Medication Error
Disusun Oleh:
Kelompok 2
Linytha Silton
P17335114031
Ajeng Septhiani
P17335114034
Ghina Kholidaturizqi
P17335114036
P17335114046
Dalfa Indriani
P17335114047
Siti Nurmanah
P17335114063
Kelas: 3A
JURUSAN FARMASI
POLITEKNIK KESEHATAN
BANDUNG
2016
1. Definisi
Medication error adalah setiap kejadian yang sebenarnya dapat dicegah
yang menyebabkan penggunaan obat tidak layak atau membahayakan pasien,
ketika obat berada diluar kontrol (Windarti, 2008). Berdasarkan Keputusan
Menteri Kesehatan No. 1027/MENKES/SK/IX/2004 Medication Error adalah
kejadian yang merugikan pasien akibat pemakaian obat selama dalam
penanganan tenaga kesehatan, yang sebetulnya dapat dicegah. Kesalahan
pengobatan biasa terjadi di rumah sakit dan kesalahan dapat terjadi pada setiap
tahap, dari mulai peresepan (dokter), melalui dispensing (apoteker atau staf
dispensing), untuk administrasi (staf keperawatan atau pasien sendiri)
(Muhtar, 2013).
2. Faktor-faktor Penyebab
dan mutu kehidupannya. Jika pelayanan ini tidak diterapkan di rumah sakit,
maka tidak menutup kemungkinan kesalahan obat atau masalah yang
berkaitan dengan obat akan banyak terjadi.
Faktor selanjutnya, yaitu apabila berbagai kegiatan dalam CDOB tidak
dilakukan, seperti: interpretasi resep, riwayat pengobatan pasien, pemberian
informasi yang tidak lengkap pada etiket, kurangnya informasi pada perawat,
dapat menyebabkan terjadinya kesalahan baik oleh dokter, apoteker, perawat,
maupun pasien. Kebijakan dan prosedur juga sangat penting serta berguna
karena merupakan penuntun untuk melaksanakan pengelolaan, pengendalian,
dan pelayanan obat yang efektif dan efisien di rumah sakit. Kurangnya
kebijakan dan prosedur tersebut di rumah sakit dapat berkontribusi pada
kesalahan medikasi di rumah sakit.
Sistem formularium yang belum diterapkan, mengakibatkan formularium
tidak akomodatif bagi pasien. Jumlah, jenis mutu obat serta penggunaan di
rumah sakir tidak terkendali, dan kondisi tersebut dapat menyebabkan
kesalahan obat. Formularium rumah sakit dibentuk oleh Tim Farmasi dan
Terapi, namun apabila TFT tidak berjalan dengan baik, seperti sistem
formularium tidak terlaksana, formularium tidak baik, dan pengembangan
kebijakan serta prosedur berkaitan dengan obat sangat lambat. Hal-hal
tersebut dapat berkontribusi pada kesalahan medikasi di rumah sakit.
Standar Operasional Prosedur (SOP) dibuat sebagai pedoman
penatalaksanaan kegiatan di rumah sakit, apabila ketentuan standar pelayanan
medis tidak tertuang di dalamnya, maka tidak ada acuan baku dalam
penatalaksanaan suatu penyakit dengan baik. Misalnya penatalaksanaan
malaria baik oleh tenaga mikroskopis maupun tenaga medis hanya didasarkan
atas pengalaman.
Selain adanya ketidak beraturan internal, kesalahan komunikasi kepada
pasien juga sangat berpengaruh terhadap kejadian medication error.
Kesalahan
komunikasi
dapat
terjadi
akibat
kurangnya
kemampuan
3. Penanganan
maju
sudah
ada
apoteker
dengan
spesialisasi
khusus
jumlah
item
obat
dan
penggunaan
obat-obat
sesuai
persyaratan
penyimpanan;
memperhatikan
obat-obat
dengan
peringatan khusus (high alert drugs) yang dapat menimbulkan cedera jika
terjadi kesalahan pengambilan, simpan di tempat khusus. Obat-obat yang
memerlukan perhatian khusus diantaranya cairan elektrolit pekat seperti KCl
injeksi, heparin, warfarin, insulin, kemoterapi, narkotik opiat, neuromuscular
blocking agents, thrombolitik, dan agonis adrenergik, serta kelompok obat
antidiabet jangan disimpan tercampur dengan obat lain secara alfabetis, tetapi
tempatkan secara terpisah.
Selain dalam proses pengelolaan perbekalan farmasi apoteker juga dapat
melakukan pencegahan medication error dengan melakukan pelayanan
kelinik, seperti skrining resep; dispensing; Komunikasi, Informasi dan
Edukasi (KIE); penggunaan obat; monitoring dan evaluasi.
Apoteker dapat berperan nyata dalam pencegahan terjadinya medication
error melalui kolaborasi dengan dokter dan pasien. Apoteker tidak boleh
membuat asumsi pada saat melakukan interpretasi resep dokter. Untuk
mengklarifikasi ketidaktepatan atau ketidak jelasan resep, singkatan, hubungi
dokter penulis resep. Apoteker harus mendapatkan informasi mengenai pasien
sebagai petunjuk penting dalam pengambilan keputusan pemberian obat,
seperti : data demografi (umur, berat badan, jenis kelamin) dan data klinis
Apoteker harus berperan dalam proses penggunaan obat oleh pasien rawat
inap di rumah sakit dan sarana pelayanaan kesehatan lainnya, bekerja sama
dengan petugas kesehatan lain agar tepat pasien, tepat indikasi, tepat waktu
pemberian, tepat obat, tepat dosis, tepat label obat (aturan pakai), tepat rute
pemberian.
Apoteker harus melakukan monitoring dan evaluasi untuk mengetahui
efek terapi, mewaspadai efek samping obat, memastikan kepatuhan pasien.
Hasil monitoring dan evaluasi didokumentasikan dan ditindaklanjuti dengan
melakukan perbaikan dan mencegah pengulangan kesalahan. Seluruh
personal yang ada di tempat pelayanan kefarmasian harus terlibat didalam
program keselamatan pasien khususnya medication safety dan harus secara
terus menerus mengidentifikasi masalah dan mengimplementasikan strategi
untuk meningkatkan keselamatan pasien.
Untuk mencegah kesalahan pemberian obat farmasis harus membaca label
obat dengan teliti, karena banyak produk tersedia dalam kotak,warna dan
bentuk yang sama. Pertanyakan kembali apabila ada pemberian banyak tablet
atau vial untuk dosis tunggal karena kebanyakan dosis tunggal terdiri dari
satu atau dua tablet atau kapsul atau satu vial dosis tunggal. Waspada obatobatan bernama sama, karena banyak nama obat yang terdengar sama
(misalnya digoxin dan digitoxin). Jangan beri obat yang di programkan
dengan nama pendek atau singkatan yang tidak resmi. Banyak dokter
menggunakan nama pendek atau singkatan tidak resmi untuk obat yang sering
di programkan. Apabila perawat atau ahli farmasi tidak mengenal singkatan
tersebut obat yang diberikan atau dikeluarkan bisa salah. Jangan berupaya
menguraikan dan mengartikan tulisan yang tidak dapat di baca. Apabila
ragu tanya ke dokter kesempatan terjadinya interprestasi kecuali, perawat
mempertanyakan program obat yang sulit di baca.
Cermati angka belakang koma, karena beberapa obat tersedia dalam
jumlah yang merupakan perkalian satu sama lain (contoh: tablet cumadin
dalam tablet 2,5 dan 25mg). Pertanyakan apabila terdapat peningkatan dosis
yang tiba-tiba dan berlebihan, karena kebanyakan dosis di programkan secara
bertahap supaya dokter dapat memantau efek teraupetik dan responnya.
Ketika suatu obat baru atau obat yang tidak lazim di programkan, maka harus
di konsultasikan kepada sumbernya. Jika dokter tidak lazim dengan obat
tersebut maka resiko pemberian dosis yang tidak akurat menjadi lebih besar.
Kenali klien yang memiliki nama sama juga minta klien, menyebutkan
nama lengkapnya, cermati nama yang tertera pada tanda pengenalan. Sering
kali satu atau dua klien memiliki nama akhir yang sama atau mirip label
khusus pada buku, obat dapat memberi peringatan tentang peringatan masalah
yang potensi. Saat tergesa-gesa salah baca ekuivalen mudah terjadi. Contoh:
di baca milligram padahal mililiter.
