Referat Gagal Nafas New
Referat Gagal Nafas New
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Respirasi adalah pertukaran gas antara makhluk hidup dengan lingkungannya,
sedangkan peran dan fungsi respirasi adalah menyediakan oksigen (O 2) serta
mengeluarkan gas karbondioksida (CO2) dari tubuh. Fungsi respirasi merupakan
fungsi yang vital bagi kehidupan, dimana O 2 merupakan sumber tenaga bagi tubuh
yang harus dipasok secara terus-menerus, sedangkan CO 2 merupakan bahan toksik
yang harus dikeluarkan dari tubuh.
Ketidakmampuan sistem pernapasan untuk mempertahankan suatu keadaan
pertukaran udara antara atmosfer dengan sel-sel tubuh yang sesuai dengan
kebutuhan normal akan menyebabkan terjadinya gagal napas. Dimana sistem
pulmoner tidak dapat mencukupi kebutuhan metabolisme, yaitu eliminasi CO 2 dan
oksigenasi darah. Gagal napas terjadi bila tekanan parsial oksigen arterial (PaO 2) <
60 mmHg atau tekanan parsial karbondioksida arterial (PCO2) > 45 mmHg.
Gagal napas diklasifikasikan menjadi gagal napas hipoksemia, dan gagal napas
hiperkapnia. Gagal napas hipoksemia ditandai dengan PaO2 < 60 mmHg dengan
PaCO2 normal atau rendah. Gagal napas hiperkapnia, ditandai dengan PaCO 2 > 45
mmHg. Sedangkan menurut waktunya dapat dibagi menjadi gagal napas akut dan
gagal napas kronik.
Penyebab gagal napas dapat diakibatkan oleh kelainan pada otak, susunan
neuromuscular, dinding thoraks dan diafragma, paru, serta sistem kardiovaskuler.
Gagal napas akut merupakan salah satu kegawatdaruratan, sehingga membutuhkan
penangan yang cepat dan tepat. Tujuan penatalaksanaan pasien dengan gagal nafas
akut adalah: membuat oksigenasi arteri adekuat, sehingga meningkatkan perfusi
jaringan, serta menghilangkan underlying disease, yaitu penyakit yang mendasari
gagal nafas tersebut.
B. TUJUAN PENULISAN
1. Tujuan Umum :
a. Untuk memahami lebih jauh tentang fisiologi pernapasan.
b. Untuk memahami lebih jauh tentang definisi, patofisiologi, gambaran klinis,
etiologi, diagnosis serta tatalaksana gagal napas.
2. Tujuan Khusus :
Penulisan referat ini bertujuan untuk memenuhi sebagian syarat mengikuti ujian
kepanitraan klinik di bagian Anestesi dan Reanimasi RSUD Tidar Magelang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. FISIOLOGI PERNAPASAN
Fungsi primer dari sistem pernapasan adalah untuk menyediakan Oksigen (O 2)
bagi jaringan dan membuang karbondioksida. Untuk mencapai tujuan ini,
pernapasan dapat dibagi menjadi empat peristiwa fungsional pertama, yaitu: (1)
ventilasi paru, yang berarti masuk dan keluarnya udara antara atmosfir dan alveoli
paru; (2) difusi O2 dan karbon dioksida antara alveoli dan darah; (3) transport O2
dan karbon dioksida dalam darah dan cairan tubuh ke dan dari sel dan (4)
pengaturan ventilasi dan hal-hal lain dari pernapasan.
A.1. Ventilasi
Ventilasi Paru
Ventilasi merupakan suatu proses perpindahan masa udara dari luar tubuh ke
alveoli dan pemerataan distribusi udara ke dalam alveoli-alveoli. Proses ini terdiri
dari dua tahap yaitu inspirasi dan ekspirasi. Paru-paru dapat dikembang kempiskan
melalui dua cara, yaitu diafragma naik turun untuk memperbesar atau memperkecil
rongga dada, dan (2) depresi dan elevasi tulang iga untuk memperbesar atau
memperkecil diameter anteroposterior rongga dada. Selama inspirasi, kontraksi
diafragma menarik permukaan bawah paru ke arah bawah. Kemudian selama
ekspirasi, diafragma mengadakan relaksasi, dan sifat elastis daya lenting paru
(elastic recoil), dinding dada, dan struktur abdominal akan menekan paru-paru.
Selama inspirasi otot yang paling membantu adalah otot interkostalis eksterna, otot
lain yang membantu adalah otot sternokleidomastoideus yang mengangkat sternum
ke atas, otot serratus anterior yang mengangkat sebagian besar iga, dan otot
skalenus yang mengangkat dua iga pertama. Sedangkan otot-otot yang berperan saat
ekspirasi adalah otot rektus abdominis dan otot interkostalis interna. Kontraksi otot
inspirasi memerlukan energi, jadi inspirasi adalah proses aktif, tetapi ekspirasi
adalah proses pasif pada bernapas tenang karena ekspirasi terjadi melalui penciutan
elastik paru sewaktu otot-otot inspirasi melemas tanpa memerlukan energi.
