Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN
Limfoma Non-Hodgkin (LNH) adalah kelompok keganasan prirner limfosit
yang dapat berasal dari limfosit B, limfosit T, dan sangat jarang berasal dari sel
NK ("natural killer") yang berada dalam sistem lirnfe yang sangat heterogen, baik
tipe histologis, gejala, perjalanan klinis, respon terhadap pengobatan, maupun
prognosis. Pada LNH sebuah sel limfosit berproliferasi secara tak terkendali yang
mengakibatkan terbentuknya tumor. Seluruh se1 LNH berasal dari satu sel
limfosit, sehingga semua sel dalam tumor pasien LNH memiliki imunoglobulin
yang sama pada permukaan selnya1.
Insiden LNH terus mengalami peningkatan sekitar 3,4% setiap tahunnya.
The American Cancer Society memperkirakan terdapat 65.980 kasus baru setiap
tahun dan 19.500 di antaranya meninggal dunia akibat LNH pada tahun 2009. Di
Indonesia, LNH menduduki peringat ke-6 kanker terbanyak, bahkan Badan
Koordinasi Nasional Hematologi Onkologi Medik Penyakit Dalam Indonesia
(BAKORNAS HOMPEDIN) menyatakan, insiden Limfoma lebih tinggi dari
leukemia dan menduduki peringkat ketiga kanker yang tumbuh paling cepat
setelah melanoma dan paru2.
Etiologi sebagian besar LNH tidak diketahui. Namun terdapat beberapa
faktor risiko yang menyebabkan terjadinya LNH, yaitu onkogen, infeksi virus
Ebstein Barr, Human T-leukemia Virus-I (HTLV-I), penyakit autoimun dan
defesiensi imun1,3.
Diagnosis LNH ditegakkan dari hasil pemeriksaan histologi biopsi eksisi
(excisional biopsy) kelenjar getah bening atau jaringan ekstranodal3. Stadium
LNH didasarkan atas kriteria Ann Arbor yang terdiri dari: stadium I (mengenai
satu regio KGB atau satu organ ekstralimfatik); stadium II (mengenai dua atau
lebih KGB pada satu sisi diafragma atau satu organ ekstralimfatik dan satu atau
lebih KGB pada satu sisi diafragma); stadium III (mengenai KGB pada kedua sisi
diafragma, yang dapat disertai dengan keterlibatan limpa atau terlokalisasi pada

satu organ ekstralimfatik atau keduanya); stadium IV (mengenai KGB secara difus
mengenai satu atau lebih organ ekstralimfatik, dengan atau tanpa disertai
keterlibatan pada KGB)4.
Pengobatan dengan menggunakan kombinasi kemoterapi (multiagent) dapat
mempengaruhi prognosis dari penyakit. Prognosis limfoma tergantung pada tipe
histologi dan staging3.
1.2

Tujuan
Tujuan penulisan telaah ilmiah ini adalah untuk menjelaskan secara singkat

diagnosis dan tatalaksana Limfoma Non Hodgkin.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Definisi
Limfoma Non-Hodgkin (LNH) adalah kelompok keganasan prirner limfosit

yang dapat berasal dari limfosit B, limfosit T, dan sangat jarang berasal dari sel
NK ("natural killer") yang berada dalam sistem lirnfe; yang sangat heterogen, baik
tipe histologis, gejala, perjalanan klinis, respon terhadap pengobatan, maupun
prognosis1.
Limfoma non-Hodgkin (LNH) atau non-Hodgkin Lymphomas merupakan
penyakit yang sangat heterogen dilihat dari segi patologi dan klinisnya.
Penyebarannya juga tidak seteratur penyakit Hodgkin serta bentuk ekstra-nodal
jauh lebih sering dijumpai3.
2.2

Epidemiologi
Limfoma maligna merupakan salah satu kanker yang dapat disembuhkan

dengan kemoterapi atau dengan kombinasi radioterapi. Insiden penyakit ini


khususnya LNH terlihat terus mengalami peningkatan sekitar 3,4% setiap
tahunnya. The American Cancer Society memperkirakan terdapat 65.980 kasus
baru setiap tahun dan 19.500 di antaranya meninggal dunia akibat LNH pada
tahun 2009.
Di Indonesia, LNH menduduki peringat ke-6 kanker terbanyak, bahkan
Badan Koordinasi Nasional Hematologi Onkologi Medik Penyakit Dalam
Indonesia (BAKORNAS HOMPEDIN) menyatakan, insiden Limfoma lebih
tinggi dari leukemia dan menduduki peringkat ketiga kanker yang tumbuh paling
cepat setelah melanoma dan paru2.

2.3

Etiologi dan Faktor Risiko


Etiologi terjadinya sebagian besar LNH sampai saat ini belum diketahui.

Ada beberapa faktor risiko terjadinya LNH yaitu1,3,4:


a. Imunodefisiensi: diketahui sekitar 25% kelainan herediter langka yang
berhubungan dengan terjadinya LNH antara lain adalah severe combined
immunodeficiency,

hypogamma

globulinemia,

common

variable

immunodeficiency, Wiskott-Aldrich syndrome, dan ataxia-telangiectasia.


