Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Umat Hindu melaksanakan ajaran Agama-nya antara lain melalui empat jalan/
cara (marga), yaitu: Bhakti marga, Karma marga, Jnana marga, dan Raja marga. Bhakti
pemujaan dilaksanakan dengan banyak menggunakan alat-alat bantu seperti banten,
simbol-simbol dan jenis upakara lainnya. Umat Hindu Bali pada khususnya identic
dengan mebanten untuk mengimplementasikan rasa syukur terhadap Sang Hyang Widhi,
Tuhan Yang Maha Esa.
Banten adalah alat bantu dalam pemujaan, sehingga timbul pengertian bahwa bali
atau banten adalah niyasa atau simbol keagamaan.Sayangnya, umat Hindu di Indonesia
bukan hanya warga bali saja. Menurut Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI)
memberi suatu perkiraan bahwa ada 18 juta orang penganut Hindu di Indonesia. Sekitar
93 % penganut Hindu berada di Bali. Selain Bali juga terdapat di Sumatera, Jawa,
Lombok, dan pulau Kalimantan yang juga memiliki populasi Hindu cukup besar, yaitu di
Kalimantan Tengah, sekitar 15,8 % (sebagian besarnya adalah Hindu Kaharingan, agama
lokal Kalimantan yang digabungkan ke dalam agama Hindu). Sehingga tidak berasal dari
Bali saja, sayang nya dewasa ini sering terjadi di lapangan fenomena Balinisasi dimana
maksud dari Balinisasi yaitu proses membalikan kegiatan upakara (termasuk benten
maupun cara sembahnyang). Tentu ini sangat miris sekali, karena seperti yang kita tahu
Hindu sangat menjunjung tinggi Desa Kala Patra yaitu kelenturan interpretasi masyarakat
pada suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu yang disesuaikan dengan situasi/keadaan
tertentu. Sehingga kegiatan membali kan Hindu yang berada pada luar Bali sangat tidak
sesuai dengan ajaran Hindu.
Berkenaan dengan hal tersebut, kami penulis sebagai mahasiswa Hindu
Universitas Brawijayamerasa peduli akan masalah yang berkenaan dengan ini dan ingin
mendiskusikan lebih lanjut mengenai masalah ini. Harapan kami, tulisan ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca, menambah wawasan pembaca mengenai agama Hindu
sehingga dapat mengubah presepsi bahwa orang Hindu pasti orang Bali dan
menggeneralisasikan cara bersyukur kepada Sang Hyang Widhi Wasa dengan cara Bali.
1

1.2 Rumusan Masalah


Dari latar belakang diatas maka dapat di ambil rumusan masalanya yaitu :
1. Bagaimana arti banten bagi umat Hindu?
2. Apa perbedaan antara Hindu Bali dengan Hindu Jawa?
3. Apa penyebab perbedaan antara umat Hindu Bali dengan Hindu Jawa?

1.3 Tujuan
Dari rumusan masalah diatas makan dapat diambil tujuan yaitu :
1. Untuk mengertahui mengenai arti banten bagi umat hindu
2. Untuk mengetahui arti perbedaan antara hindu bali dengan hindu jawa
3. Untuk mengetahui penyebab perbedaan antara umat hindu bali dengan umat hindu
jawa

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kesakralan Banten
Umumnya di Bali keempat marga dilaksanakan sekaligus dalam bentuk upacara
Agama dengan menggunakan sarana banten yang terdiri dari bahan pokok: daun, bunga,
buah, air ,dan api. Sarana-sarana itu mempunyai fungsi sebagai:
1.

Persembahan atau tanda terima kasih kepada Hyang Widhi.

2.

Sebagai alat konsentrasi memuja Hyang Widhi.

3.

Sebagai simbol Hyang Widhi atau manifestasi-Nya.

4.

Sebagai alat pensucian.


Karena demikian sakralnya makna banten dalam Yadnya prakerti, disebutkan

bahwa mereka yang membuat banten hendaknya dapat berkonsentrasi kepada siapa
banten itu akan dihaturkan/ dipersembahkan.
Dalam Buku Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu sebagai hasil
Paruman Sulinggih yang disahkan PHDI disebutkan bahwa seorang Tukang Banten
hendaknya sudah mensucikan diri dengan upacara Pawintenan (sekurang-kurangnya
ayaban Bebangkit).Tujuannya adalah agar Tukang Banten sudah mengetahui tata cara dan
aturan-aturan dalam membuat banten misalnya dengan konsentrasi penuh melaksanakan
amanat pemesan banten yang akan mempersembahkannya kepada Hyang Widhi.

