Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Akal manusia pada hakekatnya memerlukan suatu aturan dalam menganalisa berbagai
masalah. Karena Ilmu Logika merupakan ilmu yang mengatur cara berpikir (analisa) manusia,
maka keperluan kita kepada Ilmu Logika adalah untuk menga-tur dan mengarahkan kita kepada
suatu cara berpikir yang benar.

Logika merupakan bagian dari kajian epitemologi, yaitu cabang filsafat yang membicarakan
mengenai pengetahuan . Ia bisa dikatakan ruh dari filsafat. Karena mungkin tidak akan ada
filsafat kalau tidak ada logika. Dalam kajian epistemologi, pengetahuan disebut benar jika ia
diperoleh melalui cara-cara yang bertanggung jawab menunjukkan adanya kesesuaian dengan
kenyataan. Yang dimaksud dengan cara yang bertanggung jawab ialah cara yang secara formal
dapat diterima oleh akal sehat. Sedang yang dimaksud dengan sesuai dengan kenyataan adalah
pengetahuan yang secara materill bisa dibuktikan pada kenyataan.
Begitu pula dengan metode ilmiah yang merupakan prosedur untuk mendapatkan
pengetahuan ilmu. Jadi, ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah.
Tidak semua pengetahuan dapat disebut ilmu sebab ilmu merupakan pengetahuan yang cara
mendapatkannya harus harus memenuhi syarat syarat tertentu. Syarat-syarat yang harus
dipenuhi agar suatu pengetahun dapat disebut ilmu tercantum dalam apa yang dinamakan dengan
metode ilmiah.

Metodologi masuk dalam epistemologi yang membahas mengenai bagaimana kita mendapat
pengetahuan. Epistemologi juga membahas apakah sumber-sumber pengetahuan. Maka, dalam

makalah ini juga nantinya akan dibahas mengenai epistemologi yaitu Bayani, Burhani, dan Irfani
hingga Positivisme, Pospositivisme, dan konstruktivisme.

1. Rumusan Masalah

Apa yang dimaksud dari Logika Ilmu?

Apa yang dimaksud dari Metode Ilmiah?

Bagaimana

korelasi

antara

metode

ilmiah

dengan

Epistemologi:

a. Bayani, Burhani, dan Irfani


b. Positivisme, Pospositivisme, dan konstruktivisme ?

1. Tujuan Pembelajaran

Menjelaskan apa pengertian dari logika ilmu.

Mengetahui pula apa yang dimaksud dengan motode ilmiah serta

Mengetahui pula macam-macam Epistemologi (Bayani, Burhani, dan Irfani ;

Positivisme, Pospositivisme, dan konstruktivisme)

BAB II
PEMBAHASAN
2.1

Pengertian

Logika

Ilmu

Logika berasal dari kata Yunani kuno (logos) yang berarti hasil pertimbangan akal
pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa. Logika adalah salah satu
cabang filsafat. Sebagai ilmu, logika disebut dengan logike episteme (Latin: logica scientia) atau
ilmu logika (ilmu pengetahuan) yang mempelajari kecakapan untuk berpikir secara lurus, tepat,
dan teratur. Ilmu di sini mengacu pada kemampuan rasional untuk mengetahui dan kecakapan
mengacu pada kesanggupan akal budi untuk mewujudkan pengetahuan ke dalam tindakan. Kata
logis yang dipergunakan tersebut bisa juga diartikan dengan masuk akal. Logika secara luas
dapat didefinisikan sebagai "pengkajian untuk berpikir secara valid.
Logika ialah ilmu pengetahuan mengenai penyimpulan yang lurus. Ilmu pengetahuan ini
menguraikan tentang aturan-aturan serta cara untuk mencapai kesimpulan, setelah didahului oleh
suatu perangkat premis. Logika merupakan sebuah ilmu pengetahuan di mana obyek materialnya
adalah berpikir (khususnya penalaran/proses penalaran) dan obyek formal logika adalah
berpikir/penalaran yang ditinjau dari segi ketepatannya. Logika adalah sebuah cabang filsafat
yang praktis. Praktis di sini berarti logika dapat dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Logika lahir bersama-sama dengan lahirnya filsafat di Yunani. Dalam usaha untuk
memasarkan pikiran-pikirannya serta pendapat-pendapatnya, filsuf-filsuf Yunani kuno tidak
jarang mencoba membantah pikiran yang lain dengan menunjukkan kesesatan penalarannya.
Logika digunakan untuk melakukan pembuktian. Logika mengatakan yang bentuk inferensiyang
berlaku dan yang tidak. Secara tradisional, logika dipelajari sebagai cabang filosofi, tetapi juga
bisa

dianggap

sebagai cabang matematika. logika tidak bisa dihindarkan dalam proses hidup mencari

kebenaran.
Penalaran merupakan suatu proses berpikir yang membuahkan pengetahuan. Agar
pengetahuan yang dihasilkan dalam penalaran itu memiliki dasar kebenaran, maka proses
berpikir itu harus dilakukan suatu cara tertentu hingga memunculkan kesimpulan valid (sahih).
Terdapat bermacam-macam cara penarikan kesimpulan namun untuk memusatkan tujuan studi
kepada penalaran ilmiah, maka penyusun akan melakukan penelaahan seksama hanya dengan
terhadap dua jenis cara penarikan kesimpulan, yakni logika deduktif dan logika induktif karena
logika dibagi menjadi dua cabang pokok berdasarkan dasar penalaran dalam berlogika, yaitu
logika deduktif dan logika induktif .

1. Logika Deduktif
Logika deduktif, kadang disebut penalaran deduktif adalah penalaran yang membangun atau
mengevaluasi argumen deduktif. Argumen dinyatakan deduktif jika kebenaran dari kesimpulan
ditarik atau merupakan konsekuensi logis dari premis-premisnya. Argumen deduktif dinyatakan
valid atau tidak valid, bukan benar atau salah. Sebuah argumen deduktif dinyatakan valid jika
dan hanya jika kesimpulannya merupakan konsekuensi logis dari premis-premisnya. Penarikan
kesimpulan secara deduktif biasanya mempergunakan pola berpikir yang dinamakan silogismus,
yang disusun dari dua buah pernyataan dan sebuah kesimpulan.
Contoh argumen deduktif:
1.

Semua Mahasiswa UIN Malang semester I tinggal di Ma'had

2. Firman adalah mahasiswa UIN Malang semester I


3. Firman tinggal di Ma'had
4. Logika Induktif
Penalaran induktif, kadang disebut logika induktifadalah penalaran yang berangkat dari
serangkaian fakta-fakta khusus untuk mencapai kesimpulan umum. Induksi merupakan cara
berpikir dimana ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat
individual. Penalaran secara induktif dimualai dengan mengemukakan pernyataan-pernyataan

yang mempunyai ruang lingkup yang khas dan terbatas dalamm menyusun argumentasi yang
diakhiri dengan pernyataan yang bersifat umum.

Contoh argumen induktif:


1. Kuda Sumba punya sebuah jantung
2. Kuda Australia punya sebuah jantung
3. Kuda Amerika punya sebuah jantung
4. Kuda Inggris punya sebuah jantung
5. Setiap kuda punya sebuah jantung

2.2

Pengertian

Metode

Ilmiah

Metodologi merupakan hal yang mengkaji tentang urutan langkah-langkah yang ditempuh
supaya pengetahuan yang diperoleh memenuhi ciri-ciri ilmiah. Secara etimologi, metode berasal
dari bahasa yunani yaitu kata methodos sambungan dari kata meta (sesudah atau dibalik sesuatu)
dan hodos (jalan yang harus ditempuh). jadi metode adalah langkah-langkah (cara dan teknis)
yang diambil, menurut urutan atau sistematika tertentu untuk mencapai pengetahuan tertentu.
Metode menurut Senn,merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang mempunyai
langkah-langkah yang sistematis. Metodologi merupakan suatu pengkajian dalam mempelajari
peraturan-peraturan dalam metode tersebut. jadi metodolo gi ilmiah merupakan pengkajian dari
peraturan-peraturan yang terdapat dalam metode ilmiah. Metode berpikir ilmiah merupakan
prosedur, cara atau teknik dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu, jadi ilmu
merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah atau dengan kata lain bahwa suatu
pengetahuan baru dapat disebut suatu ilmu apabila diperoleh melalui kerangka kerja ilmiah,

syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu pengetahuan bias disebut ilmu tercantum dalam apa
yang dinamakan metode ilmiah. Pendapat lain mengatakan bahwa metode ilmiah adalah sebuah
prosedur yang digunakan ilmuwan dalam pencarian kebenaran baru. Dilakukan dengan cara
kerjasistematis terhadap pengetahuan baru dan melakukan peninjauan kembalikepada
pengetahuan yang telah ada. Tujuan dari penggunaan metode ilmiah adalah tuntutan supaya ilmu
pengetahuan bisa terus berkembang seiring perkembangan zaman dan menjawab tantangan yang
dihadapi.

