Anda di halaman 1dari 35

BAB 1.

PENDAHULUAN

Gerakan involunter yang dapat dijumpai didalam klinik adalah chorea,


balismus, dan atetosis. Dalam kombinasi ketiga gerakan involuntar itu dapat menjadi
gejala suatu penyakit. Bahkan beberapa komponen gerakannya memperlihatkan
kesamaan, dan karena itulah mungkin ketiga gerakan itu memiliki substrat anatomik
dan fisiologik yang sama.
Chorea adalah istilah untuk gerakan involuntar yang menyerupai gerakan
lengan-lengan seorang penari. Gerakan itu tidak berirama, sifatnya kuat, cepat dan
tersentak-sentak dan arah geraknya cepat.berubah. Gerakan choreatik yang melanda
tangan-lengan yang sedang melakukan gerakan voluntary membuat gerakan voluntar
itu berlebihan dan canggung. Gerakan choreatik ditangan-lengan seringkali disertai
gerakan meringis-ringis pada wajah dan suara mengeram atau suara-suara lain yang
tidak mengandung arti. Jika timbulnya sekali-sekali maka sifat yang terlukis diatas
tampak dengan jelas, tetapi apabila timbulnya gencar, maka gerakan choreatiknya
menyerpai atetosis. Chorea dalam bentuk yang khas ditemukan pada Chorea
Syndenham dan Chorea Gravidarum. Pada Chorea Huntington ia timbul dengan
gencar sehingga lebih tepat dinamakan Choreoatetosis Huntington. Chorea dapat
bangkit juga secara iatrogenic yakni akibat penggunaan obat-obat anti psikosis
(seperti haloperidol, dan phenothiazine).
Chorea dapat melibatkan sesisi tubuh saja, sehingga disebut hemichorea. Bila
hemichorea bangkit secara keras sehingga seperti membanting-bantingkan diri, maka
istilahnya ialah hemibalisme. Secara pasti telah diketahui bahwa kerusakan dinukleus
substalamikus kontralateral mendasari hemibalisme.
Atetosis merupakan keadaan motorik dimana jari-jari tangan dan kaki serta
lidah atau bagian tubuh lain apapun tidak dapat diam sejenak. Gerakan yang
mengubah posisi ini bersifat lambat, melilit dan tidak bertujuan. Pola gerakan
1

dasarnya ialah gerakan involuntar ekstensipronasi yang berselingan dengan gerakan


fleksi-supinasi lengan, serta gerakan involuntar fleksi yang berselingan dengan
ekstensi jari-jari tangan dan dengan ibu jari yang berfleksi dan beraduksi didalam
kepalan tangan. Umumnya gerakan atetotik lebih lamban daripada gerakan choreatik,
tetapi gerakan atetotik yang lebih cepat dan gencar atau gerakan koreatik yang
kurang cepat dan tidak menyerupai satu dengan yang lain, dikenal sebagai gerakan
koreoatetosis. Jika atetosis melanda sesisi tubuh saja disebut hemiatetosis. Ballismus
adalah gerak otot yang datang sekonyong-konyong, kasar dan cepat, terutama
mengenai otot-otot skelet yang letaknya proksimal.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Basal Ganglia


Basal ganglia terdiri dari striatum (nukleus kaudatus dan putamen), globus
palidus (eksterna dan interna), substansia nigra, dan nukleus sub-thalamik. Korpus
striatum terdiri dari nukleus kaudatus, putamen, dan globus palidus. Striatum
dibentuk oleh nukleus kaudatus dan putamen. Nukleus lentiformis dibentuk oleh
putamen dan kedua segmen dari globus palidus. Kapsula interna terletak diantara
nukleus kaudatus dan nukleus lentiformis. Kapsula interna adalah tempat relay dari
traktus motorik volunter, sehingga jika ada lesi pada lokasi ini akan menyebabkan
gangguan motorik lain.
Vaskularisasi yang memperdarahi basal ganglia adalah cabang-cabang arteri
yang berasal dari arteri serebri anterior (ACA), serebri media (MCA), choroidal
anterior, posterior communicans, serebri posterior (PCA), dan serebelar superior.
Cabang dari MCA adalah yang terbanyak mendarahi striatum dan lateral dari
pallidum. Arteri Heubner segmen dari ACA, memperdarahi sebagian dari globus
pallidus dan putamen, juga ekor dari nukleus caudatus. Arteri posterior communicans
memperdarahi bagian medial dari palidum, medial substansia nigra, dan sebagian
nukleus subthalamikus. Cabang dari SCA memperdarahi bagian lateral dari
substansia nigra.

Gambar 2.1 Anatomi Basal Ganglia

2.2 Gerak Involunter


Gerakan involunter (GI) ialah suatu gerakan spontan yang tidak disadari, tidak
bertujuan, tidak dapat diramalkan dan dikendalikan oleh kemauan, bertambah jelas
waktu melakukan gerakan volunter atau dalam keadaan emosi dan menghilang waktu
tidur.
GI yang sering dijumpai akibat gangguan ganglia basalis dan/atau serebelum
mencakup tremor, korea, atetosis, distonia dan hemibalismus. GI yang timbul bukan
karena gangguan pada inti-inti organ tersebut, misalnya tic, spasmus dan mioklonia.
2.2.1

Definisi
Gerakan involunter merupakan gerakan yang tidak sesuai dengan kemauan,

tidak dikehendaki, dan tidak bertujuan.

