LIMFOMA NON Hodgkin
LIMFOMA NON Hodgkin
PENDAHULUAN
Limfoma Non-Hodgkin (LNH) adalah kelompok keganasan prirner limfosit
yang dapat berasal dari limfosit B, limfosit T, dan sangat jarang berasal dari sel
NK ("natural killer") yang berada dalam sistem lirnfe yang sangat heterogen, baik
tipe histologis, gejala, perjalanan klinis, respon terhadap pengobatan, maupun
prognosis. Pada LNH sebuah sel limfosit berproliferasi secara tak terkendali yang
mengakibatkan terbentuknya tumor. Seluruh se1 LNH berasal dari satu sel
limfosit, sehingga semua sel dalam tumor pasien LNH memiliki imunoglobulin
yang sama pada permukaan selnya1.
Insiden LNH terus mengalami peningkatan sekitar 3,4% setiap tahunnya.
The American Cancer Society memperkirakan terdapat 65.980 kasus baru setiap
tahun dan 19.500 di antaranya meninggal dunia akibat LNH pada tahun 2009. Di
Indonesia, LNH menduduki peringat ke-6 kanker terbanyak, bahkan Badan
Koordinasi Nasional Hematologi Onkologi Medik Penyakit Dalam Indonesia
(BAKORNAS HOMPEDIN) menyatakan, insiden Limfoma lebih tinggi dari
leukemia dan menduduki peringkat ketiga kanker yang tumbuh paling cepat
setelah melanoma dan paru2.
Etiologi sebagian besar LNH tidak diketahui. Namun terdapat beberapa
faktor risiko yang menyebabkan terjadinya LNH, yaitu onkogen, infeksi virus
Ebstein Barr, Human T-leukemia Virus-I (HTLV-I), penyakit autoimun dan
defesiensi imun1,3.
Diagnosis LNH ditegakkan dari hasil pemeriksaan histologi biopsi eksisi
(excisional biopsy) kelenjar getah bening atau jaringan ekstranodal3. Stadium
LNH didasarkan atas kriteria Ann Arbor yang terdiri dari: stadium I (mengenai
satu regio KGB atau satu organ ekstralimfatik); stadium II (mengenai dua atau
lebih KGB pada satu sisi diafragma atau satu organ ekstralimfatik dan satu atau
lebih KGB pada satu sisi diafragma); stadium III (mengenai KGB pada kedua sisi
diafragma, yang dapat disertai dengan keterlibatan limpa atau terlokalisasi pada
satu organ ekstralimfatik atau keduanya); stadium IV (mengenai KGB secara difus
mengenai satu atau lebih organ ekstralimfatik, dengan atau tanpa disertai
keterlibatan pada KGB)4.
Pengobatan dengan menggunakan kombinasi kemoterapi (multiagent) dapat
mempengaruhi prognosis dari penyakit. Prognosis limfoma tergantung pada tipe
histologi dan staging3.
1.2
Tujuan
Tujuan penulisan telaah ilmiah ini adalah untuk menjelaskan secara singkat
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Definisi
Limfoma Non-Hodgkin (LNH) adalah kelompok keganasan prirner limfosit
yang dapat berasal dari limfosit B, limfosit T, dan sangat jarang berasal dari sel
NK ("natural killer") yang berada dalam sistem lirnfe; yang sangat heterogen, baik
tipe histologis, gejala, perjalanan klinis, respon terhadap pengobatan, maupun
prognosis1.
Limfoma non-Hodgkin (LNH) atau non-Hodgkin Lymphomas merupakan
penyakit yang sangat heterogen dilihat dari segi patologi dan klinisnya.
Penyebarannya juga tidak seteratur penyakit Hodgkin serta bentuk ekstra-nodal
jauh lebih sering dijumpai3.
2.2
Epidemiologi
Limfoma maligna merupakan salah satu kanker yang dapat disembuhkan
2.3
hypogamma
globulinemia,
common
variable
EBV
DNA,
HTLV-1
juga
merupakan
agen
penyebab
dalam studi limfoma maligna karena perkembangan klasifikasi ini demikian cepat
dan dijumpai berbagai jenis klasifikasi yang satu sama lain tidak kompatibel. Pada
tahun 1994 telah dikeluarkan klasifikasi Revisied American European Lymphoma
(REAL) dan diterapkan secara luas. Klasifikasi REAL/WHO mencakup semua
keganasan limfoid dan limfoma dan lebih berdasarkan klinis dibandingkan dengan
skema-skema klasifikasi sebelumnya. Secara umum terjadi pergeseran pembagian
limfoma yang awalnya hanya berdasarkan penampilan histologik menjadi lebih ke
arah sindrom dengan gambaran morfologik, imunofenotipe, genetik, dan klinis
yang khas. Klasifikasi ini juga berguna untuk mempertimbangkan kemungkinan
asal keganasan masing-masing limfoid berdasarkan fenotipe dan status penataan
ulang imunoglobulinnya3.
2.5
limfosit terbagi dalam dua tahap, yaitu tahap yang tidak tergantung antigen
(antigent independent) dan tahap yang tergantung anrigent (antigent dependent).
Pada tahap I, sel induk limfoid berkembang menjadi sel pre-B, kemudian
menjadi sel B imatur dan sel B matur, yang beredar dalam sirkulasi, dikenal
sebagai naive B-cell. Apabila sel B terkena rangsangan antigen, maka proses
perkembangan akan masuk tahap 2 yang terjadi dalam berbagai kopartemen
folikel
kelenjar
getah
bening,
dimana
terjadi
immunoglobuline
gene
rearrangement. Pada tahap akhir menghasilkan sel plasma yang akan pulang
kembali ke sumsum tulang.
Normalnya, ketika tubuh terpajan oleh zat asing, sistem kekebalan tubuh
seperti sel limfosit T dan B yang matur akan berproliferasi menjadi suatu sel yang
disebut imunoblas T atau imunoblas B. Pada LNH, proses proliferasi ini
berlangsung secara berlebihan dan tidak terkendali. Hal ini disebabkan akibat
terjadinya mutasi pada gen limfosit tersebut. Proliferasi berlebihan ini
menyebabkan ukuran dari sel limfosit itu tidak lagi normal, ukurannya membesar,
kromatinnya menjadi lebih halus, nukleolinya terlihat, dan protein permukaan
selnya mengalami perubahan.
Terdapat bukti bahwa pada respons imun awal sebagian naiv B cell dapat
langsung mengalami transformasi menjadi immunoblast kemudian menjadi sel
plasma. Sebagian besar naiv B cell dapat langsung mengalami transformasi
menjadi immunoblast kemudian menjadi sel plasma. Sebagian besar naiv B cell
mengalami transformasi melalui mantle cell, follicular B-blast, centroblast,
centrocyte, monocyte B cell dan sel plasma.
Perubahan sel limfosit normal menjadi sel limfoma merupakan akibat
terjadinya mutasi gen pada salah satu sel dari sekelompok sel limfosit tua yang
tengah berada dalam proses transformasi menjadi imunoblas (terjadi akibat
adanya rangsangan imunogen). Proses ini terjadi di dalam kelenjar getah bening,
dimana sel limfosit tua berada dlluar "centrum germinativum" sedangkan
imunoblast berada di bagian paling sentral dari "centrum germinativum" Beberapa
perubahan yang terjadi pada limfosit tua antara lain: 1). Ukurannya makin besar;
2). Kromatin inti menjadi lebih halus; 3). Nukleolinya terlihat; 4). Protein
permukaan sel mengalami perubahan reseptor1.
Penataan ulang kromosom yang salah merupakan mekanisme mutasi yang
penting terhadap LNH sel B. Memahami mekanisme dasar yang berkontribusi
terhadap proses ini relevan dengan pembahasan epidemiologi saat ini. Sedikit
kelompok usia yang lebih tua, dan peningkatan angka kejadian dalam setiap
kelompok usia lebih dari 55 tahun. Penjelasan biologis bagaimana penuaan
berpengaruh terhadap limfoma genesis belum dipahami dengan baik. Efek
penuaan pada sistem kekebalan tubuh telah dipelajari selama beberapa tahun.
Konsep bahwa penuaan adalah keadaan imunodefisiensi mungkin peryataan yang
terlalu umum. Pada pemeriksaan sumsum tulang ditemukan Clonotypes baru.
Hasil yang didapatkan oleh peneliti sebelumnya yaitu adanya disregulasi dari
sistem kekebalan tubuh. Pertama, diketahui bahwa timus berinvolusi sehingga sel
T bergantung lebih banyak pada kolam perifer. Selain itu, proliferasi sel T dan
produksi IL-2 mengalami penurunan. Sel T autoreaktif muncul dengan
bertambahnya usia. Dalam garis keturunan sel B respon humoral terhadap antigen
asing menurun sementara produksi antibodi autoreaktif meningkat. Perubahan
dalam repertoar B-sel pada tikus terjadi dengan penuaan yang mungkin berubah
yaitu gen V, D,dan J. sel B manusia dari individu yang berusia tua mengalami
proliferasi 50% kurang efisien dibandingkan dari usia muda, perbedaan ini
mungkin karena gangguan dalam komponen jalur transduksi sinyal tertentu dalam
sel-B. Penuaan juga berhubungan dengan ketidakseimbangan dalam T-dan Brepertoar. Pengaturan ukuran dan aktifitas proliferasi clonotypes B-sel tertentu
pada orang tua mungkin kurang dikontrol dengan baik karena perubahan dalam
kompartemen sel-T. Ini ditambah dengan peningkatan frekuensi autoreaktif
clonotypes, dapat menghasilkan populasi B-sel yang kurang patuh pada peraturan
oleh sel T, sehingga meningkatan risiko untuk mengalami pertumbuhan otonom9.
