Anda di halaman 1dari 32

BAB II ISI

6 TUNTUTAN REFORMASI
1. PENEGAKAN SUPREMASI HUKUM
Salah satu agenda yang diusung oleh gerakan reformasi yang dimotori oleh
mahasiswa adalah tuntutan adanya penegakan supremasi hukum. Pada masa orde baru
hukum hanya menjadi instrumen bagi penguasa untuk melanggengkan dan melegitimasi
kekuasaan serta melindungi birokrasi dan eksekutif yang sangat korup. Ketika itu
lembaga-lembaga penegak hukum telah dikebiri dan sepenuhnya dibawah kontrol
kekuasaan eksekutif sehingga mereka tidak memiliki kemerdekaan dan independensi,
serta tak lepas dari intervensi elit penguasa. Secara umum belum terlihat adanya
perubahan yang cukup signifikan ke arah penegakan supremasi hukum.
Pelaku KKN masih banyak yang tidak dapat dijerat hukum sehingga menimbulkan
rasa ketidak adilan. Fungsi prevensi umum (deterence) dan prevensi khusus melalui
penerapan kebijakan penal (sanksi pidana) menjadi nihil, bahkan perilaku KKN
ditengara makin meningkat. Jika di masa Orde Baru perilaku KKN hanya merupakan
bentuk perselingkuhan antara Eksekutif dan Judikatif, kini tengah berkembang menjadi
bentuk cinta segi tiga antara Eksekutif, Judikatif dan Legislatif.
Kondisi itu sangat mungkin karena reformasi hukum yang telah dilakukan selama ini
agaknya masih terbatas pada reformasi di bidang substansi hukum yaitu dengan hanya
memperbaharui berbagai UU baru. Pada hal pembentukan UU baru tidak serta merta
akan menciptakan penegakan hukum yang baik. Undang-undang yang baik belum tentu
menjelma dalam bentuk penegakan hukum yang baik tanpa ada penegak/pelaksana
hukum yang baik. Menurut Blumberg (1970 : 5) , the rule of law is not executing. It is
tralated in to reality by man in institution. Dan pembuatan peraturan perundangan tidak
otomatis menciptakan kepastian hukum kecuali hanya kepastian undang-undang.
Harus diingat bahwa bekerjanya sistem hukum (penegakan hukum) tidak dapat lepas
dari tiga komponen yaitu komponen substansi, komponen struktur, dan komponen kultur
(Friedman, 1968 : 1003-1004). Dua komponen terakhir ini yang tampaknya masih belum
banyak direformasi sehingga penegakan supremasi hukum masih mengecewakan.
Secara teoritis, supremasi hukum menuntut adanya unsur-unsur yang mencakup :
a.

pendekatan sistemik, menjauhi hal-hal yang bersifat ad hoc (fragmentaris);

b. mengutamakan kebenaran dan keadilan;


c.

senantiasa melakukan promosi dan perlindungan HAM;

d. menjaga keseimbangan moralitas institusional, moralitas sosial dan moralitas sipil;

e.

hukum tidak mengabdi pada kekuasaan politik;

f.

kepemimpinan nasional di semua lini yang mempunyai komitmen kuat terhadap


supremasi hukum;

g. kesadaran hukum yang terpadu antara kesadaran hukum penguasa yang bersifat top
down dan perasaan hukum masyarakat yang bersifat bottom up;
h.

proses pembuatan peraturan perundang-undangan (law making process), proses


penegakan hukum (law enforcement) dan proses pembudayaan hukum (legal
awareness process) yang aspiratif baik dalam kaitannya dengan aspirasi
suprastruktur, infrastruktur, kepakaran dan aspirasi internasional;

i.

penegakan hukum yang bermuara pada penyelesaian konflik, perpaduan antara


tindakan represif dan tindakan preventif; dan

j.

perpaduan antara proses litigasi dan non litigasi.

2. PEMBERANTASAN KKN
Sudah menjadi tontonan rutin di media elektronik dan menjadi bacaan wajib di media
cetak oleh seluruh anak bangsa yang terjangkau media. Bahwa para pejabat dan mantan
pejabat kita tersandung masalah korupsi dan atau penyalahgunaan kekuasaan dan
keuangan negara. Tetapi anehnya mereka-mereka yang notabenenya para petinggi negara
yang terhormat, panutan rakyat, harapan dan tumpuan rakyat di negeri ini sedikitpun
tidak merasa malu bahkan kadang-kadang malah sebaliknya. Tidak kalah hebatnya DPR
yang merupakan lembaga tertinggi negara justru menjadi sarang tikus-tikus rakus yang
menggerogoti uang negara dengan berbagai alasan yang dibuat-buat dan dicari
pembenarannya. Rakyat yang merasa dirinya dizholimi akhirnya ikut-ikutan dengan
caranya masing-masing sesuai dengan strata dan jabatannya. Itulah realitas kehidupan di
negeri ini, negeri yang subur makmur gemah ripah loh jinawi, namun masih tergolong
negara miskin, negara dengan setumpuk hutang, tetapi pejabatnya kaya raya, boros, hurahura. Negara yang mulai pejabat sampai rakyatnya sudah terbelit pada sebuah sistem
yang korup.
Penyalahgunaan kekuasaan, penyuapan, pungli, korupsi, manipulasi, kolusi,
nepotisme dan sejenisnya yang biasa disebut KKN sudah bukan hal langkah yang dapat
kita jumpai di mana-mana dan kapan saja. Berikut ini beberapa contoh kejadian-kejadian
yang sudah lazim terjadi di masyarakat bahkan sampai di birokrasi pemerintah :

Seorang petani sawah jika ingin mendapat gilir air sawahnya lancar dia harus mau
memberi tips kepada Jogoboyo//cuwowo (pamong desa/orang yang ditunjuk untuk
mengatur perairan sawah).

Seorang pedagang asongan penjual kipas dan minuman ringan di kereta


eksekutifdengan dua atau tiga pak rokok Dji Sam Soe untuk petugas teknisi kereta
agar bersedia mematikan sementara waktu AC gerbong agar dagangannya laku keras.

Seorang distributor pupuk bersubsidi menimbun pupuk di gudang ratusan ton untuk
memperkaya diri, sementara para petani harus merugi jutaan rupiah karena tidak
mendapatkan pupuk untuk sawahnya.

Seorang kepala sekolah negeri melakukan berbagai macam pungutan kepada


siswanya dengan dalih peningkatan kualitas, padahal sudah memperoleh aneka jenis
bantuan pemerintah (BOS, BOM, BKSM, dan lain sebagainya), bahkan sampai
mencekik leher para orang tua murid yang jika diteliti secara seksama ujung-ujungnya
adalah untuk memperkaya diri sendiri dan sangat bertentangan dengan niatan baik
pemerintah yang ingin membebaskan sekurang-kurangnya meringankan biaya
pendidikan bagi masyarakat (tidak salah kalau masyarakat berkata :lebih enak ketika
jamannya Pak Harto, buku sekolah tidak beli/paket, sekolah negeri tidak bayar,
padahal dahulu tidak ada BOS, BKSM, BOM, dll).

Di mana-mana gedung sekolah roboh karena kualitas bangunan tidak sesuai dengan
standart yang ada karena dari hulu sampai hilir telah terjadi penyunatan-penyunatan.

Para caleg/cabub/cagub dan calon-calon lain rela mengeluarkan ratusan juta rupiah
untuk menyuap calon pemilihnya, bahkan ada yang dengan menggunakan uang palsu.

Anggota dewan mau mengesahkan Anggaran, peraturan dan sebagainya kalau ada
uang gedognya.

Dan lain sebagainya yang tidak cukup ditulis pada tulisan ini, sejuta cara penghuni
negeri ini melakukan KKN dan sudah pasti kita dapat menjumpai di setiap tempat di
negeri ini di kantor, di pasar, di jalan raya, di sawah, bahkan di hutan dan di tengah
laut sekalipun.
Sebagai bagian dari masyarakat negeri ini yang amat sangat mungkin juga termasuk

salah satu pelaku didalamnya, merasa prihatin dan terpanggil untuk memberikan
sumbangan saran dan pemikiran kepada pemerintah dan siapa saja yang berkenan untuk
bersama-sama meminimalisir terjadinya KKN di negeri ini, agar negeri kita tercinta ini
menjadi negeri yang baldatun toyyibatun warobbun ghofuurun seperti yang dicita-citakan
para pendiri republik ini.
Gambaran diatas memang paradoks dengan kondisi penduduk negeri ini yang terkenal
agamis bahkan merupakan Negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, semua pejabat,
calon pejabat, rakyat menggembar-gemborkan pemberantasan KKN yang katanya

