Pendahuluan
Dalam menjalankan pekerjaannya sehari-hari terutama dalam menangani pasien,
dokter diharapkan selalu mengingat etika, disiplin dan hukum kedokteran. Etika profesi
sebagai dokter juga telah dibuat dalam KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) yang
mengatur prinsip-prinsip dokter dalam menjalankan profesinya.
Dokter wajib mengetahui hukum yang berlaku agar pada saat dimintai keterangan
sebagai saksi ahli maupun saat memeriksa keadaan medis tersangka, dokter dapat
memberikan keterangan sesuai dengan hukum tersebut. Hukum-hukum yaitu sepert
KUHP(Kitab Undang-undang Hukum Pidana) maupun KUHPer (Kitab Undang-undang
Hukum Perdata) serta juga KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana).
Pembahasan
Skenario:
Anda kebetulan menjadi dokter polisi yang ditempatkan di daerah yang rawan
terorisme. Pada suatu hari anda dipanggil oleh Kasat serse untuk menemani dia
memeriksa seorang tersangaka. Tersangka adalah seorang laki-laki muda yang diduga
telah meletakkan sebuah bom di pasar. Bom diduga akan diletakkan pada siang hari
pada saat pasar sedang ramai-ramainya, tetapi saat ini polisi belum mengetahui
dimana diletakkannya bom tersebut. Oleh karena itu polisi akan melakukan interogasi
si tersangka dengan cara agak keras agar dapat memperoleh pengakuan tentang
letak bom tersebut. Pada acara tersebut anda diminta menjadi penasehat petugas
reserse yang akan menjaga kesehatan tersangaka.
melainkan sebagai alat bantu penyidikan. Ada persyaratan legal yang melingkupi
interogasi yang harus dipahami oleh penyidik. Kegagalan memahami persyaratan ini
akan menyia-nyiakan penggunaan informasi yang didapat sebagai barang bukti.1
Pengaturan mengenai alat bukti pada Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003
tersebut terlihat dalam Pasal 27, yaitu sebagai berikut, alat bukti pemeriksaan tindak
pidana terorisme meliputi:1
1. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana;
2. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau
disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
3. Data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang
dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas
kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik,
termasuk tetapi tidak terbatas pada : tulisan, suara, atau gambar; peta, rancangan, foto,
atau sejenisnya; huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau
dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
Kasat Reserse
Terdapat satuan reserse dan kriminal yang disingkat menjadi satuan Reskrim.
Pelaksana utama satuan Reskrim ini adalah polres yang berada di bawah naungan
Kapolres. Satuan Reskrim bertugas membina fungsi dan menyelengarakan kegiatankegiatan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana termasuk fungsi Identifikasi
dalam rangka penegakan hukum, koordinasi dan operasional dan adminitrasi
penyidikan sesuai ketentuan-ketentuan dan peraturan yang berlaku. 2,3
Tugas pokok Reserse Polri adalah melaksanakan penyelidikan, penyidikan,
dan koordinasi serta pengawasan terhadap Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)
berdasarkan Undang-undang no. 8 tahun 1981 dan peraturan perudangan lainnya.4
Fungsi Reserse adalah menyelengarakan segala usaha, kegiatan, dan pekerjaan
yang berkenaan dengan pelaksanaan fungsi Reserse Kepolisian dalam rangka
penyidikan tindak pidana sesuaidengan Undang-undang yang berlaku dan sebagai
Korwas PPNS serta pengelolaan Pudat Informasi Kriminal (PIK).4
Ada beberapa pasal yang mengatur mengenai penyidik dan penyelidik dalam
KUHAP, yakni:5
Pasal 4 KUHAP
Penyelidik adalah setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia.
Pasal 5 KUHAP
(1) Penyidik sebagaimana dimaksudkan pasal 4:
a. Karena kewajibanya mempunyai wewenang:
1. Menerima laopran atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak
pidana;
2. Mencari keterangan dan barang bukti;
3. Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta
memeriksa tanda pengenal diri;
4. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
b. Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa:
1. Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, pengeledahan dan
penyitssn.
