Anda di halaman 1dari 15

Partisipasi Dokter dalam Menjalankan Etika Profesi terhadap

Tersangka Pelaku Pengeboman


Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara no. 6 Jakarta Barat 11470
_______________________________________________________________________

Pendahuluan
Dalam menjalankan pekerjaannya sehari-hari terutama dalam menangani pasien,
dokter diharapkan selalu mengingat etika, disiplin dan hukum kedokteran. Etika profesi
sebagai dokter juga telah dibuat dalam KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) yang
mengatur prinsip-prinsip dokter dalam menjalankan profesinya.
Dokter wajib mengetahui hukum yang berlaku agar pada saat dimintai keterangan
sebagai saksi ahli maupun saat memeriksa keadaan medis tersangka, dokter dapat
memberikan keterangan sesuai dengan hukum tersebut. Hukum-hukum yaitu sepert
KUHP(Kitab Undang-undang Hukum Pidana) maupun KUHPer (Kitab Undang-undang
Hukum Perdata) serta juga KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana).

Pembahasan
Skenario:
Anda kebetulan menjadi dokter polisi yang ditempatkan di daerah yang rawan
terorisme. Pada suatu hari anda dipanggil oleh Kasat serse untuk menemani dia
memeriksa seorang tersangaka. Tersangka adalah seorang laki-laki muda yang diduga
telah meletakkan sebuah bom di pasar. Bom diduga akan diletakkan pada siang hari
pada saat pasar sedang ramai-ramainya, tetapi saat ini polisi belum mengetahui
dimana diletakkannya bom tersebut. Oleh karena itu polisi akan melakukan interogasi
si tersangka dengan cara agak keras agar dapat memperoleh pengakuan tentang
letak bom tersebut. Pada acara tersebut anda diminta menjadi penasehat petugas
reserse yang akan menjaga kesehatan tersangaka.

Interogasi dan Penyiksaan


Interogasi adalah sebuah fungsi penyidikan. Tujuan interogasi adalah untuk
mendapatkan dan mengumpulkan semua informasi tentang kejadian yang diselidiki
serta tentang pelaku kejahatannya dan membuat si terdakwa mengakui kejahatannya.
Semua kategori orang yang dapat diinterogasi adalah korban, saksi, majikan, rekan
kerja, teman, kerabat, dan lain-lain. Interogasi bukanlah pengganti penyidikan

melainkan sebagai alat bantu penyidikan. Ada persyaratan legal yang melingkupi
interogasi yang harus dipahami oleh penyidik. Kegagalan memahami persyaratan ini
akan menyia-nyiakan penggunaan informasi yang didapat sebagai barang bukti.1
Pengaturan mengenai alat bukti pada Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003
tersebut terlihat dalam Pasal 27, yaitu sebagai berikut, alat bukti pemeriksaan tindak
pidana terorisme meliputi:1
1. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana;
2. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau
disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
3. Data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang
dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas
kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik,
termasuk tetapi tidak terbatas pada : tulisan, suara, atau gambar; peta, rancangan, foto,
atau sejenisnya; huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau
dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
Kasat Reserse
Terdapat satuan reserse dan kriminal yang disingkat menjadi satuan Reskrim.
Pelaksana utama satuan Reskrim ini adalah polres yang berada di bawah naungan
Kapolres. Satuan Reskrim bertugas membina fungsi dan menyelengarakan kegiatankegiatan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana termasuk fungsi Identifikasi
dalam rangka penegakan hukum, koordinasi dan operasional dan adminitrasi
penyidikan sesuai ketentuan-ketentuan dan peraturan yang berlaku. 2,3
Tugas pokok Reserse Polri adalah melaksanakan penyelidikan, penyidikan,
dan koordinasi serta pengawasan terhadap Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)
berdasarkan Undang-undang no. 8 tahun 1981 dan peraturan perudangan lainnya.4
Fungsi Reserse adalah menyelengarakan segala usaha, kegiatan, dan pekerjaan
yang berkenaan dengan pelaksanaan fungsi Reserse Kepolisian dalam rangka
penyidikan tindak pidana sesuaidengan Undang-undang yang berlaku dan sebagai
Korwas PPNS serta pengelolaan Pudat Informasi Kriminal (PIK).4
Ada beberapa pasal yang mengatur mengenai penyidik dan penyelidik dalam
KUHAP, yakni:5

Pasal 4 KUHAP
Penyelidik adalah setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia.