warisan dari orde baru namun kenyataan mungkin sekarang lebih parah dari yang terjadi
pada masa orde baru ( contoh kecil , di masa orde baru tidak ada sekolah negeri yang
membayar bahkan buku pelajaran pun dipinjami/tidak beli ). Sebuah pekerjaan besar yang
harus kita selesaikan bersama dengan pemerintah terutama presidennya yang punya
kemauan keras untuk memberantas KKN di negeri ini.
Ada beberapa hal menurut penulis yang menjadi penyebab kenapa pemberantasan
KKN sulit untuk dilaksanakan, diantaranya :
a. Hukum dan para penegak hukumnya di negeri ini masih dapat dibeli.
b. Hukum Negara dimana saja pasti memiliki kelemahan dan kekurangan (contoh orang
mencuri, baru dikatakan pencuri kalau ketahuan dan ada saksinya, seseorang akan
aman dari tuduhan korupsi kalau dapat menunjukkan bukti-bukti pembelanjaan
walaupun itu direkayasa).
c. Banyaknya pelaku pelanggaran yang jika semua harus ditindak pasti penjara tidak
akan muat dan bisa dikatakan pasti kantor-kantor pemerintah akan sepi ditinggal
penghuni masuk bui, sekolah-sekolah akan tanpa kendali karena kepala sekolah masih
diadili, sehingga dengan dalih penanganan diprioritaskan pada kasus yang besar
dahulu padahal itu tidak lain karena penanganan KKN yang masih setengah hati.
d. segi finansial maupun terjadinya perubahan kearah positif.
e. Perlakuan hukuman yang tidak setimpal dengan pelanggaran yang dilakukan sehingga
tidak dapat menimbulkan efek jera, baik bagi si pelaku atau orang yang akan
melakukan.
f. Semakin lemahnya hukum adat yang berlaku di masyarakat, kalau dahulu orang tidak
banyak yang memahami hukum tetapi hukum adat dan norma yang berlaku di
masyarakat itu sendiri dapat dijadikan pijakan hukum mereka bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara (contoh ada cerita yang berkembang di masyarakat pelaku
rentenir yang ketika meninggal dunia makamnya tidak muat dan lain sebagainya
padahal itu tidak kejadian sebenarnya melainkan betapa jeleknya di mata masyarakat
seseorang yang melanggar hukum).
g. Pejabat pemerintah baik eksekutif maupun legislatif tidak memberikan contoh yang
baik terhadap pelaksanaan hukum, mereka sendiri yang membuat mereka pula yang
melanggarnya.
h. Hilangnya rasa kasih sayang, rasa senasib seperjuangan, sebangsa dan setanah air
yang dikarenakan rendahnya rasa nasionalisme. Kalau dahulu orang berpikir apa yang
dapat kusumbangkan buat negeri ini, sekarang orang banyak yang berpikir apa yang

aku dapatkan dari negeri ini, bahkan yang lebih parah lagi orang-orang sekarang
merasa paling berjasa paling memikirkan negeri ini padahal mereka tidak segansegannya merusak negeri yang direbut dari tangan penjajah dengan cucuran keringat,
air mata dan darah dengan mengorbankan harta benda dan nyawa.
i.

Rakus, gila dunia dan lupa akhirat, sehingga menghalalkan segala cara hal ini
disebabkan rendahnya kadar keimanan seseorang. Tidak sedikit dari mereka
mempunyai semboyan Wal Kedual , mbuh Watu mbuh Ungkal, mbuh Keloso mbuh
Bantal, mbuh Sepatu mbuh Sandal, mbuh Celono mbuh Suwal, mbuh Ulo mbuh
Kadal, mbuh Beton mbuh Aspal, mbuh Perahu mbuh Kapal, mbuh Nuklir mbuh
Rudal, mbuh Haram mbuh halal, pokok kontal yo diuntal. Jika kita mau jujur rakus
dan gila dunia inilah yang merupakan sumber terjadinya segala macam penyimpangan
dan pelanggaran yang pada akhirnya menjadi sumber malapetaka di muka bumi ini.

j.

Hukum halal dan haram semakin dibikin rancau dan tidak jelas. Sudah jelas-jelas
menyuap dibilangnya hadiah; sudah jelas-jelas korupsi dikatakan laba proyek; jelasjelas tidak tahu dari mana asalnya uang, ulama pun mau menerimanya.

k. Urusan pemberantasan KKN masih hanya dibebankan pada Negara, kesadaran


masyarakat untuk ikut serta dalam upaya menghilangkan KKN setidaknya
mengurangi belum nampak kelihatan bahkan kecenderungan menyepakati.
Ada beberapa alternatif yang mungkin dapat diambil sebagai solusi disamping caracara yang sudah dilakukan pemerintah selama ini agar negeri ini terbebas atau sekurangkurangnya mengurangi terjadinya pelanggaran KKN, adapun cara yang dapat ditempuh
diataranya :
a.

Melalui Pendekatan Kekuasaan.

b.

Mencanangkan dan membuat tahun gerakan sadar nasional atau tobat nasional dari
KKN atau sejenisnya yang melibatkan seluruh komponen bangsa.

c.

Membuat gerakan taubat nasional, hal ini dilandasi oleh :

Sadar atau tidak, sedikit atau banyak kita seluruh bangsa ini pernah melakukan
KKN baik langsung maupun tidak langsung/menikmati hasil KKN yang dilakukan
oleh orang lain.

Sadar atau tidak, kita seluruh bangsa ini pernah tidak suka/membenci pada orangorang yang telah berbuat KKN sehingga seperti Hadits Rasulullah yang artinya
lebih kurang : Tidak akan mati seseorang sebelum mengikuti perilaku orang-orang
yang dibenci.

Jika kondisi KKN di negeri ini yang sulit di beratas merupakan Adzab Allah, maka
salah satu jalan adalah bertaubat kepada-Nya.

3. MENGADILI SOEHARTO DAN KRONINYA


Oleh karena banyaknya persoalan-persoalan besar dan parah yang dihadapi negara
dan rakyat dewasa ini (antara lain : banjir besar dimana-mana, gempa di Sumatera, listrik
yang digilir, penderitaan yang menyedihkan bagi korban lumpur panas Lapindo,
penyelewengan di Bank Indonesia, tersangkutnya anggota-anggota DPR dalam soal BLBI,
diadilinya mantan Kapolri Rusdihardjo karena korupsi dll dll dll), maka persoalan besar
mengenai tindakan hukum terhadap Suharto, beserta anak-anaknya dan kroni-kroninya,
akhir-akhir ini kurang menjadi pembicaraan dan perhatian banyak orang.
Padahal, dalam konteks situasi dewasa ini, penyelesaian masalah Suharto beserta
anak-anak dan para kroninya, adalah masalah yang tetap penting, karena ada hubungannya
yang erat dengan banyak soal bangsa dan negara kita. Hal-hal inilah yang diangkat secara
baik dalam tulisan wartawan Siprianus Edi Hardum yang dimuat oleh Suara Pembaruan
(25 Februari 2008). Mengingat pentingnya tulisan ini untuk diteruskannya gugatan atau
desakan masyarakat untuk menuntut keluarga Suharto beserta kroni-kroninya, maka
disajikan kembali tulisan ini, bagi mereka yang tidak sempat membacanya di Suara
Pembaruan.
Tulisan dalam Suara Pembaruan itu selengkapnya adalah sebagai berikut :
Pengusutan Anak dan Kroni Soeharto, Utopis?
Setelah mantan Presiden Soeharto meninggal dunia, kasus hukum yang membelitnya
tetap saja menarik perhatian publik. Hal itu terjadi karena Tap MPR XI /1998 tentang
Penyelenggara Negara yang Bebas Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN), masih tetap
berlaku. Akankah putra-putri dan kroni Soeharto diseret ke pengadilan untuk
mempertanggungjawabkan berbagai kasus KKN pada masa pemerintahan Orde Baru?
Wartawan Suara Pembaruan Siprianus Edi Hardum menuliskan laporannya.
Tuntutan sebagian masyarakat agar pemerintah, dalam hal ini Kejaksaan Agung
(Kejagung) menyeret mantan Presiden Soeharto secara pidana atas dugaan tindak pidana
korupsi yang dilakukannya selama ia menjadi Presiden, berhenti sejak sang "Jenderal
Besar" itu menghadap Tuhan pada 27 Januari 2008.
Pasalnya, menurut hukum, seseorang yang diduga melakukan tindak pidana dan
meninggal dunia, maka proses hukum secara pidana terhadapnya gugur dengan sendirinya.
Yang didesak sebagian masyarakat terhadap pemerintah, terkait tindak pidana korupsi
yang dilakukan Soeharto adalah menuntut Soeharto melalui ahli warisnya (anak-anaknya)

secara perdata. Sedangkan kasus korupsi yang dilakukan anak-anak dan kroni-kroni
Soeharto tetap dilakukan secara pidana dan perdata.
Tuntutan pengusutan dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan Soeharto, anakanak dan kroni-kroninya merupakan amanat reformasi 1998, sebagaimana tertuang dalam
Tap MPR XI /1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bebas Kolusi, Korupsi dan
Nepotisme (KKN).
Pasal 4 Tap MPR XI/1998 berbunyi, "Upaya pemberantasan KKN harus dilakukan
secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga
dan kroninya maupun pihak swasta / konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto
dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan HAM".
Dugaan Soeharto melakukan tindak pidana korupsi sehingga sampai dirumuskan
dalam Tap MPR seperti tersebut di atas, rupanya tidaklah berlebihan. Betapa tidak pada 20
September 2007, United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) dan World Bank
Group (WBG), menyatakan, mantan Presiden Soeharto menduduki peringkat pertama
sebagai pencuri aset negara, yaitu sebesar US$ 15 miliar - US$ 35 miliar dari kurun waktu
1967 - 1998.
Pertanyaannya adalah bisakah pemerintah sekarang dalam hal ini Kejagung mengusut
dugaan tindak pidana yang dilakukan kroni-kroni Soeharto, baik secara pidana maupun
perdata, sebagaimana diamanatkan Tap MPR tersebut.
Masih Rezim Soeharto
Sudah 10 tahun reformasi, amanat Pasal 4 Tap MPR tersebut belum ada hasilnya.
Jaksa Agung berganti, tetapi tidak ada terobosan untuk melaksanakan amanat itu. Saat ini
Kejagung tengah menggugat Soeharto secara perdata melalui keenam anaknya atas dugaan
penyimpangan dana Yayasan Supersemar, yang sidangnya masih berlangsung di
Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel). Namun, sebagian masyarakat kurang
berharap Kejagung bisa menang karena Kejagung tidak terlalu progesif.
Pada 31 Agustus 2000, pemerintahan BJ Habibie dalam hal ini Kejagung
mendudukkan Soeharto di kursi pesakitan, yakni di PN Jaksel. Jaksa Penuntut Umum
(JPU), Muchtar Arifin, yang sekarang menjabat sebagai Wakil Jaksa Agung, mendakwa
Soeharto melakukan korupsi atas tujuh yayasan yang dimiliki Soeharto, yang merugikan
negara senilai Rp 1,7 triliun.
Namun, tuntutan terhadap Soeharto berhenti karena Soeharto mengalami sakit
permanen. Berdasarkan itulah Jaksa Agung, Abdul Rahman Saleh, pada 12 Mei 2006,

mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) Soeharto,


walaupun banyak masyarakat memprotesnya.
Banyak kalangan berpendapat, kalau Kejagung mau kasus dugaan korupsi yang
dilakukan Soeharto diusut tuntas, maka pengadilan terhadap Soeharto bisa dilakukan
secara in absentia. Seperti advokat kondang, Adnan Buyung Nasution, mengatakan,
pengadilan Soeharto bisa dilakukan secara in absentia. Setelah Soeharto dinyatakan
bersalah, kata pendiri Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) itu, maka
negara dan masyarakat mengampuninya; dan uang negara yang dikorupsinya diambil
untuk negara.
Direktur Eksekutif The Indonesian Legal Resource Center, Uli Parulian Sihombing,
mengatakan, kalau Soeharto tidak diadili secara pidana maka pemerintah sejak awal
menggugatnya secara perdata. Hal ini bertujuan untuk mengembalikan harta negara yang
dicuri Soeharto.
Sedangkan menurut Ketua Program Studi Magister Hukum Fakultas Hukum
Universitas Airlangga, Surabaya, Peter Mahmud Marzuki, diperlukan inisiatif untuk
mengembalikan aset yang telah dicuri rezim yang memerintah secara otoriter dan marak
korupsi. Biasanya setelah rezim yang otoriter dan korup itu tumbang, penggantinya segera
mengeluarkan suatu dekrit apa pun namanya untuk membentuk suatu lembaga tertentu
atau melakukan tindakan tertentu yang ditujukan untuk mengusut aset negara yang
diperkirakan telah dicuri rezim otoriter. Hal seperti ini, kata Peter, sudah dilakukan
Filipina,tidak lama setelah Presiden Marcos tumbang.
Lalu mengapa pemerintah reformasi yang dipimpin Habibie, Megawati dan Susilo
Bambang Yudhoyono tidak melakukan itu? Banyak analis politik dan ekonomi
berpendapat pengusutan kasus dugaan korupsi oleh Soeharto tidak dilakukan karena
pemerintahan reformasi adalah pemerintah Soeharto jilid II. "Pemerintahan reformasi,
kecuali pemerintahan Gus Dur, adalah pemerintah Orde Baru jilid II," kata ekonom Faisal
Basri.
Dalam pengertian ilmiahnya sebagaimana dirumuskan Stephen D Krasner, seperti
dikutip Arief Budiman, rezim lebih dikaitkan dengan prinsip-prinsip, norma-norma,
aturan-aturan dan prosedur pengambilan keputusan yang dianut oleh penguasa negara
(Arief Budiman, 1997: 86 - 87).
Mengacu pada dua pengertian rezim itu, maka tidak berlebihan kalau kita
mengatakan,

pemerintahan

reformasi,

terutama

pemerintahan

sekarang,

adalah

pemerintahan yang masih dikuasai rezim Soeharto. Pada kabinet Habibie, Megawati
Soekarnoputri, dan terutama kabinet Yudhoyono banyak sekali kroni Soeharto.
Oligarki Berkaki Tiga
Rezim Soeharto begitu kuat, dan mungkin masih untuk beberapa periode ke depan,
karena sistem ekonomi-politik yang dibangun Soeharto selama 32 tahun adalah sistem
oligarki. Sistem ini melahirkan pengikut setia yang turun-temurun.
Sistem ekonomi-politik oligarki menurut filsuf Yunani, Plato, sebagaimana dikutip
Aditjondro, adalah suatu bentuk masyarakat dimana kekayaan menentukan kekuasaan,
dimana kekuasaan politik berada di tangan orang-orang kaya, sementara orang miskin
tidak mempunyai kekuasaan apa-apa (George Junus Aditjondro dalam bukunya Korupsi
Kepresidenan, Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga : Istana, Tangsi, dan Partai Penguasa,
LKiS Yogyakarta, 2006, hal 4).
Menurut Aditjondro, oligarki yang dibangun Soeharto adalah oligarki berkaki tiga.
Oligarki pertama adalah "istana", yang merupakan lingkaran dalam oligarki ini. "Istana"
bukanlah berarti sebuah gedung yang merupakan tempat tinggal resmi Presiden,
melainkan keluarga besar Presiden yang meliputi kerabat dan keluarga besar yang tinggal
di luar istana.
Oligarki kedua adalah "tangsi", yang sekaligus merupakan lingkaran pelindung
pertama dari "istana". Menurut Aditjondro, "tangsi" bukanlah mengacu pada tempat
tinggal tiga kesatuan dan Polri, melainkan komunitas militer dan polisi dari para
purnawirawan, perwira tinggi, sampai pada para prajurit yang bertugas memelihara
kepentingan modal besar.
Tugas itu, kata Aditjondro, bukan semata-mata dijalankan karena ketaatan pada
perintah atasan, melainkan karena kesatuan TNI telah diikat kesetiaannya pada keluarga
batih Soeharto dengan yayasan-yayasan milik satuan-satuan TNI dan Polri.
Selesai menjalankan dinas kemiliteran mereka, para mantan Panglima Daerah Militer
(Pangdam), Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad), Kepala Staf Angkatan Laut (Kasal),
Kepala Staf Angkatan Udara (Kasau) dan Kapolri banyak yang diangkat menjadi
komisaris pada berbagai perusahaan keluarga Soeharto.
Selain itu, sebelum dapat diangkat menjadi Panglima TNI, para perwira tinggi itu
dibina kesetiaan mereka menjadi ajudan pribadi Soeharto, istri dan keenam anaknya.
Oligarki ketiga adalah partai penguasa, yang ketika Soeharto menjadi Presiden
bernama Golongan Karya (Golkar). Kaki ketiga ini, kata Aditjondro, adalah benteng

perlindungan kedua untuk berbagai bisnis istana, yang sekaligus berfungsi menyamarkan
keberpihakan para serdadu dalam melindungi kepentingan bisnis keluarga istana.
Dengan ketiga jalurnya, yakni jalur A (ABRI), jalur B (birokrasi), dan jalur G (kader
Golkar yang asli, yang berasal dari tiga ormas pendiri Golkar, yakni MKGR, Kosgoro, dan
SOKSI), partai penguasa ini menjadi benteng yang sakti dalam melindungi bisnis istana,
dan sekaligus men-sipil-kan bisnis keluarga Soeharto.
Sampai sekarang, kroni-kroni Soeharto adalah mereka-mereka yang diuntungkan dan
dibesarkan dalam tiga oligarki tersebut. Kroni itu mulai dari konglomerat, pemilik media
massa, TNI dan Polri, baik yang masih aktif maupun sudah purnawirawan.
Selain itu, ada juga yang duduk di pemerintahan, DPR dan sebagai pejabat penegak
hukum, seperti polisi, jaksa dan hakim. Berdasarkan itu, gagasan mengusut dugaan
korupsi yang dilakukan anak-anak dan kroni-kroni Soeharto adalah sesuatu yang utopis,
mustahil terjadi, terutama oleh pemerintah sekarang.
Coba simak pernyataan Jaksa Agung, Hendarman Supandji di DPR, Rabu (6/2),
ketika ditanya mengenai pengusutan tindak pidana korupsi yang dilakukan kroni mantan
Presiden Soeharto. Ia mengatakan, sejauh ada alat bukti yang menunjukkan ada tindak
pidana yang dilakukan kroni mantan Presiden Soeharto, Kejaksaan akan menangani
perkaranya sesuai koridor hukum.
Meski demikian, harus dirumuskan lebih dahulu, apakah dalam perbuatan itu ada
tindakan melawan hukum yang merugikan negara. Menurut Hendarman, hingga kini
Kejaksaan belum memiliki satu pun alat bukti yang berkaitan dengan dugaan korupsi
kroni Soeharto.
Beranikah aparat penegak hukum, mengusut anak-anak Soeharto dan kroni-kroninya?
Uli Parulian Sihombing masih berharap kepada pemerintah sekarang. Mantan Direktur
LBH Jakarta ini, mengatakan, kasus hukum Soeharto, anak-anak dan kroni-kroninya,
terutama kasus korupsi, merupakan utang yang harus "dilunasi" pemerintah untuk bangsa
dan negara. "Yang terpenting Jaksa Agung mempunyai kemauan politik untuk mengusut
dugaan tindak pidana korupsi Soeharto," kata dia.
Indonesia, kata Uli, harus belajar dari pengusutan korupsi mantan Presiden Ferdinand
Marcos di Filipina dan Alberto Fujimori di Peru membutuhkan waktu dan komitmen
politik untuk menghadapi semua rintangan.
4. AMANDEMAN KONSTITUSI
Tujuan amandemen UUD 1945 menurut Husnie, adalah :

