Anda di halaman 1dari 16

Essay Farmasi Rumah Sakit

Medication Error

Disusun Oleh:
Kelompok 2
Linytha Silton

P17335114031

Ajeng Septhiani

P17335114034

Ghina Kholidaturizqi

P17335114036

Kartika Mutiara Ningtyas P17335114039


Mutia Quratu Ayuni

P17335114046

Dalfa Indriani

P17335114047

Siti Nurmanah

P17335114063
Kelas: 3A

JURUSAN FARMASI
POLITEKNIK KESEHATAN
BANDUNG
2016

1. Definisi
Medication error adalah setiap kejadian yang sebenarnya dapat dicegah
yang menyebabkan penggunaan obat tidak layak atau membahayakan pasien,
ketika obat berada diluar kontrol (Windarti, 2008). Berdasarkan Keputusan
Menteri Kesehatan No. 1027/MENKES/SK/IX/2004 Medication Error adalah
kejadian yang merugikan pasien akibat pemakaian obat selama dalam
penanganan tenaga kesehatan, yang sebetulnya dapat dicegah. Kesalahan
pengobatan biasa terjadi di rumah sakit dan kesalahan dapat terjadi pada setiap
tahap, dari mulai peresepan (dokter), melalui dispensing (apoteker atau staf
dispensing), untuk administrasi (staf keperawatan atau pasien sendiri)
(Muhtar, 2013).
2. Faktor-faktor Penyebab

Kesalahan medikasi (medication error) tentulah terjadi karena adanya


faktor-faktor tertentu. Menurut American Hospital Association, faktor
penyebab terjadinya medication error di antaranya, yaitu kondisi sumber daya
manusia Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS); belum diterapkannya
pelayanan farmasi klinik; tidak diterapkannya pedoman Cara Dispensing
Obat yang Baik (CDOB); kebijakan dan prosedur pengelolaan, pengendalian,
serta pelayanan obat yang tidak memadai; pelaksanaan sistem formularium
dan pengadaan formularium yang belum memadai; panitia Farmasi dan
Terapi (PFT) belum berdaya; belum terdapat standar pelayanan medis yang
tertuang dalam SOP; dan kesalahan komunikasi (communication errors).
Sumber daya manusia IFRS menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya
medication error. Apabila jumlah dan mutu apoteker tidak memadai, maka
kesalahan pengobatan semakin besar, karena apoteker atau pekerja
profesional dalam bidang kefarmasian menjadi salah satu penanggung jawab
dalam hal pengobatan. Masalah SDM seringkali di kaitkan dengan
kredibilitas rumah sakit, maka dari itu keberadaan para professional
kesehatan menjadi sorot utama dalam penanganan masalah kesehatan.
Pelayanan farmasi klinik merupakan suatu kegiatan jaminan mutu
pelayanan obat kepada pasien. Dalam pelayanan ini, apoteker memiliki
tanggung jawab sebagai upaya pencapaian dan peningkatan kesehatan pasien

dan mutu kehidupannya. Jika pelayanan ini tidak diterapkan di rumah sakit,
maka tidak menutup kemungkinan kesalahan obat atau masalah yang
berkaitan dengan obat akan banyak terjadi.
Faktor selanjutnya, yaitu apabila berbagai kegiatan dalam CDOB tidak
dilakukan, seperti: interpretasi resep, riwayat pengobatan pasien, pemberian
informasi yang tidak lengkap pada etiket, kurangnya informasi pada perawat,
dapat menyebabkan terjadinya kesalahan baik oleh dokter, apoteker, perawat,
maupun pasien. Kebijakan dan prosedur juga sangat penting serta berguna
karena merupakan penuntun untuk melaksanakan pengelolaan, pengendalian,
dan pelayanan obat yang efektif dan efisien di rumah sakit. Kurangnya
kebijakan dan prosedur tersebut di rumah sakit dapat berkontribusi pada
kesalahan medikasi di rumah sakit.
Sistem formularium yang belum diterapkan, mengakibatkan formularium
tidak akomodatif bagi pasien. Jumlah, jenis mutu obat serta penggunaan di
rumah sakir tidak terkendali, dan kondisi tersebut dapat menyebabkan
kesalahan obat. Formularium rumah sakit dibentuk oleh Tim Farmasi dan
Terapi, namun apabila TFT tidak berjalan dengan baik, seperti sistem
formularium tidak terlaksana, formularium tidak baik, dan pengembangan
kebijakan serta prosedur berkaitan dengan obat sangat lambat. Hal-hal
tersebut dapat berkontribusi pada kesalahan medikasi di rumah sakit.
Standar Operasional Prosedur (SOP) dibuat sebagai pedoman
penatalaksanaan kegiatan di rumah sakit, apabila ketentuan standar pelayanan
medis tidak tertuang di dalamnya, maka tidak ada acuan baku dalam
penatalaksanaan suatu penyakit dengan baik. Misalnya penatalaksanaan
malaria baik oleh tenaga mikroskopis maupun tenaga medis hanya didasarkan
atas pengalaman.
Selain adanya ketidak beraturan internal, kesalahan komunikasi kepada
pasien juga sangat berpengaruh terhadap kejadian medication error.
Kesalahan

