Teori Dan Konsep Konseling
Teori Dan Konsep Konseling
Agar memudahkan Anda melakukan layanan bimbingan dan konseling di sekolah, hendaknya
perlu diketahui langkah-langkah yang harus dilakukan dalam memberikan layanan
Bimbingan Konseling pada siswa Anda terutama mereka yang mempunyai masalah. Adapun
langkah-langkah
tersebut
meliputi:
a.
Identifikasi
Masalah
Pada langkah ini yang harus diperhatikan guru adalah mengenal gejala-gejala awal dari suatu
masalah yang dihadapi siswa. Maksud dari gejala awal disini adalah apabila siswa
menujukkan tingkah laku berbeda atau menyimpang dari biasanya. Untuk mengetahui gejala
awal tidaklah mudah, karena harus dilakukan secara teliti dan hati-hati dengan
memperhatikan gejala-gejala yang nampak, kemudian dianalisis dan selanjutnya dievaluasi.
Apabila siswa menunjukkan tingkah laku atau hal-hal yang berbeda dari biasanya, maka hal
tersebut dapat diidentifikasi sebagai gejala dari suatu masalah yang sedang dialami siswa.
Sebagai contoh, Benin seorang siswa yang mempunyai prestasi belajar yang bagus, untuk
semua mata pelajaran ia memperoleh nilai diatas rata-rata kelas. Dia juga disenangi temanteman maupun guru karena pandai bergaul, tidak sombong, dan baik hati. Sudah dua bulan
ini Benin berubah menjadi agak pendiam, prestasi belajarnyapun mulai menurun. Sebagai
guru Bimbingan Konseling, ibu Heni mengadakan pertemuan dengan guru untuk mengamati
Benin. Dari hasil laporan dan pegamatan yang dilakukan oleh beberapa orang guru, ibu Heni
kemudian melakukan evaluai berdasarkan masalah Benin dengan gejala yang nampak.
Selanjutnya dapat diperkirakan jenis dan sifat masalah yang dihadapi Benin tersebut. Karena
dalam pengamatan terlihat prestasi belajar Benin menurun, maka dapat diperkirakan Benin
sedang mengalmi masalah kurang menguasai materi pelajaran . Perkiraan tersebut dapat
dijadikan sebagai acuan langkah selanjutnya yaitu diagnosis.
b.
Diagnosis
Pada langkah diagnosis yang dilakukan adalah menetapkan masalah berdasarkan analisis
latar belakang yang menjadi penyebab timbulnya masalah. Dalam langkah ini dilakukan
kegiatan pengumpulan data mengenai berbagai hal yang menjadi latar belakang atau yang
melatarbelakangi gejala yang muncul. Pada kasus Benin, dilakukan pengumpulan informasi
dari berbagai pihak. Yaitu dari orang tua, teman dekat, guru dan juga Benin sendiri. Dari
informasi yang terkumpul, kemudian dilakukan analisis maupun sistesis dan dilanjutkan
dengan menelaah keterkaitan informasi latar belakang dengan gejala yang nampak. Dari
informasi yang didapat, Benin terlihat menjadi pendiam dan prestasi belajamya menurun.
Dari informasi keluarga didapat keterangan bahwa kedua orang tua Benin telah bercerai.
Berdasarkan analisis dan sistesis, kemudian diperkirakan jenis dan bentuk masalah yang ada
pada diri Benin yaitu karena orang tuanya telah bercerai menyebabkan Benin menjadi
pendiam dan prestasi belajarnya menurun, maka Benin sedang mengalami masalah pribadi.
c.
Prognosis
Langkah prognosis ini pembimbing menetapkan alternatif tindakan bantuan yang akan
diberikan. Selanjutanya melakukan perencanaan mengenai jenis dan bentuk masalah apa
yang sedang dihadapi individu. Seperti rumusan kasus Benin, maka diperkirakan Benin
menghadapi masalah, rendah diri karena orang tua telah bercerai sehingga merasa kurang
mendapat perhatian dari mereka. Dari rumusan jenis dan bentuk masalah yang sedang
dihadapi Benin, maka dibuat alternatif tindakan bantuan, seperti memberikan konseling
individu yang bertujuan untuk memperbaiki perasaan kurang diperhatikan, dan rendah diri.
Dalam hal ini konselor menawarkan alternatif layanan pada orang tua Benin dan juga Benin
sendiri untuk diberikan konseling. Penawaran tersebut berhubungan dengan kesediaan
individu Benin sebagai orang yang sedang mempunyai masalah (klien). Dalam menetapkan
prognosis, pembimbing perlu memperhatikan: 1) pendekatan yang akan diberikan dilakukan
secara perorangan atau kelompok 2) siapa yang akan memberikan bantuan, apakah guru,
konselor, dokter atau individu lain yang lebih ahli 3) kapan bantuan akan dilaksanakan, atau
hal-hal apa yang perlu dipertimbangkan.
Apabila dalam memberi bimbingan guru mengalami kendala, yaitu tidak bisa diselesaikan
karena terlalu sulit atau tidak bisa ditangani oleh pembimbing, maka penanganan kasus
tersebut perlu dialihkan penyelesainnya kepada orang yang lebih berwenang, seperti dokter,
psikiater atau lembaga lainnya. Layanan pemindahtanganan karena masalahnya tidak mampu
diselesaikan oleh pembimbing tersebut dinamakan dengan layanan referal. Pada dasarnya
bimbingan merupakan proses memberikan bantuan kepada pihak siswa agar ia sebagai
pribadi memiliki pemahaman akan diri sendiri dan sekitarnya, yang selanjutnya dapat
mengambil keputusan untuk melangkah maju secara optimal guna menolong diri sendiri
dalam menghadapi dan memecahkan masalah, dan siswa atau individu yang mempunyai
masalah tersebut menetukan alternatif yang sesuai dengan kemampuannya.
d.
Pemberian
Bantuan
Setelah guru merencanakan pemberian bantuan, maka dilanjutkan dengan merealisasikan
langkah-langkah alternatif bentuk bantuan berdasarakn masalah dan latar belakang yang
menjadi penyebanya. Langkah pemberian bantuan ini dilaksanakan dengan berbagai
pendekatan dan teknik pemberian bantuan. Pada kasus Benin telah direncanakan pemberian
bantuan secara individual. Pada tahap awal diadakan pendekatan secara pribadi, pembimbing
mengajak Benin menceritakan masalahnya, mungkin pada awalnya Benin akan sangat sulit
menceritakan masalahnya, karena masih memiliki perasaan takut atau tidak percaya terhadap
pembimbing. Dalam hal ini pembimbing dituntut kesabarannya untuk bisa membuka hati
Benin agar mau menceritakan masalahnya, dan menyakinkan kepada Benin bahwa
masalahnya tidak akan diceritakan pada orang lain serta akan dibantu menyelesaikannya.
Pemberian bantuan ini dilakukan tidak hanya sekali atau dua kali pertemuan saja, tetapi perlu
waktu yang berulang-ulang dan dengan jadwal dan sifat pertemuan yang tidak terikat, kapan
Benin sebagai individu yang mempunyai masalah mempunyai waktu untuk menceritakan
masalahnya dan bersedia diberikan bantuan. Oleh sebab itu seorang pembimbing harus dapat
menumbuhkan transferensi yang positif dimana klien mau memproyeksikan perasaan
ketergantungannya kepada pembimbing (konselor).
e.
Evaluasi
dan
Tindak
Lanjut
Setelah pembimbing dan klien melakukan beberapa kali pertemuan, dan mengumpulkan data
dari beberapa individu, maka langkah selanjutnya adalah melakukan evaluasi dan tindak
lanjut. Evaluasi dapat dilakukan selama proses pemberian bantuan berlangsung sampai pada
akhir pemberian bantuan. Pengumpulan data dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa
teknik, seperti melalui wawancara, angket, observasi diskusi, dokumentasi dan sebagainya.
Dalam kasus Benin, pengumpulan data dilakukan dengan wawancara antara pembimbing
dengan Benin sendiri, pembimbing dengan orang tua Benin, teman dekat atau sahabat Benin,
dan beberapa orang guru. Observasi juga dilakukan terhadap Benin pada jam istirahat,
bagaimana Benin bergaul dengan temannya, bagaimana teman-temannya memperlakukan
Benin dan sebagainya. Sedang observasi yang dilakukan baik oleh pembimbing maupun
guru, yaitu untuk mengetahui aktivitas Benin dalam menerima pelajaran, sikapnya di dalam
kelas saat mengikuti pembelajaran. Pembimbing juga berkunjung kerumah Benin guna
mengetahui kondisi rumah Benin sekaligus mewawancarai orang tuanya mengenai sikap
Benin di rumah Dari beberapa data yang telah tekumpul, kemudian pembimbing mengadakan
evaluasi untuk mengetahui sampai sejauh mana upaya pemberian bantuan telah dilaksanakan
dan bagaimana hasil dari pemberian bantuan tersebut, bagaimana ketepatan pelaksanaan yang
telah diberikan. Dari evaluasi tersebut dapat diambil langkah-langkah selanjutnya; apabila
pemberian bantuan kurang berhasil, maka pembimbing dapat merubah tindakan atau
mengembangkan
bantuan
kedalam
bentuk
yang
berbeda
Sumber (Peran Guru dalam Proses Bimbingan Konseling) Karya Drs. Munasik, M.Pd Jika
ingin membacaseluruhnya tulisan di atas silakan klik Download di sini
DIarsipkan di bawah: Psikologi | Tagged: Bimbingan Konseling
1.
3. Fungsi Pengembangan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling yang sifatnya lebih
proaktif dari fungsi-fungsi lainnya. Konselor senantiasa berupaya untuk menciptakan
lingkungan belajar yang kondusif, yang memfasilitasi perkembangan konseli.
Konselor dan personel Sekolah/Madrasah lainnya secara sinergi sebagai teamwork
berkolaborasi atau bekerjasama merencanakan dan melaksanakan program
bimbingan secara sistematis dan berkesinambungan dalam upaya membantu konseli
mencapai tugas-tugas perkembangannya. Teknik bimbingan yang dapat digunakan
disini adalah pelayanan informasi, tutorial, diskusi kelompok atau curah pendapat
(brain storming), home room, dan karyawisata.
4. Fungsi Penyembuhan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling yang bersifat kuratif.
Fungsi ini berkaitan erat dengan upaya pemberian bantuan kepada konseli yang
telah mengalami masalah, baik menyangkut aspek pribadi, sosial, belajar, maupun
karir. Teknik yang dapat digunakan adalah konseling, dan remedial teaching.
5. Fungsi Penyaluran, yaitu fungsi bimbingan dan konseling dalam membantu konseli
memilih kegiatan ekstrakurikuler, jurusan atau program studi, dan memantapkan
penguasaan karir atau jabatan yang sesuai dengan minat, bakat, keahlian dan ciri-
ciri kepribadian lainnya. Dalam melaksanakan fungsi ini, konselor perlu bekerja sama
dengan pendidik lainnya di dalam maupun di luar lembaga pendidikan.
8. Fungsi Perbaikan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling untuk membantu konseli
sehingga dapat memperbaiki kekeliruan dalam berfikir, berperasaan dan bertindak
(berkehendak). Konselor melakukan intervensi (memberikan perlakuan) terhadap
konseli supaya memiliki pola berfikir yang sehat, rasional dan memiliki perasaan
yang tepat sehingga dapat mengantarkan mereka kepada tindakan atau kehendak
yang produktif dan normatif.
10. Fungsi Pemeliharaan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling untuk membantu
konseli supaya dapat menjaga diri dan mempertahankan situasi kondusif yang telah
tercipta dalam dirinya. Fungsi ini memfasilitasi konseli agar terhindar dari kondisikondisi yang akan menyebabkan penurunan produktivitas diri. Pelaksanaan fungsi ini
diwujudkan melalui program-program yang menarik, rekreatif dan fakultatif (pilihan)
sesuai dengan minat konseli
Terdapat beberapa prinsip dasar yang dipandang sebagai fundasi atau landasan bagi
pelayanan bimbingan. Prinsip-prinsip ini berasal dari konsep-konsep filosofis tentang
kemanusiaan yang menjadi dasar bagi pemberian pelayanan bantuan atau bimbingan, baik
di Sekolah/Madrasah maupun di luar Sekolah/Madrasah. Prinsip-prinsip itu adalah:
1. Bimbingan dan konseling diperuntukkan bagi semua konseli. Prinsip ini berarti
bahwa bimbingan diberikan kepada semua konseli atau konseli, baik yang tidak
bermasalah maupun yang bermasalah; baik pria maupun wanita; baik anak-anak,
remaja, maupun dewasa. Dalam hal ini pendekatan yang digunakan dalam
bimbingan lebih bersifat preventif dan pengembangan dari pada penyembuhan
(kuratif); dan lebih diutamakan teknik kelompok dari pada perseorangan (individual).
2. Bimbingan dan konseling sebagai proses individuasi. Setiap konseli bersifat unik
(berbeda satu sama lainnya), dan melalui bimbingan konseli dibantu untuk
memaksimalkan perkembangan keunikannya tersebut. Prinsip ini juga berarti bahwa
yang menjadi fokus sasaran bantuan adalah konseli, meskipun pelayanan
bimbingannya menggunakan teknik kelompok.
3. Bimbingan menekankan hal yang positif. Dalam kenyataan masih ada konseli
yang memiliki persepsi yang negatif terhadap bimbingan, karena bimbingan
dipandang sebagai satu cara yang menekan aspirasi. Sangat berbeda dengan
pandangan tersebut, bimbingan sebenarnya merupakan proses bantuan yang
3. Asas keterbukaan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar
konseli (konseli) yang menjadi sasaran pelayanan/kegiatan bersifat terbuka dan tidak
berpura-pura, baik di dalam memberikan keterangan tentang dirinya sendiri maupun
dalam menerima berbagai informasi dan materi dari luar yang berguna bagi
pengembangan dirinya. Dalam hal ini guru pembimbing berkewajiban
mengembangkan keterbukaan konseli (konseli). Keterbukaan ini amat terkait pada
terselenggaranya asas kerahasiaan dan adanya kesukarelaan pada diri konseli yang
menjadi sasaran pelayanan/kegiatan. Agar konseli dapat terbuka, guru pembimbing
terlebih dahulu harus bersikap terbuka dan tidak berpura-pura.
4. Asas kegiatan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar konseli
(konseli) yang menjadi sasaran pelayanan berpartisipasi secara aktif di dalam
penyelenggaraan pelayanan/kegiatan bimbingan. Dalam hal ini guru pembimbing
perlu mendorong konseli untuk aktif dalam setiap pelayanan/kegiatan bimbingan dan
konseling yang diperuntukan baginya.
5. Asas kemandirian, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menunjuk pada tujuan
umum bimbingan dan konseling, yakni: konseli (konseli) sebagai sasaran pelayanan
bimbingan dan konseling diharapkan menjadi konseli-konseli yang mandiri dengan
ciri-ciri mengenal dan menerima diri sendiri dan lingkungannya, mampu mengambil
keputusan, mengarahkan serta mewujudkan diri sendiri. Guru pembimbing
hendaknya mampu mengarahkan segenap pelayanan bimbingan dan konseling yang
diselenggarakannya bagi berkembangnya kemandirian konseli.
6. Asas Kekinian, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar objek
sasaran pelayanan bimbingan dan konseling ialah permasalahan konseli (konseli)
dalam kondisinya sekarang. Pelayanan yang berkenaan dengan masa depan atau
kondisi masa lampau pun dilihat dampak dan/atau kaitannya dengan kondisi yang
ada dan apa yang diperbuat sekarang.
7. Asas Kedinamisan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar isi
pelayanan terhadap sasaran pelayanan (konseli) yang sama kehendaknya selalu
bergerak maju, tidak monoton, dan terus berkembang serta berkelanjutan sesuai
dengan kebutuhan dan tahap perkembangannya dari waktu ke waktu.
8. Asas Keterpaduan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar
berbagai pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling, baik yang dilakukan oleh
guru pembimbing maupun pihak lain, saling menunjang, harmonis, dan terpadu.
Untuk ini kerja sama antara guru pembimbing dan pihak-pihak yang berperan dalam
penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan konseling perlu terus dikembangkan.
Koordinasi segenap pelayanan/kegiatan bimbingan dan konseling itu harus
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
9. Asas Keharmonisan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar
segenap pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling didasarkan pada dan
tidak boleh bertentangan dengan nilai dan norma yang ada, yaitu nilai dan norma
agama, hukum dan peraturan, adat istiadat, ilmu pengetahuan, dan kebiasaan yang
berlaku. Bukanlah pelayanan atau kegiatan bimbingan dan konseling yang dapat
dipertanggungjawabkan apabila isi dan pelaksanaannya tidak berdasarkan nilai dan
norma yang dimaksudkan itu. Lebih jauh, pelayanan dan kegiatan bimbingan dan
konseling justru harus dapat meningkatkan kemampuan konseli (konseli) memahami,
menghayati, dan mengamalkan nilai dan norma tersebut.
10. Asas Keahlian, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar
pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling diselenggarakan atas dasar
kaidah-kaidah profesional. Dalam hal ini, para pelaksana pelayanan dan kegiatan
bimbingan dan konseling hendaklah tenaga yang benar-benar ahli dalam bidang
bimbingan dan konseling. Keprofesionalan guru pembimbing harus terwujud baik
dalam penyelenggaraan jenis-jenis pelayanan dan kegiatan dan konseling maupun
dalam penegakan kode etik bimbingan dan konseling.
11. Asas Alih Tangan Kasus, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki
agar pihak-pihak yang tidak mampu menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan
konseling secara tepat dan tuntas atas suatu permasalahan konseli (konseli)
mengalihtangankan permasalahan itu kepada pihak yang lebih ahli. Guru
pembimbing dapat menerima alih tangan kasus dari orang tua, guru-guru lain, atau
ahli lain ; dan demikian pula guru pembimbing dapat mengalihtangankan kasus
kepada guru mata pelajaran/praktik dan lain-lain.
DAFTAR RUJUKAN
AACE. (2003). Competencies in Assessment and Evaluation for School Counselor.
http://aace.ncat.edu
Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia. (2007). Penataan Pendidikan Profesional
Konselor. Naskah Akademik ABKIN (dalam proses finalisasi).
Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia. (2005). Standar Kompetensi Konselor
Indonesia. Bandung: ABKIN
Bandura, A. (Ed.). (1995). Self-Efficacy in Changing Soceties. Cambridge, UK: Cambridge
University Press.
BSNP dan PUSBANGKURANDIK, Balitbang Diknas. (2006). Panduan Pengembangan Diri:
Pedoman untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Draft. Jakarta: BSNP
dan PUSBANGKURANDIK, Depsiknas.
Cobia, Debra C. & Henderson, Donna A. (2003). Handbook of School Counseling. New
Jersey, Merrill Prentice Hall
Corey, G. (2001). The Art of Integrative Counseling. Belomont, CA: Brooks/Cole.
Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Pendidikan Tinggi.
(2003). Dasar Standardisasi Profesionalisasi Konselor. Jakarta: Direktorat
Pembinaan Pendidikan Tenaga Kepen-didikan dan Ketenagaan Pendidikan Tinggi,
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.
Engels, D.W dan J.D. Dameron, (Eds). (2005). The Professional Counselor Competencies:
Performance Guidelines and Assessment. Alexandria, VA: AACD.
Browers, Judy L. & Hatch, Patricia A. (2002). The National Model for School Counseling
Programs. ASCA (American School Counselor Association).
Comm, J.Nancy. (1992). Adolescence. California : Myfield Publishing Company.
Depdiknas. (2003). Pelayanan Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Puskur Balitbang.
Depdiknas, (2005), Permen RI nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan,
Depdiknas, 2006), Permendiknas no 22 tahun 2006 tentang Standar Isi,
Depdiknas, (2006), Permendiknas no 24 tahun 2006 tentang pelaksanaan SI dan SKL,
Ellis, T.I. (1990). The Missouri Comprehensive Guidance Model. Columbia: The Educational
Resources Information Center.
Gibson R.L. & Mitchel M.H. (1986). Introduction to Counseling and Guidance. New York :
MacMillan Publishing Company.
Havighurts, R.J. (1953). Development Taks and Education. New York: David Mckay.
Herr Edwin L. (1979). Guidance and Counseling in the Schools. Houston : Shell Com.
Hurlock, Alizabeth B. (1956). Child Development. New York : McGraw Hill Book Company
Inc.
Ketetapan Pengurus Besar Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia Nomor
01/Peng/PB-ABKIN/2007 bahwa Tenaga Profesional yang melaksanakan
pelayanan professional Bimbingan dan Konseling disebut Konselor dan minimal
berkualifikasi S1 Bimbingan dan Konseling.
Menteri Pendidikan Nasional. 2006. Peraturan Menteri Nomor 22 tentang Standar Isi.
Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
Menteri Pendidikan Nasional. 2006. Peraturan Menteri Nomor 23 tentang Standar
Kompetensi Lulusan. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Michigan School Counselor Association. (2005). The Michigan Comprehensive Guidance
and Counseling Program.
Muro, James J. & Kottman, Terry. (1995). Guidance and Counseling in The Elementary and
Middle Schools. Madison : Brown & Benchmark.
Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Pikunas, Lustin. (1976). Human Development. Tokyo : McGraw-Hill Kogakusha,Ltd.
Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas. (2003). Panduan Pelayanan Bimbingan dan
Konseling. Jakarta : Balitbang Depdiknas.
Sunaryo Kartadinata, dkk. (2003). Pengembangan Perangkat Lunak Analisis Tugas
Perkembangan Peserta didik dalam Upaya Meningkatkan Mutu Pelayanan dan
Manajemen Bimbingan dan Konseling di Sekolah/Madrasahdrasah (Laporan Riset
Unggulan Terpadu VIII). Jakarta : Kementrian Riset dan Teknologi RI, LIPI.
Syamsu Yusuf L.N. (2005). Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah/Madrasah.
Bandung : CV Bani Qureys.
. 2004. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung : Remaja Rosda Karya.
.dan Juntika N. (2005). Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung : PT. Remaja
Rosda Karya.
Stoner, James A. (1987). Management. London : Prentice-Hall International Inc.
Undang-undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Undang-Undang Nomor 14 tahun 2006 tentang Guru dan Dosen
Wagner William G. (1996). Optimal Development in Adolescence : What Is It and How Can
It be Encouraged? The Counseling Psychologist. Vol 24 No. 3 July96.
Woolfolk, Anita E. 1995. Educational Psychology. Boston : Allyn & Bacon.
*)) Materi di atas merupakan salah satu bagian dari makalah yang disajikan oleh Dr.
Uman Suherman, M.Pd. pada acara seminar sehari Bimbingan dan Konseling yang
diselenggarakan oleh Universitas Kuningan bekerja sama dengan ABKIN Cabang
Kabupaten Kuningan pada tanggal 11 Maret 2008 bertempat di Aula Student Center
UNIKU.
Sebagai sebuah layanan profesional, layanan bimbingan dan konseling tidak dapat
dilakukan secara sembarangan, namun harus dilakukan secara tertib berdasarkan
prosedur tertentu, yang secara umum terdiri dari enam tahapan sebagai, yaitu: (A)
Identifikasi kasus; (B) Identifikasi masalah; (C) Diagnosis; (D) Prognosis; (E)
Treatment;
(F)
Evaluasi
dan
Tindak
Lanjut
A. Identifikasi kasus
Identifikasi kasus merupakan langkah awal untuk menemukan peserta didik yang diduga
memerlukan layanan bimbingan dan konseling. Robinson (Abin Syamsuddin Makmun,
D. Prognosis
Langkah ini dilakukan untuk memperkirakan apakah masalah yang dialami peserta didik
masih mungkin untuk diatasi serta menentukan berbagai alternatif pemecahannya, Hal ini
dilakukan dengan cara mengintegrasikan dan menginterpretasikan hasil-hasil langkah
kedua dan ketiga. Proses mengambil keputusan pada tahap ini seyogyanya terlebih
dahulu dilaksanakan konferensi kasus, dengan melibatkan pihak-pihak yang terkait
dengan masalah yang dihadapi siswa untuk diminta bekerja sama guna membantu
menangani kasus - kasus yang dihadapi.
E. Treatment
Langkah ini merupakan upaya untuk melaksanakan perbaikan atau penyembuhan atas
masalah yang dihadapi klien, berdasarkan pada keputusan yang diambil dalam langkah
prognosis. Jika jenis dan sifat serta sumber permasalahannya masih berkaitan dengan
sistem pembelajaran dan masih masih berada dalam kesanggupan dan kemampuan
guru pembimbing atau konselor, maka pemberian bantuan bimbingan dapat dilakukan
oleh guru atau guru pembimbing itu sendiri (intervensi langsung), melalui berbagai
pendekatan layanan yang tersedia, baik yang bersifat direktif, non direktif maupun
eklektik yang mengkombinasikan kedua pendekatan tersebut.
Namun, jika permasalahannya menyangkut aspek-aspek kepribadian yang lebih
mendalam dan lebih luas maka selayaknya tugas guru atau guru pembimbing/konselor
sebatas hanya membuat rekomendasi kepada ahli yang lebih kompeten (referal atau alih
tangan kasus).
F. Evaluasi dan Follow Up
Cara manapun yang ditempuh, evaluasi atas usaha pemecahan masalah seyogyanya
tetap dilakukan untuk melihat seberapa pengaruh tindakan bantuan (treatment) yang
telah diberikan terhadap pemecahan masalah yang dihadapi peserta didik.
Berkenaan dengan evaluasi bimbingan dan konseling, Depdiknas (2003) telah
memberikan kriteria-kriteria keberhasilan layanan bimbingan dan konseling yaitu:
1. Berkembangnya pemahaman baru yang diperoleh peserta didik berkaitan dengan
masalah yang dibahas;
2. Perasaan positif sebagai dampak dari proses dan materi yang dibawakan melalui
layanan, dan
3. Rencana kegiatan yang akan dilaksanakan oleh peserta didik sesudah pelaksanaan
layanan dalam rangka mewujudkan upaya lebih lanjut pengentasan masalah yang
dialaminya.
Sementara itu, Robinson dalam Abin Syamsuddin Makmun (2004) mengemukakan
beberapa kriteria dari keberhasilan dan efektivitas layanan yang telah diberikan, yang
terbagi ke dalam kriteria yaitu kriteria keberhasilan yang tampak segera dan kriteria
jangka panjang.
Kriteria keberhasilan tampak segera, diantaranya apabila:
1. Peserta didik (klien) telah menyadari (to be aware of) atas adanya masalah yang
dihadapi.
2. Peserta didik (klien) telah memahami (self insight) permasalahan yang dihadapi.
3. Peserta didik (klien) telah mulai menunjukkan kesediaan untuk menerima kenyataan
diri dan masalahnya secara obyektif (self acceptance).
4. Peserta didik (klien) telah menurun ketegangan emosinya (emotion stress release).
5. Peserta didik (klien) telah menurun penentangan terhadap lingkungannya
6. Peserta didik (klien) telah melai menunjukkan sikap keterbukaannya serta mau
memahami dan menerima kenyataan lingkungannya secara obyektif.
7. Peserta didik (klien) mulai menunjukkan kemampuannya dalam mempertimbangkan,
mengadakan pilihan dan mengambil keputusan secara sehat dan rasional.
8. Peserta didik (klien) telah menunjukkan kemampuan melakukan usaha usaha
perbaikan dan penyesuaian diri terhadap lingkungannya, sesuai dengan dasar
pertimbangan dan keputusan yang telah diambilnya.
9. Sedangkan kriteria keberhasilan jangka panjang, diantaranya apabila:
10. Peserta didik (klien) telah menunjukkan kepuasan dan kebahagiaan dalam
kehidupannya yang dihasilkan oleh tindakan dan usaha-usahanya.
11. Peserta didik (klien) telah mampu menghindari secara preventif kemungkinankemungkinan faktor yang dapat membawanya ke dalam kesulitan.
12. Peserta didik (klien) telah menunjukkan sifat-sifat yang kreatif dan konstruktif,
produktif, dan kontributif secara akomodatif sehingga ia diterima dan mampu menjadi
anggota kelompok yang efektif.
Sumber:
Abin Syamsuddin Makmun. 2003. Psikologi Pendidikan. Bandung : PT Rosda
Karya Remaja.
Depdiknas, 2004. Dasar Standarisasi Profesi Konseling. Jakarta : Bagian Proyek
Peningkatan Tenaga Akdemik Dirjen Dikti
Prayitno, dkk. 2004. Pedoman Khusus Bimbingan dan Konseling, Jakarta :
Depdiknas.
Dari beberapa jenis layanan Bimbingan dan Konseling yang diberikan kepada peserta didik,
tampaknya untuk layanan konseling perorangan perlu mendapat perhatian lebih. Karena
layanan yang satu ini boleh dikatakan merupakan ciri khas dari layanan bimbingan dan
konseling, yang membutuhkan pengetahuan dan keterampilan khusus
Dalam prakteknya, memang strategi layanan bimbingan dan konseling harus terlebih dahulu
mengedepankan layanan layanan yang bersifat pencegahan dan pengembangan, namun
tetap saja layanan yang bersifat pengentasan pun masih diperlukan. Oleh karena itu, guru
maupun konselor seyogyanya dapat menguasai proses dan berbagai teknik konseling,
sehingga bantuan yang diberikan kepada peserta didik dalam rangka pengentasan masalahnya
dapat berjalan secara efektif dan efisien.
Secara umum, proses konseling terdiri dari tiga tahapan yaitu: (1) tahap awal (tahap
mendefinisikan masalah); (2) tahap inti (tahap kerja); dan (3) tahap akhir (tahap perubahan
dan tindakan).
A. Tahap Awal
Tahap ini terjadi dimulai sejak klien menemui konselor hingga berjalan sampai konselor dan
klien menemukan masalah klien. Pada tahap ini beberapa hal yang perlu dilakukan,
diantaranya :
Klien merasa senang terlibat dalam pembicaraan atau waancara konseling, serta
menampakkan kebutuhan untuk mengembangkan diri dan memecahkan masalah yang
dihadapinya.
Proses konseling agar berjalan sesuai kontrak. Kesepakatan yang telah dibangun pada
saat kontrak tetap dijaga, baik oleh pihak konselor maupun klien.
Pada tahap akhir ditandai beberapa hal, yaitu ; (1) menurunnya kecemasan klien; (2)
perubahan perilaku klien ke arah yang lebih positif, sehat dan dinamis; (3) pemahaman baru
dari klien tentang masalah yang dihadapinya; dan (4) adanya rencana hidup masa yang akan
datang dengan program yang jelas.
eknik umum merupakan teknik konseling yang lazim digunakan dalam tahapan-tahapan
konseling dan merupakan teknik dasar konseling yang harus dikuasai oleh konselor. Untuk
lebih jelasnya, di bawah ini akan disampaikan beberapa jenis teknik umum, diantaranya :
A. Perilaku Attending
Perilaku attending disebut juga perilaku menghampiri klien yang mencakup komponen
kontak mata, bahasa tubuh, dan bahasa lisan. Perilaku attending yang baik dapat :
1.
Meningkatkan
harga
diri
klien.
2.
Menciptakan
suasana
yang
aman
3. Mempermudah ekspresi perasaan klien dengan bebas.
Contoh perilaku attending yang baik :
Posisi tubuh : agak condong ke arah klien, jarak antara konselor dengan klien agak
dekat, duduk akrab berhadapan atau berdampingan.
Mendengarkan : aktif penuh perhatian, menunggu ucapan klien hingga selesai, diam
(menanti saat kesempatan bereaksi), perhatian terarah pada lawan bicara.
Kepala : kaku
Muka : kaku, ekspresi melamun, mengalihkan pandangan, tidak melihat saat klien
sedang bicara, mata melotot.
Posisi tubuh : tegak kaku, bersandar, miring, jarak duduk dengan klien menjauh,
duduk kurang akrab dan berpaling.
Memutuskan pembicaraan, berbicara terus tanpa ada teknik diam untuk memberi
kesempatan klien berfikir dan berbicara.
B. Empati
Empati ialah kemampuan konselor untuk merasakan apa yang dirasakan klien, merasa dan
berfikir bersama klien dan bukan untuk atau tentang klien. Empati dilakukan sejalan dengan
perilaku
attending,
tanpa
perilaku
attending
mustahil
terbentuk
empati.
Terdapat dua macam empati, yaitu :
1. Empati primer, yaitu bentuk empati yang hanya berusaha memahami perasaan,
pikiran dan keinginan klien, dengan tujuan agar klien dapat terlibat dan
terbuka.Contoh ungkapan empati primer : Saya dapat merasakan bagaimana
perasaan Anda. Saya dapat memahami pikiran Anda. Saya mengerti keinginan
Anda.
2. Empati tingkat tinggi, yaitu empati apabila kepahaman konselor terhadap perasaan,
pikiran keinginan serta pengalaman klien lebih mendalam dan menyentuh klien
karena konselor ikut dengan perasaan tersebut. Keikutan konselor tersebut membuat
klien tersentuh dan terbuka untuk mengemukakan isi hati yang terdalam, berupa
perasaan, pikiran, pengalaman termasuk penderitaannya. Contoh ungkapan empati
tingkat tinggi : Saya dapat merasakan apa yang Anda rasakan, dan saya ikut terluka
dengan pengalaman Anda itu.
C. Refleksi
Refleksi adalah teknik untuk memantulkan kembali kepada klien tentang perasaan, pikiran,
dan pengalaman sebagai hasil pengamatan terhadap perilaku verbal dan non verbalnya.
Terdapat tiga jenis refleksi, yaitu :
1. Refleksi perasaan, yaitu keterampilan atau teknik untuk dapat memantulkan perasaan
klien sebagai hasil pengamatan terhadap perilaku verbal dan non verbal klien.
Contoh : Tampaknya yang Anda katakan adalah .
2. Refleksi pikiran, yaitu teknik untuk memantulkan ide, pikiran, dan pendapat klien
sebagai hasil pengamatan terhadap perilaku verbal dan non verbal klien.Contoh :
Tampaknya yang Anda katakan
3. Refleksi pengalaman, yaitu teknik untuk memantulkan pengalaman-pengalaman klien
sebagai hasil pengamatan terhadap perilaku verbal dan non verbal klien. Contoh :
Tampaknya yang Anda katakan suatu
D. Eksplorasi
Eksplorasi adalah teknik untuk menggali perasaan, pikiran, dan pengalaman klien. Hal ini
penting dilakukan karena banyak klien menyimpan rahasia batin, menutup diri, atau tidak
mampu mengemukakan pendapatnya. Dengan teknik ini memungkinkan klien untuk bebas
berbicara tanpa rasa takut, tertekan dan terancam. Seperti halnya pada teknik refleksi,
terdapat tiga jenis dalam teknik eksplorasi, yaitu :
1. Eksplorasi perasaan, yaitu teknik untuk dapat menggali perasaan klien yang
tersimpan. Contoh : Bisakah Anda menjelaskan apa perasaan bingung yang
dimaksudkan .
2. Eksplorasi pikiran, yaitu teknik untuk menggali ide, pikiran, dan pendapat klien.
Contoh : Saya yakin Anda dapat menjelaskan lebih lanjut ide Anda tentang sekolah
sambil bekerja.
3. Eksplorasi pengalaman, yaitu keterampilan atau teknik untuk menggali pengalamanpengalaman klien. Contoh : Saya terkesan dengan pengalaman yang Anda lalui
Namun saya ingin memahami lebih jauh tentang pengalaman tersebut dan
pengaruhnya terhadap pendidikan Anda
E. Menangkap Pesan (Paraphrasing)
Menangkap Pesan (Paraphrasing) adalah teknik untuk menyatakan kembali esensi atau initi
ungkapan klien dengan teliti mendengarkan pesan utama klien, mengungkapkan kalimat yang
mudah dan sederhana, biasanya ditandai dengan kalimat awal : adakah atau nampaknya, dan
mengamati
respons
klien
terhadap
konselor.
Tujuan paraphrasing adalah : (1) untuk mengatakan kembali kepada klien bahwa konselor
bersama dia dan berusaha untuk memahami apa yang dikatakan klien; (2) mengendapkan apa
yang dikemukakan klien dalam bentuk ringkasan ; (3) memberi arah wawancara konseling;
dan (4) pengecekan kembali persepsi konselor tentang apa yang dikemukakan klien.
Contoh dialog :
Klien : Itu suatu pekerjaan yang baik, akan tetapi saya tidak mengambilnya. Saya tidak tahu
mengapa
demikian
?
Tidak atau dengan kata-kata singkat. Tujuan pertanyaan tertutup untuk : (1) mengumpulkan
informasi; (2) menjernihkan atau memperjelas sesuatu; dan (3) menghentikan pembicaraan
klien yang melantur atau menyimpang jauh.
Contoh dialog :
Klien : Saya berusaha meningkatkan prestasi dengan mengikuti belajar kelompok yang
selama
ini
belum
pernah
saya
lakukan.
Konselor:
Biasanya
Anda
menempati
peringkat
berapa
?
.
Klien
:
Empat
Konselor:
Sekarang
berapa
?
Klien : Sebelas
H. Dorongan minimal (Minimal Encouragement)
Dorongan minimal adalah teknik untuk memberikan suatu dorongan langsung yang singkat
terhadap apa yang telah dikemukakan klien. Misalnya dengan menggunakan ungkapan :
oh,
ya.,
lalu,
terus.dan
Tujuan dorongan minimal agar klien terus berbicara dan dapat mengarah agar pembicaraan
mencapai tujuan. Dorongan ini diberikan pada saat klien akan mengurangi atau menghentikan
pembicaraannya dan pada saat klien kurang memusatkan pikirannya pada pembicaraan atau
pada saat konselor ragu atas pembicaraan klien.
Contoh dialog :
Klien : Saya putus asa dan saya nyaris (klien menghentikan pembicaraan)
Konselor:
ya
Klien
:
nekad
bunuh
diri
Konselor: lalu
I. Interpretasi
Yaitu teknik untuk mengulas pemikiran, perasaan dan pengalaman klien dengan merujuk
pada teori-teori, bukan pandangan subyektif konselor, dengan tujuan untuk memberikan
rujukan pandangan agar klien mengerti dan berubah melalui pemahaman dari hasil rujukan
baru tersebut.
Contoh dialog :
Klien : Saya pikir dengan berhenti sekolah dan memusatkan perhatian membantu orang tua
merupakan bakti saya pada keluarga, karena adik-adik saya banyak dan amat membutuhkan
biaya.
Konselor : Pendidikan tingkat SMA pada masa sekarang adalah mutlak bagi semua warga
negara. Terutama hidup di kota besar seperti Anda. Karena tantangan masa depan makin
banyak, maka dibutuhkan manusia Indonesia yang berkualitas. Membantu orang tua memang
harus, namun mungkin disayangkan jika orang seperti Anda yang tergolong akan
meninggalkan SMA.
J. Mengarahkan (Directing)
Yaitu teknik untuk mengajak dan mengarahkan klien melakukan sesuatu. Misalnya menyuruh
klien untuk bermain peran dengan konselor atau menghayalkan sesuatu.
Klien : Ayah saya sering marah-marah tanpa sebab. Saya tak dapat lagi menahan diri.
Akhirnya
terjadi
pertengkaran
sengit.
Konselor : Bisakah Anda mencobakan di depan saya, bagaimana sikap dan kata-kata ayah
Anda jika memarahi Anda.
K. Menyimpulkan Sementara (Summarizing)
Yaitu teknik untuk menyimpulkan sementara pembicaraan sehingga arah pembicaraan
semakin jelas. Tujuan menyimpulkan sementara adalah untuk : (1) memberikan kesempatan
kepada klien untuk mengambil kilas balik dari hal-hal yang telah dibicarakan; (2)
menyimpulkan kemajuan hasil pembicaraan secara bertahap; (3) meningkatkan kualitas
diskusi; (4) mempertajam fokus pada wawancara konseling.
Contoh :
Setelah kita berdiskusi beberapa waktu alangkah baiknya jika simpulkan dulu agar semakin
jelas hasil pembicaraan kita. Dari materi materi pembicaraan yang kita diskusikan, kita sudah
sampai pada dua hal: pertama, tekad Anda untuk bekerja sambil kuliah makin jelas; kedua,
namun masih ada hambatan yang akan hadapi, yaitu : sikap orang tua Anda yang
menginginkan Anda segera menyelesaikan studi, dan waktu bekerja yang penuh sebagaimana
tuntutan dari perusahaan yang akan Anda masuki.
Sumber :
Sofyan S. Willis. 2004.Konseling Individual; Teori dan Praktek. Bandung : Alfabeta
H.M. Arifin. 2003. Teori-Teori Konseling Agama dan Umum. Jakarta. PT Golden Terayon Press.
Sugiharto.(2005. Pendekatan dalam Konseling (Makalah). Jakarta : PPPG
A. Memimpin (leading)
Konselor : Sampai ini kepedulian Anda tertuju kuliah kuliah sambil bekerja. Mungkin Anda
tinggal merinci kepedulian itu. Mengenai pacaran apakah termasuk dalam kerangka
kepedulian Anda juga ?
B. Fokus
Yaitu teknik untuk membantu klien memusatkan perhatian pada pokok pembicaraan. Pada
umumnya dalam wawancara konseling, klien akan mengungkapkan sejumlah permasalahan
yang sedang dihadapinya. Oleh karena itu, konselor seyogyanya dapat membantu klien agar
dia dapat menentukan apa yang fokus masalah. Misalnya dengan mengatakan :
Apakah tidak sebaiknya jika pokok pembicaraan kita berkisar dulu soal hubungan Anda
dengan orang tua yang kurang harmonis .
Ada beberapa yang dapat dilakukan, diantaranya :
1. Fokus pada diri klien. Contoh : Tanti, Anda tidak yakin apa yang akan Anda lakukan
.
2. Fokus pada orang lain. Contoh : Roni, telah membuat kamu menderita,
Terangkanlah tentang dia dan apa yang telah dilakukannya ?
3. Fokus pada topik. Contoh : Pengguguran kandungan ? Kamu memikirkan aborsi ?
Pikirkanlah masak-masak dengan berbagai pertimbangan.
4. Fokus mengenai budaya. Contoh: Mungkin budaya menyerah dan mengalah pada
laki-laki harus diatas sendiri oleh kaum wanita. Wanita tak boleh menjadi obyek lakilaki.
C. Konfrontasi
Yaitu teknik yang menantang klien untuk melihat adanya inkonsistensi antara perkataan
dengan perbuatan atau bahasa badan, ide awal dengan ide berikutnya, senyum dengan
kepedihan, dan sebagainya. Tujuannya adalah : (1) mendorong klien mengadakan penelitian
diri secara jujur; (2) meningkatkan potensi klien; (3) membawa klien kepada kesadaran
adanya diskrepansi; konflik, atau kontradiksi dalam dirinya.
Penggunaan teknik ini hendaknya dilakukan secara hati-hati, yaitu dengan : (1) memberi
komentar khusus terhadap klien yang tidak konsisten dengan cara dan waktu yang tepat; (2)
tidak menilai apalagi menyalahkan; (3) dilakukan dengan perilaku attending dan empati.
Contoh dialog :
Klien : Saya baik-baik saja.(suara rendah, wajah murung, posisi tubuh gelisah).
Konselor : Anda mengatakan baik-baik saja, tapi kelihatannya ada yang tidak beres. Saya
melihat ada perbedaan antara ucapan dengan kenyataan diri .
D. Menjernihkan (Clarifying)
Yaitu teknik untuk menjernihkan ucapan-ucapan klien yang samar-samar, kurang jelas dan
agak meragukan. Tujuannya adalah : (1) mengundang klien untuk menyatakan pesannya
dengan jelas, ungkapan kata-kata yang tegas, dan dengan alasan-alasan yang logis, (2) agar
klien menjelaskan, mengulang dan mengilustrasikan perasaannya.
Contoh dialog :
Klien : Perubahan yang terjadi di keluarga saya membuat saya bingung. Saya tidak
mengerti siapa yang menjadi pemimpin di rumah itu.
Konselor : Bisakah Anda menjelaskan persoalan pokoknya ? Misalnya peran ayah, ibu, atau
saudara-saudara Anda.
E. Memudahkan (facilitating)
Yaitu teknik untuk membuka komunikasi agar klien dengan mudah berbicara dengan
konselor dan menyatakan perasaan, pikiran, dan pengalamannya secara bebas. Contoh :
Saya yakin Anda akan berbicara apa adanya, karena saya akan mendengarkan dengan
sebaik-baiknya.
F. Diam
Teknik diam dilakukan dengan cara attending, paling lama 5 10 detik, komunikasi yang
terjadi dalam bentuk perilaku non verbal. Tujuannya adalah (1) menanti klien sedang berfikir;
(2) sevagai protes jika klien ngomong berbelit-belit; (3) menunjang perilaku attending dan
empati sehingga klien babas bicara.
Contoh dialog :
Klien :Saya tidak senang dengan perilaku guru itu
Konselor :.. (diam)
Klien : Saya..harus bagaimana.., Saya.. tidak tahu..
Konselor :.. (diam)
G. Mengambil Inisiatif
Teknik ini dilakukan manakala klien kurang bersemangat untuk berbicara, sering diam, dan
kurang parisipatif. Konselor mengajak klien untuk berinisiatif dalam menuntaskan diskusi.
Teknik ini bertujuan : (1) mengambil inisiatif jika klien kurang semangat; (2) jika klien
lambat berfikir untuk mengambil keputusan; (3) jika klien kehilangan arah pembicaraan.
Contoh:
Baiklah, saya pikir Anda mempunyai satu keputusan namun masih belum keluar. Coba
Anda renungkan kembali.
G. Memberi Nasehat
Pemberian nasehat sebaiknya dilakukan jika klien memintanya. Walaupun demikian, konselor
tetap harus mempertimbangkannya apakah pantas untuk memberi nasehat atau tidak. Sebab
dalam memberi nasehat tetap dijaga agar tujuan konseling yakni kemandirian klien harus
tetap tercapai.
Contoh respons konselor terhadap permintaan klien : Apakah hal seperti ini pantas saya
untuk memberi nasehat Anda ? Sebab, dalam hal seperti ini saya yakin Anda lebih
mengetahuinya dari pada saya.
H. Pemberian informasi
Sama halnya dengan nasehat, jika konselor tidak memiliki informasi sebaiknya dengan jujur
katakan bahwa dia mengetahui hal itu. Kalau pun konselor mengetahuinya, sebaiknya tetap
diupayakan agar klien mengusahakannya.
Contoh :
Mengenai berapa biaya masuk ke Universitas Pendidikan Indonesia, saya sarankan Anda
bisa langsung bertanya ke pihak UPI atau Anda berkunjung ke situs www.upi.com di
internet.
I. Merencanakan
Teknik ini digunakan menjelang akhir sesi konseling untuk membantu agar klien dapat
membuat rencana tindakan (action), perbuatan yang produktif untuk kemajuan klien.
Contoh :
Nah, apakah tidak lebih baik jika Anda mulai menyusun rencana yang baik berpedoman
hasil pembicaraan kita sejak tadi
J. Menyimpulkan
Teknik ini digunakan untuk menyimpulkan hasil pembicaraan yang menyangkut : (1)
bagaimana keadaan perasaan klien saat ini, terutama mengenai kecemasan; (2) memantapkan
rencana klien; (3) pemahaman baru klien; dan (4) pokok-pokok yang akan dibicarakan
selanjutnya pada sesi berikutnya, jika dipandang masih perlu dilakukan konseling lanjutan.
Sofyan S. Willis. 2004.Konseling Individual; Teori dan Praktek. Bandung : Alfabeta
H.M. Arifin. 2003. Teori-Teori Konseling Agama dan Umum. Jakarta. PT Golden Terayon Press.
Sugiharto.(2005. Pendekatan dalam Konseling (Makalah). Jakarta : PPPG
Teknik ini dapat digunakan untuk klien yang menunjukkan perasaan atau suasana hati yang
tidak menyenangkan atau ia sangat ingin menghindarinya. Konselor mendorong klien untuk
tetap bertahan dengan perasaan yang ingin dihindarinya itu.
Kebanyakan klien ingin melarikan diri dari stimulus yang menakutkan dan menghindari
perasaan-perasaan yang tidak menyenangkan. Dalam hal ini konselor tetap mendorong klien
untuk bertahan dengan ketakutan atau kesakitan perasaan yang dialaminya sekarang dan
mendorong klien untuk menyelam lebih dalam ke dalam tingkah laku dan perasaan yang
ingin dihindarinya itu.
Untuk membuka dan membuat jalan menuju perkembangan kesadaran perasaan yang lebih
baru tidak cukup hanya mengkonfrontasi dan menghadapi perasaan-perasaan yang ingin
dihindarinya tetapi membutuhkan keberanian dan pengalaman untuk bertahan dalam
kesakitan perasaan yang ingin dihindarinya itu.
10. Home work assigments,
Teknik yang dilaksanakan dalam bentuk tugas-tugas rumah untuk melatih, membiasakan diri,
dan menginternalisasikan sistem nilai tertentu yang menuntut pola perilaku yang diharapkan.
Dengan tugas rumah yang diberikan, klien diharapkan dapat mengurangi atau menghilangkan
ide-ide dan perasaan-perasaan yang tidak rasional dan tidak logis, mempelajari bahan-bahan
tertentu yang ditugaskan untuk mengubah aspek-aspek kognisinya yang keliru, mengadakan
latihan-latihan tertentu berdasarkan tugas yang diberikan. Pelaksanaan home work assigment
yang diberikan konselor dilaporkan oleh klien dalam suatu pertemuan tatap muka dengan
konselor. Teknik ini dimaksudkan untuk membina dan mengembangkan sikap-sikap tanggung
jawab, kepercayaan pada diri sendiri serta kemampuan untuk pengarahan diri, pengelolaan
diri klien dan mengurangi ketergantungannya kepada konselor.
11. Adaptive
Teknik yang digunakan untuk melatih, mendorong, dan membiasakan klien untuk secara
terus-menerus menyesuaikan dirinya dengan perilaku yang diinginkan. Latihan-latihan yang
diberikan lebih bersifat pendisiplinan diri klien.
12. Bermain peran
Teknik untuk mengekspresikan berbagai jenis perasaan yang menekan (perasaan-perasaan
negatif) melalui suatu suasana yang dikondisikan sedemikian rupa sehingga klien dapat
secara bebas mengungkapkan dirinya sendiri melalui peran tertentu.
13. Imitasi
Teknik untuk menirukan secara terus menerus suatu model perilaku tertentu dengan maksud
menghadapi dan menghilangkan perilakunya sendiri yang negatif.
Sumber :
H.M. Arifin. 2003. Teori-Teori Konseling Agama dan Umum. Jakarta. PT Golden Terayon Press.
Sofyan S. Willis. 2004.Konseling Individual; Teori dan Praktek. Bandung : Alfabeta
Manusia adalah mahluk reaktif yang tingkah lakunya dikontrol oleh faktorfaktor dari luar.
Manusia memulai kehidupannya dengan memberikan reaksi terhadap lingkungannya dan
interaksi ini menghasilkan pola-pola perilaku yang kemudian membentuk kepribadian.
Tingkah laku seseorang ditentukan oleh banyak dan macamnya penguatan yang diterima
dalam situasi hidupnya.
Tingkah laku dipelajari ketika individu berinteraksi dengan lingkungan melalui hukumhukum belajar : (a) pembiasaan klasik; (b) pembiasaan operan; (c) peniruan.
Tingkah laku tertentu pada individu dipengaruhi oleh kepuasan dan ketidak puasan yang
diperolehnya.
Manusia bukanlah hasil dari dorongan tidak sadar melainkan merupakan hasil belajar,
sehingga ia dapat diubah dengan memanipulasi dan mengkreasi kondisi-kondisi pembentukan
tingkah laku.
Karakteristik konseling behavioral adalah : (a) berfokus pada tingkah laku yang tampak dan
spesifik, (b) memerlukan kecermatan dalam perumusan tujuan konseling, (c)
mengembangkan prosedur perlakuan spesifik sesuai dengan masalah klien, dan (d) penilaian
yang obyektif terhadap tujuan konseling.
B. Asumsi Tingkah Laku Bermasalah
1. Tingkah laku bermasalah adalah tingkah laku atau kebiasaan-kebiasaan negatif atau
tingkah laku yang tidak tepat, yaitu tingkah laku yang tidak sesuai dengan tuntutan
lingkungan.
2. Tingkah laku yang salah hakikatnya terbentu dari cara belajar atau lingkungan yang
salah.
3. Manusia bermasalah itu mempunyai kecenderungan merespon tingkah laku negatif
dari lingkungannya. Tingkah laku maladaptif terjadi juga karena kesalapahaman
dalam menanggapi lingkungan dengan tepat.
4. Seluruh tingkah laku manusia didapat dengan cara belajar dan juga tingkah laku
tersebut dapat diubah dengan menggunakan prinsip-prinsip belajar
C. Tujuan Konseling
Mengahapus/menghilangkan tingkah laku maldaptif (masalah) untukdigantikan dengan
tingkah laku baru yaitu tingkah laku adaptif yang diinginkan klien.
Tujuan yang sifatnya umum harus dijabarkan ke dalam perilaku yang spesifik : (a) diinginkan
oleh klien; (b) konselor mampu dan bersedia membantu mencapai tujuan tersebut; (c) klien
dapat mencapai tujuan tersebut; (d) dirumuskan secara spesifik
Konselor dan klien bersama-sama (bekerja sama) menetapkan/merumuskan tujuan-tujuan
khusus konseling.
D. Deskripsi Proses Konseling
Proses konseling adalah proses belajar, konselor membantu terjadinya proses belajar tersebut.
Konselor aktif :
1. Merumuskan masalah yang dialami klien dan menetapkan apakah konselor dapat
membantu pemecahannya atu tidak
2. Konselor memegang sebagian besar tanggung jawab atas kegiatan konseling,
khususnya tentang teknik-teknik yang digunakan dalam konseling
3. Konselor mengontrol proses konseling dan bertanggung jawab atas hasil-hasilnya.
Deskripsi langkah-langkah konseling :
1. Assesment, langkah awal yang bertujuan untuk mengeksplorasi dinamika
perkembangan klien (untuk mengungkapkan kesuksesan dan kegagalannya, kekuatan
dan kelemahannya, pola hubungan interpersonal, tingkah laku penyesuaian, dan area
masalahnya) Konselor mendorong klien untuk mengemukakan keadaan yang benarbenar dialaminya pada waktu itu. Assesment diperlukan untuk mengidentifikasi
motode atau teknik mana yang akan dipilih sesuai dengan tingkah laku yang ingin
diubah.
2. Goal setting, yaitu langkah untuk merumuskan tujuan konseling. Berdasarkan
informasi yang diperoleh dari langkah assessment konselor dan klien menyusun dan
merumuskan tujuan yang ingin dicapai dalam konseling. Perumusan tujuan konseling
dilakukan dengan tahapan sebagai berikut : (a) Konselor dan klien mendifinisikan
masalah yang dihadapi klien; (b) Klien mengkhususkan perubahan positif yang
dikehendaki sebagai hasil konseling; (c) Konselor dan klien mendiskusikan tujuan
yang telah ditetapkan klien : (a) apakah merupakan tujuan yang benar-benar dimiliki
dan diinginkan klien; (b) apakah tujuan itu realistik; (c) kemungkinan manfaatnya;
dan (d)k emungkinan kerugiannya; (e) Konselor dan klien membuat keputusan
apakahmelanjutkan konseling dengan menetapkan teknik yang akan dilaksanakan,
mempertimbangkan kembali tujuan yang akan dicapai, atau melakukan referal.
3. Technique implementation, yaitu menentukan dan melaksanakan teknik konseling
yang digunakan untuk mencapai tingkah laku yang diinginkan yang menjadi tujuan
konseling.
4. Evaluation termination, yaitu melakukan kegiatan penilaian apakah kegiatan
konseling yang telah dilaksanakan mengarah dan mencapai hasil sesuai dengan tujuan
konseling.
5. Feedback, yaitu memberikan dan menganalisis umpan balik untuk memperbaiki dan
meingkatkan proses konseling.
Teknik konseling behavioral didasarkan pada penghapusan respon yang telah dipelajari
(yang membentuk tingkah laku bermasalah) terhadap perangsang, dengan demikian
respon-respon yang baru (sebagai tujuan konseling) akan dapat dibentuk.
Prinsip Kerja Teknik Konseling Behavioral
Memodifikasi tingkah laku melalui pemberian penguatan. Agar klien terdorong untuk
merubah tingkah lakunya penguatan tersebut hendaknya mempunyai daya yang cukup
kuat dan dilaksanakan secara sistematis dan nyata-nyata ditampilkan melalui tingkah
laku klien.
Mengurangi frekuensi berlangsungnya tingkah laku yang tidak diinginkan.
mengakibatkan
dilawan dengan cara berpikir yang rasional dan logis, yang dapat diterima menurut akal
sehat, serta menggunakan cara verbalisasi yang rasional.
Pandangan pendekatan rasional emotif tentang kepribadian dapat dikaji dari konsep-konsep
kunci teori Albert Ellis : ada tiga pilar yang membangun tingkah laku individu, yaitu
Antecedent event (A), Belief (B), dan Emotional consequence (C). Kerangka pilar ini yang
kemudian dikenal dengan konsep atau teori ABC.
Antecedent event (A) yaitu segenap peristiwa luar yang dialami atau memapar individu.
Peristiwa pendahulu yang berupa fakta, kejadian, tingkah laku, atau sikap orang lain.
Perceraian suatu keluarga, kelulusan bagi siswa, dan seleksi masuk bagi calon karyawan
merupakan antecendent event bagi seseorang.
Belief (B) yaitu keyakinan, pandangan, nilai, atau verbalisasi diri individu terhadap suatu
peristiwa. Keyakinan seseorang ada dua macam, yaitu keyakinan yang rasional (rational
belief atau rB) dan keyakinan yang tidak rasional (irrasional belief atau iB). Keyakinan yang
rasional merupakan cara berpikir atau system keyakinan yang tepat, masuk akal, bijaksana,
dan kerana itu menjadi prosuktif. Keyakinan yang tidak rasional merupakan keyakinan ayau
system berpikir seseorang yang salah, tidak masuk akal, emosional, dan keran itu tidak
produktif.
Emotional consequence (C) merupakan konsekuensi emosional sebagai akibat atau reaksi
individu dalam bentuk perasaan senang atau hambatan emosi dalam hubungannya dengan
antecendent event (A). Konsekuensi emosional ini bukan akibat langsung dari A tetapi
disebabkan oleh beberapa variable antara dalam bentuk keyakinan (B) baik yang rB maupun
yang iB.
B. Asumsi Tingkah Laku Bermasalah
Dalam perspektif pendekatan konseling rasional emotif tingkah laku bermasalah adalah
merupakan tingkah laku yang didasarkan pada cara berpikir yang irrasional.
Ciri-ciri berpikir irasional : (a) tidak dapat dibuktikan; (b) menimbulkan perasaan tidak enak
(kecemasan, kekhawatiran, prasangka) yang sebenarnya tidak perlu; (c) menghalangi
individu untuk berkembang dalam kehidupan sehari-hari yang efektif
Sebab-sebab individu tidak mampu berpikir secara rasional : (a) individu tidak berpikir jelas
tentangg saat ini dan yang akan dating, antara kenyatan dan imajinasi; (b) individu tergantung
pada perencanaan dan pemikiran orang lain; (c) orang tua atau masyarakat memiliki
kecenderungan berpikir irasional yang diajarkan kepada individu melalui berbagai media.
Indikator keyakinan irasional : (a) manusia hidup dalam masyarakat adalah untuk diterima
dan dicintai oleh orang lain dari segala sesuatu yang dikerjakan; (b) banyak orang dalam
kehidupan masyarakat yang tidak baik, merusak, jahat, dan kejam sehingga mereka patut
dicurigai, disalahkan, dan dihukum; (c) kehidupan manusia senantiasa dihadapkan kepada
berbagai malapetaka, bencana yang dahsyat, mengerikan, menakutkan yang mau tidak mau
harus dihadapi oleh manusia dalam hidupnya; (d) lebih mudah untuk menjauhi kesulitankesulitan hidup tertentu dari pada berusaha untuk mengahadapi dan menanganinya; (e)
penderitaan emosional dari seseorang muncul dari tekanan eksternal dan bahwa individu
hanya mempunyai kemampuan sedikit sekali untuk menghilangkan penderitaan emosional
tersebut; (f) pengalaman masa lalu memberikan pengaruh sangat kuat terhadap kehidupan
individu dan menentukan perasaan dan tingkah laku individu pada saat sekarang; (g) untuk
mencapai derajat yang tinggi dalam hidupnya dan untuk merasakan sesuatu yang
menyenangkan memerlukan kekuatan supranatural; dan (h) nilai diri sebagai manusia dan
penerimaan orang lain terhadap diri tergantung dari kebaikan penampilan individu dan
tingkat penerimaan oleh orang lain terhadap individu.
C. Tujuan Konseling
Memperbaiki dan merubah sikap, persepsi, cara berpikir, keyakinan serta pandanganpandangan klien yang irasional dan tidak logis menjadi pandangan yang rasional dan logis
agar klien dapat mengembangkan diri, meningkatkan sel-actualizationnya seoptimal mungkin
melalui tingkah laku kognitif dan afektif yang positif.
Menghilangkan gangguan-gangguan emosional yang merusak diri sendiri seperti rasa takut,
rasa bersalah, rasa berdosa, rasa cemas, merasa was-was, rasa marah.
Tiga tingkatan insight yang perlu dicapai klien dalam konseling dengan pendekatan rasionalemotif :
Pertama insight dicapai ketika klien memahami tentang tingkah laku penolakan diri yang
dihubungkan dengan penyebab sebelumnya yang sebagian besar sesuai dengan keyakinannya
tentang peristiwa-peristiwa yang diterima (antecedent event) pada saat yang lalu.
Kedua, insight terjadi ketika konselor membantu klien untuk memahami bahwa apa yang
menganggu klien pada saat ini adalah karena berkeyakinan yang irasional terus dipelajari dari
yang diperoleh sebelumnya.
Ketiga, insight dicapai pada saat konselor membantu klien untuk mencapai pemahaman
ketiga, yaitu tidak ada jalan lain untuk keluar dari hembatan emosional kecuali dengan
mendeteksi dan melawan keyakinan yang irasional.
Klien yang telah memiliki keyakinan rasional tjd peningkatan dalam hal : (1) minat kepada
diri sendiri, (2) minat sosial, (3) pengarahan diri, (4) toleransi terhadap pihak lain, (5)
fleksibel, (6) menerima ketidakpastian, (7) komitmen terhadap sesuatu di luar dirinya, (8)
penerimaan diri, (9) berani mengambil risiko, dan (10) menerima kenyataan.
D. Deskripsi Proses Konseling
Konseling rasional emotif dilakukan dengan menggunakan prosedur yang bervariasi dan
sistematis yang secara khusus dimaksudkan untuk mengubah tingkah laku dalam batas-batas
tujuan yang disusun secara bersama-sama oleh konselor dan klien.
Tugas konselor menunjukkan bahwa
masalahnya disebabkan oleh persepsi yang terganggu dan pikiran-pikiran yang tidak
rasional
usaha untuk mengatasi masalah adalah harus kembali kepada sebab-sebab permulaan.
Operasionalisasi tugas konselor : (a) lebih edukatif-direktif kepada klien, dengan cara banyak
memberikan cerita dan penjelasan, khususnya pada tahap awal mengkonfrontasikan masalah
klien secara langsung; (b) menggunakan pendekatan yang dapat memberi semangat dan
memperbaiki cara berpikir klien, kemudian memperbaiki mereka untuk dapat mendidik
dirinya sendiri dengan gigih dan berulang-ulang menekankan bahwa ide irrasional itulah
yang menyebabkan hambatan emosional pada klien; (c) mendorong klien menggunakan
kemampuan rasional dari pada emosinya; (d) menggunakan pendekatan didaktif dan filosofis
menggunakan humor dan menekan sebagai jalan mengkonfrontasikan berpikir secara
irasional.
Karakteristik Proses Konseling Rasional-Emotif :
1. Aktif-direktif, artinya bahwa dalam hubungan konseling konselor lebih aktif
Teknik-teknik Behavioristik
Reinforcement
Teknik untuk mendorong klien ke arah tingkah laku yang lebih rasional dan logis dengan
jalan memberikan pujian verbal (reward) ataupun hukuman (punishment). eknik ini
dimaksudkan untuk membongkar sistem nilai dan keyakinan yang irrasional pada klien dan
menggantinya dengan sistem nilai yang positif.
Dengan memberikan reward ataupun punishment, maka klien akan menginternalisasikan
sistem nilai yang diharapkan kepadanya.
Social modeling
Teknik untuk membentuk tingkah laku-tingkah laku baru pada klien. Teknik ini dilakukan
agar klien dapat hidup dalam suatu model sosial yang diharapkan dengan cara imitasi
(meniru), mengobservasi, dan menyesuaikan dirinya dan menginternalisasikan norma-norma
dalam sistem model sosial dengan masalah tertentu yang telah disiapkan oleh konselor.
Teknik-teknik Kognitif
Home work assigments,
Teknik yang dilaksanakan dalam bentuk tugas-tugas rumah untuk melatih, membiasakan diri,
dan menginternalisasikan sistem nilai tertentu yang menuntut pola tingkah laku yang
diharapkan.
Dengan tugas rumah yang diberikan, klien diharapkan dapat mengurangi atau menghilangkan
ide-ide dan perasaan-perasaan yang tidak rasional dan tidak logis, mempelajari bahan-bahan
tertentu yang ditugaskan untuk mengubah aspek-aspek kognisinya yang keliru, mengadakan
latihan-latihan tertentu berdasarkan tugas yang diberikan
Pelaksanaan home work assigment yang diberikan konselor dilaporkan oleh klien dalam
suatu pertemuan tatap muka dengan konselor
Teknik ini dimaksudkan untuk membina dan mengembangkan sikap-sikap tanggung jawab,
kepercayaan pada diri sendiri serta kemampuan untuk pengarahan diri, pengelolaan diri klien
dan mengurangi ketergantungannya kepada konselor.
Latihan assertive
Teknik untuk melatih keberanian klien dalam mengekspresikan tingkah laku-tingkah laku
tertentu yang diharapkan melalui bermain peran, latihan, atau meniru model-model sosial.
Maksud utama teknik latihan asertif adalah : (a) mendorong kemampuan klien
mengekspresikan berbagai hal yang berhubungan dengan emosinya; (b) membangkitkan
kemampuan klien dalam mengungkapkan hak asasinya sendiri tanpa menolak atau memusuhi
hak asasi orang lain; (c) mendorong klien untuk meningkatkan kepercayaan dan kemampuan
diri; dan (d) meningkatkan kemampuan untuk memilih tingkah laku-tingkah laku asertif yang
cocok untuk diri sendiri.
C. Tujuan Konseling
Tujuan utama konseling Gestalt adalah membantu klien agar berani mengahadapi berbagai
macam tantangan maupun kenyataan yang harus dihadapi. Tujuan ini mengandung makna
bahwa klien haruslah dapat berubah dari ketergantungan terhadap lingkungan/orang lain
menjadi percaya pada diri, dapat berbuat lebih banyak untuk meingkatkan kebermaknaan
hidupnya.
Individu yang bermasalah pada umumnya belum memanfaatkan potensinya secara penuh,
melainkan baru memanfaatkan sebagaian dari potensinya yang dimilikinya. Melalui
konseling konselor membantu klien agar potensi yang baru dimanfaatkan sebagian ini
dimanfaatkan dan dikembangkan secara optimal.
Secara lebih spesifik tujuan konseling Gestalt adalah sebagai berikut.
Mengentaskan klien dari kondisinya yang tergantung pada pertimbangan orang lain ke
mengatur diri sendiri (to be true to himself)
Meningkatkan kesadaran individual agar klien dapat beringkah laku menurut prinsipprinsip Gestalt, semua situasi bermasalah (unfisihed bussines) yang muncul dan selalu
akan muncul dapat diatasi dengan baik.
menggunakan perasaannya secara penuh. Untuk itu klien bisa diajak untuk memilih dua
alternatif, ia akan menolak kenyataan yang ada pada dirinya atau membuka diri untuk melihat
apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya sekarang.
Konselor hendaknya menghindarkan diri dari pikiran-pikiran yang abstrak, keinginankeinginannya untuk melakukan diagnosis, interpretasi maupun memberi nasihat.
Konselor sejak awal konseling sudah mengarahkan tujuan agar klien menjadi matang dan
mampu menyingkirkan hambatan-hambatn yang menyebabkan klien tidak dapat berdiri
sendiri. Dalam hal ini, fungsi konselor adalah membantu klien untuk melakukan transisi dari
ketergantungannya terhadap faktor luar menjadi percaya akan kekuatannya sendiri. Usaha ini
dilakukan dengan menemukan dan membuka ketersesatan atau kebuntuan klien.
Pada saat klien mengalami gejala kesesatan dan klien menyatakan kekalahannya terhadap
lingkungan dengan cara mengungkapkan kelemahannya, dirinya tidak berdaya, bodoh, atau
gila, maka tugas konselor adalah membuat perasaan klien untuk bangkit dan mau
menghadapi ketersesatannya sehingga potensinya dapat berkembang lebih optimal.
Deskripsi fase-fase proses konseling :
Fase pertama, konselor mengembangkan pertemuan konseling, agar tercapai situasi yang
memungkinkan perubahan-perubahan yang diharapkan pada klien. Pola hubungan yang
diciptakan untuk setiap klien berbeda, karena masing-masing klien mempunyai keunikan
sebagai individu serta memiliki kebutuhan yang bergantung kepada masalah yang harus
dipecahkan.
Fase kedua, konselor berusaha meyakinkan dan mengkondisikan klien untuk mengikuti
prosedur yang telah ditetapkan sesuai dengan kondisi klien. Ada dua hal yang dilakukan
konselor dalam fase ini, yaitu :
Membangkitkan motivasi klien, dalam hal ini klien diberi kesempatan untuk menyadari
ketidaksenangannya atau ketidakpuasannya. Makin tinggi kesadaran klien terhadap
ketidakpuasannya semakin besar motivasi untuk mencapai perubahan dirinya, sehingga
makin tinggi pula keinginannya untuk bekerja sama dengan konselor.
Membangkitkan dan mengembangkan otonomi klien dan menekankan kepada klien bahwa
klien boleh menolak saran-saran konselor asal dapat mengemukakan alasan-alasannya secara
bertanggung jawab.
Fase ketiga, konselor mendorong klien untuk mengatakan perasaan-perasaannya pada saat
ini, klien diberi kesempatan untuk mengalami kembali segala perasaan dan perbuatan pada
masa lalu, dalam situasi di sini dan saat ini. Kadang-kadang klien diperbolahkan
memproyeksikan dirinya kepada konselor.
Melalui fase ini, konselor berusaha menemukan celah-celah kepribadian atau aspek-aspek
kepribadian yang hilang, dari sini dapat diidentifikasi apa yang harus dilakukan klien.
Fase keempat, setelah klien memperoleh pemahaman dan penyadaran tentang pikiran,
perasaan, dan tingkah lakunya, konselor mengantarkan klien memasuki fase akhir konseling.
mengindikasikan
integritas
Klien telah memiliki kepercayaan pada potensinya, menyadari keadaan dirinya pada saat
sekarang, sadar dan bertanggung jawab atas sifat otonominya, perasaan-perasaannya, pikiranpikirannya dan tingkah lakunya.
Dalam situasi ini klien secara sadar dan bertanggung jawab memutuskan untuk melepaskan
diri dari konselor, dan siap untuk mengembangan potensi dirinya.
Teknik Konseling
Hubungan personal antara konselor dengan klien merupakan inti yang perlu diciptakan dan
dikembangkan dalam proses konseling. Dalam kaitan itu, teknik-teknik yang dilaksanakan
selama proses konseling berlangsung adalah merupakan alat yang penting untuk membantu
klien memperoleh kesadaran secara penuh.
Prinsip Kerja Teknik Konseling Gestal
Penekanan Tanggung Jawab Klien, konselor menekankan bahwa konselor bersedia
membantu klien tetapi tidak akan bisa mengubah klien, konselor menekankan agar klien
mengambil tanggung jawab atas tingkah lakunya.
Orientasi Sekarang dan Di Sini, dalam proses konseling konselor tidak merekonstruksi
masa lalu atau motif-motif tidak sadar, tetapi memfokuskan keadaan sekarang. Hal ini bukan
berarti bahwa masa lalu tidak penting. Masa lalu hanya dalam kaitannya dengan keadaan
sekarang. Dalam kaitan ini pula konselor tidak pernah bertanya mengapa.
Orientasi Eksperiensial, konselor meningkatkan kesadaran klien tentang diri sendiri dan
masalah-masalahnya, sehingga dengan demikian klien mengintegrasikan kembali dirinya: (a)
klien mempergunakan kata ganti personal
klien mengubah kalimat pertanyaan menjadi pernyataan; (b)klien mengambil peran dan
tanggung jawab; (c) klien menyadari bahwa ada hal-hal positif dan/atau negative pada diri
atau tingkah lakunya
Teknik-teknik Konseling Gestalt
Permainan Dialog
Teknik ini dilakukan dengan cara klien dikondisikan untuk mendialogan dua kecenderungan
yang saling bertentangan, yaitu kecenderungan top dog dan kecenderungan under dog,
misalnya : (a) kecenderungan orang tua lawan kecenderungan anak; (b) kecenderungan
bertanggung jawab lawan kecenderungan masa bodoh; (c) kecenderungan anak baik lawan
kecenderungan anak bodoh (d) kecenderungan otonom lawan kecenderungan tergantung;
(e) kecenderungan kuat atau tegar lawan kecenderungan lemah
Melalui dialog yang kontradiktif ini, menurut pandangan Gestalt pada akhirnya klien akan
mengarahkan dirinya pada suatu posisi di mana ia berani mengambil resiko. Penerapan
permainan dialog ini dapat dilaksanakan dengan menggunakan teknik kursi kosong.
mendorong klien untuk menyelam lebih dalam ke dalam tingklah laku dan perasaan yang
ingin dihindarinya itu.
Untuk membuka dan membuat jalan menuju perkembangan kesadaran perasaan yang lebih
baru tidak cukup hanya mengkonfrontasi dan menghadapi perasaan-perasaan yang ingin
dihindarinya tetapi membutuhkan keberanian dan pengalaman untuk bertahan dalam
kesakitan perasaan yang ingin dihindarinya itu.
Sumber : Dr. DYP Sugiharto, M.Pd. Pendekatan-Pendekatan Konseling. (Makalah)
A. Konsep Dasar
atau
konselor
di
sekolah
daam
rangka
mengembangkan
dan
membina
kepribadian/kesehatan mental konseli secara sukses, dengan cara memberi tanggung jawab
kepada konseli yang bersangkutan.
Terapi Realitas berprinsip seseorang dapat dengan penuh optimis menerima bantuan dari
terapist untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya dan mampu menghadapi kenyataan
tanpa merugikan siapapun.
Terapi Realitas lebih menekankan masa kini, maka dalam memberikan bantuan tidak perlu
melacak sejauh mungkin pada masa lalunya, sehingga yang paling dipentingkan adalah
bagaimana konseli dapat memperoleh kesuksesan pada masa yang akan datang.
Adalah William Glasser sebagai tokoh yang mengembangkan bentuk terapi ini. Menurutnya,
bahwa tentang hakikat manusia adalah:
1. Bahwa manusia mempunyai kebutuhan yang tunggal, yang hadir di seluruh
kehidupannya, sehingga menyebabkan dia memiliki keunikan dalam kepribadiannnya.
2. Setiap orang memiliki kemampuan potensial untuk tumbuh dan berkembang sesuai
pola-pola tertentu menjadi kemampuan aktual. Karennya dia dapat menjadi seorang
individu yang sukses.
3. Setiap potensi harus diusahakan untuk berkembang dan terapi realitas berusaha
membangun anggapan bahwa tiap orang akhirnya menentukan nasibnya sendiri
B. Ciri-Ciri Terapi Realitas
1. Menolak adanya konsep sakit mental pada setiap individu, tetapi yang ada adalah
perilaku tidak bertanggungjawab tetapi masih dalam taraf mental yang sehat.
2. Berfokus pada perilaku nyata guna mencapai tujuan yang akan datang penuh
optimisme.
3. Berorientasi pada keadaan yang akan datang dengan fokus pada perilaku yang
sekarang yang mungkin diubah, diperbaiki, dianalisis dan ditafsirkan. Perilaku masa
lampau tidak bisa diubah tetapi diterima apa adanya, sebagai pengalaman yang
berharga.
4. Tidak menegaskan transfer dalam rangka usaha mencari kesuksesan. Konselor dalam
memberikan pertolongan mencarikan alternatif-alternatif yang dapat diwujudkan
dalam perilaku nyata dari berbagai problema yang dihadapi oleh konseli .
5. Menekankan aspek kesadaran dari konseli yang harus dinyatakan dalam perilaku
tentang apa yang harus dikerjakan dan diinginkan oleh konseli . Tanggung jawab dan
perilaku nyata yang harus diwujudkan konseli adalah sesuatu yang bernilai dan
bermakna dan disadarinya.
6. Menghapuskan adanya hukuman yang diberikan kepada individu yang mengalami
kegagalan., tetapi yang ada sebagai ganti hukuman adalah menanamkan disiplin yang
disadari maknanya dan dapat diwujudkan dalam perilaku nyata.
7. Menekankan konsep tanggung jawab agar konseli dapat berguna bagi dirinya dan bagi
orang lain melalui perwujudan perilaku nyata.
C. Tujuan Terapi
1. Menolong individu agar mampu mengurus diri sendiri, supaya dapat menentukan dan
melaksanakan perilaku dalam bentuk nyata.
2. Mendorong konseli agar berani bertanggung jawab serta memikul segala resiko yang
ada, sesuai dengan kemampuan dan keinginannya dalam perkembangan dan
pertumbuhannya.
3. Mengembangkan rencana-rencana nyata dan realistik dalam mencapai tujuan yang
telah ditetapkan.
4. Perilaku yang sukses dapat dihubungkan dengan pencapaian kepribadian yang sukses,
yang dicapai dengan menanamkan nilai-nilai adanya keinginan individu untuk
mengubahnya sendiri.
5. Terapi ditekankan pada disiplin dan tanggung jawab atas kesadaran sendiri.
D. Proses Konseling (Terapi)
Konselor berperan sebagai:
1. Motivator, yang mendorong konseli untuk: (a) menerima dan memperoleh keadaan
nyata, baik dalam perbuatan maupun harapan yang ingin dicapainya; dan (b)
merangsang klien untuk mampu mengambil keputusan sendiri, sehingga klien tidak
pantas
untuk
bahwa omzet narkoba di Indonesia saat ini berjumlah 24 triliun rupiah per bulan, suatu angka
yang fantastis. Angka tersebut diperoleh dari jika setiap hari seorang pengguna memakai
narkoba seharga Rp.200.000, satu hari omzetnya mencapai 4 juta x Rp.200.000 = Rp.800
miliar.
Berkembangnya jumlah pecandu narkoba ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor dalam dan
di luar diri sendiri. Faktor penentu dalam diri adalah: (1) minat, (2) rasa ingin tahu
(curiousity) (Hurlock, 1978), (3) lemahnya rasa ketuhanan (Abu Hanifah, 1989), dan (4)
ketakstabilan emosi (Duke and Norwicki, 1979). Sedangkan, faktor-faktor yang berasal dari
luar diri sendiri adalah: (1) gangguan psikososial keluarga (Sofyan S. Willis, 1995), (2)
lemahnya hukum terhadap pengedar dan pengguna narkoba, (3) lemahnya sistem sekolah
termasuk bimbingan dan konseling (BK), serta yang terpenting (4) lemahnya pendidikan
agama
para
siswa
sekolah
(Sofyan
S.Willis,
2001).
Meluasnya narkoba di Indonesia terutama di kalangan generasi muda karena didukung oleh
faktor budaya global. Budaya global dikuasai oleh budaya Barat (baca Amerika Serikat) yang
mengembangkan pengaruhnya melalui layar TV, VCD, dan film-film. Ciri utama budaya
tersebut amat mudah ditiru dan diadopsi oleh generasi muda karena sesuai dengan kebutuhan
dan selera muda. Penetrasi budaya Barat ke Indonesia mudah sekali diamati melalui
pergaulan anak-anak muda kota (AMK). Ciri pergaulan AMK adalah bebas, konsumtif, dan
haus akan segala macam mode yang datang dari AS (Abdullah N. Ulwan, 1993). Jika pakaian
para artis di TV buka-bukaan, dan bahkan mengkonsumsi narkoba, maka AMK pun
menirunya.
Maraknya narkoba berkaitan pula dengan budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dari
para pejabat negara, sehingga narkoba mudah beredar. Akibat KKN hukum di negeri ini tidak
berfungsi,
sering
pengedar
narkoba
hanya
dihukum
ringan
saja.
Berbagai upaya untuk mengatasi berkembangnya pecandu narkoba telah dilakukan, namun
terbentur pada lemahnya hukum. Beberapa bukti lemahnya hukum terhadap narkoba adalah
sangat ringan hukuman bagi pengedar dan pecandu, bahkan minuman beralkohol di atas 40
persen (minol 40 persen) banyak diberi kemudahan oleh pemerintah. Sebagai perbandingan,
di Malaysia jika kedapatan pengedar atau pecandu membawa dadah 5 gr ke atas maka orang
tersebut
akan
dihukum
mati
(Republika,
25-5-2001).
1.2
Tujuan
Studi
Kasus
Penanganan kasus pecandu narkoba yang di Indonesia dilakukan dengan hanya pendekatan
medis dan/atau spiritual, seperti di Pesantren Suryalaya Tasikmalaya, ternyata kurang
membawa hasil yang memuaskan, karena setelah penanganan tersebut klien hidup di
masyarakat dan kembali kecanduan. Masalahnya, pada diri klien belum terbentuk pertahanan
diri untuk melawan godaan dari kelompok lamanya. Pertahanan diri bisa berbentuk melalui
kesadaran klien terhadap bahaya narkoba bagi dirinya dan generasi muda lainnya. Indikator
lain adalah tumbuh kemampuan dengan rasa tanggung jawab untuk mengkampanyekan
bahaya
narkoba
kepada
masyarakat,
khususnya
generasi
muda.
Tujuan studi kasus ini adalah untuk mengungkapkan secara jelas dan sistematik mengenai
penanganan kasus narkoba yang dialami seorang klien bernama FR, melalui metode
Konseling Terpadu, yaitu perpaduan berbagai pendekatan konseling. Dengan metode
Konseling Terpadu diharapkan klien akan berubah perilakunya yaitu: (a) munculnya sikap
anti narkoba, (b) menjauhi teman-teman lama yang masih kecanduan, (c) mencintai keluarga,
(d) kembali bekerja sebagai layaknya orang-orang normal, dan (e) mendekatkan diri kepada
Tuhan.
1.3
Kajian
Literatur
Upaya pemulihan (recovery) pecandu narkoba secara medis dan psikologis di negara kita
pada umumnya berpedoman pada cara-cara yang dilakukan Amerika Serikat. Di negara itu
sejak tahun 60-an telah ada beberapa panti rehabilitasi. Panti rehabilitasi yang terkemuka
adalah St. Marys Hospital and Rehabilitation Center (SHRC), Minneapolis, Minnesota. Pada
tahun 1967 panti rehabilitasi itu hanya memiliki 16 tempat tidur, namun 9 tahun kemudian
panti tersebut telah memiliki 112 tempat tidur. Hal ini berarti, telah terjadi peningkatan
pecandu
secara
berarti
setiap
tahun.
Model pemulihan yang ada saat ini sangat berorientasi medis dan psikologis. Artinya, pada
tahap awal pecandu dibawa ke Rumah Sakit Ketergantungan Obat atau RSKO (Mann, 1979).
Mengenai
hal
itu
Mann
(1979)
berkomentar
sebagai
berikut.
There are still many places in our society where the typical approach to the disease of
chemical dependency is to admit the individual patient into a hospital for detoxification;
institute nutrition and vitamin therapy; prescribe mood-controlling medications; and than
put the patient back on the street, back home, or back on the job, and back to destructive
drinking.
Sebagai seorang dokter medis, Mann menyangsikan keampuhan RSKO bagi pemulihan total
(total recovery) pasien dengan layanan detoksifikasi, terapi nutrisi/vitamin, dan memberi obat
pengendalian emosi pasien. Mann memuji pendekatan Panti St. Marys Hospital and
Rehabilitation Center (SHRC) karena disana pasien tidak hanya disembuhkan melalui
pendekatan pengobatan, akan tetapi juga pendekatan rehabilitasi psikologis, sosial,
intelektual,
spiritual,
dan
fisik.
2.Metode
Penanganan
Kasus
Konseling Terpadu (KT) adalah upaya memberikan bantuan kepada klien kecanduan narkoba
dengan menggunakan beragam pendekatan konseling dan memberdayakan klien terhadap
lingkungan sosial agar klien segera menjadi anggota masyarakat yang normal, bermoral, dan
dapat menghidupi diri dan keluarga. Syarat utama KT adalah klien telah selesai dengan
program
detoxification
dari
RSKO.
Dari penjelasan di atas ada dua hal penting yang harus mendapat penekanan untuk upaya
recovery klien. Ragam pendekatan konseling yang diterapkan pada KT adalah sebagai
berikut.
2.1
Konseling
Individual
(KI)
Penerapan KI adalah upaya membantu klien oleh konselor secara individual dengan
mengutamakan hubungan konseling antara konselor dengan klien yang bernuansa emosional,
sehingga besar kepercayaan klien terhadap konselor. Pada gilirannya klien akan bicara jujur
membuka rahasia batinnya (disclosure) yang selama ini tidak pernah dikemukakan kepada
orang lain termasuk keluarga (Ivey & Downing, 1980). KI bertujuan menanamkan
kepercayaan diri klien atas dasar kesadaran diri untuk: (1) tidak menyalahkan orang lain atas
kecerobohan dan kesalahannya mengkonsumsi narkoba, (2) menumbuhkan kesadaran untuk
mengambil tanggung jawab atas perbuatannya yang destruktif yang dilakukan selama ini
dengan menerima segala akibatnya (seperti: keluar dari sekolah/kuliah, kehilangan pekerjaan,
dijauhi orang-orang yang dicintai, dsb), (3) menerima realita hidup dengan jujur, (4)
membuat rencana-rencana hidup secara rasional dan sistematik untuk keluar dari cengkraman
setan narkoba dan menjadi manusia yang baik, dan (5) menumbuhkan keinginan dan
kepercayaan diri untuk melaksanakan rencana hidup tersebut (Dyere & Vriend, 1977).
Jika seorang konselor menguasai pendidikan agama, akan lebih baik KI diiringi dengan
ajaran-ajaran agama seperti penyerahan diri kepada Allah, menerima cobaan hidup dengan
tawakal, taat ibadah, dan berbuat baik terhadap sesama. Jika konselor tidak menguasai soal
agama, konselor harus memasukkan seorang ahli agama kedalam tim konselor.
Prosedur Konseling Individual adalah sebagai berikut: (a) konselor menciptakan hubungan
konseling yang menumbuhkan kepercayaan klien terhadap konselor, sehingga klien menjadi
jujur dan terbuka, bersedia mengatakan segala isi hati dan rahasia pribadi berkaitan dengan
kecanduannya. Hal ini disebabkan oleh sikap empati, hangat, terbuka, memahami, dan asli
(genuine) dari konselor, serta memiliki kemampuan-kemampuan teknik konseling yang baik
(Sofyan S. Willis 1995), (b) konselor membantu klien agar dia mampu memahami diri dan
masalahnya. Kemudian ia bersedia bersama konselor untuk menemukan jalan keluar atas
kekacauan dirinya sehingga membuat keluarga klien menderita karena merasa malu,
mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, dan memungkinkan sekolah adik-adiknya terganggu,
(c) konselor membantu klien untuk memahami dan mentaati rencana atau program yang telah
disusun konselor. Selanjutnya, klien siap untuk melaksanakan program tersebut.
2.2
Bimbingan
Kelompok
(BKL)
Bimbingan kelompok bertujuan memberi kesempatan klien untuk berpartisipasi dalam
memberi ceramah dan diskusi dengan berbagai kelompok masyarakat seperti mahasiswa,
sarjana, tokoh-tokoh masyarakat, guru-guru BK di sekolah, para siswa, anggota DPR, ibu-ibu
pengajian, dan sebagainya. Melalui interpersonal relation, akan tumbuh kepercayaan diri
klien
(Yalom,
1985).
Prosedur BKL yang menjadikan klien sebagai figur sentral meliputi: (a) Mempersiapkan
mental klien untuk berani tampil menyampaikan kisah kasusnya, dan selanjutnya berdiskusi
dengan peserta. Jumlah peserta yang ideal paling banyak 10 orang; (b) Mempersiapkan
materi yang akan disampaikan klien kepada peserta diskusi yaitu penjelasan tentang identitas
diri dan kisah panjang tentang proses kecanduan sejak awal hingga saat ini beserta upayaupaya penyembuhan yang telah dilaluinya; (c) Mempersiapkan peserta agar mempunyai
minat untuk berdiskusi dengan klien pecandu narkoba, dan tidak segan-segan mengeritik dan
memberi masukan; (d) Mempersiapkan daftar hadir peserta dan kamera photo.
Dengan berdiskusi dengan beragam kelompok, diharapkan klien akan makin meningkat
kepercayaan diri untuk hidup normal dan juga tumbuh sikap kepemimpinan diri, keluarga,
dan masyarakat, sehingga setelah melakukan konseling klien menjadi orang yang berguna.
Pelajaran dari ceramah dan diskusi yang dilakukan klien secara terus menerus akan
mendewasakan klien sehingga menjadi kuat kepribadian untuk menjadi anggota masyarakat.
2.3
Konseling
Keluarga
(KK)
Untuk membantu secepatnya pemulihan (recovery) klien narkoba, amat diperlukan dukungan
keluarga seperti ayah, ibu, saudara, istri, suami, pacar, dan keluarga dekat lainnya. Fasilitator
konseling keluarga adalah konselor, sedangkan pesertanya adalah klien, orang tua, saudara,
suami/istri, dan sebagainya. Nuansa emosional yang akrab harus mampu diciptakan oleh
konselor agar terjadi keterbukaan klien terhadap keluarga, sebaliknya anggota keluarga
mempunyai rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap pemulihan klien. Dampaknya adalah
tumbuh rasa aman, percaya diri, dan rasa tanggung jawab klien terhadap diri dan keluarga.
Untuk mencapai keberhasilan KK maka prosedur yang harus ditempuh adalah sebagai
berikut:
1. Menyiapkan mental klien narkoba untuk menghadapi anggota keluarga. Alasannya
karena ada sebagian anggota keluarga yang jengkel, marah, dan bosan dengan
kelakuan klien yang mereka anggap amat keterlaluan, merusak diri, mencemarkan
nama keluarga, dan biaya keluar jadi besar untuk pemulihan. Mempersiapkan mental
klien berarti dia harus berani menerima kritikan-kritikan anggota keluarga dan siap
untuk berubah kepada kebaikan sesuai harapan keluarga.
2. Memberi kesempatan kepada setiap anggota keluarga untuk menyampaikan perasaan
terpendam, kritikan-kritikan, dan perasaan-perasaan negatif lainnya terhadap klien. Di
samping itu, ada kesempatan untuk memberi saran-saran, pesan, keinginan-keinginan
terhadap klien agar dia berubah. Semuanya bertujuan untuk menurunkan stres
keluarga sebagai akibat kelakuan klien sebagai anggota keluarga yang dicintai (Horne
& Ohlsen, 1982).
untuk
:
di
Menolong
Untuk
Sekolah
UKSW
Mei
Siswa
Yang
Bimbingan
Menengah.
Slameto
salatiga
2002
Kurang
PD
Konseling.
Lia (bukan nama sebenarnya) adalah siswa kelas I SMU Favorit Salatiga yang
barusan naik kelas II. Ia berasal dari keluarga petani yang terbilang cukup secara sosial
ekonomi di desa pedalaman + 17 km di luar kota Salatiga, sebagai anak pertama semula
orang tuanya berkeberatan setamat SLTP anaknya melanjutkan ke SMU di Salatiga; orang tua
sebetulnya berharap agar anaknya tidak perlu susah-sudah melanjutkan sekolah ke kota, tapi
atas bujukan wali kelas anaknya saat pengambilan STTB dengan berat merelakan anaknya
melanjutkan sekolah. Pertimbangan wali kelasnya karena Lia terbilang cerdas diantara
teman-teman yang lain sehingga wajar jika bisa diterima di SMU favorit. Sejak diterima di
SMU favorit di satu fihak Lia bangga sebagai anak desa toh bisa diterima, tetapi di lain fihak
mulai minder dengan teman-temannya yang sebagian besar dari keluarga kaya dengan pola
pergaulan yang begitu beda dengan latar belakang Lia. Ia menganggap teman-teman dari
keluarga kaya tersebut sebagai orang yang egois, kurang bersahabat, pilih-pilih teman yang
sama-sama dari keluarga kaya saja, dan sombong. Makin lama perasaan ditolak, terisolik, dan
kesepian makin mencekam dan mulai timbul sikap dan anggapan sekolahnya itu bukan untuk
dirinya tidak krasan, tetapi mau keluar malu dengan orang tua dan temannya sekampung;
terus bertahan, susah tak ada/punya teman yang peduli. Dasar saya anak desa, anak miskin
(dibanding teman-temannya di kota) hujatnya pada diri sendiri. Akhirnya benar-benar
menjadi anak minder, pemalu dan serta ragu dan takut bergaul sebagaimana mestinya. Makin
lama nilainya makin jatuh sehingga beban pikiran dan perasaan makin berat, sampai-sampai
ragu apakah bisa naik kelas atau tidak.
MEMAHAMI
LIA
DALAM
PERSPEKTIF
RASIONAL
EMOTIF
Menurut pandangan rasional emotif, manusia memiliki kemampuan inheren untuk berbuat
rasional ataupun tidak rasional, manusia terlahir dengan kecenderungan yang luar biasa
kuatnya berkeinginan dan mendesak agar supaya segala sesuatu terjadi demi yang terbaik
bagi kehidupannya dan sama sekali menyalahkan diri sendiri, orang lain, dan dunia apabila
tidak segera memperoleh apa yang diinginkannya. Akibatnya berpikir kekanak-kanakan
(sebagai hal yang manunusiawi) seluruh kehidupannya, akhirnya hanya kesulitan yang luar
biasa besar mampu mencapai dan memelihara tingkah laku yang realistis dan dewasa; selain
itu manusia juga mempunyai kecenderungan untuk melebih-lebihkan pentingnya penerimaan
orang lain yang justru menyebabkan emosinya tidak sewajarnya seringkali menyalahkan
dirinya sendiri dengan cara-cara pembawaannya itu dan cara-cara merusak diri yang
diperolehnya. Berpikir dan merasa itu sangat dekat dan dengan satu sama lainnya : pikiran
dapat menjadi perasaan dan sebaliknya; Apa yang dipikirkan dan atau apa yang dirasakan
atas sesuatu kejadian diwujudkan dalam tindakan/perilaku rasional atau irasional. Bagaimana
tindakan/perilaku itu sangat mudah dipengaruhi oleh orang lain dan dorongan-doronan yang
kuat untuk mempertahankan diri dan memuaskan diri sekalipun irasional.
Ciri-ciri irasional seseorang tak dapat dibuktikan kebenarannya, memainkan peranan Tuhan
apa saja yang dimui harus terjadi, mengontrol dunia, dan jika tidak dapat melakukannya
dianggap goblok dan tak berguna; menumbuhkan perasaan tidak nyaman (seperti kecemasan)
yang sebenarnya tak perlu, tak terlalu jelek/memalukan namun dibiarkan terus berlangsung,
dan menghalangi seseorang kembai ke kejadian awal dan mengubahnya. Bahkan akhirnya
menimbulkan perasaan tak berdaya pada diri yang bersangkutan. Bentuk-bentuk
pikiran/perasaan irasional tersebut misalnya : semua orang dilingkungan saya harus
menyenangi saya, kalau ada yang tidak senang terhadap saya itu berarti malapetaka bagi
saya. Itu berarti salah saya, karena saya tak berharga, tak seperti orang/teman-teman lainnya.
Saya pantas menderita karena semuanya itu.
Sehubungan dengan kasus, Lia sebetulnya terlahir dengan potensi unggul, ia menjadi
bermasalah karena perilakunya dikendalikan oleh pikiran/perasaan irasional; ia telah
menempatkan harga diri pada konsep/kepercayaan yang salah yaitu jika kaya, semua teman
memperhatikan / mendukung, peduli, dan lain-lain dan itu semua tidak ada/didapatkan sejak
di SMU, sampai pada akhirnya menyalahkan dirinya sendiri dengan hujatan dan penderitaaan
serta mengisolir dirinya sendiri. Ia telah berhasil membangun konsep dirinya secara tidak
realistis berdasarkan anggapan yang salah terhadap (dan dari) teman-teman lingkungannya. Ia
menjadi minder, pemalu, penakut dan akhirnya ragu-ragu keberhasilan/prestasinya kelak
yang sebetulnya tidak perlu terjadi.
TUJUAN
DAN
TEKNIK
KONSELING
Jika pemikiran Lia yang tidak logis / realistis (tentang konsep dirinya dan pandangannya
terhadap teman-temannya) itu diperangi maka dia akan mengubahnya. Dengan demikian
tujuan konseling adalah memerangi pemikiran irasional Lia yang melatar-belakangi ketakutan
/ kecematannya yaitu konsep dirinya yang salah beserta sikapnya terhadap teman lain. Dalam
konseling konselor lebih bernuansa otoritatif : memanggil Lia, mengajak berdiskusi dan
konfrontasi langsung untuk mendorongnya beranjak dari pola pikir irasional ke rasional /
logis dan realistis melalui persuasif, sugestif, pemberian nasehat secara tepat, terapi dengan
menerapkan prinsip-prinsip belajar untuk PR serta bibliografi terapi.
Konseling kognitif : untuk menunjukkan bahwa Lia harus membongkar pola pikir irasional
tentang konsep harga diri yang salah, sikap terhadap sesama teman yang salah jika ingin lebih
bahagia dan sukses. Konselor lebih bergaya mengajar : memberi nasehat, konfrontasi
langsung dengan peta pikir rasional-irasoonal, sugesti dan asertive training dengan simulasi
diri menerapkan konsep diri yang benar dan sikap/ketergantungan pada orang lain yang
benar/rasional dilanjutkan sebagai PR melatih, mengobservasi dan evaluasi diri. Contoh :
mulai dari seseorang berharga bukan dari kekayaan atau jumlah dan status teman yang
mendukung, tetapi pada kasih Allah dan perwujudanNya. Allah mengasihi saya, karena saya
berharga dihadiratNya. Terhadap diri saya sendiri suatu saat saya senang, puas dan bangga,
tetapi kadang-kadang acuh-tak acuh, bahkan adakalanya saya benci, memaki-maki diri saya
sendiri, sehingga wajar dan realistis jika sejumlah 40 orang teman satu kelas misalnya ada +
40% yang baik, 50% netral, hanya 10% saja yang membeci saya. Adalah tidak mungkin
menuntut semua / setiap orang setiap saat baik pada saya, dan seterusnya. Ide-ide ini
diajarkan, dan dilatihkan dengan pendekatan ilmiah.
Konseling emotif-evolatif untuk mengubah sistem nilai Lia dengan menggunakan teknik
penyadaran antara yang benar dan salah seperti pemberian contoh, bermain peran, dan
pelepasan beban agar Lia melepaskan pikiran dan perasaannya yang tidak rasional dan
menggantinya dengan yang rasional sebagai kelanjutan teknik kognitif di atas. Konseling
behavioritas digunakan untuk mengubah perilaku yang negatif dengan merobah akar-akar
keyakinan Lia yang irasional/tak logis kontrak reinforcemen, sosial modeling dan
relaksasi/meditasi.
PENUTUP
Teori ini dalam menolong menggunakan pendekatan direct menggunakan nasehat yang
ditandai oleh menyerang masalah dengan intektual dan meyakinkan (koselor). Tekniknya
jelas, teliti, makin melihat/menyadari pikiran dan kata-kata yang terus menerus ditujukan
kepada diri sendiri, yang membawa kehancuran kepada diri sendiri. Cara konselor ialah
dengan pendekatan yang tegas, memintakan perhatian kepada pikiran-pikiran yang menjadi
sebab gangguan itu dan bagaimana pikiran dan kalimat itu beroperasi hingga membawa
akibat yang merugikan. Konselor selanjutnya menolong dia untuk memikir kembali,
menantang, mendebat, menyebutkan kembali kalimat-kalimat yang merugikan itu, dan
dengan cara demikian ia membawa klien ke kesadaran dan tilikan baru. Tetapi tilikan dan
kesadaran tidak cukup. Ia harus dilatih untuk berpikir dan berkata kepada diri sendiri hal-hal
yang lebih positive dan realistik. Terapis mengajar klien untuk berpikir betul dan bertindak
efektif. Teknik yang dipakai bersifat eklektif dengan pertimbangan :
1. Ekonomis dari segi waktu baik bagi konselor maupun konseli.
2. Efektifitas teknis-teknis yang dipakai cocok untuk bermacam ragam konseli.
3. Kesegaran hasil yang dicapai.
4. Kedalaman dan tanah lama serta dapat dipakai konseli untuk mengkonseling dirinya
sendiri kalah.
dilibatkan dalam konferensi kasus. Begitu juga, setiap pembicaraan yang muncul dalam
konferensi kasus bersifat rahasia dan hanya untuk diketahui oleh para peserta konferensi.
Konferensi kasus bukanlah sejenis sidang pengadilan yang akan menentukan hukuman bagi
siswa. Misalkan, konferensi kasus untuk membahas kasus narkoba yang dialami siswa X.
Keputusan yang diambil dalam konferensi bukan bersifat mengadili siswa yang
bersangkutan, yang ujung-ujungnya siswa dipaksa harus dikeluarkan dari sekolah, akan tetapi
konferensi kasus harus bisa menghasilkan keputusan bagaimana cara terbaik agar siswa
tersebut bisa sembuh dari ketergantungan narkoba.
B. Tujuan
Secara umum, tujuan diadakan konferensi kasus yaitu untuk mengusahakan cara yang terbaik
bagi pemecahan masalah yang dialami siswa (konseli) dan secara khusus konferensi kasus
bertujuan untuk:
1. mendapatkan konsistensi, kalau guru atau konselor ternyata menemukan berbagai
data/informasi yang dipandang saling bertentangan atau kurang serasi satu sama lain
(cross check data)
2. mendapatkan konsensus dari para peserta konferensi dalam menafsirkan data yang
cukup komprehensif dan pelik yang menyangkut diri siswa (konseli) guna
memudahkan pengambilan keputusan
3. mendapatkan pengertian, penerimaan, persetujuan dari komitmen peran dari para
peserta konferensi tentang permasalahan yang dihadapi siswa (konseli) beserta upaya
pengentasannya.
C. Prosedur
Konferensi kasus dapat ditempuh melalui langkah-langkah sebagai berikut:
1. Kepala sekolah atau Koordinator BK/Konselor mengundang para peserta konferensi
kasus, baik atas insiatif guru, wali kelas atau konselor itu sendiri. Mereka yang
diundang adalah orang-orang yang memiliki pengaruh kuat atas permasalahan
dihadapi siswa (konseli) dan mereka yang dipandang memiliki keahlian tertentu
terkait dengan permasalahan yang dihadapi siswa (konseli), seperti: orang tua, wakil
kepala sekolah, guru tertentu yang memiliki kepentingan dengan masalah siswa
(konseli), wali kelas, dan bila perlu dapat menghadirkan ahli dari luar yang
berkepentingan dengan masalah siswa (konseli), seperti: psikolog, dokter, polisi, dan
ahli lain yang terkait.
2. Pada saat awal pertemuan konferensi kasus, kepala sekolah atau konselor membuka
acara pertemuan dengan menyampaikan maksud dan tujuan dilaksanakan konferensi
kasus dan permintaan komitmen dari para peserta untuk membantu mengentaskan
A. Konsep Dasar:
1. Manusia sebagai makhluk hidup yang dapat menentukan sendiri apa yang ia
kerjakan dan yang tidak dia kerjakan, dan bebas untuk menjadi apa yang ia
inginkan. Setiap orang bertanggung jawab atas segala tindakannya.
2. Manusia tidak pernah statis, ia selalu menjadi sesuatu yang berbeda, oleh
karena itu manusia mesti berani menghancurkan pola-pola lama dan mandiri
menuju aktualisasi diri
3. Setiap orang memiliki potensi kreatif dan bisa menjadi orang kreatif.
Kreatifitas merupakan fungsi universal kemanusiaan yang mengarah pada
seluruh bentuk self expression.
B. Asumsi Perilaku Bermasalah
Gangguan jiwa disebabkan karena individu yang bersangkutan tidak dapat
mengembangkan potensinya. Dengan perkataan lain, pengalamannya
tertekan.
C. Tujuan Konseling
1. Mengoptimalkan kesadaran individu akan keberadaannya dan menerima
keadaannya menurut apa adanya. Saya adalah saya
2. Memperbaiki dan mengubah sikap, persepsi cara berfikir, keyakinan serta
pandangan-pandangan individu, yang unik, yang tidak atau kurang sesuai
dengan dirinya agar individu dapat mengembangkan diri dan meningkatkan
self actualization seoptimal mungkin.
3. Menghilangkan hambatan-hambatan yang dirasakan dan dihayati oleh
individu dalam proses aktualisasi dirinya.
4. Membantu individu dalam menemukan pilihan-pilihan bebas yang mungkin
dapat dijangkau menurut kondisi dirinya.
D. Deskripsi Proses Konseling
1. Adanya hubungan yang akrab antara konselor dan konseli.
2. Adanya kebebasan secara penuh bagi individu untuk mengemukakan
problem dan apa yang diinginkannya.
3. Konselor berusaha sebaik mungkin menerima sikap dan keluhan serta
perilaku individu dengan tanpa memberikan sanggahan.
4. Unsur menghargai dan menghormati keadaan diri individu dan keyakinan
akan kemampuan individu merupakan kunci atau dasar yang paling
menentukan dalam hubungan konseling.
5. Pengenalan tentang keadaan individu sebelumnya beserta lingkungannya
sangat diperlukan oleh konselor.
E. Teknik-Teknik Konseling
Teknik yang dianggap tepat untuk diterapkan dalam pendekatan ini yaitu
teknik client centered counseling, sebagaimana dikembangkan oleh Carl R.
Rogers. meliputi: (1) acceptance (penerimaan); (2) respect (rasa hormat); (3)
understanding (pemahaman); (4) reassurance (menentramkan hati); (5)
encouragement (memberi dorongan); (5) limited questioning (pertanyaan
terbatas; dan (6) reflection (memantulkan pernyataan dan perasaan).
Melalui penggunaan teknik-teknik tersebut diharapkan konseli dapat (1)
memahami dan menerima diri dan lingkungannya dengan baik; (2) mengambil
keputusan yang tepat; (3) mengarahkan diri; (4) mewujudkan dirinya.
Sumber:
Sayekti. 1997. Berbagai Pendekatan dalam Konseling. Yogyakarta: Menara
Mass Offset
Sofyan S. Willis. 2007. Konseling Individual; Teori dan Praktek. Bandung:
Alfabeta.