Limfoma yang berhubungan dengan kelainan-kelainan tersebut seringkali
dihubungkan pula dengan Epstein-Barr virus (EBV) dan jenisnyaberagam,
mulai dari hiperplasia poliklonal sel B hingga limfoma monokional.
b. Agen Infeksius: EBV DNA ditemukan pada95% limfoma Burkit endemik,
dan lebih jarang ditemukan pada limfoma Burkit sporadik. Karena tidak
pada semua kasus limfoma Burkit ditemukan EBV, hubungan dan
mekanisme EBV terhadap terjadinya limfoma Burkit belum diketahui.
Sebuah hipotesis menyatakan bahwa infeksi awal EBV dan faktor
lingkungan dapat meningkatkan jumlah prekursor yang terinfeksi EBV
dan meningkatkan risiko terjadinya kerusakan genetik. EBV juga
dihubungkan dengan posttranspIant lymphoproIifer ative disorders
(PTLDs) dan AIDS-associat ed lymphomas.
Selain

EBV

DNA,

HTLV-1

juga

merupakan

agen

penyebab

leukimia/limfoma sel T dewasa/ imunodefisiensi (herediter atau didapat)


yang merupakan faktor pencetus untuk terjadinya limfoma sel B. Pada
sindrom defisiensi imun didapat (AIDS) terdapat peningkatan insidensi
limfoma di tempat-tempat yang tidak umum, misalnya di sistem saraf
pusat. Limfoma tersebut biasanya berasal dari sel B dan secara histologi
berderajat tinggi atau sedang.
Enteropati yang diinduksi gluten serta limfadenopati angioimunoblastik
merupakan faktor pemcetus terjadinya limfoma sel T, dan beberapa
limfoma jaringan limfoid yang terkait dengan mukosa (mucosa-assosiated
lymphoid tissue, MALT) di lambung, faktor pencetusnya dikaitkan dengan

infeksi Helicobacter. Infeksi hepatitis C juga telah diajukan sebagai faktor


risiko terjadinya limoma non-Hodgkin.
c. Paparan Lingkungan dan Pekerjaan: Beberapa pekerjaan yang sering
dihubungkan dengan risiko tinggi adalah petemak sefta pekerja hutan dan
peftanian. Hal ini disebabkan adanya paparan herbisida dan pelarut
organik.
d. Diet dan Paparan Lainnya: risiko LNH meningkat pada orang yang
mengkonsumsi makanan tinggi lemak hewani, merokok. dan yang terkena
paparan ultraviolet.
2.4

Klasifikasi dan Histopatologik


Klasifikasi histopatologik merupakan topik yang paling membingungkan

dalam studi limfoma maligna karena perkembangan klasifikasi ini demikian cepat
dan dijumpai berbagai jenis klasifikasi yang satu sama lain tidak kompatibel. Pada
tahun 1994 telah dikeluarkan klasifikasi Revisied American European Lymphoma
(REAL) dan diterapkan secara luas. Klasifikasi REAL/WHO mencakup semua
keganasan limfoid dan limfoma dan lebih berdasarkan klinis dibandingkan dengan
skema-skema klasifikasi sebelumnya. Secara umum terjadi pergeseran pembagian
limfoma yang awalnya hanya berdasarkan penampilan histologik menjadi lebih ke
arah sindrom dengan gambaran morfologik, imunofenotipe, genetik, dan klinis
yang khas. Klasifikasi ini juga berguna untuk mempertimbangkan kemungkinan
asal keganasan masing-masing limfoid berdasarkan fenotipe dan status penataan
ulang imunoglobulinnya3.

Tabel 1. Klasifikasi Revisied American European Lymphoma (REAL) untuk


neoplasma limfoid
Sel B (85%)
Neoplasma prekursor sel B
Limfoma/leukimia limfoblastik
prekursor B (ALL-B/LBL)

Sel T dan sel NK (15%)


Neoplasma prekursor sel T
Limfoma/leukimia limfoblastik
prekursor T (ALL-T/LBL)

Neoplasma sel B matur (perifer)


Leukimia limfositik kronik sel
B/ Limfoma limfositik kecil
Leukimia prolimfositik sel B
Limfoma limfoplasmasitik
Limfoma sel B zona marginal
limpa (limfosit vilosa)
Leukimia sel berambut
Myeloma sel plasma/
plasmasitoma

Neoplasma sel T matur (perifer)


Leukimia prolimfositik sel T
Leukimia limfositik granular sel T
Leukimia sel NK agresif
Leukimia/Limfoma sel T dewasa
(HTLV-1)

2.5

Limfoma sel B zona marginal


ekstranodal tipe MALT
Limfoma sel mantel
Limfoma folikular
Limfoma sel B zona marginal
nodal
Limfoma sel B besar difus
Limfoma Burkitt

Limfoma sel T/NK ekstranodal,


tipe nasal
Limfoma sel T jenis enteropati
Mycosis fungoides/ sindrom
Sezary
Limfoma sel besar anaplastik, tipe
kutaneus primer
Limfoma sel T perifer, tidak
dispesifikasi
Limfoma sel T angioimunoblastik
Limfoma sel besar anaplastik, tipe
sistemik primer

Patogenesis Limfoma Non Hodgkin


Prekursor limfosit dalam sumsum tulang adalah limfoblas. Perkembangan

limfosit terbagi dalam dua tahap, yaitu tahap yang tidak tergantung antigen
(antigent independent) dan tahap yang tergantung anrigent (antigent dependent).
Pada tahap I, sel induk limfoid berkembang menjadi sel pre-B, kemudian
menjadi sel B imatur dan sel B matur, yang beredar dalam sirkulasi, dikenal

sebagai naive B-cell. Apabila sel B terkena rangsangan antigen, maka proses
perkembangan akan masuk tahap 2 yang terjadi dalam berbagai kopartemen
folikel

kelenjar

getah

bening,

dimana

terjadi

immunoglobuline

gene

rearrangement. Pada tahap akhir menghasilkan sel plasma yang akan pulang
kembali ke sumsum tulang.
Normalnya, ketika tubuh terpajan oleh zat asing, sistem kekebalan tubuh
seperti sel limfosit T dan B yang matur akan berproliferasi menjadi suatu sel yang
disebut imunoblas T atau imunoblas B. Pada LNH, proses proliferasi ini
berlangsung secara berlebihan dan tidak terkendali. Hal ini disebabkan akibat
terjadinya mutasi pada gen limfosit tersebut. Proliferasi berlebihan ini
menyebabkan ukuran dari sel limfosit itu tidak lagi normal, ukurannya membesar,
kromatinnya menjadi lebih halus, nukleolinya terlihat, dan protein permukaan
selnya mengalami perubahan.
Terdapat bukti bahwa pada respons imun awal sebagian naiv B cell dapat
langsung mengalami transformasi menjadi immunoblast kemudian menjadi sel
plasma. Sebagian besar naiv B cell dapat langsung mengalami transformasi
menjadi immunoblast kemudian menjadi sel plasma. Sebagian besar naiv B cell
mengalami transformasi melalui mantle cell, follicular B-blast, centroblast,
centrocyte, monocyte B cell dan sel plasma.
Perubahan sel limfosit normal menjadi sel limfoma merupakan akibat
terjadinya mutasi gen pada salah satu sel dari sekelompok sel limfosit tua yang
tengah berada dalam proses transformasi menjadi imunoblas (terjadi akibat
adanya rangsangan imunogen). Proses ini terjadi di dalam kelenjar getah bening,
dimana sel limfosit tua berada dlluar "centrum germinativum" sedangkan
imunoblast berada di bagian paling sentral dari "centrum germinativum" Beberapa
perubahan yang terjadi pada limfosit tua antara lain: 1). Ukurannya makin besar;
2). Kromatin inti menjadi lebih halus; 3). Nukleolinya terlihat; 4). Protein
permukaan sel mengalami perubahan reseptor1.
Penataan ulang kromosom yang salah merupakan mekanisme mutasi yang
penting terhadap LNH sel B. Memahami mekanisme dasar yang berkontribusi
terhadap proses ini relevan dengan pembahasan epidemiologi saat ini. Sedikit

yang diketahui tentang agen yang mempengaruhi penyusunan ulang kromosom


abnormal, namun pada pertemuan ini Kirschhas telah memberikan bukti bahwa
paparan kerja pestisida dapat meningkatkan laju pembentukan rekombinasi yang
salah [misalnya, inv (7) PL3, Q35)] antara gen reseptor sel T. Sementara inversi
ini tidak terkait dengan aktivasi onkogen, ini menunjukkan bahwa faktor-faktor
eksogen dapat mempengaruhi proses rekombinasi dalam sel. telah dijelaskan
penyusunan ulang kromosom, termasuk translokasi stabil dalam aplikator fumigan
(pengasapan) terpajan fosfin9. Gen Ig di B-sel (dan T-sel reaktivitas gen dalam
sel-T) mengalami perubahan struktural yang luas selama perkembangan normal.
Ada dua proses penataan ulang terpisah: V-(D)-J penyusunan ulang yang terjadi
selama tahap pro-B/pre-B awal dan berat rantai isotipe beralih yang terjadi di
matang perifer B-sel. Dalam setiap proses DNA rusak dan bergabung kembali,
enzim yang berbeda mungkin terlibat dalam kedua proses. V-(D)-J gen menata
ulang langkah melibatkan gen Ig dalam tiga lokus kromosom yang berbeda:
DHJH, VH DHJH pada kromosome (chr) 14; VKJK pada kromosom 2,
dan V J pada kromosom 229.
Disamping itu, BCL-6 represor transkripsi yang sering mengalami
translokasi dalam limfoma, mengatur deferensiasi germinal center sel B dan
peradangan. Skrining mikroangiopati DNA mengidentifikasi gen-gen yang
ditekan oleh BCL-6, termasuk banyak gen aktivasi limfosit, menunjukkan bahwa
BCL-6 memodulasi sinyal reseptor sel B. BCL-6 represi dari dua gen kemokin,
MIP-1alpha dan IP-10, juga mungkin meminimalkan respon inflamasi. Blimp-1,
BCL-6 target lain, sangant penting untuk diferensiasi plasmacytic. Sejak ekspresi
BCL-6 tidak ada dalam sel plasma, represi balon-1 oleh BCL-6 dapat mengontrol
diferensiasi plasmacytic. Memang, penghambatan BCL-6 fungsi melakukan
perubahan indikasi diferensiasi plasmacytic, termasuk penurunan ekspresi c-Myc
dan peningkatan ekspresi siklus inhibitor p27KIP1 sel. Data ini menunjukkan
bahwa transformasi maligna oleh BCL-6 melibatkan penghambatan diferensiasi
dan penigkatan proliferasi10,11.
Selain mutasi gen, penuaan mungkin merupakan faktor penting dalam
patogenesis Kelompok I LNH sel B, karena tumor ini terjadi terutama di

kelompok usia yang lebih tua, dan peningkatan angka kejadian dalam setiap
kelompok usia lebih dari 55 tahun. Penjelasan biologis bagaimana penuaan
berpengaruh terhadap limfoma genesis belum dipahami dengan baik. Efek
penuaan pada sistem kekebalan tubuh telah dipelajari selama beberapa tahun.
Konsep bahwa penuaan adalah keadaan imunodefisiensi mungkin peryataan yang
terlalu umum. Pada pemeriksaan sumsum tulang ditemukan Clonotypes baru.
Hasil yang didapatkan oleh peneliti sebelumnya yaitu adanya disregulasi dari
sistem kekebalan tubuh. Pertama, diketahui bahwa timus berinvolusi sehingga sel
T bergantung lebih banyak pada kolam perifer. Selain itu, proliferasi sel T dan
produksi IL-2 mengalami penurunan. Sel T autoreaktif muncul dengan
bertambahnya usia. Dalam garis keturunan sel B respon humoral terhadap antigen
asing menurun sementara produksi antibodi autoreaktif meningkat. Perubahan
dalam repertoar B-sel pada tikus terjadi dengan penuaan yang mungkin berubah
yaitu gen V, D,dan J. sel B manusia dari individu yang berusia tua mengalami
proliferasi 50% kurang efisien dibandingkan dari usia muda, perbedaan ini
mungkin karena gangguan dalam komponen jalur transduksi sinyal tertentu dalam
sel-B. Penuaan juga berhubungan dengan ketidakseimbangan dalam T-dan Brepertoar. Pengaturan ukuran dan aktifitas proliferasi clonotypes B-sel tertentu
pada orang tua mungkin kurang dikontrol dengan baik karena perubahan dalam
kompartemen sel-T. Ini ditambah dengan peningkatan frekuensi autoreaktif
clonotypes, dapat menghasilkan populasi B-sel yang kurang patuh pada peraturan
oleh sel T, sehingga meningkatan risiko untuk mengalami pertumbuhan otonom9.
Selain

itu

LNH

sel

memiliki

hubungan

dengan

keadaan

immunodeficiency, yang paling sering adalah oligoclonal atau poliklonal, dan ini
telah

mengangkat

isu

bahwa

beberapa

limfoma

ini

lebih

kepada

lymphoproliferative daripada gangguan neoplastik. Banyak limfoma timbul dalam


berbagai bentuk immunodeficiency seperti EBV+, menunjukkan peran partisipatif
gen EBV dalam proses lymphomagenic. Mekanisme dasar untuk limfomagenesis
pada immunodeficiency diduga melibatkan gangguan pengawasan imunologi dan
kemampuan sel-T untuk menghilangkan sel-sel mengekspresikan antigen
permukaan sel atipikal. Dalam sel B virus dipertahankan sebagai plasmid dalam

10

sitoplasma sel yang beristirahat, sehingga sejumlah besar sel B terinfeksi. Kondisi
ini akan mempengaruhi pertumbuhan sel B menjadi sel ganas. Sel B yang baru
terinfeksi (nonneoplastic) dan baris sel lymphoblastoid yang dibiakkan dari darah
orang yang terinfeksi terus-menerus mengekspresikan beberapa protein virus
EBNAs 1, 2a, 3a, 3b, 3c dan EBNA-LP, LMP1, 2A, 2B tapi menghasilkan sangat
sedikit virus. Protein membran merupaka target antigen untuk sitotoksik T-sel9.
Sel yang berubah menjadi sel kanker seringkali tetap rnempertahankan
sifat "dasar"nya. Misalnya sel kanker dari limfosit tua tetap mempertahankan sifat
mudah masuk aliran darah namun dengan tingkat mitosis yang rendah, sedangkan
sel kanker dari imunobias amat jarang masuk ke dalam aliran darah, namun
dengan tingkat mitosis yang tinggi1.
2.6

Klasifikasi Limfoma Non-Hodgkin


Secara umum klasifikasi LNH dibuat berdasarkan kemiripan sel-sel pada

suatu tipe LNH dengan limfosit normal dalam berbagai kompartemen diferensiasi.
Klasifikasi histopatologik harus disesuaikan dengan kemampuan patologis serta
fasilitas yang tersedia. Dua jenis klasifikasi yang paling umum dipakai adalah
klasifikasi Kiel dan Working formulation. Dibawah ini di uraikan klasifikasi
Rappaport yang merupakan awal klasifikasi LNH modern, Working formulation,
serta klasifikasi terbaru REAL3,4.
Tabel 2. Klasifikasi Rappaport
1. Lymphocytic, poorly differentiated
a. Nodular (NLPD)
b. Diffuse (DLPD)
2. Lymphocytic, well differentiated
a. Diffuse (DLWD)
3. Mixed lymphocytic histiocytic
a. Nodular (NMLH)
b. Diffuse (DMLH)
4. Undifferentiated
a.
Diffuse (DU)
Burkitt type
Non-Burkitt (lymphoblastic) type

11

Klasifikasi Rappaport memakai dasar bentuk morfologik, makin mendekati


bentuk limfosit kecil dianggap sel yang berdiferensiasi baik, sedangkan sel yang
lebih besar dianggap berdiferensiasi tidak baik. Sehubungan dengan itu, dilihat
susunan sel, apakah noduler, atau difus.
Klasifikasi Kiel
Klasifikasi Kiel membagi LNH menjadi 2 golongan besar, yaitu:
a. LNH dengan derajat keganasan rendah
b. LNH dengan derajat keganasan tinggi
Klasifikasi Kiel sudah menyesuaikan dengan kompartemen dari kelenjar getah
bening, serta membedakan asal sel, apakah dari limfosit B atau limfosit T
Tabel 3. Klasifikasi Kiel
Sel B
Low grade malignancy
Lymphocytic
Lymphoplasmacytic
Plasmacytic
Centroblastic/centrocytic
Follicular
Diffuse
Centrocytic
High grade malignancy
Centroblastic
Immunoblastic
Large cell anaplastic (Ki-1+)
Burkitts lymphoma
Lymphoblastic
Rare types

Sel T
High grade malignancy
Lymphocytic
Small cerebriform cell
Mycosis funguides
Sezarys syndrome
Lymphoepitheloid (Lenners lymphomas)
Angioimmunoblastic T zone
Pleomorphic small cell
High grade malignancy
Pleomorphic medium and large cell
Immunoblastic
Large cell anaplastic (Ki-1+)
Lymphoblastic
Rare types

