Anda di halaman 1dari 7

Riptek, Vol.4, No.I1, Tahun 2010, Hal.

: 29 - 35

PERBANDINGAN PENANGANAN BANJIR ROB


DI LA BRIERE (PRANCIS), ROTTERDAM (BELANDA)
DAN PERSPEKTIF DI SEMARANG (INDONESIA)
S. Imam Wahyudi *)
Abstrak
Kenaikan muka air laut dan penurunan tanah mengakibatkan banjir rob. Kondisi ini dirasakan di sebagian
kawasan pantai, contoh Kota Semarang, Pekalongan, Tegal dan Jepara. Permasalahan ini juga terjadi di
beberapa kota luar negeri diantaranya adalah La Briere di Nantes Prancis dan Rotterdam Belanda. Penelitian ini
bertujuan membandingkan permasalahan di beberapa negara, metode rekayasa yang digunakan dan
kelembagaan penanganannya, untuk kemudian mengembangkan model penanganannya di Indonesia. Metode
yang digunakan yaitu kajian pustaka, perbandingan kasus identik di luar negeri, pengamatan dan pengukuran di
lapangan, kemudian analisis pengembangan model penanganan di Semarang. Dalam artikel ini disajikan
perbandingan kondisi identik di luar negeri dan refleksi implementasi di Indonesia. Pengembangan sistem ini
diharapkan dapat dijadikan acuan untuk implementasi lokasi-lokasi lain khususnya di Indonesia.
Kata Kunci: banjir rob, polder, perbandingan, rekayasa, kelembagaan
Pendahuluan
Latar Belakang
Fenomena land subsidence (penurunan
tanah) dan kenaikan muka air laut terjadi di
kawasan Pantai Utara Jawa Tengah Indonesia.
Kondisi tersebut dapat diketahui saat tidak
terjadi hujan di beberapa wilayah pantai
tergenang air laut pada saat air laut pasang,
masyarakat sering menyebut dengan rob.
Terlebih pada saat hujan, wilayah tersebut lebih
tinggi dan lebih luas area genangannya. Kerugian
yang diakibatkan adanya banjir/genangan rob
semakin serius dan meningkat dari waktu ke
waktu yaitu kerusakan infrastruktur, lingkungan,
kemacetan lalu lintas, banyak lahan tidak bisa
lagi digunakan dan gangguan aktivitas ekonomi
di wilayah tersebut. Permasalahan ini juga
terjadi di La Briere, Nantes, Prancis dan
Rotterdam, Belanda.
Pemanasan
global
diindikasikan
merupakan penyebab kenaikan muka air laut.
Ketika
atmosfer
menghangat,
lapisan
permukaan lautan juga akan menghangat,
sehingga volumenya akan membesar dan
menaikkan tinggi permukaan laut (Arnoud
Molenaar, 2008). Perubahan tinggi muka laut
mempengaruhi kehidupan di daerah pantai dan
dapat menenggelamkan beberapa daratan
melalui muara, jaringan sungai dan drainase.
Penyebab lain terjadi banjir air pasang di Kota
Semarang adalah penurunan tanah (land
subsidence). Berdasarkan pengukuran dan
analisis didapat penurunan tanah di daerah
sekitar Pelabuhan Tanjung Emas rata-rata 6,5
cm per tahun (Wahyudi, 2003).
Guna memperbaiki kondisi tersebut
serta mengantisipasi kemungkinan terjadinya
permasalahan banjir/genangan rob yang semakin
kompleks, maka diperlukan pengkajian terhadap
fenomena kenaikan elevasi pasang laut dan

