6 TUNTUTAN REFORMASI
1. PENEGAKAN SUPREMASI HUKUM
Salah satu agenda yang diusung oleh gerakan reformasi yang dimotori oleh
mahasiswa adalah tuntutan adanya penegakan supremasi hukum. Pada masa orde baru
hukum hanya menjadi instrumen bagi penguasa untuk melanggengkan dan melegitimasi
kekuasaan serta melindungi birokrasi dan eksekutif yang sangat korup. Ketika itu
lembaga-lembaga penegak hukum telah dikebiri dan sepenuhnya dibawah kontrol
kekuasaan eksekutif sehingga mereka tidak memiliki kemerdekaan dan independensi,
serta tak lepas dari intervensi elit penguasa. Secara umum belum terlihat adanya
perubahan yang cukup signifikan ke arah penegakan supremasi hukum.
Pelaku KKN masih banyak yang tidak dapat dijerat hukum sehingga menimbulkan
rasa ketidak adilan. Fungsi prevensi umum (deterence) dan prevensi khusus melalui
penerapan kebijakan penal (sanksi pidana) menjadi nihil, bahkan perilaku KKN
ditengara makin meningkat. Jika di masa Orde Baru perilaku KKN hanya merupakan
bentuk perselingkuhan antara Eksekutif dan Judikatif, kini tengah berkembang menjadi
bentuk cinta segi tiga antara Eksekutif, Judikatif dan Legislatif.
Kondisi itu sangat mungkin karena reformasi hukum yang telah dilakukan selama ini
agaknya masih terbatas pada reformasi di bidang substansi hukum yaitu dengan hanya
memperbaharui berbagai UU baru. Pada hal pembentukan UU baru tidak serta merta
akan menciptakan penegakan hukum yang baik. Undang-undang yang baik belum tentu
menjelma dalam bentuk penegakan hukum yang baik tanpa ada penegak/pelaksana
hukum yang baik. Menurut Blumberg (1970 : 5) , the rule of law is not executing. It is
tralated in to reality by man in institution. Dan pembuatan peraturan perundangan tidak
otomatis menciptakan kepastian hukum kecuali hanya kepastian undang-undang.
Harus diingat bahwa bekerjanya sistem hukum (penegakan hukum) tidak dapat lepas
dari tiga komponen yaitu komponen substansi, komponen struktur, dan komponen kultur
(Friedman, 1968 : 1003-1004). Dua komponen terakhir ini yang tampaknya masih belum
banyak direformasi sehingga penegakan supremasi hukum masih mengecewakan.
Secara teoritis, supremasi hukum menuntut adanya unsur-unsur yang mencakup :
a.
e.
f.
g. kesadaran hukum yang terpadu antara kesadaran hukum penguasa yang bersifat top
down dan perasaan hukum masyarakat yang bersifat bottom up;
h.
i.
j.
2. PEMBERANTASAN KKN
Sudah menjadi tontonan rutin di media elektronik dan menjadi bacaan wajib di media
cetak oleh seluruh anak bangsa yang terjangkau media. Bahwa para pejabat dan mantan
pejabat kita tersandung masalah korupsi dan atau penyalahgunaan kekuasaan dan
keuangan negara. Tetapi anehnya mereka-mereka yang notabenenya para petinggi negara
yang terhormat, panutan rakyat, harapan dan tumpuan rakyat di negeri ini sedikitpun
tidak merasa malu bahkan kadang-kadang malah sebaliknya. Tidak kalah hebatnya DPR
yang merupakan lembaga tertinggi negara justru menjadi sarang tikus-tikus rakus yang
menggerogoti uang negara dengan berbagai alasan yang dibuat-buat dan dicari
pembenarannya. Rakyat yang merasa dirinya dizholimi akhirnya ikut-ikutan dengan
caranya masing-masing sesuai dengan strata dan jabatannya. Itulah realitas kehidupan di
negeri ini, negeri yang subur makmur gemah ripah loh jinawi, namun masih tergolong
negara miskin, negara dengan setumpuk hutang, tetapi pejabatnya kaya raya, boros, hurahura. Negara yang mulai pejabat sampai rakyatnya sudah terbelit pada sebuah sistem
yang korup.