Terdapat perbedaan antara pengertian metode dengan metodologi. Metodologi bersangkutan


dengan jenis, sifat, dan bentuk umum mengenai cara, aturan dan patokan prosedur jalannya
penyelidikan, yang menggambarkan bagaimana ilmu pengetahuan harus bekerja. Adapun metode
adalah cara kerja dan langkah-langkah khusus penyelidikan secara sistematik menurut
metodologi itu, agar tercapai suatu tujuan yaitu kebenaran ilmiah. Peter senn dalam membedakan
metode dengan metodologi berpendapat bahwa metode adalah suatu prosedur atau cara
mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkah sistematis. Adapun metodologi adalah
suatu pengkajian dalam mempelajari peraturan-peraturan dalam metode tersebut

Alur berpikir yang tercakup dalam metode ilmiah dapat dijabarkan dalam beberapa langkah yang
mencerminkan tahap-tahap dalam kegiatan ilmiah. Kerangka berpikir ilmiah yang berintikan
proses logico-hypo-thetico-verivikasi ini pada dasarnya terdiri dari langkah-langka sebagai
berikut :
1. Perumusan Masalah yang merupakan pertanyaan mengenai obyek empiris yang jelas
batas-batasnya serta dapat diidentifikasikan factor-faktor yang terkait didalamnya
2. Penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis yang merupakan argumentasi
yang menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara berbagai factor yang saling
mengkait dan membentuk konstelasi permasalahan. Kerangka berpikir ini disusun secara

rasional berdasarkan premis ilmiah yang teruji kebenaranya dengan memperhatikan


factor empiris yang relevan dengan permasalahan.
3. Perumusah Hipotesis yang merupakan jawaban sementara atau dugaan terhadap
pertanyaan yang diajukan yang materinya merupakan kesimpulan dari kerangka berpikir
yang dikembangkan.
4. Pengujian Hipotesis yang merupakan fakta-fakta yang relevan dengan hipotesis yang
diajukan untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang mendukung hipotesis
tersebut atau tidak.
5. Penarikan Kesimpulan merupakan penilaian apakah sebuah hipotesis yang diajukan itu
ditolak ataupun diterima. Sekiranya dalam proses pengujian terdapat fakta yang cukup
mendukung hipotesis maka hipotesis itu diterima begitu pula sebaliknya. Hipotesis yang
diterima tadi dianggap menjadi bagian dari pengetahuan ilmiah sebab telah memenuhi
persyaratan keilmuan yakni mempunyai kerangka penjelasan yang konsisten dengan
pengetahuan ilmiah sebelumnya. Keseluruhan langkah diatas harus ditempuh aagar suatu
penelaahan dapat disebut ilmiah.

2.3 Epistemologi Islam : Bayani, Burhani, dan Irfani


Epistemologi berasal dari kata Yunani, episteme yang berarti pengetahuan atau kebenaran dan
logos yang berarti pikiran, kata atau teori. Dan secara etimologi, epistemology diartikan teori
pengetahuan yang benar dan lazimnya hanya disebut teori pengetahuan yang dalam bahasa
inggrisnya menjadi theory of knowledge . Jika metode merupakan suatu prosedur mengetahui
sesuatu yang mempunyai langkah-langkah yang sistematis. Metodologi ilmiah merupakan
pengkajian dari peraturan-peraturan yang terdapat dalam metode ilmiah.
Metodologi masuk dalam epistemologi yang membahas mengenai bagaimana kita mendapat
pengetahuan. Epistemologi juga membahas apakah sumber-sumber pengetahuan? Apa hakikat,
jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan? Apakah manusia dimungkinkan mendapatkan
pengetahuan? Sampai tahap mana pengetahuan mungkin ditangkap manusia?

Dalam kajian epistemologi Barat, dikenal ada tiga aliran pemikiran, yakni empirisme,
rasionalisme dan intuitisme. Sementara itu, dalam pemikiran filsafat Hindu dinyatakan bahwa
kebenaran bisa didapatkan dari tiga macam, yakni teks suci, akal dan pengalaman pribadi. Dalam
kajian pemikiran Islam terdapat juga beberapa aliran besar dalam kaitannya dengan teori
pengetahuan (epistemologi). Setidaknya ada tiga model system berpikir dalam Islam, yakni
bayni, irfni dan burhni, yang masing-masing mempunyai pandangan yang sama sekali
berbeda tentang pengetahuan. Dalam makalah ini, akan dibahas metode berpikir bayani, burhani
dan irfani.