1.

untuk menyempurnakan aturan dasar mengenai tatanan negara agar dapat lebih
mantap dalam mencapai tujuan nasional serta menyempurnakan aturan dasar
mengenai jaminan dan pelaksanaan kekuatan rakyat,

2. memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan paham demokrasi,


3. menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan perlindungan hak agar sesuai
dengan perkembangan HAM dan peradaban umat manusia yang menjadi syarat
negara hukum,
4.

menyempurnakan aturan dasar penyelenggaraan negara secara demokratis dan


modern melalui pembagian kekuasan secara tegas sistem check and balances yang
lebih ketat dan transparan dan pembentukan lembaga-lembaga negara yang baru untuk
mengakomodasi perkembangan kebutuhan bangsa dan tantangan jaman,

5.

menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan konstitusional dan kewajiban


negara memwujudkan kesejahteraan sosial mencerdaskan kehidupan bangsa,
menegakkan etika dan moral serta solidaritas dalam kehidupan bermasyarakat
berbangsa dan bernegara sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan dalam
perjuangan mewujudkan negara kesejahteraan,

6.

melengkapi aturan dasar dalam penyelenggaraan negara yang sangat penting bagi
eksistensi negara dan perjuangan negara mewujudkan demokrasi,

7. menyempurnakan aturan dasar mengenai kehidupan bernegara dan berbangsa sesuai


dengan perkembangan aspirasi kebutuhan dan kepentingan bangsa dan negara
Indonesia ini sekaligus mengakomodasi kecenderungannya untuk kurun waktu yang
akan datang.
MPR melalui alat kelengkapannya yaitu Badan Pekerja Majelis menurut Husnie, telah
berhasil melakukan empat kali perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Perubahan pertama diputuskan pada sidang Umum MPR 1999 yang terdiri dari sembilan
pasal yaitu pasal 5, 7, 9,13, 14, 17, 20 dan 21 yang mengatur tentang kekuasaan
pemerintahan negara dan pembatasan masa jabatan presiden serta pemberdayaan lembaga
legeslatif yaitu DPR.
Tiga hal yang melandasi perubahan UUD 45 menurut Akbar adalah :
para founding fathers menyadari bahwa UUD 45 merupakan konstitusi kilat. Bung
Karno dan Bung Hatta menyadari suatu hari generasi penerus akan menyempurnakan
UUD 45,

pada prakteknya UUD 45 dijadikan alat penguasa untuk melanggengkan pemerintahan


yang pada akhirnya cenderung sentralistik. Pemerintah menggunakan untuk
memperkuat kekuasaan kalau tidak mau dibilang otoritarian,
tuntutan yang kuat dari rakyat kebanyakan yang pada akhirnya sepakat untuk
melakukan amandemen konstitusi.
Meski telah empat kali diamandemen, Akbar menegaskan bahwa yang berubah
hanyalah batang tubuh UUD 45, bukan Pembukaan UUD 45. Pembukaan tidak boleh
diubah karena disana termaktub pernyataan bentuk, ideologi dan tujuan berbangsa
bernegara, tegasnya. Menurut Akbar, Pembukaan UUD 45 adalah fundamental karena
memuat prinsip dasar negara yang telah disepakati bersama.
1) Hak mengeluarkan pendapat
2) Hak Angket : hak untuk menyelidiki kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah
3) Hak Interpelasi : hak untuk meminta penjelasan pemerintah terkait dengan kebijakan
yang dikeluarkan
Selain ketiga hak di atas, anggota dewan juga memiliki beberapa hak seperti hak
budget, hak imunitas, hak protokoler, hak legacy, dan hak-hak lainnya.
Untuk melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana yang dimaksud ayat (2). DPR
mempunyai hak:
a. meminta keterangan kepada Presiden;
b. mengadakan penyelidikan;
c. mengadakan perubahan alas rancangan undang-undang;
d. mengajukan pernyataan pendapat;
e. mengajukan rancangan undang-undang:
f.

mengajukan/menganjurkan seseorang untuk jabatan tertentu jika ditentukan oleh


suatu peraturan perundang-undangan;

g. menentukan anggaran DPR.


Selain

hak-hak

DPR

sebagaimana

yang

dimaksud

ayat

(3), yang

pada

hakekatnyamerupakan hak-hak anggota, Anggota DPR juga mempunyai hak:


a. mengajukan pertanyaan;
b. protokoler;
c. keuangan/administrasi.
Hak Inisiatif adalah hak untuk mengajukan usul Rancangan Undang-Undang atau
Peraturan daerah (Raperda), merupakan salah satu hak yang dimiliki oleh anggota
DPR/D untuk melaksanakan fungsinya di bidang legislasi.

Hak amandemen, hampir sama dengan hak inisiatif, adalah hak untuk mengajukan
Perubahan Undang-Undang atau Peraturan daerah (Raperda).
Hak menyatakan pendapat adalah hak DPR sebagai lembaga untuk menyatakan
pendapat terhadap kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi
di tanah air atau situasi dunia internasional disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya
atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket atau terhadap
dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau
perbuatan tercela maupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden.
5. PENCABUTAN DWIFUNGSI TNI/POLRI
Ia adalah perwujudan dari sebuah sistem penghisapan, dominasi, hegemoni, dan
represi dari militer terhadap rakyat Indonesia. Dwifungsi TNI/Polri sebenarnya membuat
sebuah negara di dalam negara, dengan mendirikan struktur Kodam-Korem-KodimKoramil-Babinsa. Struktur ini membuat militer dapat mengontrol kegiatan politik rakyat.
Sebagai contoh, aksi buruh dipastikan akan diintimidasi dengan aparat kodim terdekat.
Aksi petani pastilah akan diteror oleh koramil dan babinsa di wilayah tersebut. Begitu
juga dengan kaum miskin kota serta elemen-elemen rakyat lainnya.
Bahkan dalam UU Darurat/UU PKB terlihat jelas sebenarnya peranan dari struktur
ini. Struktur ini akan menjalankan fungsi-fungsi negara selama keadaan darurat mulai
dari fungsi hukum sampai fungsi administrasi masyarakat. Dan dalam kenyataannya
sehari-hari, tanpa harus menyatakan keadaan darurat, militer sudah mengatur segala
fungsi-fungsi negara. Struktur birokrasi pemerintahan sampai struktur organisasi
masyarakat RT/RW sudah disusupi oleh perwira-perwira militer. Mulai dari Mendagri,
Jaksa Agung, Gubernur, Bupati, Lurah, Camat, sampai ketua RT/RW bahkan juga
direktur-direktur

BUMN.

Bahkan

masuknya

militer

ke

kekuasaan

legislatif

(DPRD/DPR/MPR) sebenarnya tidak terlepas dari pola mereka masuk ke struktur


birokrasi tadi. Untuk mengontrol rakyat Indonesia. Kontrol inilah yang kemudian
menghambat proses demokratisasi. Rakyat menjadi hidup didalam satu nuansa represi
dan intimidasi.
Dimensi pertama dari pencabutan Dwi Fungsi TNI/Polri adalah pembubaran struktur
Kodam-Korem-Kodim-Koramil-Babinsa. Dimensi ini bertujuan untuk membebaskan
rakyat dari satu represi dan intimidasi yang kemudian akan memacu partisipasi dan
kesadaran demokratik rakyat. Argumentasi yang diberikan oleh militer bahwa strukturt

