Anda di halaman 1dari 12

A.

PENDAHULUAN
1.

Latar Belakang
Hiperbilirubinemia didefinisikan sebagai kadar bilirubin total serum (BTS)
>5 mg/dL (86 mikromol/L). Secara klinis hiperbilirubinemia tampak sebagai
ikterus, yaitu pewarnaan kuning pada kulit dan mukosa. Dibeberapa institusi,
bayi dinyatakan menderita hiperbilirubinemia apabila kadar BTS 12 mg/dL
pada bayi aterm, sedangkan pada bayi preterm bila kadarnya 10 mg/dL. Pada
kadar ini, pemeriksaan-pemeriksaan yang mengarah pada proses patologis harus
dilakukan. Hiperbilirubinemia merupakan kejadian yang sering dijumpai pada
minggu pertama setelah lahir. Penyebab terbanyak hiperbilirubinemia adalah
karena peningkatan kadar bilirubin indirek serum (BIS). Secara umum seorang
bayi dianggap bermasalah bila kadar BIS 10 mg/dL, umumnya dapat ditemukan
penyebab ikterus patologis pada bayibayi ini (Hutahean, 2007).
Bayi baru lahir, terutama bayi kecil (bayi dengan berat lahir < 2500 g atau
usia

gestasi

<37

minggu)

mengalami

ikterus

pada

minggu

pertama

kehidupannya. Data epidemiologi yang ada menunjukkan bahwa lebih 50% bayi
baru lahir menderita ikterus yang dapat dideteksi secara klinis dalam minggu
pertama kehidupannya. Pada kebanyakan kasus ikterus neonatorum, kadar
bilirubin tidak berbahaya dan tidak memerlukan pengobatan. Sebagian besar
tidak memiliki penyebab dasar atau disebut ikterus fisiologis yang akan
menghilang pada akhir minggu pertama kehidupan pada bayi cukup bulan.
Sebagian kecil memiliki penyebab seperti hemolisis, septikemi, penyakit
2.

metabolik (ikterus non-fisiologis).


Tujuan
a. Tujuan umum :
Untuk mengetahui asuhan

keperawatan

hiperbilirubin di ruang Perina RSUD Banyumas.


b. Tujuan khusus
1) Mengetahui pengertian
2) Mengetahui etiologi
3) Mengetahui tanda gejala

pada

klien

dengan

4) Mengetahui patofisiologi hiperbilirubin


5) Mengetahui pathway hiperbilirubin
6) Mengetahui komplikasi
7) Mengetahui pemeriksaan penunjang
8) Mengetahui penatalakasanaan medis
9) Mengetahui pengkajian
10) Mengetahui diagnosa keperawatan yang mungkin muncul
11) Mengetahui perencanaan asuhan keperawatan
B. TINJAUAN TEORI
1. Pengertian
Hiperbilirubinemia didefinisikan sebagai kadar BTS >5 mg/dL (86
mol/L). Secara klinis hiperbilirubinemia tampak sebagai ikterus, yaitu
warna kuning pada kulit dan mukosa yang disebabkan karena deposisi
bilirubin dalam tubuh. Ikterus terjadi karena peninggian kadar bilirubin
indirek dan atau bilirubin direk (Abdoerrachman, dkk., 2007).
Hiperbilirubinemia merupakan kejadian yang sering dijumpai pada
minggu-minggu

pertama

setelah

lahir.

Penyebab

terbanyak

hiperbilirubinemia adalah karena peningkatan kadar BIS. Secara umum


dinyatakan bahwa seorang bayi dianggap bermasalah bila kadar BIS >10
mg/dL, umumnya dapat ditemukan penyebab patologis pada bayi ini. BIS
bersifat neurotoksik bagi bayi pada kadar dan keadaan tertentu. Bilirubin
direk tidak bersifat neurotoksik namun kadar yang tinggi menunjukkan
kemungkinan adanya gangguan yang serius.

2. Etiologi
a. Ikterus prahepatik
Kapasitas sel hati untuk mengadakan konjugasi yang terbatas ditambah
adanya disfungsi sel hati. Akibatnya bilirubin indirek dan bilirubin direk
meningkat. Bilirubin direk yang menigkat akan segera di keluarkan
lewat saluran pencernaan, sehingga didapatkan penigkatan kadar
urobilinogen dalam tinja. Penyebab lain meningkatnya bilirubin adalah

akibat hemolisisnya sel darah merah, infeksi seperti malaria, reaksi


b.

tranfusi, toksin yang berasal dari luar tubuh seperti obat-obatan.