Untuk menegaskan penting dan sakralnya banten, Mpu Jiwaya salah seorang
tokoh pemimpin Agama di abad ke-10 mengajarkan membuat reringgitan dengan bahan
daun kelapa, enau atau lontar. Reringgitan itu kadang demikian sulit sehingga konsentrasi
kita harus penuh. Jika tidak, bisa reringgitannya rusak atau tangannya yang teriris pisau.
Makna membuat banten seperti yang dikemukakan di atas tiada lain agar kita
dapat mewujudkan rasa bhakti dan kasih sayang kepada Hyang Widhi..Dia mengatakan
bukti kita bersaudara sangat kuat, karena upakara yang dikatakan di Bali sebagai
Banten, di Banten disebut sebagai Bali. Dalam Bhuwana Tattwa Maha Rsi
Markandeya, disebutkan bahwa Maha Rsi bersama pengikutnya membuka daerah baru
pada Tahun Saka 858 di Puakan (Taro Tegal Lalang, Gianyar, sekarang) .
Kemudian mengajarkan cara membuat berbagai bentuk upakara sebagai sarana
upacara, mula-mula terbatas kepada para pengikutnya saja, lama kelamaan berkembang
ke penduduk lain di sekitar Desa Taro.Jenis upakara yang menggunakan bahan baku daun,
bunga, buah, air, dan api disebut Bali, sehingga penduduk yang melaksanakan
pemujaan dengan menggunakan sarana upakara itu disebut sebagai orang-orang Bali. Jadi
yang dinamakan orang Bali mula-mula adalah penduduk Taro.
Lama kelamaan ajaran Maha Rsi Markandeya ini berkembang ke seluruh pulau,
sehingga pulau ini dinamakan Pulau Bali, dalam pengertian pulau yang dihuni oleh orangorang Bali, lebih tegas lagi pulau di mana penduduknya melaksanakan pemujaan dengan
menggunakan sarana upakara (Bali).Tradisi beragama dengan menggunakan banten
kemudian dikembangkan oleh Maha Rsi lain seperti: Mpu Sangkulputih, Mpu Kuturan,
Mpu Manik Angkeran, Mpu Jiwaya, dan Mpu Nirartha.
Sejak kapan sarana upakara itu berubah nama dari Bali menjadi Banten dan
mengapa demikian, sulit mencari sumber sastranya. Beberapa Sulinggih ada yang
menyatakan bahwa banten asal kata dari wanten mengalami perubahan dari kata wantu
atau bantu. Jadi banten adalah alat bantu dalam pemujaan, sehingga timbul pengertian
bahwa bali atau banten adalah niyasa atau simbol keagamaan.Jika dikaitkan dengan
ajaran Maha Rsi Markandeya dan Mpu Jiwaya seperti diuraikan di atas, agaknya hal yang
paling patut dipikirkan adalah segi sakralnya suatu banten.
4

2.2 Arti Banten Bagi Umat Hindu


Umat Hindu melaksanakan ajaran Agama-nya antara lain melalui empat jalan/
cara (marga), yaitu: Bhakti marga, Karma marga, Jnana marga, dan Raja marga.Bhakti
marga dan Karma marga dilaksanakan sebagai tahap pertama yang lazim disebut sebagai
Apara bhakti, sedangkan tahap berikutnya sesuai dengan kemampuan nalar diri masingmasing dilaksanakan Jnana marga dan Raja marga yang disebut sebagai Para bhakti.
Banten

adalah bahasa untuk menjelaskan ajaran agama Hindu dalam bentuk

simbol. Misalnya banten menurut Lontar Yadnya Prakerti adalah simbol ekspresi diri
manusia.Misalnya banten peras dinyatakan lambang permohonan hidup untuk sukses
dengan menguatkan tri guna (Peras Ngarania Prasidha Tri Guna Sakti).
Banten bukanlah suguhan untuk makanan Tuhan. Banten Adalah bahasa agama
dalam bentuk simbol yang mona. Mona artinya diam. Banten itu memang diam sama
dengan Aksara. Tetapi kalau kita coba ungkap dengan sabar, maka banten itu akan banyak
menuturkan kita berbagai ajaran agama Hindu yang sesuai dengan konsep Weda dan
kitab-kitab Sastranya. Lewat banten nilai Hindu dapat ditanamkan ke dalam lubuk hati
secara motorik.
2.3 Balinisasi di Tanah Jawa
Sesuai dengan konsep Desa-Kala-Patra maka umat Hindu di Bali diharapkan
menyelenggarkan upacara yadnya sesuai dengan kemampuan finansial yang nyata dan
waktu yang luang serta tempat dia tinggal. Itu jika ditinjau dari kebudayaan dan bentuk
media agama Hindu di Bali. Berbeda dengan budaya dan bentuk media agama Hindu di
luar Bali khususnya di Jawa. Terdapat berbagai perbedaan yang mencolok.
Perbedaan itu antara lain :
1. Sarana upacara di bali lebih (banten) khas dan terkesan megah sedangkan
sarana upacara di jawa lebih sederhana.
2. Nada mantra yang diucapkan umat hindu di bali lebih khas sedangkan
nada mantra umat hindu di jawa didominasi oleh nada mantra umat hindu
5

