dahului dengan upacara pekala-kalaan dianggap tidak baik dan disebut kama
keparagan dan anak yang lahir akibat kama tersebut adalah anak yang tidak
menghiraukan nasehat orang tua atau ajaran-ajaran Agama. Anak yang lahir
demikian disebut rare diadiu atau rare babinjata. - See more at:
Tata Urutan Upacara
1. Penyambutan kedua mempelai
Penyambutan mempelai sebelum memasuki pintu halaman rumah adalah
symbol untuk melenyapkan unrur-unsur negative yang mungkin di bawa leh
kedua mempelai, agar tidak mengganggu jalanya upacara.
2. Mabyakala
Upacara untuk membersihkan lahir batin terhadap kedua mempelai terutama
sukla swanita, yaitu sel benih peria dan sel benih wanita agar menjadi janin
suputra.
3. Mepejati atau Pesaksian
Mepejati merupakan upacara kesaksian tentang pengesahan perkawinan
kehadapan Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa, juga kepada masyarakat, bahwa
kedua mempelai telah mengikatkan diri sebagai suami istri yang sah.
b. Sarana/Upakara
Jenis upacara yang dipergunkan pada upacara ini secara sederhana rincianya
sebagai berikut :
a. Banten Pemagpag, segehan, dan tumpeng dadanan.
b. Banten Pesaksi, pradaksina, dan ajuman.
c. Banten untuk mempelai byakala, banten kurenan, dan pagulap pagamben.
Adapun kelengkapan upacara lainnya seperti
Adapun kelengkapan upakar lainya seperti :
1. Tikeh dadakan
Adalah sebuah tikar kecil yang dibuat dari daun pandan yang masih hijau. Ini
merupakan symbol kesucian si gadis.
2. Papegatan
Yaitu berupa daun buah canang, dapdap yang ditancapkan di tempat upacara,
jarak yang satu dan yang lainya agak berjauhan dan keduanya dihubungkan
dengan benang putih dalam keadaan tergantung.
3. Tetimpung
Yaitu beberapa pohon bamboo kecil yang masih muda dan dan ada ruasnya
sebanyak limaratus (500) atau (700).
4. Sok Dagang
Yaitu sebuah bakul berisi buah-buahan, rempah-rempah, dan keladi.
5. Kala Sepetan
Yaitu disimbolakan dengan sebuah bakul berisi serabut kelapa dibelah tiga yang
diikat dengan benang tri datu, diselipi lidi tiga buah, dan tiga lembar daun
dadap. Kala sepetan adalah nama salah satu bhuta kala yang akan menerima
pakala-kalaan.
6. Tegen-tegenan
Yaitu batang tebu atau cabang dadap yang kedua ujungnya diisi gantungan
bingkisan nasi dan uang.
. Jalanya Upacara
1. Upacara Penyambutan Kedua Mempelai
Begitu calon mempelai memasuki pintu halaman pekarangan rumah, disambut
dengan upacara masegehan dan tumpeng dandanan. Kemudian kedua mempelai
duduk ke tempat yang telah disediakan untuk menunggu upacara selanjutnya.
2. Upacara Mabiakala
Sebelum upacara mabiekala, dilakukan upacara puja astute oleh pemimpin
upacara. Selanjutnya membakar tetimbung sampai berbunyi sebagai symbol
pemberitahuan kepada bhuta kala yang akan menerima pekala-kalaan. Kedua
mempelai berdiri melangkahi tetimpung sebanyak tiga kali dan selanjutnya
menghadap banten pebyakalaan. Kedua tangan mempelai dibersihkan dengan
segau/tepung tawar, kemudian natab pakabyakalaan. Selanjutnya masingmasing ibu jari kaki dari kedua mempelai disentuhkan dengan telur ayam
mentah di depan kakinya sebanyak tiga kali. Selanjutnya kedua mempelai
dilukati dengan pangelukatan. Upacara selanjutnya adalah berjalan mengelilingi
banten pesaksian dank ala sepetan yang disebut Murwa Daksina. Saat berjalan,
mempelai wanita berada di depan sambil menggendong sok dagangan (symbol
menggendong anak), diiringi mempelai peria memikul tegen-tegenan (symbol
keras untuk memperoleh nafkah penghidupan). Setiap melewati Kala Sepetan,
ibu jari kedua mempelai disentuhkan pada bakul lambang Kala Sepetan.
Mempelai wanita saat jalan dicemeti (dipukul) dengan tiga buah lidi oleh si peria
sebagai symbol telah terjadi kesepakatan untuk sehidup semati. Yang terakhir
kedua mempelai memutuskan benang pepegatan sebagai tanda mereka berdua
telah memasuki hidup Grehastha.