Penyalahgunaan kekuasaan, penyuapan, pungli, korupsi, manipulasi, kolusi,
nepotisme dan sejenisnya yang biasa disebut KKN sudah bukan hal langkah yang dapat
kita jumpai di mana-mana dan kapan saja. Berikut ini beberapa contoh kejadian-kejadian
yang sudah lazim terjadi di masyarakat bahkan sampai di birokrasi pemerintah :
Seorang petani sawah jika ingin mendapat gilir air sawahnya lancar dia harus mau
memberi tips kepada Jogoboyo//cuwowo (pamong desa/orang yang ditunjuk untuk
mengatur perairan sawah).
Seorang distributor pupuk bersubsidi menimbun pupuk di gudang ratusan ton untuk
memperkaya diri, sementara para petani harus merugi jutaan rupiah karena tidak
mendapatkan pupuk untuk sawahnya.
Di mana-mana gedung sekolah roboh karena kualitas bangunan tidak sesuai dengan
standart yang ada karena dari hulu sampai hilir telah terjadi penyunatan-penyunatan.
Para caleg/cabub/cagub dan calon-calon lain rela mengeluarkan ratusan juta rupiah
untuk menyuap calon pemilihnya, bahkan ada yang dengan menggunakan uang palsu.
Anggota dewan mau mengesahkan Anggaran, peraturan dan sebagainya kalau ada
uang gedognya.
Dan lain sebagainya yang tidak cukup ditulis pada tulisan ini, sejuta cara penghuni
negeri ini melakukan KKN dan sudah pasti kita dapat menjumpai di setiap tempat di
negeri ini di kantor, di pasar, di jalan raya, di sawah, bahkan di hutan dan di tengah
laut sekalipun.
Sebagai bagian dari masyarakat negeri ini yang amat sangat mungkin juga termasuk
salah satu pelaku didalamnya, merasa prihatin dan terpanggil untuk memberikan
sumbangan saran dan pemikiran kepada pemerintah dan siapa saja yang berkenan untuk
bersama-sama meminimalisir terjadinya KKN di negeri ini, agar negeri kita tercinta ini
menjadi negeri yang baldatun toyyibatun warobbun ghofuurun seperti yang dicita-citakan
para pendiri republik ini.
Gambaran diatas memang paradoks dengan kondisi penduduk negeri ini yang terkenal
agamis bahkan merupakan Negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, semua pejabat,
calon pejabat, rakyat menggembar-gemborkan pemberantasan KKN yang katanya
warisan dari orde baru namun kenyataan mungkin sekarang lebih parah dari yang terjadi
pada masa orde baru ( contoh kecil , di masa orde baru tidak ada sekolah negeri yang
membayar bahkan buku pelajaran pun dipinjami/tidak beli ). Sebuah pekerjaan besar yang
harus kita selesaikan bersama dengan pemerintah terutama presidennya yang punya
kemauan keras untuk memberantas KKN di negeri ini.
Ada beberapa hal menurut penulis yang menjadi penyebab kenapa pemberantasan
KKN sulit untuk dilaksanakan, diantaranya :
a. Hukum dan para penegak hukumnya di negeri ini masih dapat dibeli.
b. Hukum Negara dimana saja pasti memiliki kelemahan dan kekurangan (contoh orang
mencuri, baru dikatakan pencuri kalau ketahuan dan ada saksinya, seseorang akan
aman dari tuduhan korupsi kalau dapat menunjukkan bukti-bukti pembelanjaan
walaupun itu direkayasa).
c. Banyaknya pelaku pelanggaran yang jika semua harus ditindak pasti penjara tidak
akan muat dan bisa dikatakan pasti kantor-kantor pemerintah akan sepi ditinggal
penghuni masuk bui, sekolah-sekolah akan tanpa kendali karena kepala sekolah masih
diadili, sehingga dengan dalih penanganan diprioritaskan pada kasus yang besar
dahulu padahal itu tidak lain karena penanganan KKN yang masih setengah hati.
d. segi finansial maupun terjadinya perubahan kearah positif.
e. Perlakuan hukuman yang tidak setimpal dengan pelanggaran yang dilakukan sehingga
tidak dapat menimbulkan efek jera, baik bagi si pelaku atau orang yang akan
melakukan.