3. Pengetahuan umat hindu di bali lebih ditanamkan sedangkan pengetahuan


umat hindu di jawa kurang mendalam atau kurang diperhatikan.
4. Umat hindu di bali tradisinya murni dari tradisi bali sedangkan umat hindu
di jawa tradisinya dikombinasikan dengan tradisi bali dan kadang umat
setempat tidak terlalu memahami makna tradisi tersebut.
5. Perbedaan rangkaiAN hari raya
6. Perbedaan dari lirik dan nada kidung
Namun sayangnya, muncul permasalahan yaitu perlu adanya semacam standar
budaya dan media agama seperti banten untuk upacara dan kegiatan keagamaan Hindu.
Yang ternyata standar tersebut bersumber dari banten dan media agama Hindu Bali. Di
sinilah letak permasalahan dan relevansinya.
Kasus yang muncul pertama kali adalah pada saat pelaksanaaanupacara di pura
Mandara Giri Semeru Agung, Senduro, Lumajang. Pura tersebut dibangun di Jawa untuk
membangkitkan umat Hindu Jawa dengan berbagai macam tradisinya. Tetapi sayangnya
masih ada banten dan tradisi yang terasa HInduBalinya. Karena pura tersebut berada di
Jawa tetapi upacaranya tradisi Bali; ada tradisi nganyarin dan sebagainya, yang bagi umat
Hindu setempat tidak mengerti makna dan cara pembuatannya. Ada yang berpendapat,
proses pengembangan Hindu di Nusantara akan mengalami kemunduran bila Hindu Bali
dijadikan pusatnya atau Bali Sentris. Ada yang menyanggah, bila tidak mengacu pada
Hindu Bali, akan menghadapi kesulitan, karena seperti kita ketahui, ajaran Hindu di tanah
Jawa telah lama hilang bak ditelan bumi.
Pandangan yang menolak Bali sentris, merupakan pandangan yang masuk akal
dan memang berdasar pada petunjuk kitab suci. Dalam merealisasikan ajaran agama
hendaknya berpedoman pada ajaran Dharmasidhiartha, seperti disebutkan didalam
Manawa Dharmasastra VII.10, yang berbunyi:
karyam sovekso saktimca, desa-kala-ca tatvatah,
kurute dharmassddhiyartham, viswarupam punah-punah.
6

Artinya:
Menyukseskan tujuan dharma hendaknya dijalankan dengan lima pertimbangan: iksa
(tujuan), sakti (kemampuan), desa (aturan setempat) dan kala (waktu) dan tidak boleh
bertentangan dengan tattwa (kebenaran).
Sloka diatas menegaskan bahwa didalam mempraktekan aturan dan ajaran
Dharma hendaknya dilaksanakan berdasarkan: Iksa (tujuan), Sakti (kemampuan), Desa
(wilayah), Kala (waktu, perkembangan jaman), Tattva (sastra dan keadaan), untuk
menyukseskan tujuan dharma dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini merupakan sebuah
jawaban mengapa Hindu nusantara berbeda dengan hindu India. Hindu Bali berbeda
dengan hindu Jawa, hindu Kalimantan berbeda dengan hindu Lombok. Dan mengapa pula
ajaran Hindu dalam prakteknya selalu meyesuaikan dengan perkembangan jaman dan
sesuai wilayah dimana penganutnya berada.
Bila kita sudah membahas keberadaan Hindu di luar Bali memang sering membuat
hati miris. Di satu sisi, masyarakat Bali berharap agar masyarakat Jawa bisa
mengembangkan desa - kala - tattwa nya, namun di sisi lain masyarakat setempat
kemungkinan kurang percaya diri terhadap kearifan lokal atau local genius dan sulit
dikembangkan. Dalam keadaan seperti itu, mau tak mau, suka tidak suka, Hindu Jawa
mengadopsi Hindu Bali. Bagi sebagian orang Jawa mungkin hal ini disebut Balinisasi.
Apabila kita mau berpikir jernih, sebenarnya tidak terjadi Balinisasi, yang ada adalah
mengembalikan budaya Hindu Jawa yang telah hilang sejak runtuhnya Majapahit. Hindu
Jawa tempo dulu dibawa orang-orang Jawa ke Bali, sebelum dan sesudah runtuhnya
Majapahit, sehingga terjadilah proses Jawanisasi di Bali. Jika demikian adanya, tidak
perlulah umat Hindu Bali untuk memaksakan model ala Hindu Bali harus diterapkan di
Jawa, tetapi lebih karena belum siapnya warga setempat dengan cara-cara setempat. Hal
seperti ini memang perlu dibicarakan pada tingkat Parisada, dalam hal ini Parisada Hindu
Dharma Indonesia, yaitu lembaga keagamaan yang menurut kitab suci sebagai penegak
dharma.