komunikasi

dapat

terjadi

akibat

kurangnya

kemampuan

dokter/apoteker dalam berkomunikasi dengan pasien. Dapat juga diakibatkan


karena pasien tidak memberitahukan gejala penyakit yang dirasakannya
dengan jelas.

Selain hal-hal tersebut, tingkat pengetahuan juga berpengaruh untuk


keberhasilan pengobatan. Apabila pengetahuan pasien dan professional
tentang obat kurang memadai, maka akan menyebabkan ketidakpatuhan
pasien dan salah penggunaan obatnya. Sedangkan, profesional kesehatan
yang memiliki pengetahuan kurang terhadap obat dapat menyebabkan
kesalahan pemilihan obat yang tepat bagi pasien.
Beberapa faktor penyebab kesalahan obat yang umum terjadi di rumah
sakit biasanya terkait penandaan obat seperti, kekuatan obat pada etiket atau
dalam kemasan yang membingungkan, nama atau bunyi nama obat yang
terlihat mirip, contohnya penamaan obat yang mirip dan atau kemasan yang
menyerupai kemasan obat lain. Kemudian kesalahan alat, contohnya pompa
intravena dimana katupnya tidak berfungsi, menyebabkan periode pemberian
obat menjadi terlalu cepat.
Kesalahan pengobatan tentunya tidak hanya terjadi karena adanya
kesalahan di Instalasi Farmasi, namun dokter atau professional lain juga turut
memberikan dampak pada kesalahan medikasi, seperti tulisan tangan tidak
terbaca, penulisan kembali resep atau order dokter yang tidak tepat,
perhitungan dosis yang tidak teliti, kesalahan diagnosis, menggunakan
singkatan yang tidak tepat dalam penulisan resep, misalnya: singkatan U
(unit) untuk insulin dan pitosin dapat menyebabkan kesalahan pembacaan
menjadi 0 yang menyebabkan overdosis yang berbahaya; singkatan IU
(International Unit) dapat terbaca sebagai IV (intravena) atau 10; singkatan
q.d. (quaque die) yang berarti setiap hari dapat menyebabkan kesalahan
pembacaan menjadi qid (quarter in die atau empat kali sehari) atau qod
(setiap hari yang berbeda); angka desimal seharusnya tidak ditulis (angka 1.0
dapat terbaca sebagai 10 akibat tanda desimalnya berada pada garis keras
resep). Kesalahan penulisan etiket, beban kerja berlebihan, serta obat-obatan
yang tidak tersedia. Faktor-faktor tersebut tentunya sangat rentan terjadi pada
sebagian orang apabila tidak dihindari, hal ini akan berdampak pada
kredibilitas para profesional medis dan rumah sakit, bahkan dapat
membahayakan pasien.

3. Penanganan

Sejumlah pasien dapat mengalami cedera atau mengalami insiden pada


saat memperoleh layanan kesehatan, khususnya terkait penggunaan obat yang
dikenal dengan medication error. Di rumah sakit dan sarana pelayanan
kesehatan lainnya, kejadian medication error dapat dicegah jika melibatkan
pelayanan farmasi klinik dari apoteker yang sudah terlatih. Saat ini di negaranegara

maju

sudah

ada

apoteker

dengan

spesialisasi

khusus

menangani medication safety.


