Anda di halaman 1dari 48

BAB IV

DAYA DUKUNG SUNGAI

4.1.

PENCEMARAN SUNGAI
Setiap segmen sungai mempunyai karakteristik masing-masing, karena

masing-masing kualitas air mempunyai kemampuan menyerap zat, energi dan atau
komponen lain yang masuk atau dimasukkan di dalamnya.
Beban komponen pencemar yang ada di sungai adalah banyaknya komponen
pencemar yang dihitung berdasarkan debit dikalikan dengan konsentrasi komponen
pencemar yang terukur.

Kajian yang menyangkut jenis limbah cair dan sumber

limbah serta parameter-parameter utama yang biasanya menyebabkan terjadi


pencemaran dalam limbah cair yaitu : Total Suspended Solid (TSS), Biological
Oxygen Demand (BOD), Chemical Oxygen Demand (COD), Amoniak-Nitrogen dan
lain-lain.
Kualitas air ditentukan oleh banyak faktor, yaitu zat yang terlarut, zat padat
yang tersuspensi dan makhluk hidup dalam air membuat kualitas air menjadi tidak
sesuai untuk kehidupan manusia yang berarti air telah tercemar.
Pada dasarnya peristiwa pencemaran air mempunyai beberapa komponen
pokok, yaitu:
a. Lingkungan yang terkena adalah lingkungan hidup manusia
b. Yang terkena dampak adalah manusia dan makhluk hidup lainnya
c. Di dalam lingkungan tersebut terdapat bahan berbahaya yang juga disebabkan
oleh aktivitas manusia
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 1990, pencemaran air
selalu berarti turunnya kualitas air sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air
tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya.
Dan sungai dianggap tercemar apabila nilai oksigen yang terlarut di dalam air
sungai (Dissolved Oxygen) kurang dari nilai oksigen yang digunakan oleh makhluk

IV - 1

hidup air terutama mikroorganisme dalam bentuk Oksigen Biokimia (BOD) bagi
pengurangan bahan-bahan organik di dalam air tersebut.
Penyebab terjadinya pencemaran air sungai adalah sebagai berikut :
1. Pertambahan Penduduk
2. Aktivitas Pertanian dan Peternakan
3. Aktivitas Perindustrian
Pencemaran dapat diakibatkan oleh polutan toksik dan polutan konvensional,
seperti terlihat pada tabel 4.1.
Tabel 4.1. Polutan toksik dan polutan konvensional
No

Polutan Toksik

1
Cadmium
2
Copper
3
Lead
4
Mercury
5
Phenol
6
Total Residual Chloride
Note : BOD*) (Biological Oxygen Demand )
adalah kebutuhan oksigen yang digunakan
limbah.

Polutan Konvensional
Amoniak
BOD
Nitrogen dan Nitrat
Pathogen
Phosphorus
Suspended Solids
untuk mereduksi zat organik dalam air

Masalah pencemaran air sungai muncul setelah terjadinya peningkatan


sektor-sektor industri yang pada awalnya diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup
masyarakat. Akan tetapi dengan munculnya industri-industri, efek limbah menjadi
bermunculan. Limbah tersebut dapat berupa limbah padat (solid waste), limbah cair
(liquid waste) maupun limbah gas (gaseous waste). Ketiga jenis limbah ini dapat
dikeluarkan sekaligus ataupun secara terpisah oleh industri sesuai dengan proses
produksi yang berlangsung.
Dari uraian seperti di atas, berarti pencemaran air diakibatkan oleh :
1. Efluen penyaluran air limbah dan air hujan
2. Pencemaran termal
3. Eutrofikasi
4. Minyak atau petroleum
5. Polutan fecal
6. Presipitasi asam
7. Discharge dari penyaluran limbah industri
8. Run-off air dari permukiman kota
9. Dari pertanian : pestisida dan pupuk
10. Substansi radioaktif dan logam berat

IV - 2

Pembuangan limbah tersebut memberikan dampak negatif tidak langsung bagi


lingkungan penerimanya, yaitu:
a. Membahayakan kesehatan manusia karena dapat menimbulkan penyakit
b. Merugikan segi ekonomi karena dapat menimbulkan kerusakan pada lingkungan
atau benda/bangunan maupun tanaman dan peternakan
c. Dapat merusak atau membunuh kehidupan yang ada di dalam air seperti ikan dan
binatang lainnya
d. Dapat merusak keindahan (estetika) karena bau busuk dan pemandangan yang
tidak sedap terutama di daerah hilir sungai
Ada beberapa kegiatan yang dinilai dapat mengendalikan terjadinya
pencemaran di suatu badan air.

Pengendalian pencemaran air dapat berupa

kegiatan yang mencakup:


a. Inventarisasi kualitas dan kuantitas air pada sumber air menurut sistem wilayah
tata pengairan
b. Penetapan golongan air menurut peruntukannya, baku mutu air dan baku beban
pencemaran unuk golongan air tersebut.
c. Penetapan mutu limbah cair yang boleh dibuang olah setiap kegiatan ke dalam air
pada sumber air dan pemberian izin pembuangannya.
d. Pemantauan perubahan kualitas air pada sumber air dan mengevaluasi hasilnya.
e. Pengawasan terhadap penataan peraturan pengendalian pencemaran air,
termasuk penataan mutu limbah cair serta penegakan hukumnya.
Untuk mengukur tingkat pencemaran di suatu badan air, secara umum dapat
dikelompokkan dalam 3 cara utama, yaitu:
1. Secara Fisika
Pencemaran diukur dengan menggunakan parameter warna, suhu, bau,
kekeruhan dan melalui zat padat yang tersuspensi.
2. Secara Kimia
Parameter dan standar yang ditetapkan WHO adalah seperti tabel 4.2.
Tabel 4.2. Standar WHO untuk parameter kualitas air
No
1.
2
3
4
5
6
7

Parameter
Oksigen Terlarut (DO), mg/L
Kekeruhan
PH
Zat Padat Tersuspensi, mg/L
Zat Padat Terlarut, mg/L
Warna (Pt-Co)
Kesadahan (mg/L CaCO3)

Standar WHO
7,6
2,5 5,0
5 8,5
1500
200
75
Maksimum 500
IV - 3

3. Secara Biologis
Menggunakan kehadiran organisme indikator untuk menentukan kemungkinan
kehadiran mikro organisma patogen dan pencemaran.

Seperti contohnya :

Escherichia Coli
Pencemaran badan air baik itu berasal dari limbah industri maupun limbah
domestik dapat berpengaruh secara langsung terhadap badan air itu sendiri maupun
lingkungan sekitarnya (Daerah Aliran Sungai).

Adapun dampak dari pencemaran

sungai adalah sebagai berikut:


1. Perubahan Kualitas Air Sungai
Pencemaran yang terus menerus akan mempengaruhi kualitas air sungai dan
dapat mengakibatkan petani tambak atau petani perikanan darat menghadapi
ancaman pendapatan akibat berkurangnya hasil panennya.
2. Pemusnahan Kehidupan Air
Kehidupan air seperti flora dan fauna akan musnah akibat pencemaran sungai
oleh logam toksik dari limbah industri.

Ini kerap terjadi di kawasan-kawasan

industri di mana lumpur yang dibuang banyak mengandung bahan-bahan toksik


dari sisa-sisa proses.
3. Hilangnya Potensi Pembangunan
Hilang potensi daerah aliran sungai sebagai tempat rekreasi, tambak, sawah,
perumahan dan lain-lain.
4. Peningkatan Biaya Pengolahan Air
Biaya yang diperlukan untuk pengolahan air bagi kegunaan PDAM atau domestik
menjadi tinggi
5. Banjir
Pencemaran sungai tidak hanya menimbulkan perubahan kualitas air sungai
akan tetapi dapat juga mengurangi kuantitas air sungai akibat terjadi endapan baik itu
pada sungai yang lebar maupun yang sempit.
Air limbah adalah air yang sudah tidak dipergunakan lagi untuk berbagai
keperluan, harus dikumpulkan dan dibuang untuk menjaga hidup yang sehat dan baik
(Novita. E, 2000).

Air limbah industri yang mengandung : COD yang sulit

terdegradasi dalam jumlah yang biasanya sekitar 500 mg/L, jumlah nitrogen dan
fosfor sangat sedikit, dan juga tidak jarang mengandung zat toksik dan logam berat,
memerlukan pengolahan terlebih dahulu sebelum dibuang ke sungai. Disamping itu

IV - 4

apabila air limbah industri secara terus menerus dibuang ke sungai tanpa diolah akan
dapat mengurangi daya dukung sungai dan menyebabkan kondisi sungai semakin
buruk akibat self purification sungai sulit terjadi, perubahan morfologi sungai atau
pendangkalan sungai akibat sedimen polutan dan mengakibatkan banjir.
Untuk itu perlu dipikirkan penetapan teknologi yang sesuai dan yang akan
diterapkan untuk mereduksi zat-zat tersebut. Sebagai contoh kasus yang dijelaskan
Hadi W. (1993) bahwa jumlah industri di sepanjang Kali Brantas

dan dianggap

potensial sebagai sumber pencemar kurang lebih 95 buah. Dari jumlah tersebut yang
masuk ke dalam program PROKASIH hanyalah 57 buah. Beban limbah industri yang
dibuang ke dalam sungai pada tahun terus meningkat, seperti dari tahun 1993 -1994
sebesar 34,56 - 77,92 %, akan dapat semakin memperburuk kualitas sungainya.
4.2.

PENANGANAN PENCEMARAN SUNGAI


Adapun pemecahan masalah pencemaran harus dilakukan secara teknis dan

non teknis.

Dengan demikian penanganan limbah industri secara teknis dapat

dilakukan oleh masing-masing industri (Terangna, et al, 1995) dan dapat dilakukan
secara komunal (UPLK) menurut Hadi W. (1995), atau kedua-duanya untuk industri
yang membuang limbahnya yang bersifat toksik atau mengandung logam berat.
Limbah domestik yang sebagian besar mengandung COD yang mudah
terdegradasi, kandungan nitrogen dan fosfor tinggi, kandungan logam berat yang
hampir dikatakan tidak ada, juga merupakan sumber limbah yang amat sangat besar
memberikan kontribusi polutan ke sungai apalagi seperti Surabaya sebagai kota
metropolitan yang penduduknya berjuta-juta.

Oleh karena itu di samping limbah

industri, masyarakat pembuang limbah domestik pun perlu juga diberi aturan yang
sama dengan limbah industri.

Penanganannya juga meliputi penanganan secara

teknis dan non teknis. Penanganan dapat juga dilakukan dengan membuat UPLK
dan mengelola serta dilengkapi dengan tindakan mengelola saluran yang merupakan
nonpoint source yang bermuara ke sungai tersebut.
Air limbah pertanian pada umumnya dihasilkan dari aktivitas pemupukan dan
penyemprotan pestisida.

Untuk itu perlu diwaspadai parameter polutan yang ikut

dalam aliran air yang menuju ke sungai seperti polutan akibat penyemprotan
pestisida, nitrogen dan nitrat akibat dari pemupukan yang berlebih, didalam
merencanakan pengelolaannya.

IV - 5

Penanganan terhadap limbah pertanian tetap sama yaitu dilakukan secara


teknis dan non teknis, namun untuk penanganan secara teknis perlu dilakukan kajian
yang lebih dalam lagi terhadap kandungan parameter didalam limbahnya, apakah
penanganan limbahnya dapat dicampur dengan pengolahan limbah untuk domestik
atau tidak, karena limbah pertanian juga mengandung pestisida disamping nitrogen
dan nitrat.
Di samping pemecahan lewat pihak yang membuang limbah, pemecahan
masalah juga harus secara kontinu dilakukan oleh pihak yang melakukan monitoring
atau instansi-instansi yang bertugas mengelola sungai.

Tentunya pemecahan

permasalahannya lebih terfokuskan pada aspek non teknis dan yang bersifat teknis
hanyalah pelaksanaan pemecahannya saja.
Pemecahan masalah bagi pihak yang mengelola atau melakukan monitoring
sungai adalah sebagai berikut :
1. Melakukan pemantauan kualitas air dan sedimen sungai secara kontinyu
2. Melaksanakan penyuluhan atau sosialisasi akan bahaya limbah dan apa itu air
limbah
3. Menerapkan sistem award atau sistem insentif bagi semua pembuang limbah
4. Menerapkan penarikan retribusi pada setiap pembuang limbah ke sungai
5. Menerapkan sistem penegakan hukum Lingkungan
6. Memberlakukan dengan tegas persyaratan efluen dan stream standard untuk
sungai yang telah ditetapkan.
Pencemaran sungai diakibatkan oleh masuknya kontaminan ke dalam sungai
dan menimbulkan dampak negatif terhadap sungai tersebut.

