Anda di halaman 1dari 1

SEJARAH BAHASA JAWA BANTEN

Terbentuknya bahasa Jawa Banten ini dimulai dengan dikuasainya wilayah Banten oleh tentara gabungan Demak
dan Cirebon tahun 1525 yang dipimpin Fatahillah, mantu dari Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).
Penyerbuan dan penguasaan pasukan gabungan Demak dan Cirebon terhadap Banten pada tahun 1526
merubah sejarah peradaban Banten. Fatahillah yang berasal dari Demak dan juga sebagai menantu Syarif
Hidayatullah dari Cirebon dengan kekuatan pasukan besar Demak dan Cirebon berhasil mempertahankan
kekuasaannya di Banten atas serbuan Pajajaran maupun Portugis. Pendudukan pasukan Demak dan Cirebon
atas Banten ini bukan saja berpengaruh terhadap faham keagamaan masyarakat Banten, tetapi juga adat
kebiasaan, dan juga bahasa. Bahasa Sunda sebagai bahasa asal penduduk, lambat laun dipengaruhi oleh
bahasa yang digunakan orang-orang Demak dan Cirebon ini.
Kekuasaan pemerintahan kesultanan Banten sejak berdirinya sampai runtuhnya selalu berada di tangan para
pemimpin yang berasal dari Jawa Tengah, Cirebon atau keturunan Jawa-Banten. Melalui penyebaran agama
Islam, perkawinan dengan penduduk asli, jalur birokrasi pemerintahan dan perdagangan antar penduduk, lambat
laun bahasa Jawa menjadi bahasa pengantar dan bahasa pergaulan masyarakat, terutama di Kota Surosowan,
ibukota Kesultanan Banten. Pemakaian bahasa yang digunakan oleh pembesar negeri, baik dalam kaitannya
dengan tugas kenegaraan, berupa bahasa lisan atau tulis maupun pemakaian percakapan sehari-hari, sangatlah
besar pengaruhnya pada rakyat yang dipimpinnya.
Melalui lingkungan menak-menak Banten, yang juga banyak dari lingkungan Sunda, yang menguasai tampuk
pemerintahan, perembesan corak kebudayaan Jawa berlanjut ke tengah masyarakat yang lebih rendah.
Sehingga lama kelamaan terjadilah asimilasi bahasa antara Jawa Demak, Cirebon dan Sunda di daerah Banten.
Hancurya kesultanan Banten tahun 1813 merupakan juga lenyapnya pusat acuan budaya yang menghubungkan
Banten dengan Jawa Tengah dan Cirebon.
Dari data sejarah, sejak pecahnya perang Tirtayasa melawan putranya yang pada hakekatnya melawan tentara
Belanda perlawanan rakyat melawan kuasa Belanda ini tidaklah pernah berhenti. Demikian juga setelah
Kesultanan Banten dihapuskan. Menurut tulisan Prof. Dr. Sartono (1985: 201) bahwa hampir sepanjang abad ke19, di Banten, tiada hari yang sepi dari pemberontakan rakyat terhadap penjajah Belanda. Perlawanan rakyat itu,
hampir semuanya dipimpin oleh para ulama dan atau bekas pembesar di Kesultanan Banten. Dan melihat
keadaan itu, pemerintah Belanda selalu mencurigai orang-orang Banten yang hendak bepergian ke luar daerah;
demikian juga orang luar yang akan masuk di daerah Banten.
Isolasi pemerintahan Belanda terhadap Banten ini menyebabkan hubungan Banten dengan daerah lain terputus.
Dalam hal kebahasaan, keadaan ini pula yang menyebabkan terputusnya hubungan kebahasaan antara Banten
dengan pusat bahasa Jawa di Jawa Tengah (Mataram), dan Cirebon. Keadaan demikian berjalan berpuluh
bahkan beratus tahun, sehingga bahasa Jawa di Banten mengalami perkembangan yang berbeda dengan
perkembangan bahasa Jawa di Jawa Tengah ataupun di Cirebon.
Dalam pada itu, dengan dihapuskannya Kesultanan Banten dan pusat perdaganganpun dipindah ke Batavia,
maka kota Surosowan menjadi sepi. Para pendatang dari berbagai daerah pindah ke daerah lain. Dengan
demikian yang tinggal di daerah Banten hanyalah penduduk asli yang berbahasa Jawa Banten sebagai hasil
asimilasi antara bahasa Sunda, bahasa Jawa Tengah dan bahasa Cirebon. Untuk selanjutnya, bahasa Jawa
Banten ini berkembang mandiri, sehingga menjadi bentuk bahasa yang ada seperti sekarang ini, dan masih akan
terus berkembang sesuai dengan kebutuhan penggunanya.

https://web.facebook.com/groups/lestarikanbebasanbanten/?
multi_permalinks=833665680073159&notif_t=group_highlights&notif_id=14660
96306525431

Anda mungkin juga menyukai