2.2.2

Patofisiologi
Suatu fungsi motorik yang sempurna pada otot rangka memerlukan kerjasama

yang terpadu antara sistem piramidal dan ekstrapiramidal. Sistem piramidal terutama
untuk gerakan volunter sedang sistem ekstrapiramidal menentukan landasan untuk
dapat terlaksananya suatu gerakan volunter yang terampil dan mahir.
Dengan kata lain, sistem ekstrapiramidal mengadakan persiapan bagi setiap
gerakan volunter berupa pengolahan, pengaturan dan pengendalian impuls motorik
yang menyangkut tonus otot dan sikap tubuh yang sesuai dengan gerakan yang akan
diwujudkan.
Sistem ekstrapiramidal terdiri atas:
1. Inti-inti korteks serebri area 4S, 6 & 8;
2. Inti-inti subkortikal ganglia basalis yang meliputi inti kaudatus, putamen, globus
palidus, substansi nigra, korpus subtalamikum dan inti talamus ventrolateralis;
3. Inti ruber dan formasio retikularis batang otak dan
4. Serebelum. Inti-inti tersebut saling berhubungan melalui jalur jalur khusus yang
membentuk tiga lintasan lingkaran (sirkuit).
Sedangkan sistem piramidal, dari korteks serebri area 4 melalui jalur-jalur
kortikobulbar dan kortikospinal (lintasan piramidal) menuju Ice "lower motor neuron
(LMN). Untuk mengetahui mekanisme terjadinya gerakan involunter, terlebih dahulu
dijelaskan mengenai jalannya impuls motorik yang digunakan untuk mempersiapkan
dan membangkitkan gerakan volunter. Impuls motor dan ekstrapiramidal sebelum
diteruskan ke LMN akan mengalami pengolahan di berbagai inti ganglia basalis dan
korteks serebelum sehingga telah siap sebagai impuls motorik atau pengendali bagi
setiap gerakan yang akan diwujudkan impuls motorik sistem piramidal. Keduanya
merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam membangkitkan setiap
gerakan volunter yang sempuma.
Ada 3 jalur sirkuit untuk pengolahan impuls motorik tersebut:
1) Sirkuit pertama
Lingkaran yang disusun oleh jaras jaras penghubung berbagai inti melewati
korteks piramidalis (area 4 ) , area 6, oliva inferior, inti inti pontis, korteks serebelli,
5

nucleus dentatus, nucleus rubber, nucleus ventrolateralis talami, korteks pyramidalis


& ekstrapiramidalis. Peranan sirkuit ini memberikan feedback kepada korteks
piramidalis & ekstrapiramidalis yang berasal dari korteks serebellum.
Gangguan feedback lintasan ini timbul :
Ataksia
Dismetria
Tremor sewaktu gerakan volunteer berlangsung.

2) Sirkuit kedua
Menghubungkan korteks area 4S

& area 6 dengan korteks motorik

piramidalis & ekstrapiramidalis melalui substansia nigra, globus pallidus, nucleus


ventrolateralis talami. Tujuan pengelolaan impuls piramidalis & ekstrapiramidalis
untuk mengadakan inhibisi terhadap korteks piramidalis & ekstrapiramidalis, agar

gerakan volunter yang bangkit memiliki ketangkasan yang sesuai. Gangguan pada
substansia nigra menimbulkan:
Tremor sewaktu istrahat
Gejala-gejala motorik lain
Sering ditemukan pada sindroma Parkinson

3)Sirkuit ketiga
Merupakan lintasan bagi impuls yang dicetuskan di area 8 & area 4S untuk
diolah secara berturut-turut oleh nucleus kaudatus, globus palidus & nucleus
ventrolateralis talami. Hasil pengolahan ini dengan dicetuskan impuls oleh nucleus
ventrolateralis

talami

yang

dipancarkannya

ke

korteks

piramidalis

&

ekstrapiramidalis (area 6). Impuls terakhir ini melakukan tugas inhibisi. Sebagian
impuls ini disampaikan oleh globus pallidus kepada nucleus Luysii.

Bila area 4S & 6 tidak dikelola oleh impuls tersebut maka timbul gerakan
involunter (gerakan spontan yang tidak dapat dikendalikan) seperti Khorea dan
Atetosis. Keduanya akibat lesi di nucleus kaudatus & globus pallidus. Balismus
akibat lesi di Nukleus Luysii.

Gerakan involunter yang akan dibahas adalah khorea, atetosis, dan balismus.
2.3 Khorea
2.3.1 Definisi Korea
Khorea berasal dari bahasa Yunani khoreia yang berarti menari. Definisi
khorea menurut Committeeon Clasification of the World Federation of Neurology

adalah suatu keadaan yang berlebihan, terjadi gerakan spontan, waktunya tidak
teratur, tidak berulang, terdistribusi secara acak, dan terjadi secara tiba-tiba.
Khorea adalah istilah untuk gerakan involuntar yang menyerupai gerakan
lengan-lengan seorang penari. Gerakan itu tidak berirama, sifatnya kuat, cepat dan
tersentak-sentak dan arah geraknya cepat berubah. Gerakan khoreatik yang melanda
tangan-lengan yang sedang melakukan gerakan voluntary membuat gerakan voluntar
itu berlebihan dan canggung.
Khorea biasanya melibatkan tangan, kaki, dan muka. Gerakan menyentak
kelihatannya mengalir dari satu otot ke otot berikutnya dan mungkin kelihatannya
seperti menari. Gerak-gerik mungkin bergabung secara tak terlihat ke dalam
perbuatan dengan tujuan atau semi-tujuan, kadang-kadang membuat chorea sukar
untuk dikenali.
2.3.2

Epidemiologi
Di Amerika Serikat walaupun tidak ada data yang tersedia mengenai insiden

korea, timbulnya beberapa kesatuan gejala, dimana korea adalah gejala utama sudah
diketahui.
Penyakit

huntington

merupakan

autosomal

dominan,

kelainan

neurodegeneratif dimana defek gen terletak pada lengan pendek dari kromosom 4.
Kelainana penyakit huntington diperkirakan 5 sampai 10 per 100.000 orang di USA.
Penyakit Wilson merupakan autosomal resesif, penyakit multisistem yang
disebabkan mutasi gen ATP7B pada lengan kromosom 13. Prevalensi penyakit ini
diperkirakan sebanyak 1%, kejadian penyakit ini hanya 1 orang per 30 juta orang.
Korea herediter benigna, adalah kelainan yang sangat jarang dimana
kebanyakan pada silsilah sudah dengan jelas ditunjukkan bersifat dominan, angka
kejadian 1/500.000 orang.
1. Ras
Huntington disease diketahui sering terjadi pada ras kaukasia. Kebanyakan
kasus dari kelainan ini terjadi dari garis keturunan Anglia Timur.
9