Pasal 5 KUHAP
(1) Penyidik sebagaimana dimaksudkan pasal 4:
a. Karena kewajibanya mempunyai wewenang:
1. Menerima laopran atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak
pidana;
2. Mencari keterangan dan barang bukti;
3. Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta
memeriksa tanda pengenal diri;
4. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
b. Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa:
1. Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, pengeledahan dan
penyitssn.
2. Pemeriksaan dan penyitaan surat;
3. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang
4. Membawa dan menghadapkan seseorang pada penyidik.
(2) Penyelidik membuat dan menyampaikan laporan hasil pelaksanaan tindakan
sebagaimana tersebut pada ayat (1) huruf a dan huruf b kepada penyidik.

Pasal 7 KUHAP
(1) Penyidik adalah:
a. Pejabat polisi Negara Republik Indonesia
b. Pejabat pegwai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh
undang-undang.
(2) Syarat kepangkatan pejabat sebagaimanan dimaksudkan dalam ayat (1) akan
diatur lebih lanjur dalam peraturan pemerintah

Pasal 10 KUHAP
(1) Penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian Republik Indonesia yang
diangkat oleh Kepala Kepolisian negara Republik Indonesia berdasarkan
syarat kepangkatan dalam ayat (2) pasal ini.
(2) Syarat kepangkatan sbagaimana tersebut pada ayat (1) diatur dengan
peraturan pemerintah.

Prinsip Etika Kedokteran

Etik adalah cabang ilmu filsafat yang mempelajari moralitas. Etik harus dibedakan
dengan sains yang mempelajari moralitas, yaitu etik deskriptif. Etik deskriptif
mempelajari pengetahuaan empiris tentang moralitas atau menjelaskan pandangan moral
yang saat itu berlaku tentang isu-isu tertentu. Etik terbagi ke dalam etik normatif dan
metaetik (etik analitik). Pada etik normatif, para filosof mencoba menegakkan apa yang
benar secara moral dan mana yang salah secara moral dalam kaitannya dengan tindakan
manusia. Pada metaetik, pada filosof memperhatikan analisis kedua konsep moral
diatas.1
Pada dasarnya manusia memiliki 4 kebutuhan dasar, yaitu (a) kebutuhan fisiologis
yang dipenuhi dengan makanan dan minuman, (b) kebutuhan psikologis yang dipenuhi
dengan rasa kepuasan, istirahat, santai, dan lain-lain, (c) kebutuhan sosial yang dipenuhi
melalui keluarga, teman dan komunitas, serta (d) kebutuhan kreatif dan spiritual yang
dipenuhi dengan melalui pengetahuan, kebenaran, cinta, dan lain-lain.1
Kebutuhan-kebutuhan tersebut harus dipenuhi secara berimbang. Apabila seorang
memilih untuk memenuhi kebutuhan tersebut secara tidak berimbang, maka ia telah
menentukan secara subyektif apa yang baik bagi dirinya yang belum tentu baik secara
obyektif. Baik disebabkan oleh ketidaktahuan atau akibat kelemahan moral, seseorang
dapat saja tidak mempertimbangkan semua kebutuhan tersebut dalam membuat
keputusan etik, sehingga berakibat terjadinya konflik di bidang keputusan moral.1
Bioetika adalah salah satu cabang dari etik normatif di atas. Bioetik atau biomedical
ethics adalah etik yang berhubungan dengan prakter kedokteran dan atau penelitian di
bidang biomedis. Di dalam menentukan tindakan di bidang kesehatan atau kedokteran,
selain mempertimbangkan keempat kebutuhan dasar di atas, keputusan hendaknya juga
mempertimbangkan hak-hak asasi pasien. Pelanggaran atas hak pasien akan
mengakibatkan juga pelanggaran atas kebutuhan dasar diatas, terutama kebutuhan kreatif
dan spiritual pasien.1
Etika adalah disiplin ilmu yang mempelajari baik buruk atau benar-salahnya suatu
sikap dan atau perbuatan seseorang individu atau institusi dilihat dari moralitas.
Penilaian baik buruk dan benar-saah dari sisi moral tersebut menggunakan pendekatan
teori etika yang cukup banyak jumlahnya. Terdapat dua teori etika yang paling banyak
dianut orang adalah teori deontologi dan teleologi. Secara ringkas dapat dikaatakan
bahwa Deontologi mengajarkan bahwa baik buruknya suatu perbuatan harus dilihat dari
perbuatan itu sendiri (I Kant), sedangkan teleologi mengajarkan untuk menilai baikburuk tindakan dengan melihat hasinya atau akibatnya (D Hume, J Bentham, JS Mills).
Deontologi lebih mendasarkan kepada ajaran agama, tradisi dan budaya, sedangkan

teleogi lebih kearah penalaran (reasoning) dan pembenaran (justifikasi) kepada azas
manfaat (aliran utilitarian).1
Beauchamp dan Childress (1994) menguraikan bahwa untuk mencapai ke suatu
keputusan etik diperlukan 4 kaidah dasar moral (moral principle) dan beberapa peraturan
dibawahnya. Keempat kaidah dasar moral tersebut adalah:1
a. Prinsip otonomi, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien, terutama hak
otonomi pasien (the rights to self determination). Prinsip moral inilah yang
kemudian melahirkan doktrin informed consent.
b. Prinsip beneficence, yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditujukan
ke kebaikan pasien. Dalam beneficence tidak hanya dikenal perbuatan yang sisi
baiknya (manfaat) lebih besar daripada sisi buruknya (mudharat).
c. Prinsip non-maleficence, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang
memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai primum non nocere atau
above all do no harm
d. Prinsip justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam
bersikap maupun dalam mendistribusikan sumber daya (distributive justice).
Sedangkan peraturan-peraturan derivatnya adalah veracity (berbicara benar, jujur, dan
terbuka), privacy (menghormati hak privasi pasien), confidentiality (menjaga kerahasiaan
pasien) dan fidelity (loyalitas dan promise keeping).1
Selain prinsip atau kaidah dasar moral diatas yang harus dijadikan pedoman dalam
mengambil keputusan klinis, profesional kedokteran juga mengenal etika profesi sebagai
panduan dalam bersikap dan berperilaku (code

of ethical conduct). Sebagaiman

diuraikan pada pendahuluan, nilai-nilai dalam etika profesi tercemin di dalam sumpah
dokter dan kode etik kedokteran. Sumpah dokter berisikan suatu kontrak moral antara
dokter dengan Tuhan sang penciptanya, sedangkan kode etik kedokteran berisikan
kontrak kewajiban moral antara dokter dengan peer-groupnya, yaitu masyarakat
profesinya.1
Baik sumpah dokter maupun kode etik kedokteran berisikan sejumlah kewajiban
moral yang melekat kepada para dokter. Meskipun kewajiban tersebut bukanlah
kewajiban hukum sehingga tidak dapat dipaksakan secara hukum, namun kewajiban
moral tersebut haruslah menjadi pemimpin dari kewajiban dalam hukum kedokteran.
Hukum kedokteran yang baik haruslah hukum yang etis.1
Deklarasi umum Hak Asasi Manusia (HAM)
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia atau Universal Declaration of Human Rights
adalah sebuah deklarasi yang di adopsi oleh Majelis Umum PBB pada 10 Desember
5