Dan penyebab

bertambahnya sejumlah besar polutan atau limbah yang dibuang ke sungai, baik
yang berupa limbah yang bersifat toksik dan non toksik (konvensional), adalah akibat
adanya peningkatan: jumlah penduduk, aktivitas industri, aktivitas pertanian, aktivitas
peternakan, wilayah pemukiman.
Parameter yang terkandung di dalam limbah konvensional seperti amoniak,
BOD atau COD, nitrogen dan nitrat, organisme patogen, Fosfor, zat padat
tersuspensi, pada umumnya berasal dari limbah domestik (dari pemukiman), aktivitas
industri, aktivitas pertanian dan peternakan.
Dan yang termasuk limbah yang bersifat toksik dan mengandung logam berat,
diantaranya seperti cadmium, chromium, mercury, copper, lead, phenol, biasanya
berasal dari limbah industri.

IV - 6

Adapun dampak limbah baik yang konvensional maupun yang bersifat toksik
dan mengandung logam berat akan dapat menyebabkan : munculnya penyakit yang
ditularkan melalui air, timbulnya kerusakan lingkungan terutama aquatic life seperti
ikan dan hewan air lain termasuk juga flora air, menurunnya nilai estetika seperti
akibat bau busuk dan pemandangan tidak sedap seperti misalnya karena sepanjang
sungai sudah ditumbuhi enceng gondok, perubahan morfologi sungai karena
bertambahnya jumlah sedimen yang mengendap di dasar sungai.
Pemecahan permasalahan pencemaran sungai bukanlah suatu hal yang
mudah karena pemecahannya meliputi aspek teknis dan non teknis.

Dan untuk

mencari solusi dengan aspek teknis umumnya lebih mudah daripada aspek non
teknis karena aspek non teknis melibatkan unsur perilaku dari manusianya. Oleh
karena itu pemecahan yang harus dilakukan dalam menangani pencemaran sungai
adalah sebagai berikut :
1. Pemecahan Secara Teknis
2. Pemecahan Non Teknis
Kedua sistem ini harus diterapkan secara terpadu karena pemecahan teknis
tanpa disertai dengan pemecahan non teknis, pemecahan yang diinginkan tidak
dapat optimal, dan bahkan unit pengolahan yang dibuat hanya menjadi monumen
belaka.
Namun perlu diingat dalam melakukan pemecahan teknis pada item
pemantauan perlu hati-hati karena akurasi dari hasil pemantauan akan baik apabila
Penetapan lokasi titik pengambilan sampel limbah tepat dan analisis parameter yang
dilakukan di Laboratorium juga akurat .

Tentunya hal ini mempunyai banyak

keterkaitan, yaitu :
1. Penetapan Lokasi Titik Pengambilan Sampel
Penetapan lokasi titik pengambilan sampel terkait dengan morfologi, kecepatan,
besar aliran, parameter air limbah dan faktor lingkungan yang berpengaruh di
sungai tersebut.

Atau dapat juga didekati dengan melakukan identifikasi

penyebaran polutan.
2. Analisis Parameter, tergantung ketelitian analis yang menganalisa sampel air
limbah tersebut
Teori penyebaran polutan memberikan kontribusi awal di dalam membantu
memecahkan permasalahan pencemaran sungai.

Karena dengan mengetahui

penyebaran polutan di sungai akan dapat diprediksi kemana arah penyebaran suatu
polutan di sungai.

Dengan mengetahui penyebaran yang terjadi di sungai maka


IV - 7

dapat ditetapkan dimana akan dilakukan pengambilan sampel limbah tersebut. Di


samping itu dengan menggunakan teori penyebaran polutan dapat diketahui pula
pengurangan atau penambahan konsentrasi polutan di sungai.

4.3.

PARAMETER INDIKATOR PENCEMARAN AIR

4.3.1. Total Suspended Solid (Zat Padat Tersuspensi)


Dalam air alam dapat ditemui 2 (dua) kelompok zat padat yaitu zat padat
terlarut, seperti garam dan molekul organik, dan zat padat tersuspensi serta koloidal,
seperti tanah liat, pasir kwarsa. Menurut Alaert, G dan Sumestri, S (1987), perbedaan
antara 2 kelompok tersebut cukup jelas meskipun kadang-kadang batasan tersebut
tidak dapat dipastikan secara definitif.

Dalam kenyataan molekul organis polimer

tetap bersifat sebagai zat yang terlarut, walaupun panjangnya lebih dari 10 m
sedangkan untuk beberapa jenis zat padat koloidal mempunyai sifat dapat bereaksi
seperti sifat zat yang terlarut.
Seperti halnya ion-ion dan molekul-molekul (zat yang terlarut), Zat padat
koloidal dan zat padat tersuspensi dapat bersifat inorganis (tanah liat, kwarsa) dan
organis (protein,sisa tanaman, ganggang dan bakteri).
Dalam metode analisa zat padat menurut Alaert G dan Sumestri,S (1987), zat
padat total terdiri atas zat padat terlarut dan zat padat tersuspensi. Zat padat
tersuspensi adalah zat padat yang terapung dan selalu bersifat organik, dan zat padat
yang terendapkan yang dapat bersifat organik dan anorganik.
Dalam studi ini kajian lebih dititik beratkan pada zat padat tersuspensi yang
prinsip analisa dengan metode pemanasan pada suhu 1050C dan 550 0C.
4.3.2. Biological Oxygen Demand (Kebutuhan Oksigen Biologis)
Menurut Sarwoko (2002), zat organik adalah zat yang berkandungan karbon
dan hydrogen kecuali CO2 dan karbonat.

Zat organik terdiri atas ribuan yang

mempunyai sifat khusus dan dapat digolongkan menjadi karbonat, protein, minyak,
lemak dan berbagai senyawa lain.
Karbohidrat yang mengandung unsur-unsur C, H, O mempunyai formulasi
(CH2O)n, protein yang mengandung senyawa kompleks terdiri dari CHONPS,
sedangkan minyak dan lemak mengandung senyawa dengan formula umum C nH2n
+1

COOH.

IV - 8

Secara kualitatif keberadaan zat organik dalam limbah cair ditetapkan ada
atau tidaknya terdeteksi oleh alat pengukur, sedangkan secara kuantitatif pengukuran
zat organic dalam limbah cair dapat dilakukan berdasarkan kebutuhan oksigen untuk
penguraian zat, dan .pengukuran kebutuhan oksigen oleh bakteri atau mikroba
dipakai untuk menyaatakan kebutuhan oksigen biologis (BOD).
Menurut Sarwoko (2002), dalam desertasinya mengatakan bahwa limbah cair
yang berkandungan organik masuk ke sungai dalam jumlah tertentu ditandai dengan
penurunan oksigen terlarut (DO) di sungai tersebut

Jumlah penurunan DO

proporsional dengan jumlah zat organik yang yang terurai., yang mana reaksi
oksidasinya dapat dilihat dalam reaksi berikut ini :
bakteri
CnHaObNc + (n + 1/4 a -3/4 c) O2 ------ n CO2 + (1/2 a 3/2 c) H2O + c NH3
Zat organic

(4.1)

Oksigen

Zat organik merupakan nutrisi bagi mikroorganisme yang dalam proses


penguraiannya menjadi zat organik baru membutuhkan oksigen.

Dalam kondisi

optimal zat organik akan terurai 50 % nya dan pada akhir reaksi akhir reaksi akan
terurai sebesar 96,1 % sebagai BOD yang terurai atau teroksidasi (lihat gambar
skema tahapan berikut).
Oksidasi biologis menurut Gaudy and Gaudy (1981) dapat berlangsung secara
bertahap yang dapat dilihat dalam skema tahapan sebagai berikut ini :
mikroba
.Zat organik + O2

CO2 + H2O + zat organik baru

(50 % Oksidasi) (4.2)

mikroba
Zat organik + O2

CO2 + H2O + Zat Organik baru (75 % Oksidasi) (4.3)

mikroba

Zat organik + O2

CO2 + H2O + Zat Organik baru (82,5 % Oksidasi) (4.4)

Mikroba

Zat organik + O2

CO2 + H2O + Zat Organik baru (93,3 % Oksidasi) (4.5)

mikroba
Zat organik + O2

CO2 + H2O + Zat Organik baru (96,1 % Oksidasi) (4.6)

Gambar 4.1. Skema Tahapan Oksidasi zat Organik


(Gaudy and Gaudy,1981)

Pengukuran nilai BOD di laboratorium dilakukan dengan menggunakan lama


waktu 5 hari dan suhu 200 C yang merupakan kondisi yang optimal. Persamaan
IV - 9

untuk menghitung nilai BOD yang terurai dapat dilihat dalam persamaan 4.7. berikut
ini :

BOD520

X 0 X 5 B0 B5 1 P
P

(4.7.)

Dimana :
BOD520

= Nilai BOD dalam 5 hari dan suhu 200 C (mg/L)

Xo

= Oksigen terlarut (DO) sampel pada saat t = 0 (mg/L)

B0

= Oksigen terlarut blanko pada saat t = 0 (mg/L)

B5

= Oksigen terlarut blanko pada saat t = 5 hari (mg/L)

= Derajat pengenceran sampel

4.3.3. Chemical Oxygen Demand (Kebutuhan Oksigen Kimiawi)


Zat organik tidak seluruhnya dapat diurai oleh mikroba atau bakteri, seperti
misalnya toluen merupakan salah satu zat organik yang bersifat kurang dapat larut
dan dapat bersifat toksik bagi organisme.
Menurut Alaert G dan Sumestri (1987), kebutuhan oksigen kimiawi adalah
jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi zat organik dalam 1 L contoh air,
yang mana pengoksidasi K2Cr2O7 sebagai sumber oksigen, dan unsur yang tidak
dapat diuraikan oleh bakteri tersebut akan dapat dilepas dari ikatannya oleh oksidator
kuat seperti K2Cr2O7 (Kalium Dichromate).

Banyaknya oksigen yang dibutuhkan

untuk menguraikan zat organik yang berasal dari oksidator kuat disebut sebagai
kebutuhan oksigen kimiawi (COD). (Sarwoko, 2002)
Adapun prinsip analisa oksidasi zat organik melalui tes COD harus dalam
keadaan asam yang mendidih dengan reaksi sebagai berikut :
CaHbOc
Zat organik

4.4.

Cr2O7-2 + H+
(warna kuning)

CO2 + H2O + Cr3+

(4.8)

(warna hijau)

SELF PURIFICATION
Dalam kajian mengenai kemampuan Self Purification sungai, ada beberapa

teori yang dikembangkan, yaitu antara lain:


4.4.1. Sistem Saprobicity

IV - 10

Kolkwitz dan Marsson (1980, 1909) mengembangkan sistem sabrobien asli


untuk penaksiran pencemaran organik. Mereka berpendapat jika sungai menerima
beban berat dari bahan organik, proses normal self purification akan menghasilkan
seri dari zona penurunan beberapa kondisi satu dengan lainnya ke arah hilir, dan
masing-masing mengandung karakteristik hewan dan tanaman sebagai berikut :
Zona 1. Polysaprobic (zona degradasi)
Zona dari total pencemaran dengan berat molekul bahan organik yang tinggi; sangat
sedikit atau tidak ada oksigen terlarut; formasi sulfida; berlimpahnya bakteri dan
organisme lain; beberapa spesies binatang hidup pada pembusukan bahan organik
atau bakteri.

Dapat dicatat adanya keserupaan dari klasifikasi ini dengan zona

degradasi Heukelekian.
Zona 2. Mesosaprobic (zona dekomposisi aktif)
Zona ini mengandung komponen organik yang lebih sederhana; oksigen meningkat
secara tetap; bagian paling atas mengandung beberapa bakteri dan fungi dengan
beberapa tipe hewan, beberapa algae; bagian yang lebih rendah memiliki lebih
banyak mineral (konversi dari bahan organik ke inorganik) yang disukai algae dan
hewan toleran dan tanaman berakar. Juga klas ini dibagi menjadi yang lebih tinggi
dan yang lebih rendah, seperti zona dekomposisi Heukelekian. Beberapa peneliti
berikutnya menemukan peningkatan algae pada bagian yang lebih rendah dari zona
ini, menghasilkan kandungan oksigen yang tinggi pada siang hari dan rendahnya
kandungan oksigen malam hari kadang-kadang menyebabkan ikan mati. Atas dasar
ini dikaitkan juga sebagai zona pemulihan parsial.
Zona 3. Oligasaprobic (zona pemulihan)
Zona pemulihan dimana mineralisasi dan oksigen kembali normal.