Inspirasi
Terjadi bila tekanan intrapulmonal (intra alveolar) lebih rendah dari tekanan
udara luar. Pada saat inspirasi biasa, tekanan dapat berkisar antara -1mmHg
sampai dengan -3mmHg. Pada saat inspirasi dalam tekanan intra alveolar
dapat mencapai -30mmHg. Menurunnya tekanan intra pulmonar pada waktu
inspirasi
disebabkan
oleh
mengembangnya
rongga
thorax
karena
ikut dalam pertukaran gas disebut sebagai Dead Space (VD) atau Ruang Rugi
dengan nilai normal sekitar 150 180 ml yang terbagi atas tiga yaitu : (1) Anatomic
Dead Space, (2) Alveolar Dead Space, (3) Physiologic Dead Space.
Anatomic Dead Space yaitu volume napas yang berada di dalam mulut, hidung
dan jalan napas yang tidak terlibat dalam pertukaran gas. Alveolar Dead Space
yaitu volume napas yang telah berada di alveoli, akan tetapi tidak terjadi pertukaran
gas yang dapat disebabkan karena di alveoli tersebut tidak ada suplai darah. Dan
atau udara yang ada di alveoli jauh lebih besar jumlahnya dari pada aliran darah
pada alveoli tersebut.
Ventilasi alveolus setiap menit adalah volume total udara yang masuk dalam
alveoli (dan daerah pertukaran gas yang berdekatan lainnya) setiap menit. Ini sama
dengan frekuensi napas dikalikan dengan jumlah udara baru yang memasuki alveoli
setiap kali bernapas:
VA = (VT VD) x RR
VA: Ventilasi Alveolar
VT: Volume Tidal
VD: Volume dead space/ ruang rugi
RR: Respiration Rate
Pada orang sehat tekanan CO2 (PaCO2) normal dipertahankan kurang lebih
40mmHg dengan mengatur VA melalui proses regulasi ventilasi. Hiperventilasi
alveolar adalah VA yang diperlukan untuk kebutuhan metabolisme tubuh dan
direfleksikan dengan PaCO2 kurang dari 40mmHg, sedangkan hipoventilasi alveolar
adalah VA yang diperlukan untuk metabolism tubuh dengan PaCO2 lebih dari
40mmHg.
A.2. Difusi (Pertukaran Gas Paru)
Setelah alveoli diventilasi dengan udara segar, langkah selanjutnya dalam
proses pernapasan adalah difusi O2 dari alveoli ke pembuluh darah paru dan difusi
karbondioksida dari arah sebaliknya melalui membrane tipis antara alveolus dan
kapiler. Pada paru normal kurang lebih dua pertiga udara pernapasan sampai di
kapiler
Ketebalan jaringan
Permukaan area
Sifat membrane dan koefisien difusi gas, kelarutan
gas, sifat fisikokimia
O2 dilepaskan untuk digunakan oleh sel. Adanya hemoglobin di dalam sel darah
merah memungkinkan darah untuk mengangkut 30-100 kali jumlah O 2 yang dapat
ditranspor dalam bentuk O2 terlarut di dalam cairan darah (plasma). Dalam sel
jaringan, O2 bereaksi dengan berbagai bahan makanan untuk membentuk sejumlah
besar karbondioksida (CO2). CO2 masuk ke dalam kapiler jaringan dan ditranspor
kembali ke paru-paru
Oksigen diangkut ke jaringan dari paru melalui dua jalan, yaitu (1) secara fisik
larut dalam plasma, kira-kira hanya 3% (2) secara kimiawi berikatan dengan
hemoglobin (Hb) sebagai oksihemoglobin, kira-kira sebesar 97% O2 ditranspor
melalui cara ini.
Ikatan kimia O2 dengan Hb ini bersifat reversible, dan jumlah sesungguhnya
yang diangkut dalam bentuk ini mempunyai hubungan nonlinear dengan tekanan
parsial O2 dalam darah arteri (PaO2), yang ditentukan oleh jumlah O2 yang secara
fisik larut dalam plasma darah.
Jumlah O2 yang secara fisik larut dalam plasma mempunyai hubungan
langsung dengan tekanan parsial O2 dalam alveolus (PAO2). Jumlah O2 juga
bergantung pada daya larut O2 dalam plasma. Cara transport seperti ini tidak
memadai untuk mempertahankan hidup walaupun dalam keadaan istirahat
sekalipun. Sebagian besar O2 diangkut oleh Hb yang terdapat dalam sel darah
merah. Dalam keadaan tertentu (misalnya keracunan karbon monoksida atau
hemolisis masif dengan insufisiensi Hb), O2 yang cukup untuk mempertahankan
hidup dapat diangkut dalam bentuk larutan fisik dengan memberikan pasien O 2
bertekanan lebih tinggi dari tekanan atmosfer (ruang O2 hiperbarik).
Pada tingkat jaringan, O2 akan melepaskan diri dari Hb ke dalam plasma dan
berdifusi dari plasma ke sel-sel jaringan tubuh untuk memenuhi kebutuhan jaringan
yang bersangkutan. Meskipun kebutuhan jaringan tersebut bervariasi, namun sekitar
75% Hb masih berikatan dengan O2 pada waktu Hb kembali ke paru dalam bentuk
darah vena campuran. Jadi hanya sekitar 25% O2 dalam darah arteri yang digunakan
untuk keperluan jaringan. Hb yang telah melepaskan O 2 pada tingkat jaringan
disebut Hb tereduksi. Hb tereduksi berwarna ungu dan menyebabkan warna
kebiruan pada darah vena, sedangkan HbO2 berwarna merah terang dan
menyebabkan warna kemerah-merahan pada darah arteri.
Transpor CO2 dari jaringan ke paru untuk dibuang dilakukan dengan tiga cara.
Sekitar 10% CO2 secara fisik larut dalam plasma, karena tidak seperti O 2, CO2
mudah larut dalam plasma. Sekitar 20% CO2 berikatan dengan gugus amino pada
Hb (karbaminohemoglobin) dalam sel darah merah, dan sekitar 70% diangkut
dalam bentuk bikarbonat plasma (HCO3-). CO2 berikatan dengan air dalam reaksi
berikut ini :
CO2 + H2O H2CO3 H+ + HCO3Reaksi ini reversible dan disebut persamaan buffer asam bikarbonat-karbonat.
Keseimbangan asam basa tubuh ini sangat dipengaruhi oleh fungsi paru dan
homeostasis CO2. Pada umumnya hiperventilasi (ventilasi alveolus dalam keadaan
kebutuhan metabolisme yang berlebihan) menyebabkan alkalosis (peningkatan pH
darah melebihi pH normal 7,4) akibat ekskresi CO2 berlebihan dari paru;
hipoventilasi
(ventilasi
alveolus
yang
tidak
dapat
memenuhi
kebutuhan
metabolisme) menyebabkan asidosis akibat retensi CO2 oleh paru. Penurunan PCO2
seperti yang terjadi pada hiperventilasi, akan menyebabkan reaksi bergeser ke kiri
sehingga menyebabkan penurungan konsentrasi H+(kenaikan pH), dan peningkatan
PCO2 menyebabkan reaksi menjurus ke kanan, menimbulkan kenaikan H +
(penurunan pH).
Kurva Dissosiasi Oksi-Hemoglobin
Untuk dapat memahami kapasitas angkut O2 dengan jelas harus diketahui
afinitas Hb terhadap O2 karena suplai O2 untuk jaringan maupun pengambilan O2
oleh paru sangat bergantung pada hubungan tersebut. Jika darah lengkap dipajankan
terhadap berbagai tekanan parsial O2 dan persentase kejenuhan Hb diukur, maka
didapatkan kurva berbentuk huruf S bila kedua pengukuran tersebut digabungkan.
Kurva ini dikenal dengan nama kurva disosiasi oksihemoglobin yang menyatakan
afinitas Hb terhadap O2 pada berbagai tekanan parsial. Pada kurva ini, bagian
atasnya mendatar dan dikenal sebagai arteri, dan bagian yang lebih ke bawah
berbentuk curam dan dikenal sebagai bagian vena. Kurva ini menunjukkan saturasi
O2 akan mencapai 100% saat tekanan parsial O 2 (PO2) 100 mmHg. Hal ini
menunjukkan bahwa tekanan oksigen sangat penting untuk tercapainya saturasi
oksigen yang baik.
Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi afinitas oksihemoglobin
dan akan menggeser kurva dissosiasi oksihemoglobin ke kanan dan ke kiri, faktorfaktor tersebut dapat dilihat pada table berikut:
Tabel 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi afinitas oksihemoglobin (HbO2)
Kurva disosiasi HbO2
Pergeseran ke kiri
Pergeseran ke kanan
(P50 menurun)
(P50 meningkat)
pH
pH
PCO2
PCO2
Suhu
Suhu
2,3 DPG
2,3 DPG
Gambar
2.
Kurva
dissosiasi
oksihemoglobin
10
perifer)
yang
menerima
informasi
dan
Central Control
input
Chemoreceptors,
Sensor
lung, and other
receptors
Pons,
medulla,
other parts
output
11
Effector
Respiratory muscle
- Pneumotaxic Centre: terletak di atas pons di regio nucleus para brachialis. Aktifitas
sentra ini mengatur volume inspirasi dan rate inspirasi. Beberapa peneliti
mengemukakan bahwa kerja bagian ini adalah sebagai fine tuning dari irama
pernapasan.
Gambar
3.
b. Cortical Center
Input kortikal pada
sentra
respirasi
akan
menghasilkan
respirasi
yang
bersifat
kontrol voluntary.
c. Bagian Lain Otak
Bagian lain dari otak seperti sistim limbic dan hipotalamus dapat merubah
pola pernapasan. Contoh: affektif state seperti marah dan ketakutan.
2.
Efektor
Otot-otot
efektor
respirasi
termasuk
di
dalamnya
adalah
diafragma,
13
sehingga perubahan sedikit saja pada PaCO2 (2-3 mmHg) akan dengan cepat
merubah ventilasi permenit.
b. Peripheral Chemoreceptor
Terletak di bifucartio carotis dan sepanjang arcus aorta. Kecepatan aliran
darah pada badan carotis berhubungan dengan diameter pembuluh darah,
yang akan diikuti respon ventilasi pada perubahan PaO2 dan kurang tanggap
terhadap perubahan PaCO2.
B. DEFINISI GAGAL NAPAS
Gagal napas merupakan suatu sindrom yang terjadi akibat ketidakmampuan
sistem pulmoner untuk mencukupi kebutuhan metabolisme (eliminasi CO 2 dan
oksigenasi darah). Sistem pernapasan gagal untuk mempertahankan suatu keadaan
pertukaran udara antara atmosfer dengan sel-sel tubuh yang sesuai dengan
kebutuhan normal.
Gagal napas terjadi bila: 1). PO2 arterial (PaO2) < 60 mmHg, atau 2). PCO2
arterial (PaCO2) > 45 mmHg (ada yang mengatakan PaCO 2 > 50 mmHg), kecuali
jika peningkatan PCO2 merupakan kompensasi dari alkalosis metabolic.
PaO2 < 60 mmHg, yang berarti ada gagal napas hipoksemia, berlaku bila
bernapas pada udara ruangan biasa (fraksi O2 inspirasi [F1O2] = 0,21), maupun saat
mendapat bantuan oksigen.
PCO2 > 45 mmHg yang berarti gagal napas hiperkapnia, kecuali ada keadaan
asidosis metabolic. Tubuh pasien yang asidosis metabolic secara fisiologis akan
menurunkan PaCO2 sebagai kompensasi terhadap PH darah yang rendah. Tetapi jika
ditemukan PaCO2 meningkat secara tidak normal, meskipun masih dibawah 45
mmHg pada keadaan asidosis metabolic, hal ini dianggap sebagai gagal napas tipe
hiperkapnia.
14
hari atau lebih lama, terdapat waktu untuk ginjal mengkompensasi dan
meningkatkan konsentrasi bikarbonat, oleh karena itu biasanya PH hanya menurun
sedikit.
1. GAGAL NAPAS HIPOKSEMIA / GAGAL NAPAS TIPE I / GAGAL
OKSIGENASI
Gagal napas hipoksemia lebih sering dijumpai daripada gagal napas
hiperkapnia. Pasien tipe ini mempunyai nilai PaO 2 yang rendah tetapi PaCO2
normal atau rendah. PaCO2 tersebut membedakannya dari gagal napas
hiperkapnia, yang masalah utamanya adalah hipoventilasi alveolar. Selain pada
lingkungan yang tidak biasa, dimana atmosfer memiliki kadar oksigen yang
sangat rendah, seperti pada ketinggian, atau saat oksigen digantikan oleh udara
lain, gagal napas hipoksemia menandakan adanya penyakit yang mempengaruhi
parenkim paru atau sirkulasi paru. Contoh klinis yang umum menunjukkan
hipoksemia tanpa peningkatan PaCO2 ialah pneumonia, aspirasi isi lambung,
emboli paru, asma, dan ARDS.
Patofisiologi gagal napas hipoksemia
Hipoksemia dan hipoksia
Istilah hipoksemia menunjukkan PO2 yang rendah di dalam darah arteri
(PaO2) dan dapat digunakan untuk menunjukkan PO2 pada kapiler, vena dan
kapiler paru. Istilah tersebut juga dipakai untuk menekankan rendahnya
kadar O2 darah atau berkurangnya saturasi oksigen di dalam hemoglobin.
Hipoksia berarti penurunan penyampaian (delivery) O2 ke jaringan atau
efek dari penurunan penyampaian O2 ke jaringan.
Hipoksemia berat akan menyebabkan hipoksia. Hipoksia dapat pula
terjadi akibat penurunan penyampaian O2 karena faktor rendahnya curah
jantung, anemia, syok septic atau keracunan karbon monoksida, dimana
PaO2 dapat meningkat atau normal.
Mekanisme hipoksemia
Mekanisme fisiologi hipoksemia dibagi dalam dua golongan utama,
yaitu 1) berkurangnya PO2 alveolar dan 2) meningkatnya pengaruh
campuran darah vena (venous admixture). Jika darah vena yang bersaturasi
15
16
Pada hipoksemia, yang terjadi hanya karena penurunan PaO 2. Perbedaan PO2
alveolar - arteri adalah normal pada hipoksemia karena hipoventilasi.
Pencampuran Vena (Venous Admixture)
Meningkatnya jumlah darah vena yang mengalami deoksigenasi, yang
mencapai arteri tanpa teroksigenasi lengkap oleh paparan gas alveolar.
Perbedaan PO2 alveolar arterial meningkat dalam keadaan hipoksemia
karena peningkatan pencampuran darah vena. Dalam pernapasan udara
ruangan, perbedaan PO2 alveolar arterial normalnya sekitar 10 dan 20
mmHg, meningkat dengan usia dan saat subyek berada pada posisi tegak.
Hipoksemia terjadi karena salah satu penyebab meningkatnya
pencampuran vena, yang dikenal sebagai pirau kanan ke kiri (right-to-leftshunt). Sebagian darah vena sistemik tidak melalui alveolus, bercampur
dengan darah yang berasal dari paru, akibatnya adalah percampuran arterial
dari darah vena sistemik dan darah kapiler paru dengan PO 2 diantara PAO2
dan PVO2. Pirau kanan ke kiri dapat terjadi karena: 1). Kolaps lengkap atau
atelektasis salah satu paru atau lobus sedangkan aliran darah dipertahankan.
2). Penyakit jantung congenital dengan defek septum. 3). ARDS, dimana
dapat terjadi edema paru yang berat, atelektasis lokal, atau kolaps alveolar
sehingga terjadi pirau kanan ke kiri yang berat.
Petanda terjadinya pirau kanan ke kiri ialah: 1). Hipoksemia berat dalam
pernapasan udara ruangan. 2). Hanya sedikit peningkatan PaO2 jika
diberikan tambahan oksigen. 3). Dibutuhkan FiO2 > 0,6 untuk mencapai
PaO2 yang diinginkan. 4). PaO2 < 550 mmHg saat mendapat O2 100%. Jika
PaO2 < 550 mmHg saat bernapas dengan O2 100% maka dikatakan terjadi
pirau kanan ke kiri.
Ketidakseimbangan Ventilasi-Perfusi (ventilation-perfusion mismatching =
V/Q mismatching)
Merupakan penyebab hipoksemia tersering, terjadi ketidaksesuaian
ventilasi-perfusi. Ketidaksesuaian ini bukan disebabkan karena darah vena
tidak melintasi daerah paru yang mendapat ventilasi seperti yang terjadi
pada pirau kanan ke kiri. Sebaliknya beberapa area di paru mendapat
17
18
19
20
21
Gagal napas dapat diakibatkan oleh kelainan pada otak, susunan neuromuscular,
dinding thoraks dan diafragma, paru, serta system kardiovaskuler.
1. Otak
- Neoplasma
- Epilepsi
- Hematoma Subdural
- Keracunan Morfin
- CVA
2. Susunan Neuro-muskular
- Miastenia Gravis
- Polyneuritis, demyelinisasi
- Analgesia spinal tinggi
- Pelumpuh otot
3. Dinding Thoraks dan Diafragma
- Luka tusuk Thoraks
Ruptur diafragma
4.
5. Paru
- Asma
- Infeksi paru
- Benda asing
- Pneumothoraks, hemathoraks
- Edema Paru
- ARDS
- Aspiras
6. Kardiovaskuler
- Renjatan, Gagal jantung
- Emboli paru
7. Pasca Bedah Thoraks
23
8.
E. DIAGNOSIS GAGAL NAPAS AKUT
9. Tidak mungkin untuk memperkirakan tingkat hipoksemia dan hiperkapnia dengan
mengamati tanda dan gejala pasien. Gambaran klinis gagal napas sangat bervariasi pada
setiap pasien. Hipoksemia dan hiperkapnia yang ringan dapat pergi tanpa disadari
sepenuhnya. Kandungan oksigen dalam darah harus jatuh tajam untuk dapat terjadi
perubahan dalam bernafas dan irama jantung. Untuk itu, cara mendiagnosa gagal napas
adalah dengan mengukur gas darah pada arteri (arterial blood gases, ABG), PaO2 dan
PaCO2. Selain itu dapat dilakukan pemeriksaan hitung darah lengkap untuk mengetahui
apakah ada anemia, yang dapat menyebabkan hipoksia jaringan. Pemeriksaan lain dapat
dilakukan untuk menunjang diagnosis underlying disease (penyakit yang mendasarinya).
10.
F. TATALAKSANA GAGAL NAPAS AKUT
11.
Gagal napas akut merupakan salah satu kegawat daruratan. Untuk itu,
penanganannya tidak bisa dilakukan pada area perawatan umum (general care area) di
rumah sakit. Perawatan dilakukan di Intensive Care Unit (ICU), dimana segala
perlengkapan yang diperlukan untuk menangani gagal napas tersedia. Tujuan
penatalaksanaan pasien dengan gagal nafas akut adalah: membuat oksigenasi arteri
adekuat, sehingga meningkatkan perfusi jaringan, serta menghilangkan underlying
disease, yaitu penyakit yang mendasari gagal nafas tersebut.
Dasar-dasar fisiologis terapi
12. Gagal napas hiperkapnea
13. Pada hiperkapnea berarti ada hipoventilasi alveolar, tatalaksana suportif bertujuan
memperbaiki ventilasi alveolar menjadi normal, hingga diketahui dan diterapi penyakit
yang mendasari. Kadang-kadang ventilasi alveolar dapat ditingkatkan dengan
mengusahakan tetap terbukanya jalan napas yang efektif, bisa dengan penyedotan sekret,
stimulasi batuk, drainase postural. Atau dengan membuat jalan napas artifisial dengan
selang endotrakeal atau trakeostomi. Alat bantu napas mungkin diperlukan untuk
mencapai dan mempertahankan ventilasi alveolar yang normal sampai masalah primer
diperbaiki. Meskipun secara teoritis ventilator mekanik dapat memperbaiki ventilasi
sesuai yang diinginkan, namun pada pasien dengan hiperkapnea kronik harus hati-hati
dalam menurunkan hiperkapnia, karena koreksi PaCO 2 hingga batas normal pada kasus
tersebut dapat menyebabkan alkalosis yang berat dan mengancam nyawa karena sudah
terjadi kompensasi berupa peningkatan kadar bikarbonat serum.
14. Hipoksemia sering ditemukan pada gagal napas hiperkapnia, terutama yang
didasari oleh penyakit paru, dan pemberian oksigen tambahan seringkali dibutuhkan.
Tetapi pada beberapa pasien dengan hiperkapnia, oksigen tambahan dapat berbahaya bila
tidak dimonitor dan disesuaikan secara hati-hati.
15. Pasien dengan gagal napas hiperkapnik karena overdosis obat sedatif atau
botulisme, dan kebanyakan pasien dengan trauma dada akan membaik seiring dengan
berjalannya waktu, dan penatalaksanaan bersifat suportif. Penyakit primer yang
membutuhkan terapi khusus ialah miastenia gravis, kelainan elektrolit, penyakit paru
obstruktif, obstructive sleep apnea, dan miksedema.
16.
17. Gagal Napas Hipoksemia
18. Suplementasi oksigen ialah terapi terpenting untuk gagal napas hipoksemik. Pada
penyakit berat seperti ARDS, mungkin diperlukan ventilasi mekanik, positive endexpiratory pressure (PEEP) dan terapi respirasi tipe lain. Walaupun umumnya tidak
didapatkan hiperkapnea, tetapi dapat terjadi karena beban kerja pernapasan menyebabkan
kelelahan otot pernapasan. Transportasi oksigen penting untuk diperhatikan, jika ada
anemia berat harus dikoreksi serta curah jantung yang adekuat harus dipertahankan.
Penyakit dasar yang menyebabkan gagal napas hipoksemik harus diatasi.
19. Pada beberapa pasien dengan penyakit paru yang tidak merata pada semua
bagian paru (tidak mengenai kedua paru), memiringkan pasien pada posisi dimana area
paru yang tidak terlibat atau yang kurang terlibat berada lebih bawah dapat meningkatkan
oksigenasi, hal ini karena adanya gaya gravitasi. Pasien dengan hemoptisis berat atau
sekretnya banyak tidak boleh diposisikan seperti ini karena dapat terjadi aspirasi darah
atau sekret ke area yang belum terlibat.
nonkardiogenik difus, dianjurkan dalam posisi pronasi (tengkurap), paru akan jarang
mengalami kolaps pada bagian yang tergantung. Selain itu lebih sedikit area paru yang
mendapat penekanan oleh jantung atau isi abdomen.
20.
21.
tindakan secara langsung ditujukan untuk memperbaiki pertukaran gas paru, sedangkan
pengobatan spesifik ditujukan untuk mengatasi penyebabnya.
Pengobatan nonspesifik
22.
Pengobatan ini dapat dan harus dilakukan segera untuk mengatasi gejalagejala yang timbul, agar pasien tidak jatuh ke dalam keadaan yang lebih buruk. Sambil
menunggu dilakukan pengobatan spesifik sesuai dengan etiologi penyakitnya.
23. Pengobatan nonspesifik pada gagal napas akut:
1. Atasi hipoksemia: terapi oksigen
2. Atasi hiperkapnia: perbaiki ventilasi
a. Perbaiki jalan napas
b. Ventilasi bantuan: memompa dengan sungkup muka berkantung (bag and mask),
IPPB
3. Ventilasi kendali
4. Fisioterapi dada
24.
25.
26. Terapi Oksigen
27.
Pada keadaan O2 turun secara akut, perlu tindakan secepatnya untuk
menaikkan PaO2 sampai normal. Berlainan sekali dengan gagal napas dari penyakit
kronik yang menjadi akut kembali dan pasien sudah terbiasa dengan keadaan hiperkapnia
sehingga pusat pernapasan tidak terangsang oleh hipercarbic drive melainkan terhadap
hypoxemic drive. Akibat kenaikan PaO2 pasien dapat apnea.
28.
Terapinya dengan menaikkan konsentrasi oksigen fraksi inspirasi (FiO2),
menurunkan konsumsi oksigen dengan hipotermi sampai 34C atau pemberian obat
pelumpuh otot. Ventilasi dilakukan secara bantuan atau terkendali. Cara pemberian
oksigen dapat dilakukan dengan kateter nasal, atau sungkup muka. Sungkup muka tipe
venture dapat mengatur kadar O2 inspirasi secara lebih tepat, bila ventilasi kembali
dengan ventilator maka konsentrasi O2 dapat diatur dari 21-100%.
29.
30. Tabel.2 Cara Pemberian O2, hubungan antara besarnya aliran udara dengan
konsentrasi O2 Inspirasi.
31.
34.
37.
40.
Alat
Kateter nasal
Sungkup muka
Sungkup muka
32.
Aliran
(L/men)
35.
2-6
38.
4-12
tipe 41.
4-8
O2 33.
36.
39.
42.
Konsentrasi O2 (%)
30-50
35-65
24, 28, 35, 40
venturi
43.
Ventilator
46.
Inkubator
49.
50.
44.
47.
Bervariasi
3-8
45.
48.
21-100
30-40
sederhana hingga dengan ventilator. Hiperkapnia berat serta akut akan mengakibatkan
gangguan PH darah atau asidosis respiratorik, hal ini harus diatasi segera dan biasanya
diperlukan ventilasi kendali dengan ventilator. Akan tetapi pada gagal napas dari penyakit
paru kronis yang menjadi akut kembali (acute on chronic), keadaan hiperkapnia kronik
dengan PH darah tidak banyak berubah karena sudah terkompensasi oleh ginjal atau
dikenal sebagai asidosis respiratorik terkompensasi sebagian atau penuh.
52.
darah meningkat menjadi alkalosis, keadaan ini justru dapat membahayakan, dapat
menimbulkan gangguan elektrolit darah terutama kalium menjadi hipokalemia, gangguan
pada jantung seperti aritmia jantung hingga henti jantung. Penurunan tekanan CO 2 harus
secara bertahap dan tidak melebihi 4 mmHg/jam.
a. Perbaiki jalan napas (Air Way)
53.
Terutama pada obstruksi jalan napas bagian atas, dengan hipereksistensi
kepala mencegah lidah jatuh ke posterior menutupi jalan napas, apabila masih
belum menolong maka mulut dibuka dan mandibula didorong ke depan (triple
airway maneuver), biasanya berhasil untuk mengatasi obstruksi jalan nafas bagian
atas. Sambil menunggu dan mempersiapkan pengobatan spesifik, maka
diidentifikasi apakah ada obstruksi oleh benda asing, edema laring atau spasme
bronkus, dan lain-lain. Mungkin juga diperlukan alat pembantu seperti pipa
orofaring, pipa nasofaring atau pipa trakea.
54.
b. Ventilasi Bantu
55.
Pada keadaan darurat dan tidak ada fasilitas lengkap, bantuan napas dapat
dilakukan mulut ke mulut (mouth to mouth) atau mulut ke hidung (mouth to nose).
Apabila kesadaran pasien masih cukup baik, dapat dilakukan bantuan ventilasi
Fisioterapi Dada
59.
Tindakan ini selain untuk mengatasi gagal napas juga untuk tindakan pencegahan. Pasien
diajarkan bernapas dengan baik, bila perlu dengan bantuan tekanan pada perut dengan
menggunakan kedua telapak tangan pada saat inspirasi. Pasien melakukan batuk yang
baik dan efisien. Dilakukan juga tepukan-tepukan pada dada dan punggung, kemudian
perkusi, vibrasi dan drainase postural. Kadang-kadang diperlukan juga obat-obatan
seperti mukolitik, bronchodilator, atau pernapasan bantuan dengan ventilator.
60.
Pengobatan Spesifik
61. Pengobatan spesifik ditujukan pada underlying disease, sehingga pengobatan
untuk masing-masing penyakit akan berlainan. Kadang-kadang memerlukan persiapan
yang membutuhkan banyak waktu seperti operasi atau bronkhoskopi. Macam-macam
pengobatan spesifik dapat dilihat pada tabel.
62. Tabel.3 Macam-macam pengobatan spesifik penyebab gagal napas akut
63.
Etiologi
65. Otak
- Neoplasma
- Epilepsi
- Hematoma Subdural
- Keracunan Morfin
- CVA
64.
67.
Pengobatan Spesifik
-
Rawat Operasi
Antikonvulsi
Operasi
Nalokson
Rawat Intensif
66.
68. Susunan Neuro-muskular
- Miastenia Gravis
- Polyneuritis,
demyelinisasi
69.
- Analgesia spinal tinggi
70.
- Pelumpuh otot
71.
-
76. Dinding
Thoraks
dan 77.
Diafragma
- Luka tusuk Thoraks
- Ruptur diafragma
79. Paru
81.
- Asma
- Infeksi paru
- Benda asing
- Pneumothoraks,
hemathoraks
- Edema Paru
- ARDS
- Aspirasi
80.
84. Kardiovaskuler
85.
- Renjatan, Gagal jantung
- Emboli paru
87. Pasca bedah Thoraks
89.
90.
91.
92.
93.
94.
95.
96.
97.
98.
99.
100.
101.
102.
103.
Prostigmin, Piridostigmin
Rawat dan bantuan napas
ventilasi terkendali
72.
73.
74.
75.
Operasi
Operasi
78.
Steroid, Bronkodilator
Antibiotik
Bronkhoskopi
Drainase paru
82.
Diuretika, Ventilasi kendali
83.
Obat-obatan
Terapi cairan
86.
Bantuan napas
88.
104.
105.
106.
107.
108.
109.
110.
111.
112.
113.
114.
115.
116.
117.
118.
119.
120.
121.
BAB III
122.
KESIMPULAN
123.
124.
125.
126.
127.
mempertahankan suatu keadaan pertukaran udara antara atmosfer dengan sel-sel tubuh
yang sesuai dengan kebutuhan normal. Gagal napas diklasifikasikan menjadi gagal napas
hipoksemia, dan gagal napas hiperkapnia. Gagal napas hipoksemia ditandai dengan PaO 2
< 60 mmHg dengan PaCO2 normal atau rendah. Gagal napas hiperkapnia, ditandai
dengan PaCO2 > 45 mmHg. Penyebab gagal napas dapat diakibatkan oleh kelainan pada
otak, susunan neuromuscular, dinding thoraks dan diafragma, paru, serta sistem
kardiovaskuler. Penatalaksanaan pasien dengan gagal nafas akut yang utama adalah
membuat oksigenasi arteri adekuat, sehingga meningkatkan perfusi jaringan, serta
menghilangkan underlying disease, yaitu penyakit yang mendasari gagal nafas tersebut.
128.
129.
130.
131.
132.
133.
134.
135.
136.
137.
138.
139.
140.
141.
142.
143.
144.
145.
146.
147.
148.
149.
150.
151.
152.
153.
BAB IV
154.
DAFTAR PUSTAKA
155.
156.
157.
158. Anonim. (2010). Respiratory Failure. Diakses pada tanggal 25 Juni 2010 dari
http://www.faqs.org/health/topics
159. Anonim. (2002). Respiratory Failure Fact Book. Diakses pada tanggal 24 Juni 2010
dari http://www.healthnewsflash.com
160. Amin, Zulkifli; Purwoto, Johanes. (2006). Gagal Napas Akut. Sudoyo, A.W.,
Setiyohadi, B., Alwi, I., Simandibrata, M., Setiati, S (Eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi Keempat. Jilid 1. Jakarta:
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI.
161.
162. Guyton, Arthur C., Hall, John E., 2005, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, edisi 9,
Jakarta: EGC.
163. Kaynar, Ata Murat; Sharma, Sat. (2010). Respiratory Failure. Diakses pada tanggal 23
Juni 2010 dari http://emedicine.medscape.com/article/167981-overview
164. Latief, A. Said. (2002), Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intesif, