Anda di halaman 1dari 36

BAB I

KONSEP DASAR MEDIK


A. KONSEP DASAR LANSIA
1. PENGERTIAN LANSIA
Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur
kehidupan manusia. Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU No.
13 Tahun 1998 tentang kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut adalah
seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun (Maryam dkk,
2008).
Berdasarkan defenisi secara umum, seseorang dikatakan lanjut usia
(lansia) apabila usianya 65 tahun ke atas. Lansia bukan suatu penyakit,
namun merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai
dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres
lingkungan. Lansia adalah keadaan yang ditandai oleh kegagalan
seseorang untuk mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stres
fisiologis. Kegagalan ini berkaitan dengan penurunan daya kemampuan
untuk hidup serta peningkatan kepekaan secara individual (Efendi, 2009)
Lansia merupakan kelompok umur yang mengalami berbagai
penurunan

daya

tahan

tubuh

dan

berbagai

tekanan

psikologis.

(Maryam,2008).
Dari bebebrapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa lansia
merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan
penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres lingkungan
dan seseorang dikatakan lansia ketika usianya sudah lebih dari 60 tahun.
2. BATASAN USIA LANJUT

Menurut pendapat berbagai ahli dalam Efendi (2009) batasan - batasan


umur yang mencakup batasan umur lansia adalah sebagai berikut:
a. Menurut Undang - Undang Nomor 13 Tahun 1998 dalam Bab 1 Pasal
1 ayat 2 yang berbunyi Lanjut usia adalah seseorang yang mencapai
usia 60 (enam puluh) tahun ke atas.
b. Menurut World Health Organization (WHO), usia lanjut dibagi
menjadi empat kriteria berikut : usia pertengahan (middle age) ialah
45-59 tahun, lanjut usia (elderly) ialah 60-74 tahun, lanjut usia tua
(old) ialah 75-90 tahun, usia sangat tua (very old) ialah di atas 90
tahun.
c. Menurut Dra. Jos Masdani (Psikolog UI) terdapat empat fase yaitu :
pertama (fase inventus) ialah 25-40 tahun, kedua (fase virilities) ialah
40-55 tahun, ketiga (fase presenium) ialah 55-65 tahun, keempat (fase
senium) ialah 65 hingga tutup usia.
d. Menurut Prof. Dr. Koesoemato Setyonegoro masa lanjut usia (geriatric
age): > 65 tahun atau 70 tahun. Masa lanjut usia (getiatric age) itu
sendiri dibagi menjadi tiga batasan umur, yaitu young old (70-75
tahun), old (75-80 tahun), dan very old ( > 80 tahun) (Efendi, 2009)

1) PROSES MENUA
Proses menua Merupakan proses yang normal terjadi pada
setiap manusia dan bukan merupakan suatu penyakit. Penuaan juga
dapat didefenisikan sebagai suatu proses menghilangnya secara
perlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti
dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga lebih rentan 10

terhadap infeksi dan tidak dapat memperbaiki kerusakan yang


dideritanya. Penuaan merupakan proses ilmiah yang terjadi secara
terus-menerus dalam kehidupan manusia. Proses menua merupakan
proses sepanjang hidup. Menjadi tua merupakan proses alamiah, yang
berarti seseorang telah melalui tiga tahap kehidupan yaitu anak,
dewasa dan tua (Nugroho, 2008).
Menjadi tua adalah suatu proses menghilangnya secara
perlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti
diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya. Keadaan ini
menyebabkan jaringan tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk
infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Disimpulkan
bahwa manusia secara perlahan mengalami kemunduran struktur dan
fungsi organ. Kemunduran struktur dan fungsi organ pada lansia dapat
mempengaruhi kemandirian dan kesehatan lanjut usia (Nugroho,
2008).
Perubahan yang terjadi pada proses menua terhadap kualitas
tidur. Proses menua adalah masalah yang akan selalu dihadapi oleh
semua manusia. Dalam tubuh terjadi perubahan-perubahan struktural
yang merupakan proses degeneratif. Sel-sel mengecil atau menciut,
jumlah sel berkurang, terjadi perubahan isi atau komposisi sel,
pembentukan jaringan ikat baru meggantikan sel-sel yang menghilang
atau mengecil dengan akibat timbulnya kemunduran fungsi organ
tubuh.
2) TEORI PROSES MENUA
1. Teori Biologis
a. Teori jam genetic

Secara genetic sudah terprogram bahwa material di


dalam inti sel dikatakan baikan memiliki jam genetis terkait
dengan frekuensi mitosis. Teori ini didasarkan pada kenyataan
bahwa spesies-spesies tertentu memiliki harapan hidup (life
span) yang tertentu pula.
b. Teori cross-lingkage (rantai silang)
Kolagen yang merupakan unsure penyuluhan tulang di
ntara susuan melucular, lama kelamaan akan meningkat
kekakuannya (tidak elastic).
c. Teori radikal bebas
Radikal

bebas

merusak

membrane

sel

yang

menyebabkan kerusakan dan kemunduran secara fisik.

d. Teori genetic
Menurut teori ini, menua telah program secara genetic
untuk spesies-spesies tertentu. Menua terjadi sebagai akibat
dari perubahan biokimia yang terprogram oleh molekulmolekul DNA dan setiap sel pada saatnya akan mengalami
mutasi.
e. Teori immunologi
Di dalam proses metabolisme tubuh, suatusaat di
produksi suatu zat khusus. Ada jaingan tubuh tertentu yang

tidak dapat tahan terhadap zat terebut sehingga jaringan tubuh


menjadi lemah.
f. Teori stress-adaptasi
Menua terjadi akibat hilangnya sel-sel yang biasa
digunakan

tubuh.