Ikterus pascahepatik
Adanya bendungan dalam saluran empedu. Akibatnya bilirubin akan
masuk ke ginjal dan akan di temukan bilirubin dalam urin. Akan
ditemukan juga feses yang berwarna dempul, karena pengeluaran
bilirubin ke saluran pencernaan berkurang. Akibat penimbunan bilirubin

c.

direk, maka kulit dan sclera akan berwarna kuning kehijauan.


Ikterus hapatoseluler
Akibat kerusakan hati, sehingga bilirubin direk menigkat. Akibat
kerusakan hati juga mengakibatkan adanya regurgitasi bilirubin dalam

darah, maka mengakibatkan penigkatan kadar bilirubin dalam darah


3. Tanda gejala
a. Sklera kuning
b. Berat badan lahir kurang dari 2000 gr
c. Infeksi
d. Hipoglikemi
e. Hipoksia, asfiksia, sindrom gangguan pernafasan
4. Patofisiologi
Peningkatan destruksi eritrosit yang mengakibatkan bilirubin berlebih yang
tidak dapat ditampung oleh hepar. Akibatnya sebagian bilirubin masuk ke
siklus emerohepatik yang mengakibatkan bilirubin terkonsentrasi dalam
darah, menjadikan feses berwarna pucat. Tingginya konsentrasi bilirubin
dalam darah menyebabkan ikterus pada sclera dan badan.
5. Patway
Hemoglobin
Globin

Hemo

Biliverdin

Peningkatan destruksi eritrosit


(gangguan transport bilirubin) Hb dan
eritrosit abnormal
Pemecehan bilirubin berlebih yang
tidak berikatan dengan albumin

Feco

Suplay bilirubin melebihi kemampuan


hepar
Hepar tidak mampu melakukan
konjugasi
Sabagian masuk
emerohepatik
Peningkatan bilirubin tak terkonjugasi
dalam darah
Ikterus pada sclera dan badan (peningkatan bilirubin
indirek > 12 mg/dl)
Indikasi foto terapi
Risiko
kerusakan
integritas kulit

Sinar intensitas
tinggi

Kekurangan volume

Ketidak efektifan termoregulasi

6. Komplikasi
caiaran(Hutahean, 2007)
a. Ensefalopati bilirubin akut
Bentuk akut ini terdiri atas 3 tahap :
Tahap I (12 hari pertama) : refleks hisap lemah, letargi, hipotonia,
kejang (terutama pada bayi yang sangat kuning).
Tahap II (pertengahan minggu pertama) : hipertonia bergantian
dengan hipotonia, opistotonus, spasme otot ekstensor, peningkatan
tonus otot punggung, dan ekstensor leher (retrocollis), demam,
menangis dengan nada tinggi (high pitch cry), mata tidak dapat
bergerak ke atas (gangguan upward gaze) dan terlihat gejala setting
sun.

Tahap III (setelah minggu pertama) : hipertonia. Pada fase akut, dapat
disertai gangguan Brainstem Auditory Evoked Response (BAER) dan
kelainan pada pemeriksaan Magnetik Resonance Imaging (MRI).
b. Ensefalopati bilirubin kronik
Gejalagejala klinis dari ensefalopati birubin kronik yang klasik
(Kernicterus) berkorelasi dengan temuantemuan patologis yang
spesifik. Sekuele klasik dari hiperbilirubinemia neonatal yang
berlebihan membentuk sebuah tetrad yang terdiri dari :
1) Gangguan ekstrapiramidal yang menyebabkan serebral palsi
atetoid dan spastisitas.
2) Gangguan pendengaran, baik berupa tuli total atau parsial
3) Gangguan gerakan mata kearah atas (gangguan upward gaze).
4) Displasia enamel dentin pada gigi susu
IQ dapat normal pada sebagian besar anak, namun sebagian
kecil dapat mengalami retardasi mental ringan. Disamping gangguan
gerak

dapat

pula

menyebabkan

gangguan

bicara,

ambulasi,

komunikasi dan motorik. Masalah gangguan integrasi visualmotor,


ketulian atau neuropati auditori menyebabkan bertambahnya frustasi
dan mengurangi kemampuan intelegensi yang sebenarnya. Beberapa
penelitian melaporkan bahwa proses kronik ini dapat terjadi pada usia
4 bulan-14 tahun.
c. Ensefalopati samar/ Neuropati auditorik
Anakanak ini mengalami gangguan kognitif yang lebih ringan,
kelainan neurologis yang ringan, ganggguan pendengaran dan
neuropati auditori. Gejala dapat pula terdeteksi beberapa tahun
kemudian, sehingga sulit membuat korelasi antara hiperbilirubinemia
dan gangguan yang terlihat. Neuropati auditori bukan hanya gangguan
pendengaran sensori neural, namun disebabkan adanya disfungsi pada
tingkat batang otak atau saraf tepi. Fungsi telinga tengah tetap normal.
Keadaan ini dapat di identifikasi dengan pemeriksaan Brainstem
Auditory Evoked Response (BAER). Gangguan BAER telah dapat
terlihat pada anak dengan hiperbilirubinemia <20 mg/dL (16-20

mg/dL), dan umumnya membaik setelah di lakukan terapi sinar.