Selain
itu
LNH
sel
memiliki
hubungan
dengan
keadaan
immunodeficiency, yang paling sering adalah oligoclonal atau poliklonal, dan ini
telah
mengangkat
isu
bahwa
beberapa
limfoma
ini
lebih
kepada
10
sitoplasma sel yang beristirahat, sehingga sejumlah besar sel B terinfeksi. Kondisi
ini akan mempengaruhi pertumbuhan sel B menjadi sel ganas. Sel B yang baru
terinfeksi (nonneoplastic) dan baris sel lymphoblastoid yang dibiakkan dari darah
orang yang terinfeksi terus-menerus mengekspresikan beberapa protein virus
EBNAs 1, 2a, 3a, 3b, 3c dan EBNA-LP, LMP1, 2A, 2B tapi menghasilkan sangat
sedikit virus. Protein membran merupaka target antigen untuk sitotoksik T-sel9.
Sel yang berubah menjadi sel kanker seringkali tetap rnempertahankan
sifat "dasar"nya. Misalnya sel kanker dari limfosit tua tetap mempertahankan sifat
mudah masuk aliran darah namun dengan tingkat mitosis yang rendah, sedangkan
sel kanker dari imunobias amat jarang masuk ke dalam aliran darah, namun
dengan tingkat mitosis yang tinggi1.
2.6
suatu tipe LNH dengan limfosit normal dalam berbagai kompartemen diferensiasi.
Klasifikasi histopatologik harus disesuaikan dengan kemampuan patologis serta
fasilitas yang tersedia. Dua jenis klasifikasi yang paling umum dipakai adalah
klasifikasi Kiel dan Working formulation. Dibawah ini di uraikan klasifikasi
Rappaport yang merupakan awal klasifikasi LNH modern, Working formulation,
serta klasifikasi terbaru REAL3,4.
Tabel 2. Klasifikasi Rappaport
1. Lymphocytic, poorly differentiated
a. Nodular (NLPD)
b. Diffuse (DLPD)
2. Lymphocytic, well differentiated
a. Diffuse (DLWD)
3. Mixed lymphocytic histiocytic
a. Nodular (NMLH)
b. Diffuse (DMLH)
4. Undifferentiated
a.
Diffuse (DU)
Burkitt type
Non-Burkitt (lymphoblastic) type
11
Sel T
High grade malignancy
Lymphocytic
Small cerebriform cell
Mycosis funguides
Sezarys syndrome
Lymphoepitheloid (Lenners lymphomas)
Angioimmunoblastic T zone
Pleomorphic small cell
High grade malignancy
Pleomorphic medium and large cell
Immunoblastic
Large cell anaplastic (Ki-1+)
Lymphoblastic
Rare types
12
13
14
b. Kelainan Hematologi
Pada pemeriksaan hematologi seorang LNH dapat dijumpai kondisi
sebagai berikut:
1. Biasanya ditemukan anemia normositik normokrom, tetapi hemolitik
autoimun juga dapat terjadi3.
2. Pada penyakit lanjut yang disertai dengan keterlibatan sumsum tulang,
mungkin terdapat netropenia, trombositopenia (khususnya jika limpa
membesar), atau gambaran leukoeritroblastik.
3. Dapat dijumpa sel sel limfoma (misalnya sel zona selubung, sel
limfoma folikuler berbelah, atau blast) dengan kelainan inti yang
bervariasi, dapat ditemukan dalam darah tepi beberapa pasien.
4. Biopsi trephin sumsum tulang menunjukkan lesi fokal pada 20%
kasus. keterlibatan sumsum tulang lebih sering ditemukan pada
limfoma maligna derajat rendah. Pada pemeriksaan petanda
imunologik
dengan
teknik
fluorensi
atau
peroksidase
dapat
Sel B
CD19
CD20
CD22
CD24
Subset sel T
Sel B langka
Petanda aktivasi
CD23
CD25
CD30
15
CD4
CD8
CD5
Stadium Penyakit
Penentuan stadium didasarkan pada jenis patologi dan tingkat keterlibatan.
Jenis patologi (tingkat rendah, sedang atau tinggi) didasarkan pada formulasi kerja
yang baru. Tingkat keterlibatan ditentukan sesuai dengan klasifikasi Ann Arbor.
a.
16
2.9
Diagnosis
a.
Anamnesis
Umum:
Keringan malam
Keluhan anemia
Khusus:
Penyakit autoimun
17
Kelainan darah
b. Pemeriksaan Fisik
c.
PembesaranKGB
Kelainan/pembesaran organ
Pemeriksaan Diagnostik
a. Laboratorium
Rutin
Hematologi:
-
Urinalisa:
-
Urin lengkap
Kimia klinik:
Alkali fosfatase
Khusus
-
Gamma GT
Cholinesterase (CHE)
LDH/fraksi
Tes coombs
B2 Mikroglobulin
18
b. Biopsi
REAL-WHO
dan
Working
Formulation
-
Khusus
Imunoglobulin permukaan dan Histo/sitokimia
Rutin:
- Toraks foto PA dan lateral
- CT scan seluruh abdomen (atas dan bawah)
Khusus:
- CT scan toraks
- USGAbdomen
- Limfografi,limfosintigrafi
19
CHOP
(cyclophosphamide,
doxorubicine,
vincristine,
prednison)
ii.
20
doxorubicine,
cyclophosphamide,
etoposide,
iii.
ProMACE-CytaBOM
leucovorin
(prednison,
rescue,
cyclophosphamide,
methotrexate
doxorubicine,
etoposide,
with
doxorubicine,
cytarabine,
bleomycin,
MACOP-B
doxorubicine,
(methotrexate
with
cyclophosphamide,
leucovorin
vincristine,
rescue,
prednison,
bleomycin).
Dari perkembangan terapi sampai saat ini ternyata kemoterapi kombinasi
CHOP terbukti paling efektif dibandingkan kemoterapi kombinasi lain.
penambahan jenis kemoterapi ataupun lama pemberian tidak menambah
angka kesembuhan. Oleh karena itu, kemoterapi generasi kedua dan ketiga
jarang digunakan. (hemato merah).
3. Transplantasi sumsum tulang dan transplantasi sel induk merupakan terapi
baru dengan memberikan harapan kesembuhan jangka panajang.
4. Kemoterapi dosis tinggi dengan rescue memakai peripheral blood stem
cell transplantasi.
5. Terapi dengan imunomodulator
Terapi
dengan
interferon
diberikan
untuk
indolent
lymphoma,
21
6. Targeted therapy
Antibodi monoklonal: rituximab suatu chimeric monoclonal antibody
ditujukan untuk antigen CD20 yang diekspresikan oleh semua sel limfosit
B. Pemberian rituximab intravena setiap minggu selama 4 minggu
memberikan remisi parsial pada 50% LNH indolen. Sekaran gcenderung
digabung dengan kemoterapi (CHOP) dan juga dicobakan pada LNH
agresif.
Regimen kemoterapi yang paling umum dipakai adalah CHOP:
1. Cyclophosphamide 750 mg/m2 i.v. hari 1
2. Hydroxydaunomycine (adriamycine) 50 mg/m2 i.v. hari 1
3. Oncovin (vincristine) 2 mg/m2 i.v. hari 1 dan 5
Siklus diulangi setiap 3 minggu, sampai terjadi remisi komplit, kemudian
ditambah 2 siklus lagi. Jika sampai siklus ke-6 tidak terjadi remisi komplit,
sebaiknya diganti regimen lain. Data terbaru menunjukkan bahwa penambahan
anti-CD20 (Rituximab) pada terapi CHOP memperbaiki tingkat remisi DLCL8.
2.11 Prognosis
LNH dapat dibagi kedalam 2 kelompok prognostik yaitu Indolent
Lymphoma dan Agresif Lymphoma. LNH Indolen memiliki prognosis yang relatif
baik, dengan median survival I 0 tahun, tetapi biasanya tidak dapat disembuhkan
pada stadium lanjut. Sebagian besar tipe Indolen adalah noduler atau folikuler.
Tipe limfoma agresif memiliki perjalanan alamiah yang lebih pendek, namun
lebih dapat disembuhkan secara signifikan dengan kemoterapi kombinasi intensif.
Risiko kambuh lebih tinggi pada pasien dengan gambaran histologis "divergen"
baik pada kelompok Indolen maupun Agresif.
22
23
BAB III
KESIMPULAN
24
25
DAFTAR PUSTAKA
Dalam Jilid II. Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam;
1251-1260.
2. Sutrisno, H. 2010. Gambaran Kualitas Hidup Pasien Kanker Limfoma
26
11. Shaffer AL, at al. 2000. BCL-6 represses genes that function in lymphocyte