BAB III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Umat Hindu melaksanakan ajaran Agama-nya antara lain melalui empat jalan/
cara (marga), yaitu: Bhakti marga, Karma marga, Jnana marga, dan Raja marga. Bhakti
marga dan Karma marga dilaksanakan sebagai tahap pertama yang lazim disebut sebagai
Apara bhakti. Jenis upakara yang menggunakan bahan baku daun, bunga, buah, air, dan
api disebut Bali, sehingga penduduk yang melaksanakan pemujaan dengan
menggunakan sarana upakara itu disebut sebagai orang-orang Bali. Berbeda dengan
budaya dan bentuk media agama Hindu di luar Bali khususnya di Jawa. Terdapat berbagai
perbedaan yang mencolok.Kasus yang muncul pertama kali adalah pada saat
pelaksanaaanupac di pura Mandara Giri Semeru Agung, Senduro, Lumajang. Pura
tersebut dibangun di Jawa untuk membangkitkan umat Hindu Jawa dengan berbagai
macam tradisinya. Tetapi sayangnya masih ada banten dan tradisi yang terasa
HinduBalinya. Karena pura tersebut berada di Jawa tetapi upacaranya tradisi Bali; ada
tradisi nganyarin dan sebagainya, yang bagi umat Hindu setempat tidak mengerti makna
dan cara pembuatannya. Hindu Jawa dan Hindu di Bali adalah sebuah keanekaragaman
cara umat sedharma menyembah Hyang Widhi beserta manivestasinya dengan
mengkolaborasikan budaya di daerah Bali itu sendiri ataupun di daerah Jawa. Hindu itu
8

satu: jalan hidup, agama, filosofi, dan tatanan sosial yang berlandaskan Weda, namun ia
begitu fleksibel seperti air sehingga merasuk ke setiap budaya di mana ia mengalir. Di
karenakan kebudayaan yang berbeda itulah menyebabkan adanya perbedaan Hindu Jawa
dan Hindu Bali.
3.2 Saran
Kita sebagai umat sedharma tidak perlu menjadikan perbedaan itu sebagai
penghalang di antara umat hindu tetapi jadikanlah perbedaan itu sebagai simbol bahwa
hindu itu universal dan fleksibel sehingga dimanapun hindu itu berada hindu tetap
menjadi hindu yang damai, hindu yang indah, hindu yang penuh warna, hindu yang penuh
kebahagiaan.
DAFTAR PUSTAKA
Dwija, Bhagawan.2012.Makna Banten bagi Umat Hindu di Bali dan Masalahnya. Diambil
dari http://stitidharma.org/. Diakses pada tanggal 5 Januari 2014
Koentjaraningrat.1987.Sejarah Teori Antropologi 1.Jakarta.UI Press
Miswanto.2011.Simbolisme Dalam Budaya Jawa Hindu.www.Parisada.org.Diakses pada
tanggal 4 Januari 2014
Oka, Ida Nyoman. 1997. Pengantar Agama Hindu. Bogor: Yayasan Dharma Santi
Pringle,

Robert.

2004.A

Short

History

of

Bali

Indonesias

Hindu

Realm.Sydney:Allen&Unwin
Puja, G.1999. Pengantar Agama Hindu Jilid I. Jakarta: Mayasari
Putra, Mas Ny I Gst Ag.2002. Upakara Yadnya. Denpasar: Pemkab. Prov. Bali
Setia, Putu eds.2000. Cendekiawan Hindu Berbicara. Jakarta: Yayasan Dharma Naradha
Suarnaya, Putu 1997. Materi Penunjang Pendidikan Agama Hindu Kelas I. Singaaja: MGMP
Agama Hindu
9

Sukadana,Nyoman.2009.Mengenal Umat Hindu di Tanah Jawa.www.Hindu-Indonesia.com.


Diakses pada tanggal 4 Januari 2014

10

Anda mungkin juga menyukai