f. Semakin lemahnya hukum adat yang berlaku di masyarakat, kalau dahulu orang tidak
banyak yang memahami hukum tetapi hukum adat dan norma yang berlaku di
masyarakat itu sendiri dapat dijadikan pijakan hukum mereka bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara (contoh ada cerita yang berkembang di masyarakat pelaku
rentenir yang ketika meninggal dunia makamnya tidak muat dan lain sebagainya
padahal itu tidak kejadian sebenarnya melainkan betapa jeleknya di mata masyarakat
seseorang yang melanggar hukum).
g. Pejabat pemerintah baik eksekutif maupun legislatif tidak memberikan contoh yang
baik terhadap pelaksanaan hukum, mereka sendiri yang membuat mereka pula yang
melanggarnya.
h. Hilangnya rasa kasih sayang, rasa senasib seperjuangan, sebangsa dan setanah air
yang dikarenakan rendahnya rasa nasionalisme. Kalau dahulu orang berpikir apa yang
dapat kusumbangkan buat negeri ini, sekarang orang banyak yang berpikir apa yang
aku dapatkan dari negeri ini, bahkan yang lebih parah lagi orang-orang sekarang
merasa paling berjasa paling memikirkan negeri ini padahal mereka tidak segansegannya merusak negeri yang direbut dari tangan penjajah dengan cucuran keringat,
air mata dan darah dengan mengorbankan harta benda dan nyawa.
i.
Rakus, gila dunia dan lupa akhirat, sehingga menghalalkan segala cara hal ini
disebabkan rendahnya kadar keimanan seseorang. Tidak sedikit dari mereka
mempunyai semboyan Wal Kedual , mbuh Watu mbuh Ungkal, mbuh Keloso mbuh
Bantal, mbuh Sepatu mbuh Sandal, mbuh Celono mbuh Suwal, mbuh Ulo mbuh
Kadal, mbuh Beton mbuh Aspal, mbuh Perahu mbuh Kapal, mbuh Nuklir mbuh
Rudal, mbuh Haram mbuh halal, pokok kontal yo diuntal. Jika kita mau jujur rakus
dan gila dunia inilah yang merupakan sumber terjadinya segala macam penyimpangan
dan pelanggaran yang pada akhirnya menjadi sumber malapetaka di muka bumi ini.
j.
Hukum halal dan haram semakin dibikin rancau dan tidak jelas. Sudah jelas-jelas
menyuap dibilangnya hadiah; sudah jelas-jelas korupsi dikatakan laba proyek; jelasjelas tidak tahu dari mana asalnya uang, ulama pun mau menerimanya.
b.
Mencanangkan dan membuat tahun gerakan sadar nasional atau tobat nasional dari
KKN atau sejenisnya yang melibatkan seluruh komponen bangsa.
c.
Sadar atau tidak, sedikit atau banyak kita seluruh bangsa ini pernah melakukan
KKN baik langsung maupun tidak langsung/menikmati hasil KKN yang dilakukan
oleh orang lain.
Sadar atau tidak, kita seluruh bangsa ini pernah tidak suka/membenci pada orangorang yang telah berbuat KKN sehingga seperti Hadits Rasulullah yang artinya
lebih kurang : Tidak akan mati seseorang sebelum mengikuti perilaku orang-orang
yang dibenci.
Jika kondisi KKN di negeri ini yang sulit di beratas merupakan Adzab Allah, maka
salah satu jalan adalah bertaubat kepada-Nya.
secara perdata. Sedangkan kasus korupsi yang dilakukan anak-anak dan kroni-kroni
Soeharto tetap dilakukan secara pidana dan perdata.
Tuntutan pengusutan dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan Soeharto, anakanak dan kroni-kroninya merupakan amanat reformasi 1998, sebagaimana tertuang dalam
Tap MPR XI /1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bebas Kolusi, Korupsi dan
Nepotisme (KKN).
Pasal 4 Tap MPR XI/1998 berbunyi, "Upaya pemberantasan KKN harus dilakukan
secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga
dan kroninya maupun pihak swasta / konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto
dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan HAM".
Dugaan Soeharto melakukan tindak pidana korupsi sehingga sampai dirumuskan
dalam Tap MPR seperti tersebut di atas, rupanya tidaklah berlebihan. Betapa tidak pada 20
September 2007, United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) dan World Bank
Group (WBG), menyatakan, mantan Presiden Soeharto menduduki peringkat pertama
sebagai pencuri aset negara, yaitu sebesar US$ 15 miliar - US$ 35 miliar dari kurun waktu
1967 - 1998.
Pertanyaannya adalah bisakah pemerintah sekarang dalam hal ini Kejagung mengusut
dugaan tindak pidana yang dilakukan kroni-kroni Soeharto, baik secara pidana maupun
perdata, sebagaimana diamanatkan Tap MPR tersebut.
Masih Rezim Soeharto
Sudah 10 tahun reformasi, amanat Pasal 4 Tap MPR tersebut belum ada hasilnya.
Jaksa Agung berganti, tetapi tidak ada terobosan untuk melaksanakan amanat itu. Saat ini
Kejagung tengah menggugat Soeharto secara perdata melalui keenam anaknya atas dugaan
penyimpangan dana Yayasan Supersemar, yang sidangnya masih berlangsung di
Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel). Namun, sebagian masyarakat kurang
berharap Kejagung bisa menang karena Kejagung tidak terlalu progesif.
Pada 31 Agustus 2000, pemerintahan BJ Habibie dalam hal ini Kejagung
mendudukkan Soeharto di kursi pesakitan, yakni di PN Jaksel. Jaksa Penuntut Umum
(JPU), Muchtar Arifin, yang sekarang menjabat sebagai Wakil Jaksa Agung, mendakwa
Soeharto melakukan korupsi atas tujuh yayasan yang dimiliki Soeharto, yang merugikan
negara senilai Rp 1,7 triliun.
Namun, tuntutan terhadap Soeharto berhenti karena Soeharto mengalami sakit
permanen. Berdasarkan itulah Jaksa Agung, Abdul Rahman Saleh, pada 12 Mei 2006,
pemerintahan
reformasi,
terutama
pemerintahan
sekarang,
adalah
pemerintahan yang masih dikuasai rezim Soeharto. Pada kabinet Habibie, Megawati
Soekarnoputri, dan terutama kabinet Yudhoyono banyak sekali kroni Soeharto.
Oligarki Berkaki Tiga
Rezim Soeharto begitu kuat, dan mungkin masih untuk beberapa periode ke depan,
karena sistem ekonomi-politik yang dibangun Soeharto selama 32 tahun adalah sistem
oligarki. Sistem ini melahirkan pengikut setia yang turun-temurun.
Sistem ekonomi-politik oligarki menurut filsuf Yunani, Plato, sebagaimana dikutip
Aditjondro, adalah suatu bentuk masyarakat dimana kekayaan menentukan kekuasaan,
dimana kekuasaan politik berada di tangan orang-orang kaya, sementara orang miskin
tidak mempunyai kekuasaan apa-apa (George Junus Aditjondro dalam bukunya Korupsi
Kepresidenan, Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga : Istana, Tangsi, dan Partai Penguasa,
LKiS Yogyakarta, 2006, hal 4).
Menurut Aditjondro, oligarki yang dibangun Soeharto adalah oligarki berkaki tiga.
Oligarki pertama adalah "istana", yang merupakan lingkaran dalam oligarki ini. "Istana"
bukanlah berarti sebuah gedung yang merupakan tempat tinggal resmi Presiden,
melainkan keluarga besar Presiden yang meliputi kerabat dan keluarga besar yang tinggal
di luar istana.
Oligarki kedua adalah "tangsi", yang sekaligus merupakan lingkaran pelindung
pertama dari "istana". Menurut Aditjondro, "tangsi" bukanlah mengacu pada tempat
tinggal tiga kesatuan dan Polri, melainkan komunitas militer dan polisi dari para
purnawirawan, perwira tinggi, sampai pada para prajurit yang bertugas memelihara
kepentingan modal besar.
Tugas itu, kata Aditjondro, bukan semata-mata dijalankan karena ketaatan pada
perintah atasan, melainkan karena kesatuan TNI telah diikat kesetiaannya pada keluarga
batih Soeharto dengan yayasan-yayasan milik satuan-satuan TNI dan Polri.
Selesai menjalankan dinas kemiliteran mereka, para mantan Panglima Daerah Militer
(Pangdam), Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad), Kepala Staf Angkatan Laut (Kasal),
Kepala Staf Angkatan Udara (Kasau) dan Kapolri banyak yang diangkat menjadi
komisaris pada berbagai perusahaan keluarga Soeharto.
Selain itu, sebelum dapat diangkat menjadi Panglima TNI, para perwira tinggi itu
dibina kesetiaan mereka menjadi ajudan pribadi Soeharto, istri dan keenam anaknya.