ini dibutuhkan untuk menjaga keamanan teritori jelas lemah karena secara riil
pembentukkan struktur ini justru untuk menyempurnakan alat-alat kekuasaan mereka.
Apa yang harus dilakukan untuk mengamankan teritori negara adalah pembentukan
milisi-milisi bela negara yang berbasis pada pengorganisasian perlawanan massa-rakyat.
Apabila TNI tetap bersikukuh pada pendiriannya dengan tetap mempertahankan Dwi
Fungsi TNI, maka keniscayaan pendelegitimasian TNI adalah hukum sejarah. Akan
tetapi, bila TNI menyerahkan fungsi dan peran sosial politiknya kepada sipil sepenuhpenuhnya, dan berfungsi sebagai alat pertahanan semata, maka pembentukan milisi bela
negara adalah jalan yang terbaik
Dimensi Kedua, Pembersihan lembaga-lembaga ekstrayudisial seperti BIA, BAKIN
atau BAIS dsb. Lembaga yang berada di luar jangkauan kekuasaan kehakiman dan
peradilan. Lembaga tersebut memiliki wewenang yang sangat luar biasa. Ia dapat
menangkap seseorang tanpa ada kejelasan hukum. Bahkan tindakan-tindakan lembaga
tersebut sering kali berbau kriminal seperti penculikan dan pembunuhan, tanpa ada
pertanggungjawaban yang jelas. Lembaga ini berfungsi melakukan teror dan
penginterogasian terhadap orang-orang yang memperjuangkan demokrasi dan hak-hak
rakyat. Oleh karenanya, pembubaran lembaga-lembaga ekstrajudisial menjadi dimensi
kedua dari pencabutan Dwi Fungsi TNI/Polri. Hal ini penting untuk mengembalikan
prinsip trias politika yang tegas dan penegakkan hukum yang konsisten.
Dimensi Ketiga adalah pembersihan militer dari politik. Harus dipahami bahawa
TNI/Polri adalah fungsi keamanan (TNI) dan ketertiban (polisi) sehingga ia tidak perlu
untuk masuk dalam percaturan politik. Pentingnya Militer dibersihkan dari lapangan
politik adalah untuk tetap menjaga netralitas militer agar tidak kemudian berpihak pada
kekuatan politik lain selain kekuatan politik rakyat. Posisi militer yang menjadi tiang
penyangga pada masa Rejim Orde Baru yang berlumuran darah tampaknya cukup
menjadi contoh tentang pentingnya militer keluar dari gelanggang politik.
Dimensi Keeempat adalah penghentian dan penyitaan aset-aset ekonomi militer.
Seperti dijelaskan diatas, penguasaan militer atas aset-aset ekonomi (dalam bahasa
kasarnya :militer berbisnis) akhirnya mendorong miter untuk masuk dalam kekuasaan
karena penguasaan ekonomi tidak bisa dilepaskan dari kekuasaan. Penyitaan aset-aset
ekonomi ini kemudian diserahkan pada negara untuk dikelola. Penyitaan dan
penghentian praktek bisnis militer ini tentunya harus dengan prasyarat bahwa ada
jaminan kesejahteraan minimum bagi para prajurit (yang kemudian menahan keinginan
militer untuk berbisnis) dan anggaran militer yang cukup oleh negara.

Dimensi terakhir adalah Penegakan hukum dan HAM bagi para perwira militer
pelanggarnya. Seperti diungkapkan dimuka bahwa demokrasi memiliki aturan-aturan
prinsipil dalam pembangunannya yang salah satunya adalah penegakkan Hak Asasi
Manusia, maka penegakkan hukum merupakan unsur penting bagi pembangunan
demokrasi. Tidak dapat disangkal lagi bahwa militer Indonesia memiliki peran yang
cukup besar atas penindasan yang diterima oleh rakyat Indonesia selama puluhan tahun.
Pertanggungjawaban secara hukum, politik dan sejarah adalah satu-satunya jalan bagi
militer untuk dapat diterima kembali di masyarakat.
Prinsip dari pencabutan Dwi fungsi TNI/Polri adalah menempatkan posisi militer
sebagai militer yang profesional dan sekaligus sebagai militer rakyat yang artinya militer
yang patuh pada prinsip-prinsip demokarsi kerakyatan.
6. PEMBERIAN OTONOMI DAERAH SELUAS-LUASNYA
Tujuan utama dikeluarkannya kebijakan otonomi daerah antara lain adalah
membebaskan pemerintah pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam menangani
urusan daerah. Dengan demikian pusat berkesempatan mempelajari, memahami,
merespon berbagai kecenderungan global dan mengambil manfaat daripadanya. Pada
saat yang sama pemerintah pusat diharapkan lebih mampu berkonsentrasi pada
perumusan kebijakan makro (luas atau yang bersifat umum dan mendasar) nasional yang
bersifat strategis. Di lain pihak, dengan desentralisasi daerah akan mengalami proses
pemberdayaan yang optimal. Kemampuan prakarsa dan kreativitas pemerintah daerah
akan terpacu, sehingga kemampuannya dalam mengatasi berbagai masalah yang terjadi
di daerah akan semakin kuat.
Adapun tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah sebagai berikut:
1. Peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik.
2. Pengembangan kehidupan demokrasi.
3. Keadilan.
4. Pemerataan.
5.

Pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antar daerah
dalam rangka keutuhan NKRI.

6. Mendorong untuk memberdayakan masyarakat.


7.

Menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat,


mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan
Tanggapan saya tentang 6 tuntutan reformasi :
Dari 6 tuntutan tersebut, diketahui kalau disana tidak ada tuntutan yang menjurus
pada bidang ekonomi, hanya tuntutan tentang hukum dan politik yang selalu di
utamakan. Padahal terlihat jelas pada masa awal reformasi dan akhir orde baru itu negara
Indonesia berada pada masa krisis ekonomi yang sangat parah.
Jika dilihat lebih dalam, ekonomi pada masa reformasi lebih buruk dari masa orde
baru. Hanya saja pada masa orde baru politik dan hukum tidak berjalan sebaik masa
reformasi.
Penegakan supremasi hukum, pencabutan dwifungsi TNI/Polri, dan pemberian
otonomi daerah sudah berjalan cukup baik, sudah banyak keberhasilan yang dicapai dari
3 tuntutan tersebut. Dapat dikatakan sudah berhasil diterapkan pada masa reformasi
sekarang ini.
Pemberantasan KKN, untuk tuntutan yang satu dapat dikatakan jarang sekali
menemui suatu keberhasilan, masalah korupsi dari pemerintah yang dibiarkan berlanjut,
berangsung-angsur mencakup kesegala pihak yang membuat koruptor bersangkutan
mengalami kelenggangan hukum. Hal ini tentu berdampak buruk pada perekonomian
rakyat kalangan bawah yang semakin miris dan terkadang terlupakan oleh pemerintah.
Amandemen konstitusi, tuntutan ini sepertinya harus dilihat kembali pada
amandemen keempat, karena disana banyak memerjuangkan penguatan Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) saja, tetapi bertujuan mewujudkan kedaulatan rakyat. Hal
yang perlu dilakukan adalah mengkaji ulang hasil amandemen ke empat UUD 1945
sehingga perubahan lebih komprehensif guna mewujudkan cita-cita negara yang ingin
dicapai.
Pengadilan mantan presiden soeharto dan kroninya, tuntutan ini tidak jelas dan tidak
ada titik terang pemecahan masalahnya. Karena seakan masa reformasi sekarang
bagaikan kembali ke masa pemerintahan Soeharto kedua. Yang dimana tidak ada
keinginan dari para pemerintah untuk mnuntaskan masalah yang selama ini meresahkan
masyarakat Indonesia.

Berakhirnya Orde Baru dan Lahirnya Orde


Reformasi.

Peristiwa Berakhirnya Orde Baru

sumber gambar : tuliskan.com


Tanggal 21 Mei 1998 merupakan hari bersejarah bagi Pak Harto dab Bangsa Indonesia.
Rezim orde baru sejak tahun 1968 dan berkibar Selma 30 tahun berkat tangani dingin Pak
Harto akhirnya runtuh. Sejarah mencatat peran mahasiswa dalam menyelamatkan bangsa dan
memaksa penguasa orde baru turun dari kursi istana Negara. Kemudian lembaran sejarah
berganti kea rah reformasi kehidupan nasional.

Gerakan Reformasi Dan Jatuhnya Orde Baru


-----advertisement------Pada masa orde baru rakyat terperdaya dengan gambaran fisik, seolah-olah Indonesia berhasil
dalam pembanguna nasional apalagi dengan berpendapatan perkapita Indonesia Tahun 1960
1970 an sekitar 70 dolar Amerika Serikat sampai Juni 1997 telah menjadi US$ 1.185 itu
merupakan peningkatan luar biasa, tetapi sebenarnya fondasi ekonomi Indonesia sudah
keropos dengan diperparah korupsi, kolusi dan nepotisme yang luar biasa dan akhirnya tahun
1997 Indonesia Krisis moneter, nilai rupiah merosot dan dolar menyentuh Rp.15.000 per
dolar.

Faktor Penyebab Munculnya Tuntutan Reformasi


Akar permsalah yang menyebabkan runtuhnya Orde Baru bersumber dari penyalahgunaan
kekuasaan dan penympangan berkesinambungan sejak masa demokrasi terpimpin alah
Presiden Soekarno. Bung Karno dan Pak Harto menerapkan adagium opilitik seperti yang
disebut oleh sejarawan Lord Acton, bahwa power tends to corrupt and absolute power
corrupts absolutely Partik penyalahagunaan dan kekuasaan tersebut dipermudah.
Hakikat Pemilu untuk menegakan kedaulatan rakyat, melaksanakan pergantian pemerintahan
dan melaksanakan keabsahan pemerintahan, namun yang terjadi selama Presiden Soeharto
Pemilu tidak pernah mengganti Kepala Negara dan justru menegakkan kedaulatan penguasa.

Krisis Multidmensi di Masa Orde Baru


Soeharto terperangkap dengan kebijaksanaannya sendiri dan terjerumus ketika
memperilahkan anak-anaknya berbisnis. Akibatnya satu per satu sektor ekonomi yang
sebelumnya mengindikasikan keberhasilan pun runtuh.