Regenerasi

jaringan

tidak

dapat

mempertahankan kestabilan lingkungan internal, kelebihn usha


dan stress menyebabkan sel-sel lelah terpakai.
g. Teori wear and tear (pemakaian dan rusak)
Kelebihan usaha dan stress menyebabkan sel-sel tubuh
lelah (terpkai).
2. Teori psikososial
a. Teori integritas ego
Teori perkembangan ini engidentifikasikan tugas-tugas
yang harus dicapai dalam perkembangan. Tugas perkembangan
terakhir

merefleksiakan

kehidupan

seseorang

kehidupan

seseorang dan pencapainya.


b. Teori stabilitas personal
Kepribadian seorang terbentuk pada masa kana-kanak
dan tetap bertahan secara stabil. Perubahan yang radikal pada
usia tua bisa jadi mengidikasikan penyakit otak.
c. Teori sosiokultural
Teori yang merupkan teori sosiokultural adalah sebagai
berikut :
1. Teori Pembebasan
Teori ini menyatkan bahwa dengan bertambahnya
usia, eseorang beangsur-angsur mulai melepaskan diri dari
kehidupan sosialnya, atau menark diri dari pergaulan
sekitarnya.Hal ini mengakibtkan interaksi sosial lanjut usia
menurun, sehngg sering terjadi kehilangan ganda meliputi :
Kehilngan peran
Hambatan kontak sosial

Berkurangnya komitmen
2. Teori aktifi
Teori ini menyatakan bahwa penuaan yang sukses
tergantung dari bagaimana seorang usia lanjut merasakan
kepuasan dalam beraktivitas dan mempertahankan aktivitas
tersebut selama mungkin.
3. Teori konsekuensi fungsional
Teori yang merupakan teori fungsional adalah
sebagai berikut :
1) Teori ini mengatakan tentang konsekuensi fungsional
usia lanjut yang berhubungan dengan perubahanperubhan karena faktor usi dan faktor resiko tambahan.
2) Tanpa intervensi maka beberapa konsekuensi fungsional
akan negative dengen intervensi menjadi positif.
3. PERUBAHAN-PERUBAHAN YANG TERJADI PADA LANJUT
USIA
1. Perbahan Fisik
a. System Indra
Perubahan sistem penglihatan pada lansia erat
kaitannya dengan presbiopi. Lensa kehilangan elastisitas
dan kaku. Otot penyangga lensa lemah, ketajaman
penglihatan dan daya akomodasi dari jarak jauh atau dekat
berkurang, penggunaan kaca mata dan sytem peneranga
yang baik dapat digunakan.
System pendengaran; presbiakus (gangguan pada
pendengaran)oleh karena hilangnya kemampuan (daya)
pendengaran pada telinga dalam, terutama terhadap bunyi
suara atau nada-nada yang tinggi, suara yang tidak jelas,

sulit dimengerti kata-kata, 50% terjadi pada usia diatas 60


tahun.
System integument; Paa lansia kulit mengalami
atrofi, kendur, tidak elastic kering dan berkerut. Kulit akan
kekurangan cairan sehingga menjadi tipis dan berbecak.
Kekeringan kulit disebabkan atrofi glandula sebasea dan
glandula sudoritera, timbul pigmen berwarna coklat pada
kulit dikenal dengan liver spot. Perubahan kulit lebih
banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan antara lain
angin dan matahari, terutama sinar ultraviolet.
b. System musculokeletal
Perubahan system muskulokeletal pada lansia antara lain
sebagai berikut:
1) Jaringan penghubung (kolagen dan elastin) : kolagen
sebagai pendukung utama pada kulit, tendon, tulang,
kartilgo dan jaringan pengikat mengalami perubahan
menjadi bentangan yang tidak teratur.
2) Kartilago : Jaringan kartilago pada persendian lunak
dan mengalami granulasi dan akhirnya permukaan
sendi menjadi rata, kemudian kemampuan kartilago
untuk regenerasi berkurangdan degenerasi yang terjadi
cenderung kearah progresif, konsekuensinya kartilago
pada persendian menjadi rentan terhadap gesekan.
3) Otot : perubahan struktur otot pada penuaan sangat
bervariasi, penurunan jumlah dan ukuran serabut otot,

peningkatan jaringan penghubung dan jaringan lemak


pada otot mengakibatkan efek negative.
4) Sendi : pada lansia, jaringan ikat sekitar sendi seperti
tendon, ligament dan fasia mengalami penurunan
elastisitas.
c. System kardivaskuler dan respirasi
Perubahan system kardiovaskuler dan respirasi mencakup:
1) System kardiovaskuler
Masa jantung bertambah, ventrikel kiri mengalami
hipertrofi

dan

kemampuan

peregangan

jantung

berkurang karena perubahan pada jaringan ikat dan


penumpukan lipofusi dan klasifikasi SA node dan
jaringan konduksi berubah menjadi jaringan ikat
2) System respirasi
Pada penuaan terjadi perubahan jaringan ikat paru,
kapasitas total paru tetap, tetapi volume cadangan
paru bertambah untuk mengompensasi.
d. Pencernaan dan metabolisme
Perubahan yang terjadi pada sistem pencernaan,
seperti penurunan produksi sebagai kemunduran fungsi
yang nyata. Kehilangan gigi; penyebab utama adalah
periodental disase yang bias terjadi setelah umur 30 tahun,
penyebab lain meliputi kesehatan gigi yang buruk. Indra
pengecap menurun; adanya iritasi yang kronis, dari selaput
lender, atrofi indera pengecap (80%), hilangnya sensitifitas
dari saraf pengecap di lidah terutama rasa tentang rasa
asin, asam, pahit. Pada lambung, rasa lapar menurun
(sensitifitas lapar menurun), asam lambung menurun,

waktu mengosongkan menurun. Peristaltik lemah dan


biasanya timbul konstipasi.
Fungsi absorbsi melemah

(daya

absorbsi

terganggu). Liver (hati) makin mengecil dan menurunnya


tempat penyimpanan, berkurangnya aliran darah. Kondisi
ini secara normal tidak, ada konsekuensi yang nyata, tetapi
menimbulkan efek yang merugikan ketika diobati. Pada
usia lanjut, obat-obatan di metabolisme dalam jumlah
yang sedikit. Pada lansia perlu diketahui kecenderungan
terjadinya peningkatan efek samping, over dosis, dan
reaksi yang merugikan dari obat. Oleh karena itu, meski
tidak seperti biasanya, dosis obat yang diberikan kepada
lansia lebih kecil dari dewasa.

e. Sistem perkemihan
Berbeda dengan sistem pencernaan, pada sistem
perkemihan terjadi perubahan yang signifikan. Banyak
fungsi yang mengalami kemunduran, contohnya laju
filtrasi, ekresi, dan reabsorbsi ginjal. Hal ini akan
memberikan efek dalam pemberian obat pada lansia.
Mereka kehilangan kemampuan mengekresi obat atau
produk metabolisme obat. Pola perkemihan tidak normal,
seperti banyak berkemih pada malam hari, sehingga

mengharuskan mereka perg ke toilet sepanjang malam.


Hal ini menunjukkan bahwa inkontinensia meningkat.
f. Sistem saraf
Sistem susunan saraf mengalami perubahan
anatomi dan atrofi yang agresif pada serabut saraf lansia.
Lansia mengalami penurunan koordinasi dan kemampuan
dalam melakukan aktifitas sehari-hari.
g. Sistem reproduksi
Perubahan sistem reproduksi

lansia

ditandai

dengan menciutnya ovari dan uterus. Terjadi atrofi


payudara.

2. Perubahan kognitif
a. Memori (daya ingat, ingatan)
Daya ingat adalah kemampuan

untuk

menerima,

mencamkan, menyimpan dan menghadirkan kembali


rangsangan/peristiwa yang pernah dialami seeorang. Pada
lanjut usia, daya ingat (memori) merupakan salah satu
fungsi kognitif yang sering kali paling awal mengalami
penurunan.
b. IQ (Intellegent Quocient)
Lansia tidak mengalami perubahan dengan informasi
matematika (analitis, linier, sekuensial) dan perkataan
verbal. Tetapi persepsi dan daya membayangkan (fantasi)
menurun.
c. Kemampuan belajar (learning)

Lanjut usia yang sehat dan tidak mengalami demensia


masih memilikikemampuan belajar yang baik, bahkan di
negara industri mju didirikan university of the third age.
d. Kemampuan oemahaman ( comprehension)
Kemampuan pemahaman atau menangkp engertin
padalansia mengalami penurunan. Hal ini di pengarhi oeh
kosentrasi dan fungsi pendengaran lansia yang mengalami
penurunan.
e. Pemecahan masalah ( poblem solving )
Pada lanjut usia maalah- malsah yang dihadapi tentu
semakin banyak. Banyak hal yang daulunya yang mudah
dapat di pechka menjadi terhambat karena tejadi
penurunan fungsi indra pada lansia.
f. Pengambilan keputusan (decsion making)
Pengambilan keputusan termasuk dalam
pemecahan

masalah.

Engambilan

proses

keputusan

pada

umumnya berdasarkan data yang terkumpul , kemudian di


analisa, dipertimbangkan da di pilih alternatif yang di nilai
positf (menguntungkan), keudian baru di ambil uatu
keputusan . pengambilan keputusan pada lansia sering
lambat atau seolah olah terjadi penundaan.
g. Kebijaksanaan (wisdom)
Bijaksana
(wisdom)
adalah
aspek
(personality)

dan

kombinasi

dari

kepribadian

aspek

kognitif.

Kebijaksanaan menggambarkan sikap dan sift individu


yang mampu mempertimbangkan antara yang baik dan

buruk era untung dan ruginya sehingga dapat bertindak


secara adil dan bijaksana.
h. Kinerja (peformance)
Pada lansia memang akan terlihat penurunan kinerja baik
secara kuantitatif maupun kualitatif.
i. Motivasi
Motivasi adalah fenomena kejiwaan yang mendorong
seseorang untuk bertingkah laku demi mencapai sesuatu
yang diinginkan atau yang dituntut oleh lingkungannya.
3. Perubahan spiritual
Agama atau kepercayaan lansia makin berintegrasi
dalam kehidupannya. Lansia makin teratur dalam kehidupan
keagamaanya. Spiritualitas pada lansia bersifat universal,
intrinstik dan merupakan proses individual yangb berkembang
sepanjang rentang kehidupan. Karena aliran siklus kehilangan
terhadap pada kehidupan lansia, keseimbangan hidup tersebut
di pertahankan sebagian oleh efek posisif harapa dari
kehilangan tersebut. Lansia yang telah mempelajari cara
menghadapi perubahan hidup melalui mekanisme keimanan
akhirnya di hadapkan pada tantangan akhir yaitu kematian.
4. Perubahan psikososial
a. Pensiun
Pensiun sering dikatan secara salah dengan
kepasifan atau mengasingan. Dalam kenyataanya pensiun
adalah tahap kehidupan yang dicirikan oleh adana transisi
dan perubahan peran yang menyebabkan stres psikososial.
Usia wajib pensiun bervariasi cintohnya pegawai negeri
sipil, mungkin pada usia 65 th , sedangkan pegawai federal

tidak di pnsinkan pada usia 70 th . pada industri swasta hak


pensiunan biasanya antara usia 62 th dan 70 th , dan juga
mungkin pensiun pada usia 55 th.
b. Perubahan aspek kepribadian
Pada umumnya setelah orang memasuki lansia
maka ia mengalami penuruan fungsi kognitif dan
psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses belajar,
persepsi, pemahaman, pengertian, perhatiandan lain- lain
sehinga menyebabkan reaksi dan perilaku lansia menjadi
makin lambar. Sementara fungsi psikomotor ( konatif )
meliputi hal-hal yang berhubungan dengan dorongan
kehendak

seperti

gerakan,tindakan,

koordinasi,

yang

berakibat lansia menjadi kurang cekatan.