2.3.1 Epistemologi Bayani


Secara etimologi, bayan berarti penjelasan (eksplanasi). Al Jabiri berdasarkan beberapa makna
yang diberikan kamus lisan al Arab mengartikan sebagai al fashl wa infishal (memisahkan dan
terpisah) dalam kaitannya dengan metodologi dan al dhuhur wa al idhar (jelas dan penjelasan)
berkaitan dengan visi dari metode bayani.

Sementara itu, secara terminology bayan mempunyai dua arti (1) sebagai aturan penafsiran
wacana, (2) sebagai syarat-syarat memproduksi wacana. Berbeda dengan makna etimologi yang
telah ada sejak awal peradaban Islam, makna etimologis ini baru lahir belakangan, yakni pada
masa kodifikasi (tadwin). Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan otoritas
teks (nash), secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung artinya memahiami teks
sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikannya tanpa perlu pemikiran; secara tidak
langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan
penalaran. Meski demikian, hal ini bukan berarti akal atau rasio bisa bebas menentukan makna
dan maksudnya, tetapi tetap harus bersandar pada teks. Untuk mendapatkan pengetahuan ,
epistemologi bayani menempuh dua jalan. Pertama berpegang pada redaksi teks dengan
menggunakan kaidah bahasa Arab. Kedua, menggunakan metode qiyas ( analog ) dan inilah

prinsip utama epistemologi bayani. Dalam kajian ushul fikih, qiyas diartikan memberikan
keputusan hokum suatu masalah berdasarkan masalh lain yang telah ada kepastian hukumnya
dalam teks, Karena adanya kesamaan illah. Ada beberapa hal yang harus dipenuhi dalam
melakukan qiyas: 1) Adanya al Ashl yakni nash suci yang memberikan hukum dan dipakai
sebagai ukuran, 2) al far yakni sesuatu yang tidak ada hukumnya dalam nash ,3) hukum al ashl
yakni ketetapn hokum yang diberikan oleh ashl, 4) illah yakni keadaan tertentu yang dipakai
sebagai dasar ketetapan hokum ashl . Contoh qiyas adalah soal hokum meminum arak dari
qurmah. Arak dari perasan kurma disebut far ( cabang ) karena tidak ada ketentuan hukumnya
dalam nash dan ia akan di qiyaskan dalam khomr . Khamr adalah ashl atau pokok sebab terdapat
dalam teks ( nash ) Dan hukumnya haram, alasanya ( illah ) Karena memabukkan. Hasilnya, arak
adalah haram karena ada persamaan antara arak dan khamr , yakni sama sama memabukkan.
Menurut jabiri, metode qiyas sebagai cara mendapatkan pengetahuan dalam epistemologi
bayani digunakan dalam 3 aspek yaitu : 1) qiyas jali , dimana far mempunyai persaolan hokum
yang kuat di banding ashl , 2) qiyas fi makna an nash dimana ashl dan far mempunyai derajat
hokum yang sama, qiyas al kahfi dimana illat ashl tidak diketahui secara jelas dan hanya menurut
perkiraan mujtahid. Menurut Abd al jabar, seorang pemikir teologi muktazilah, metode qiyas
bayani diatas tidak hanya untuk menggali pengetahuan dari teks tetapi juga bisa dikembangkan
dan digunakan untuk mengungkapkan persoalan non fisik ( ghoib).

2.3.1 Epistemologi Burhani

Al burhani secara sederhana bisa diartikan sebagai suatu aktifitas berfikir untuk menetapkan
kebenaran proposisi melalui pendekatan deduktif dengan mengaitkan proposisi yang satu dengan
proposisi yang lain yang telah terbukti kebenaranya secara aksiomatik.
Selanjutnya, untuk mendapatkan sebuah pengetahuan, burhani menggunakan aturan silogisme.
Mengikuti Aristoteles, penarikan kesimpulan dengan silogisme ini harus memenuhi beberapa
syarat, (1) mengetahui latar belakang dari penyusunan premis, (2) adanya konsistensi logis antara

alas an dan keismpulan, (3) kesimpulan yang diambil harus bersifat pasti dan benar, sehingga
tidak

mungkin

menimbulkan

kebenaran

atau

kepastian

lain.

Al-Farabi mempersyaratkan bahwa premis-premis burhani harus merupakan premis-premis


yang benar, primer dan diperlukan. Premis yang benar adalah premis yang memberi keyakinan,
menyakinkan. Suatu premis bisa dianggap menyakinkan bila memenuhi tiga syarat; (1)
kepercayaan bahwa sesuatu (premis) itu berada atau tidak dalam kondisi spesifik, (2)
kepercayaan bahwa sesuatu itu tidak mungkin merupakan sesuatu yang lain selain darinya, (3)
kepercayaan bahwa kepercayaan kedua tidak mungkin sebaliknya. Selain itu, burhani bisa juga
menggunakan sebagian dari jenis-jenis pengetahuan indera, dengan syarat bahwa objek- objek
pengetahuan indera tersebut harus senantiasa sama (konstan) saat diamati, dimanapun dan
kapanpun,

dan

tidak

ada

yang

menyimpulkan

sebaliknya.

Derajat dibawah silogisme burhani adalah 'silogisme dialektika', yang banyak dipakai dalam
penyusunan konsep teologis. Silogisme dialektik adalah bentuk silogisme yang tersusun atas
premis-premis yang hanya bertarap mendekati keyakinan, tidak sampai derajat menyakinkan
seperti dalam silogisme demonstratif. Materi premis silogisme dialektik berupa opini-opini yang
secara umum diterima (masyhrt), tanpa diuji secara rasional. Karena itu, nilai pengetahuan dari
silogisme dialektika tidak bisa menyamai pengetahuan yang dihasilkan dari metode silogisme
demonstratif. Ia berada dibawah pengetahuan demontratif.

2.3.1 Epistemologi Irfani


Kata 'irfan adalah bentuk masdar dari kata 'arafa yang berarti ma'rifah (ilmu pengetahuan.
Kemudian 'irfan lebih dikenal sebagai terminologi mistik yang secara khusus berarti
"ma'rifah" dalam pengertian "pengetahuan tentang Tuhan]". Kalau ilmu (pengetahuan eksoterik)
yakni pengetahuan yang diperoleh indera dan intelek melalui istidlal, nazhar, dan burhan, maka
'irfan (pengetahuan esoterik) yaitu pengetahuan yang diperoleh qalb melalui kasyf, ilham, i'iyan
(persepsi langsung), dan isyra. Aliran-aliran yang beragam dalam dunia Sufisme atau Irfan
memiliki kesatuan pandangan dalam permasalahan yang esensial dan substansial ini dimana
mereka menyatakan bahwa pencapaian dan penggapaian hakikat segala sesuatu hanya dengan
metode intuisi mistikal dan penitian jalan-jalan pensucian jiwa, bukan dengan penalaran dan

argumentasi rasional, karena hakikat suatu makrifat dan pengatahuan adalah menyelami dan
meraih hakikat segala sesuatu lewat jalur penyingkapan, penyaksian, intuisi hati, manifestasimanifestasi batin, dan penyaksian alam metafisika atau alam nonmateri dengan mata batin serta
penyatuan dengannya. Para sufi beranggapan bahwa segala makrifat dan pengetahuan yang
bersumber dari intuisi-intuisi, musyahadah, dan mukasyafah lebih dekat dengan kebenaran
daripada ilmu-ilmu yang digali dari argumentasi-argumentasi rasional dan akal. Mereka
menyatakan bahwa indra-indra manusia dan fakultas akalnya hanya menyentuh wilayah lahiriah
alam dan manifestasi-manifestasi-Nya, namun manusia dapat berhubungan secara langsung
(immediate) yang bersifat intuitif dengan hakikat tunggal alam melalui dimensi-dimensi
batiniahnya sendiri dan hal ini akan sangat berpengaruh ketika manusia telah suci,lepas, dan jauh
dari segala bentuk ikatan-ikatan dan ketergantungan-ketergantungan lahiriah.

1. Epistemologi Positivisme
Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya
sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Tidak
mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris. Filsafat ini berorientasi dan
menolak pemahaman dibalik realitas. Sesungguhnya aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis
sebagai suatu sarana untuk memperoleh pengetahuan (seperti yang diusung oleh kaum idealisme
khususnya idealisme Jerman Klasik). Positivisme merupakan empirisme, yang dalam segi-segi
tertentu sampai kepada kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan
pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk, maka tidak ada spekulasi dapat menjadi
pengetahuan. Tesis positivise adalah : bahwa ilmu adalah satu-satunya pengetahuan valid, dan
fakta-fakta sajalah yang mungkin dapat menjadi obyek pengetahuan.

1. Epistemologi Pospositivisme

Post Positivisme lawan dari positivisme: cara berpikir yg subjektif Asumsi terhadap
realitas: there are multiple realities(realitas jamak), Kebenaran subjektif dan tergantung pada
konteks value, kultur, tradisi, kebiasaan, dan keyakinan. Natural dan lebih manusiawi.

2. Epistemologi Konstruktivisme
Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa
pengetahuan adalah bentukan (konstruksi) kita sendiri (Von Glaserfeld). Pengetahuan bukan
tiruan dari realitas, bukan juga gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan
merupakan hasil dari konstruksi kognitif melalui kegiatan seseorang dengan membuat struktur,
kategori, konsep, dan skema yang diperlukan untuk membentuk pengetahuan tersebut.
Konstruktivisme berada di titik temu dua aliran besar dalam sejarah sosiologi: sosiologi
pengetahuan dan sosiologi sains, sosiologi pengetahuan dibentuk oleh pandangan tiga pemikir
cemerlang : Marx, Mannheim dan Durkheim. Ketiganya menekankan peran yang saling memberi
akibat dari factor-faktor social dalam membentuk kepercayaan individu. Marx terkenal karena
menyatakan bahwa kelas social menentukan beragam sikap intektual. Mereka bertiga
mengecualikan kepercayaan yang dimunculkan oleh matematika dan ilmu alam dari analisis
social mereka. Kepercayaan ilmiah mereka anggap ditentukan secara rasional dan bukan secara
kausal, dan dengan demikian melampaui pengaruh social dan cultural. Dualism epistemic inilah
yang membedakan periode klasik sosiologi pengetahuan dengan manifestasinya yang lebih
modern.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari Pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa Ilmu Logika merupakan ilmu yang
mengatur cara berpikir (analisa) manusia, maka keperluan kita kepada Ilmu Logika adalah untuk
menga-tur dan mengarahkan kita kepada suatu cara berpikir yang benar untuk mendapatkan
ilmu. Untuk itu, terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu pengetahuan bias disebut
ilmu, dan itu tercantum dalam apa yang dinamakan metode ilmiah. Metode ilmiah masuk dalam
epistemologi yang membahas mengenai bagaimana kita mendapat pengetahuan. Epistemologi
itulah yang berkembang menjadi beberapa cabang diantaranya bayani, burhani, irfani hingga
positivism, pospositivisme dan konstruktivisme.

3.2 Saran

Cabang-cabang filsafat seperti Logika Ilmu, Metode Ilmiah hingga Epistemologi dalam
memahaminya Mahasiswa akan dituntut untuk memikirkan secara mendalam, untuk itu
diharapkan memiliki referensi keilmuan yang mencukupi guna menguasai cabang filsafat
tersebut. Hal ini amat penting mengingat filsafat ilmu adalah akar dari berbagai keilmuan yang
terus berkembang pesat dewasa ini.

DAFTAR PUSTAKA

Kukla, Andre. Konstruktivisme Sosial dan Filsafat Ilmu: (Jendela : Yogyakarta) 2003.

Ismail, Fu'ad Farid Dr & Hamid Mutawalli, Abdul Dr. Cara Mudah Belajar Filsafat (Barat dan
Islam), : ( IRCiSoD : Jogjakarta) 2003

Surajiyo Drs., Filsafat Ilmu & Perkembangannya di Indonesia : Suatu Pengantar, (Bumi
Aksara : Jakarta ). 2007

Suriasumantri S. Jujun, Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer. (Pustaka Sinar Harapan :
Jakarta). 2009

Senn R. Peter,.Sosial Social Science and Its Methods, (Holbrook : Boston) 1971

Kattsoft O. Louis. Pengantar Filsafat, (Tiara Wacana Yogya : Yogyakarta ) 2004

Willam S. Sahakian, Mabel Lewis Sahakian, Realism Of Philosophy,(Schenkman : Cambridge)


1965

Muslih, Muhammad, Filsafat Umum : Dalam Pandangan Praktis,(Belukar : Yogyakarta) 2005

http://id.wikipedia.org/wiki/Logika, Diakses tanggal 3 Maret 2013

http://blog.uin-malang.ac.id/ansur/2011/06/10/epistemologi-islam/ Diakses tanggal 08-03-2013

http://warkopmbahlalar.com/2011/07/paradigma-ilmu-positivisme-postpositivisme-dankonstruktivisme/ Diakses tanggal 10 Maret 2013

Anda mungkin juga menyukai