Peran Apoteker Keselamatan Pengobatan (Medication Safety Pharmacist)
meliputi : mengelola laporan medication error, mengidentifikasi pelaksanaan
praktek profesi terbaik untuk menjamin medication safety, mendidik staf dan
klinisi terkait lainnya untuk menggalakkan praktek pengobatan yang aman,
berpartisipasi dalam komite/tim yang berhubungan dengan medication safety,
terlibat didalam pengembangan dan pengkajian kebijakan penggunaan obat,
dan memonitor kepatuhan terhadap standar pelaksanaan Keselamatan Pasien
yang ada.
Peran apoteker dalam mengelola laporan medication error adalah
membuat kajian terhadap laporan insiden yang masuk, dan mencari akar
permasalahan dari error yang terjadi. Mengidentifikasi pelaksanaan praktek
profesi terbaik untuk menjamin medication safety dengan cara menganalisis
pelaksanaan praktek yang menyebabkan medication error,mengambil langkah
proaktif untuk pencegahan, dan memfasilitasi perubahan proses dan sistem
untuk menurunkan insiden yang sering terjadi atau berulangnya insiden
sejenis. Apoteker berperan juda dalam mendidik staf dan klinisi terkait
lainnya untuk menggalakkan praktek pengobatan yang aman dengan
mengembangkan program pendidikan untuk meningkatkan medication safety
dan kepatuhan terhadap aturan/SOP yang ada. Apoteker juga dapat
berpartisipasi dalam Komite/tim yang berhubungan dengan medication safety
seperti Komite Keselamatan Pasien RS dan komite terkait lainnya. Apoteker
memonitor kepatuhan terhadap standar pelaksanaan Keselamatan Pasien yang
ada seperti kegiatan farmasi klinik yang sangat diperlukan terutama pada
pasien yang menerima pengobatan dengan risiko tinggi. Keterlibatan apoteker

dalam tim pelayanan kesehatan perlu didukung mengingat keberadaannya


melalui kegiatan farmasi klinik terbukti memiliki konstribusi besar dalam
menurunkan insiden/kesalahan.
Apoteker harus berperan dalam semua tahapan pengelolaan perbekalan
farmasi seperti pemilihan, pengadaan, dan penyimpanan. Pada tahap
pemilihan perbekalan farmasi, risiko insiden/error dapat diturunkan dengan
pengendalian

jumlah

item

obat

dan

penggunaan

obat-obat

sesuai

formularium. Pengadaan harus menjamin ketersediaan obat yang aman,


efektif, dan sesuai peraturan yang berlaku (legalitas) dan diperoleh dari
distributor resmi. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penyimpanan untuk
menurunkan kesalahan pengambilan obat dan menjamin mutu obat adalah
penyimpanan obat dengan nama, tampilan dan ucapan mirip (lookalike, sound-alike medication names) secara terpisah; obat di simpan sesuai
dengan

persyaratan

penyimpanan;

memperhatikan

obat-obat

dengan

peringatan khusus (high alert drugs) yang dapat menimbulkan cedera jika
terjadi kesalahan pengambilan, simpan di tempat khusus. Obat-obat yang
memerlukan perhatian khusus diantaranya cairan elektrolit pekat seperti KCl
injeksi, heparin, warfarin, insulin, kemoterapi, narkotik opiat, neuromuscular
blocking agents, thrombolitik, dan agonis adrenergik, serta kelompok obat
antidiabet jangan disimpan tercampur dengan obat lain secara alfabetis, tetapi
tempatkan secara terpisah.
Selain dalam proses pengelolaan perbekalan farmasi apoteker juga dapat
melakukan pencegahan medication error dengan melakukan pelayanan
kelinik, seperti skrining resep; dispensing; Komunikasi, Informasi dan
Edukasi (KIE); penggunaan obat; monitoring dan evaluasi.
Apoteker dapat berperan nyata dalam pencegahan terjadinya medication
error melalui kolaborasi dengan dokter dan pasien. Apoteker tidak boleh
membuat asumsi pada saat melakukan interpretasi resep dokter. Untuk
mengklarifikasi ketidaktepatan atau ketidak jelasan resep, singkatan, hubungi
dokter penulis resep. Apoteker harus mendapatkan informasi mengenai pasien
sebagai petunjuk penting dalam pengambilan keputusan pemberian obat,
seperti : data demografi (umur, berat badan, jenis kelamin) dan data klinis