12

Perumusan Praktis untuk Penggunaan Klinis


Perumusan praktis untuk penggunaan klinik (working formulation for
clinical usage) merupakan klasifikasi yang banyak dipakai. Sebetulnya klasifikasi
ini merupakan jembatan antar berbagai klasifikasi yang ada.
Klasifikasi yang baru dibuat berdasarkan perkembangan limfosit yang
dengan demikian dapat dihubungkan dengan letak sel pada kompartemen kelenjar
getah bening normal. Maka secara umum klasifikasi limfoma berasal dari sel B
adalah:
1. Precursor B-cell lymphoma
Limfoma dianggap berasal dari limfoblast. Dapat terjadi dalam bentuk
leukemia ataupun limfoma, yang keduanya identik atau disebut
lymphoblastic leukemia/lymphoma.
2. LNH yang berasal dari naive B-cell
LNH ini disebut sebagai small lymphocytic lymphoma (SLL) yang identik
dengan bentuk chronic lymphocytic leukemia (CLL).
3. LNH berasal dari germinal center dari suatu folikel limfoid. LNH dari
germinal center dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu:
a. Follicular lymphoma: terdiri dari sel yang sangat mirip dengan sel dari
germinal center normal. LNH jenis ini biasanya bersifat indolen, tetapi
incurable. Follicular lympoma sering disertai translokasi kromosom 14
dan 18 {t(14;18)} yang menyebabkan juxtaposisi bcl-2 gene yang
mengatur apoptosis dengan Ig heavy chain gene.
b. Large cell lymphoma: terdiri dari sel-sel besar yang terdapat dalam
folikel normal (centroblast). Jenis ini sering bersifat difus karena itu
disebut sebagai diffuse large cell lymphoma. LNH jenis ini bersifat
agresif, tetapi sangat responsif terhadap kemoterapi.
4. LNH yang berasal dari mantle zone
LNH jenis ini disebut sebagai mantle zone lymphoma. Secara
imunofenotipe mirip dengan SLL, tetapi menunjukkan CD5 positif.

13

Perjalanan klinis slowly progressive dan incurable dengan standard


chemotherapy.
5. LNH yang berasal dari marginal zone atau parafollicular
Termasuk dalam golongan ini adalah: B-cell monocytoid lymphoma, lowgrade mucosa-associated lymphoid tissue (MALT) lymphoma dan splenic
marginal zone lymphoma. Terdiri dari sel-sel limfosit kecil yang
menempati zone marginal atau prafolikuler dari folikel limfoid normal.
2.7

Gambaran Klinis Limfoma Non-Hodgkin


a. Gejala klinik limfoma non-hodgkin
1. Limfadenopati superfisial. Sebagian besar pasien datang dengan
pembesaran kelenjar getah bening asimetris yang tidak nyeri pada satu
atau lebih regio kelenjar getah bening perifer.
2. Gejal konstutisional. Demam, keringat pada malam hari, dan
penurunan berat badan lebih jarang terjadi pada penyakit Hodgkin.
Dapat terjadi anemia dan infeksi dengan jenis yang ditemukan pada
penyakin Hodgkin
3. Gangguan orofaring. Pada 5-10% pasein, terdapat penyakit di struktur
orofaringeal (cincin Waldeyer) yang dapat menyebabkan timbulnya
keluhan sakit tenggorok atau nafas berbunyi atau tersumbat.
4. Anemia, netropenia dengan infeksi, atau trombositopeni dengan
purpura merupakan gambaran pada penderita penyakit sumsum tulang
difus. Sitpenia juga dapat disebabkan oleh autoimun.
5. Penyakit abdomen. Hati dan limpa seringkali membesar dan kelenjar
getah bening retroperitonela atau mesentrika sering terkena. Saluran
gastrointestinal adalah lokasi ekstranodal yang paling sering terkena
setelah sumsum tulang, dan pasien bisa datang gejala nyeri abdomen
akut.
6. Gejala pada organ lain. kulit, otak, testis, atau tiroid sering terkena.
Kulit juga secara primer terkena pada dua jenis limfoma sel T yang
tidak umum dan terkait erat: mikosis fungoides dan sindrom Sezary.

14

b. Kelainan Hematologi
Pada pemeriksaan hematologi seorang LNH dapat dijumpai kondisi
sebagai berikut:
1. Biasanya ditemukan anemia normositik normokrom, tetapi hemolitik
autoimun juga dapat terjadi3.
2. Pada penyakit lanjut yang disertai dengan keterlibatan sumsum tulang,
mungkin terdapat netropenia, trombositopenia (khususnya jika limpa
membesar), atau gambaran leukoeritroblastik.
3. Dapat dijumpa sel sel limfoma (misalnya sel zona selubung, sel
limfoma folikuler berbelah, atau blast) dengan kelainan inti yang
bervariasi, dapat ditemukan dalam darah tepi beberapa pasien.
4. Biopsi trephin sumsum tulang menunjukkan lesi fokal pada 20%
kasus. keterlibatan sumsum tulang lebih sering ditemukan pada
limfoma maligna derajat rendah. Pada pemeriksaan petanda
imunologik

dengan

teknik

fluorensi

atau

peroksidase

dapat

mendeteksi keterlibatan minimal (misalnya suatu populasi klonal sel B


yang terbatas) yang mudah dikenali dengan mikroskop konvensional7.
c. Petanda imunologik
Pemeriksaan petanda imunologik (immunological marker) untuk
melihat ekspresi antigen pada permukaan sel sangat penting untuk
menentukan jenis sel (sel B atau sel T) serta tingkat perkembangannya.
Antigen diferensiasi kelompok yang berguna dalam penegakan
diagnosis limfoma dapat dilihat pada tabel.
Tabel 4. Antigen diferensiasi kelompok (cluster differentiation, CD)
Sel T
CD2
CD3
CD5
CD7