Zona ini

mengandung rentang lebar berbagai jenis tanaman dan hewan. Peningkatan DO


terjadi pada zona ini.
Zona 4. Zona of Clean Water
Pada zona ini kehidupan akuatik menjadi kembali beragam.
Liebmann (1951) menyempurnakan sistem klasifikasi dari Kolkwitz dan
Marsson.

Ada beberapa perbedaan antara klasifikasi asli dengan temuaan

Liebmann, yaitu penempatan organisme tertentu di zona tertentu, dan identifikasi


beberapa fauna yang tidak sama. Beberapa peneliti berpendapat bahwa kehadiran
murni dari spesies tertentu tidak menentukan kondisi ekologi sebenarnya dan
IV - 11

hilangnya populasi menjadi indikator yang jauh lebih penting. Lebih jauh, beberapa
ahli biologis menuntut bahwa perubahan jumlah spesies dominan adalah jauh lebih
penting daripada hanya perubahan pada salah satu spesies.
Hynes (1960) menegaskan bahwa reaksi dari organisme berbeda terhadap
pencemaran organik bervariasi luas. Beberapa organisme bereaksi terhadap air yang
sudah terdeoksigenasi, dan ada organisme lain yang bereaksi terhadap produk dari
dekomposisi seperti amonia atau sulfida. Hynes menyimpulkan perubahan ekologi
kompleks dapat dilakukan secara subyektif untuk klasifikasi sederhana.

Sistem

saprobien dapat diterapkan hanya pada kondisi tertentu yang dihasilkan dari
pencemaran air limbah (sewage) yang berat pada sungai yang mengalir pelan. Jika
efluen bukan sewage, atau jika sungai turbulen, sistem ini tidak sesuai.
Hynes merangkum beberapa hal untuk menentukan pencemaran sungai
secara biologis sebagai berikut :
1. Analisis biologis memerlukan waktu lebih pendek dari analisa kimia "karena satu
seri sampel mengungkapkan keberadaan komunitas hewan dan tanaman, yang
menunjukkan kondisi yang terakhir".
2. Analisis biologis mengungkapkan pengaruh intermittent (berselang seling) atau
dari pencemaran terdahulu, dimana analisis kimia harus dilakukan pada momen
yang tepat saat pencemaran berlangsung dan harus dirata-rata dari beberapa
sampel pada beberapa lokasi.
Ada beberapa hal yang menjadi catatan khusus mengenai analisis :

Studi biologis dapat menghasilkan hanya tipe umum dari pencemaran;

Tidak menunjukkan secara pasti substansi yang terlibat.

Dapat membedakan antara pencemaran organik dan yang bersifat racun,


tetapi tidak identitas, kecuali dalam kasus tertentu, racun tertentu yang
menyebabkan gangguan;

Kelemahan analisis biologis adalah analisis ini tidak dapat menunjukkan


konsentrasi suatu zat.

Sladacek (1965) melanjutkan dan menyempurnakan sistem Saprobicity,


dengan beberapa temuan untuk memperbaiki sistem yang ada:
1. Sladacek membuat diagram sirkular seperti diperlihatkan di Gambar 4.2. dan
dijelaskan lebih rinci pada Tabel 4.3.
Sladacek melengkapi substansi dan kriteria spesifik untuk setiap klasifikasi
terpisah sejauh mengenai bakteri, oksigen terlarut, hIdrogen sulfida dan BOD. Ini
IV - 12

diperlihatkan di Tabel 4.4. Ia selanjutnya memperlihatkan definisi yang lebih jelas


dari gambaran biologis dari area eusaprobity.
2. Salah satu cara yang mudah dilakukan adalah pengakuan pada seluruh
komunitas produser, konsumer dan decomposer yang menempati suatu habitat.
Sejauh mungkin semua kaitan dari komunitas harus ditentukan sampai spesies
dan dievaluasi kuantitatif dalam jumlah per unit volume atau area, atau dalam unit
standar.
3. Valensi saprobiological dari setiap organisme air harus dipelajari di alam.
Misalnya, sebagai konstituen dari suatu komunitas dan ketergantungan pada
mekanis, selain fisik, kimia dan bagian biologis dari lingkungannya.

Sladacek

adalah bukti keberanian studi saling ketergantungan organisme yang ada di


badan air.
4. Studi laboratorium harus dikaitkan dengan percobaan yang berkaitan dengan
riwayat hidup, psikologi dan ekologi dari organisme utama yang diwakili di badan
air.

Tidak hanya batas toleransi yang berkaitan dengan pengaruh toksik dari

bahan kimia tertentu yang harus distudi, tetapi juga sifatnya pada kondisi normal,
untuk menyatakan pengaruh suatu faktor seperti temperatur air, pH, kecepatan
arus, populasi berlebihan dan sebagainya. Diperlukan untuk membedakan faktor
yang kelihatan sebagai pencemaran dari faktor pengaruh non pencemaran.
5. Sistem khusus untuk evaluasi toksisitas harus dikembangkan. Sistem ini mungkin
dipakai untuk gabungan dan penambahan sistem saprobity.
6. Sistem khusus untuk evaluasi radioaktivitas dari lingkungan air harus juga
diusulkan.
7. Diperlukan juga evaluasi kasus khusus dari pengaruh bahan inorganik yang tidak
toksik dan tidak saprobic, misalnya suspensi dari batu bara, atau powder mineral
yang halus, lapisan minyak dan sebagainya.
8. Sesudah menyatukan semua sistem di limnologi (Tabel 4.6.) perlu diketahui jenis
danau dan sungai sesuai dengan tempat tropis dan organismenya. Tidak hanya
aspek

deskriptif

yang

harus

diperhatikan,

tetapi

juga

aspek

dinamis

memperhatikan metabolisme umum dari badan air.

IV - 13

i
gg

e
yp

rs a

E
b
p ro

p
u ltr a s a
a n t is

-h

ro b -u

a p ro
b -a

s e n y a w a to k s ik

ity

ra
ap

ob
ar

os
b-

ka

ro

ro b -c

h a m p ir s te r il

is o to p r a d io a k t if

osap

th

di

c ry p t

L im b a h

is o s a p
ro b -i
me
ta r
sa
p ro
b -m

is
as
nt

b -o
xenosa
p ro b -x

A ir

ro b

p ro

ro

osa

ap

o lig

os

Ko

es

sap

-m

am

eso

in

m
a-

ro b -p
p o ly s a p

em

ak

in

tin

S a p r o b ity

T
g a ra m a n o r g a n ik

N o n - S a p r o b ity
Gambar 4.2. Sistem Saprobity

Tabel 4.3. Survey sistem saprobity

Limnosaprobity
(air permukaan
dan air tanah
yang terpolusi)
Eusaprobity
(Limbah kota dan
industri yang
terdekomposisi
scr biologis)
Transsaprobity
(Limbah industri
yang tidak dapat
didekomposisi
secara biologis)

EVALUASI

K 0. katharobity

Air minum

1. Xenosaprobity

2. Oligosaprobity

3. -mesosaprobity
4. -mesosaprobity

5. polysaprobity

6. isosaprobity
7. metasaprobity
E 8. hypersaprobity

i
m
h

9. ultrasaprobity

10. antisaprobity

T 11. radiosaprobity
12. cryptosaprobity

r
c

Zona Positif
* P/R > 1
Zona
Negatif
* P/R < 1

Menurut
sistem
organisme
saprobic
organisms
oleh Kolkwitz
& Marsson

Derajat ciliates
Derajat flagelata berwarna
Derajat bakteri &microphyta
Derajat azoic (non-toksik)
Limbah toksik
Limbah radioaktif
Limbah yang mengandung
bhn anorganik non toksik

Trivial
names

Air Bersih

Katharobity
(air bersih)

TINGKAT (ZONA)

Polusi

Air Limbah

KELOMPOK UTAMA

* P/R = Producers/Reducers
IV - 14

Tabel 4.4. Data pendekatan untuk korelasi nilai parameter biologis, bakteriorologis dan kimia

Derajat saprobity

Kode

Total bakteri
psychrophilic
per 1 mL
(kurang dari)

Coliform
per liter,
(kurang dari)

Katharobity

500

20

Xenosaprobity
Oligosaprobity
-mesosaprobity
-mesosaprobity
Polysaprobity
Isosaprobity
Metasoprobity

x
o

p
i
m

1,000
10,000
50,000
250,000
2,000,000
10,000,000
20,000,000

10,000
50,000
100,000
1,000,000
20,000,000
3,000,000,000
10,000,000,000

Hypersaprobity

50,000,000

1,000,000

Ultrasaprobity

10

Antisaprobity

Radiosprobity

bervariasi

bervariasi

Cryptosaprobity

bervariasi

bervariasi

DO
Mg/L
lebih dari
bervaria
si
8
6
4
2
0.5
traces
0
0
0
bervaria
si
bervaria
si
bervaria
si

DO
jenuh
lebih dari

H2S
Mg/L
(kurang
dr)

BOD5
Mg/L
(kurang dr)

bervariasi

60
50
40
20
10
0
0

0
0
0
0
traces
1
1 100

10

1 (2)
2.5 (4)
4 (6)
7 (9)
40 (80)
40-400 (600)
200-700
500-1,500
(2,000)
1,000-60,000

bervariasi

Senyawa toksik

bervariasi

Isotop radioaktif

bervariasi

Substaansi anorganik

bervariasi
bervariasi

bervari
asi
bervari
asi

Subtansi khusus

(residual chlorine)

Eh = +200 m V dan lebih


Eh = +50-200 m V
Eh = less than + 50 m V
Kehadiran ptomain

Pada kondisi limnosprobity terlihat perbedaan pada aliran air yang stagnan dan aliran kontinyu

IV - 15

Tabel 4.5. Faktor biologis pada air limbah dan hubungannya dengan aspek teknologi dan higienis
No.
1.

Derajat
isosaprobity

Kode
i

Jumlah organisme
mikroskopis per 1 mL
Ciliata 10-50,000
Flagellata 1,000-20,000
(Amoebina 0-1,000)
Bakteri dalam sat berat
(Jamur dalam sat berat)
Flagellata 5,000-300,000
Ciliata 0-5
Bakteri dalam sat berat

2.

metasaprobity

3.

hypersaprobity

Bakteri dalam sat berat


Jamur dalam sat berat
Flagellata 0-5

4.

ultrasaprobity

5.

antisaprobity

Bakteri 0-10
(Fungi 0-10)
abiotik
Abiotik. Hanya spora,
cysts dan lainnya yang
dapat bertahan hidup

6.

radiosaprobity

Bervariasi

7.

criptosaprobity

Bervariasi, sebagian
besar abiotik

Sampel

Air buangan domestik

Limbah dr septiktank,
air yg mengandung
H2S
Limbah industri yg
terkonsentrasi;
Lumpur yang didigest
Limbah industri;
Cairan sulfit;
Limbah produksi gula
Limbah B-3
Limbah radioaktif
atau air yang
terkontaminasi
Limbah yg mgd
senyawa anorganik

Aspek teknis, Pengolahan

Aspek higienis

Pengolahan oksidasi biologis (biofilter,


lumpur aktif, irigasi, kolam oksidasi)
diterapkan dengan atau tanpa
pengolahan pendahuluan mekanis

Bahaya infeksi
mikroorganisme
patogen

Sebelum penerapan proses oksidasi


biologis, limbah diaerasi (Hidrogen
sulfit)

Bahaya infeksi
mikroorganisme
patogen, juga adanya
senyawa toksik
Bahaya infeksi
mikroorganisme
patogen dan keracunan
ptomains
Kehadiran spora
mikroorganisme
patogen
Adanya racun,
sebagian
mikroorganisme
patogen mati
Kehadiran isotop
radioaktif. Bahaya
yang tdk terlihat
Kondisi yang bervariasi

Pengolahan anaeraobik, lagun;


Sebelum penerapan proses oksidasi
biologis, harus diolah secara kimia
Pengolahan anaerobik, pengolahan
kimia atau dilusi untuk pengolahan
biologi aerobik
Pengolahan kimia dengan dilusi dapat
mengurangi pengaruh toksik
Pengolahan khusus termasuk metode
biologi
Pengolahan khusus termasuk metode
mekanis

IV - 16

Tabel 4.6. Modifikasi Tabel Kolwitz


KOMPONEN

DERAJAT SAPROBITY

DERAJAT TROPHIC

katharobic

Air minum

xenosaprobic

oligotrophic

Air danau di pegunungan

oligosaprobic

oligotropic

-mesosaprobic

eutropic

-mesosaprobic

eutropic

polysaprobic

polytropic

Danau
Sungai di daerah hulu/tengah
Kolam ikan yang tercemar di dekat
lahan irigasi, kolam yang mengandung
algae yang mati
Aliran yang sangayt tercemar
pertumbuhan Sphacrotilus

Limnosaprobic

Air pegunungan,
Air lelehan salju

Air buangan dan limbah industri yang


mengalami dikomposisi biiologis

Eusaprobic
(4 special degrees)

hypertrophic

Limbah industri yang tidak dapat


didekomposisi secara biologis

transsaprobic
(3 special degrees)

atrophic
(antitropic)

9. Studi produktivitas biologis di danau, kolam ikan, reservoir harus dilakukan lebih
intensif sehingga dapat mengidentifikasi air tercemar, limbah dan khususnya
instalasi pengolahan.
10. Arah utama penerapan hidrobiologi harus terlihat di perkiraan keadaan yang akan
datang dari badan air dalam masalah dan kontrol pencegahan kualitasnya. Tidak
hanya pencemaran dan self purification, tetapi juga fenomena lainnya yang terjadi
di air, seperti pewarnaan vegetatif, algae bloom, pertumbuhan luar biasa dari
organisme tak bertangkai, aquatic macropyte, dan sebagainya.