1948 di Palais de Chaillot, Paris, Perancis melalui General Assembly Resolution 217 A
(III). Deklarasi ini merupakan standar umum yang menyatakan bahwa hak asasi manusia
secara internasional haruslah dilindungi.2
Deklarasi ini merupakan pernyataan umum pertama dari masyarakat dunia tentang
hak asasi manusia dan di dalamnya termuat 30 pasal. Deklarasi ini kemudian mengilhami
lahirnya berbagai perjanjian internasional, instrumen hak asasi manusia di tingkat
regional, konstitusi masing masing negara, dan UU di masing masing negara yang
terkait dengan isu isu hak asasi manusia.2
Secara umum, International Bill of Human Rights terdiri dari Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia, Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik beserta dua optional
protocolnya -, dan Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia2

Pasal 3
(1) Setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dan
sederajat serta dikaruniai akal dan hati nurani untuk hidup bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara dalam semangat persaudaraan.
(2) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum
yang adil serta mendapat kepastian hukum dalam semangat di depan hukum.
(3) Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan manusia,

tanpa diskriminasi.
Pasal 4
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi
dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum
yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam

keadaan apapun dan oleh siapapun.


Pasal 5
(1) Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan
memperoleh perlakuan serta perlindungan yang samasesuai dengan martabat
kemanusiaanya di depan hukum.
(2) Setiap orang berhak mendapat bantuan dan perlindungan yang adil dari
pengadilan yang objektif dan tidak berpihak.
(3) Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak

memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.


Pasal 9
(1) Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf
kehidupannya.
6

(2) Setiap orang berhak hidup tentram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan
batin.

(3) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Pasal 17
Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan
mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana,
perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan
tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemerikasaan yang
objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan

benar.
Pasal 18
(1) Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena disangka melakukan
sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan
kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan
hukum yang diperlakukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangan-undangan.
(2) Setiap orang tidak boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi pidana, kecuali
berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum tindak
pidana itu dilakukannya.
(3) Setiap ada perubahan dalam peraturan perudang-undangan maka beralaku
ketentuan yang paling menguntungkan bagi tersangka.
(4) Setiap orang yang diperiksa berhak mendapatkan bantuan hukum sejak saat
penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap.
(5) Setiap orang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya dalam perkara yang sama
atas suatu perbutan yang telah memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan

hukum tetap.
Pasal 29
(1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat, dan hak miliknya.
(2) Setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai manusia pribadi

dimana saja ia berada.


Pasal 30
Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap

ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.


Pasal 33
(1) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan
yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya.

(2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penghilangan paksa dan penghilangan

nyawa.
Pasal 34
Setiap orang tidak boleh ditangkap, dittahan, disiksa, dikucilkan, diasingkan, atau

dibuang secara sewenag-wenang.


Pasal 35
Setiap orang berhak hidup di dalam tatanan masyarakat dan kenegaraan yang damai,
aman, dan tentram, yang menghormati, melindungi dan melaksanakan sepenuhnya
hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia sebagaimana diatur dalam Undangundang ini.
Kewajiban setiap individu menurut undang-undang no 39 tahun 1999 antara

lain:
Pasal 67
Setiap orang yang ada di wilayah negara Republik Indonesia wajib patuh pada
peraturan perundang-undangan, hukum tak tertulis, dan hukum internasional

mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia.
Pasal 69
Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain, moral, etika, dan tata
tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Setiap hak asasi manusia seseorang menimbulkan kewajiban dasar dan tanggung
jawab untuk menghormati hak asasi orang lain secara timbal balik serta menjadi tugas

Pemerintah untuk menghormati, melindungi, meneggakan, dan memajukannya.


Pasal 70
Dalam menjalankan hak dan kewajiban, setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-undang dengan maksud untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Konvesi Internasional tentang Penghapusan Penganiayaan


Konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak
manusiawi atau merendahkan martabat manusia telah diadopsi oleh majelis umum
persrikatan bangsa-bangsa (PBB) dalam resolusinya no. 39/46 tanggal 10 desember 1984
dan mulai diberlakukan tanggal 26 Juni 1987. 3
Dalam Kovenan Hak Sipil dan Politik inilah, maka hal tentang manusia bebas dari
penyiksaan diatur di dalamnya. Pasal 7 dalam Konvenan ini mengatur dengan sanagat
jelas konsern tentang perlindungan manusia dari ancaman penyiksaan yang dilakukan
pihak lain: Tidak seorangpun boleh dikenai penyiksaan, atau perlakuan atau hukuman
8

yan keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabatnya, khususnya secara sukarela
dapat dijadikan eksperimen medis atau ilmiah. 3
Penganiayaan atau torture adalah setiap tindakan yang menyebabkan rasa sangat sakit
atau penderitaan, baik fisik maupun mental, baik jasmani maupun rohani pada seseorang
untuk tujuan seperti memperoleh darinya atau informasi orang ketiga atau pengakuan,
menghukum dia untuk tindakan ia atau orang ketiga yang telah lakukan atau diduga
memiliki komitmen, atau mengintimidasi atau memaksa dia atau orang ketiga, atau
untuk alasan apapun berdasarkan diskriminasi apapun, ketika rasa sakit atau penderitaan
tersebut ditimbulkan oleh atau atas hasutan atau dengan persetujuan atau persetujuan dari
pejabat publik atau orang lain yang bertindak dalam kapasitas resmi. Ini tidak termasuk
rasa sakit atau penderitaan yang timbul hanya dari, melekat pada atau terkait dengan
sanksi hukum.3
Secara umum, pihak Konvensi wajib untuk mengambil "legislatif, administratif,
yudisial dan lainnya langkah-langkah efektif untuk mencegah tindakan penyiksaan di
dalam wilayah yuridikasi. 3
Konvensi ini memuat banyak aturan tentang kewajiban negara Pihak, dengan tujuan
untuk menguatkan perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar lainnya. Enam
belas pasal dari 33 pasal dalam konvensi ini mengatur kewajiban negara untuk
menghormati berbagai hak dasar manusia untuk bebas, tidak disiksa dan mendapatkan
perlakuan kejam lainnya. 3
Pasal 2 ayat 1 dari Konvensi ini misalnya menyebut soal kewajiban setiap negara
pihak untuk mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, hukum dan langkahlangkah efektif untuk mencegah tindakan penyiksaan di wilayah manapun dalam batas
kekuasaannya. Sementara itu dalam ayat 2 pasal 2 juga diingatkan : Tiada ada keadaan
pengecualian apapun, apakah keadaan perang atau ancaman perang, ketidakstabilan
politik dalam negeri ataupun keadaan darurat, yang dapat digunakan sebagai pembenaran
untuk penyiksaan.
Penggunaan kekerasan pada suatu interogasi hanya boleh dilakukan apabila:3
Hanya boleh dilakukan setelah upaya persuasif tidak berhasil
Hanya untuk tujuan-tujuan perlindungan dan penegakan HAM secara proposional
dengan tujuan yang sah.
Diarahkan untuk memperkecil terjadinya kerusakan dan luka baik bagi petugas
maupun bagi masyarakat.
Digunakan hanya apabila diperlukan dan untuk penegakan hukum
Penggunaan kekerasan harus sebanding dengan pelangaran dan tujuan yang hendak
dicapai.
9

Harus meminilasasi kerusakan dan cedera serta memelihara kehidupan manusia


Harus memastikan bahwa bantuan medisdan penunjangnya diberikan kepada orangorang yang terluka atau terkena dampak pada waktu sesegera mungkin.
Harus memastikan bahwa sanak keluarga atau teman terdekat yang terluka atau
terkena dampak diberitahu sesegera mungkin.
Peran Dokter Dalam Kepolisian
Kedokteran Kepolisian atau lebih dikenal sebagai DOKPOL adalah penerapan ilmu
pengetahuan dan teknologi kedokteran untuk kepentingan tugas kepolisian. Banyak yang
mengira bahwa DOKPOL identik dengan Kedokteran Forensik, namun sebenarnya
berbeda, oleh karena Kedokteran Forensik adalah salah satu cabang ilmu kedokteran
yang diterapkan di dalam DOKPOL, sehingga Kedokteran Forensik merupakan bagian
dari penerapan DOKPOL. Ilmu-ilmu lain yang juga merupakan bagian terapan dari
DOKPOL selain Kedokteran Forensik adalah Forensik Klinik, Psikiatri Forensik,
Kedokteran

Gigi

Forensik,

Biomolekuler

Forensik,

Medikolegal,

Toksikologi

Kedokteran Forensik, Kedokteran Gawat Darurat, Kesehatan Lapangan, Kedokteran


Lalu Lintas dan sebagainya.
Adapun dasar hukum bahwa DOKPOL berperan dalam tugas kepolisian adalah
tercantum dalam Bab III Pasal 14 ayat 1 butir (h) UU No. 2 tahun 2002 yang berbunyi
menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik
dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian. Disini berarti
mengungkapkan bahwa DOKPOL merupakan salah satu pengemban tugas atau fungsi
teknis kepolisian harus dapat berperan dalam penyelenggaraan tugas-tugas pokok
Kepolisian sebagaimana yang diamanatkan pada UU No.2 tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia tersebut.4
Dampak Hukum yang Mungkin Timbul dari Keputusan Dokter 5
Dokter melanggar hak asasi manusia anti penganiayaan
Menurut penjelasan menteri kehakiman pada waktu pembentukan pasal 351 KUHP
dirumuskan, antara lain :
1. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk memberikan penderitaan
badan kepada orang lain.
2. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk merugikan kesehatan pada
orang lain.
Berbeda dengan RUU-KUHP 1993 yang memberikan penafsiran kepada hakim.

10

Penjelasan resmi RUU-KUHP 1993 yang dimuat dalam penjelasan resmi pasal 451
(20.01) dimuat antara lain sebagai berikut :
perumusan penganiayaan tidak perlu ditentukan secara pasti mengingat
kemungkinan perubahan nilai-nilai social dan budaya serta perkembangan dalam
dunia kedokteran dan sosiologi.
Berdasarkan pengertian tindak pidana diatas maka rumusan penganiayaan memuat
unsur-unsur sebagai berikut :
a. Unsur kesengajaan.
Dalam tindak pidana penganiayaan unsur kesengajaan harus diartikan secara
luas yaitu meliputi kesengajaan sebagai maksud, kesengajaan sebagai kepastian
dan kesengajaan sebagai kemungkinan.
Dengan penafsiran bahwa unsur kesengajaan dalam tindak pidana penganiayaan
ditafsir sebagai kesengajaan sebagai maksud (opzet alsa olmergk), maka seorang
baru dikatakan melakukan tindak pidana penganiayaan, apabila orang itu
mempunyai maksud menimbulkan akibat berupa rasa sakit atau luka pada tubuh.
Jadi, dalam hal ini maksud orang itu haruslah ditujukan pada perbuatan dan rasa
sakit atau luka pada tubuh.
Walaupun secara prinsip kesengajaan dalam tindak pidana penganiayaan harus
ditafsirkan sebagai kesengajaan sebagai maksud, namun dalam hal-hal tertentu
kesengajaan dalam penganiayaan juga dapat ditafsirkan sebagai kesengajaan
sebagai kemungkinan.
Namun demikian penganiayaan itu bisa ditafsirkan sebagai kesengajaan dalam
sadar akan kemungkinan, tetapi penafsiran tersebut juga terbatas pada adanya
kesengajaan sebagai kemungkinan terhadap akibat. Artinya dimungkinkan
penafsiran secara luas unsur kesengajaan itu yaitu kesengajaan sebagai maksud,
kesengajaan sebagai kemungkinan bahkan kesengajaan sebagai kepastian, hanya
dimungkinkan terhadap akibatnya. Sementara terhadap perbuatan itu haruslah pada
tujuan pelaku.
b. Unsur perbuatan.
Yang dimaksud perbuatan dalam penganiayaan adalah perbuatan dalam arti
positif. Artinya perbuatan tersebut haruslah merupakan aktivitas atau kegiatan dari
manusia dengan menggunakan (sebagaian) anggota tubuhnya sekalipun sekecil
apapun perbuatan itu.
Selain bersifat positif, unsur perbuatan dalam tindak pidana penganiayaan juga
bersifat abstrak. Artinya penganiayaan itu bisa dalam berbagai bentuk perbuatan

11

seperti memukul, mencubit, mengiris, membacok, dan sebagainya.


c. Unsur akibat perbuatan (yang dituju) yaitu :
Rasa sakit, tidak enak pada tubuh;
Luka Tubuh
Rasa sakit dalam konteks penganiayaan mengandung arti sebagai terjadinya
atau timbulnya rasa sakit, rasa perih, atau tidak enak penderiataan.
Sementara yang dimaksud dengan luka adalah adanya perubahan dari tubuh,
atau terjadinya perubahan rupa pada tubuh sehingga menjadi berbeda dari keadaan
tubuh sebelum terjadinya penganiayaan. Perubahan rupa itu misalnya lecet-lecet
pada kulit, putusnya jari tangan, bengkak-bengkak pada anggota tubuh dan
sebagainya.
Unsur akibat - baik berupa rasa sakit atau luka dengan unsur perbuatan harus
ada hubungan kausal. Artinya, harus dapat dibuktikan, bahwa akibat yang berupa
rasa sakit atau luka itu merupakan akibat langsung dari perbuatan dengan akibat
ini, maka tidak akan dapat dibuktikan dengan adanya tindak pidana penganiayaan.
d. Akibat mana menjadi satu-satunya tujuan si pelaku.
Unsur ini mengandung pengertian, bahwa dalam tindak pidana penganiayaan
akibat berupa rasa sakit atau luka pada tubuh itu haruslah merupakan tujuan satusatunya dari pelaku. Artinya memang pelaku menghendaki timbulya rasa sakit atau
luka dari perbuatan (penganiayaan) yang dilakukannya. Jadi, untuk adanya
penganiayaan harus dibuktikan bahwa rasa sakit atau luka pada tubuh itu menjadi
tujuan dari pelaku.
Apabila akibat yang berupa rasa sakit atau luka itu bukan menjadi tujuan dari
pelaku tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan lain yang patut, maka
dalam hal ini tidak terjadi penganiayaan.
Penganiayaan adalah tindak pidana yang menyerang kepentingan hukum berupa
tubuh manusia. Di dalam KUHP terdapat ketentuan yang mengatur berbagai
perbuatan yang menyerang kepentingan hukum yang berupa tubuh manusia.
Dalam KUHP tindak pidana penganiayaan dapat dibagi menjadi beberapa bagian
yaitu sebagai berikut :
a.
b.
c.
d.
e.

Penganiayaan biasa sebagaimana diatur dalam pasal 351 KUHP


Penganiayaan ringan sebagaimana diatur dalam pasal 352 KUHP
Penganiayaan berencana sebagaimana diatur dalam pasal 353 KUHP
Penganiayaan berat sebagaimana diatur dalam pasal 354 KUHP
Penganiayaan berat berencana sebagaimana diatur dalam pasal 355 KUHP