Oligarki ketiga adalah partai penguasa, yang ketika Soeharto menjadi Presiden
bernama Golongan Karya (Golkar). Kaki ketiga ini, kata Aditjondro, adalah benteng
perlindungan kedua untuk berbagai bisnis istana, yang sekaligus berfungsi menyamarkan
keberpihakan para serdadu dalam melindungi kepentingan bisnis keluarga istana.
Dengan ketiga jalurnya, yakni jalur A (ABRI), jalur B (birokrasi), dan jalur G (kader
Golkar yang asli, yang berasal dari tiga ormas pendiri Golkar, yakni MKGR, Kosgoro, dan
SOKSI), partai penguasa ini menjadi benteng yang sakti dalam melindungi bisnis istana,
dan sekaligus men-sipil-kan bisnis keluarga Soeharto.
Sampai sekarang, kroni-kroni Soeharto adalah mereka-mereka yang diuntungkan dan
dibesarkan dalam tiga oligarki tersebut. Kroni itu mulai dari konglomerat, pemilik media
massa, TNI dan Polri, baik yang masih aktif maupun sudah purnawirawan.
Selain itu, ada juga yang duduk di pemerintahan, DPR dan sebagai pejabat penegak
hukum, seperti polisi, jaksa dan hakim. Berdasarkan itu, gagasan mengusut dugaan
korupsi yang dilakukan anak-anak dan kroni-kroni Soeharto adalah sesuatu yang utopis,
mustahil terjadi, terutama oleh pemerintah sekarang.
Coba simak pernyataan Jaksa Agung, Hendarman Supandji di DPR, Rabu (6/2),
ketika ditanya mengenai pengusutan tindak pidana korupsi yang dilakukan kroni mantan
Presiden Soeharto. Ia mengatakan, sejauh ada alat bukti yang menunjukkan ada tindak
pidana yang dilakukan kroni mantan Presiden Soeharto, Kejaksaan akan menangani
perkaranya sesuai koridor hukum.
Meski demikian, harus dirumuskan lebih dahulu, apakah dalam perbuatan itu ada
tindakan melawan hukum yang merugikan negara. Menurut Hendarman, hingga kini
Kejaksaan belum memiliki satu pun alat bukti yang berkaitan dengan dugaan korupsi
kroni Soeharto.
Beranikah aparat penegak hukum, mengusut anak-anak Soeharto dan kroni-kroninya?
Uli Parulian Sihombing masih berharap kepada pemerintah sekarang. Mantan Direktur
LBH Jakarta ini, mengatakan, kasus hukum Soeharto, anak-anak dan kroni-kroninya,
terutama kasus korupsi, merupakan utang yang harus "dilunasi" pemerintah untuk bangsa
dan negara. "Yang terpenting Jaksa Agung mempunyai kemauan politik untuk mengusut
dugaan tindak pidana korupsi Soeharto," kata dia.
Indonesia, kata Uli, harus belajar dari pengusutan korupsi mantan Presiden Ferdinand
Marcos di Filipina dan Alberto Fujimori di Peru membutuhkan waktu dan komitmen
politik untuk menghadapi semua rintangan.
4. AMANDEMAN KONSTITUSI
Tujuan amandemen UUD 1945 menurut Husnie, adalah :
1.
untuk menyempurnakan aturan dasar mengenai tatanan negara agar dapat lebih
mantap dalam mencapai tujuan nasional serta menyempurnakan aturan dasar
mengenai jaminan dan pelaksanaan kekuatan rakyat,
5.
6.
melengkapi aturan dasar dalam penyelenggaraan negara yang sangat penting bagi
eksistensi negara dan perjuangan negara mewujudkan demokrasi,
hak-hak
DPR
sebagaimana
yang
dimaksud
ayat
(3), yang
pada
Hak amandemen, hampir sama dengan hak inisiatif, adalah hak untuk mengajukan
Perubahan Undang-Undang atau Peraturan daerah (Raperda).
Hak menyatakan pendapat adalah hak DPR sebagai lembaga untuk menyatakan
pendapat terhadap kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi
di tanah air atau situasi dunia internasional disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya
atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket atau terhadap
dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau
perbuatan tercela maupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden.
5. PENCABUTAN DWIFUNGSI TNI/POLRI
Ia adalah perwujudan dari sebuah sistem penghisapan, dominasi, hegemoni, dan
represi dari militer terhadap rakyat Indonesia. Dwifungsi TNI/Polri sebenarnya membuat
sebuah negara di dalam negara, dengan mendirikan struktur Kodam-Korem-KodimKoramil-Babinsa. Struktur ini membuat militer dapat mengontrol kegiatan politik rakyat.
Sebagai contoh, aksi buruh dipastikan akan diintimidasi dengan aparat kodim terdekat.
Aksi petani pastilah akan diteror oleh koramil dan babinsa di wilayah tersebut. Begitu
juga dengan kaum miskin kota serta elemen-elemen rakyat lainnya.
Bahkan dalam UU Darurat/UU PKB terlihat jelas sebenarnya peranan dari struktur
ini. Struktur ini akan menjalankan fungsi-fungsi negara selama keadaan darurat mulai
dari fungsi hukum sampai fungsi administrasi masyarakat. Dan dalam kenyataannya
sehari-hari, tanpa harus menyatakan keadaan darurat, militer sudah mengatur segala
fungsi-fungsi negara. Struktur birokrasi pemerintahan sampai struktur organisasi
masyarakat RT/RW sudah disusupi oleh perwira-perwira militer. Mulai dari Mendagri,
Jaksa Agung, Gubernur, Bupati, Lurah, Camat, sampai ketua RT/RW bahkan juga
direktur-direktur
BUMN.
Bahkan
masuknya
militer
ke
kekuasaan
legislatif
ini dibutuhkan untuk menjaga keamanan teritori jelas lemah karena secara riil
pembentukkan struktur ini justru untuk menyempurnakan alat-alat kekuasaan mereka.
Apa yang harus dilakukan untuk mengamankan teritori negara adalah pembentukan
milisi-milisi bela negara yang berbasis pada pengorganisasian perlawanan massa-rakyat.
Apabila TNI tetap bersikukuh pada pendiriannya dengan tetap mempertahankan Dwi
Fungsi TNI, maka keniscayaan pendelegitimasian TNI adalah hukum sejarah. Akan
tetapi, bila TNI menyerahkan fungsi dan peran sosial politiknya kepada sipil sepenuhpenuhnya, dan berfungsi sebagai alat pertahanan semata, maka pembentukan milisi bela
negara adalah jalan yang terbaik
Dimensi Kedua, Pembersihan lembaga-lembaga ekstrayudisial seperti BIA, BAKIN
atau BAIS dsb. Lembaga yang berada di luar jangkauan kekuasaan kehakiman dan
peradilan. Lembaga tersebut memiliki wewenang yang sangat luar biasa. Ia dapat
menangkap seseorang tanpa ada kejelasan hukum. Bahkan tindakan-tindakan lembaga
tersebut sering kali berbau kriminal seperti penculikan dan pembunuhan, tanpa ada
pertanggungjawaban yang jelas. Lembaga ini berfungsi melakukan teror dan
penginterogasian terhadap orang-orang yang memperjuangkan demokrasi dan hak-hak
rakyat. Oleh karenanya, pembubaran lembaga-lembaga ekstrajudisial menjadi dimensi
kedua dari pencabutan Dwi Fungsi TNI/Polri. Hal ini penting untuk mengembalikan
prinsip trias politika yang tegas dan penegakkan hukum yang konsisten.
Dimensi Ketiga adalah pembersihan militer dari politik. Harus dipahami bahawa
TNI/Polri adalah fungsi keamanan (TNI) dan ketertiban (polisi) sehingga ia tidak perlu
untuk masuk dalam percaturan politik. Pentingnya Militer dibersihkan dari lapangan
politik adalah untuk tetap menjaga netralitas militer agar tidak kemudian berpihak pada
kekuatan politik lain selain kekuatan politik rakyat. Posisi militer yang menjadi tiang
penyangga pada masa Rejim Orde Baru yang berlumuran darah tampaknya cukup
menjadi contoh tentang pentingnya militer keluar dari gelanggang politik.
Dimensi Keeempat adalah penghentian dan penyitaan aset-aset ekonomi militer.