Sladacek

meningkatkan pekerjaan Pantle dan Buck di 1955 tentang penetapan Indek


Saprobity (S) untuk semua air yang ada di limnosaprobic dan bagian eusaprobic
di sistem klasifikasi sirkular (Gambar 4.2). Nilai terendah dari S adalah 0,5 untuk
air yang mengandung beberapa kontaminan dari limbah organik seperti
diperlihatkan di Tabel 4.7.

4.4.2. Teori Brinley


F.J. Brinley (1942), mengklasifikasi sungai yang menerima limbah menjadi
lima zona terpisah. Ini dijelaskan dalam bentuk ringkasan sebagai berikut :
Zona I zona dekomposisi bakteri aktif.
IV - 17

Zona ini terletak tepat dibawah sumber pencemaran dan biasanya berkarakteristik
rendahnya oksigen terlarut (0-3 mg/L), terutama pada aliran rendah yang kritis, BOD
tinggi, jumlah bakteri tinggi, hadirnya bakteri yang dimakan protozoa seperti
Paramecium, Vorticella dan Carchecium dan beberapa flagellate.
berbentuk plankton rendah.

Jumlah yang

Cacing Tubifex dan Liminodrilus dijumpai di dasar

deposit. Evolusi gas sering kali membawa lumpur ke permukaan.


Tabel 4.7. Perbandingan data terhadap Derajat Saprobic
Derajat Saprobity

BOD5
mg/L

Coliforms
per liter

Phsychrophilic
heterotrophic
bacteria (agar plate
method)
per mililiter
1,000

1. Xeno-

0.5

1.0

10,000

2. Oligo-

1.5

2.5

50,000

10,000

3. beta- meso-

2.5

5.

100,000

50,000

4. Alpha- meso-

3.5

10.

1,000,000

250,000

5. Poly-

4.5

50.

30,000,000

2,000,000

6. Iso-

5.5

400.

3,000,000,000

10,000,000

7. Meta-

6.5

700.

10,000,000,000

100,000,000

8. Hyper-

7.5

2,000.

1,000,000

1,000,000,000

9. Ultra-

8.5

120,000.

10

Note : - S

= indeks saprobic. Nilai BOD 5 dalam limnosaprobical pada badan air stagnan
dapat ditingkatkan dua kali lipat dari nilai di tabel di atas, jika terjadi
pewarnaan air secara vegetatif atau algae-bloom.

Zona II zona dekomposisi bakteri intermediate


Kecepatan respirasi biokimia menurun di zona ini, dan oksigen terlarut naik 3-5 mg/L.
Volume plankton lebih tinggi, tetapi plankton masih tetap membuat bentuk
pencemaran yang memerlukan medium yang kaya bakteri dan partikel zat padat
untuk feeding. Ada peningkatan bentuk algae hijau dan alge biru-hijau. Jenis ikan
yang dapat hidup pada zona ini lebih banyak.
Zona III recovery (pemulihan)
Air berangsur menjadi lebih bersih, tanaman hijau kembali ada, hewan kecil berfungsi
sebagai makanan untuk ikan. Oksigen meningkat dan ikan kembali dapat dijumpai.
Panjang tiap zona biologis sungai juga dipengaruhi oleh karakteristik fisik
seperti gradien sungai.
4.4.3. Teori Patrick

IV - 18

Pada

sungai

sehat

terdapat

siklus

biodinamis

keseimbangan kehidupan tanaman dan hewan.

yang

menghasilkan

Pengaruh penyehatan dan

pencemaran industri dapat mengubah siklus ini. Kondisi fisik, kimia dan karakteristik
lingkungan di sungai juga sangat variabel, tes yang melibatkan ini juga tidak akurat
dalam memprediksi pengaruh efluen pada sungai yang ditentukan (1950). Patrick
mengembangkan sistem observasi organisme di sungai dan memperkirakan derajat
pencemaran dengan analisis kelompok dan jumlah relatif yang ada.
Patrick menghasilkan tujuh kelompok taksonomi yang berbeda dari organisme
untuk dipakai sebagai pengukur biologis dari kondisi sungai :
1. Algae biru-hijau, beberapa algae hijau, beberapa rotifier
2. Oligochaete, leache, snail
3. Protozoa
4. Diatom, red algae dan hampir semua green algae.
5. Semua retifier yang tidak di (1) ditambah clam, worm dan beberapa snail
6. Semua insect dan crustacea
7. Semua ikan
Dari observasi dan enumerasi terhadap tujuh kelompok tersebut, sungai
diklasifikasikan menjadi lima, yaitu:
1. Sungai sehat.
Keseimbangan organisme: algae utamanya diatom dan green algae ; insect dan
ikan diwakili oleh berbagai spesies. Kelompok 4, 6, dan 7 (di atas) semuanya di
atas level 50%, berdasarkan level yang dijumpai di stasiun sebelah hulu yang
alamiah.
2. Sungai semi sehat.
Keseimbangan agak terganggu.

Polanya tak teratur: spesies yang ada

memprlihatkan jumlah individual yang lebih besar. Kelompok 6 dan 7 (di atas)
keduanya di bawah 50%, dan 1,2 dan 4 mencapai 100% atau lebih; atau 4 dua
kali kolom lebarnya (salah satu mempunyai lebih banyak spesies dari normal),
menghasilkan dominan dari satu organisme.
3. Sungai terpolusi.
Sungai dengan kondisi dimana keseimbangan kehidupan yang dijumpai di stasiun
yang sehat telah berbalik.

Kelompok organisme seperti 1 dan 2 dominan,

sedangkan spesies 6 dan 7 ada tetapi di bawah 50%.


4. Sangat terpolusi.
IV - 19

Sungai pada kondisi yang toksik untuk kehidupan tanaman dan hewan. Banyak
kelompok sering tidak ada. Ini terjadi jika 6 dan 7 tidak ada dan 4 di bawah 50%
atau jika 6 dan 7 ada tetapi 1 atau 2 kurang dari 50%.
5. Kelompok ini atypical karena tidak dapat dibandingkan., salah satunya karena
kondisi ekologi umumnya atau karena metode pengumpulan, misalnya, stasiun
yang sehat mungkin kondisinya eutrophic, sedangkan air dingin oligotrophic dapat
lebih keras kecepatannya pada dasar yang sama.

Juga, sungai yang dalam,

tepinya baru tererosi tidak bisa dibandingkan dengan sungai normal dengan air
dangkal dekat endapan.
Dapat

disimpulkan

bahwa

pengaruh

umum

dari

pencemaran

dapat

mengurangi jumlah spesies, dimana spesies yang paling toleran adalah yang
bertahan hidup.
Dalam hubungan dengan sanitasi sungai, Dr. Patrick telah mengusulkan
metode untuk pengukuran kondisi sungai dengan hadirnya atau tidak hadirnya
spesies dari semua kelompok utama yang memainkan peranan di siklus biodinamis
sungai, kecuali pengujian klasik dari karakteristik fisik dan fungsi yang hadir
diperhitungkan hanya sebagai organisme indikator.
Agen toksik, dan tidak ada pembalikan oksigen terlarut menyebabkan hampir
semua gangguan pada kehidupan tanaman dan hewan di sungai. Pengaruh toksik
yang ditunjukkan adanya perubahan pada interval siklus biodinamik dari reduksi di
kelompok taksonomi pada hilangnya kelengkapan kehidupan hewan dan tanaman.
Di sungai yang sehat beberapa spesies besar harus ada, tetapi tidak ada
spesies harus predominan. Pengaruh pencemaran rupanya mengurangi jumlah
spesies, dengan peningkatan berlebihan dari spesies individu yang bertahan hidup.
Karenanya, persentase kehadiran atau ketidakhadiran kelompok taksonomi dapat
dipakai sebagai indeks pencemaran sungai., karena sungai yang sehat memerlukan
keseimbangan aktivitas fisiologi. Metode ini menggambarkan kondisi selama periode
tertentu dan tidak pada saat sampling saja, seperti pada analisis fisik dan kimia.
4.4.4. Teori Palmer
Palmer (1962) memberikan enumerasi bentuk algae di air bersih dan algae
yang berkaitan dengan peningkatan organik di badan air.

IV - 20

Algae pada Air Bersih


Algae Biru- Hijau (Myxophyceae):

Algae pada air tercemar Algae di daerah yg


mengandung organik yang tinggi
Algae Biru-Hijau (Myxophyceae):

IV - 21

Agmenellum quadriduplicatum, glauca type


Calothrix parietina
Coccochloris stagnina
Entophysalis lemaniae
Microcoleus subtorulosus
Phormidium inundatum
Algae Hijau (Nonmotile Chlorophyceae):
Ankistrodesmus falcatus, var.acicularis
Bulbochaete mirabilis
Chaetopeltis megalocystis
Cladophora glomerata
Draparnaldia plumosa
Eustrum oblongum
Glueococcus schroeteri
Micrasterias truncata
Rhizoclonium hicroglyphicum
Staurastrium punctulatum
Ulothrix aequalis
Vaucheria geminata
Red Algae (Rhodophyceae):
Batrachosperinum vagum
Iliidenbrandia rivularis
Lemanca annulata
Diatoms (Bacillariophyceae):
Amphora ovalis
Cocconeisplacentula
Cyclotella bodanica
Cymbella cesati
Meridion circulare
Navicula exigua var. Capitata
Navicula gracilis
Diatoms (Contd.)
Nitzschia linearis
Pinnularia nobilis
Pinnularia subcapitata
Surirella splendida
Synedra acus var. angustissima
Flagellates (Chrysophyceae and Volvocales of
Chlorophyceae):
Chromulina rosanoffi
Choomonas nordstetii
Choomonas setoniensis
Chrysococcus major
Chrysococcus ovalis
Chrysococcus rufescens
Dinobryon stipitatum
Euglena ehrenbergii
Euglena spirogyra
Mallomonas caudata
Phacotus lenticularis
Phacus longicauda
Rhodemonas lacustris

Agmenellum quadriduplicatum, tenuissima type


Anabaena contricta
Anacystis montana
Arthrospira jenneri
Lyngbya digueti
Oscillatoria chalybea
Oscillatoria chlorina
Oscillatoria formosa
Oscillatoria lauterbornii
Oscillatoria limosa
Oscillatoria princeps
Oscillatoria putrida
Oscillatoria tenuis
Phormidium autumnale
Phormidium uncinatum
Algae Hijau (Nonmotile Chlorophyceae):
Chlorella pyrenoidosa
Chlorella vulgaris
Chlorococcum numicola
Scenedesmus quadriccula
Spirogyra communis
Stichococcus bacillaris
Stigeoclonium tenue
Tetraedron muticum
Diatoms (Bacillariophyceae):
Gomphonema parvulum
Hantzichia amphioxys
Melosire varians
Navicula cryptocephala
Nitzschia acicularis
Nitzchia palea
Diatoms (Contd.)
Surirella ovata
Flagellates (Chrysophyceae and Volvocales
of Chlorophyceae):
Carteria multifilis
Chlamydomonas reinhardi
Chlorogonium euchlorum
Cryptoglena pigra
Euglena agilis
Euglena deses
Euglena gracilis
Euglena oxyuris
Euglena polymorpha
Euglena virdis
Lepocinelis ovum
Lepocinelis texta
Pondorina morum
Phacus pyrum
Pyrobotrys gracilis
Pyrobotrys stellata
Spondylomorum quarternarium

4.4.5. Teori Mackentum

IV - 22

MacKenthum (1969) memberikan gambaran hubungan (lihat Gambar 4.3) dari


jenis dan jumlah kehidupan hewan yang dijumpai di tipikal sungai yang mengalir
dengan masukan organik toksik dan bentuk inert dari pencemaran.
Tabel 4.8. Organisme Indikator Kualitas Air
Kelompok Air Bersih
Algae
Protozoa
Serangga

Clums
Ikan

Cladophora (hijau)
Ulothrix (hijau)
Navicula (diatom)
Trachelomonas
Pleeotera (stoneflies)
Negaloptera (hellgramites,
alderflies, fishflies)
Trichoptera
Ephemeroptera
Elmidae (riffles beetlyv
Unionidae (pearl button)
Ethcostoina (darter)
Notropis (shiner)
Chrosomus (dace)

Kelompok Air Tercemar


Bakteri
Jamur
Algae

Protozoa
Segmented
Worms
Leeches
Serangga
Snail
Clam
Ikan

4.5.