4. Klasifikasi Medication Error
National Coordinating Council for Medication error Reporting and
Prevention (NCC MERP) mengklasifikasikan medication error berdasarkan
tingkat keparahan hasil dari pasien. Kesalahan yang dekat juga di
klasifikasikan sebagai kesalahan potensial yang berhak mendapat sistem yang
luas dan mengarah ke perbaikan. Kategori medication error antara lain no
error (Kategori A) yang merupakan kejadian yang menyebabkan terjadinya
error; error no harm yang terbagi menjadi Kategori B dimana error yang
terjadi tetapi obat belum mencapai pasien, Kategori C yaitu error terjadi
dimana obat sudah mencapai pasien tetapi tidak menimbulkan risiko, dan
Kategori D yaitu error yang terjadi dan konsekuensinya diperlukan
monitoring terhadap pasien tetapi tidak menimbulkan risiko (harm) pada
pasien; error harm yang terbagi menjadi Kategori E yaitu error terjadi dan
pasien memerlukan terapi atau pada intervensi serta menimbulkan harm pada
pasien yang bersifat seentara, Kategori F yaitu error terjadi dan pasien
memerlukan perawatan atau perpanjangan perawatan di rumah sakit disertai
cacat yang bersifat sementara, Kategori G yaitu Error terjadi dan
menyebabkan resiko (harm) permanen, dan juga Ketegori H yaitu error terjadi
dan nyaris menimbulkan kematian (misalnya anafilaksis, henti jantung);
selanjutnya error death (Kategori I) yaitu error terjadi dan menyebabkan
kematian pasien.
Kejadian medication error dibagi dalam 4 fase, yaitu fase prescribing,
fase transcribing,
pasien
(Cohen,1991).
Prescribing
Errors
adalah
Medication
error pada
fase prescribing yaitu error yang terjadi pada fase penulisan resep. Misalnya
Kesalahan resep, resep atau order obat yang tidak terbaca. Resep terdapat
kesalahan karena dosis tidak benar, indikasi tidak diobati, penggunaan obat
yang tidak diperlukan.
Seleksi obat (didasarkan pada indikasi, kontraindikasi, alergi yang
diketahui, terapi obat yang ada, dan faktor lain), dosis, bentuk sediaan, mutu,
rute, konsentrasi, kecepatan pemberian, atau instruksi untuk menggunakan
suatu obat yang diorder atau diotorisasi oleh dokter (atau penulis lain yang
sah) yang tidak benar. Seleksi obat yang tidak benar misalnya seorang pasien
dengan infeksi bakteri yang resisten terhadap obat yang ditulis untuk pasien
tersebut. Resep atau order obat yang tidak terbaca yang menyebabkan
kesalahan yang sampai pada pasien.
Fase ini terdiri dari yang pertama, yaitu kesalahan karena yang tidak
diotorisasi. Pemberian kepada pasien, obat yang tidak diotorisasi oleh seorang
penulis resep yang sah untuk pasien. Mencakup suatu obat yang keliru, suatu
dosis diberikan kepada pasien yang keliru, obat yang tidak diorder, duplikasi
dosis, dosis diberikan di luar pedoman atau protokol klinik yang telah
ditetapkan, misalnya obat diberikan hanya bila tekanan darah pasien turun di
bawah suatu tingkat tekanan yang ditetapkan sebelumnya.
Kemudian yang kedua, yaitu lesalahan karena dosis tidak benar.
Pemberian kepada pasien suatu dosis yang lebih besar atau lebih kecil dari
jumlah yang diorder oleh dokter penulis resep atau pemberian dosis duplikat
kepada pasien, yaitu satu atau lebih unit dosis sebagai tambahan pada dosis
obat yang diorder. Selanjutny, yaitu kesalahan karena indikasi tidak diobati.
