Anda di halaman 1dari 4

2.1.

5 Tatalaksana
Tatalaksana osteomielitis bergantung pada terapi antibiotik yang sesuai, dan
sering membutuhkan terapi surgikal untuk mengangkat jaringan yang terinfeksi
dan jaringan yang telah mengalami nekrosi. Dengan ketelitian pada tatalaksana
bedah, terapi antibiotik, diagnosis yang akurat, dan pembedaan dari berbagai
klasifikasi osteomielitis, bisa didapatkan hasil yang lebih baik dalam melakukan
tatalaksana osteomielitis ini (Lima et al, 2014).
a. Terapi Antibiotik
Pilihan terapi antibiotik harus disesuaikan dengan hasil kultur dan
pemeriksaan lainnya. Jika ada informasi diagnosa yang kurang lengkap, maka
disarankan menggunakan antibiotik empiris. Bila hasil biopsi dan kultur darah
masih false negative maka disarankan untuk menggunakan delaying antibiotik
hingga didapatkan hasil kultur mikroba dan tes sensitivitas yang benar. Indikasi
terapi surgikal diantaranya adalah kegagalan terapi antibiotik dan osteomielitis
yang telah kronis dengan nekrosis tulang dan jaringan lunak (Hatzenbuehler,
2011).
Organisme
Anaerob

Regimen yang disarankan


Clindamycin, 600 mg IV tiap 6 jam

Enterobacteriaceae

Tricarcilin/clavunalate (Timentin) 3.1 g IV tiap 4 jam


Tricarcilin/clavunalate (Timentin) 3.1 g IV tiap 4 jam

(cth. E.coli), resisten Piperacilin/Tazobactam (Zoysn), 3,375 g IV tiap 6 jam


kuinolon
Enterobacteriaceae,

Fluorokuinolon, (cth. Ciprofloxacin) 400 mg IV tiap 8

sensitif kuinolon
Pseudomonas

hingga 12 jam
Cefepime, 2 g IV tiap 8 hingga 12 jam, plus

aeruginosa
S. aureus,
methicillin
S.

aureus,

ciprofloxacin, 400 mg IV tiap 8 hingga 12 jam


resisten Vancomycin, 1 g IV tiap 12 jam
Pasien alergi vancomycin: Linezoid (Zyvox), 600 mg
IV tiap 12 jam
sensitif Nafcilin atau oxacilin, 1 hingga 2 IV tiap 4 jam

methicilin
Cefazolin, 1 hingga 1,5 IV tiap 6 jam
Streptococus sp.
Penicilin G, 2 hingga 4 juta unit IV tiap 4 jam
Tabel ... Terapi antibiotik awal untuk tatalaksana osteomielitis (Hatzenbuehler,
2011).
Kapasitas dan luas jangkauan dari penetrasi antibiotik di jaringan tulang
telihat sebagai faktor yang berpengaruh pada kesuksesan terapi osteomielitis.
Penetrasi antibiotik pada tulang yang terinfeksi bergantung kepada karakteristik
farmakologiknya, vaskularisasi, kondisi jaringan lunak, dan adanya foreign
bodies. Informasi yang terintegrasi dari keadaan klinis adalah proses yang penting
dalam pemilihan antimikroba untuk tatalaksana infeksi tulang ini (Lima et al,
2014).
Osteomielitis hematogenik akut pada anak-anak biasanya membutuhkan
waktu terapi antibiotik yang lebih singkat daripada osteomielitis akut pada orang
dewasa. Terapi selama 4 hari dengan antibiotik parenteral diikuti dengan
antibiotik oral selama 4 minggu dapat mencegah rekurensi pada anak-anak yang
tidak mempunyai masalah patologi yang serius. Pada anak immunocompromised,
terapi antibiotik oral harus diperpanjang paling tidak hingga enam minggu,
tergantung pada respon klinisnya. Tingkat rekurensi pada kasus ini cenderung
lebih tinggi. Terapi surgikal pada anak imunocompromised jarang dilakukan
(Hatzenbuehler, 2011).
Meskipun dilakukan terapi surgikal debridement dan terapi antibiotik jangka
panjang, tingkat rekurensi dari osteomielitis kronik pada pasien dewasa mencapai
30 persen dalam waktu 12 bulan. Rekurensi pada kasus osteomielitis P.
aeruginosa lebih tinggi, mendekati 50 persen. Durasi optimal tatalaksana
antibiotik dan rutenya masih belum jelas. Pada osteomielitis kronis, terapi
antibiotik parenteral selama dua hingga enam minggu direkomendasikan secara
umum, dengan transisi ke terapi antibiotik oral selama empat hingga delapan
minggu. Terapi parenteral jangka panjang sama efektifnya dengan membuat
transisi ke terapi oral, tapi mempunyai tingkat rekurensi yang sama dengan
meningkatnya efek samping. Pada beberapa kasus, terapi surgikal penting untuk

mempertahankan jaringan yang masih baik dan mencegah rekurensi infeksi


sistemik (Hatzenbuehler, 2011).
Regimen antibiotik empiris untuk osteomielitis akut, khususnya pada anakanak, harus memiliki kandungan khusus untuk melawan S. aureus. Antibiotik
beta-laktam adalah pilihan lini pertama kecuali ada dugaan MRSA (Methicillin
Resistant S. aureus). Jika resistensi methicillin pada daerah tersebut diatas 10
persen, MRSA harus dipertimbangkan dalam pemilihan antibiotik awal.
Vancomycin intravena adalah pilihan lini pertama. Pada pasien dengan diabetes
dan infeksi pada kakinya atau pasien alergi terhadap penisilin, golongan
florokuinolon adalah pilihan alternative untuk infeksi stafilokokus. Golongan ini
bisa menjadi sama efektif nya dengan golongan beta-laktam. Florokuinolon juga
dapat mencakup enterobakteri yang sensitif terhadap golongan kuinolon, juga
bakteri gram negatif lainnya (Hatzenbuehler, 2011).
b. Terapi Surgikal
Untuk mengoptimalkan terapi surgikal, perlu dilakukan penentuan stage
penyakit secara benar. Diantaranya adalah melihat aktivitas inflamasi, tes kultur,
dan menghubungkannnya dengan diagnosis imejing. Tatalaksana surgikal harus
dilakukan ketika ada abses. Drainase surgikal dan debridement dilakukan dengan
tindakan asepsis dan antisepsis. setelah konfirmasi dari diagnosis dengan biopsi
tulang (Lima et al, 2014).
Tindakan surgikal bisa berupa bedah terbuka, arthroscopy, punksi/aspirasi dan
flushing. Faktor terpenting untuk kesuksesan tatalaksana pasien dengan infeksi
tulang adalah kualitas dari debridement-nya. Debridement harus menjadikan luka
yang bersih dan membaik. Pada infeksi akut, drainase surgikal dan flushing yang
maksimal pada rongga nya akan menurunkan muatan bakteri pada daerah tersebut.
Flushing dilakukan dengan larutan saline dengan total volume 3-9L, dan terdapat
hubungan antara penggunaan larutan saline terhadap penurunan muatan bakteri
(Lima et al, 2014).
Tindakan pada osteomielitis kronis adalah mempertimbangkan aspek-aspek
tatalaksana paliatif atau kuratif. Tatalaksana dari osteomieleitis kronis dimulai dari

diagnosis mikroba yang tepat, peningkatan daya tahan tubuh penderita, stabilisasi
penyakit penyerta, terapi antimikroba yang adekuat, debridement surgikal pada
semua jaringan yang terjangkit, perbaikan jaringan lunak, rekonstruksi tulang dan
rehabilitasi (Lima et al, 2014).

Anda mungkin juga menyukai