Sphaerotulis
Leptomitus
Chlorella (hijau)
Chlamydomonas (hijau)
Oscillatoria (biru, hajau)
Phormidium (biru, hijau)
Stigeoclonium (hijau)
Carchesium
Colpidium
Tubifex
Limnodrilus
Helobdella stagnalis
Culex piepien
C0hironomus
Tubifera
Physa integra
Sphacrium
Cyprinus carpio

PERHITUNGAN SELF PURIFICATION

4.5.1. Perhitungan Konstanta Deoksigenasi


Nilai konstanta deoksigenasi (k1) tidak hanya dipengaruhi waktu dan
temperatur, tetapi juga bergantung pada jenis bahan organik dan kondisi biologis,
fisik dan kimia terjadinya degradasi.
Air limbah domestik pada umumnya mempunyai laju deoksigenasi 0,1/hari
pada suhu 20C. Laju yang lebih tinggi akan menghasilkan reduksi oksigen lebih
cepat di aliran yang menerimanya, sedangkan laju yang lebih lambat dari 0,1/hari
akan menurunkan kebutuhan oksigen di bawah titik masuknya di aliran tersebut.
4.5.1.1.

Least Squares Technique

Theriault (1931) menerapkan metode least-squares dari data BOD untuk


menghitung konstanta deoksigenasi (k1) dan BOD ulltimate (L), dimana perubahan
BOD terhadap waktu dianggap nol.

IV - 23

ju m la h h e w a n

50

40
je n i s
30
p o p u la s i
2
p e r ft

20

(X IO )

10
0

s ta r t p o lu s i

w a k t u p e n g a lir a n

P o lu s i O r g a n ik ( N o n - to k s ik )

50

ju m l a h h e w a n

40
je n is

je n is
30
20
10

p o p u la s i
2
p e r ft

p o p u la s i

(X IO )

0
s ta r t p o lu s i

w a k t u p e n g a lir a n

P o lu s i T o k s ik

50

ju m la h h e w a n

40
je n is
30
20
10

p o p u la s i
2
p e r ft
(X IO )

0
s ta r t p o lu s i

w a k t u p e n g a lir a n

S ilt ( P o lu s i I n e r t )
Gambar 4.3. Dampak pencemaran pada binatang

IV - 24

Prosedur pada reaksi bimolekuler (reaksi orde kedua)


Oksidasi tingkat pertama bahan organik oleh mikroorganisme merupakan
reaksi monomolekuler, dimana laju oksidasi sebanding dengan jumlah satu reaktan
yang tersisa. Orford dan Ingram (1953) menyatakan bahwa penyataan di atas kurang
tepat untuk fenomena biologis yang kompleks.

Umumnya hal itu mengacu pada

reaksi orde pertama. Banyak contoh pada campuran antara limbah industri dengan
limbah domestik terjadi reaksi orde kedua, di mana laju oksidasi tergantung pada
konsentrasi kedua reaktan yang tersisa.
Limbah kota yang tercampur dengan bahan kimia industri yang kompleks,
memerlukan sesuatu yang lain daripada reaksi monomolekuler untuk lebih deskriptif
dan akurat. Kenyataannya Gaudy et.al (1967) memperingatkan para peneliti tentang
ploting data BOD dalam bentuk kurva monomolekuler dan dia telah menemukan
kurva BOD yang tidak mengikuti laju penurunan kinetik orde pertama untuk
mengakomodasi metode-metode untuk menentukan k dan L yang tidak dapat
diaplikasikan

untuk

semua

kasus.

Persamaan-persamaan

tersebut

dapat

membuktikan bahwa 16 metode yang digunakan untuk menghitung k berdasarkan


laju reaksi monomolekuler tidak menghasilkan hasil yang sesuai dengan ploting data
BOD yang diamati.
Untuk menyelesaikan masalah tersebut secara digunakan dua persamaan
berikut yang menghasilkan nilai k dan L.

a bt

a bt

t
a......atau......ta b t
y

t
y

0 ....(4.9)

t
t 0......atau......a t b t 2
y

t
y

0 .(4.10)

Dengan menggunakan teknik ini harus ditentukan laju deoksigenasi,


monomolekuler (orde pertama) atau bimolekuler (orde kedua).
4.5.1.2.

Slope Method

Thomas (1937) menyatakan metode yang digunakan Reed dan Theriault


memberikan hasil yang konsisten dan akurat.

Namun dalam perhitungannya

melibatkan persamaan yang sulit dan harus sealalu diulang karena menggunakan
metode trial dan error.
Metode Thomas mengasumsikan hubungan linier antara laju perubahan BOD
dan nilai BOD itu sendiri dan berguna jika interval data BOD tidak sama. Metode ini

IV - 25

lebih sederhana dari metode least-squares dan hanya dapat diterapkan jika yang
terjadi adalah laju monomolekuler.

y'

4.5.1.3.

yn 1 yn 1
tn 1 tn 1

Metode moment

Moore, Thomas dan Snow (1950) mendapatkan konstanta k dan L dengan


menggunakan metode matematika sederhana yaitu menjadi Grafik BOD terhadap
waktu. Lihat Gambar 4.4.
Data yang diperoleh dari metode moment diplot pada Grafik untuk mencari
nilai k1 dan L.
6 .0 0

5 .6 0
5 .3 8
5 .2 0
0 .2 3 4
0 .2 3 2

4 .8 0

0 .2 3 0
0 .2 2 8
n

y /n ty

4 .4 0

0 .2 2 6
0 .2 2 4

4 .0 0

0 .2 2 2
0 .2 2 0

3 .6 0

0 .2 1 8
0 .2 1 6

3 .2 0

0 .2 1 4
0 .2 1 2

2 .8 0

0 .2 1 0
0 .2 0 8

2 .4 0

0 .2 0 6
2 .0 0
0 .0 5

0 .1 0

0 .1 5

0 .2 0

0 .2 5

0 .3 0

0 .3 5

k o n s ta n t a k e c e p a ta n r e a k s i, k

Gambar 4.4. Kurva untuk perhitungan K dan L

IV - 26

4.5.1.4.

Metode Logaritmik

Orford dan Ingraam (1953) menemukan bahwa ketika BOD diplot terhadap
logaritma waktu, maka kurva dihasilkan merupakan garis linier.

Berdasarkan

eksperimen, untuk oksidasi limbah domestik pada suhu 20C persamaan garisnya
sesuai dengan fungsi:

yt s20 0.85 log t 0.41


Orford dan Ingram mengklaim bahwa persamaan sederhana ini dapat
menggambarkan oksidasi biologis untuk reaksi monomolekuler dan mengurangi
kesulitan dan perhitungan yang rumit. Pada persamaan monomolekuler, laju oksidasi
merupakan jumlah material yang tersisa (L=yt).
Jika dari data BOD diplot pada kertas semi logaritmis, maka oksidasi pada
orde yang dimungkinkan untuk diplot menjadi grafik dengan gradien berbeda.
Untuk beberapa limbah industri, persamaan logaritmis dapat juga diterapkan
dengan baik.
Monomolekuler

Persamaan logaritmis

Log L yt kt

(4.11)

yt s 0.85 log at 0.41

(4.12)

Nilai k menurun dan nilai L meningkat sebagai fungsi waktu.


4.5.1.5.

Analisis Laboratorium

Analisis laboratorium dapat digunakan untuk menghitung (dengan estimati


grafis) BOD ultimate.

Pada estimasi nilai BOD ultimate dapat diterapkan hukum

reaksi monomolekuler yang menyatakan laju oksidasi sesuai dengan jumlah bahan
organik yang tersisa. Grafik yang digambarkan, nilai BOD tersisa diplot pada sumbu
Y dan waktu pada sumbu X, sehingga terbentuk garis lurus dengan kemiringan
tertentu. Slope garis ini didefinisikan sebagai laju reaksi k1. Intercept dari aksis log
merupakan predisi nilai L, BOD ultimate.
4.5.1.6.

Rhames Two Point Method

Rhame mengembangkan hubungan Nilai BOD pada dua waktu, dimana pada
waktu yang kedua dua kali lipat waktu yang pertama.
L

X2
2X Z

dan

k1

1
X
log
T t
ZX

(4.13)

dimana:
IV - 27

X = BOD pada t hari


Z

= BOD pada 2t atau T hari, T = 2t

300

200

L = u ltim a t e fir s t s ta g e B O D = 1 8 0 ( e s tim a te )

100

10

15

20

o k s id a s i b io k im ia ( h a r i)
Gambar 4.5. Estimasi BOD ultimate dari data analisis BOD selama 10 hari

4.5.1.7.

Ultimate Oxygen Demand (NOD)

Air limbah yang diolah dengan proses biologi, zat karbon dioksidasi menjadi
CO2, namun ada indikasi hanya sedikit atau tidak ada oksidasi NH 3. Maka BOD5 dari
efluen relatif rendah karena nitrogen tidak teroksidasi selama periode lima hari da
cairan mengandung sedikit bahan organik, namun kebutuhan ultimate relatif tinggi
karena termasuk oksigen yang ekuivalen dengan kehadiran nitrogen di efulen.
Pada instalasi pengolahan limbah dimana proses biologis menghasilkan
efluen yang ternitrifikasi, atau efluen yang mulai terjadi nitrifikasi selama masa
inkubasi BOD, rasio kebutuhan oksgen batas dan BOD5 tidak lebih rendah dari limbah
yang terendapkan.
Kebutuhan oksigen ultimate meningkat dengan signifikan di aliran sanitasi,
karena adanya kompetisi sumber air yang diterima aliran meningkat.

Proses

pengolahan yang digunakan saat ini menurunkan BOD karbon, sepertinya


menyebabkan siklus nitrogen mengambil alih. Ketika waktu aliran dari outlet limbah
sampai ke laut diperpanjang dengan pemanfaatan ulang atau bendungan buatan,

IV - 28

UOD menjadi meningkat. Kegiatan ini

membuatnya menjadi penting untuk

mempertimbangkan kebutuhan oksigen nitrogen (orde kedua) atau kebutuhan


oksigen karbon (orde pertama) untuk prediksi penurunan oksigen.

4.5.2. Perhitungan Konstanta Reaerasi


Alam memiliki mekanisme untuk menyeimbangkan efek deoksigenasi.
Mekanisme tersebut dikenal sebagai reaerasi, dimana oksigen sebagaimana
komponen gas lainnya dari udara diperbaharui dalam aliran air yang mengalir. Pada
kenyataannya, supply oksigen dibadan air belum terjamin untuk diperbaharui, namun
jumlah oksigen yang cukup bisa didapatkan pada lokasi tertentu yang layak.
Parameter-perameter yang mempengaruhi efek reaerasi sangat berbeda dari faktorfaktor penyebab deoksigenasi.
Studi yang dilakukan oleh Adeney dan Becher (1919), menunjukkan tingkat
aerasi sebanding dengan defisit kejenuhan oksigen. Semakin besar defisit, maka
semakin tinggi tingkat pencampuran oksigen.
4.5.2.1.

Streeter Phelps

Studi yang dilakukan Streeter-Phelps di Ohio (1925) mengaplikasikan teori


Adeney dan Becher hingga menemukan persamaan :
dD
K1 L K 2 D
dt

(4.14)

Dimana
D = defisit oksigen
L = kebutuhan oksigen karbon ultimate
Persaman tersebut dideferensial hingga menghasilkan :

DL

k1 L A
10 k1t 10 k 2t D A .10 k2t
k 2 k1

(4.15)

Persamaan diatas telah banyak digunakan dalm studi-studi tentang kapasitas


asimilasi aliran hingga sekarang.

Hal yang penting untuk diperhatikan adalah

walaupun nilai tingkat reaerasi k2 dapat dihitung dari persamaan diatas (dengan
catatan parameter lain sudah diketahui) namun itu tidak dapat digunakan untuk
memprediksi tingkat reaerasi dengan hasil yang mendekati kenyataan. Nilai k2 yang
didapat kemungkinan terlalu rendah bila dihubungkan dengan polusi organik yang
terakumulasi di dasar aliran.

IV - 29

Untuk mengurangi tingkat kesalahan, harus dilakukan pengukuran waktu


tempuh air, DO, BOD ultimate pada tahap karbon,dan koefisien deoksigenasi k1.
Dalam studi awal Streeter (1926) dikatakan bahwa k 2 tergantung dari
beberapa variabel, antara lain kecepatan, kedalaman, kemiringan, dan kekasaran
saluran

CV n
K2
H2

(4.16)

Dimana
K2

koefisien reaerasi/hari

kecepatan rata-rata ft/det

kedalaman rata-rata dihitung dari permukan air terendah

C,n

konstan untuk beberapa lokasi sungai, nilainya tergantung dari


kemiringan saluran dan kekasarannya

Nilai K2 yang didapat dengan persamaan diatas ternyata tidak konsisten, hal
ini disebabkan faktor-faktor polusi dan efek dari algae serta organisme-organisme air
lainnya.
4.5.2.2.

OConnor dan Dobbins

OConnor dan Dobbins(1956) menemukan dua persamaan untuk memprediksi


nilai K2. Untuk aliran dengan gradien kecepatan vertiKal, digunakan persamaan untuk
turbulensi non isotropis, yaitu
1/ 2

480 DL S 1 / 4
k2
H 3/ 4

(4.17)

Untuk kedalaman saluran yang berbeda-beda dimungkinkan adanya turbulensi yang


mendekati kondisi isotropic, digunakan persamaan sebagai berikut :

127( D LU )1 / 2
k2
H 3/ 2

(4.18)

Dimana
DL

= koefisien difusi molekuler (liquid film ft2/hari)

= kemiringan dasar saluran (ft/ft)

= kedalaman rata-rata aliran (ft)

= kecepatan rata aliran (ft/det)

k2

= reaerasi, per hari

IV - 30

DL 2.037 (1.037)T

20

Ft2 / hari x 10-6

10 5 cm 2
sec

Suhu
10C
15C
20C
25C
30C

DL = 1464
DL = 1704
DL = 1944
DL = 2208
DL = 2544
Persamaan

OConnor-Dobbins

dan

StreeterPhelps

memiliki

banyak

kesamaan. Namun karena persamaanpersamaan yang ditemukan kedua pasang


peneliti itu bersifat teoritis, timbul beberapa keraguan terhadap validitasnya.
Kesulitan terbesar dengan kedua persamaan diatas adalah tingkat reaerasi
yang dihitung untuk jangkauan tertentu sangat bergantung pada jenis dan konsentrasi
polusi pada saat itu.
Dalam banyak kasus, polusi dapat menahan tingkat reaerasi (Kehr, 1938;
Downing dan Truesdale, 1955; Gameson, Treuesdale dan Varley, 1956). Efek ini
diukur pada defisit DO yang sama. Kehr (1938) sebagai contoh, menemukan bahwa 6
ppm sabun mengurangi reaerasi 51% pada 20oC. Pengurangan itu sebanding dengan
aliran. OConnor dan Dobbins menyatakan bahwa turbulensi diasumsikan non
isotropik bila nilai Chezys C (V= C RS) kurang dari 14 20 dan menjadi isotropis
bila C lebih besar dari range diatas. Asumsi dasarnya adalah tingkat pembaruan
permukaan sebanding dengan gradien kecepatan dipermukaan (R= jari-jari Hidraulis,
S = kemiringan, V= kecepatan)
Churchill

menyatakan

bahwa

perbandingan

gradien

kecepatan

tidak

mengindikasikan perbandingan kondisi turbulensi. Kenyataannya, kondisi turbulensi


sangat bervariasi. Ini membawa konsekuensi tingkat reaerasi aliran lebih banyak
ditentukan oleh gradien kecepatan.
4.5.2.3.

Isaacs

Isaacs (1967) dengan menggunakan simulasi aliran ideal menemukan bahwa


K2 konsisten dengan persamaan Streeter dan Phelps (1926). K 2 sebanding dengan
kecepatan aliran rata-rata dan berbanding terbalik dengan rata-rata kedalaman aliran
rata-rata pangkat 1,5 power. Persamaan Isaacs tersebut dinyatakan sebagai :

IV - 31

k 2 0.06339

Dm1 / 2

(4.19)

Dimana
Dm

= Difusi molekul oksigen ke dalam air

= Viskositas kinematik air

= kecepatan aliran rata-rata ft/det

= kedalaman rat-rata aliran ft

= kecepatan gravitasi ft/dt2

Isaacs menggunakan kekasaran permukaan yang tetap dalam percobaan ini.


Karena hingga saat inipun belum ada yang bisa mengukur kekasaran dasar saluran
alami. Karena kekasaran dasar saluran akan berdampak pada profil kecepatan aliran
maka dibutuhkan kecepatan rata-rata aliran dalam persamaan diatas.
Isaacs, et. al. (1969) melakukan eksperimen dengan bentuk dan kekasaran
saluran yang berbeda-beda yaitu :

k 2 (20 C ) C
O

(4.20)
2

Tabel 4.9. Hubungan antara C dan kekasaran saluran adalah :


Kekasaran

Jumlah pengamatan

Koefisien korelasi

Circular

2.7587

16

0.984

Square

2.9281

16

0.972

Triangular

2.8229

16

0.987

Data Komposit

2.8330

48

0.981

Isaacs merekomendasikan persamaan sebagai berikut:

k 2 (20 C ) C
O

(4.21)

Dimana:
k2

= per hari

= kecepatan aliran rata-rata ft/detik

= kedalaman rata-rata ft

Konstanta 2,833 mewakili rata-rata dari kekasaran saluran yang diobsrvasi oleh
Isaacs.
IV - 32

Diambil kesimpulan bahwa dimungkinkan untuk memprediksi nilai K 2 dalam


satu saluran dengan kekasaran permukaan yang bervariasi dari parameter kecepatan
rata-rata dan kedalaman rata-rata yang diketahui dengan tingkat akurasi yang tinggi.
Efek dari kekasaran saluran harus disertakan sebagai konstanta bila nilai rata-rata
kedalaman dan kecepatan diketahui dan digunakan.
4.5.2.4.

Churchill

Pada 1957, Churchill, Elmore dan Buckingham mempelajari tentang metoda


untuk memprediksi tingkat reaerasi aliran. Debit sungai yang diamati bervariasi dari
1,145 cfs sampai 14,300 cfs. Nilai DO diperoleh dari pengukuran melintang sungai
selama periode 24 jam. Diketahui bahwa terdapat gradien kecepatan vertikal maupun
horisontal. Persamaan untuk mengukur k2 adalah

k2

log10 D2 log10 Dt

(4.22)

t 2 t1

Dengan mengukur defisit DO pada 2 titik dan menentukan waktu alirannya


dapat dihitung k2 yang tidak tergantung dari nilai absolut DO. Oleh karena itu, k 2
dihitung dari pengukuran lapangan.
Dengan menentukan jangkauan dengan variasi jenis namun konstan dalam
variabel phisik yang mempengaruhi nilai k2, dimungkinkan untuk mengobservasi efek
kuantitatif dari tiap variable independen dari k2.
Adanya benda organik akan berdampak pada keseluruhan proses reaerasi,
karena tingkat oksigen akan mengecil dengan adanya biodegradasi maka fenomena
fisik diperkirakan akan sama, dengan atau tanpa benda organik. Churchill mendata
semua variabel fisik yang mempengaruhi reaerasi.
Tabel 4.10. Variabel fisik yang mempengaruhi reaerasi
Komponen
Koefisien reaerasi
Kecepatan
Kedalaman rerata
Kemiringan energi
Koef. resistensi
Kerapatan
Viskositas dinamis
Tegangan permukaan
Difusi molekuler
Koef. Difusi (vertikal)

Variabel
k2
V
R
S
f
p

DL
e

1
2
3
4
5
6
7
8

T-1
LT-1
L
Tanpa dimensi
Tanpa dimensi
ML-3
ML-1T-1
MT-3
L2T-1
L2T-1

IV - 33

Menurut teorema analisa tanpa dimensi Buckingham II, terdapat tiga kelompok
tanpa dimensi yang lebih kecil daripada variabel-variabel yang ada (S atau f bisa
digunakan tetapi tidak secara bersamaan). Oleh karena itu ada 8 variabel dan lima
kelompok dimensi yang mungkin. Kelompok tanpa dimensi disini adalah :
(1)

(2)

k2 R
.(4.23)
V

(4.24)

DL

Sebagai tambahan kemiringan S dan koefisien gesek f masing-masing tanpa dimensi.


(3)

(4)

(5)

V R

(4.25)

(4.26)

(4.27)

Untuk perhitungan k2 dari data percobaan lima kelompok tanpa dimensi tersusun
sebagai persamaan:

V b1 VR b2 b1
k2 b2
R DL V c

(4.28)

Dimana a dan b adalah konstanta yang diperoleh dari data hasil olahan dengan
prosedur multi regresi
Karena k2R/V adalah tanpa dimensi, maka persamaan untuk k2 dapat
dinyatakan dengan memperhatikan dimensinya sebagai :

IV - 34

k2

V
V1
Tapi ada bentuk lainnya dengan k 2
R
R b2

(4.29)

Persamaan-persamaan tanpa dimensi lainnya dapat ditambahkan secara bersamaan


bila persamaan-persamaan tersebut dapat meningkatkan tingkat akurasi prediksi
hingga mencapai tingkat signifikansi statistik.
Nilai numerik untuk kerapatan, viskositas dinamis dan tegangan permukaan
air, diambil dari referensi standard. Variabel hidrolis dari sungai diukur dari 30
percobaan.
Churchill et. al. (1962) mengembangkan 19 persamaan dan memutuskan
untuk menggunakan salah satu yang paling sederhana dan paling akurat sebagai
berikut :

k 2 (20 O C ) 5.026

V 0.969
R 1.673

(4.30)

Walaupun nilai k2 bisa dihitung, terdapat kemungkinan nilai tersebut tidak


sesuai dengan nilai yang dihitung dilapangan karena:
1. adanya bahan-bahan-bahan organik yang akan menurunkan kurva sag
2. algae
3. penumpukan lumpur
4. adanya polusi misalnya, detergen dan minyak yang akan berakibat secara
fisika kimia.
Hingga saat ini belum ada metode untuk mengurangi dampak diatas secara
matematik yang akan bisa mendekati nilai k2 yang nyata
5. Zak
Zak(1960) membuat suatu grafik k2 versus koefisien difusi cairan turbulen (DT)
ketika sungai mengalir lambat maupun cepat. Dalam menghitung D T, koefisien difusi
turbulent dinyatakan dalam m2/dt, g adalah kecepatan gravitasi dalam m/dt2, n adalah
koefisien kekasaran dan C adalah koefisien Chezys, h adalah kedalaman rata-rata, V
adalah kecepatan rata dalam m2/dt dan k2 adalah tingkat reaerasi per hari.

DT

g h
10 5
2
37 n C

IV - 35

4
3

k2

2,8
2
1,8
1

1,1

0,5

0
30

60

190

DT

300

600

1200

Gambar 4.6. Diagram Zak untuk perhitungan k2


6. Krenkel dan Orlob
Krenkel dan Orlob (1962) menurunkan persamaan sebagai berikut :
5

k2 (20 C) (4.302 X 10 DL 1.15 X h1.915


O

(4.31)

Dimana
DL

= koefisien campuran longitudinal dalam ft2/menit

= kedalaman rata-rata (ft)

k2

= koefisien reaerasi per menit

7. Owens, Edward dan Gibbs


Owens, Edward dan Gibbs (1964) menurunkan persamaan sebagai berikut :
k 2 (20 O C ) 9.4 V 0.67 h 1.85

(4.32)

Dimana
V

= kecepatan rata-rata (ft/dt)

= kedalaman rata-rata (ft)

k2

= koefisien reaerasi per menit

Untuk aliran dengan range kecepatan antara 0.1-5.0 ft/dt, dan kedalaman antara 0.411.0 ft.
8. Negulescu dan Rojanski
IV - 36

Negulescu dan Rojanski (1969) menurunkan persamaan sebagai berikut :


k 2 0.0153 D L

1.63

(4.33)

Dimana
DL

= 310 (V/h)-0.78 cm2/dt

= kedalaman (m) dimana nilainya lebih kecil dari 0.5 m

= kecepatan (m/dt)

PENGARUH TEMPERATUR PADA NILAI k2 DAN TINGKAT OKSIGEN


Pengaruh temperatur yang dominan adalah berakibat pada kecepatan
pergerakan molekul oksigen di air dan udara pada permukaan air. Menurut Churcill et
al

1962,

fenomena

peningkatan

kecepatan

pergerakan

molekul

oksigen

menyebabkan lapisan permukaan air akan jenuh lebih cepat dan mungkin
menyebabkan kejenuhan pada kedalaman lebih besar per satuan waktu. Temperatur
air yang lebih tinggi akan meningkatkan tingkat difusi molekuler pada fase gas
oksigen di permukaan air yang berarti juga menyebabkan peningkatan laju reaerasi
aliran.

Kelarutan oksigen menurun sebanding dengan peningkatan temperatur

sehingga defisit oksigen yang menjadi penyebab utama reaerasi juga akan menurun.
Churchill et.al. 1962 membuat grafik hubungan nilai k 2 terhadap suhu hingga
menemukan persamaan:
k 2 ae bt

(4.34)

Dimana:
A

= konstanta intercept

= konstanta laju

= temperatur (C)
k 2 (t O C ) 0.4364 e

0.0238 t

(4.35

atau
k 2 (t O C ) k 2 (20 O C ) X 1.0238 (t 20 )

(4.36)

IV - 37

Lebih jauh churcill menyatakan bahwa laju reaerasi akan meningkat


sebanding dengan peningkatan temperatur air pada laju geometriksebesar 2.41% per
derajat centigrade. Oleh karena itu nilai k2 akan sangat bervariasi tergantung dari
suhu dan waktu. Selain itu nilai k1 akan meningkat kira-kira dua kali peningkatan laju
k2 pada saat peningkatan suhu. Nilai Fairs (F=k2/k1) akan menurun bila suhu naik.
Oleh karena itu laju reaerasi sangat bervariasi tergantung karakteristik aliran
dan temperatur. Variasi k2 dapat menyebabkan perbedaan DO dalam suatu badan
air.

8.1.1. ANALISIS DO-SAG


Suatu kurva dapat dibuat dengan kombinasi efek dari deoksigenasi dan
reaerasi hingga menggambarkan kadar DO sepanjang aliran sungai.

Kurva

deoksigenasi menggambarkan reaksi BOD minus laju pemakaian oksigen yang


dimulai pada titik maksimum dan menurun secara kontinyu hingga mencapai titik nol.
Reaerasi dimulai dari nol karena diasumsikan air bersifat jenuh. Karena laju reaerasi
selalu sebanding dengan pengurangan kejenuhan maka laju reaerasi akan meningkat
seiring dengan peningkatan defisit kejenuhan.

Ketika deoksigenasi dan reaerasi

berproses, dihasilkan suatu titik DO minimum yang disebut sebagai titik kritis, setelah
reaerasi menjadi dominan dan DO mulai naik.
8.1.1.1.

Persamaan Analisis Kurva SAG oleh Streeter Phelps

Persamaan ini menyatakan bahwa laju peningkatan laju defisit sebanding


dengan penjumlahan aljabar dari dua hal.
dD
K 1L K 2 D
dt

(persamaan sag)

K1L menyatakan reaksi deoksigenasi.

Nilainya akan meningkatkan defisit

sebanding dengan BOD residual dan laju reaksi deoksigenasi (K1). Sedangkan K2D
merepresentasikan reaksi reaerasi.

K2D menurunkan defisit sebanding defisit

eksisting dan laju reaerasi K2. Selain tergantung dari suhu K2 juga bergantung pada
kedalaman kecepatan dan karakteristik fisik dari aliran.
Bentuk gabungan kedua persamaan di atas adalah sebagai berikut:

k1 La
(10 k1t 10 k 2t ) Da .10 k 2t
k 2 k1

(persamaan sag)

IV - 38

Dimana La adalah BOD awal dan Da adalah defisit oksigen dalam aliran. K2 dan K1
adalah laju deoksigenasi dan reaerasi dalam bentuk logaritma, D adalah defisit waktu
t (hari).
Oleh karena itu bila diketahui nilai Da, La dan k maka defisit di bagian hilir
dalam waktu berapa pun dapat dihitung. Kurva sag adalah posisi dimana nilai defisit
digambarkan sebagai kurva kontinyu terhadap waktu. Pada titik kritis dalam kurva
sag, laju reaerasi sama dengan laju deoksigenasi dan tepat pada saat itu perubahan
defisit adalah nol. Secara matematis peristiwa di atas digambarkan sebagai

dD
k1 L k 2 Dc 0
dt
k 2 Dc k1L
Dc

k1 L
k2

tapi

L La e k1t
Dc
Dc

k1
La e k1t c
k2

k1
La 10 k1tc
k2

(4.37)
(4.38)

(4.39)

atau

log Dc log

k1
L a k1 t c
k2

(4.40)

dimana Dc adalah defisit oksigen pada titik sag kritis.


Dean Fair, 1939 memperkenalkan persamaan yang berhubungan dengan nilai
k2/k1 sebagai rasio f . Rentang nilai f dapat dilihat pada tabel 4.11.
Fair menemukan bahwa terjadi penurunan nilai f kira-kira 3% untuk tiap
penaikan suhu 1. Meskipun k2 meningkat seiring dengan suhu, k1 juga meningkat
namun kelarutan oksigen dalam air akan menurun dan menghasilkan defisit yang
lebih sedikit. Maka laju k2 menjadi lebih rendah sehubungan dengan defisit yang
semakin menurun.
Dengan mendeferensialkan persamaan sag maka waktu terjadinya titik sag
kritis ( tc ) dapat diperoleh:

tc

k
D (k k )
1
log 2 1 a 2 1
k1 ( f 1) k1
L a k1

(4.41)

IV - 39

Dengan menggunakan nilai f persamaan di atas dapat dinyatakan tanpa


menghitung k2 dengan memasukkan nilai f dari tabel 4.11.

tc


D
1
log 1 ( f 1) a
k1 ( f 1)
La

(4.42)

Dengan cara yang sama dapat digunakan nilai f untuk menggantikan nilai
k2/k1 untuk menyederhanakan dan memperkirakan nilai Dc.
log Dc log

La
k 1t c
f

(4.43)

Tabel 4.11.Rentang Nilai f Untuk Beberapa Badan Air


No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Badan Air
Kolam kecil
Danau atau reservoar
Badan air dengan aliran tenang
Badan air dengan aliran normal
Aliran deras
Jeram dan air terjun

8.1.1.2.

Nilai f pada 20C


0.5 1.0
1.0 2.0
1.5 2.0
2.0 3.0
3.0 5.0
> 5.0

Pengaruh Sedimentasi, Penggerusan dan Fotosintesis pada


Perhitungan DO Sag

Aliran air (stream) adalah badan air yang bersifat dinamis dan hidup. Aliran air
dapat menyesuaikan diri sebagai reaksi terhadap polusi dari waktu ke waktu, baik di
lokasi yang sama maupun dari lokasi yang satu ke yang yang lain sepanjang
alirannya. Ada tiga hal utama yang menyebabkan kondisi tidak tetap (unsteady-state)
ini berlangsung : (1) sedimentasi; (2) penggerusan; dan (3) fotosintesis. Ketiga faktor
tersebut dianggap sebagai faktor yang mempercepat laju deoksigenasi k1.
1. Sedimentasi organik
Ketika unsur-unsur organik yang membutuhkan oksigen tenggelam dan keluar
dari arus utama dari suatu aliran air, dan akhirnya terdeposisi di dasar aliran, maka
laju deoksigenasi k1 akan terhitung lebih besar daripada laju deoksigenasi yang
sebenarnya Ini disebabkan kebutuhan oksigen dari unsur-unsur organik tersebut
hilang dari arus aliran air. Pada kenyataannya kebutuhan oksigen ini tertunda untuk
beberapa waktu hingga unsur-unsur organik tersebut mendekomposisi benthally.
Kebutuhan oksigen tersebut akan terlokalisir di sepanjang aliran tepat diatas unsurunsur organik yang tenggelam itu. Sebagai akibatnya lumpur yang terdeposit akan
mengambil alih kebutuhan oksigen dan akan meningkatkan kadar oksigen di bagian
hilir.
IV - 40

2. Penggerusan
Ketika terjadi arus yang bersifat unsteady dan turbulen di aliran air, lumpur
yang terdeposisi di dasar aliran akan meluap dari dasar. Ini berakibat kadar oksigen
di air akan berubah. Kebutuhan oksigen yang konstan, pelan dan terlokalisir akan
berpindah ke arus aliran. Oksigen dengan kadar yang sedikit akan terkandung dalam
aliran air yang membawa lumpur penggerus hingga hilir.
Ketika deposit penggerus ini sudah menempati lokasi yang baru, maka proses
ini akan berlanjut ke lokasi-lokasi yang baru di hilir. Penggerusan ini akhirnya akan
menghasilkan oksigen kadar rendah di dalam aliran air serta akumulasi oksigen yang
terkandung dalam material hasil gerusan yang terdeposisi di lokasi-lokasi baru di
bagian hilir. Deposit yang bersifat anaerobik akan bergerak dan menjadi aerobik. Ini
akan meningkatkan kebutuhan oksigen.
3. Fotosintesis
Peristiwa pertumbuhan tumbuhan mikroskopis akan berakibat langsung pada
kadar oksigen di dalam aliran air. Tumbuhan yang sedang tumbuh menggunakan
energi dalam bentuk sinar matahari, karbondioksida dan mineral dari udara dan air
untuk memproduksi biomassa oksigen. Kadar oksigen akan menjadi lebih tinggi di
siang hari dan semakin menurun seiring terbenamnya matahari. O'Connor (1967)
memperkenalkan persamaan matematika untuk menghitung pelepasan oksigen
selama proses fotosintesa.
P( t )

Pm sin t
p

dimana 0 t P

(4.44)

Pm adalah laju maksimum selama peride p; P (t) ada lah laju pelepasan oksigen
selama proses fotosintesa.
8.1.1.3.

Analisis Grafik dari Thomas Untuk Memperpendek Kurva Sag

Thomas (1948) memperkenalkan bentuk baru persamaan kurva sag :

k1 L a
(10 ( k1 k3 ) t 10 k 2t ) Da .10 k 2t
k 2 k1 k 3

(4.45)

Dimana k3 adalah konstanta perbandingan yang menggambarkan komposisi


dari pembuangan dan penerimaan air dan tingkat gejolak aliran dalam titik yang
diobservasi. Dalam daerah dengan tingkat turbulensi tertentu, nilai k3 pada suatu saat
bisa bernilai negatif yang mengindikasikan penggerusan saluran yang akan membalik
efek deposisi. Nilai k3 positif mengindikasikan adanya sedimentasi unsur organik
tersuspensi di dalam aliran.

IV - 41

Laju perpindahan BOD sehubungan dengan deposisi adalah sebanding


dengan sis BOD (= 2.3 k3 L). Ketiga konstanta laju reaksi tersebut dipengaruhi oleh
suhu, seperti yang terlihat di Tabel 4.12.

Tabel 4.12. Faktor Suhu untuk Konstanta Keseimbangan Oksigen


Suhu C

16

18

20

22

24

26

k1

0.832

0.912

1.000

1.096

1.202

1.317

k2

0.939

0.969

1.000

1.032

1.065

1.099

k3

0.752

0.867

1.000

1.153

1.331

1.535

0.920

0.960

1.000

1.040

1.080

1.120

Rentang nilai dari konstanta polusi aliran untuk sungai-sungai di Amerika dengan
beban buangan non-toksik selama bulan-bulan panas adalah :
k1 per hari = 0.06 hingga 0.36
k2 per hari = 0.06 hingga 0.96
k3 per hari = -0.36 hingga 0.36
Beban BOD maksimum yang diijinkan
Bila diasumsikan tidak terjadi deposisi, beban BOD maksimum LA yang harus
diketahui agar konsentrasi oksigen akan tetap diatas nilai tertentu di hilir, dapat
didekati dengan persamaan :

k1
D
1 A
log L A log Dc 1
k 2 k1
DC

8.1.1.4.