penurunan
tanah,
memodelkan
secara
matematis dan fisik sebagai dasar penyusunan
konsep penanganan banjir/genangan rob.
Kemudian perlu kajian kasus serupa di beberapa
kota maju luar negeri yang lebih berpengalaman
dalam
penanganan,
sehingga
dapat
mengembangkan
sistem
polder
yang
implementatif khususnya di Kota Semarang dan
Pekalongan.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan jangka panjang
untuk menangani dan mengantisipasi banjir rob
akibat kenaikan muka air laut dan penurunan
tanah. Lebih detail tujuan tersebut adalah:
- memperjelas fenomena kenaikan muka air laut
dan penurunan tanah
- mendapatkan model penanganan kondisi
identik
di
negara
lain
yang
lebih
berpengalaman dan maju, yaitu di La Briere,
Nantes, Prancis dan Rotterdam Belanda
- mengembangkan model implementasi sistem
polder di Indonesia, khususnya di Kota
Semarang dan Pekalongan.
Kajian Pustaka
Kenaikan Muka Air Laut
Pemanasan global berdampak terhadap
cuaca, tinggi permukaan air laut, pantai,
pertanian, kehidupan hewan liar dan kesehatan
manusia. Ketika atmosfer menghangat, lapisan
permukaan lautan juga akan menghangat,
sehingga volumenya akan membesar dan
menaikkan tinggi permukaan laut. Perubahan
tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi
kehidupan di daerah pantai. Kenaikan 100 cm
akan menenggelamkan daerah Belanda, 17,5%
daerah Bangladesh, dan banyak pulau-pulau.
Ketika tinggi lautan mencapai muara sungai,

*) Staf Pengajar Jurusan Teknik Sipil, UNISSULA Semarang, siwahyudi@yahoo.com

Perbandingan Penanganan Banjir Rob


di La Briere (Prancis), Rotterdam (Belanda)
dan Perspektif di Semarang (Indonesia)
banjir akibat air pasang akan meningkat di
daratan. Perubahan tinggi rata-rata muka air laut
di dunia sejak tahun 1889 hingga 2000 diukur
dari daerah dengan lingkungan yang stabil secara
geologi dapat dilihat pada Gambar 1a. Arnold
Molenar, 2008 memprediksi kenaikan air laut
akibat global warming sebagaimana dalam 1b
berikut.

(a)

(b)

Gambar 1
(a) Perubahan Tinggi Muka Laut
(sumber : www.wikipedia.com, 2009)
(b) Grafik Prediksi Kenaikan Air Laut di
Rotterdam (Arnoud Molenaar, 2008)

(S. Imam Wahyudi)


Sistem Polder Di La Briere, Nantes,
Prancis
Deskripsi Lokasi La Briere Prancis
La Briere merupakan lahan rawa
elevasinya ada di bawah muka air laut. Secara
geografi La Briere terletak di sebelah barat
Kota Nantes dekat dengan Kota Saint Nazaire.
Luas area yang dilindungi 49.000 Ha, terdiri dari
17 desa (communes), ada dalam wilayah
administrasi La Loire Atlantique, Prancis.
Tunggang pasang surut air laut di
muara La Loire maksimal di kisaran 5 meter,
antara elevasi -3 m dan +2 m (gambar 2).
Sedangkan dataran di area Polder tersebut
memiliki elevasi rata-rata antara 0,45 m.
Sehingga pada saat air laut rata-rata apalagi saat
pasang tersebut tersebut akan terjadi banjir
rob. Elevasi air air dikendalikan supaya fluktuasi
maksimal di La Brire antara 0,40 m.
Pengendalian diatur dengan pintu gerak karena
pada saat air laut sungai La Loire surut air dari

Penurunan Tanah
Indikasi penurunan muka tanah di
Semarang dapat diketahui dari beberapa sumber
data. Berdasarkan pengukuran dan data
penurunan muka tanah di daerah perbukitan di
Kota Semarang lebih kecil dibanding penurunan
di daerah pantai. Dari pengamatan lapangan
penurunan muka tanah di kawasan bekas rawa
dan tambak menunjukkan penurunan yang
paling besar, misal di perumahan Tanah Mas,
Pantai Tanjung Mas, dengan penurunan antara
5,5 - 7,23 cm per tahun (Wahyudi, 2001).
Sistem Polder
Sistem Polder adalah suatu cara
penanganan banjir dengan bangunan fisik, yang
meliputi sistem drainase, kolam retensi, tanggul
yang mengelilingi kawasan, serta pompa
dan/pintu air, sebagai satu kesatuan pengelolaan
tata air tak terpisahkan (Pusair, 2007).
Pembangunan sistem polder tidak dapat
dilakukan secara sendiri-sendiri, melainkan
perlu direncanakan dan dilaksanakan secara
terpadu, disesuaikan dengan rencana tata ruang
wilayah dan tata air secara makro. Kombinasi
kapasitas pompa dan kolam retensi harus
mampu mengendalikan muka air pada suatu
kawasan polder dan tidak menimbulkan dampak
negatif terhadap sistem drainase secara makro.
Kelengkapan sarana fisik untuk sistem polder
antara lain: tanggul untuk isolasi dengan air laut,
saluran air, kolam retensi (tampungan) dan
pompa (Rosdianti, 2009).

30

sistem polder dapat dibuang secara gravitasi


(Bellaud J.P, 2000).
Gambar 2
Fluktuasi Pasang Surut di Muara Sungai
La Loire dan Area La Briere
(Eksperimen Peneliti)
Infrastruktur Pengendali Elevasi Air La
Briere
Untuk pengendalian elevasi air laut dan
daratan diperlukan berbagai infrastruktur.
Pembagian sistem tersebut didasarkan atas
wilayah hidrologi. Pengendali utama sistem
polder di La Briere adalah ruang air dan pintu
gerak. Dalam sistem ini air tidak hanya dibuang,
karena pada saat musim kemarau (summer) air
menjadi cadangan untuk kehidupan di area
tersebut. Pembagian berdasar wilayah hidrologi
La Briere adalah Marais Brivet, Marais Donges,
Marais Grande Briere Mottiere dan Marais Mes.
Wilayah tersebut dikendalikan oleh 4 (empat)

Riptek, Vol.4, No.I1, Tahun 2010, Hal.: 29 - 35


pintu principal yaitu Le Brivet, Le Priory, Le
Martigne dan la Taillee (contoh di gambar 2).
Kemudian ke arah hulu dikendalikan lagi oleh
pintu-pintu gerak sesuai keperluan antar wilayah
dan pengguna. Saluran dibagi menjadi saluran
primer, sekunder dan tersier. Untuk
pengendalian elevasi air juga mengacu kondisi
klimatologi setempat, terutama adalah curah
hujan dan elevasi air laut.

Organisasi yang mengelola elevasi air masuk


dalam pengelolaan infrastruktur dan lingkungan.
Organisasi ini dalam pelaksanaannya tergantung
dari keputusan Commune yang masing-masing
memiliki perwakilan dalam majelis (Anne L
Breton et al., 2008)
Sistem Polder Di Rotterdam, Belanda
Deskripsi Lokasi
Kota Rotterdam merupakan kota
terbesar di Belanda setelah Amsterdam, dengan
surface (luas): 33.700 ha, inhabitants (jumlah
penduduk): 730.000, municipalities (wilayah
administrasi): 15, companies (perusahaan):
18.000, deepest point below sea level (elevasi
darat terendah dari muka laut): -7 m NAP.
Wilayah ini ada di tepi Sungai Rhine yang
merupakan sungai besar lintas negara dimana
hulunya melintas negara Swiss dan Jerman.
Elevasi muka tanah di Rotterdam jauh
ada di bawah muka air laut (Sungai Rhine).
Muka air Sungai Rhine dikendalikan +2,2 SWL
(Sea Water Level). Sedangkan elevasi darat
ditunjukkan dalam gambar 4. Berdasar gambar
tersebut elevasi darat terendah mencapai -7 m
SWL, sehingga selisih muka air laut dan darat
9,2 m. Air yang ada dalam polder area tidak
dapat mengalir secara gravitasi, bahkan pada
saat kondisi air laut surut. Untuk itu metode
pembuangan air digunakan pompa saat ini. Pada
masa lalu metode untuk membuang air dari
darat ke sungai/laut menggunakan kincir angin
(Helmer et al., 2009).