Keadaan ini membuktikan bahwa bilirubin telah masuk ke dalam otak
pada kadar yang lebih rendah dari kadar yang biasa menyebabkan
ensefalopati bilirubin akut.
7. Pemeriksaan penunjang
a. Bilirubin serum
Direct : > 1 mg / dl
Indirect : > 10 mg % (BBLR), 12,5 mg % ( cukup bulan).
Total : > 12 mg / dl

b. Golongan darah ibu dan bayi uji COOMBS


Inkompabilitas ABO Rh

c. Fungsi hati dan test tiroid sesuai indikasi.


d. Uji serologi terhadap TORCH
e. Hitung IDL dan urine ( mikroskopis dan biakan urine) indikasi infeksi.

8. Penatalaksanaan medis
a. Fototherapi
Fototerapi dapat digunakan sendiri atau dikombinasi dengan transfuse
pengganti untuk menurunkan bilirubin. Memaparkan neonatus pada
cahaya dengan intensitas yang tinggi akan menurunkan bilirubin dalam
kulit. Fototerapi menurunkan kadar bilirubin dengan cara memfasilitasi
ekskresi bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini terjadi jika cahaya yang
diabsorpsi jaringan merubah bilirubin tak terkonjugasi menjadi dua
b.

isomer yang disebut fotobilirubin.


Transfusi Pengganti
transfusi pengganti digunkan untuk:
1) Mengatasi anemia sel darah merah yang tidak susceptible (rentan)
terhadap sel darah merah terhadap antibody maternal
2) Menghilangkan sel darah merah untuk yang tersensitisasi (kepekaan)
3) Menghilangkan serum ilirubin
4) Meningkatkan albumin bebas bilirubin dan meningkatkan keterikatan

dangan bilirubin
5) Pada Rh Inkomptabilitas diperlukan transfuse darah golongan O
segera (kurang dari 2 hari), Rh negative whole blood. Darah yang
dipilih tidak mengandung antigen A dan antigen B. setiap 4 -8 jam
kadar bilirubin harus di cek. Hemoglobin harus diperiksa setiap hari
c.

sampai stabil
Therapi Obat
Phenobarbital dapat menstimulus hati untuk menghasilkan enzim yang
meningkatkan konjugasi bilirubin dan mengekskresikannya. Obat ini
efektif baik diberikan pada ibu hamil untuk beberapa hari sampai
beberapa minggu sebelum melahirkan. Penggunaan Phenobarbital pada
post natal masih menjadi pertentangan karena efek sampingnya (letargi).
Coloistrin dapat mengurangi bilirubin dengan mengeluarkannya lewat

urine sehingga menurunkan siklus enterohepatika.


9. Pengkajian
a. Identitas
b. Keluhan utama
Keluhan yang membuat klien dibawa ke rumah sakit.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Keluhan tambahan selain keluan utama.
d. Riwayat Masa Lampau
Perlunya ditanyakan apakah dulu pernah mengalami hal yang sama,
apakah sebelumnya pernah mengkonsumsi obat-obat atau jamu tertentu
baik dari dokter maupun yang di beli sendiri, apakah ada riwayat kontak
denagn penderiata sakit kuning, adakah rwayat operasi empedu, adakah
riwayat mendapatkan suntikan atau transfuse darah. Ditemukan adanya
riwayat gangguan hemolissi darah (ketidaksesuaian golongan Rh atau
darah ABO), polisitemia, infeksi, hematoma, gangguan metabolisme
hepar, obstruksi saluran pencernaan dan ASI, ibu menderita DM.Riwayat
Kesehatan Keluarga (Disertai Genogram)
Penyakit yang pernah diderita atau yang sedang diderita oleh keluarga.
e. Riwayat Sosial
1) Yang mengasuh klien dan alasan