0.418

log

k2
k1

(4.46)

Modifikasi dari Hull untuk Analisis Kurva Sag

Cecil Hale Hull (1960) mengembangkan sebuah teknik sederhana untuk


menentukan koefisien teoritis dan efektif dalam polusi di aliran air. Teknik ini hanya
membutuhkan tiga parameter pengukuran (suhu, DO dan BOD). Dengan demikian
konstanta k1, k2 dan waktu pengaliran t dapat dieliminasi.

Hull mengusulkan

IV - 42

penyederhanaan salah satu persamaan Fair sebagai dasar metoda untuk


menentukan koefisien self-purification.
Fair menurunkan persamaan untuk defisit maksimum :

DC

La k1tc
10
f

(4.47)

DC

1
( La X c )
f

atau

DC

Lc
..
f

(4.48)
Dimana :
f

= k2/k1
(4.49)

Dc dan tc

= defisit maksimum atau kritis di titik terendah dari sag


dihubungkan dengan waktu pengaliran tc dari titik awal.

Xc

= BOD fase pertama selama waktu pengaliran menuju titik kritis

La

= BOD fase pertama pada titik awal a

Dengan menyamakan (4.47) dan (4.48) didapatkan

La k1tc 1
10
( La X c ) LC
f
f

(4.50)

Dc
LC
f

atau

DC

LC
f

..

(4.51)

LC
DC

(4.52)
Nilai f dalam (4.47) dan (4.48) merepresentasikan rata-rata atau nilai efektif
yang merupakan integrasi dari titik awal a hingga titik kritis c.
Substitusi Lc dengan La .10 -k1 tc dan La - Xc berakibat tidak ada BOD yang ditambahkan
atau diganti sepanjang aliran, kecuali oleh reaksi BOD. Kenyataannya jarang sekali
ada aliran yang bisa memenuhi persyaratan tersebut.
Pada titik kritis, kemiringan kurva sag (dD/dt) adalah nol.

IV - 43

dD
K1 L K 2 D
dt

(4.53)
Dengan memberi subscript c pada persamaan diatas, persamaan 4.53 dapat ditulis
sebagai

dD
K 1c Lc K 2c Dc 0
dt

(4.54)
Persamaan 4.54 mengindikasikan bahwa pada titik dimana konsentrasi DO tidak
berubah, laju deoksigenasi akan seimbang dengan laju reoksigenasi.

K 2 c Lc

K 1c Dc

atau

log

K 2c
L
c
K 1c Dc

(4.55)
Dengan memodifikasi f dengan menambah subscript c didapatkan

fc

k 2 c Lc

k1c Dc

(4.56)
Yang sama dengan persamaan 4.55

Lc f c Dc

(4.57)
Persamaan 4.56 bisa digunakan untuk mengitung f pada lokasi tertentu dalam
kondisi yang juga ditentukan. Koefisien self purification dapat juga dihitung dengan
persamaan 4.56.

Dengan diketahuinya lokasi titik kritis, maka hanya dibutuhkan

perhitungan suhu, DO dan BOD fase awal ultimate, semuanya pada titik kritis. Tidak
dibutuhkan lagi perhitungan waktu pengaliran, k1 dan k2.
Hull menyatakan bahwa dalam sistem Streeter - Phelps dengan melibatkan
reaerasi atmosferik serta BOD tahap awal, kurva sag oksigen yang diamati akan
bersamaan waktunya dengan kurva sag oksigen teoritis.

hc f c

Lc
Dc

(4.58)

Namun ketika ada algae, deposit lumpur atau COD, hasil pengamatan tidak sama
dengan teori. Dan hc

fc, tapi,
IV - 44

h' c C 3 f ' c

L' c
D' c

(4.59)
Hull mendefinisikan h'c sebagai koefisien self purification efektif pada titik sag
kritis pengamatan dan f'c sebagai koefisien self purification teoritis pada titik sag kritis
yang diamati.
Nilai koefisien hc dimaksudkan sebagai hasil estimasi dari rata-rata nilai h
sepanjang daerah deoksigenasi. Nilai h dapat disubstitusi dengan f untuk persamaan
1 untuk memprediksi defisit oksigen kritis untuk beban BOD yang diketahui.

8.2.

PENINGKATAN KEMAMPUAN SELF PURIFICATION


Dari perhitungan self purification, rumus yang ada memperlihatkan bahwa

kemampuan self purification di sungai sangat tergantung pada nilai konstanta k 1, k2


dan k3. Nilai konstanta ini sangat dipengaruhi oleh kondisi sungai dan lingkungannya,
sehingga untuk suatu sungai nilainya bisa berfluktuasi. Sebagai contoh, apabila data
monitoring kualitas air menunjukkan adanya fluktuas, maka ada kemungkinan juga
terjadi fluktuasi nilai konstanta k1, k2 dan k3.
Terjadinya fluktuasi kualitas air sungai bisa disebabkan oleh adanya fluktuasi
debit sungai dan fluktuasi limbah yang masuk ke dalam sungai, dan pengaruh
lingkungan lainnya seperti temperatur, kecepatan angin dan sebagainya.
Menurut Nemerov, semakin besar nilai k1, k2 dan k3 akan semakin besar pula
kemampuan self purification-nya. Masih adanya kemampuan self purification ini tentu
saja sangat bermanfaat untuk ikut menetralisir beban limbah yang masuk ke dalam
sungai.
Jadi jika ingin meningkatkan kemampuan self purification, maka secara teoritis
dapat dilakukan dengan meningkatkan nilai konstanta k1, k2 dan k3.

Tentunya

diperlukan penelitian yang seksama agar dapat diketahui hal-hal apa saja yang dapat
meningkatkan nilai konstanta k1, k2 dan k3.

8.3.

DAYA DUKUNG DAN DAYA TAMPUNG SUNGAI


Daya dukung sungai terhadap pencemaran adalah kemampuan sungai dalam

batas maksimum kadar bahan pencemar yang masih memungkinkan proses purifikasi

IV - 45

berjalan dengan baik.

Besarnya daya dukung sungai terhadap pencemaran atau

kapasitas sungai dalam menerima bahan pencemar dihitung berdasarkan penurunan


kadar oksigen terlarut dalam air sungai tersebut. Makin besar kadar pencemarnya
makin besar pula penurunan kadar oksigennya yang terjadi.
Kebijakan pengendalian pencemaran badan air yang ada saat ini masih
bertumpu pada beban maksimum baik dalam kuantitas (debit) maupun kualitas
(konsentrasi) pencemar.

Kebijakan seperti ini akan dapat digunakan untuk

membatasi beban pencemaran yang diterima oleh badan air, namun masalah akan
timbul jika jumlah pencemar banyak dan jarak lokasi/titik pembuangan limbah saling
berdekatan meskipun debit dan konsentrasi limbah masih di bawah ambang batas
yang ditetapkan.
Dari data monitoring sungai biasanya dapat dilakukan perhitungan beban
pencemaran.

Beban pencemaran dihitung dengan mengalikan BOD limbah yang

masuk ke sungai (dalam mg/L) dengan besarnya debit aliran sungai (dalam m 3/detik).
Dari hasil perkalian ini setelah dikonservasi pada akhirnya akan diperoleh satuan
beban pencemaran BOD dalam ton / hari
Selain itu diperoleh juga besarnya kapasitas beban (daya dukung) sungai agar
tidak tercemar, yang dihitung dengan mengalikan besarnya beban BOD limbah yang
tidak mencemari sesuai baku mutu sungai (dalam mg/L) dengan debit aliran sungai
(dalam m3/detik). Dari hasil perkalian ini setelah dikonversi pada akhirnya juga akan
diperoleh satuan kapasitas beban BOD dalam ton/hari
Dari kedua hasil perhitungan ini dapat dihitung lagi selisihnya sebagai
kelebihan beban yang dipikul oleh sungai dalam satuan ton/hari, dan selanjutnya bisa
pula dihitung prosentase penurunan beban yang diperlukan dan debit pengenceran
yang diperlukan
Dari perhitungan yang dilakukan dapat diketahui apakah kapasitas daya
dukung sungai sudah terlampaui atau belum. Tentu saja kemampuan self purification
menjadi kurang berarti apabila daya dukung sungai tidak terlampaui, secara langsung
atau tidak langsung juga berarti meningkatkan kemampuan self purification sungai.
8.3.1. PEMILIHAN ATAU PENENTUAN PARAMETER KUALITAS
Baku mutu air atau sumber air sesuai peruntukannya (golongan A, B, C, dan
D) terdapat + 26 parameter kualitas yang dapat digolongkan dalam 5 golongan yaitu :
fisika, kimia, bakteriologi, radioaktifitas dan pestisida.

Masing-masing parameter

kualitas ini merupakan faktor utama di dalam perhitungan sisa daya dukung suatu
sumber air atau sungai. Sangatlah berat atau sulit bila semua parameter kualitas

IV - 46

dipakai dalam faktor penentuan, sebab masing-masing parameter kualitas akan


digunakan dalam perhitungan penentuan sisa daya dukung sumber air atau sungai
tersebut.
Untuk ini diperlukan pemilihan atau penentuan parameter kualitas secara
prioritas berdasarkan kebutuhan pada segmen sungai atau sumber air yang akan
dihitung sisa daya dukungnya. Pemilihan atau penentuan parameter kualitas secara
prioritas berdasarkan kebutuhan pada segmen sungai atau sumber air yang akan
dihitung sisa daya dukungnya.

Pemilihan atau penentuan parameter prioritas

ditetapkan pada parameter-parameter kualitas yang sangat mempengaruhi kondisi


kualitas segmen sungai yang akan dikendalikan mutunya tehadap beban pencemaran
yang akan diterima.
Sebagai contoh
Segmen Kali Brantas bagian hulu adalah (golongan B)
Parameter kualitas prioritas : BOD, COD, Logam berat, padatan terlarut dan
suspended solid (SS).
8.3.2. PEMILIHAN ATAU PENENTUAN SUNGAI
Sesuai dengan penggolongan sumber air atau sungai (golongan A, B, C, dan
D) maka sumber air golongan A tidak diperlukan sisa daya dukung, sebab golongan A
tidak boleh untuk dicemari dan dibebani limbah, sedangkan golongan B, C, dan D
dapat dibebani limbah. Untuk DPS Kali Brantas dapat dipilih sebagai prioritas adalah
Kali Brantas sebab mengingat pertumbuhan kegiatan usaha dan pemukiman di
sekitar Kali Brantas yang begitu pesat.
8.3.3. PEMANTAUAN SUNGAI
Data pemantauan sungai yang diperlukan dalam perhitungan sisa daya
dukung sungai adalah debit sungai dan hasil analisa parameter kualitas prioritas yang
ditentukan. Disamping itu minimal ada data di musim kemarau dan musim penghujan
(sebagai referensi).
8.3.4. HIPOTESIS PERHITUNGAN
Untuk menghitung sisa daya dukung suatu segmen sumber air atau sungai,
dimulai dari perhitungan per parameter prioritas dengan persamaan :
Q X C

(4.60)

dimana
Q

= Debit sungai (liter/detik)

IV - 47

= Selisih konsentrasi parameter prioritas antara konsentrasi yang telah


ditetapkan sesuai pada peruntukan (golongan) sungai atau sumber air
tersebut dikurangi dengan konsentrasi parameter prioritas tersebut hasil
pemantauan (dalam ppm)

Misalnya
Sisa daya dukung BOD5:
Q sungai liter/detik X C mg/L BOD5 = Q sungai X C mg/L BOD5
8.3.5. PEMANFAATAN SISA DAYA DUKUNG
Setelah didapatkan hasil data sisa daya dukung suatu segmen sungai atau
sumber dari beberapa parameter prioritas, dapat digunakan sebagai acuan
kebijaksanaan dalam:
1. Penentuan

sektor

usaha

yang

mempunyai

kontribusi

dominan

yang

mengakibatkan terjadinya pencemaran terhadap segmen sungai/sumber air


tersebut.
2. Penentuan lokasi dan relokasi kegiatan usaha pada DPS badan air atau sumber
air.
3. Pengelolaan pengendalian pencemaran dari kegiatanusaha maupun domestik
pada DPS badan air atau sumber air.
4. Penggelontoran/pengenceran badan air/sumber air tersebut agar kualitasnya
dapat tetap sesuai dengan peruntukkannya.

IV - 48

Anda mungkin juga menyukai