c. Perubahan dalam peran sosial dalam masyarakat
Akibat berkurangnya fungsi indra pendengaran,
penglihatan, gerak fisik dan sebagainya maka muncul
gangguan fungsional atau bahkan kecacatan pada lansia,
misalnya badannya menjadi bungkuk, pendengaran sangat
berkurang, penglihatan kabur dan sebagaianya sehingga
sering menimbulkan keterasingan. Hal itu sebaiknya
dicegah dengan selalu mengajak mereka melakukan
aktivitas yang bersangkutan masih sanggup, agar tidak
merasa tersaing atau diasingkan.
d. Peubahan minat
Lanjut usia juga mengalami perubahan dalam minat.
Pertama minat terhadap diri makin bertambah. Kedua minat

terhadap uang semakin meningkat, terakhir kebutuhan


terhadap kegiatan rekreasi tak berubah hanya cenderung
menyempit. Untuk itu diperlukan motivasi yang tinggi pada
diri lansia untuk selalu menjaga kebugaran fisiknya agar
tetap sehat secara fisik. Motivasi tersebut diperlukan untuk
melakukan latihan fisik secara benar dan teratur untuk
meningkatkan kebugaran fisiknya.
e. Penurunan fungsi dan potensi seksual
Penurunan fungsi dan potensi seksual pada lanjut
usia sering kali berhubungan dengan berbagai gangguan
fisik. Seperti gangguan metabolisme (misal Diabetes
Mellitus) vaginitis, dan baru selesai operasi prostatektomi.
Pada wanita mungkin ada kaitannya dengan masa
menopause, yang berarti fungsi seksual mengalami
penurunan

karena

sudah

tidak

produktif

walaupun

sebenarnya tidak harus begitu, karena kebutuhan fisiologis


selama orang masih sehat dan masih memerlukan tidak
salahnya biasa menjalankan terus secara wajar dan teratur
tanpa mengganggu kesehatannya.
4. PERMASALAHAN PADA LANJUT USIA
Berbagai permasalahan yang berkaitan dengan pencapaian
kesejahteraan lanjut usia antara lain :
1) Permasalahan umum :
a. Makin besarnya jumlah lansia yang berada di bawah
garis kemiskinan.

b. Makin melemahnya nilai kekerabatan sehingga anggota


keluarga yang berusia lanjut kurang diperhatikan,
dihargai dan dihormati.
c. Lahirnya kelompok masyarakat industri.
d. Masih rendahnya kuantitas dan kualitas
profesional pelayanan lanjut usia.
e. Belum membudaya dan melembaganya

tenaga
kegiatan

pembinaan kesejahteraan lansia.


2) Permasalahan khusus :
a. Belangsungnya proses menua yang berakibat timbulnya
b.
c.
d.
e.

masalah baik fisik, mental ataupun sosial.


Berkurangnya integritas sosial lanjut usia.
Rendahnya produktivitas kerja lansia.
Banyaknya lansia yang miskin, terlantar dan catat.
Berubahnya nilai sosial masyarakat yang mengarah pada

tatanan masayarakat individualistik.


f. Adanya dampak negatif dari proses pembangunan yang
dapat mengganggu kesehatan fisik lansia.
5. PENYAKIT YANG SERING DIJUMPAI PADA LANSIA
a. Depresi mental.
b. Gangguan pendengaran.
c. Bronkitis kronis.
d. Osteoporosis
e. Sendi panggul.
f. Anemia.
g. Dimensia.
h. Hipertensi.
i. Asam urat.
j. Diabetes Mellitus.
k. Penyakit jantung koroner.
l. Asma.

B. KONSEP DASAR ASMA


1. Pengertian Asma
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang
melibatkan banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan
peningkatan hiperresponsivitas saluran napas yang menimbulkan gejala
episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat, batuk
terutama malam hari dan atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan
dengan obstruksi saluran napas yang luas, bervariasi dan seringkali
bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan (Boushey, 2005;
Bousquet, 2008)
Asma merupakan suatu keadaan dimana saluran nafas mengalami
penyempitan karena hiperaktivitas terhadap rangsangan tertentu yang
menyebabkan peradangan dengan manifestasi mengi kambuhan, sesak
nafas, dan batuk terutama pada malam hari dan pagi hari. Asma
merupakan penyakit yang umumnya mempengaruhi orang orang dari
semua usia, dan dapat mempengaruhi psikologis serta sosial yang
termasuk domain dari kualitas hidup. Penyakit ini pada umumnya
dimulai sejak masa anak-anak (Wong, 2009)
Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Asma
merupakan penyempitan jalan nafas karena hiperaktivitas terhadap

rangsangan tertentu yang menyebabkan peradangan dengan manifestasi


suara nafas mengi, sesak nafas, dan batuk terutama pada malam hari dan
pagi hari.
2. PROSES TERJADINYA MASALAH
Menurut Wijaya, dkk, (2013). ada beberapa hal yang merupakan faktor
predisposisi dan prespitasi timbulnya serangan asma.
1. Faktor predisposisi
Genetik
Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun
belum diketahui bagaimana cara penangananya yang jelas. Penderita
dengan pemyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat juga
menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita
sangat mudah terkena penyakit asma jika terpapar dengan faktor
pencetus. Selain itu hipersensitifitas saluran pernafasannya juga
diturunkan.
2. Faktor presipitasi
a. Alergen
Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
1) Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan.
Contohnya : debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur,
bakteri dan polusi.
2) Ingestan, yang masuk melalui mulut.
Contohnya : makanan dan obat-obatan.
3) Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit.
Contohnya : perhiasan, logam dan jam tangan.
b. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering
mempengaruhi asma. Atmosfir yang mendadak dingin merupakan
faktor pemicu terjadinya serangan asma. Kadang-kadang serangan
berhubungan dengan musim,seperti: musim hujan, musim

kemarau, musim bunga. Hal ini berhubungan dengan arah angin


serbuk bunga dan debu.
c. Stress
Stress/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan
asma, selain itu juga bisa memperberat serangan asma yang sudah
ada. Disamping gejala asma yang timbul harus segera diobati
penderita asma yang mengalami stress/gangguan emosi perlu
diberi nasehat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena
jika stressnya belum diatasi maka gejala asmanya belum bisa
diobati.
d. Lingkungan kerja
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya
serangan asma. Hal ini berkaitan dengan dimana dia bekerja.
Misalnya orang yang bekerja dilaboratorium hewan, industri
tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada
waktu libur atau cuti.
e. Olahraga/aktifitas jasmani yang berat
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan
jika melakukan aktifitas jasmani atau olahraga yang berat. Lari
cepat paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma
karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktifitas
tersebut.
3. Patofisiologi Asma
Asma akibat alergi tergantung kepada respon IgE yang
dikendalikan oleh limfosit T dan B serta diaktifkan oleh interaksi
antara antigen dan molekul IgE yang berkaitan dengan sel mast.