(alergi, diagnosis dan hamil/menyusui) dan hasil pemeriksaan pasien (fungsi


organ, hasil laboratorium, tanda-tanda vital dan parameter lainnya. Strategi
lain untuk mencegah kesalahan obat dapat dilakukan dengan penggunaan
otomatisasi (automatic stop order), sistem komputerisasi (eprescribing) dan
pencatatan pengobatan pasien. Permintaan obat secara lisan hanya dapat
dilayani dalam keadaan emergensi dan itupun harus dilakukan konfirmasi
ulang untuk memastikan obat yang diminta benar, dengan mengeja nama obat
serta memastikan dosisnya. Informasi obat yang penting harus diberikan
kepada petugas yang meminta/menerima obat tersebut. Petugas yang
menerima permintaan harus menulis dengan jelas instruksi lisan setelah
mendapat konfirmasi.
Pada saat dispensing peracikan obat dilakukan dengan tepat sesuai dengan
SOP. Pemberian etiket yang tepat. Etiket harus dibaca minimum tiga kali :
pada saat pengambilan obat dari rak, pada saat mengambil obat dari wadah,
pada saat mengembalikan obat ke rak. Pemeriksaan meliputi kelengkapan
permintaan, ketepatan etiket, aturan pakai, pemeriksaan kesesuaian resep
terhadap obat, kesesuaian resep terhadap isi etiket.
Edukasi dan konseling kepada pasien harus diberikan mengenai hal-hal
yang penting tentang obat dan pengobatannya. Hal-hal yang harus
diinformasikan dan didiskusikan pada pasien antara lain pemahaman yang
jelas mengenai indikasi penggunaan dan bagaimana menggunakan obat
dengan benar, harapan setelah menggunakan obat, lama pengobatan, kapan
harus kembali ke dokter; peringatan yang berkaitan dengan proses
pengobatan; kejadian Tidak Diharapkan (KTD) yang potensial, interaksi obat
dengan obat lain dan makanan harus dijelaskan kepada pasien; reaksi obat
yang tidak diinginkan (Adverse Drug Reaction ADR) yang mengakibatkan
cedera pasien, pasien harus mendapat edukasi mengenai bagaimana cara
mengatasi kemungkinan terjadinya ADR tersebut; penyimpanan dan
penanganan obat di rumah termasuk mengenali obat yang sudah rusak atau
kadaluarsa. Ketika melakukan konseling kepada pasien, apoteker mempunyai
kesempatan untuk menemukan potensi kesalahan yang mungkin terlewatkan
pada proses sebelumnya.

Apoteker harus berperan dalam proses penggunaan obat oleh pasien rawat
inap di rumah sakit dan sarana pelayanaan kesehatan lainnya, bekerja sama
dengan petugas kesehatan lain agar tepat pasien, tepat indikasi, tepat waktu
pemberian, tepat obat, tepat dosis, tepat label obat (aturan pakai), tepat rute
pemberian.
Apoteker harus melakukan monitoring dan evaluasi untuk mengetahui
efek terapi, mewaspadai efek samping obat, memastikan kepatuhan pasien.
Hasil monitoring dan evaluasi didokumentasikan dan ditindaklanjuti dengan
melakukan perbaikan dan mencegah pengulangan kesalahan. Seluruh
personal yang ada di tempat pelayanan kefarmasian harus terlibat didalam
program keselamatan pasien khususnya medication safety dan harus secara
terus menerus mengidentifikasi masalah dan mengimplementasikan strategi
untuk meningkatkan keselamatan pasien.
Untuk mencegah kesalahan pemberian obat farmasis harus membaca label
obat dengan teliti, karena banyak produk tersedia dalam kotak,warna dan
bentuk yang sama. Pertanyakan kembali apabila ada pemberian banyak tablet
atau vial untuk dosis tunggal karena kebanyakan dosis tunggal terdiri dari
satu atau dua tablet atau kapsul atau satu vial dosis tunggal. Waspada obatobatan bernama sama, karena banyak nama obat yang terdengar sama
(misalnya digoxin dan digitoxin). Jangan beri obat yang di programkan
dengan nama pendek atau singkatan yang tidak resmi. Banyak dokter
menggunakan nama pendek atau singkatan tidak resmi untuk obat yang sering
di programkan. Apabila perawat atau ahli farmasi tidak mengenal singkatan
tersebut obat yang diberikan atau dikeluarkan bisa salah. Jangan berupaya
menguraikan dan mengartikan tulisan yang tidak dapat di baca. Apabila
ragu tanya ke dokter kesempatan terjadinya interprestasi kecuali, perawat
mempertanyakan program obat yang sulit di baca.
Cermati angka belakang koma, karena beberapa obat tersedia dalam
jumlah yang merupakan perkalian satu sama lain (contoh: tablet cumadin
dalam tablet 2,5 dan 25mg). Pertanyakan apabila terdapat peningkatan dosis
yang tiba-tiba dan berlebihan, karena kebanyakan dosis di programkan secara
bertahap supaya dokter dapat memantau efek teraupetik dan responnya.