2. Pemeriksaan dan penyitaan surat;
3. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang
4. Membawa dan menghadapkan seseorang pada penyidik.
(2) Penyelidik membuat dan menyampaikan laporan hasil pelaksanaan tindakan
sebagaimana tersebut pada ayat (1) huruf a dan huruf b kepada penyidik.
Pasal 7 KUHAP
(1) Penyidik adalah:
a. Pejabat polisi Negara Republik Indonesia
b. Pejabat pegwai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh
undang-undang.
(2) Syarat kepangkatan pejabat sebagaimanan dimaksudkan dalam ayat (1) akan
diatur lebih lanjur dalam peraturan pemerintah
Pasal 10 KUHAP
(1) Penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian Republik Indonesia yang
diangkat oleh Kepala Kepolisian negara Republik Indonesia berdasarkan
syarat kepangkatan dalam ayat (2) pasal ini.
(2) Syarat kepangkatan sbagaimana tersebut pada ayat (1) diatur dengan
peraturan pemerintah.
Etik adalah cabang ilmu filsafat yang mempelajari moralitas. Etik harus dibedakan
dengan sains yang mempelajari moralitas, yaitu etik deskriptif. Etik deskriptif
mempelajari pengetahuaan empiris tentang moralitas atau menjelaskan pandangan moral
yang saat itu berlaku tentang isu-isu tertentu. Etik terbagi ke dalam etik normatif dan
metaetik (etik analitik). Pada etik normatif, para filosof mencoba menegakkan apa yang
benar secara moral dan mana yang salah secara moral dalam kaitannya dengan tindakan
manusia. Pada metaetik, pada filosof memperhatikan analisis kedua konsep moral
diatas.1
Pada dasarnya manusia memiliki 4 kebutuhan dasar, yaitu (a) kebutuhan fisiologis
yang dipenuhi dengan makanan dan minuman, (b) kebutuhan psikologis yang dipenuhi
dengan rasa kepuasan, istirahat, santai, dan lain-lain, (c) kebutuhan sosial yang dipenuhi
melalui keluarga, teman dan komunitas, serta (d) kebutuhan kreatif dan spiritual yang
dipenuhi dengan melalui pengetahuan, kebenaran, cinta, dan lain-lain.1
Kebutuhan-kebutuhan tersebut harus dipenuhi secara berimbang. Apabila seorang
memilih untuk memenuhi kebutuhan tersebut secara tidak berimbang, maka ia telah
menentukan secara subyektif apa yang baik bagi dirinya yang belum tentu baik secara
obyektif. Baik disebabkan oleh ketidaktahuan atau akibat kelemahan moral, seseorang
dapat saja tidak mempertimbangkan semua kebutuhan tersebut dalam membuat
keputusan etik, sehingga berakibat terjadinya konflik di bidang keputusan moral.1
Bioetika adalah salah satu cabang dari etik normatif di atas. Bioetik atau biomedical
ethics adalah etik yang berhubungan dengan prakter kedokteran dan atau penelitian di
bidang biomedis. Di dalam menentukan tindakan di bidang kesehatan atau kedokteran,
selain mempertimbangkan keempat kebutuhan dasar di atas, keputusan hendaknya juga
mempertimbangkan hak-hak asasi pasien. Pelanggaran atas hak pasien akan
mengakibatkan juga pelanggaran atas kebutuhan dasar diatas, terutama kebutuhan kreatif
dan spiritual pasien.1
Etika adalah disiplin ilmu yang mempelajari baik buruk atau benar-salahnya suatu
sikap dan atau perbuatan seseorang individu atau institusi dilihat dari moralitas.
Penilaian baik buruk dan benar-saah dari sisi moral tersebut menggunakan pendekatan
teori etika yang cukup banyak jumlahnya. Terdapat dua teori etika yang paling banyak
dianut orang adalah teori deontologi dan teleologi. Secara ringkas dapat dikaatakan
bahwa Deontologi mengajarkan bahwa baik buruknya suatu perbuatan harus dilihat dari
perbuatan itu sendiri (I Kant), sedangkan teleologi mengajarkan untuk menilai baikburuk tindakan dengan melihat hasinya atau akibatnya (D Hume, J Bentham, JS Mills).
Deontologi lebih mendasarkan kepada ajaran agama, tradisi dan budaya, sedangkan
teleogi lebih kearah penalaran (reasoning) dan pembenaran (justifikasi) kepada azas
manfaat (aliran utilitarian).1
Beauchamp dan Childress (1994) menguraikan bahwa untuk mencapai ke suatu
keputusan etik diperlukan 4 kaidah dasar moral (moral principle) dan beberapa peraturan
dibawahnya. Keempat kaidah dasar moral tersebut adalah:1
a. Prinsip otonomi, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien, terutama hak
otonomi pasien (the rights to self determination). Prinsip moral inilah yang
kemudian melahirkan doktrin informed consent.
b. Prinsip beneficence, yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditujukan
ke kebaikan pasien. Dalam beneficence tidak hanya dikenal perbuatan yang sisi
baiknya (manfaat) lebih besar daripada sisi buruknya (mudharat).
c. Prinsip non-maleficence, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang
memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai primum non nocere atau
above all do no harm
d. Prinsip justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam
bersikap maupun dalam mendistribusikan sumber daya (distributive justice).
Sedangkan peraturan-peraturan derivatnya adalah veracity (berbicara benar, jujur, dan
terbuka), privacy (menghormati hak privasi pasien), confidentiality (menjaga kerahasiaan
pasien) dan fidelity (loyalitas dan promise keeping).1
Selain prinsip atau kaidah dasar moral diatas yang harus dijadikan pedoman dalam
mengambil keputusan klinis, profesional kedokteran juga mengenal etika profesi sebagai
panduan dalam bersikap dan berperilaku (code
diuraikan pada pendahuluan, nilai-nilai dalam etika profesi tercemin di dalam sumpah
dokter dan kode etik kedokteran. Sumpah dokter berisikan suatu kontrak moral antara
dokter dengan Tuhan sang penciptanya, sedangkan kode etik kedokteran berisikan
kontrak kewajiban moral antara dokter dengan peer-groupnya, yaitu masyarakat
profesinya.1
Baik sumpah dokter maupun kode etik kedokteran berisikan sejumlah kewajiban
moral yang melekat kepada para dokter. Meskipun kewajiban tersebut bukanlah
kewajiban hukum sehingga tidak dapat dipaksakan secara hukum, namun kewajiban
moral tersebut haruslah menjadi pemimpin dari kewajiban dalam hukum kedokteran.
Hukum kedokteran yang baik haruslah hukum yang etis.1
Deklarasi umum Hak Asasi Manusia (HAM)
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia atau Universal Declaration of Human Rights
adalah sebuah deklarasi yang di adopsi oleh Majelis Umum PBB pada 10 Desember
5
1948 di Palais de Chaillot, Paris, Perancis melalui General Assembly Resolution 217 A
(III). Deklarasi ini merupakan standar umum yang menyatakan bahwa hak asasi manusia
secara internasional haruslah dilindungi.2
Deklarasi ini merupakan pernyataan umum pertama dari masyarakat dunia tentang
hak asasi manusia dan di dalamnya termuat 30 pasal. Deklarasi ini kemudian mengilhami
lahirnya berbagai perjanjian internasional, instrumen hak asasi manusia di tingkat
regional, konstitusi masing masing negara, dan UU di masing masing negara yang
terkait dengan isu isu hak asasi manusia.2
Secara umum, International Bill of Human Rights terdiri dari Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia, Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik beserta dua optional
protocolnya -, dan Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia2
Pasal 3
(1) Setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dan
sederajat serta dikaruniai akal dan hati nurani untuk hidup bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara dalam semangat persaudaraan.
(2) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum
yang adil serta mendapat kepastian hukum dalam semangat di depan hukum.
(3) Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan manusia,
tanpa diskriminasi.
Pasal 4
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi
dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum
yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
(2) Setiap orang berhak hidup tentram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan
batin.
(3) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Pasal 17
Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan
mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana,
perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan
tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemerikasaan yang
objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan
benar.
Pasal 18
(1) Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena disangka melakukan
sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan
kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan
hukum yang diperlakukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangan-undangan.
(2) Setiap orang tidak boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi pidana, kecuali
berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum tindak
pidana itu dilakukannya.
(3) Setiap ada perubahan dalam peraturan perudang-undangan maka beralaku
ketentuan yang paling menguntungkan bagi tersangka.
(4) Setiap orang yang diperiksa berhak mendapatkan bantuan hukum sejak saat
penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap.
(5) Setiap orang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya dalam perkara yang sama
atas suatu perbutan yang telah memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan
hukum tetap.
Pasal 29
(1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat, dan hak miliknya.
(2) Setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai manusia pribadi
(2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penghilangan paksa dan penghilangan
nyawa.
Pasal 34
Setiap orang tidak boleh ditangkap, dittahan, disiksa, dikucilkan, diasingkan, atau
lain:
Pasal 67
Setiap orang yang ada di wilayah negara Republik Indonesia wajib patuh pada
peraturan perundang-undangan, hukum tak tertulis, dan hukum internasional
mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia.
Pasal 69
Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain, moral, etika, dan tata
tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Setiap hak asasi manusia seseorang menimbulkan kewajiban dasar dan tanggung
jawab untuk menghormati hak asasi orang lain secara timbal balik serta menjadi tugas
yan keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabatnya, khususnya secara sukarela
dapat dijadikan eksperimen medis atau ilmiah. 3
Penganiayaan atau torture adalah setiap tindakan yang menyebabkan rasa sangat sakit
atau penderitaan, baik fisik maupun mental, baik jasmani maupun rohani pada seseorang
untuk tujuan seperti memperoleh darinya atau informasi orang ketiga atau pengakuan,
menghukum dia untuk tindakan ia atau orang ketiga yang telah lakukan atau diduga
memiliki komitmen, atau mengintimidasi atau memaksa dia atau orang ketiga, atau
untuk alasan apapun berdasarkan diskriminasi apapun, ketika rasa sakit atau penderitaan
tersebut ditimbulkan oleh atau atas hasutan atau dengan persetujuan atau persetujuan dari
pejabat publik atau orang lain yang bertindak dalam kapasitas resmi. Ini tidak termasuk
rasa sakit atau penderitaan yang timbul hanya dari, melekat pada atau terkait dengan
sanksi hukum.3
Secara umum, pihak Konvensi wajib untuk mengambil "legislatif, administratif,
yudisial dan lainnya langkah-langkah efektif untuk mencegah tindakan penyiksaan di
dalam wilayah yuridikasi. 3
Konvensi ini memuat banyak aturan tentang kewajiban negara Pihak, dengan tujuan
untuk menguatkan perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar lainnya. Enam
belas pasal dari 33 pasal dalam konvensi ini mengatur kewajiban negara untuk
menghormati berbagai hak dasar manusia untuk bebas, tidak disiksa dan mendapatkan
perlakuan kejam lainnya. 3
Pasal 2 ayat 1 dari Konvensi ini misalnya menyebut soal kewajiban setiap negara
pihak untuk mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, hukum dan langkahlangkah efektif untuk mencegah tindakan penyiksaan di wilayah manapun dalam batas
kekuasaannya. Sementara itu dalam ayat 2 pasal 2 juga diingatkan : Tiada ada keadaan
pengecualian apapun, apakah keadaan perang atau ancaman perang, ketidakstabilan
politik dalam negeri ataupun keadaan darurat, yang dapat digunakan sebagai pembenaran
untuk penyiksaan.
Penggunaan kekerasan pada suatu interogasi hanya boleh dilakukan apabila:3
Hanya boleh dilakukan setelah upaya persuasif tidak berhasil
Hanya untuk tujuan-tujuan perlindungan dan penegakan HAM secara proposional
dengan tujuan yang sah.
Diarahkan untuk memperkecil terjadinya kerusakan dan luka baik bagi petugas
maupun bagi masyarakat.
Digunakan hanya apabila diperlukan dan untuk penegakan hukum
Penggunaan kekerasan harus sebanding dengan pelangaran dan tujuan yang hendak
dicapai.
9
Gigi
Forensik,
Biomolekuler
Forensik,
Medikolegal,
Toksikologi
10
Penjelasan resmi RUU-KUHP 1993 yang dimuat dalam penjelasan resmi pasal 451
(20.01) dimuat antara lain sebagai berikut :
perumusan penganiayaan tidak perlu ditentukan secara pasti mengingat
kemungkinan perubahan nilai-nilai social dan budaya serta perkembangan dalam
dunia kedokteran dan sosiologi.
Berdasarkan pengertian tindak pidana diatas maka rumusan penganiayaan memuat
unsur-unsur sebagai berikut :
a. Unsur kesengajaan.
Dalam tindak pidana penganiayaan unsur kesengajaan harus diartikan secara
luas yaitu meliputi kesengajaan sebagai maksud, kesengajaan sebagai kepastian
dan kesengajaan sebagai kemungkinan.
Dengan penafsiran bahwa unsur kesengajaan dalam tindak pidana penganiayaan
ditafsir sebagai kesengajaan sebagai maksud (opzet alsa olmergk), maka seorang
baru dikatakan melakukan tindak pidana penganiayaan, apabila orang itu
mempunyai maksud menimbulkan akibat berupa rasa sakit atau luka pada tubuh.
Jadi, dalam hal ini maksud orang itu haruslah ditujukan pada perbuatan dan rasa
sakit atau luka pada tubuh.
Walaupun secara prinsip kesengajaan dalam tindak pidana penganiayaan harus
ditafsirkan sebagai kesengajaan sebagai maksud, namun dalam hal-hal tertentu
kesengajaan dalam penganiayaan juga dapat ditafsirkan sebagai kesengajaan
sebagai kemungkinan.
Namun demikian penganiayaan itu bisa ditafsirkan sebagai kesengajaan dalam
sadar akan kemungkinan, tetapi penafsiran tersebut juga terbatas pada adanya
kesengajaan sebagai kemungkinan terhadap akibat. Artinya dimungkinkan
penafsiran secara luas unsur kesengajaan itu yaitu kesengajaan sebagai maksud,
kesengajaan sebagai kemungkinan bahkan kesengajaan sebagai kepastian, hanya
dimungkinkan terhadap akibatnya. Sementara terhadap perbuatan itu haruslah pada
tujuan pelaku.
b. Unsur perbuatan.
Yang dimaksud perbuatan dalam penganiayaan adalah perbuatan dalam arti
positif. Artinya perbuatan tersebut haruslah merupakan aktivitas atau kegiatan dari
manusia dengan menggunakan (sebagaian) anggota tubuhnya sekalipun sekecil
apapun perbuatan itu.
Selain bersifat positif, unsur perbuatan dalam tindak pidana penganiayaan juga
bersifat abstrak. Artinya penganiayaan itu bisa dalam berbagai bentuk perbuatan
11
12
13
Kesimpulan
Sebagai dokter, etika sangat diperlukan dalam menangani pasien. Pada skenario
diatas, seorang dokter dihadapkan dengan pilihan yang sangat bertentangan, yaitu antara
melanggar kode etik kedokteran, pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dengan
melanggar perintah atasan dan risiko untuk membahayakan nyawa masyarakat. Dokter
sebaiknya dapat bertindak tepat dan tegas dengan menggunakan ilmu kedokteran yang
telah dipelajarinya.
Daftar Pustaka
1. Budi Sampurna, Zulhasmar Syamsu, Tjeptjep Dwidja Siswaja. Bioetik dan hukum
kedokteran pengantar bagi mahasiswa kedokteran dan hukum. Jakarta: Pustaka
Dwipar; 2007.h.30-2.
2. Sudibyo, E., Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia. http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_39_99.htm. Diakses tanggal 11
Januari 2016.
3. Hardiman, Budi F. Terorisme, definisi, aksi dan regulasi. Jakarta: Imparsial; 2005.
4. Undang-undang kepolisian. Diunduh dari http://www.kpu.go.id/dmdocuments/UU
%20KEPOLISIAN.pdf. 11 Januari 2016.
5. Hanafiah MJ, Amir A. Etika kedokteran dan hukum kesehatan. Edisi ke 4. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2008.h.54-6.
6. Semiloka Kesehatan dan Hak Asasi Manusia. Prisoners and Detainees Mardjono
Reksodiputro. Penerbit: IDI. 2005 hal. 63-7.
14
15