan kedaulatan Republik Indonesia 28 Juni 1951
konsesi perusahaan perkebunan Belanda dikurangi menjadi 125.000 hektar yang
sisanya dikembalikan kepada rakyat yang dikenal dengan tanah suguhan.
Areal tembakau Deli, pada masa itu berada dikawasan empat kota penting, yaitu
Lubuk Pakam, Medan, Binjal dan Stabat. Kemudian akhir 1957 perkebunan
tembakau milik Belanda dinasionalisasi. Karena desakan rakyat pula, lahan
perkebunan tembakau Deli dikurangi menjadi 59.000 hektare.
Sejak saat itu, terjadi penggarapan lahan tembakau Deli dengan mengatasnamakan
rakyat. Kini perkebunan tembakau Deli yang digarap PT Perkebunan Nusantara II
hanya 12.800 hektare sekitar 5% dari luas lahan tembakau Belanda. Berkurangnya
lahan tembakau Deli diakibatkan karena ulah pemerintah pendudukan Jepang.
Jepang mengubah lahan tembakau menjadi lading tanaman pangan. Setelah merdeka
pemerintah Indonesia tidak langsung menggarap kekayaan tembakau Deli.
Perkebunan tembakau sempat terlantar beberapa tahun. Kebijakan nasionalisasi
perusahaan Belanda yang diterapkan Presiden Soekarno memperparah kondisi
tembakau Deli.
Karena tak mampu memenuhi kuota minimum, posisi tembakau Deli di pasar
Brumen pun tergeser. Sejumlah produsen tembakau seperti brasil, Equador,
Kamerun, Kanada dan Amerika Serikat menyodok tembakau Deli. Kalau kondisi ini
dibiarkan, aroma tembakau Deli akan lenyap di pasar global.

DAFTAR PUSTAKA
Atmanto, I. A., & Bernadetta, F. (2005). Kembali ke Pasar, Kembali ke Barat.
Gatra .
Atmanto, I. A., Kurniasih, H., & Febriana, B. (2005). Pelita Mafia Berkeley.
Gatra .
Guritno, G., Pinem, D. E., & Widodo, M. S. (2005). Manisnya Gula
Menggoda Raja. Gatra .
Haryadi, R. (2005). Cermin Kelam Program Tambal Sulam. Gatra
Haryadi, R. (2005). Dihadang Spekulan Ali-Baba. Gatra .
Khudori, & Pinem, D. E. (2005). Jalan Pintas Masuk Peti Es. Gatra
Nadeak, C., Pitakasari, A. R., & Sawariyanto. (2005). Ekonomi Bikin Saya
Pusing. Gatra.
Salim, E. Y., & Sawariyanto. (2005). Tembakau Deli Sang Primadona. Gatra.
Trihusodo, P., Guritno, G., Pitakasari, A. R., & Sutomonaio, T. (2005). Koeli Kontrak
di Kebun Tebu. Gatra .

Anda mungkin juga menyukai