2. Umur
Korea bisa terjadi pada semua umur. Sekitar 10 % dari pasien dengan penyakit
huntington mempunyai onset penyakit pada saat berumur kurang dari 20 tahun,
sekitar 6 % saat berumur kurang dari 20 tahun, dan sekitar 3 % saat berumur kurang
dari 15 tahun, tapi onset yang paling sering terjadi pada dekade ke IV dan dekade ke
V. Kasus pernah ditemukan pada pasien beumur kurang dari 5 tahun. Pasien-pasien
dengan onset dini biasanya menerima penyakit dari ayahnya, sementara pasien
dengan onset lanjut lebih sering mendapatkan penyakit dari ibunya. Walaupun 27 %
dari kasus pertama kali diketahui pada pasien berumur lebih dari 50 tahun,
kebanyakan dari kasus tercatat pada pasien kurang dari 60 tahun. Onset penyakit
tercatat paling lambat pada dekade ke VIII.
2.3.3

Etiologi
Korea bukan merupakan penyakit, tetapi merupakan gejala yang bisa terjadi

pada beberapa penyakit yang berbeda. Seseorang yang mengalami korea memiliki
kelainan pada ganglia basalisnya di otak.
Tugas ganglia basalis adalah memperhalus gerakan-gerakan yang kasar yang
merupakan perintah dari otak. Pada sebagian besar kasus terdapat neurotransmiter
dopamin yang berlebihan, sehingga mempengaruhi fungsinya yang normal. Keadaan
ini bisa diperburuk oleh obat-obat dan penyakit yang menyebabkan perubahan kadar
dopamin atau merubah kemampuan otak untuk mengenal dopamin. Penyakit yang
sering kali menyebabkan korea adalah penyakit huntington.
Penyebab dari khorea antara lain:
1. Herediter
- Huntingtons disease
- Neuroacanthocythosis
- Wilsons disease
2. Penggunaan Obat
- Neuroleptik

10

- Anti-konvulsan
- Kontrasepsi oral
3. Racun
- Keracunan karbonmonoksida
4. Metabolik
- Hipertiroid
- Kehamilan
- Hiper / hipoglikemia
- Ketidakseimbangan elektrolit
5. Infeksi
- Sydenham khorea
6. Sistem Imun
- Systemic Lupus Erythematosus
7. Vaskular
- Polisitemia
8. Tumor
9. Trauma
10. Psikogenik
2.3.4

Patofisiologi
Fungsi ganglia basalis yaitu membentuk impuls yang bersifat dopaminergik

dan GABAergik dari substansia nigra dan korteks motoris yang berturut-turut
disalurkan sampai ke pallidum di dalam thalamus dan korteks motoris. Impuls ini
diatur dalam striatum melalui dua segmen yang paralel, jalur langsung dan tidak
langsung melalui medial pallidum dan lateral pallidum atau inti-inti subtalamikus.
Aktifitas
menghambat

inti

subtalamikus

impuls-impuls

dari

mengendalikan
korteks,

dengan

pallidum

medial

untuk

demikian

mempengaruhi

parkinsonisme. Kerusakan inti subtalamikus meningkatkan aktifitas motorik melalui


thalamus, sehingga timbul pergerakan involuntar yang abnormal seperti distonia,
korea, dan pergerakan tidak sadar. Contoh klasik kerusakan fungsi penghambat inti
subthalamicus adalah balismus.
Sindrom khorea yang paling sering dipelajari adalah khorea Huntington, oleh
karena itu patofisiologi dari penyakit Huntington berlaku pada khorea dan akan
menjadi fokus diskusi dibawah ini.

Mekanisme Dopaminergik
11

Pada chorea Huntington, komposisi dari striatal dopamine normal,


mengindikasikan bahwa kelainan utama yang mengancam jiwa, tetapi sudah terkena
penyakit, ukuran menengah, pada striatal saraf-saraf dopaminergik. Zat-zat
farmakologik yang dapat menurunkan kadar dopamine (seperti reserpine,
tetrabenazine) atau memblok reseptor dopamine (seperti obat-obat neuroleptik) dapat
menimbulkan khorea. Sejak obat-obatan yang menurunkan komposisi dopamine
striatal dapat menimbulkan chorea, meningkatkan jumlah dopamine akan menambah
buruk seperti pada chorea yang diinduksi levodopa yang terlihat pada penyakit
Parkinson.

Mekanisme Kolinergik
Dalam ganglia basalis pasien dengan penyakit huntington terjadi pengurangan

kolin asetil transferase, yaitu enzim yang mengkatalisator sintesis asetil kolin.
Berkurangnya reseptor kolinergik muskarinik juga telah ditemukan. Dua pengamatan
ini dapat menjelaskan bermacam-macam respon terhadap visostigmin dan efek
terbatas dari prekursor asetilkolin, seperti kolin dan lesitin.

Mekanisme Seratonergik
Manipulasi dari sriatal serotonin dapat berperan dalam pembentukan dari

berbagai macam pergerakan abnormal. Penghambatan pengambilan kembali


serotonin seperti fluoksetin dapat menimbulkan parkinsonisme, akinesia, mioklonus,
atau tremor.
Peranan serotonin (5-hidroksi triptamin) dalam pergerakan korea kurang jelas.
Striatum mempunyai konsentrasi serotonin yang relatif tinggi. Penatalaksanaan
farmakologik tuuntuk merangsang atau menghambat reseptor serotonin pada korea
huntington tidak menunjukkan efek, mengindikasikan kontribusi terbatas serotonin
dalam patogenesis korea.