3. Upacara Mapejati atau Persaksian
Dalam upacara persaksian, kedua mempelai melaksanakan puja bhakti sebanyak
lima kali kepada Sang Hyang Widhi Wasa. Setelah mebakti, kedua mempelai
diperciki tirta pembersih oleh pemimpin upacara. Kemudian natab banten widhi
widhana dan mejaya-jaya. Dengan demikian, maka selesailah pelaksanaan
Samskara Wiwaha. Selesai Wiwaha Samskara adalah penandatanganan surat
perkawinan oleh kedua belah pihak dihadapan saksi dan pejabat yang
berwenang.
2. Wiwha di Jawa
a. Rangkaian Acara Upacara Perkawinan
Dalam rangka upacara perkawinan Hindu di Jawa, sebelum upacara inti,
dilakukan serangkaian acara yang harus di tempuh, adapaun rangkaian acara
tersebut adalah:
1. Nontonin, yaitu melihat dari dekat calon istri oleh calon suami dengan cara
berkunjung ke rumah keluarga calon istri.
2. Pinangan, yaitu dalam acara ini bukan orangtua sang suami yang datang
untuk melamar, melainkan kerabat dan keluarga orangtua calon suami yang
dianggap mampu. Apabila lamar diterima, diteruskan perundingan untuk
menentukan hari baik perkawinan.
Kawin, Saput, pakaian, dan panginan jandu. Jika telah tercapai kata sepakat
tentang persyaratan itu, barulah pihak laki-laki menyerahkan meminang tersebut
kepada pihak perempuan. Ayam tersebut dibuat sesajen, darahnya diambil
sedikit untuk mencuci kedua calon mempelai. Lilis/Lamiang dari pihak laki-laki
dikatakan pada pergelangan tangan kanan calon mempelai perempuan. Begitu
juga lis dari pihak perempuan diikatkan pada pergelangan tagan kanan calon
mempelai laki-laki. Semua kesepakatan yang dicapai dalam acara peminangan
ini dibuatkan surat yang diketahui oleh Demang Kepala Adat.
3. Tahap Pengukuhan perkawinan
Sebelum keberangkatan mempelai laki-laki di rumahnya menuju kediaman
mempelai perempuan, terlebih dahulu diadakan upacara pemberangkatan.
Setiba di rumah mempelai perempuan, mempelai laki-laki lebih dahulu
menginjak telor ajam yang ditaruh di atas batu yang disiapkan di depan pintu,
setelah itu mempelai laki-laki Mapas dengan menggunakan daun andong yang
dicelupkan dalam air cucian beras. Magsud memapas ini adalah untuk
mensucikan lahir batin mempelai laki-laki sedangkan untuk mempelai wanita
telah diadakan pada malam sebelumnya. Setiba dirumah diadakan upacara
Halung Hapelek ( perkawinan adat ).
Pengukuhan perkawinan secara Agama Hindu di Dayak berlangsung keesokan
harinya, pada pengukuhan perkawinan, kedua mempelai duduk bersanding
diatas sebuah Gong, tangan mereka memegang ponjing Andong, Rabayang,
Rotan, serta menghadap sesajen yang ditujukan kepada Putir Santang
(manifestasi Rajung hattala/Tuhan di bidang perkawinan). Yang melaksanakan
pengukuhan perkawinan adalah tujuh orang rohaniawan Agama Hindu dengan
menggunakan darah binatang korban, minyak kelapa, dan beras. Setelah itu
kedua mempelai diberi makan tujuh buah nasi tumpeng yang terlebih dahulu
digabungkan menjadi satu dan kemudian dibagi berdua. Sebagai penutup kedua
mempelai Manukiei sebanyak tujuh kali di depan pintu rumah. Sore harinya
dilanjutkan dengan upacara Mahenjean Paganten yang pada prinsipnya
memberikan nasehat perkawinan kepada kedua mempelai.
Selama tujuh hari terhitung sejak upacara pengukuhan perkawinan, kedua
mempelai menjalankan beberapa pantangan, antara lain tidak keluar rumah dan
tidak membunuh/menyiksa binatang. Pada hari kedelapan kedua mempelai
melakukan kunjungan kerumah sesepuk keluarga mempelai untuk memohon doa
restu.
4. Wiwaha di Batak Karo
a. Tahap Sebelum Upacara Perkawinan
1. Ertutut Magsudnya saling memperkenalkan diri laki-laki dari keturunan mana,
dan perempuan itu dan keturunan mana. Hal ini penting untuk mengetahui
bebet, bobot dan bibit.
2. Naki-naki magsudnya kedua belah pihak saling berkenalan untuk mengetahui
sifat pribadi, masing-masing menyerahkan suatu benda atau uang yang disebut
tagih-tagih.
3. Nungkunin magsudnya jika pihakpria sudah menyetujui calon wanita maka
pihak orang tua laki-laki mengadakan hubungan dengan keluarga pihak wanita,
untuk menyampaikan keinginan anaknya dan mengusahakan agar perkawinan
mereka dapat dijalankan.
b. Nangkih
Pihak laki-laki membawa wanita ke rumah keluarganya dengan diantar oleh satu
orang atau dua orang. Biasanya si wanita dibawa oleh laki-laki ke rumah pihak
Anak Berunya. Secara langsung untuk mengetahui magsud dan sekaligus
mengambil langkah seperlunya.
Dalam hubungan ini, Anak Beru bertanggung jawab menghubungi Anak Beru si
wanita untuk mengatur acara adat selanjutnya. Dalam rangka permulaan Ngakih
ini sebelum meninggalkan tempat pemberangkatan terlebih dahulu dipersiapkan
Penandingan yang bisanya berupa uang atau barang. Dalam Nangkih ini sarana
upacaranya adalah Kampil dan Tabung.
c. Maba Belo Selambar
Emapat atau delapan hari setelah nagkih diadakan kunjungan yang disebut Maba
Belo Selambar (membawa selembar sirih). Acara kunjungan tersebut cukup
sederhana, pihak keluarga laki-laki yang berkunjung sangat terbatas. Demikian
juga pihak keluarga wanita sebagai tuan rumah hanya memberitahu dua orang
saudara dari Anak Berunya. Upacara yang sederhana ini sama dengan
Byokaonan di Bali. Pada kesempatan ini pula dibicarakan tentang ketentuan
waktu, hari secara adat yang disebut dengan membawa manuk (ayam). Alat
yang dipakai dalam upacara ini adalahKampil berisi sisrih, belo sempedi, gambir
dua buah, pinang secukupnya, tembakau segulug, Tabung, Beras, Setumba,
Pinggan tempat uang, dan beberapa ekor ayam.
d. Maba Manuk ( membawa ayam )
Acara ini dilakukan sesuai dengan hasil keputusan pada Maba Belo Salambar
yang lalu. Untuk pihak laki-laki adalaha anak beru, Kalimbubu Sigalo Ulu Emas,
yaitu pihak saudara laki ibu mempelai laki-laki Singalo Peminin, Singalo Perbibi,
dan Sirembah Kulau (aron). Dalam hal ini, untuk lebih jelasnya disebut Anak Beru
adalah saudara perempuan pihak laki-laki, kalibubu Singalo Ulu Emas adalah
saudara laki ibu mempelai laki (paman si laki). Singalo Perninin adalah saudara
laki-laki pihak ibu penganten perempuan dalam bahasa Karo adalah Turang
Impal yang tidakbisa dikawini. Singalo Perbirin adalah saudara ibu perempuan
dari pihak penganten wanita (bibi). Dalam hal ini, keluarga masing-masing pihak
sebagaimana telah diuraikan tadi pada acara Maba Manuk turut ambil bagian
dalam musyawarah besar kecinya Gantang Tumba (mas kawin) yang harus
ditanggung oleh keluarga mempelai laki-laki.
Anak Beru, Senina masing-masing pihak mengambil tempat di tengah-tengah
pertemuan duduk berhadapan di atas tikar. Mula-mula Anak Beru pihak laki-laki
menyuguhkan lima buah Kambil (tempat sirih). Kepada pihak mempelai wanita,
satu untuk Sigelo Bere-bere, satu untuk Senina Singalo Peminin dan satu untuk
Anak Beru. Kampil tersebut diberikan dengan magsud untuk meminta ijn apakah
musyawarah sudah dapat dimulai. Setelah Kampil tersebut dikemBalikan maka
acara musyawarah dapat dimulai dengan berdialog. Dalam pembicaraan antara
kedua belah pihak, Anak Beru bertindak sebagai penyambung pembicara.
Hal-hal yang menjadi pembahasan dalam acara tersebut, antara lain
pengesahan dari pihak mempelai perempuan mengenai kesenangan hatinya
atas perkawinan yang sudah dilaksanankan adanya. Untuk menentukan jumlah
bere-bere harus dimusyawaraahkan dengan Kalimbubu Singalo Bere-bere,
dimana harus dihubungkan dengan jumlah kado yang akan dibawakan dengan
kepada penganten laki-laki serta menyerahkan modal rumah tangga berupa alat
dapur kepada kedua mempelai.