Sebagian besar alergen yang mencetuskan asma bersifat airborne dan


agar dapat menginduksi keadaan sensivitas, alergen tersebut harus
tersedia dalam jumlah banyak untuk periode waktu tertentu. Akan
tetapi, sekali sensivitasi telah terjadi, klien akan memperlihatkan
respons yang sangat baik, sehingga sejumlah kecil alergen yang
mengganggu sudah dapat menghasilkan eksaserbasi penyakit yang
jelas.
Obat yang paling sering berhubungan dengan induksi episode
akut Asma adalah aspirin, bahan pewarna seperti tartazin, antagonis
beta-adrenergik, dan bahan sulfat. Sindrom pernafasan sensitif-aspirin
khususnya terjadi pada orang dewasa, walaupun keadaan ini juga
dapat dilihat pada masa kanak-kanak. Masalah ini baisanya berawal
dari rhinitas vasomotor perennial yang diikuti oleh rhinosinusitas
hiperplastik dengan polip nasal. Baru kemudian muncul asma
progresif.
Klien yang sensitif terhadap aspirin dapat didesentisasi
denganpemberian obat setiap hari. Setalh menjalani bentuk terapi ini,
toleransi silang juga akan terbentuk terhadap agen anti-inflamsi nonsteroid lain. Mekanisme yang menyebabkan bronkospasme karena
penggunaan aspirin dan oabat lain tidak diketahui, tetapi mungkin
berkaitan dengan pembentukan leukotrien yang diinduksi secara
khusus oleh asspirin.

Antagonis -adrenergik biasanya menyebabkan obsruksi jalan


nafas pada klien asma, sama halnya dengan klien lain, dapat
menyebabkan peningkatan reaktivitas jalan napas dan al tersebut
harus dihindarkan. Obat sulfat, seperti kalium metabisulfit, kalium
dan natrium bisulfit, natrium sulfit dan sulfat klorida, yang secara luas
digunakan dalam industri makanan dan farmasi sebagai agen sanitasi
serta pengawet dapat menimbulkan obstruksi jalan napas akut pada
klien yaang sensitif. Pajanan biasanya terjadi setelah menelan
makanan atau cairan yang mengandung senyawa ini, seperti salad,
buah segar, kentang, kerang, dan anggur.
Pencetus-pencetus serangan diatas ditambah dengan pencetus
lainnya dari internal klien akan mengakibatkan timbulnya reaksi
antigen dan antibodi. Reaksi antigen-antibodi ini akan mengeluarkan
sustansi pereda alergi yang sebetulnya merupakan mekanisme tubuh
dalam menghaspi serangan. Zat yang dikeluarkan dapat berupa
histamin, bradikinin, dan nafilatoksin. Hasil dari reaksi tersebut adalah
timbulnya tiga gejala, yaitu berkontraksinya otot polos, peningkatan
permeabilitas kapiler, dan peningkatan sekret mukus. (Somantri,
2008)
4. Manifestasi Klinis Asma
Menurut Wijaya, dkk, (2013), manefestasi klinis Asma antara lain:
Tiga gejala umum Asma adalah batuk, dispnea, dan mengi. Pada
beberapa keadaan, batuk mungkin merupakan satu-satunya gejala.
Serangan Asma sering kali terjadi pada malam hari. Penyebabnya

tidak dimengerti dengan jelas, tetapi mungkin berhubungan dengan


variasi sirkadian, yang mempengaruhi ambang reseptor jalan napas.
Serangan Asma banyak bermuala mendadak dengan batuk dan rasa
sesak dalam dada, disertai dengan pernapasan lambat, mengi dan
laborius. Ekspirasi selalu lebih susah dan panjang dibanding inspirasi,
yang mendorong pasien untuk duduk tegak dan menggunakan setiap
otot-otot

aksesori

pernapasan.

Jalan

napas

yang

tersumbat

menyebabkan dispnea. Batuk pada awalnya susah dan kering tetapi


segera menjadi lebih kuat. Sputum, yang terdiri dari sedikit mukus
mengandung rasa gelatinosa bulat, kecil yang dibatukkan dengan
susah payah. Tanda selanjutnya teramsuk sianosis sekunder terhadap
hipoksia hebat, dan gejala-gejala retensi karbondioksida, termasuk
berkeringat, takikardi, dan pelebaran tekanan nadi.
Serangan Asma dapat berlangsung dari 30 menit sampai beberapa
jam dan dapat hilang secara spontan. Meski serangan Asma jarang
yang fatal, kadang terjadi reaksi kontinu yang lebih berat, yang
disebut status asmatikus. Kondisi ini merupan kondisi yang
mengancam hidup.
Kemungkinan reaksi alergi lainnya yang dapat menyertai Asma
termasuk ekzema, ruam dan edema temporer. Serangan asmatik dapat
terjadi secara periodik setelah pemajanan terhadap alergi spesifik,
obat-obat tertentu dan latihan fisik
5. Tanda dan Gejala
Gejala asma bersifat episodik, berupa batuk, sesak napas, mengi,
rasa berat di dada. Gejala biasanya timbul atau memburuk terutama

malam atau dini hari (PDPI, 2003). Setelah pasien asma terpajan
alergen penyebab maka akan timbul dispnea, pasien merasa seperti
tercekik dan harus berdiri atau duduk dan berusaha mengerahkan
tenaga lebih kuat untuk bernapas. Kesulitan utama terletak saat
ekspirasi, percabangan trakeobronkial melebar dan memanjang selama
inspirasi namun sulit untuk memaksa udara keluar dari bronkiolus
yang sempit karena mengalami edema dan terisi mukus. Akan timbul
mengi yang merupakan ciri khas asma saat pasien berusaha
memaksakan udara keluar. Biasanya juga diikuti batuk produktif
dengan sputum berwarna keputih-putihan (Price & Wilson, 2006).
Tanda selanjutnya dapat berupa sianosis sekunder terhadap hipoksia
hebat dan gejala-gejala retensi karbon dioksida (berkeringat, takikardi
dan pelebaran tekanan nadi). Pada pasien asma kadang terjadi reaksi
kontinu yang lebih berat dan mengancam nyawa, dikenal dengan
istilah status asmatikus. Status asmatikus adalah asma yang berat
dan persisten yang tidak berespon terhadap terapi konvensional, dan
serangan dapat berlangsung lebih dari 24 jam (Smeltzer & Bare,
2002). Asma dapat bersifat fluktuatif (hilang timbul) yang berarti
dapat tenang tanpa gejala tidak mengganggu aktivitas tetapi dapat
eksaserbasi dengan gejala ringan sampai berat bahkan dapat
menimbulkan

kematian

(Depkes,

2009).

