Anda di halaman 1dari 13

KONDISI EKONOMI INDONESIA AWAL KEMERDEKAAN

Keadaan ekonomi Indonesia pada akhir kekuasaan Jepang dan pada awal berdirinya Republik
Indonesia sangat kacau dan sulit. Latar belakang keadaan yang kacau tersebut disebabkan karena :
Indonesia yang baru saja merdeka belum memiliki pemerintahan yang baik, dimana belum ada
pejabat khusus yang bertugas untuk menangani perekonomian Indonesia.
Sebagai negara baru Indonesia belum mempunyai pola dan cara untuk mengatur ekonomi
keuangan yang mantap.
Tingalan pemerintah pendudukan Jepang dimana ekonomi saat pendudukan Jepang memang
sudah buruk akibat pengeluaran pembiayaan perang Jepang. Membuat pemerintah baru Indonesia
agak sulit untuk bangkit dari keterpurukan.
Kondisi keamanan dalam negeri sendiri tidak stabil akibat sering terjadinya pergantian kabinet,
dimana hal tersebut mendukung ketidakstabilan ekonomi.
Politik keuangan yang berlaku di Indonesia dibuat di negara Belanda guna menekan
pertumbuhan ekonomi Indonesia bahkan untuk menghancurkan ekonomi nasional.
Belanda masih tetap tidak mau mengakui kemerdeaan Indonesia dan masih terus melakukan
pergolakan politik yang menghambat langkah kebijakan pemerintah dalam bidang ekonomi.

Faktor- faktor penyebab kacaunya perekonomian Indonesia 1945-1950 adalah sebagai berikut .
1. Terjadi Inflasi yang sangat tinggi
Inflasi tersebut dapat terjadi disebabakan karena :
- Beredarnya mata uang Jepang di masyarakat dalam jumlah yang tak terkendali (pada bulan
Agustus 1945 mencapai 1,6 Milyar yang beredar di Jawa sedangkan secara umum uang yang
beredar di masyarakat mencapai 4 milyar).
- Beredarnya mata uang cadangan yang dikeluarkan oleh pasukan Sekutu dari bank-bank yang
berhasil dikuasainya untuk biaya operasi dan gaji pegawai yanh jumlahnya mencapai 2,3 milyar.
- Repubik Indonesia sendiri belum memiliki mata uang sendiri sehingga pemerintah tidak dapat
menyatakan bahwa mata uang pendudukan Jepang tidak berlaku.
Inflasi terjadi karena di satu sisi tidak terkendalinya peredaran uang yang dikeluarkan pemerintah
Jepang di sisi lain ketersediaan barang menipis bahkan langka di beberapa daerah. Kelangkaan ini
terjadi akibat adanya blokade ekonomi oleh Belanda. Uang Jepang yang beredarsangat tinggi
sedangkan kemampuan ekonomi untuk menyerap uang tersebut masih sanat rendah.
Karena inflasi ini kelompok yang paling menderita adalah para petani sebab pada masa pendudukan
Jepang petani merupakan produsen yang paling banyak menyimpan mata uang Jepang. Hasil
pertanian mereka tidak dapat dijual, sementara nilai tukar mata uang yang mereka miliki sangat
rendah.
Pemerintah Indonesia yang baru saja berdiri tidak mampu mengendalikan dan menghentikan
peredaran mata uang Jepang tersebut sebab Indonesia belum memiliki mata uang baru sebagai
penggantinya. Pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk sementara waktu menyatakan ada 3 mata
uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu:
Mata uang De Javasche Bank
Mata uang pemerintah Hindia Belanda
Mata uang pendudukan Jepang
Keadaan tersebut diperparah dengan diberlakukannya uang NICA di daerah yang diduduki sekutu
pada tanggal 6 Maret 1946 oleh Panglima AFNEI yang baru (Letnan Jenderal Sir Montagu Stopford).
Uang NICA ini dimaksudkan untuk menggantikan uang Jepang yang nilainya sudah sangat turun saat
itu. Upaya sekutu tersebut merupakan salah satu bentuk pelangaran kesepakatan yaitu bahwa
selama belum ada penyelesaian politik mengenai status Indonesia, maka tidak ada mata uang baru.
Karena tindakan sekutu tersebut maka pemerintah Indonesiapun mengeluarkan uang kertas baru
yaitu Oeang Republik Indonesia (ORI)sebagai pengganti uang Jepang.

2. Adanya Blokade ekonomi dari Belanda


Blokade oleh Belanda ini dilakukan dengan menutup (memblokir) pintu keluar-masuk perdagangan RI
terutama melalui jalur laut dan pelabuhan-pelabuhan penting. Blokade ini dilakukan mulai bulan
November 1945. Adapun alasan dari pemerintah Belanda melakukan blokade ini adalah :
Mencegah masuknya senjata dan peralatan militer ke Indonesia.
Mencegah kelurnya hasil-hasil perkebunan milik Belanda dan milik asing lainnya.
Melindungi bangsa Indonesia dari tindakan-tindakan yang dilakukan oleh bangsa lain.
Dengan adanya blokade tersebut menyebabakan:
Barang-barang ekspor RI terlambat terkirim.
Barang-barang dagangan milik Indonesia tidak dapat di ekspor bahkan banyak barang-barang
ekspor Indonesia yang dibumi hanguskan.
Indonesia kekurangan barang-barang import yang sangat dibutuhkan.
Inflasi semakin tak terkendali sehingga rakyat menjadi gelisah.
Tujuan/harapan Belanda dengan blokade ini adalah
- Agar ekonomi Indonesia mengalami kekacauan
- Agar terjadi kerusuhan sosial karena rakyat tidak percaya kepada pemerintah Indonesia,
sehingga pemerintah Belanda dapat dengan mudah mengembalikan eksistensinya.
- Untuk menekan Indonesia dengan harapan bisa dikuasai kembali oleh Belanda.

3. Kekosongan kas Negara


Kas Negara mengalami kekosongan karena pajak dan bea masuk lainnya belum ada sementara
pengeluaran negara semakin bertambah. Penghasilan pemerintah hanya bergantung kepada
produksi pertanian. Karena dukungan dari bidang pertanian inilah pemerintah Indonesia masih
bertahan, sekalipun keadaan ekonomi sangat buruk.

B. UPAYA MENGATASI BLOKADE EKONOMI BELANDA (NICA)


Upaya pemerintah untuk keluar dari masalah blokade tersebut adalah sebagai berikut.
1. Usaha bersifat politis, yaitu Diplomasi Beras ke India
Pemerintah Indonesia bersedia untuk membantu pemerintah India yang sedang ditimpa bahaya
kelaparan dengan mengirimkan 500.000 ton beras dengan harga sangat rendah. Pemerintah
melakukan hal ini sebab akibat blokade oleh Belanda maka hasil panen Indonesia yang melimpah
tidak dapat dijual keluar negeri sehingga pemerintah berani memperkirakan bahwa pada pada musim
panen 1946 akan diperoleh suplai hasil panen sebesar 200.000 sampai 400.000 ton. Sebagai
imbalannya pemerintah India bersedia mengirimkan bahan pakaian yang sangat dibutuhkan oleh
rakyat Indonesia pada saat itu. Saat itu Indonesia tidak memikirkan harga karena yang penting
adalah dukungan dari negara lain yang sangat diperlukan dalam perjuangan diplomatik dalam forum
internasional. Adapun keuntungan politis yang diperoleh Indonesia dengan adanya kerjasama
dengan India ini adalah Indonesia mendapatkan dukungan aktif dari India secara diplomatik atas
perjuangan Indonesia di forum internasional.

2. Mengadakan hubungan dagang langsung dengan luar negeri


Membuka hubungan dagang langsung ke luar negeri dilakukan oleh pihak pemerintah maupun pihak
swasta. Usaha tersebut antara lain :
Mengadakan kontak dagang dengan perusahaan swasta Amerika (Isbrantsen Inc.). Tujuan dari
kontak ini adalah membuka jalur diplomatis ke berbagai negara. Dimana usaha tersebut dirintis oleh
BTC (Banking and Trading Corporation) atau Perseroan Bank dan Perdagangan, suatu badan
perdagangan semi-pemerintah yang membantu usaha ekonomi pemerintah, dipimpin oleh Sumitro
Djojohadikusumo dan Ong Eng Die. Hasil transaksi pertama dari kerjasama tersebut adalah Amerika
bersedia membeli barang-barang ekspor Indonesia seperti gula, karet, teh, dan lain-lain. Tetapi
selanjutnya kapal Amerika yang mengangkut barang pesanan RI dan akan memuat barang ekspor
dari RI dicegat dan seluruh muatannya disita oleh kapal Angkatan Laut Belanda.
Karena blokade Belanda di Jawa terlalu kuat maka usaha diarahkan untuk menembus blokade
ekonomi Belanda di Sumatera dengan tujuan Malaysia dan Singapura. Usaha tersebut dilakukan
sejak 1946 sampai akhir masa perang kemerdekaan. Pelaksanaan ini dibantu oleh Angkatan laut RI
serta pemerintah daerah penghasil barang-barang ekspor. Karena perairan di Sumatra sangatlah
luas, maka pihak Belanda tidak mampu melakukan pengawasan secara ketat. Hasilnya Indonesia
berhasil menyelundupkan karet yang mencapai puluhan ribu ton dari Sumatera ke luar negeri,
terutama ke Singapura. Dan Indonesia berhasil memperoleh senjata , obat-obatan dan barang-
barang lain yang dibutuhkan.
Pemerintah RI pada 1947 membentuk perwakilan resmi di Singapura yang diberi nama
Indonesian Office (Indoff). Secra resmi badan ini merupakan badan yang memperjuangkan
kepentingan politik di luar negeri, namun secara rahasia berusaha menembus blokade ekonomi
Belanda dengan melakukan perdagangan barter. Diharapkan dengan upaya ini mampu memenuhi
kebutuhan masyarakat Indonesia. Selain itu juga berperan sebagai perantara dengan pedagang
Singapura dan mengusahakan pengadaan kapal-kapal yang diperlukan.
Dibentuk perwakilan kemetrian pertahanan di luar negeri yaitu Kementrian Pertahanan Urusan
Luar Negeri (KPULN) yang dipimpin oleh Ali Jayengprawiro. Tugas pokok badan ini adalah membeli
senjata dan perlengkapan angkatan perang.