Setelah selesai upacara penyerahan adata tersebut dilanjutkan dengan upacara
Mejuah-juah (Selametan), sambil menaburkan beras agar kedua memplai
selamat dalam menempuh hidup baru. Untuk acara selanjutnya diteruskan acara
makan bersama, ini dilakukan oleh pihak laki-laki. Pada saat mukul ini dilakukan
jamuan makan bersama dalam satu piring ini adalah suatu sumpah untuk hidup
bersama dan saling setia untuk selama-lamanya, ini melambangkan persatuan
dan kesatuan dalam perkawinan. Upacara ini dihadiri oleh keluarga terdekat dari
kedua belah pihak yaitu: Anak Bru, Kalimbubu, Senina, dan Aron. Setelah
berakhirnya upacara ini maka sahlah perkawinan mereka dan sah pula sebagai
suami istri.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sahnya suatu perkawinan menurut
hokum adat Hindu apabila telah memenuhi tiga syarat yang disebut Tri Upa
Saksi, yaitu saksi kepada keluarga, masyarakat, dan saksi kepada Dewa/Tuhan.
Saksi kepada keluarga akan terlihat pada upacara Maba Manuk yang hanya
dihadirri oleh beberapa keluarga terdekat. Sedangkan saksi kepada masyarakat
akan terlihat pada acara kerja Erdemu Bayu yang dihadiri oleh kepala desa,
kaum kerabat, dan masyarakat lainya. Yang terakhir saksi kepada Dewa atau
Tuhan akan dijumpai pada wktu upacara Mukul, dimana kedua belah pihak
mempelai makan berdua dalam satu piring dengan mengucapkan sumpahnya
kepada Tuhan dimana akan berjanji dan bersumpah akan hidup bersama untuk
selama-lamanya.
f. Sesudah perkawinan
Upacara terakhir menurut Adat Karo yang berAgama Hindu adalah Nguluhken
Limbas yang sering disebut dengan istilah Ertedeh Atai(kangen). Ini dilaksanakan
di rumah orang tua wanita. Sarana yang dipersiapkan, yaitu ayam dua ekor,
beras secukupnya, sirih seperangkat, dan tabung.
Proses pelaksanaanya adalah dengan menyodorkan sirih kepada hadirin pihak
Sineren(mempelai pihak perempuan), selanjutnya acara makan bersama, karena
mereka telah sah menjadi suami istri yang sebentar lagi membuat rumah tangga
yang baru. Pada umumnya laki-laki dan wanita Batak Karo yang sudah kawin,
kedua penganten itu tidaklama hidup atau tinggal bersama orang tuanya lakilaki. Mereka akan berdiri sendiri, berpisah dari rumah tangga orang tuanya.
Tindakan mereka yang memisahkan diri dari orang tua pihak lelaki disebut
dengan istilah Penyayon atau Njayo. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa:
1. Dalam perkawinan yang berlaku di Sumatra yang khususnya berAgama Hindu
adalah system meminang.
2. Perkawinan yang di anggap ideal dalam amasyarakat Karo adalah perkawinan
orang-orang Rimpal, yakni dimana seorang laki-laki dengan anak perempuan
saudara laki-laki ibunya.
3. Dalam menyelesaikan segala kegiatan adat, maka Anak Beru, Kalimbubu, dan
Senina ini harus ada ( Sangkep Sitelu/Rakut sitelu)dan ketiganya memiliki tugas
dn fungsi yang berbeda-beda.
4. Dalam pelaksanaan pesta perkawinan itu disesuaikan dengan keadaan
mislnya, bagi yang mampu dapat melakukan upacara perkawinan dengan
sebesar-besarnya atau tingkat utama ( Kerja Sinuta dalam bahasa Karo)
Biasanya upacara seperti ini disertai dengan iringan gendang dat bagi yang
memiliki perekonomian sedang dapat melakukan upacara dengan tingkat madya
atau menengah, sedangkan bagi yang tingkat perekonomianya rendah dapat
melangsungkan upacara perkawinan dengan kecil-kecilan yang tidak mengurangi
nilai pokok dalam ajaran Agama, yaitu disesuaikan dengan Desa, Kala, dan Patra.
Pelaksanaan acara perkawinan yang berlangsung secara sederhana ini di Bali
disebut dengan istilah Byakaonan.
- See more at: http://okayana.blogspot.sg/2010/02/contoh-tata-cara-perkawinanhindu.html#sthash.L45fSHHj.dpuf