Ketika suatu obat baru atau obat yang tidak lazim di programkan, maka harus
di konsultasikan kepada sumbernya. Jika dokter tidak lazim dengan obat
tersebut maka resiko pemberian dosis yang tidak akurat menjadi lebih besar.
Kenali klien yang memiliki nama sama juga minta klien, menyebutkan
nama lengkapnya, cermati nama yang tertera pada tanda pengenalan. Sering
kali satu atau dua klien memiliki nama akhir yang sama atau mirip label
khusus pada buku, obat dapat memberi peringatan tentang peringatan masalah
yang potensi. Saat tergesa-gesa salah baca ekuivalen mudah terjadi. Contoh:
di baca milligram padahal mililiter.
4. Klasifikasi Medication Error
National Coordinating Council for Medication error Reporting and
Prevention (NCC MERP) mengklasifikasikan medication error berdasarkan
tingkat keparahan hasil dari pasien. Kesalahan yang dekat juga di
klasifikasikan sebagai kesalahan potensial yang berhak mendapat sistem yang
luas dan mengarah ke perbaikan. Kategori medication error antara lain no
error (Kategori A) yang merupakan kejadian yang menyebabkan terjadinya
error; error no harm yang terbagi menjadi Kategori B dimana error yang
terjadi tetapi obat belum mencapai pasien, Kategori C yaitu error terjadi
dimana obat sudah mencapai pasien tetapi tidak menimbulkan risiko, dan
Kategori D yaitu error yang terjadi dan konsekuensinya diperlukan
monitoring terhadap pasien tetapi tidak menimbulkan risiko (harm) pada
pasien; error harm yang terbagi menjadi Kategori E yaitu error terjadi dan
pasien memerlukan terapi atau pada intervensi serta menimbulkan harm pada
pasien yang bersifat seentara, Kategori F yaitu error terjadi dan pasien
memerlukan perawatan atau perpanjangan perawatan di rumah sakit disertai
cacat yang bersifat sementara, Kategori G yaitu Error terjadi dan
menyebabkan resiko (harm) permanen, dan juga Ketegori H yaitu error terjadi
dan nyaris menimbulkan kematian (misalnya anafilaksis, henti jantung);
selanjutnya error death (Kategori I) yaitu error terjadi dan menyebabkan
kematian pasien.
Kejadian medication error dibagi dalam 4 fase, yaitu fase prescribing,
fase transcribing,

fase dispensing, dan

fase administrasion oleh

pasien

(Cohen,1991).