Gejala

asma

dapat

diperburuk oleh keadaan lingkungan seperti perubahan temperatur,


terpapar bulu binatang, uap kimia, debu, serbuk, obat-obatan, olahraga

berat, infeksi saluran pernapasan, asap rokok dan stres (GINA, 2005).
Pada awal serangan sering gejala tidak jelas seperti rasa berat di dada,
pada asma alergik biasanya disertai pilek atau bersin. Meski pada
mulanya batuk tidak disertai sekret, namun dalam perkembangannya
pasien asma akan mengeluarkan sekret baik yang mukoid, putih dan
terkadang purulen. Terdapat sebagian kecil pasien asma yang hanya
mengalami gejala batuk tanpa disertai mengi, yang dikenal dengan
istilah cough variant asthma(Sundaru, 2009).
6. Test Diagnostik / Pemeriksaan Penunjang
Menurut Muttaqin, (2008) pemeriksaan penunjang Asma antara lain:
a. Pengukuran Fungsi Paru (Spirometri)
Pengukuran ini dilakukan sebelum dan sesudah pemberian
bronkodilator aerosol golongan adrenergik. Peningkatan volume
ekspirasi paksa (FEV) atau kapasitas vital paksa FVC sebanyak
lebih 20% menunjukkan diagnosis Asma.
b. Tes Provokasi Bronkhus
Tes ini dilakukan pada Spirometri internal. Penurunan FEV
sebesar 20% atau lebih setelah tes provokasi dan denyut jantung
80-90% dari maksimum dianggap bermakna bila menimbulkan
penurunan atau lebih.
c. Pemeriksaan Kulit
Untuk menunjukkan adanya antibodi igE hipersensitif yang
spesifik dalam tubuh.
d. Pemerikasaan Laboratorium
1) Analisis Gas Darah (AGD/Astrup)
Hanya dilakukan pada serangan asma berat karena terdapat
hipoksemia, hiperkapnea, dan asidosis respiratorik.
2) Sputum

Adanya badan kreola adalah karakteristik untuk serangan


asma yang berat, karena hanya reaksi yang hebat saja yang
menyebabkan transudasi dari edema mukosa, sehingga
terlepaslah sekelompok sel-sel epitel dari perlekatannya.
Pewarnaan gram penting untuk melihat adanya bakteri, cara
tersebut kemudaian di ikuti kultur dan uji resistensi terhadap
beberapa antibiotik.
3) Sel eosinofil
Sel eosinofil pada klien dengan status asmatikus dengan
mencapai 1000-1500/mm3 baik asma intrisnsik ataupun
ekstrinsik, sedangkan hitung sel eosinofil normal antara 100200/mm3. Perbaikan fungsi paru disertai penurunan hitung
jenis sel eosinofil menunjukkan pengobatan telah tepat.
4) Pemeriksaan darah rutin dan kimia
Jumlah sel leukosit yang lebih dari 15000/mm3 terjadi karena
adanya infeksi. SGOT dan SGPT meningkat disebabkan
kerusakan hati akibat hipoksia atau hiperkapnea.
e. Pemeriksaan Radiologi
Hasil pemeriksaan radiologi pada klien dengan Asma
Bronkhial biasanya normal, tetapi prosedur ini harus tetap
dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya proses
patologi

di

paru

atau

komplikasi

Asma

seperti

pneumothoraks, pneumomediastinum dan atelektasis, dan


lain-lain.
7. Komplikasi
Menurut Wijaya, dkk, (2013). komplikasi Asma antara lain:
a. Pneumothorak

b. Pneumomediastinum atau emfisema sub kutis


c. Atelektasis
d. Aspirasi
e. Kegagalan jantung/gangguan irama jantung
f. Sumbatan saluran napas yang meluas/gagal napas
g. Asidosis
8. Penatalaksanaan Medis Asma
Menurut Muttaqin, (2008) penatalaksanaan Asma antara
lain:
a. Pengobatan Nonfarmakologi
1) Penyuluhan. Penyuluhan

ini

ditujukan

untuk

peningkatan pengetahuan klien tentang penyakit


asma sehingga klien secara sadar menghindari
faktor-faktor pencetus, menggunakan obat secara
benar, dan berkonsultasi pada tim kesehatan.
2) Menghindari faktor pencetus. Klien perlu dibantu
mengidentifikasi pencetus serangan asma yang
ada

pada

lingkungannya,

diajarkan

cara

menghindari dan mengurangi faktor pencetus,


termasuk intake sairan yang cukup bagi klien.
3) Fisioterapi, dapat digunakan untuk mempermudah
pengeluaran mukus. Ini dapat dilakukan dengan
postural drainase, perkusi, dan fibrasi dada.
b. Pengobatan Farmakologi
1) Agonis beta: metaproterenol (alupent, metrapel).
Bentuknya

aerosol,

bekerja

sangat

cepat,

diberikan sebanyak 3-4 x semprot, dan jarak


antara semprotan pertama dan kedua adalah
sepuluh menit.