Sel B
CD19
CD20
CD22
CD24

Subset sel T

Sel B langka

Petanda aktivasi
CD23
CD25
CD30

Antigen umum leokosit


CD45

15

CD4
CD8

CD5

Berbagai subtipe limfoma non-hodgkin dikaitkan dengan translokasi


kromosom khas yang mempunyai nilai diagnostik dan prognostik.
Kalainan yang sangat khas adalah t(8;4) pada limfoma Butkitt, t(14;18)
pada limfoma folikular, t(11;14) pada limfoma sel selubung, t(2;5) pada
sel besar anaplastik.
d. Kimia Darah
Dapat terjadi peningkatan asam urat serum. Uji fungsi hati yang
abnormal mengesankan adanya penyakit diseminata. Kadar LDH serum
meningkat pada penyakit yang lebih cepat berproliferasi dan kuas serta
dapat digunakan sebagai suatu petanda prognostik.
2.8

Stadium Penyakit
Penentuan stadium didasarkan pada jenis patologi dan tingkat keterlibatan.

Jenis patologi (tingkat rendah, sedang atau tinggi) didasarkan pada formulasi kerja
yang baru. Tingkat keterlibatan ditentukan sesuai dengan klasifikasi Ann Arbor.
a.

Formulasi kerja yang baru5


Tingkat rendah:
1. Limfositik kecil
2. Sel folikulas, kecil berbelah
3. Sel folikulas dan campuran sel besar dan kecil berbelah
Tingkat sedang:
1. Sel folikulis, besar
2. Sel kecil berbelah, difus
3. Sel campuran besar dan kecil, difus
4. Sel besar, difus
Tingkat tinggi:
1. Sel besar imunublastik
2. Limfoblastik

16

3. Sel kecil tak berbelah


b.

Tingkat keterlibatan ditentukan sesuai dengan klasifikasi Ann Arbor 1


Stadium I:
Keterlibatan satu daerah kelenjar getah bening (I) atau keterlibatan satu
organ atau satu tempat ekstralimfatik(IIE)
Stadium II:
Keterlibatan 2 daerah kelenjar getah bening atau lebih pada sisi diafragma
yang sama. II2: pembesaran 2 regio KGB dalam 1 sisi diafragma. II3:
pembesaran 3 regio KGB dalam 1 sisi diafragma. IIE: pembesaran 1 regio
atau lebih KGB dalam 1 sisi diafragma dan 1 organ ekstra limfatik tidak
difus / batas tegas.
Stadium III:
Keterlibatan daerah kelenjar getah bening pada kedua did diafragma (III),
yang juga dapat disertai dengan keterlibatan lokal pada organ atau tempat
ekstralimfatik (IIIE) atau keduanya (IIIE+S)
Stadium IV:
Jika mengenai 1 organ ekstra limfatik atau lebih tetapi secara difus.

2.9

Diagnosis
a.

Anamnesis
Umum:

Pemebesaran kelenjar getah bening dan malaise umum


-

Berat badan menurun 10% dalam waktu 6 bulan

Demam tinggi 380C 1 minggu tanpa sebab

Keringan malam

Keluhan anemia

Keluhan organ (misalnya lambung, nasofaring)

Penggunaan obat (Diphantoine)

Khusus:

Penyakit autoimun

17

Kelainan darah

Penyakit infeksi (toksoplasma, mononukleosis, tuberkulosis)

b. Pemeriksaan Fisik

c.

PembesaranKGB

Kelainan/pembesaran organ

Performace status: ECOG atau WHO/Kamofsky

Pemeriksaan Diagnostik
a. Laboratorium

Rutin
Hematologi:
-

Darah perifer lengkap

Gambaran darah tepi

Urinalisa:
-

Urin lengkap

Kimia klinik:

SGOT, SGPT, LDH, protein total, albumin, asam urat.

Alkali fosfatase

Gula darah puasa dan 2 jam pp

Elektrolit: Na, K, Cl, Ca, P

Khusus
-

Gamma GT

Cholinesterase (CHE)

LDH/fraksi

Serum Protein Elektroforesis (SPE)

Imuno Elektroforese (IEP)

Tes coombs

B2 Mikroglobulin

18

b. Biopsi

Biopsi KGB dilakukan hanya

I kelenjar yang paling

representatif, superfisial, dan perifer. Jika terdapat kelenj ar


perifer/superfi sial yang representatif, maka tidak perlu biopsi
intra abdominal atau intratorakal. Spesimen kelenjar diperiksa:
- Rutin
Histopatologi:

REAL-WHO

dan

Working

Formulation
-

Khusus
Imunoglobulin permukaan dan Histo/sitokimia

Diagnosis ditegakkan berdasarkan histopatologi dan sitologi.

FNAB dilalrukan atas indikasi tertentu.


Tidak diperlukan penentuan stadium laparatomi.

c. Aspirasi sumsum tulang (BMP) dan biopsi sumsum tulang dari 2


sisi spina iliaca dengan hasil spesimen sepanjang 2 cm.
d. Radiologi

Rutin:
- Toraks foto PA dan lateral
- CT scan seluruh abdomen (atas dan bawah)

Khusus:
- CT scan toraks
- USGAbdomen
- Limfografi,limfosintigrafi

e. Cairan tubuh lain: cakan pleura, asites, cairan serebrospinal j ika


dilakukan punksi/aspirasi diperiksa sitologi dengan cara cytospin, di
samping pemeriksaan rutin lainnya.
f. Immunophenotyping: Parafinpanel: CD 20, CD 3.