Mekanisme GABAergik
Lesi yang paling konsisten pada korea huntington terlihat dengan hilangnya

saraf-saraf dalam ganglia basalis yang mensintesis dan mengandung GABA.

12

Bermacam-macam tehnik farmakologi untuk meningkatkan GABA didalam sistem


saraf pusat telah dicoba, tetapi tidak ada manfaat yang diperoleh.

Substansi P dan Somastotatin


Substansi P telah diketahui berkurang pada penyakit huntington, sementara itu

somatostatin meningkat.
2.3.5

Gambaran Klinis
Diagnosis korea ditegakkan berdasarkan gejala klinis. Gerak korea melibatkan

jari-jari dan tangan, diikuti secara gradual oleh lengan dan menyebar ke muka dan
lidah. Bicara menjadi cadel. Bila otot faring terlibat dapat terjadi disfagia dan
kemungkinan pneumonia oleh aspirasi. Sensibilitas normal.
Gerakan terjadi secara tiba-tiba dan tak terduga, dan akan berkurang atau
menghilang jika penderita tertidur, tetapi akan bertambah buruk jika melakukan
aktivitas atau mengalami tekanan emosional.
Pasien yang menderita korea tidak sadar akan prgerakan yang tidak normal,
kelainan mungkin sulit dipisahkan. Pasien dapat menekan korea untuk sementara dan
sering beberapa gerakan tersamar (parakinesia). Pada beberapa pasien yang terkena,
gerakan berjalan seperti menari dapat ditemukan. Berdasarkan pada penyebab dasar
korea gejala motorik lain termasuk disartria, disfagia, ketidakstabilan postural,
ataksia, distonia, dan mioklonus.

Dalam klinik dibedakan 3 jenis gerakan koreatik :


1) Korea mayor (Korea Huntington)
Merupakan salah satu gejala klinik penyakit Huntington. Penyakit ini bersifat
herediter yang diturunkan secara autosom dominan, akibat degenerasi ganglia basalis
terutama pada inti kaudatus yang bersifat menahun progresif. Lebih sering pada orang
dewasa di atas umur 30 tahun, sangat jarang pada anak. Sekitar 15% terdapat pada
anak di atas umur 3 tahun (juvenile type). Pada tipe juvenilis, 75% dengan riwayat
13

keluarga positif yakni ayahnya. Manisfestasi klinik lain berupa kekakuan, bradikinesi,
kejang dan retardasi intelektual. Tidak ada pengobatan khusus. Prognosis jelek.
kematian biasanya terjadi 310 tahun sesudah timbul gejala klinik.
2) Korea minor
Sering disebut korea Sydenham, St Vitus dance atau korea akuisita.
Patogenesisnya masih belum jelas, diduga berhubungan dengan infeksi reuma sebab
75% kasus menunjukkan riwayat demam rematik. Sangat mungkin reaksi antigenantibodi pasca infeksi streptokok betahemolitikus grup A yang berperan. Selain pada
demam rematik, korea ini dapat juga bermanifestasi pada ensefalitis/ensefalopati dan
intoksikasi obat. Kira-kira 80% kasus terdapat pada usia 515 tahun, perempuan:
lelaki = 23 : 1. Gejala klinik berupa gerakan-gerakan koreatik pada tangan/lengan
menyerupai gerakan tangan seorang penari/pemain piano, adakalanya pada
kaki/tungkai dan muka. Perjalanan penyakit bervariasi, dapat sembuh spontan dalam
23 bulan tetapi dapat pula sampai setahun. Tidak ada pengobatan khusus selain
sedativa.
3) Korea Iatrogenik
Jenis korea ini disebabkan karena penggunaan obat-obatan yang pada umunya
obat yang digunakan untuk pasien sakit jiwa atau disebut obat antipsikosis seperti
haloperidol dan fenotiazin. Korea dapat melibatkan sesisi tubuh saja, sehingga
disebut hemikorea. Bila hemikorea bangkit secara keras sehingga seperti
membanting-bantingkan diri, maka istilahnya ialah hemibalismus.
2.3.6

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan:
1. Bila pasien disuruh meluruskan lengan dan tangannya, akan terlihat hiperekstensi
pada falang proksimal dan terminal, dan pergelangan tangan fleksi dengan sedikit
dipronasikan.

14

2. Bila pasien disuruh mengangkat lengannya ke atas, jari-jari tangan biasanya akan
direnggangkan, dan ibu jari diabduksi dan terarah ke bawah.
3. Bila pasien disuruh menggenggam tanga pemeriksa, tenaga genggaman tidak
konstan melainkan berfluktuasi, terasa melemah kemudian menguat lagi.
4. Jika penderita disuruh mengeluarkan lidah, hal ini dilakukan secara mendadak
dan kemudian ditarik kembali.
2.3.7 Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Diagnosis utama pada penyakit korea didasarkan pada anamnesa dan
penemuan klinis; akan tetapi pemeriksaan laboratorium sangat bermanfaat terutama
untuk membedakan korea primer dan sekunder diantaranya :
a. Penyakit Huntington; satu-satunya pemeriksaan

laboratorium

untuk

mengkonfirmasi penyakit ini adalah dengan cara tes genetik. Kelainan ini terdapat
pada kromosom ke 4 yang ditandai dengan adanya pengulangan abnormal dari
trinucleotide CAG, dimana panjang lengan menentukan lamanya serangan.
b. Penyakit Wilson; rendahnya kadar seruloplasmin dalam serum dan meningkatnya
kadar tembaga dalam serum pada pemeriksaan urin. Proteinuria ditemukan pada
pasien yang mempunyai gangguan ginjal, tetapi tidak semua pasien mengalami
hal ini. Pada pemeriksaan fungsi hati umumnya abnormal. Kadar amoniak dalam
serum mungkin meningkat. Jika hasil diagnosa masih belum pasti maka biopsi
hati akan sangat membantu dalam mengkonfirmasi diagnosa tersebut.
c. Sydenham Korea; Korea dapat terjadi setelah infeksi streptokokus. Umumnya 1-6
bulan pasca infeksi, kadang-kadang setelah 30 tahun. Oleh karena itu, maka titer
antibody antistreptokokus tidak begitu dipresentasikan. Tanpa bukti adanya
infeksi streptokokus yang mendahului, maka diagnosa korea harus ditegakkan
tanpa penyebab lain.
d. Neuroachanthocytosis; Diagnosa ditegakan oleh adanya gambaran acanthosit
pada darah perifer. Kadar kreatinin kinase serum mungkin meningkat.
Pemeriksaan labolatorium lain yang digunakan untuk diferensial diagnosis
dari pada corea adalah pemeriksaan kadar complement, titer antinuclear antibody

15

(ANA), titer antibody fosfolipid, asam amino dalam serum dan urin, tiroid
stimulating hormone (TSH), thyroxine (T4), dan parathyroid (PTH).
2. MRI
Pasien dengan HD dan choreo-acantocithosis menunjukkan adanya penurunan
signal pada neostriatum, cauda, dan putamen. Tidak ada perbedaan penting
pada penyakit ini. Penurunan signal neostriatal dihubungkan dengan adanya
peningkatan zat besi. Atrofi umum, seperti halnya atrofi lokal pada
neostriatum, pada sebagian cauda dengan adanya pelebaran pada bagian cornu

anterior menandakan adanya penurunan signal pada neostriatal.


Kebanyakan kasus sydenham korea tidak menunjukkan adanya kelainan.
Akan tetapi, pada beberapa laporan studi ditemukan adanya perbedaan
volume pada cauda, putamen, dan globus pallidus dimana pada sydenham

korea lebih besar dibanding yang normal..


MRI otak pada pasien korea senilis menunjukkan adanya penurunan intensitas
sinyal pada seluruh striatum (diakibatkan deposit besi) dan pada batas caput

2.3.8

caudatus dan putamen, tetapi tidak ada arofi pada struktur tersebut.
Tatalaksana
Tatalaksana hanya bersifat simptomatik terhadap gejala-gejala yang

ditemukan. Tujuan akhir dari farmakoterapi adalah mengurangi angka kejadian dan
mencegah komplikasi .

Penggunaan agen neuroleptik sebagai antagonis reseptor dopamine, yang biasa


digunakan diantaranya haloperidol dan fluphenazine. Sedangkan yang jarang
digunakan yaitu risperidone, olanzapine, clozapine, dan quetiapine. Dopamin
depleting agen diantaranya reserpine dan tetrabenazine dapat diberikan sebagai

pengganti.
Obat GABAergik, seperti clonazepam dan gabapentin dapat digunakan sebagai

terapi adjuvantif.
Imunoglobulin intra vena dan plasmapharesis dapat digunakan untuk mengurangi
gejala sydenham korea.

16

Korea yang disebabkan oleh kelainan jantung dapat diobati dengan pemberian
steroid.

2.3.9

Prognosis
Prognosis tergantung pada penyebab dari korea. HD mempunyai prognosa

yang buruk, pasien akan meninggal diakibatkan oleh adanya komplikasi. Hal yang
sama juga ditemukan pada pasien dengan neuroacanthocytosis yang mengalami
pneumonia.
2.4 Atetosis
Atetosis berasal dari Yunani yang berarti berubah. Pada atetose gerakan lebih
lambat dan melibatkan otot bagian distal, namun cenderung menyebar ke proksimal.
Athetosis adalah aliran gerakan yang lambat, mengalir, menggeliat di luar kesadaran.
Biasanya pada kaki dan tangan. Atetosis banyak dijumpai pada penyakit yang
melibatkan ganglia basal.
Khorea dan atetosis bisa terjadi secara bersamaan, dan disebut koreoatetosis.
Korea dan atetosis bukan merupakan penyakit, tetapi merupakan gejala yang bisa
terjadi pada beberapa penyakit yang berbeda. Seseorang yang mengalami korea dan
atetosis memiliki kelainan pada ganglia basalisnya di otak. Penyakit yang seringkali
menyebabkan korea dan atetosis adalah penyakit Huntington.
Gerakan atetotik ditemukan pada beberapa penyakit:
1) Kelumpuhan otak (cerebral palsy)
Biasanya dijumpai pada anak terutama bayi baru lahir akibat kerusakan otak
non-progresif yang terjadi intrauterin,waktu lahir atau segera sesudah lahir.
Kelumpuhan otak yang disertai gerakan atetotik atau koreo-atetotik termasuk
kelumpuhan otak tipe subkortikal, akibat lesi pada komponen ganglia basalis. Tipe ini
meliputi 515% kasus kelumpuhan otak.
Terdapat 2 faktor perinatal sebagai penyebab utama kelumpuhan otak tipe subkortikal
ialah hiperbilirubinemia (kernikterus) dan asfiksi berat.

17

Gejala klinik biasanya baru tampak sesudah umur 18 bulan. Dapat ditemukan
gerakan atetotik, koreo-atetotik maupun jenis GI lainnya bergantung pada lokasi
kerusakan. Pengobatan hanya simtomatik dan suportif.
2) Sindrom Lesch-Nyhan
Kelainan ini sangat jarang dijumpai,ditandai oleh gerakan koreoatetotik
bilateral, retardasi mental, mutilasi diri dan hiperurikemia. Etiologi belum diketahui;
dihubungkan dengan defisiensi ensim hipoksantin-guanin fosforibosil transferase
pada eritrosit, fibroblast dan ganglia basalis. Merupakan penyakit herediter yang
diturunkan secara sex-linked resesif pada kromosom X sehingga hanya terdapat pada
anak lelaki.
Gerakan atetotik mulai timbul pada umur 68 bulan, kemudian diikuti
gerakan koreo-atetotik dan pada usia di atas 2 tahun sudah dapat ditemukan sindrom
yang lengkap. Pengobatan dengan alopurinol 8 mg/kgBB sehari dalam tiga kali
pemberian. Prognosis jelek.
3) Penyakit Hallervorden-Spatz
Kelainan degeneratif pada substansi nigra dan globus palidus yang herediter
dan diturunkan secara autosom resesif. Etiologi tidak diketahui, diduga ada hubungan
dengan deposisi pigmen yang mengandung zat besi pada kedua daerah tersebut.
Namun tidak jelas adanya gangguan metabolisme zat besi yang menyertainya.
Penyakit ini jarang dijumpai.
Gejala klinik biasanya manifes pada umur 8-10 tahun berupa gerakan atetotik,
kekakuan pada lengan/tungkai dan retardasi mental yang progresif. Kadang-kadang
timbul kejang. Perjalanan penyakit lambat progresif. Tidak ada pengobatan, prognosis
jelek, biasanya meninggal dalam 5-20 tahun.
2.5 Ballismus

18

Ballismus adalah gerak otot yang datang sekonyong-konyong, kasar dan


cepat, terutama mengenai otot-otot skelet yang letaknya proksimal.
Hemiballismus ialah sejenis khorea, biasanya menyebabkan gerakan
melempar satu lengan di luar kemauan dengan keras. Hemiballismus mempengaruhi
satu sisi badan. Lengan terkena lebih sering daripada kaki. Biasanya disebabkan oleh
stroke yang mempengaruhi bidang kecil tepat di bawah basal ganglia yang disebut
nukleus subthalamic.

19

BAB 3. LAPORAN KASUS


3.1 Identitas Pasien

Nama

Jenis Kelamin

Umur

Suku

Agama

Pekerjaan

Alamat

No Reg

: Ny. Marwati
: Perempuan
: 38 tahun
: Madura
: Islam
: Ibu rumah tangga
: Jember
: 127426

3.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Tangan dan Kaki kiri bergerak-gerak spontan.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien mengeluhkan tangan kiri bergerak-gerak sendiri, kaki kadang-kadang

juga ikut bergerak sendiri. Sebelum timbul gejala, pasien pernah jatuh dan tidak
sadarkan diri. Setelah bangun tangannya mulai bergerak-gerak sendiri.

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat Hipertensi tidak terkontrol (-)
Riwayat Diabetes Mellitus (-)
Riwayat Trauma Kepala (+)

Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat pada keluarga disangkal
Hipertensi (-)
Diabetes Mellitus (-)

Riwayat Pengobatan
Disangkal

Riwayat Psikososial

20

Pasien sudah menikah. Pasien tinggal serumah dengan suami dan anaknya.
Hubungan pasien dengan keluarga, tetangga dan teman-temannya baik. Pasien
bekerja sebagai ibu rumah tangga.
3.3 Status Interna Singkat
Keadaan Umum
o Kesadaran
: Compos mentis
o Tensi
: 140/80 mmHg
o Nadi
: 84 x/m
o RR
: 18 x/m
o Suhu
: 36,5oC
o BB
: 57 kg
o TB
: 152 cm

Kepala
o
Bentuk
: normocephal
o
Mata
Sklera
: ikterik (-)
Konjungtiva
: anemis (-)
Telinga/Hidung : telinga : sekret (-) darah (-)
hidung : sekret (-) darah (-)
Mulut
: sianosis (-)
Lain-lain
: dbn

Leher
o Struma
o Bendungan Vena
o Lain-lain

: tidak ditemukan
: tidak ditemukan
: dbn

Thorax
o

Jantung
Inspeksi
: ictus cordis tidak terlihat
Palpasi
: ictus cordis tidak teraba
Perkusi
:
redup di D : Intercostal space I Parasternal
redup di S : Intercostal space V Midclavicula S
Auskultasi
: S1S2 tunggal
o
Paru-paru

Inspeksi
: simetris +/+, retraksi (-)

21

Abdomen
o Hepar
o Limpa
o Lain-lain

Palpasi

: gerak nafas simetris, fremitus raba +

Perkusi
Auskultasi
Lain-lain

normal/+ normal
: sonor +/+
: Vesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing -/: dbn

: tidak teraba
: tidak teraba
: dbn

Ekstremitas
o Superior
o Inferior

3.4 Status Psikiatri Singkat


o Emosi dan Afek
o Proses Berfikir
Bentuk
Arus
Isi
o Kecerdasan
o Pencerapan
o Kemauan
o Psikomotor
o Ingatan

: akral hangat +/+, edema -/: akral hangat +/+, edema -/: adekuat
: logis, realistis
: koheren
: waham (-) halusinasi (-)
: dbn
: dbn
: dbn
: dbn
: dbn

3.5 Status Neurologis


o Keadaan Umum
Kesadaran
Kwalitatif
Kuantitatif
Pembicaraan
Disarthria
Monoton
Scanning
Afasia
o Kepala

Asimetri

: compos mentis
: GCS 4-5-6
:+
::: Motorik : -, Sensorik -, Amnestik/anomik -/: tidak ditemukan

22

o Muka

Sikap Paksa
Tortikolis
Lain-lain

: tidak ditemukan
: tidak ditemukan
: dbn

Mask
Myopatik
Full Moon
Lain-lain

: tidak ditemukan
: tidak ditemukan
: tidak ditemukan
: dbn

3.6 Pemeriksaan Khusus


1. Rangsangan Selaput Otak
Kaku Kuduk : Kernig
: Brudzinski I : Brundzinski II : Lasuque test : -

2.Saraf Otak
NI

KIRI

KANAN

Hypo/anosmia

Parosmia

Halusinasi

N II

23

KIRI

KANAN

Visus

6/60

6/60

Yojana penglihatan

dbn

dbn

Melihat warna

dbn

dbn

N III , IV, VI

KIRI

KANAN

Kedudukan bola mata

sentral

Sentral

Pergerakan bola mata


Ke nasal
Ke temporal atas
Ke bawah
Ke atas
Ke temporal bawah

+
+
+
+
+

+
+
+
+
+

Eksophthalmos

Tidak ditemukan

Tidak ditemukan

Celah mata (Ptosis)

Tidak ditemukan

Tidak ditemukan

24

Pupil

KIRI

KANAN

Bentuk

Reguler (bulat)

Reguler (bulat)

Lebar

3 mm

3 mm

Perbedaan lebar

Refleks

cahaya

cahaya

langsung
Refleks
konsensual

25

NV

Cabang motorik
Otot maseter
Otot temporal
Otot pterygoideus int/ext

Cabang sensorik
I
II
III

KIRI

KANAN

Normal
Normal

Normal
Normal

Normal

Normal

dbn
dbn

dbn
dbn

dbn

dbn

Refleks kornea langsung

Refleks kornea konsensual

N VII
o Waktu diam
Kerutan dahi
Tinggi alis
Sudut mata
Lipatan nasolabial

: simetris
: simetris
: simetris
: simetris

26

o Waktu gerak
Mengerutkan dahi
Menutup mata

: simetris
: simetris (kedua mata kanan dan kiri

dapat menutup)
Mencucu/bersiul
Memperlihatkan gigi
o Pengecapan 2/3 depan lidah
o Hyperakusis
o Sekresi air mata

: simetris
: simetris
: dbn
: -/: tidak dilakukan

N VIII

Vestibular
Vertigo
Nystagmus ke
Tinitus aureaum
Tes kalori

KIRI

KANAN

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

27

Choclear
Weber
Rinne
Schwabach
Tuli konduktif
Tuli perseptif

Tidak ada lateralisasi


+
Sama dengan pemeriksa
-

Tidak ada lateralisasi


+
Sama dengan pemeriksa
-

N IX, X
o Bagian motorik
Suara biasa/parau/tak bersuara
: suara biasa
Kedudukan arcus pharynx
: simetris
Kedudukan uvula
: di tengah
Pergerakan arcus pharynx/uvula
: simetris
Detak jantung
: 84 x/m
Menelan
: + normal (disfagia -)
Bising usus
: + normal (10x/menit)
o Bagian sensorik
Pengecapan 1/3 belakang lidah
: dbn
o Refleks-refleks
Refleks occulo-cardiac
: 84 x/m --> 80 x/m
Refleks carotico-cardiac
: tidak dilakukan
Refleks muntah
:+
Refleks palatum-molle
:+

N XI
KIRI

KANAN

Mengangkat bahu

Memalingkan kepala

N XII
28

Kedudukan lidah
o Waktu istirahat
: simetris
o Waktu gerak
: simetris
o Atrofi
: Kanan (-) Kiri (-)
o Fasikulasi/tremor
: Kanan (-) Kiri (-)
o Kekuatan lidah pada bagian dalam pipi: dbn

3. Ekstremitas
SUPERIOR
a. Inspeksi
b. Palpasi
c. Perkusi

: atrofi (-), hipertrofi (-),


deformitas ( -)
: nyeri tekan (-), konsistensi
kenyal (-)
:miotonik -/-,
mioedema ; -/-

d. Motorik
Kekuatan otot
1. Lengan
Kiri
a. M. Deltoid (abduksi lengan atas)
b. M. Biceps (flexi lengan bawah)
c. M. Triceps (ekstensi lengan bawah)
d. Flexi sendi pergelangan tangan
e. Extensi sendi pergelangan tangan
f. Membuka jari-jari tangan
g. Menutup jari-jari tangan
Tonus otot
Refleks fisiologis
Refleks patologis

Kanan
:
5
:
5
:
5
:
5
:
5
:
5
:
5
:
Normal
: BPR : (+) Normal

4
4
4
4
4
4
4
meningkat

TPR : (+) Normal


: Hoffman
: (-)
Tromner
: (-)

e. Sensibilitas
Kanan
Eksteroseptik
- Rasa nyeri superfisial :
- Rasa suhu(panas/dingin):
- Rasa raba ringan
:

Normal
Normal
Normal

Kiri
Normal
Normal
Normal

29

Propioseptik
- Rasa getar
- Rasa tekan
- Rasa nyeri tekan
- Rasa gerak & posisi
Enteroseptik
- Referred pain
Rasa kombinasi

:
:
:
:

Normal
Normal
Normal
Normal

(-)

Kanan
- Stereognosis
:
- Barognosis
:
- Graphestesia
:
- Sensory extinction
:
- Loss of body image
:
- Two point tactile discrimination:
INFERIOR
a.
Inspeksi
b.
Palpasi
c.
Perkusi
d.
Motorik
Kekuatan Otot
1.
Tungkai

a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

(-)
Kiri
(+)
(+)
(+)
(-)
(-)
(+)

(+)
(+)
(+)
(-)
(-)
(+)

: atrofi (-), hipertrofi (-), deformitas ( -)


: nyeri tekan (-), konsistensi kenyal (-)
: miotonik ; -/-, mioedema ; -/-

Kanan
Kiri
Flexi articulatio coxae (tungkai atas) :
Extensi articulatio coxae (tungkai atas):
Flexi sendi lutut (tungkai bawah)
:
Extensi sendi lutut (tungkai bawah) :
Flexi plantar kaki
:
Extensi dorsal kaki
:
Gerakan jari-jari
:

4. Badan
a. Inspeksi
b. Palpasi

Normal
Normal
Normal
Normal

5
5
5
5
5
5
5

5
5
5
5
5
5
5

: Atrofi (-), hipertrofi (-), deformitas (-)


Otot perut

: konsistensi kenyal, nyeri tekan

(-)

Otot pinggang
: konsistensi kenyal, nyeri tekan (-)
Kedudukan diafragma : Gerak: Simetris
Istirahat: Simetris
30

c. Perkusi
: Timpani
d. Auskultasi
: Bising usus normal
e. Motorik

Gerakan cervical vertebrae


o
Fleksi
: ( + ) Dapat melakukan
o
Ekstensi
: ( + ) Dapat melakukan
o
Rotasi
: ( + ) Dapat melakukan
o
Lateral deviation
:(-)
Gerakan dari tubuh
o
Membungkuk : Tdl
o
Ekstensi
: Tdl
o
Lateral deviation
: Tdl
Refleks-refleks
o
Refleks dinding abdomen
:(+)
o
Refleks interskapula : ( + )
o
Refleks gluteal
: Tdl
o
Refleks cremaster
: Tdl
o
Refleks anal
: Tdl
5. Gait dan Keseimbangan
Jari tangan jari tangan
Jari tangan hidung
Ibu jari kaki jari tangan
Tapping dengan jari-jari tangan
Tapping dengan jari-jari kaki
Jalan di atas tumit
Jalan di atas jari kaki
Tandem walking
Jalan lurus lalu putar
Jalan mundur
Hopping
Berdiri dengan satu kaki
Romber test, jatuh ke
6. Fungsi Luhur
Apraksia
Alexia
Agraphia
Acalculia
Finger agnosia

: dBn
: dBn
: tdl
: tdl
: tdl
: tdl
: tdl
: tdl
: tdl
: tdl
: tdl
: tdl
: tdl
:(-)
:(-)
:(-)
:(-)
:(-)

31

Membedakan kanan dan kiri

7. Refleks primitif
Grasp refleks
Snout refleks
Sucking refleks
Palmo-mental refleks
8. Sistem Vegetatif
Miksi
Defekasi
Sekresi keringat

:(+)
:
:
:
:

(-)
(-)
(-)
(-)

: inkontinensia urin ( - ) retensio urin (-)


: inkontinensia alvi ( - ) retensio alvi (-)
: dbn

3.7 Resume
Pasien Ny. Marwati usia 38 tahun datang dengan keluhan tangan kiri
bergerak-gerak sendiri secara spontan. Kaki kiri kadang-kadang juga ikut bergerak.
1. Status interna singkat
o Kesadaran : Compos mentis
o Tensi
: 140/80 mmHg
o Nadi
: 84 x/m
o RR
: 18 x/m
o Suhu
: 36,5oC
2. Status psikiatri : dbn
3. Status Neurologis
1. GCS
: 4 -5-6
2. Meningeal sign: KK (-), K (-), L (-), BI (-), BII (-)
3. N. Cranialis : N.III : Pupil isokor, Reflek cahaya+/+, 3mm/3mm
N. VII: diam/gerak : simetris / simetris
N. XII: diam gerak : simetris / simetris
4. Motorik

RF :

:KO 555 444


555 444

BPR
TPR
KPR

+N +N
+N +N
+N +N

TO normal meningkat
normal normal

RP :

H
T
B

32

APR

5. Sensorik
6. Otonom
7.CV

+N +N

C
O
G
G
S

: dBn
: BAK (+) : Inkontinensia/Retensio uri (-)
BAB (+) : Inkontinensia/Retensio alvi (-)
: dBn

4. Diagnosis
o Diagnosis Klinis
o Diagnosis Topis
o Diagnosis Etiologis

: Khorea
: Ganglia Basalis
: Involuntary movement

5. Penatalaksanaan
o Infus PZ 20 tpm
o Injeksi Kutoin 2x100 dalam 10 cc PZ
o Injeksi Clonazepam 2x
o InjeksiTND 2x1
o Injeksi Vitamin B6 3x1
o Extra Difenhidramin 2 cc (im)
3.8 Prognosis
Bonam

33

BAB 4. KESIMPULAN
Khorea adalah gerakan tak terkendali yang berupa sentakan berskala besar
dan berulang-ulang, seperti menari, yang dimulai pada salah satu begian tubuh dan
menjalar kebagian tubuh yang lainnya secara tiba-tiba dan tak terduga. Khorea bukan
merupakan penyakit, tetapi merupakan gejala yang bisa terjadi pada beberapa
penyakit yang berbeda. Seseorang yang mengalami korea memiliki kelainan pada
ganglia basalisnya di otak.
Atetosis merupakan keadaan motorik dimana jari-jari tangan dan kaki serta
lidah atau bagian tubuh lain apapun tidak dapat diam sejenak. Gerakan yang
mengubah posisi ini bersifat lambat, melilit dan tidak bertujuan. Umumnya gerakan
atetotik lebih lamban daripada gerakan choreatik, tetapi gerakan atetotik yang lebih
cepat dan gencar atau gerakan koreatik yang kurang cepat dan tidak menyerupai satu
dengan yang lain, dikenal sebagai gerakan koreoatetosis. Jika atetosis melanda sesisi
tubuh saja disebut hemiatetosis. Ballismus adalah gerak otot yang datang sekonyongkonyong, kasar dan cepat, terutama mengenai otot-otot skelet yang letaknya
proksimal.
Pada sebagian besar kasus terdapat neurotransmiter dopamin yang berlebihan,
sehingga mempengaruhi fungsinya yang normal. Keadaan ini bisa diperburuk oleh
obat-obat dan penyakit yang menyebabkan perubahan kadar dopamin atau merubah
kemampuan otak untuk mengenal dopamin.
Pengobatan hanya

bersifat simptomatik terhadap gejala-gejala yang

ditemukan. Prognosis tergantung pada penyebab dari korea.

34

DAFTAR PUSTAKA

Barker, R. 2003. Chorea Diagnosis and Management. Advances in Clinical


Neuroscience and Rehabilitation, 3(4): 19-18.
Lumbantobing, S.N. 2014. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta:
Badan Penerbit FKUI.
Shiddiq, M. A. 2012. Gerakan Involunter. Jakarta: Universitas Muhamadiyah Jakarta.
Sidharta, P. Mahardjono, M. 2012. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat.
Tortora, G. J., Derrickson, B. 2009. Principles of Anatomy and Physiology. Twelfth
Edition. New Jersey: John Wiley & Sons Inc.
Vertrees, S. M. 2016. Chorea in Adult. Medscape.

35

Anda mungkin juga menyukai