Kronologis Jatuhnya Pemerintahan Orde Baru


Pada tanggal 10 Maret 1998 Soeharto terpilih kembali untuk masa jabatan lima tahun yang
ketujuh dengan menggandeng B.J.Habibie sebagai Wakil Presiden. Namun cabinet yang
dibentuk tidak mampu mengatasi krisis yang melanda Indonesia. Bulan Mei 1998 merupakan
masa kelabu bagi Bangsa Indonesia, serangkaian demontrasi dan penjarahan terjadi di
berbagai daerah.
Pada tanggal 18 Mei 1998 Ketua MPR Harmoho menyarankan agar Pak Harto
mengundurkan diri. Gelombang demonstrasi mahasiswa pun semakin besar, gedung
MPR/DPR diduduki ratusan ribu mahasiswa dan kondisi politik semakin panas.
Pada tanggal 20 Mei 1998 empaqt belas menteri anggota Kabinet Pembangunan VII
mengundurkan diri atas tawaran Soeharto untuk memimpin reformasi tidak memperoleh
tanggapan dan akhirnya Soeharto mundur dari Jabatan pada tanggal 21 Mei 1998 dan
digantikan B.J.Habibie.

krisis ekonomi, sosial, hukum, politik dan kepercayaan


;)
A. Krisis Politik
Krisis politik yang terjadi pada tahun 1998 merupakan
puncak dari berbagai kebijakan politik pemerintahan Orde
Baru. Berbagai kebijakan politik yang dikeluarkan
pemerintahan Orde Baru selalu dengan alasan dalam
kerangka pelaksanaan demokrasi Pancasila. Namun yang
sebenarnya terjadi adalah dalam rangka mempertahankan
kekuasaan Presiden Suharto dan kroni-kroninya. Artinya,
demokrasi yang dilaksanakan pemerintahan Orde Baru
bukan demokrasi yang semestinya, melainkan demokrasi
rekayasa. Dengan demikian, yang terjadi bukan demokrasi
yang berarti dari, oleh, dan untuk rakyat, melainkan

demokrasi yang berarti dari, oleh, dan untuk penguasa.


Pada masa Orde Baru, kehidupan politik sangat represif,
yaitu adanya tekanan yang kuat dari pemerintah terhadap
pihak oposisi atau orang-orang yang berpikir kritis. Ciri-ciri
kehidupan politik yang represif, di antaranya:
1. Setiap orang atau kelompok yang mengkritik kebijakan
pemerintah dituduh sebagai tindakan subversif
(menentang Negara Kesatuan Republik Indonesia).
2. Pelaksanaan Lima Paket UU Politik yang melahirkan
demokrasi semu atau demokrasi rekayasa.
3. Terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang
merajalela dan masyarakat tidak memiliki kebebasan
untuk mengontrolnya.
4. Pelaksanaan Dwi Fungsi ABRI yang memasung
kebebasan setiap warga negara (sipil) untuk ikut
berpartisipasi dalam pemerintahan.
5. Terciptanya masa kekuasaan presiden yang tak
terbatas. Meskipun Suharto dipilih menjadi presiden
melalui Sidang Umum MPR, tetapipemilihan itu merupakan
hasil rekayasa dan tidak demokratis.
B. Krisis Hukum
Rekayasa-rekayasa yang dibangun pemerintahan Orde
Baru tidak terbatas pada bidang politik. Dalam bidang
hukumpun, pemerintah melakukan intervensi. Artinya,
kekuasaan peradilan harus dilaksanakan untuk melayani
kepentingan para penguasa dan bukan untuk melayani
masyarakat dengan penuh keadilan. Bahkan, hukum sering
dijadikan alat pembenaran para penguasa. Kenyataan itu
bertentangan dengan ketentuan pasa 24 UUD 1945 yanf
menyatakan bahwakehakiman memiliki kekuasaan yang

merdeka dan terlepas dari kekuasaan


pemerintah(eksekutif).
C.Krisis Ekonomi
Krisis moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara
sejak Juli 1996 mempengaruhi perkembangan
perekonomian Indonesia. Ternyata, ekonomi Indonesia
tidak mampu menghadapi krisis global yang melanda
dunia. Krisis ekonomi Indonesia diawali dengan
melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika
Serikat. Pada tanggal 1 Agustus 1997, nilai tukar rupiah
turun dari Rp 2,575.00 menjadi Rp 2,603.00 per dollar
Amerika Serikat. Pada bulan Desember 1997, nilai tukar
rupiah terhadap dollar Amerika Serikat turun menjadi Rp
5,000.00 per dollar. Bahkan, pada bulan Maret 1998, nilai
tukar rupiah terus melemah dan mencapai titik terendah,
yaitu Rp 16,000.00 per dollar Krisis ekonomi yang melanda
Indonesia tidak dapat dipisahkan dari berbagai kondisi,
seperti: 1)Hutang luar negeri Indonesia yang sangat besar
menjadi penyebab terjadinya krisis ekonomi. Meskipun,
hutang itu bukan sepenuhnya hutang negara, tetapi
sangat besar pengaruhnya terhadap upaya-upaya untuk
mengatasi krisis ekonomi.
D. Krisis Sosial
Krisis politik, hukum, dan ekonomi merupakan penyebab
terjadinya krisis sosial. Pelaksanaan politik yang represif
dan tidak demokratis menyebabkan terjadinya konflik
politik maupun konflik antar etnis dan agama. Semua itu
berakhir pada meletusnya berbagai kerusuhan di beberapa
daerah. Ketimpangan perekonomian Indonesia
memberikan sumbangan terbesar terhadap krisis sosial.
Pengangguran, persediaan sembako yang terbatas,
tingginya harga-harga sembako, rendahnya daya beli
masyarakat merupakan faktor-faktor yang rentan terhadap
krisis sosial.

E. Krisis Kepercayaan
Krisis multidimensional yang melanda bangsa Indonesia
telah mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap
kepemimpinan Presiden Suharto. Ketidakmampuan
pemerintah dalam membangun kehidupan politik yang
demokratis, menegakkan pelaksanaan hukum dan sistem
peradilan, dan pelaksanaan pembangunan ekonomi yang
berpihak kepada rakyat banyak telah melahirkan krisis
kepercayaan. Kronologi Peristiwa Reformasi Secara garis
besar, kronologi gerakan reformasi dapat dipaparkan
sebagai berikut:
1. Sidang Umum MPR (Maret 1998) memilih Suharto dan
B.J. Habibie sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI untuk
masa jabatan 1998-2003. Presiden Suharto membentuk
dan melantik Kabinet Pembangunan VII.
2. Pada bulan Mei 1998, para mahasiswa dari berbagai
daerah mulai bergerak menggelar demonstrasi dan aksi
keprihatinan yang menuntut penurunan harga barangbarang kebutuhan (sembako), penghapusan KKN, dan
mundurnya Suharto dari kursi kepresidenan.
3. Pada tanggal 12 Mei 1998, dalam aksi unjuk rasa
mahasiswa Universitas Trisakti Jakarta telah terjadi
bentrokan dengan aparat keamanan yang menyebabkan
empat orang mahasiswa (Elang Mulia Lesmana, Hery
Hartanto, Hafidhin A. Royan, dan Hendriawan Sie)
tertembak hingga tewas dan puluhan mahasiswa lainnya
mengalami luka-luka. Kematian empat mahasiswa tersebut
mengobarkan semangat para mahasiswa dan kalangan
kampus untuk menggelar demonstrasi secara besarbesaran.
4. Pada tanggal 13-14 Mei 1998, di Jakarta dan sekitarnya

terjadi kerusuhan massal dan penjarahan sehingga


kegiatan masyarakat mengalami kelumpuhan. Dalam
peristiwa itu, puluhan toko dibakar dan isinya dijarah,
bahkan ratusan orang mati terbakar.
5. Pada tanggal 19 Mei 1998, para mahasiswa dari
berbagai perguruan tinggi di Jakarta dan sekitarnya
menduduki DPR dan MPR Pada saat yang bersamaan, tidak
kurang dari satu juta manusia berkumpul di alunalun utara
Keraton Yogyakarta untuk menghadiri pisowanan agung,
guna mendengarkan maklumat dari Sri Sultan Hamengku
Buwono X dan Sri Paku Alam VII.
6. Pada tanggal 19 Mei 1998, Harmoko sebagai pimpinan
MPR/DPR mengeluarkan pernyataan berisi anjuran agar
Presiden Suharto mengundurkan diri.
7. Pada tanggal 20 Mei 1998, Presiden Suharto
mengundang tokoh-tokoh agama dan tokoh-tokoh
masyarakat untuk dimintai pertimbangan dalam rangka
membentuk Dewan Reformasi yang akan diketuai oleh
Presiden Soeharto.
8. Pada tanggal 21 Mei 1998, pukul 10.00 di Istana Negara,
Presiden Suharto meletakkan jabatannya sebagai Presiden
RI di hadapan Ketua dan beberapa anggota Mahkamah
Agung.
Berdasarkan pasal 8 UUD 1945, kemudian Suharto
menyerahkan jabatannya kepada Wakil Presiden B.J.
Habibie sebagai Presiden RI. Pada waktu itu juga B.J.
Habibie dilantik menjadi Presiden RI oleh Ketua MA.
Beberapa sebab lahirnya gerakan reformasi adalah krisis
moneter, ekonomi, politik, hukum, sosial, budaya, dan
kepercayaan terhadap pemerintahan Presiden Suharto.
Nilai tukar rupiah terus merosot. Para investor banyak
yang menarik investasinya. Inflasi mencapai titik tertinggi

dan pertumbuhan ekonomi mencapai titik terendah


selama pemerintahan Orde Baru. Kehidupan politik hanya
kepentingan para penguasa. Hukum dan lembaga
peradilan tidak dapat menjalankan fungsi dan perannya.
Pengangguran dan kemiskinan terus meningkat. Nilai-nilai
budaya bangsa yang luhur tidak dapat dilaksanakan
secara konsisten dan konsekuen. Kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara telah sampai
pada titik yang paling kritis. Oleh karena itu, krisis
kehidupan masyarakat Indonesia sering disebut sebagai
krisis multidimensional. Demonstrasi bertambah gencar
dilaksanakan oleh para mahasiswa, terutama setelah
pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM dan
ongkos angkutan pada tanggal 4 Mei 1998. Agenda
reformasi yang menjadi tuntutan para mahasiswa
mencakup beberapa tuntutan, seperti:
1. Adili Soeharto dan kroni-kroninya
2. Laksanakan Amandemen UUD1945
3. Penghapusan Dwi fungsi ABRI
4. Pelaksanaan Otonomi daerah seluas-luasnya
5. Tegakkan Supermasi Hukum
6. Ciptakan pemerintahan yang bersih dari KKN
Setelah peristiwa penembakan mahasiswa Universitas
Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998, seluruh lapisan
masyarakat Indonesia berduka dan marah. Akibatnya,
tragedi ini diikuti dengan peristiwa anarkis di Ibu kota dan
di beberapa kota lainnya pada tanggal 13 14 Mei 1998,
yang menimbulkan banyak korban baik jiwa maupun
material. Semua peristiwa tersebut makin meyakinkan
mahasiswa untuk menguatkan tuntutan pengunduran
Soeharto dari kursi kepresidenan. Pilihan aksi yang
kemudian dipilih oleh kebanyakan kelompok massa
mahasiswa untuk mendorong turunnya Soeharto
mengerucut pada aksi pendudukan gedung DPR/MPR.
Pendudukan Gedung DPR/MPR RI adalah peristiwa

monumental dalam proses pelengseran Soeharto dari


tampuk kekuasaan Presiden dan tuntutan reformasi.
Dalam peristiwa ini, ribuan mahasiswa dari berbagai
kampus bergabung menduduki gedung DPR/MPR untuk
mendesak Soeharto.
Latar belakang terjadinya Reformasi
Pemerintahan Orde Baru dinilai tidak mampu menciptakan
kehidupan masyarakat yang adil dalam kemakmuran dan
makmur dalam keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD
1945. Oleh karena itu, tujuan lahirnya gerakan reformasi
adalah untuk memperbaiki tatanan perikehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kesulitan
masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pokok
merupakan faktor atau penyebab utama lahirnya gerakan
reformasi. Namun, persoalan itu tidak muncul secara tibatiba. Banyak faktor yang mempengaruhinya, terutama
ketidakadilan dalam kehidupan politik, ekonomi, dan
hukum. Pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Presiden
Suharto selama 32 tahun, ternyata tidak konsisten dan
konsekuen dalam melaksanakan cita-cita Orde Baru. Pada
awal kelahirannya tahun 1966, Orde Baru bertekad untuk
menata kehidupan bermasyarakat,berbangsa, dan
bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Namun
dalam pelaksanaannya, pemerintahan Orde Baru banyak
melakukan penyimpangan terhadap nilai-nilai Pancasila
dan ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam UUD 1945
yang sangat merugikan rakyat kecil. Bahkan, Pancasila dan
UUD 1945 hanya dijadikan legitimasi untuk
mempertahankan kekuasaan.
Reformasi merupakan gerakan moral untuk menjawab
ketidak puasan dan keprihatinan atas kehidupan politik,
ekonomi, hukum, dan social. Reformasi bertujuan untuk
menata kembali kehidupan berma-sayarakat, berbangsa,
dan bernegara yang lebih baik berdasarkan nilai-nilai luhur
Pancasila. Dengan demikian, hakikat gerakan reformasi

bukan untuk menjatuhkan pemerintahan orde baru,


apalagi untuk menurunkan Suharto dari kursi kepresidenan
Namun, karena pemerintahan orde baru pimpinan Suharto
dipandang tidak mampu mengatasi persoalan bangsa dan
negara, maka Suharto diminta untuk
mengundurkan secara legawa dan ikhlas demi perbaikan
kehidupan bangsa dan Negara Indonesia yang akan
dating. Reformasi yang tidak terkontrol akan kehilangan
arah, dan bahkan cenderung menyimpang dari normanorma hukum. Dengan demikian, cita-cita reformasi yang
telah banyak sekali menimbulkan korban baik jiwa maupun
harta akan gagal. Untuk itu, kita sebagi pelajar Indonesia
harus dan wajib penjaga kelangsungan reformasi agar
berjalan sesuai dengan harapan para pahlawan reformasi
yang gugur.

krisis ekonomi, sosial, hukum, politik dan kepercayaan


;)
A. Krisis Politik
Krisis politik yang terjadi pada tahun 1998 merupakan
puncak dari berbagai kebijakan politik pemerintahan Orde
Baru. Berbagai kebijakan politik yang dikeluarkan
pemerintahan Orde Baru selalu dengan alasan dalam
kerangka pelaksanaan demokrasi Pancasila. Namun yang

sebenarnya terjadi adalah dalam rangka mempertahankan


kekuasaan Presiden Suharto dan kroni-kroninya. Artinya,
demokrasi yang dilaksanakan pemerintahan Orde Baru
bukan demokrasi yang semestinya, melainkan demokrasi
rekayasa. Dengan demikian, yang terjadi bukan demokrasi
yang berarti dari, oleh, dan untuk rakyat, melainkan
demokrasi yang berarti dari, oleh, dan untuk penguasa.
Pada masa Orde Baru, kehidupan politik sangat represif,
yaitu adanya tekanan yang kuat dari pemerintah terhadap
pihak oposisi atau orang-orang yang berpikir kritis. Ciri-ciri
kehidupan politik yang represif, di antaranya:
1. Setiap orang atau kelompok yang mengkritik kebijakan
pemerintah dituduh sebagai tindakan subversif
(menentang Negara Kesatuan Republik Indonesia).
2. Pelaksanaan Lima Paket UU Politik yang melahirkan
demokrasi semu atau demokrasi rekayasa.
3. Terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang
merajalela dan masyarakat tidak memiliki kebebasan
untuk mengontrolnya.
4. Pelaksanaan Dwi Fungsi ABRI yang memasung
kebebasan setiap warga negara (sipil) untuk ikut
berpartisipasi dalam pemerintahan.
5. Terciptanya masa kekuasaan presiden yang tak
terbatas. Meskipun Suharto dipilih menjadi presiden
melalui Sidang Umum MPR, tetapipemilihan itu merupakan
hasil rekayasa dan tidak demokratis.
B. Krisis Hukum
Rekayasa-rekayasa yang dibangun pemerintahan Orde
Baru tidak terbatas pada bidang politik. Dalam bidang
hukumpun, pemerintah melakukan intervensi. Artinya,

kekuasaan peradilan harus dilaksanakan untuk melayani


kepentingan para penguasa dan bukan untuk melayani
masyarakat dengan penuh keadilan. Bahkan, hukum sering
dijadikan alat pembenaran para penguasa. Kenyataan itu
bertentangan dengan ketentuan pasa 24 UUD 1945 yanf
menyatakan bahwakehakiman memiliki kekuasaan yang
merdeka dan terlepas dari kekuasaan
pemerintah(eksekutif).
C.Krisis Ekonomi
Krisis moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara
sejak Juli 1996 mempengaruhi perkembangan
perekonomian Indonesia. Ternyata, ekonomi Indonesia
tidak mampu menghadapi krisis global yang melanda
dunia. Krisis ekonomi Indonesia diawali dengan
melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika
Serikat. Pada tanggal 1 Agustus 1997, nilai tukar rupiah
turun dari Rp 2,575.00 menjadi Rp 2,603.00 per dollar
Amerika Serikat. Pada bulan Desember 1997, nilai tukar
rupiah terhadap dollar Amerika Serikat turun menjadi Rp
5,000.00 per dollar. Bahkan, pada bulan Maret 1998, nilai
tukar rupiah terus melemah dan mencapai titik terendah,
yaitu Rp 16,000.00 per dollar Krisis ekonomi yang melanda
Indonesia tidak dapat dipisahkan dari berbagai kondisi,
seperti: 1)Hutang luar negeri Indonesia yang sangat besar
menjadi penyebab terjadinya krisis ekonomi. Meskipun,
hutang itu bukan sepenuhnya hutang negara, tetapi
sangat besar pengaruhnya terhadap upaya-upaya untuk
mengatasi krisis ekonomi.
D. Krisis Sosial
Krisis politik, hukum, dan ekonomi merupakan penyebab
terjadinya krisis sosial. Pelaksanaan politik yang represif
dan tidak demokratis menyebabkan terjadinya konflik
politik maupun konflik antar etnis dan agama. Semua itu
berakhir pada meletusnya berbagai kerusuhan di beberapa

daerah. Ketimpangan perekonomian Indonesia


memberikan sumbangan terbesar terhadap krisis sosial.
Pengangguran, persediaan sembako yang terbatas,
tingginya harga-harga sembako, rendahnya daya beli
masyarakat merupakan faktor-faktor yang rentan terhadap
krisis sosial.
E. Krisis Kepercayaan
Krisis multidimensional yang melanda bangsa Indonesia
telah mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap
kepemimpinan Presiden Suharto. Ketidakmampuan
pemerintah dalam membangun kehidupan politik yang
demokratis, menegakkan pelaksanaan hukum dan sistem
peradilan, dan pelaksanaan pembangunan ekonomi yang
berpihak kepada rakyat banyak telah melahirkan krisis
kepercayaan. Kronologi Peristiwa Reformasi Secara garis
besar, kronologi gerakan reformasi dapat dipaparkan
sebagai berikut:
1. Sidang Umum MPR (Maret 1998) memilih Suharto dan
B.J. Habibie sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI untuk
masa jabatan 1998-2003. Presiden Suharto membentuk
dan melantik Kabinet Pembangunan VII.
2. Pada bulan Mei 1998, para mahasiswa dari berbagai
daerah mulai bergerak menggelar demonstrasi dan aksi
keprihatinan yang menuntut penurunan harga barangbarang kebutuhan (sembako), penghapusan KKN, dan
mundurnya Suharto dari kursi kepresidenan.
3. Pada tanggal 12 Mei 1998, dalam aksi unjuk rasa
mahasiswa Universitas Trisakti Jakarta telah terjadi
bentrokan dengan aparat keamanan yang menyebabkan
empat orang mahasiswa (Elang Mulia Lesmana, Hery
Hartanto, Hafidhin A. Royan, dan Hendriawan Sie)
tertembak hingga tewas dan puluhan mahasiswa lainnya

mengalami luka-luka. Kematian empat mahasiswa tersebut


mengobarkan semangat para mahasiswa dan kalangan
kampus untuk menggelar demonstrasi secara besarbesaran.
4. Pada tanggal 13-14 Mei 1998, di Jakarta dan sekitarnya
terjadi kerusuhan massal dan penjarahan sehingga
kegiatan masyarakat mengalami kelumpuhan. Dalam
peristiwa itu, puluhan toko dibakar dan isinya dijarah,
bahkan ratusan orang mati terbakar.
5. Pada tanggal 19 Mei 1998, para mahasiswa dari
berbagai perguruan tinggi di Jakarta dan sekitarnya
menduduki DPR dan MPR Pada saat yang bersamaan, tidak
kurang dari satu juta manusia berkumpul di alunalun utara
Keraton Yogyakarta untuk menghadiri pisowanan agung,
guna mendengarkan maklumat dari Sri Sultan Hamengku
Buwono X dan Sri Paku Alam VII.
6. Pada tanggal 19 Mei 1998, Harmoko sebagai pimpinan
MPR/DPR mengeluarkan pernyataan berisi anjuran agar
Presiden Suharto mengundurkan diri.
7. Pada tanggal 20 Mei 1998, Presiden Suharto
mengundang tokoh-tokoh agama dan tokoh-tokoh
masyarakat untuk dimintai pertimbangan dalam rangka
membentuk Dewan Reformasi yang akan diketuai oleh
Presiden Soeharto.
8. Pada tanggal 21 Mei 1998, pukul 10.00 di Istana Negara,
Presiden Suharto meletakkan jabatannya sebagai Presiden
RI di hadapan Ketua dan beberapa anggota Mahkamah
Agung.
Berdasarkan pasal 8 UUD 1945, kemudian Suharto
menyerahkan jabatannya kepada Wakil Presiden B.J.
Habibie sebagai Presiden RI. Pada waktu itu juga B.J.

Habibie dilantik menjadi Presiden RI oleh Ketua MA.


Beberapa sebab lahirnya gerakan reformasi adalah krisis
moneter, ekonomi, politik, hukum, sosial, budaya, dan
kepercayaan terhadap pemerintahan Presiden Suharto.
Nilai tukar rupiah terus merosot. Para investor banyak
yang menarik investasinya. Inflasi mencapai titik tertinggi
dan pertumbuhan ekonomi mencapai titik terendah
selama pemerintahan Orde Baru. Kehidupan politik hanya
kepentingan para penguasa. Hukum dan lembaga
peradilan tidak dapat menjalankan fungsi dan perannya.
Pengangguran dan kemiskinan terus meningkat. Nilai-nilai
budaya bangsa yang luhur tidak dapat dilaksanakan
secara konsisten dan konsekuen. Kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara telah sampai
pada titik yang paling kritis. Oleh karena itu, krisis
kehidupan masyarakat Indonesia sering disebut sebagai
krisis multidimensional. Demonstrasi bertambah gencar
dilaksanakan oleh para mahasiswa, terutama setelah
pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM dan
ongkos angkutan pada tanggal 4 Mei 1998. Agenda
reformasi yang menjadi tuntutan para mahasiswa
mencakup beberapa tuntutan, seperti:
1. Adili Soeharto dan kroni-kroninya
2. Laksanakan Amandemen UUD1945
3. Penghapusan Dwi fungsi ABRI
4. Pelaksanaan Otonomi daerah seluas-luasnya
5. Tegakkan Supermasi Hukum
6. Ciptakan pemerintahan yang bersih dari KKN
Setelah peristiwa penembakan mahasiswa Universitas
Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998, seluruh lapisan
masyarakat Indonesia berduka dan marah. Akibatnya,
tragedi ini diikuti dengan peristiwa anarkis di Ibu kota dan
di beberapa kota lainnya pada tanggal 13 14 Mei 1998,
yang menimbulkan banyak korban baik jiwa maupun
material. Semua peristiwa tersebut makin meyakinkan

mahasiswa untuk menguatkan tuntutan pengunduran


Soeharto dari kursi kepresidenan. Pilihan aksi yang
kemudian dipilih oleh kebanyakan kelompok massa
mahasiswa untuk mendorong turunnya Soeharto
mengerucut pada aksi pendudukan gedung DPR/MPR.
Pendudukan Gedung DPR/MPR RI adalah peristiwa
monumental dalam proses pelengseran Soeharto dari
tampuk kekuasaan Presiden dan tuntutan reformasi.
Dalam peristiwa ini, ribuan mahasiswa dari berbagai
kampus bergabung menduduki gedung DPR/MPR untuk
mendesak Soeharto.
Latar belakang terjadinya Reformasi
Pemerintahan Orde Baru dinilai tidak mampu menciptakan
kehidupan masyarakat yang adil dalam kemakmuran dan
makmur dalam keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD
1945. Oleh karena itu, tujuan lahirnya gerakan reformasi
adalah untuk memperbaiki tatanan perikehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kesulitan
masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pokok
merupakan faktor atau penyebab utama lahirnya gerakan
reformasi. Namun, persoalan itu tidak muncul secara tibatiba. Banyak faktor yang mempengaruhinya, terutama
ketidakadilan dalam kehidupan politik, ekonomi, dan
hukum. Pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Presiden
Suharto selama 32 tahun, ternyata tidak konsisten dan
konsekuen dalam melaksanakan cita-cita Orde Baru. Pada
awal kelahirannya tahun 1966, Orde Baru bertekad untuk
menata kehidupan bermasyarakat,berbangsa, dan
bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Namun
dalam pelaksanaannya, pemerintahan Orde Baru banyak
melakukan penyimpangan terhadap nilai-nilai Pancasila
dan ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam UUD 1945
yang sangat merugikan rakyat kecil. Bahkan, Pancasila dan
UUD 1945 hanya dijadikan legitimasi untuk
mempertahankan kekuasaan.

Reformasi merupakan gerakan moral untuk menjawab


ketidak puasan dan keprihatinan atas kehidupan politik,
ekonomi, hukum, dan social. Reformasi bertujuan untuk
menata kembali kehidupan berma-sayarakat, berbangsa,
dan bernegara yang lebih baik berdasarkan nilai-nilai luhur
Pancasila. Dengan demikian, hakikat gerakan reformasi
bukan untuk menjatuhkan pemerintahan orde baru,
apalagi untuk menurunkan Suharto dari kursi kepresidenan
Namun, karena pemerintahan orde baru pimpinan Suharto
dipandang tidak mampu mengatasi persoalan bangsa dan
negara, maka Suharto diminta untuk
mengundurkan secara legawa dan ikhlas demi perbaikan
kehidupan bangsa dan Negara Indonesia yang akan
dating. Reformasi yang tidak terkontrol akan kehilangan
arah, dan bahkan cenderung menyimpang dari normanorma hukum. Dengan demikian, cita-cita reformasi yang
telah banyak sekali menimbulkan korban baik jiwa maupun
harta akan gagal. Untuk itu, kita sebagi pelajar Indonesia
harus dan wajib penjaga kelangsungan reformasi agar
berjalan sesuai dengan harapan para pahlawan reformasi
yang gugur.

Anda mungkin juga menyukai