19

Diagnosis LNH harus ditegakkan dari pemeriksaan histologi biopsi seksisi


kelenjar getah bening atau jaringan ekstranodal. Pemeriksaan dari hasil aspirasi
jarum tidak memadai untuk diagnosis komfirmatif. Dilakukan klasifikasi
histopatologik menurtu klasifikasi yang lazim dipakai (di Indonesia umumnya
gabungan working formulation dan Kiel). Kemudian dilakukan prosedur
penderajatan penyakit sehingga derajat penyakit dapat ditentukan.
2.10 Penatalaksanaan
Terapi untuk LNH terdiri atas terapi spesifik untuk membasmi sel limfoma
dan terapi suportif untuk meningkatkan keadaan umum penderita atau untuk
menanggulangi efek samping kemoterapi atau radioterapi. Terapi spesifik untuk
LNH dapat diberikan dalam bentuk berikut:
1. Radioterapi
a. Untuk penyakit yang terlokalisir (derajat I)
b. Untuk ajuvan pada bulky disease
c. Untuk tujuan paliatif pada stadium lanjut
2. Kemoterapi
a. Kemoterapi tunggal (singel agent)
Chlorambucil atau siklofosfamid untuk LNH derajat keganasan rendah
b. Kemoterapi kombinasi dibagi menjadi 3, yaitu:
i.

Kemoterapi kombinasi generasi I terdiri atas:

CHOP

(cyclophosphamide,

doxorubicine,

vincristine,

prednison)

CHOP-Bleo/Bacop (CHOP + bleomycine)

COMLA (cyclophosphamide, vincristine, methotrexate with


leucovorin rescue)

CVP/COP (cyclophosphamide, vincristine, prednison)

C-MOPP (cyclophosphamide, mechlorethamine, vincristine,


prednison, procarbazine)

ii.

Kemoterapi kombinasi generasi II terdiri atas:

20

COP-Blam (cyclophosphamide, mechlorethamine, vincristine,


prednison, bleomycin, doxorubicine, procarbazine).

Pro-MACE-MOPP (prednison, methotrexate with leucovorin


rescue,

doxorubicine,

cyclophosphamide,

etoposide,

mechlorethamine, vincristine, procarbazine).

M-BACOD (methotrexate with leucovorin rescue, bleomycin,


doxorubicine, cyclophosphamide, vincristine, dexamethasone).

iii.

Kemoterapi kombinasi generasi II terdiri atas:

COPBLAM III (cyclophosphamide, infusional vincristine,


prednison, infusional bleomycin, doxorubicine, procarbazine).

ProMACE-CytaBOM
leucovorin

(prednison,

rescue,

cyclophosphamide,

methotrexate

doxorubicine,

etoposide,

with

doxorubicine,

cytarabine,

bleomycin,

vincristine, methotrexate with leucovorin rescue).

MACOP-B
doxorubicine,

(methotrexate

with

cyclophosphamide,

leucovorin
vincristine,

rescue,
prednison,

bleomycin).
Dari perkembangan terapi sampai saat ini ternyata kemoterapi kombinasi
CHOP terbukti paling efektif dibandingkan kemoterapi kombinasi lain.
penambahan jenis kemoterapi ataupun lama pemberian tidak menambah
angka kesembuhan. Oleh karena itu, kemoterapi generasi kedua dan ketiga
jarang digunakan. (hemato merah).
3. Transplantasi sumsum tulang dan transplantasi sel induk merupakan terapi
baru dengan memberikan harapan kesembuhan jangka panajang.
4. Kemoterapi dosis tinggi dengan rescue memakai peripheral blood stem
cell transplantasi.
5. Terapi dengan imunomodulator
Terapi

dengan

interferon

diberikan

untuk

indolent

lymphoma,

dikombinasikan dengan kemoterpai atau diberikan setelah kemoterapi

21

untuk memperpanjang masa remisi. Tetapi hasilnya sampai sekarang


masih kontroversial.

6. Targeted therapy
Antibodi monoklonal: rituximab suatu chimeric monoclonal antibody
ditujukan untuk antigen CD20 yang diekspresikan oleh semua sel limfosit
B. Pemberian rituximab intravena setiap minggu selama 4 minggu
memberikan remisi parsial pada 50% LNH indolen. Sekaran gcenderung
digabung dengan kemoterapi (CHOP) dan juga dicobakan pada LNH
agresif.
Regimen kemoterapi yang paling umum dipakai adalah CHOP:
1. Cyclophosphamide 750 mg/m2 i.v. hari 1
2. Hydroxydaunomycine (adriamycine) 50 mg/m2 i.v. hari 1
3. Oncovin (vincristine) 2 mg/m2 i.v. hari 1 dan 5
Siklus diulangi setiap 3 minggu, sampai terjadi remisi komplit, kemudian
ditambah 2 siklus lagi. Jika sampai siklus ke-6 tidak terjadi remisi komplit,
sebaiknya diganti regimen lain. Data terbaru menunjukkan bahwa penambahan
anti-CD20 (Rituximab) pada terapi CHOP memperbaiki tingkat remisi DLCL8.
2.11 Prognosis
LNH dapat dibagi kedalam 2 kelompok prognostik yaitu Indolent
Lymphoma dan Agresif Lymphoma. LNH Indolen memiliki prognosis yang relatif
baik, dengan median survival I 0 tahun, tetapi biasanya tidak dapat disembuhkan
pada stadium lanjut. Sebagian besar tipe Indolen adalah noduler atau folikuler.
Tipe limfoma agresif memiliki perjalanan alamiah yang lebih pendek, namun
lebih dapat disembuhkan secara signifikan dengan kemoterapi kombinasi intensif.
Risiko kambuh lebih tinggi pada pasien dengan gambaran histologis "divergen"
baik pada kelompok Indolen maupun Agresif.

22

International Prognostik Index (IPI) digunakan untuk memprediksi


outcome pasien dengan LNH Agresif Difus yang mendapatkan kemoterapi
regimen kombinasi yang mengandung Antrasiklin, namun dapat pula digunakan
pada hampir semua subtipe LNH. Terdapat 5 faktor yang mempengaruhi
prognosis, yaitu usia, serum LDH, status performans, stadium anatomis, dan
jumlah lokasi ekstra nodal.
Setiap faktor memiliki efek yang sama terhadap outcome, sehingga
abnormalitas dijumlahkan untuk mendapatkan indeks prognostik. Skor yang
didapat arfiara 0-5. Pada pasien usia <60 (age adjusted lPl), indeks yang
digunakan lebih sederhana yaitu hanya meliputi faktor stadium anatomis, serum
LDH, dan status performance, tanpa status ekstra nodal.
Gambar 1. Indeks Prognostik Pasien LNH.

Gambar 1. Indeks Prognostil Pasien LNH

Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V

23

BAB III
KESIMPULAN

Limfoma Non-Hodgkin (LNH) adalah kelompok keganasan prirner limfosit


yang dapat berasal dari limfosit B dan limfosit T yang merupakan penyakit yang
sangat heterogen dilihat dari segi patologi dan klinisnya.
Etiologi sebagian besar Limfoma Non-Hodgkin tidak diketahui. Namun
terdapat beberapa faktor risiko yang menyebabkan terjadinya Limfoma NonHodgkin, yaitu onkogen, infeksi virus Ebstein Barr, Human T-leukemia Virus-I
(HTLV-I), penyakit autoimun dan defesiensi imun.
Diagnosis Limfoma Non-Hodgkin bisa didapatkan melaui amanmnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium. Tetapi untuk penegakan
diagnosis pasti Limfoma Non-Hodgkin adalah dengan melakukan pemeriksaan
histologi biopsi eksisi (excisional biopsy) kelenjar getah bening atau jaringan
ekstranodal. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan pemebesaran
kelenjar getah bening dan malaise umum, dan pada pemeriksaan labratorium
biasanya ditemukan anemia normositik normokrom. Selain itu pemeriksaan
petanda imunologik (immunological marker) untuk melihat ekspresi antigen pada
permukaan sel juga sangat penting untuk menentukan jenis sel (sel B atau sel T)
serta tingkat perkembangannya.
Terapi untuk Limfoma Non-Hodgkin terdiri atas terapi spesifik untuk
membasmi sel limfoma dan terapi suportif untuk meningkatkan keadaan umum
penderita atau untuk menanggulangi efek samping kemoterapi atau radioterapi.
Terapi spesifik yaitu radioterapi, kemoterapi (CHOP), Transplantasi sumsum
tulang, transplantasi sel induk, imunomodulator, dan targeted therapy.

24

25

DAFTAR PUSTAKA

1. Setioyohadi, B. 2009. Limfona Non-Hodgkin. Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam Jilid II. Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam;
1251-1260.
2. Sutrisno, H. 2010. Gambaran Kualitas Hidup Pasien Kanker Limfoma

Non-Hodgkin Yang Dirawat Di Rsup Sanglah Denpasar. Jurnal Penyakit


Dalam volume 2; 96-102
3. Hoffbrand A.V. 2005. Limfoma maligna. Kapita Selekta Hematologi Edisi
4. Jakarta: EGC; 185-198
4. Bakta IM. 2007. Limfoma maligna. Hematologi klinik ringkas. Cetakan I.

Jakarta: EGC;.p.192- 219.


5. Santoso, M., Krisfu, C. 2004. Diagnostik dan Penatalaksanaan LNH. Dexa

media: No. 4(17).


6. Emmanouillides C, Casciato DA. 2004. Hodgkin and non-Hodgkin
lymphoma. In Manual of clinical oncology, 5th Ed. Lippincot Williams &
Wilkins : 435-56.
7. Bruce D. Cheson. 2007. Revised Response Criteria for Malignant
Lymphoma. Journal Of Clinical Oncology. Volume 25(5); 581
8. Forspointner R, Dreyling M, Repp R, et all. 2004. The summary: The

addition of rituximab to a combination of fludarabine, cyclophosphamide,


mitoxantrone (FCM) significantly increases the response rate and prolongs
survival as compared to FCM alone in patients with relapsed and
refractory follicular and mantle cell lymphomas. Results from a
prospective randomized study of the German Low Grade Lymphoma
Study Group (GLSG). Blood (4); 3061-7l.
9. Potter M. 1992. Pathogenetic Mechanisms in B-Cell Non-Hodgkin's
Lymphomas in Humans. Cancer Research. 52: 5525s-5528s.
10. Pasqualucci, at al. 2003. Molecular Pathogenesis of Non-Hodgkin's

Lymphoma: the Role of Bcl-6. Institute for Cancer Genetics, Columbia


University. Vol 44 (S3) S5-S12.

26

11. Shaffer AL, at al. 2000. BCL-6 represses genes that function in lymphocyte

differentiation, inflammation, and cell cycle control. 13(2):199-212.

Anda mungkin juga menyukai