C. KEBIJAKAN PEMERINTAHAN MENGHADAPI BURUKNYA KONDISI EKONOMI INDONESIA


Upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi kondisi ekonominya mulai dilakukan sejak
Februari 1946, adalah sebagai berikut.
1) Konferensi Ekonomi Februari 1946
Konferensi ini dihadiri oleh para cendekiawan, gubernur, dan pejabat lainnya yang bertanggungjawab
langsung mengenai masalah ekonomi di Jawa, yang dipimpin oleh Menteri Kemakmuran (Darmawan
Mangunkusumo). Tujuan Konferensi ini adalah untuk memperoleh kesepakatan dalam
menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, seperti :
Masalah produksi dan distribusi makanan
Tercapai kesepakatan bahwa sistem autarki lokal sebagai kelanjutan dari sistem ekonomi perang
Jepang, secara berangsur-angsur akan dihapukan dan diganti dengan sistem desentralisasi.
Masalah sandang
Disepakati bahwa Badan Pengawasan Makanan Rakyat diganti dengan Badan Persediaan dan
Pembagian Makanan (BPPM) yang bertujuan untuk mengatasi kesengsaraan rakyat Indonesia.
Badan ini dipimpin oleh Sudarsono dibawah pengawasan Kementrian Kemakmuran. BPPM dapat
dianggap sebagai awal dari terbentuknya Badan Urusan Logistik (Bulog). Sementara itu tujuan
dibentuk Bulog (Februari 1946) untuk melarang pengiriman bahan makanan antar karisidenan
Status dan Administrasi perkebunan-perkebunan
Keputusannya adalah semua perkebunan dikuasai oleh negara dengan sistem sentralisasi di bawah
kementrian Kemakmuran. Sehingga diharapkan pendapatan negara dapat bertambah secara
signifikan dengan nasionalisasi pabrik gula dan perkebunan tebu.
Konferensi kedua di Solo, 6 Mei 1946 membahas mengenai masalah program ekonomi pemerintah,
masalah keuangan negara, pengendalian harga, distribusi, dan alokasi tenaga manusia. Wapres
Moh. Hatta mengusulkan mengenai rehabilitasi pabrik gula, dimana gula merupakan bahan ekspor
penting sehingga harus dikuasai oleh negara. Untuk merealisasikan keinginan tersebut maka pada 6
Juni 1946 dibentuk Perusahaan Perkebunan Negara (PPN).

2) Pinjaman Nasional
Program ini dilaksanakan oleh Menteri Keuangan (Surachman) dengan persetujuan BP-KNIP. Untuk
mendukung program tersebut maka dibuat Bank Tabungan Pos, bank ini berguna untuk penyaluran
pinjaman nasional untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat Indonesia kepada pemerintahan.
Selain itu, pemerintah juga menunjuk rumah gadai untuk memberikan pinjaman kepada masyarakat
dengan jangka waktu pengembalian selama 40 tahun. Tujuannya untuk mengumpulkan dana
masyarakat bagi kepentingan perjuangan, sekaligus untuk menanamkan kepercayaan rakyat pada
pemerintah RI.
Rakyat dapat meminjam jika rakyat mau menyetor uang ke Bank Tabungan Pos dan rumah-rumah
pegadaian. Usaha ini mendapat respon yang besar dari rakyat terbukti dengan besar pinjaman yang
ditawarkan pada bulan Juli 1946 sebesar Rp. 1.000.000.000,00 , pada tahun pertama berhasil
dikumpulkan uang sejumlah Rp. 500.000.000,00. Kesuksesan yang dicapai menunjukkan besarnya
dukungan dan kepercayaan rakyat kepada Pemerintah RI.

3) Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947.


Badan ini dibentuk atas usul dari menetri kemakmuran AK. Gani. Badan ini merupakan badan tetap
yang bertugas membuat rencana pembangunan ekonomi untuk jangka waktu 2 sampai 3 tahun yang
akhirnya disepakati Rencana Pembangunan Sepuluh Tahun.
Rencana Pembangunan 10 tahun tersebut adalah sebagai berikut.
Semua bangunan umum, perkebunan, dan industri yang telah ada sebelum perang menjadi milik
negara, yang baru terlaksana tahun 1957.
Bangunan umum vital milik asing dinasionalisasikan dengan pembayaran ganti rugi
Perusahaan milik Jepang akan disita sebagai ganti rugi terhadap RI.
Perusahaan modal asing lainnya dikembalikan kepada yang berhak sesudah diadakan perjanjian
Republik Indonesia dengan Belanda.
Badan ini bertujuan untuk menasionalisasikan semua cabang produksi yang telah ada dengan
mengubah ke dalam bentuk badan hukum. Hal ini dilakukan dengan harapan agar Indonesia dapat
menggunakan semua cabang produksi secara maksimal dan kuat di mata hukum internasional.
Pendanaan untuk Rencana Pembangunan ini terbuka baik bagi pemodal dalam negeri maupun
pemodal asing.
Inti rencana ini adalah agar Indonesia membuka diri terhadap penanaman modal asing dan
melakukan pinjaman baik ke dalam maupun ke luar negeri.
Untuk membiayai rencana pembangunan ekonomi tersebut pemerintah membuka diri terhadap
penanaman modal asing, mengerahkan dana masyarakat melalui pinjaman nasional, melalui
tabungan masyarakat, serta melibatkan badan-badan swasta dalam pembangunan ekonomi. Dan
untuk menampung dana tersebut dibentuk Bank Pembangunan. Perusahaan patungan (merger)
diperkenankan berdiri sementara itu tanah partikelir dihapuskan.
Perkembangannya April 1947 badan ini diperluas menjadi Panitia Pemikir Siasat Ekonomi yang
bertugas mempelajari, mengumpulkan data, dan memberikan saran kepada pemerintah dalam
merencanakan pembangunan ekonomi dan dalam rangka melakukan perundingan dengan pihak
Belanda. Rencana tersebut belum berhasil dilaksanakan dengan baik karena situasi politik dan militer
yang tidak memungkinkan, yaitu Agresi Militer Belanda I dan Perjanjian Linggarjati yang
menyebabkan sebagian besar wilayah Indonesia yang memiliki potensi ekonomi jatuh ke tangan
Belanda dan yang tersisa sebagian besar tergolong sebagai daerah miskin dan berpenduduk padat
(Sumatera dan Jawa). Hal tersebut ditambah dengan adanya Pemberontakan PKI dan Agresi mIliter
Belanda II yang mengakibatkan kesulitan ekonomi semakin memuncak.

4) Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948


Program ini bertujuan untuk mengurangi beban negara dalam bidang ekonomi, selain meningkatkan
efisiensi. Rasionalisasi meliputi penyempurnaan administrasi negara, angkatan perang, dan aparat
ekonomi. Sejumlah angkatan perang dikurangi secara drastis untuk mengurangi beban negara di
bidang ekonomi dan meningkatkan effisiensi angkatan perang dengan menyalurkan para bekas
prajurit pada bidang-bidang produktif dan diurus oleh kementrian Pembangunan dan Pemuda.
Rasionalisasi yang diusulkan oleh Mohammad Hatta diikuti dengan intensifikasi pertanian,
penanaman bibit unggul, dan peningkatan peternakan.

5) Rencana Kasimo (Kasimo Plan)


Program ini disusun oleh Menteri Urusan Bahan Makanan I.J.Kasimo. Program ini berupa Rencana
Produksi Tiga tahun (1948-1950) mengenai usaha swasembada pangan dengan beberapa petunjuk
pelaksanaan yang praktis. Inti dari Kasimo Plan adalah untuk meningkatkan kehidupan rakyat dengan
menigkatkan produksi bahan pangan. Rencana Kasimo ini adalah :
Menanami tanah kosong (tidak terurus) di Sumatera Timur seluas 281.277 HA
Melakukan intensifikasi di Jawa dengan menanam bibit unggul
Pencegahan penyembelihan hewan-hewan yang berperan penting bagi produksi pangan.
Di setiap desa dibentuk kebun-kebun bibit
Transmigrasi bagi 20 juta penduduk Pulau Jawa dipindahkan ke Sumatera dalam jangka waktu
10-15 tahun.

6) Persatuan Tenaga Ekonomi (PTE)


Organisasi yang dipimpin B.R Motik ini bertujuan untuk :
Menggiatkan kembali partisipasi pengusaha swasta, agar pengusaha swasta memperkuat
persatuan dan mengembangkan perekonomian nasional.
Menggalang dan Melenyapkan individualisasi di kalangan organisasi pedagang sehingga dapat
memperkokoh ketahanan ekonomi bangsa Indonesia.
Meskipun usaha PTE didukung pemerintah dan melibatkan dukungan dari pemerintah daerah namun
perkembangannya PTE tidak dapat berjalan baik dan hanya mampu didirikan Bank PTE di
Yogyakarta dengan modal awal Rp. 5.000.000,00. Kegiatan ini semakin mengalami kemunduran
akibat Agresi Militer Belanda.
Selain PTE, perdagangan swasta lainnya juga membantu usaha ekonomi pemerintah adalah Banking
and Trading Corporation (Perseroan Bank dan Perdagangan).
Mengaktifkan kembali Gabungan Perusahaan Perindustrian dan Perusahaan Penting, Pusat
Tembakau Indonesia, Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh (GASIDA) dalam rangka
memperbaiki ekonomi Indonesia.

7) Oeang Republik Indonesia (ORI)


Melarang digunakan mata uang NICA dan yang lainnya serta hanya boleh menggunakan Oeang
Repoeblik Indonesia (ORI) dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan UU No. 17
tahun 1946 yang dikeluarkan pada tanggal 1 Oktober 1946. Mengenai pertukaran uang Rupiah
Jepang diatur berdasarkan UU No. 19 tahun 1946 tanggal 25 Oktober 1946. Tanggal 25 Oktober
selanjutnya dijadikan sebagai hari keuangan. Adapun kebijakan penyetaraan mata uang adalah
sebagai berikut.
Di Jawa, Lima puluh rupiah (Rp. 50,00) uang Jepang disamakan dengan satu ruapiah (Rp.
100,00) ORI dengan perbandingan 1:5.
Di Luar Jawa dan Madura, Seratus rupiah (Rp. 100,00) uang Jepang sama dengan satu
rupiah(Rp. 1,00) ORI dengan perbandingan 1:10.
Setiap sepuluh rupiah (Rp. 10,00) ORI bernilai sama dengan emas murni seberat 5 gram.
Mengenai pengaturan nilai tukar uang ORI dengan valuta asing (nilai kurs mata uang ORI di pasar
valuta asing) sebenarnya dipegang oleh Bank Negara yang sebelumnya telah dirintis bentuk
prototipenya yaitu dengan pembentukan Bank Rakyat Indonesia (Shomin Ginko). Namun tugas
tersebut pada akhirnya dijalankan oleh Bank Negara Indonesia (Bank Negara Indonesia 1946) yang
dipimpin oleh Margono Djojohadikusumo. Bank ini merupakan bank umum milik pemerintah yang
tujuan awal didirikannya adalah untuk melaksanakan koordinasi dalam pengurusan bidang ekonomi
dan keuangan. BNI didirikan pada 1 November 1946.
Meskipun begitu usaha pemerintah untuk menjadikan ORI sebagai satu-satunya mata uang nasional
tidak tercapai karena terpecah-pecahnya wilayah RI akibat perundingan Indonesia- Belanda.
Sehingga di beberapa daerah mengeluarkan mata uang sendiri, yang berbeda dengan ORI, seperti
URIPS (Uang Republik Propinsi Sumatera) di Sumatera, URIBA (Uang Republik Indonesia Baru) di
Aceh, URIDAB (Uang Republik Indonesia Banten) di Banten dan Palembang.

Masa Demokrasi Liberal (1950-1957)


Masa demokrasi liberal adalah perekonomian diserahkan pada psar sesuai
teori-teori mazhab klasik yang menyatakan laissez faire laissez passer. Padahal pada
masa itu bangsa pribumi masih lemah dan belum bisa bersaing dengan pengusaha
asing, terutama Cina. Pada akhirnya sistem ini hanya memperburuk kondisi
perekonomian Indonesia yang baru merdeka.

Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi masalah ekonomi, antara lain :

a. Gunting Syarifuddin, yaitu pemotongan nilai uang (sanering) pada 20 Maret


1950, untuk mengurangi jumlah uang yang beredar agar tingkat harga turun.
b. Program Benteng (Kabinet Natsir), yaitu upaya menumbuhkan wiraswastawan
pribumi dan mendorng importir nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan
impor asing dengan membatasi impor barang tertentu. Namun usaha ini gagal
karena sifat pengusaha pribumi yang cenderung konsumtif dan tak bisa
bersaing dengan pengusaha non pribumi.
c. Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember
1951 lewat UU No. 24 Tahun 1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan
bank sirkulasi
d. Sistem ekonomi Ali-Baba, yaitu penggalangan kerjasama antar pengusaha
Cina dan pengusaha pribumi. Pengusaha asing diwajibkan memberikan
pelatihan pada pengusaha pribumi, dan pemerintah menyediakan kredit dan
lisensi usaha-usaha swasta nasional. Namun, program ini tidak berjalan dengan
baik karena pengusaha pribumi kurang berpengalaman, sehingga hanya
dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah

Demokrasi terpimpin

Kehidupan ekonomi masa Demokrasi Terpimpin. Pada masa Demokrasi Terpimpin keadaan
ekonomi dan keuangan Indonesia mengalami masa suram. Untuk menanggulangi keadaan
ekonomi tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan di bidang ekonomi dan keuangan.

Pembentukan Badan Perancang Pembangunan Nasional (Bappenas)


Untuk melaksanakan pembangunan ekonomi, di bawah Kabinet Karya dibentuk
Dewan Perancang Nasional (Depernas) pada tanggal 15 Agustus 1959. Depernas
dipimpin oleh Muh. Yamin dengan anggota berjumlah 50 orang.
Tentang pembentukan Depernas tersebut tertuang dalam Undang-Undang No. 8
Tahun 1958 dan Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 1958. Tugas Depernas adalah
menyiapkan rancangan undang-undang pembangunan nasional dan menilai
penyelenggaraan pembangunan.
Hasil yang dicapai Depernas dalam waktu satu tahun berhasil menyusun
Rancangan Dasar Undang-Undang Pembangunan Nasional Semesta Berencana
Tahapan tahun 1961 - 1969 yang disetujui oleh MPRS dengan Ketetapan MPRS No.
II/MPRS/1960.

Tugas Bappenas
Pada tahun 1963, Depernas dibanti nama menjadi Badan Perancang Pembangunan
Nasional (Bappenas) yang dipimpin oleh Presiden Soekarno. Adapun tugas
Bappenas adalah sebagai berikut :
1. Menyusun rencana pembangunan jangka panjang dan jangka pendek.
2. Mengawasi pelaksanaan pembangunan.
3. Menilai kerja mandataris MPRS.

Penurunan nilai uang (Devaluasi)


Tujuan dilakukan devaluasi adalah untuk membendung inflasi yang tetap tinggi,
untuk mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat, dan meningkatkan nilai
rupiah, sehingga rakyat kecil tidak dirugikan. Untuk membendung inflasi dan
mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat, pada tanggal 25 Agustus
1950 pemerintah mengumumkan penurunan nilai uang (devaluasi) sebagai berikut :
1. Uang kertas pecahan bernilai Rp 500,00 menjadi Rp 50,00.
2. Uang kertas pecahan bernilai Rp 1.000,00 menjadi Rp 100,00
3. Semua simpanan di bank yang melebihi Rp 25.000,00 dibekukan.
Namun, usaha pemerintah tersebut tidak mampu mengatasi kemerosotan ekonomi,
terutama perbaikan dalam bidang moneter.

Deklarasi Ekonomi (Dekon)


Untuk mengatasi keadaan ekonomi yang semakin suram, maka pada tanggal 28
Maret 1963 dikeluarkan landasan baru bagi perbaikan ekonomi secara menyeluruh,
yaitu deklarasi ekonomi atau disingkat dekon.

Tujuan dibentuk dekon adalah untuk menciptakan ekonomi yang bersifat nasional,
demokratis, dan bebas dari sisa-sisa imperialisme untuk mencapai tahap ekonomi
sosialis Indonesia dengan cara terpimpin.

Namun, dalam pelaksanaannya, dekon tidak mempu mengatasi kesulitan ekonomi


dan masalah inflasi, dekon justru mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian
Indonesia. Struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem statisme.
Artinya, masalah perekonomian diatur atau dipegang oleh pemerintah, sedangkan
prinsip-prinsip dasar ekonomi banyak diabaikan.
Akibatnya, defisit dari tahun ke tahun semakin meningkat menjadi 40 kali lipat.
Defisit yang semakin meningkat tersebut dengan pencetakan uang baru tanpa
perhitungan yang matang, sehingga menambah berat beban inflasi.

Dalam rangka pelaksanaan ekonomi terpimpin, pada tanggal 11 Mei 1965, Presiden
Soekarno mengeluarkan Penetapan Presiden No. 8 Tahun 1965 tentang Bank
Tunggal Miliki Negara. Bank tersebut kedudukannya di bawah urusan menteri bank
sentral. Bank-bank pemerintah menjadi unit-unit dari Bank Negara Indonesia.

Langkah-langkah yang dilakukan pemerintah untuk memperbarui ekonomi tersebut


ternyata mengalami kegagalan. Adapun faktor penyebabnya adalah sebagai berikut
:
1. Penanganan masalah ekonomi tidak rasional.
2. Ekonomi lebih bersifat politik dan tidak ada kontrol.
3. Pengeluaran negara cukup besar.
4. Devisa yang semakin meningkat ditutup dengan pencetakan uang baru yang
menyebabkan inflasi semakin membumbung tinggi.
5. Struktur ekonomi menjurus ke ekonomi etatisme (semuanya diatur dan
dipegang oleh negara).
Referensi lain penyebab kegagalan pemerintah ini bisa anda baca di artikel :

 Penyebab pokok kegagalan ekonomi terpimpin


 Ekonomi Terpimpin zaman Kalasakti
 Arah politik Luar Negeri masa Demokrasi Terpimpin
 Peristiwa pada masa Demokrasi Terpimpin

Kebijakan pemerintah lainnya


Dalam usaha perdagangan, pemerintah mengeluarkan peraturan tanggal 17 April
1964 mengenai adanya Komando Tertinggi Operasi Ekonomi (Kotoe) dan Kesatuan
Operasi (Kesop). Kotoe bergerak secara sentralistik untuk mengatur perekonomian
negara, sedangkan tujuan dibentuk Kesop adalah untuk meningkatkan sektor
perdagangan.

Hiperinflasi Indonesia 1963-1965 adalah sebuah hiperinflasi yang terjadi di Indonesia pada
masa Orde Lama. Berlatar belakang ambisi proyek mercusuarnya, Presiden
IndonesiaSukarno mencetak Rupiah hingga inflasi pada saat itu mencapai 600% sehingga pada
tanggal 13 Desember 1965 pemerintah melakukan pemotongan nilai Rupiah dari 1000 Rupiah
menjadi 1 Rupiah.

SOEHARTO
1. Pelita I (1 April 1969 – 31 Maret 1974) Sasaran yang hendak di capai pada masa ini adalah pangan,
sandang, perbaikan prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan
rohani. Pelita I lebih menitikberatkan pada sektor pertanian. Keberhasilan dalam Pelita I yaitu:
Produksi beras mengalami kenaikan rata-rata 4% setahun. Banyak berdiri industri pupuk, semen,
dan tekstil. Perbaikan jalan raya. Banyak dibangun pusat-pusat tenaga listrik. Semakin majunya
sektor pendidikan. Menurut teori Rostow, perkembangan ekonomi pada Pelita I ini masuk ke dalam
tahap masyarakat tradisional. Dimana awalnya, sistem ekonomi yang mendominasi masyarakat
tradisional adalah pertanian, dengan cara-cara bertani yang tradisional. Produktivitas kerja manusia
lebih rendah bila dibandingkan dengan tahapan pertumbuhan berikutnya. Produksi masih sangat
terbatas, dan cenderung bersifat statis (kemajuan berjalan sangat lamban). 2. Pelita II (1 April 1974 –
31 Maret 1979) Sasaran yang hendak di capai pada masa ini adalah pangan, sandang, perumahan,
sarana dan prasarana, mensejahterakan rakyat, dan memperluas lapangan kerja . Pelita II berhasil
meningkatkan pertumbuhan ekonomi rata-rata penduduk 7% setahun. Perbaikan dalam hal irigasi.
Di bidang industri juga terjadi kenaikna produksi. Lalu banyak jalan dan jembatan yang di rehabilitasi
dan di bangun. Pelita II telah menunjukkan adanya peningkatan dari Pelita I, walupun belum terlihat
secara signifikan. perkembangan ekonomi berada pada tahap transisi, yakni dari tahap masyarakat
tradisional menuju tahap persyaratan untuk lepas landas. 3. Pelita III (1 April 1979 – 31 Maret 1984)
Pelita III lebih menekankan pada Trilogi Pembangunan. Asas-asas pemerataan di tuangkan dalam
berbagai langkah kegiatan pemerataan, seperti pemerataan pembagian kerja, kesempatasn kerja,
memperoleh keadilan, pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, dan perumahan,dll. Pada Pelita III
ini, masyarakat sedang mencoba menjajaki tahap pra-lepas landas, walaupun belum sepenuhnya
berada pada tahap perkembangan tersebut. 4. Pelita IV (1 April 1984 – 31 Maret 1989) Pada Pelita IV
lebih dititik beratkan pada sektor pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan industri
yang dapat menghasilkan mesin industri itu sendiri. Hasil yang dicapai pada Pelita IV antara lain
adanya Swasembada Pangan. Pada tahun 1984 Indonesia berhasil memproduksi beras sebanyak
25,8 ton. Hasil-nya Indonesia berhasil swasembada beras. kesuksesan ini mendapatkan penghargaan
dari FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia) pada tahun 1985. hal ini merupakan prestasi
besar bagi Indonesia. Selain swasembada pangan, pada Pelita IV juga dilakukan Program KB dan
Rumah untuk keluarga. Pada Pelita IV, perkembangan ekonomi masyarakat telah benar-benar
berada pada tahap pra-lepas landas, dimana selama tahapan ini, tingkat investasi menjadi lebih
tinggi dan hal itu memulai sebuah pembangunan yang dinamis. Perkembangan ekonomi pada Pelita
IV ini dipengaruhi oleh adanya revolusi industri. Pada tahap ini, masyarakat berada pada masa
transisi, dimana mereka mulai mempersiapkan dirinya untuk mencapai pertumbuhan atas kekuatan
sendiri (self-sustainable growth). 5. Pelita V (1 April 1989 – 31 Maret 1994) Pada Pelita V ini, lebih
menitik beratkan pada sektor pertanian dan industri untuk memantapakan swasembada pangan dan
meningkatkan produksi pertanian lainnya serta menghasilkan barang ekspor. Pelita V adalah akhir
dari pola pembangunan jangka panjang tahap pertama. Pada tahap inilah Indonesia benar-benar
berada pada tahap pra-lepas landas, dimana perkembangan ekonominya dititik beratkan pada
produksi pertanian dan industri. Tujuan utama dari Pelita V ini memang untuk memantapkan dan
memaksimalkan apa yang telah berhasil dicapai pada Pelita IV. 6. Pelita VI Setelah adanya Pelita V,
lalu dilanjutkan pembangunan jangka panjang ke dua, yaitu dengan mengadakan Pelita VI yang di
harapkan akan mulai memasuki proses tinggal landas Indonesia untuk memacu pembangunan
dengan kekuatan sendiri, demi menuju terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan
Pancasila. Pelita VI yang merupakan awal pembangunan jangka panjang kedua ini pada akhirnya
membuat Indonesia menapaki tahap-tahap perkembangan selanjutnya, yakni tahap menuju
kedewasaan dan tahap era konsumsi tinggi. Tahap menuju kedewasaan ini ditandai dengan mulai
bermunculan industri dengan teknologi baru, misalnya industri kimia atau industri listrik.
Kedewasaan dimulai ketika perkembangan industry terjadi tidak saja meliputi teknik-tiknik produksi,
tetapi juga dalam aneka barang yang diproduksi, misalnya saja ekspor dan impor batik di Indonesia.
Sedangkan tahap yang terakhir dari perkembangan ekonomi pada masa Orde Baru, yakni tahap era
konsumsi tinggi, ditandai dengan sebagian besar masyarakat hidup makmur. Pada tahap ini
perhatian masyarakat sudah lebih menekankan pada masalah-masalah yang berkaitan dengan
konsumsi dan kesejahteraan masyarakat bukan lagi kepada masalah produksi. Contohnya: pengguna
sepeda motor yang jumlahnya lebih banyak dibandingkan mobil, dimana setiap kenaikan satu juta
kiloliter berarti menambah subsidi Rp1,9 triliun. Karena itu, pemerintah akan mengarahkan
kebijakan penghematan subsidi BBM bagi pengendara sepeda motor.

Krisis minyak 1973 terjadi pada 15 Oktober 1973 hingga 1975. Naiknya harga

minyak yang ditetapkan oleh OPEC dan tingginya biaya yang dikeluarkan Amerika
Serikat pada Perang Vietnam menyebabkan terjadinya stagflasi di Amerika Serikat. Anggota
OPEC sepakat untuk menggunakan pengaruh mereka atas dunia-harga minyak untuk
pengaturan mekanisme untuk menstabilkan pendapatan bagi mereka dengan meningkatkan
harga minyak dunia. Tindakan ini diikuti beberapa tahun suram penurunan pendapatan
setelah akhir Bretton Woods, serta baru-baru kegagalan negosiasi dengan "Seven Sisters" di
bulan sebelumnya.
Awal terjadinya berbagai krisis yang muncul di Indonesia adalah
adanya devaluasi mata uang Baht oleh pemerintah Thailand pada
tanggal 2 Juli 1997 sebagai akibat adanya kegiatan di pasar valuta
asing, khususnya dolar Amerika Serikat. Kemudian merambat ke
Filipina, Malaysia dan Indonesia.
Pada mulanya kurs dolar Amerika Serikat US$ 1 = Rp 2.400,-
menjadi US$ 1 = Rp 3.000,-. Kemudian naik terus (pada bulan
Agustus – November 1997) sampai menunjukan angka US$1 = Rp
12.000,-. Berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam
hal ini Bank Indonesia antara lain dengan menaikkan suku bunga
sertifikat Bank Indonesia (SBI) sampai 30%, dengan harapan
menurunkan inflasi. Namun kenyataan dilapangan, bank-bank
menaikan leading rate (tingkat suku bunga kredit) karena cost of
loanable punds mengalami kenaikkan pada semua bank. Akibat
lainnya Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) juga meningkat
tajam, karena bank-bank mengalami kesukaran likuiditasnya.
Kondisi ini bahkan meningkatkan laju inflasi dari 11,05% pada
tahun 1997 menjadi 77,63% pada tahun 1998.
Krisis nilai tukar / krisis moneter merupakan pemicu awal
terjadinya krisis perbankan dan krisis ekonomi pada tahun 1997
diikuti oleh krisis-krisis lainnya, karena kepercayaan masyarakat
rendah dengan kondisi sector perbankan yang rapuh. Hal ini terjadi
karena kebijakan perbankan yang sangat liberal. Sampai hamper
satu decade setelah krisis perbankan masih tetap menjadi bagian
dari krisis ekonomi. Kondoso LDR (Loan to Deposit Ratio)
perbankan masih rendah. Sepertiga bahkan sampai 40% dana
perbankan tidak bisa disalurkan sebagai kredit untuk usaha dan
bisnis. Dana perbankan banyak dimainkan untuk investasi bukan
disektor riil. Sebagai kebalikan aturan perbankan sebelum krisis,
setelah krisis perbankan dijerat dengan berbagai aturan yang sangat
ketat, sehingga mengorbankan sector riil. Kondisi sector industry
akhirnya juga mengalami kemacetan. Akibat selanjutnya tidak
hanya krisis moneter, krisis perbankan dan krisis ekonomi yang
terjadi di Indonesia, tetapi juga diikuti krisis sosial, krisis
kepercayaan dan krisis polotik.
Krisis Ekonomi Asia pada Tahun 1997 – 1998
Inilah krisis yang tidak akan pernah hilang dari ingatan kita.
Sungguh penderitaan yang nyata kita rasakan pada masa-masa
krismon 1997. Kata-kata yang masih terus menempel dalam ingatan
saya hingga saat ini adalah keluhan dari seorang kerabat yang
hidup di bawah garis kemiskinan, “Sekarang kita tidak mampu lagi
membeli mi instant.” Jelas mereka yang berpenghasilan Rp5.000,-
per hari tak lagi mampu membeli bahan makanan yang cukup
untuk empat orang anggota keluarganya, sebab harga mi instant
yang biasanya hanya Rp300 tiba-tiba melonjak dahsyat menjadi
Rp1.500,- per bungkusnya. Saat itu, tidak hanya orang-orang yang
tinggal di Indonesia saja yang merasakan penderitaan akibat krisis
ekonomi, tetapi mungkin hampir sebagian besar warga Asia turut
tersiksa. Krisis yang bermula dari Thailand ini terus menjalar tak
terbendung ke Korea Selatan, Malaysia, dan Indonesia. Sementara
negara yang tak terpengaruh dampak krisis Asia secara signifikan
adalah Brunei Darussalam, Singapura, dan Republik Rakyat Cina
(RRC).

Presiden Soeharto mundur pada tahun 1998 karena adanya desakan dari mahasiswa di
seluruh negri utamanya di jakarta, contohnya dari mahasiswa Trisakti. hal ini dilatar
belakangi oleh krisis moneter yang terjadi dan mahasiswa menginginkan agar masa orde baru
dihentikan, diubah menjadi orde reformasi. karena Orba dianggap bertentangan dengan
HAM. pada waktu itu terjadi kerusuhan besar-besaran di jakarta.

HABIBIE

Selain upaya dalam bidang politik, ada juga upaya yang dilakukan dalam
bidang ekonomi, di antarnya:

 merekapitulasi perbankan dan menurunkan inflasi,


 merekonstruksi perekonomian nasional,
 melikuidasi bank-bank bermasalah,
 membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional
 menaikkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS hingga dibawah Rp
10.000,-
 mengesahkan UU No. 5 tahun 1999 tentang larangan praktik
monopoli atau persaingan tidak sehat
 mengesahkan UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

GUSDUR

Anda mungkin juga menyukai