Gambar 3
Pintu Gerak Roze dan Le Brivet,
Pengendali Elevasi Air di La Briere
(Eksperimen Peneliti)
Kelembagaan Pengelolaan Sistem Polder
La Briere
Secara kelembagaan, pengelola terdiri dari
perwakilan pengguna (majelis) dan Badan
Pelaksana. Majelis merupakan perwakilan
pemerintah (municipal), wilayah (commune),
kalangan pertanian, peternakan, permukiman,
juga ada representasi dari wakil rakyat (Elue).
Majelis memberikan garis besar pedoman
pengelolaan dan implementasinya. Keputusan
majelis dilaksanakan oleh Badan pelaksana
dalam hal ini adalah Parc Naturelle de la Briere.
Organisasi pengelolaan Parc Naturelle de La
Briere
diantaranya meliputi pengelolaan:
infrastruktur dan lingkungan (Environnement et
Amenagement), arsitektur ruang (Architecture
Urbanisme), lahan hijau (Entretien Espaces Verts),
turis dan budaya (Tourisme et Culturelle).

Gambar 4
Tinggi Muka Darat di Rotterdam
(Muka Air Laut Saat Pasang +2,2 M)
Infrastruktur Pengendali Elevasi Air
Tanggul yang ada di Sungai Rhine
direncanakan untuk ketinggian air maksimal
+2,2 m. Padahal elevasi muka air laut dapat
melebihi itu, untuk itu dibuat dua pintu gerak
besar. Yang pertama ada di dekat muara sungai
(gambar 5a). Pintu tersebut bergerak secara
horizontal. Pintu berikutnya untuk menjaga
keamanan dan mengendalikan elevasi air, dibuat

31

Perbandingan Penanganan Banjir Rob


di La Briere (Prancis), Rotterdam (Belanda)
dan Perspektif di Semarang (Indonesia)
pintu gerak sebagaimana dalam gambar 5b.
Pintu ini bergerak secara vertikal. Agar kapal
juga dapat lewat saat pintu di tutup, maka pintu
gerak ini dilengkapi dengan saluran pintu air.

(S. Imam Wahyudi)


angin. Pada masa lalu digunakan kincir air
(gambar 6).
Saat ini untuk membuang air dari
sistem polder ke sungai atau laut digunakan
pompa. Statiun pompa umumnya mengendalikan
hanya satu elevasi air, tetapi ada juga yang dapat
sekaligus mengendalikan 2 (dua) elevasi air dari
2 sistem polder (gambar 7).

Gambar 7
Station Pompa yang Mengendalikan 2
Elevasi Catchment Area yang Berbeda
(Arnoud Molenaar, 2008)

Gambar 5
Pintu Gerak Air di Muara Sungai Rhine
(a) dan Dekat Pusat Kota (B) Digunakan
untuk Menahan Kenaikan Air Laut

Gambar 6
Sebelum Pompa, Upaya Mengendalikan
Elevasi Air Dengan Kincir Angin
Untuk membuang air dari area polder
ke sungai atau laut digunakan pompa dan kincir

32

Kelembagaan Pengelolaan
Kelembagaan pengelolaan air di
Belanda memiliki kedudukan yang tinggi. Badan
pengelola air (water board) memiliki kedudukan
yang setara dengan municipality (walikota).
Gambar 8 mempresentasikan strata kedudukan
dari pemerintah Kerajaan Belanda, provinsi,
kota dan water board. Ketua dari badan tersebut
diangkat oleh kerajaan sama dengan walikota.

Gambar 8
Strata Badan Pengelola Air
di Kerajaan Belanda

Riptek, Vol.4, No.I1, Tahun 2010, Hal.: 29 - 35


Badan Pengelola Air sudah ada sejak
abad 13 dan dikenal organisasi demokratis
tertua di Belanda. Pada tahun 1850 jumlah
distrik badan pengelola ada 3500, tahun 1950
berkurang menjadi 2500 dan sekarang
disederhanakan menjadi 27 distrik badan
pengelola. Organisasi ini tujuan utamanya adalah
Together fighting against the water (berjuang
bersama melawan air).
Struktur tugas dari badan pengelola air di
Rotterdam adalah: Operation and maintenance
(Operasional dan pemeliharaan), Legislation
(permits)
and
enforcement
(Peraturan
Perundangan & Penegakan hukum), Inspection
(pengawasan), testing and monitoring (Menguji
dan memonitor), Preparation on climate change
(Persiapan menghadapi perubahan iklim),
Harmonization of Spatial Planning (memadukan
perencanaan tata ruang, Taxation (pembayaran/
pajak air)
Refleksi Sistem Polder Di Semarang
Deskripsi Lokasi
Permasalahan sistem drainase Kota
Semarang yang utama adalah karena kenaikan
muka air laut sebagai dampak dari pemanasan
global dan gejala penurunan elevasi tanah (Land
subsidence). Di samping itu juga karena
menurunnya kapasitas saluran drainase/banjir
yang disebabkan sedimentasi, sampah, bangunan
liar, meningkatnya beban drainase akibat alih
fungsi lahan yang tidak dikuti dengan
pengembalian fungsi resapan dan tampungan,
operasi dan pemeliharaan yang kurang optimal
dan penegakan hukum (law inforcement) masih
lemah (Nik Sutiyani et al., 2010).
Karena Semarang bawah datar dan
sebagian elevasi darat lebih rendah dari laut,
maka area ini menerima aliran air hujan dari
hulu, hujan setempat dan air pasang laut.
Beberapa sistem polder sederhana sudah
diaplikasikan di Kota Semarang diantaranya subsistem Bulu drain, Tanah Mas dan Tawang.
Namun sistem tersebut belum optimal
berfungsi diantaranya karena permasalahan daya
tampung kolam retensi, kondisi saluran dan
kapasitas
pompa,
serta
kelembagaan
pengelolaan sistem polder tersebut.
Rencana Infrastruktur Sistem Polder di
Semarang
Kota Semarang dari waktu ke waktu
elevasi tanah semakin lebih rendah dari elevasi
air laut. Sehingga mengalami banjir air pasang
(banjir rob). Untuk menanggulangi bencana
tersebut sungai yang membawa air dari wilayah
atas disalurkan langsung ke laut dengan talud
sungai yang relatif tinggi. Sedangkan sungai yang
mengalirkan air dari dalam kota secara gravitasi
tidak dapat menuju ke laut pada saat air laut
pasang. Untuk itu sungai tersebut di tutup dan

diisolasi dari aliran dari air laut, sehingga


memerlukan sistem polder.
Aliran air dari wilayah atas Kota
Semarang dialirkan melalui sungai yang
membatasi pusat kota Semarang yaitu sungai
Banjir Kanan barat (west floodway) dan Banjir
kanal timur (est floodway). Kemudian sistem
drainase antara kedua sungai tersebut
merupakan sungai dalam sistem polder. Sungai
principal drainase kota semarang yang
direncanakan dan dikonstruksi adalah Sungai
Semarang dengan rencana sistem polder dengan
stasiun pompa (Semarang Pumping Station)
dengan kapasitas 30 m3/s. Sedangkan sistem
polder yang juga dalam perencanaan dan
konstruksi adalah sistem polder Kali Banger
dengan stasiun pompa 6 m3/s.
Peta situasi Sistem Polder Kali
Semarang dapat dilihat dalam gambar 8. Antara
sungai dan laut ditutup oleh pintu gerak. Air
yang dari sungai ditampung di kolam sebelum
dipompa. Untuk itu disediakan station pompa
yang direncanakan memiliki kapasitas terbesar
yaitu 30 m3/s. didepan station pompa dilindungi
dengan talud yang sekaligus akan dijadikan
tempat untuk penampungan sedimen hasil
pengerukan kolam dan sedimen dari sungai di
sistem drainase Kali Semarang.

Gambar 9
Rencana Sistem Drainase Semarang
untuk Menanggulangi Kenaikan Air Laut
(Sumber Pemkot Semarang, Herman
Mondeel, 2010)
Polder Kali Banger memiliki catchment
area 675 Ha, adapun wilayah administrasi ada di
kecamatan Semarang Timur yang meliputi 9
Kelurahan
yaitu:
Kelurahan
Rejomulyo,
Kelurahan Mlati Baru, Kelurahan Mlatiharjo,

33

Perbandingan Penanganan Banjir Rob


di La Briere (Prancis), Rotterdam (Belanda)
dan Perspektif di Semarang (Indonesia)
Kelurahan Sari Rejo, Keluarahan Bugangan,
Kelurahan Rejo Sari, Kelurahan Karang Turi,
Kelurahan Karang Tempel dan Kelurahan
Kemijen.
Sistem Polder Kali Banger memiliki
komponen infrastruktur yang terdiri dari
(Herman Mondeel, 2010): Northern dike
(Pembangunan
Tanggul
Arteri
Utara),
melindungi kawasan Polder Kali Banger dari
muka air laut, Eastern dike (Pembangunan
Tanggul Banjir Kanal Timur) melindungi
kawasan Polder dari Sungai Banjir kanal Timur,
Dam Kali Banger (Pembangunan Bendung K.
Banger) yang akan menutup koneksi aliran dari
kawasan Polder dengan sungai dan laut,
Pumping
station
difungsikan
untuk
mengendalikan elevasi air karena kawasan
Polder ditutup bending, Retention basin (Kolam
Retensi) digunakan untuk pengendalian elevasi
air sistem polder sebelum dipompa. Elevasi air
dalam kolam retensi dikendalikan -2 m MSL.
Kelembagaan Pengelolaan
Kelembagaan untuk mengelola kawasan
polder diperlukan Badan Pengelola Polder,
Badan ini merupakan organisasi berbasis
stakeholder. Dalam pelaksanaan operasional
dan pemeliharaan, Badan ini perlu pelaksana
harian. Badan Pengelola Polder kali Banger,
sudah dibentuk melalui SK Walikota Semarang
yang kemudian dinamakan BPPB SIMA.
Tugas dari badan ini bekerja sesuai
tahapan manajemen konstruksi. Pada tahap
perencanaan supaya dapat mendampingi untuk
mendapatkan hasil perencanaan yang terpadu,
satu kawasan satu perencanaan. Pada tahap
pengambilan keputusan supaya dilakukan
bersama antara perwakilan masyarakat,
pemerintah dan sektor usaha. Pada tahap
pembangunan, mendampingi agar sesuai dengan
perencanaan dan mengakomodasi kepentingan
masyarakat. Dan tugas utama Badan ini adalah
saat operasional dan pemeliharaan baik secara
teknis, non-teknis dan pendanaan. Dengan
mengupayakan pendanaan dari pemerintah dan
menggali pendanaan dari masyarakat di kawasan
Polder diantaranya untuk kepedulian.
Bidang
pengelolaan
pada
tahap
operasional secara teknis dapat dibagi menjadi 3
yaitu: pengelolaan sampah dan sedimen,
pengelolaan elevasi air melalui pompa dan
pengelolaan tanggul. Dalam pelaksanaan
operasional dan pemeliharaan ini BPPB SIMA
memerlukan pelaksana harian.
Kesimpulan Dan Perspektif

34

Banjir Rob terjadi karena fenomena


kenaikan muka air laut dan penurunan
tanah. Diantaranya sudah ada sampel studi

(S. Imam Wahyudi)

di La Briere (Prancis), Rotterdam


(Belanda) dan Semarang (Indonesia)
Model penanganan dipilih adalah sistem
polder untuk mengisolasi aliran air laut
dan mengendalikan elevasi air dengan
pompa, saluran, kolam, tanggul dan
bendung atau pintu gerak.
Selain penanganan secara teknis, juga
sangat penting adalah kelembagaan
pengelolaan
utamanya
pada
tahap
operasional dan pemeliharaan untuk itu di
Semarang dibentuk Badan Pengelola
Polder Banger (BPPB) SIMA

Ucapan Terima Kasih


Ucapan terima kasih kepada DP2M DIKTI atas
Hibah Penelitian Kerja Sama Luar negeri,
Kemudian kepada HHSK Rotterdam Belanda,
Parc Naturel La Briere Prancis dan Pengelola
Polder SIMA Semarang Indonesia atas bantuan
data dan informasi.
DAFTAR PUSTAKA
Anne L Breton et Eric Beaudet. 2008.
Lutilisation Des Terreaux En Horticulture
Et La Rehabilitation Des Tourbieres.
Lecho des Tourbieres, No 15.
Annie Boulet. 2009. Leau Et Sa Gestion Dans Le
Parc Naturel Regional De Briere. Conseil
Scientifique du Parc Naturel de Briere,
France.
Arnoud Molenaar. 2008. Rotterdam Waterplan
Transition In Urban Water Management.
Rotterdam: Public Works, Water
Management Dept., March.
Billaud Jean-Paul. 2000. Gestion De Leauu Et
Formation Des Societies Locales. Estuaria,
CNRS, La Maison Du Port, Cordemais.
Delobbe George. 2008. Le Parc Naturel Regional
de Briere. Bibliotheque de Travail
Fondee, Ecole Moderne Francaise.
Helmer Johan et al., 2009. Rotterdam Polder
System and Plan of K. Banger Polder in
Semarang.
Waterboard
HHSK
Rotterdam
Herman Mondeel. 2010. Development Banger
Pilot Banger Semarang. Makalah
Seminar Pencanangan Banger Pilot
Polder, Semarang.
Lennon, G. P., et al. 1990. Predicting Incipient
Fluidization of Fine Sands in
Unbounded Domains. Journal of

Riptek, Vol.4, No.I1, Tahun 2010, Hal.: 29 - 35


Hydraulic Engineering, Vol. 116, No. 12,
pp. 1454.
MF. Niam, Radianta T., dan Nizam. 2002.
Simulasi Fluidisasi Dasar pada Saluran
dengan Aliran Permukaan untuk
Perawatan Muara dan Alur Pelayaran.
Tesis, Program Studi Teknik Sipil,
Pascasarjana UGM
Nik Sutiyani, dkk. 2010. Pencanangan Banger
Pilot Polder. Pemerintah Kota Semarang.
Pusair. 2007. Sistem Polder untuk Perkotaan
Rawan Air. Makalah Semiloka Pusair.
Rosdianti, Isma. 2009. Banjir dan Penerapan
Sistem Polder. (online) http://
www.bencanaalam.wordpress.com
Triatmadja R. 2001. Fluidisasi Dasar sebagai
Alternatif Metoda Perawatan Muara
Sungai dan Alur Pelayaran. Prosiding
Seminar Nasional Teknik Pantai, PSITUGM, pp. 94
Triatmodjo B. 1999. Teknik Pantai
Cet.I.Yogyakarta: Beta Offset

Wahyudi, S. Imam, dkk. 1999. Evaluasi


Penurunan Tanah di Areal Pelabuhan
Tanjung Emas Semarang. J. Pondasi,

ISSN 0853-814X, Vol. 5


Desember 1999, p. 67-74
Wahyudi, S. Imam, dkk. 2001.
Penanggulangan
Rob
Pekalongan.
Bappeda
Pekalongan

No.

Studi
Kota
Kota

Wahyudi, S. Imam. 2001. Uji Hipotesis


terhadap Faktor Penyebab Banjir Rob
Kota Semarang. Prosiding Seminar
Nasional ITS, ISBN, 979-96565-08,
p.A13-1 s/d A13-6
Wahyudi, S. Imam. 2009. Model Penanganan
Kenaikan Muka Air Laut Akibat Global
Warming. Laporan Penelitian, Hibah
Kompetensi, DP2M, DIKTI.
Weisman, R. N., et al. 1988. Experiment on
Fluidization in Unbounded Domain.
Journal of Hydraulic Engineering, Vol.
114, No. 5, pp. 502
Weisman, R. N., Lennon, G. P. 1994. Design of
Fluidizer
System
for
Coastal
Environment. Journal of Waterway
Port - Coastal and Ocean Engineering,
Vol. 120, No. 5, pp. 468.

35

Anda mungkin juga menyukai