2) Metilxantin, dosis dewasa diberikan 125-200 mg 4


x sehari. Golongan metilxantin adalah aminofilin
dan teofilin. Obat ini diberikan bila golongan beta
agonis tidak memberikan hasil yang memuaskan.
3) Kortikosteroid. Jika agonis beta dan metilxantin
tidak

memberikan

respons

yang

baik,

harus

diberikan kostikosteroid. Steroid dalam bentuk


aerosol dengan dosis 4 x semprot tiap hari.
Pemberian
mempunyai

steroid

dalam

efek

samping,

jangka

yang

lama

maka

klien

yang

mendapat steroid jangka lama harus diawasi


dengan ketat.
4) Kromolin dan Iprutropioum bromide (atroven).
Kromolin

merupakan

obat

pencegah

asma

khususnya untuk anak-anak. Dosis Iprutropioum


Bromide diberikan 1-2 kapsul 4 x sehari.

3. Diagnosa Keperawatan menurut Herman, T. Heather. (2012)


1) Ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d mucus dalam jumlah
berlebihan, peningkatan produksi mukus,eksudat pada alveoli dan
bronkospasme.

2) Ketidakefektifan pola napas b.d penurunan energi/keletihan.


3) Gangguan pertukaran gas b.d retensi karbondioksida.
4) Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan
oksigen (hipoksia)
5) Kecemasan b.d kesulitan bernafas.

9. Intervensi Keperawatan , menurut Hadibroto & Alam (2006), yang diambil dari NANDA (2012).
Tabel 1.1. Intervensi Asma Dx. 1
No
1.

Diagnosa Keperawatan

Tujuan dan Kriteria Hasil

Bersihan jalan nafas tidak efektif Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
berhubungan dengan tachipnea , 3 x 24 jam, pasien mampu :
peningkatan produksi
mukus
, a. Respiratory status : Ventilation
kekentalan sekresi dan bronchospasme. b. Respiratory status : Airway patency
c. Aspiration Control
Dengan kriteria hasil :
a. Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara
nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan
dyspneu (mampu mengeluarkan sputum,
mampu bernafas dengan mudah)
b. Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien
tidak merasa tercekik, irama nafas, frekuensi
pernafasan dalam rentang normal, tidak ada
suara nafas abnormal)
c. Mampu mengidentifikasikan dan mencegah
factor yang dapat menghambat jalan nafas

Tabel 1.2. Intervensi Asma Dx. 2

Intervensi
NIC :
Airway Management
1. Buka jalan nafas, guanakan teknik chin
lift atau jaw thrust bila perlu
2. Posisikan pasien untuk memaksimalkan
ventilasi
3. Identifikasi pasien perlunya pemasangan
alat jalan nafas buatan
4. Pasang mayo bila perlu
5. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
6. Keluarkan sekret dengan batuk atau
suction
7. Auskultasi suara nafas, catat adanya
suara tambahan
8. Lakukan suction pada mayo
9. Berikan bronkodilator bila perlu
10. Berikan pelembab udara kassa basah
NaCl lembab
11. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
keseimbangan
12. Monitor respirasi dan status O2

No
2.

Diagnosa Keperawatan
Gangguan pertukaran gas berhubungan
dengan perubahan membran kapiler
alveolar

Tujuan dan Kriteria Hasil

Intervensi

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama NIC :


3 x 24 jam, pasien mampu :
Airway Management
a. Respiratory Status : Gas exchange
1. Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift
b. Respiratory Status : ventilation
atau jaw thrust bila perlu
2.
Posisikan pasien untuk memaksimalkan
c. Vital Sign Status
ventilasi
3.
Identifikasi pasien perlunya pemasangan
Dengan kriteria hasil :
alat jalan nafas buatan
a. Mendemonstrasikan peningkatan ventilasi
4. Pasang mayo bila perlu
dan oksigenasi yang adekuat
b. Memelihara kebersihan paru paru dan bebas 5. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
6. Keluarkan sekret dengan batuk atau
dari tanda tanda distress pernafasan
suction
c. Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara
7.
Auskultasi suara nafas, catat adanya suara
nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan
tambahan
dyspneu (mampu mengeluarkan sputum,
8.
Lakukan suction pada mayo
mampu bernafas dengan mudah)
9.
Berikan bronkodilator bila perlu
d. Tanda tanda vital dalam rentang normal
10.
Berikan pelembab udara
TD : 120/80 mmHG
11. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
R : 16-20 x/menit
keseimbangan
N : 60-100 x/menit
12.
Monitor respirasi dan status O2
S : 36-37

Tabel 1.3. Intervensi Asma Dx. 3

No
3.

Diagnosa Keperawatan
Pola Nafas tidak efektif berhubungan
dengan penyempitan bronkus,
kelelahan

Tujuan dan Kriteria Hasil

Intervensi

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama NIC :


3 x 24 jam, pasien mampu :
Airway Management
a. Respiratory Status : Gas exchange
1. Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift
b. Respiratory Status : ventilation
atau jaw thrust bila perlu
2.
Posisikan pasien untuk memaksimalkan
c. Vital Sign Status
ventilasi
3.
Identifikasi pasien perlunya pemasangan
Dengan kriteria hasil :
alat jalan nafas buatan
e. Mendemonstrasikan peningkatan ventilasi
4. Pasang mayo bila perlu
dan oksigenasi yang adekuat
f. Memelihara kebersihan paru paru dan bebas 5. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
6. Keluarkan sekret dengan batuk atau
dari tanda tanda distress pernafasan
suction
g. Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara
7.
Auskultasi suara nafas, catat adanya suara
nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan
tambahan
dyspneu (mampu mengeluarkan sputum,
8.
Lakukan suction pada mayo
mampu bernafas dengan mudah)
9.
Berikan bronkodilator bila perlu
h. Tanda tanda vital dalam rentang normal
Terapi Oksigen
TD : 120/80 mmHG
1. Bersihkan mulut, hidung dan secret trakea
R : 16-20 x/menit
2. Pertahankan jalan nafas yang paten
N : 60-100 x/menit
S : 36-37
3. Atur peralatan oksigenasi
4. Monitor aliran oksigen
5. Pertahankan posisi pasien
6. Observasi adanya tanda tanda hipoventilasi
Vital sign Monitoring
1. Monitor TD, nadi, suhu, dan RR
2. Catat adanya fluktuasi tekanan darah
3. Monitor VS saat pasien berbaring, duduk,
atau berdiri

4.Auskultasi TD pada kedua lengan dan


bandingkan
5. Monitor TD, nadi, RR, sebelum, selama,
dan setelah aktivitas
6. Monitor kualitas dari nadi
7. Monitor frekuensi dan irama pernapasan
8. Monitor suara paru
9. Monitor pola pernapasan abnormal
10.Monitor suhu, warna, dan kelembaban
kulit
11.Monitor sianosis perifer
12.Monitor adanya cushing triad (tekanan
nadi
yang
melebar,
bradikardi,
peningkatan sistolik)
13. Identifikasi penyebab dari perubahan vital
sign

Tabel 1.4. Intervensi Asma Dx. 4


No

Diagnosa Keperawatan

Tujuan dan Kriteria Hasil

Intervensi

4.