Prescribing

Errors

adalah

Medication

error pada

fase prescribing yaitu error yang terjadi pada fase penulisan resep. Misalnya
Kesalahan resep, resep atau order obat yang tidak terbaca. Resep terdapat
kesalahan karena dosis tidak benar, indikasi tidak diobati, penggunaan obat
yang tidak diperlukan.
Seleksi obat (didasarkan pada indikasi, kontraindikasi, alergi yang
diketahui, terapi obat yang ada, dan faktor lain), dosis, bentuk sediaan, mutu,
rute, konsentrasi, kecepatan pemberian, atau instruksi untuk menggunakan
suatu obat yang diorder atau diotorisasi oleh dokter (atau penulis lain yang
sah) yang tidak benar. Seleksi obat yang tidak benar misalnya seorang pasien
dengan infeksi bakteri yang resisten terhadap obat yang ditulis untuk pasien
tersebut. Resep atau order obat yang tidak terbaca yang menyebabkan
kesalahan yang sampai pada pasien.
Fase ini terdiri dari yang pertama, yaitu kesalahan karena yang tidak
diotorisasi. Pemberian kepada pasien, obat yang tidak diotorisasi oleh seorang
penulis resep yang sah untuk pasien. Mencakup suatu obat yang keliru, suatu
dosis diberikan kepada pasien yang keliru, obat yang tidak diorder, duplikasi
dosis, dosis diberikan di luar pedoman atau protokol klinik yang telah
ditetapkan, misalnya obat diberikan hanya bila tekanan darah pasien turun di
bawah suatu tingkat tekanan yang ditetapkan sebelumnya.
Kemudian yang kedua, yaitu lesalahan karena dosis tidak benar.
Pemberian kepada pasien suatu dosis yang lebih besar atau lebih kecil dari
jumlah yang diorder oleh dokter penulis resep atau pemberian dosis duplikat
kepada pasien, yaitu satu atau lebih unit dosis sebagai tambahan pada dosis
obat yang diorder. Selanjutny, yaitu kesalahan karena indikasi tidak diobati.
Kondisi medis pasien memerlukan terapi obat tetapi tidak menerima suatu
obat untuk indikasi tersebut. Misalnya seorang pasien hipertensi atau
glukoma tetapi tidak menggunakan obat untuk masalah ini. Lalu yang terakhir
adalah kesalahan karena penggunaan obat yang tidak diperlukan. Pasien
menerima suatu obat untuk suatu kondisi medis yang tidak memerlukan terapi
obat.

Transcription Error adalah medication error pada fase transcribing


dimana kesalahan terjadi pada saat pembacaan resep untuk proses dispensing,
antara lain salah membaca resep karena tulisan yang tidak jelas. Salah dalam
menterjemahkan order pembuatan resep dan signature. Misalkan kesalahan
karena pemantauan yang keliru, yaitu Gagal mengkaji suatu regimen tertulis
untuk ketepatan dan pendeteksian masalah, atau gagal menggunakan data
klinik atau data laboratorium untuk pengkajian respon pasien yang memadai
terhadap terapi yang ditulis. Kemudian kesalahan karena ROM (Reaksi Obat
Merugikan), yaitu Pasien mengalami suatu masalah medis sebagai akibat dari
ROM atau efek samping dan reaksi diharapkan atau tidak diharapkan, seperti
ruam dengan suatu antibiotik, pasien memerlukan perhatian pelayanan medis.
Kemudian yang terakhir adalah kesalahan karena interaksi obat, yaitu Pasien
mengalami masalah medis, sebagai akibat dari interaksi obat-obat, obatmakanan, atau obat-prosedur laboratorium.
Administration Error adalah kesalahan pada fase administration dimana
kesalahan terjadi pada proses penggunaan obat. Terjadi pada obat yang
memerlukan perlakuan khusus, biasanya terjadi karena kesalahan pada TTK
dan pasien atau keluarganya. Misalkan kesalahan karena lalai memberikan
obat, waktu pemberian yang keliru, teknik pemberian yang keliru, tidak
patuh, rute pemberian tidak benar, gagal menerima obat.
Dispensing Error adalah kesalahan pada fase dispensing yaitu terjadi pada
saat penyiapan hingga penyerahan resep oleh petugas apotek. Salah satu
kemungkinan terjadinya error adalah salah dalam mengambil obat dari rak
penyimpanan karena kemasan atau nama obat yang mirip atau dapat pula
terjadi karena berdekatan letaknya. Selain itu, salah dalam menghitung
jumlah tablet yang akan diracik, ataupun salah dalam pemberian informasi.
Misalnya, kesalahan karena bentuk sediaan seperti pemberian kepada pasien
suatu sediaan obat dalam bentuk berbeda dari yang diorder oleh dokter
penulis atau penggerusan tablet lepas lambat, termasuk kesalahan. Kemudian
kesalahan karena pembuatan/penyiapan obat yang keliru. Misalnya,
pengenceran yang tidak benar, atau rekonstitusi suatu sediaan yang tidak
benar, tidak mengocok suspensi, mencampur obat-obat yang secara fisik atau