Seperti dijelaskan diatas, penguasaan militer atas aset-aset ekonomi (dalam bahasa
kasarnya :militer berbisnis) akhirnya mendorong miter untuk masuk dalam kekuasaan
karena penguasaan ekonomi tidak bisa dilepaskan dari kekuasaan. Penyitaan aset-aset
ekonomi ini kemudian diserahkan pada negara untuk dikelola. Penyitaan dan
penghentian praktek bisnis militer ini tentunya harus dengan prasyarat bahwa ada
jaminan kesejahteraan minimum bagi para prajurit (yang kemudian menahan keinginan
militer untuk berbisnis) dan anggaran militer yang cukup oleh negara.
Dimensi terakhir adalah Penegakan hukum dan HAM bagi para perwira militer
pelanggarnya. Seperti diungkapkan dimuka bahwa demokrasi memiliki aturan-aturan
prinsipil dalam pembangunannya yang salah satunya adalah penegakkan Hak Asasi
Manusia, maka penegakkan hukum merupakan unsur penting bagi pembangunan
demokrasi. Tidak dapat disangkal lagi bahwa militer Indonesia memiliki peran yang
cukup besar atas penindasan yang diterima oleh rakyat Indonesia selama puluhan tahun.
Pertanggungjawaban secara hukum, politik dan sejarah adalah satu-satunya jalan bagi
militer untuk dapat diterima kembali di masyarakat.
Prinsip dari pencabutan Dwi fungsi TNI/Polri adalah menempatkan posisi militer
sebagai militer yang profesional dan sekaligus sebagai militer rakyat yang artinya militer
yang patuh pada prinsip-prinsip demokarsi kerakyatan.
6. PEMBERIAN OTONOMI DAERAH SELUAS-LUASNYA
Tujuan utama dikeluarkannya kebijakan otonomi daerah antara lain adalah
membebaskan pemerintah pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam menangani
urusan daerah. Dengan demikian pusat berkesempatan mempelajari, memahami,
merespon berbagai kecenderungan global dan mengambil manfaat daripadanya. Pada
saat yang sama pemerintah pusat diharapkan lebih mampu berkonsentrasi pada
perumusan kebijakan makro (luas atau yang bersifat umum dan mendasar) nasional yang
bersifat strategis. Di lain pihak, dengan desentralisasi daerah akan mengalami proses
pemberdayaan yang optimal. Kemampuan prakarsa dan kreativitas pemerintah daerah
akan terpacu, sehingga kemampuannya dalam mengatasi berbagai masalah yang terjadi
di daerah akan semakin kuat.
Adapun tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah sebagai berikut:
1. Peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik.
2. Pengembangan kehidupan demokrasi.
3. Keadilan.
4. Pemerataan.
5.
Pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antar daerah
dalam rangka keutuhan NKRI.
E. Krisis Kepercayaan
Krisis multidimensional yang melanda bangsa Indonesia
telah mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap
kepemimpinan Presiden Suharto. Ketidakmampuan
pemerintah dalam membangun kehidupan politik yang
demokratis, menegakkan pelaksanaan hukum dan sistem
peradilan, dan pelaksanaan pembangunan ekonomi yang
berpihak kepada rakyat banyak telah melahirkan krisis
kepercayaan. Kronologi Peristiwa Reformasi Secara garis
besar, kronologi gerakan reformasi dapat dipaparkan
sebagai berikut:
1. Sidang Umum MPR (Maret 1998) memilih Suharto dan
B.J. Habibie sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI untuk
masa jabatan 1998-2003. Presiden Suharto membentuk
dan melantik Kabinet Pembangunan VII.
2. Pada bulan Mei 1998, para mahasiswa dari berbagai
daerah mulai bergerak menggelar demonstrasi dan aksi
keprihatinan yang menuntut penurunan harga barangbarang kebutuhan (sembako), penghapusan KKN, dan
mundurnya Suharto dari kursi kepresidenan.
3. Pada tanggal 12 Mei 1998, dalam aksi unjuk rasa
mahasiswa Universitas Trisakti Jakarta telah terjadi
bentrokan dengan aparat keamanan yang menyebabkan
empat orang mahasiswa (Elang Mulia Lesmana, Hery
Hartanto, Hafidhin A. Royan, dan Hendriawan Sie)
tertembak hingga tewas dan puluhan mahasiswa lainnya
mengalami luka-luka. Kematian empat mahasiswa tersebut
mengobarkan semangat para mahasiswa dan kalangan
kampus untuk menggelar demonstrasi secara besarbesaran.
4. Pada tanggal 13-14 Mei 1998, di Jakarta dan sekitarnya