Defisiensi Pengetahuan b/d kurangnya


informasi

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama NIC :


3 x 24 jam, pasien mampu :
Teaching : disease Process
a. Kowlwdge : disease process
1. Berikan penilaian tentang tingkat
b. Kowledge : health Behavior
pengetahuan pasien tentang proses penyakit
Dengan Kriteria Hasil :
yang spesifik
- Pasien dan keluarga menyatakan pemahaman 2. Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan
tentang penyakit, kondisi, prognosis dan
bagaimana hal ini berhubungan dengan
program pengobatan
anatomi dan fisiologi, dengan cara yang
- Pasien dan keluarga mampu melaksanakan
tepat.
prosedur yang dijelaskan secara benar
3. Gambarkan tanda dan gejala yang biasa
- Pasien dan keluarga mampu menjelaskan
muncul pada penyakit, dengan cara yang
kembali apa yang dijelaskan perawat/tim
tepat
kesehatan lainnya.
4. Gambarkan proses penyakit, dengan cara
yang tepat
5. Identifikasi kemungkinan penyebab, dengan
cara yang tepat
6. Sediakan informasi pada pasien tentang
kondisi, dengan cara yang tepat

Tabel 1.5. Intervensi Asma Dx. 5


No

Diagnosa Keperawatan

Tujuan dan Kriteria Hasil

Intervensi

5.

Cemas berhubungan dengan perubahan


status kesehatan

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama NIC :


Anxiety Reduction (penurunan kecemasan)
3 x 24 jam, pasien mampu :

1.
Gunakan pendekatan yang menenangkan
a. Anxiety control
2. Nyatakan dengan jelas harapan terhadap
b. Coping
pelaku pasien
c. Impulse control
3. Jelaskan semua prosedur dan apa yang
Dengan Kriteria Hasil :
dirasakan selama prosedur
- Klien mampu mengidentifikasi dan
4.
Pahami
prespektif pasien terhadap situasi
mengungkapkan gejala cemas
stres
-Mengidentifikasi, mengungkapkan dan

5.
Temani pasien untuk memberikan
menunjukkan tehnik untuk mengontol cemas
keamanan dan mengurangi takut
-Vital sign dalam batas normal

6.
Berikan informasi faktual mengenai
-Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa tubuh dan
diagnosis,
tindakan prognosis
tingkat aktivitas menunjukkan berkurangnya
7. Dorong keluarga untuk menemani anak
kecemasan
8. Dengarkan dengan penuh perhatian
9. Identifikasi tingkat kecemasan
10.Bantu pasien mengenal situasi yang
menimbulkan kecemasan
11. Dorong pasien untuk mengungkapkan
perasaan, ketakutan, persepsi
12. Instruksikan pasien menggunakan teknik
relaksasi
13. Barikan obat untuk mengurangi
kecemasan

DAFTAR PUSTAKA
Azwar, A.2006. Pedoman Pembinaan Kesehatan Usia Lanjut Bagi Petugas
Kesehatan. Depkes: Jawa Timur
Efendi, Ferry & Makhfud. (2009). Keperawatan Kesehatan Komunitas Teori dan
Praktik dalam Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.
Maryam, R. Siti, dkk. (2008). Mengenal usia lanjut dan perawatannya.
Jakarta:Salemba Medika.
Nugroho, W. 2008.Gerontik dan Geriatik. EGC: Jakarta
Wong, D.L., Hockenberry, M., Wilson, D., Winkelstein, M.L., & Schwartz, P.
(2009). Buku Ajar Keperawatan Pediatric. Jakarta: EGC
Soemantri, Irman.2008. Asuhan keperawatan Pada Klien Gangguan Sistem
Pernafasan Edisi 2.Jakarta : Salemba Medika.
Muttaqin, Arif. (2008). Asuhan Keperawatan Pada Dengan Gangguan Sistem
Pernapasan
Boysquet, J. et., 2008. Allergic Rhinits and its Impact on Asthma (ARIA) 2008
Update (in collaboration wit the WHO). In : Journal allergy : 63. (Suppl
86) : 8-160.
Internasional, NANDA, Herman, T. Heather. 2012. Diagnosis Keperawatan dan
Klasifikasi 2012-2014. Jakarta : EGC.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2003. Pedoman Diagnosis dan


Penatalaksanaan Asma Bronkial di Indonesia. Jakarta: Indonesia.
Sundaru, Heru. 2009. Perkembangan Terkini dalam Penatalaksanaan Asma
Bronkial. Division of Allergy & Clinical Immunology Faculty of
Medicine, University of Indonesia.
Wijaya, Andra Saferi, Yessie Mariza Putri. (2013). Keperwatan Medikal Bedah.
Nuda Medika. Yokyakarta
Price, S. A. dan Wilson, L. M. (2006). Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit, Edisi 6, Volume 1.Jakarta: EGC.
Smeltzer C. Suzanne, Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan
Medikal Bedah. EGC : Jakarta
Depkes RI. 2009. Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta.
Global Initiative for Asthma(GINA). (2005). Global Strategy for Asthma
Management and Prevention, Diakses pada tanggal 29 juni 2016 dari
http://www.ginasthma.com/GuidelineItem.asp?intId=1170

Anda mungkin juga menyukai