kimia inkompatibel, penggunaan obat kadaluarsa, tidak melindungi obat


terhadap pemaparan cahaya. Selanjutnya adalah kesalahan karena pemberian
obat yang rusak (obat telah kadaluarsa atau keutuhan fisik atau kimia bentuk
sediaan telah membahayakan).
Menurut American Hospital Association, medication error antara lain
dapat terjadi pada situasi berikut antara lain informasi pasien yang tidak
lengkap, misalnya tidak ada informasi tentang riwayat alergi dan penggunaan
obat sebelumnya; tidak diberikan informasi obat yang layak, misalnya cara
minum atau menggunakan obat, frekuensi dan lama pemberian hingga
peringatan jika timbul efek samping; kesalahan komunikasi dalam peresepan,
misalnya interpretasi apoteker yang keliru dalam membaca resep dokter,
kesalahan membaca nama obat yang relatif mirip dengan obat lainnya,
kesalahan membaca desimal, pembacaan unit dosis hingga singkatan
peresepan yang tidak jelas (q.d atau q.i.d/QD); pelabelan kemasan obat yang
tidak jelas sehingga berisiko dibaca keliru oleh pasien; dan faktor-faktor
lingkungan, seperti ruang apotek/ruang obat yang tidak terang, hingga
suasana tempat kerja yang tidak nyaman yang dapat mengakibatkan
timbulnya medication error.
5. Menurunkan Terjadinya Medication Error
Meningkatkan keselamatan pasien serta
medication

error

bisa

dilakukan

dengan

menurunkan

terjadinya

meningkatkan

pelayanan

kefarmasian. Merurut Permenkes 58 tahun 2014, Standar Pelayanan


Kefarmasian di Rumah Sakit meliputi standar pengelolaan Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai; dan pelayanan farmasi klinik.
Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
sebagaimana

dimaksud

adalah

pemilihan,

perencanaan

kebutuhan,

pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pemusnahan dan


penarikan, pengendalian dan administrasi. Pelayanan farmasi klinik yang
dimaksud adalah pengkajian dan pelayanan Resep, penelusuran riwayat
penggunaan Obat, rekonsiliasi Obat, Pelayanan Informasi Obat (PIO),
konseling, visite, Pemantauan Terapi Obat (PTO), Monitoring Efek Samping

Obat (MESO), Evaluasi Penggunaan Obat (EPO), dispensing sediaan steril


dan Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD).
Menurut UU No.44 tahun 2009 keselamatan pasien adalah proses dalam
suatu rumah sakit yang memberikan pelayanan pasien yang lebih aman.
Mencegah terjadinya medication error atau adverce event atau near miss
dengan melakukan pelaporan insiden kemudian meganalisa insiden dan
menerapkan penyelesaian masalahnya agar masalah tidak terulang kembali.
Pelaporan kepada komite keselamatan pasien.
6. Contoh Kasus Medication Error
a. Kesalahan Peresepan
Kasus: Tokoh Joker, tokoh psikopat dengan peran antagonis ini
diperankan oleh Heath Ledger. Aktor kelahiran Perth, 4 April 1979
tersebut ditemukan dalam keadaan tidak sadar di apartemennya pada 22
Januari 2008. Petugas medis segera datang namun nyawa Ledger tidak
berhasil diselamatkan. Setelah dilakukan otopsi menyeluruh, para dokter
menyimpulkan penyebab kematian Ledger adalah karena terlalu banyak
mengonsumsi obat resep dokter. Aktor ini dinyatakan mempunyai masalah
susah tidur yang membuatnya merasa gelisah. Polisi setempat menyatakan
Ledger sama sekali tidak mengkonsumsi obat terlarang, namun mereka
menemukan bermacam resep dokter. Sebagaimana dinyatakan petugas
medis di New York City, Ledger mengalami overdosis peresepan
kombinasi xycodone, hydrocodone, diazepam, temazepam, alprazolam,
dan doxylamine. Tidak dapat dipungkiri kejadian ini mendongkrak
popularitas film Batman: The Dark Knight disamping karena ceritanya
yang menarik.
Solusi: Kasus ini disebabkan karena kesalahan dokter, dalam hal ini
dokter kurang melakukan seleksi obat. Seleksi obat oleh dokter seharusnya
dilakukan didasarkan pada indikasi, kontraindikasi, alergi yang diketahui,
terapi obat yang ada, dan faktor lain, dosis, bentuk sediaan, mutu, rute,
konsentrasi, kecepatan pemberian, dan lain-lain.
b. LASA
Kasus: Loretta Macpherson (65) seorang pasien pengidap kanker otak
meninggal di St. Charles Medical Centre, Oregon USA akibat kesalahan