12

f. Penganiayaan terhadap orang yang berkualitas tertentu sebagaimana diatur dalam


pasal 356 KUHP
Dokter melanggar etika profesi kedokteran
Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI)
Pasal 7d
Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi makhluk insani.
Pasal 9
Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan dan bidang
lainnya serta masyarakat, haru saling mengormati.
Pasal 13
Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan,
kecuali bila ia yakin ada orang bersedia dan mampu memberikannya.
UU No 8 tahun 1981 KUHAP
Pasal 117
(1) : keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari
siapapun dan atau dalam bentuk apapun.
Penyelesaian Masalah 6
Menurut kasus diatas, terdapat alternative yang dapat dilakukan tanpa harus dilakukan
tindak penganiayaan terhadap tersangka, yaitu dengan penggunan obat-obatan yang biasa
digunakan untuk teknik interogasi.
Dalam uji analisis test, imajinasi subjek dinetralkan dengan membuat orang tersebut
setengah sadar. dalam keadaan ini, tersangka akan sulit berbohong.
Para ahli atau dokter akan menyuntikan tersangka dengan Sodium Penthotal atau
Sodium Amythal. Dosis yang disuntikkan tergantung dengan jenis kelamin, kesehatan
dan kondisi fisik seseorang. Dosis yang salah dapat berakibat dengan koma atau
kematian.
1. Sodium Amythal
Sodium Amytal mampu menurunkan hambatan, di mana orang yang disuntikkan
zat ini dapat memberikan pikiran yang jelas dan mendorong untuk memberikan
keterangan kepada interogator secara gamblang. Digunakan pertama kali pada Perang
Dunia II, yaitu ketika interogator sudah kehabisan cara untuk membuat tawanan mau
berbicara untuk menjelaskan tentang misinya.
Sodium Amytal adalah sebuah barbiturat, yang akan memaksa tawanan untuk
menghidupkan kembali pengalaman masa perang mereka dan berbicara tentang
mereka dengan interogator.
2. Skopolamin

13

Skopolamin paling sering dikenal sebagai serum kebenaran, memiliki kemampuan


yang luar biasa untuk membuat penjahat berbicara kebenaran. Namun, tidak terlalu
banyak orang yang tahu efek negatif dari skopolamin. Obat ini dapat membuat orang
yang meminumnya dapat melakukan apa saja yang diperintahkan oleh orang lain.
3. Amfetamin
Amfetamin dan metamfetamin akan mengubah pengguna menjadi orang yang tidak
hentinya berbicara.. Ketika zat ini dimasukkan ke tubuh, korban mengalami dorongan
menarik untuk berbicara sebagaimana otak mereka dibanjiri oleh kenangan dan
emosi. Amfetamin akan mendorong seseorang secara sempurna untuk mengetahui
kebenaran dari seseorang yang pura-pura amnesia atau sengaja berbohong.

Kesimpulan
Sebagai dokter, etika sangat diperlukan dalam menangani pasien. Pada skenario
diatas, seorang dokter dihadapkan dengan pilihan yang sangat bertentangan, yaitu antara
melanggar kode etik kedokteran, pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dengan
melanggar perintah atasan dan risiko untuk membahayakan nyawa masyarakat. Dokter
sebaiknya dapat bertindak tepat dan tegas dengan menggunakan ilmu kedokteran yang
telah dipelajarinya.

Daftar Pustaka
1. Budi Sampurna, Zulhasmar Syamsu, Tjeptjep Dwidja Siswaja. Bioetik dan hukum
kedokteran pengantar bagi mahasiswa kedokteran dan hukum. Jakarta: Pustaka
Dwipar; 2007.h.30-2.
2. Sudibyo, E., Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia. http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_39_99.htm. Diakses tanggal 11
Januari 2016.
3. Hardiman, Budi F. Terorisme, definisi, aksi dan regulasi. Jakarta: Imparsial; 2005.
4. Undang-undang kepolisian. Diunduh dari http://www.kpu.go.id/dmdocuments/UU
%20KEPOLISIAN.pdf. 11 Januari 2016.
5. Hanafiah MJ, Amir A. Etika kedokteran dan hukum kesehatan. Edisi ke 4. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2008.h.54-6.
6. Semiloka Kesehatan dan Hak Asasi Manusia. Prisoners and Detainees Mardjono
Reksodiputro. Penerbit: IDI. 2005 hal. 63-7.

14

15

Anda mungkin juga menyukai