Kondisi medis pasien memerlukan terapi obat tetapi tidak menerima suatu
obat untuk indikasi tersebut. Misalnya seorang pasien hipertensi atau
glukoma tetapi tidak menggunakan obat untuk masalah ini. Lalu yang terakhir
adalah kesalahan karena penggunaan obat yang tidak diperlukan. Pasien
menerima suatu obat untuk suatu kondisi medis yang tidak memerlukan terapi
obat.
error
bisa
dilakukan
dengan
menurunkan
terjadinya
meningkatkan
pelayanan
dimaksud
adalah
pemilihan,
perencanaan
kebutuhan,
pemberian obat oleh tenaga medis pada bulan Desember 2014 yang lalu.
Loretta yang seharusnya menerima obat anti kejang justru menerima obat
pelumpuh. Dokter Boileau yang menangani Loretta mengatakan dia benar
diresepkan fosfenitoin untuk mengurangi kejang tetapi seorang pekerja
farmasi kemudian keliru mengisi kantong IV berlabel fosfenitoin dengan
obat melumpuhkan disebut rocuronium.
Solusi: Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penyimpanan untuk
menurunkan
kesalahan
pengambilan
obat
salah
satunya
dengan
menyimpan obat dengan nama, tampilan dan ucapan mirip (lookalike, sound-alike medication names) secara terpisah. Metode Tall man
digunakan untuk membedakan huruf yang tampaknya sama dengan obat
yang mirip. Dengan memberi huruf kapital, maka petugas akan lebih
berhati-hati dengan obat yang lasa. Di US, beberapa studi menunjukkan
penggunaan huruf kapital ini terbukti mengurangi error akibat nama obat
yang look-alike. contohnya: metFORmin dan metRONIdaZOL, ePINEFrin
dan efeDRIN. Seminimal mungkin kesalahan sampai 0%.
c. Kesalahan Penggunaan Obat
Kasus: Kejadian ini terjadi di Aceh pada bulan Desember 2013 yang
lalu. Mariana (39) warga Gampong Meurandeh, Langsa Lama mulanya
membawa bayinya yang baru berumur 34 hari ke RSUD Langsa setelah
mendapat rujukan dari dr.Nursal akibat diare yang dialami sang anak.
Malangnya, seorang perawat akademi kebidanan (akbid) yang masih
praktek lapangan di rumah sakit tersebut, asal-asalan menyuntikkan obat
ke infus anaknya. Akibatnya bayi tersebut mengalami muntah-muntah dan
lemas serta perut kembung dan nyaris tewas. Perawat akbid tersebut ngotot
memberikan ranitidin dan norages kepada bayi tersebut atas perintah
perawat bakti berinisial CM. Ternyata obat tersebut bukan buat anak saya,
tapi pasien lain. Ini namanya malpraktek karena kesalahan yang fatal,
Lihat kondisi anak saya saat ini lemas dan muntah-muntah terus, tutur
Mariana lagi yang juga bekerja sebagai perawat. Meskipun CM
membantah dan terkesan tidak terima atas kasus ini namun tidakannya
DAFTAR PUSTAKA
Cohen, M.R.,, 1991, Causes of Medication Error, in: Cohen. M.R.,
(Ed), Medication Error, American Pharmaceutical Association, Washington,
DC.
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. 2009. Undang-undang Nomor 44
Tahu 2009 Tentang Rumah Sakit. Jakarta: Departemen Kesehatan RI
Direktorat Jendral Pelayanan Farmasi dan Alat Kesehatan. 2006. Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1027 Tahun 2004 Tentang
Standar Pelayanan Kefaramasian di Apotek. Jakarta: Menteri Kesehatan
Republik Indonesia
Kozier, Barbara. 2000. Fundamental of Nursing: Concept, Prosess, and Practice:
Sixh edition. Menlo Park, California
Mukhtar, Ansari dan Sen Abhishek. 2013. Evaluation of Look-Alike and SoundAlike Medicines and Diapensing Errors In A Tertiary Care Hospital Pharmacy
of Eastern. Nepal: Internasional Journal Pharmacy
Menkes RI. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 58 Tahun 2014 Tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI
National Coordinating Council for Medication Error Reporting and Prevention
(2011). Medication Error. http://www.nccmerp.org/aboutMedErrors.html.
Diakses pada 9 November pukul 09.54.
Windarti, M.I. 2008. Strategi Mencapai Keamanan Pemberian Obat Dalam
Buku Suharjo dan Cahyono. Yogyakarta: Ikappi.