pemberian obat oleh tenaga medis pada bulan Desember 2014 yang lalu.
Loretta yang seharusnya menerima obat anti kejang justru menerima obat
pelumpuh. Dokter Boileau yang menangani Loretta mengatakan dia benar
diresepkan fosfenitoin untuk mengurangi kejang tetapi seorang pekerja
farmasi kemudian keliru mengisi kantong IV berlabel fosfenitoin dengan
obat melumpuhkan disebut rocuronium.
Solusi: Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penyimpanan untuk
menurunkan

kesalahan

pengambilan

obat

salah

satunya

dengan

menyimpan obat dengan nama, tampilan dan ucapan mirip (lookalike, sound-alike medication names) secara terpisah. Metode Tall man
digunakan untuk membedakan huruf yang tampaknya sama dengan obat
yang mirip. Dengan memberi huruf kapital, maka petugas akan lebih
berhati-hati dengan obat yang lasa. Di US, beberapa studi menunjukkan
penggunaan huruf kapital ini terbukti mengurangi error akibat nama obat
yang look-alike. contohnya: metFORmin dan metRONIdaZOL, ePINEFrin
dan efeDRIN. Seminimal mungkin kesalahan sampai 0%.
c. Kesalahan Penggunaan Obat
Kasus: Kejadian ini terjadi di Aceh pada bulan Desember 2013 yang
lalu. Mariana (39) warga Gampong Meurandeh, Langsa Lama mulanya
membawa bayinya yang baru berumur 34 hari ke RSUD Langsa setelah
mendapat rujukan dari dr.Nursal akibat diare yang dialami sang anak.
Malangnya, seorang perawat akademi kebidanan (akbid) yang masih
praktek lapangan di rumah sakit tersebut, asal-asalan menyuntikkan obat
ke infus anaknya. Akibatnya bayi tersebut mengalami muntah-muntah dan
lemas serta perut kembung dan nyaris tewas. Perawat akbid tersebut ngotot
memberikan ranitidin dan norages kepada bayi tersebut atas perintah
perawat bakti berinisial CM. Ternyata obat tersebut bukan buat anak saya,
tapi pasien lain. Ini namanya malpraktek karena kesalahan yang fatal,
Lihat kondisi anak saya saat ini lemas dan muntah-muntah terus, tutur
Mariana lagi yang juga bekerja sebagai perawat. Meskipun CM
membantah dan terkesan tidak terima atas kasus ini namun tidakannya

tetap merupakan pelanggaran terhadap instruksi dr. Nursal yang hanya


menyuruh melakukan infus saja tanpa suntikan apapun.
Solusi: Apoteker harus berperan dalam proses penggunaan obat oleh
pasien rawat inap di rumah sakit dan sarana pelayanaan kesehatan lainnya,
bekerja sama dengan petugas kesehatan lain. Hal yang perlu diperhatikan
adalah tepat pasien, tepat indikasi, tepat waktu pemberian, tepat obat, tepat
dosis, tepat label obat (aturan pakai), dan tepat rute pemberian.

DAFTAR PUSTAKA
Cohen, M.R.,, 1991, Causes of Medication Error, in: Cohen. M.R.,
(Ed), Medication Error, American Pharmaceutical Association, Washington,
DC.
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. 2009. Undang-undang Nomor 44
Tahu 2009 Tentang Rumah Sakit. Jakarta: Departemen Kesehatan RI
Direktorat Jendral Pelayanan Farmasi dan Alat Kesehatan. 2006. Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1027 Tahun 2004 Tentang
Standar Pelayanan Kefaramasian di Apotek. Jakarta: Menteri Kesehatan
Republik Indonesia
Kozier, Barbara. 2000. Fundamental of Nursing: Concept, Prosess, and Practice:
Sixh edition. Menlo Park, California
Mukhtar, Ansari dan Sen Abhishek. 2013. Evaluation of Look-Alike and SoundAlike Medicines and Diapensing Errors In A Tertiary Care Hospital Pharmacy
of Eastern. Nepal: Internasional Journal Pharmacy

Menkes RI. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 58 Tahun 2014 Tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI
National Coordinating Council for Medication Error Reporting and Prevention
(2011). Medication Error. http://www.nccmerp.org/aboutMedErrors.html.
Diakses pada 9 November pukul 09.54.
Windarti, M.I. 2008. Strategi Mencapai Keamanan Pemberian Obat Dalam
Buku Suharjo dan Cahyono. Yogyakarta: Ikappi.

Anda mungkin juga menyukai