2) Pembawaan secara umum


3) Lingkungan rumah dan komunitas
Lingkungan yang kotor dan kumuh serta personal hygiene yang
kurang.
f. Keadaan kesehatan saat ini
1) Diagnosa medis
2) Tindakan operasi
3) Obat-obatan
4) Tidakan keperawatan
5) Hasil lab.
6) Hasil rontgen
7) Data tambahan
g. Pola Fungsi kesehatan
1) Pola Nutrisi
Pola makan dalam memenuhi kebutuhan nutrisi
2) Pola eliminasi
Frekuensi, warna, jumlah, konsistensi (kusus BAB)
3) Pola istirahat
4) Pola aktivitas
Klien nampak lemah, gelisah sehingga perlu bantuan sekunder untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari.
h. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pemeriksaan derajat ikterus, ikterus
terlihat pada sclera, tanda-tanda penyakit hati kronis yaitu eritema
palmaris, jari tubuh (clubbing), ginekomastia (kuku putih) dan termasuk
pemeriksaan organ hati (tentang ukuran, tepid an permukaan); ditemukan
adanya pembesaran limpa (splenomegali), pelebaran kandung empedu,
dan masa abdominal, selaput lender, kulit nerwarna merah tua, urine pekat
warna teh, letargi, hipotonus, reflek menghisap kurang/lemah, peka
rangsang, tremor, kejang, dan tangisan melengking.
i. Pemeriksaan Perkembangan
1)
Kemandirian dalam bergaul
2)
Motorik halus
3)
Kognitif dan bahasa
4)
Motorik kasar

10. Diagnosa keperawatan


a. Kekurangan volume cairan b.d tidak edekuatnya intake cairan,
fototerapi dan diare
b. Ketidakefektifan termoregulasi b.d efek fototerapi
c. Risiko kerusakan integritas kulit b.d hiperbilirubinemia dan diare

11. Rencana asuhan keperawatan


No.
1

Diagnosa Keperawatan
Kekurangan volume cairan b.d
tidak edekuatnya intake cairan,
fototerapi dan diare

Ketidakefektifan
termoregulasi
b.d efek fototerapi

Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam,
diharapkan keseimbangan cairan klien terpenuhi kriteria hasil:
NOC: Bowel elimination
Indikator
Skala
Intake output 24 jam 5
seimbang
Tidak
ada
tanda-tanda 5
dehidrasi
Nadi, suhu tubuh dalam 5
batas normal
Keterangan:
1. Keluhan ekstrim
2. Keluhan berat
3. Keluhan sedang
4. Keluhan ringan
5. Tidak ada keluhan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x 24 jam
diharapkan suhu tubuh klien normal.
kriteria hasil:
Indikator
Skala
Temperature setabil
5
Tidak ada kejang
5
Tidak ada perubahan warna 5
kulit

1.
2.
3.

4.
5.
6.
7.
8.

Intervensi
Timbang
popok/pembalut
jika
diperlukan
Pertahankan catatan intake dan output
yang akurat
Monitor status hidrasi ( kelembaban
membran mukosa, nadi adekuat,
tekanan darah ortostatik ), jika
diperlukan
Monitor vital sign
Kolaborasikan
pemberian
cairan
intravena IV
Monitor status nutrisi
Dorong masukan oral
Berikan penggantian nesogatrik sesuai
output

1.
Monitor suhu tiap 2 jam
2.
Tingkatkan intake cairan dan nutrisi
3.
Monitor nadi dan RR.
4.
Selimuti klien untuk mencegah hilangnya
kehangatan tubuh

Risiko kerusakan integritas kulit


b.d hiperbilirubinemia dan diare

Keterangan:
1.
K
uat
2.
B
erat
3.
S
edang
4.
R
ingan
5.
ti
dak ada
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
diharapkan kulit pasien tetap utuh, dengan kriteria hasil:
Indikator
Skala
Integritas kulit yang baik bisa
5
dipertahankan (sensasi,
elastisitas, temperatur, hidrasi,
pigmentasi)
Tidak ada luka/lesi pada kulit
5
Perfusi jaringan baik
5
Keterangan :
1= keluhan ekstrim
2= keluhan berat
3= keluhan sedang
4= keluhan ringan
5= tidak ada keluhan

NIC : Pressure Management


1. Anjurkan pasien untuk menggunakan
pakaian yang longgar
2. Hindari kerutan padaa tempat tidur
3. Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih
dan kering
4. Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien)
setiap dua jam sekali
5. Monitor kulit akan adanya kemerahan
6. Oleskan lotion atau minyak/baby oil
pada derah yang tertekan

DAFTAR PUSTAKA
Abdoerrachman, dkk. (2007). Buku Kuliah 2 Ilmu Kesehtan Anak. Jakarta:
Universitas indonesia.
HTA Indonesia (2004). Tatalaksana Ikterus Neonatorum.
Hutahean, B.P. (2007). Gangguan Perkembangan Neurologis Pada Bayi Dengan
Riwayat Hiperbilirubinemia [Thesis]. Semarang : Universitas Diponegoro.
Wong, Donna L. 2004. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik..Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai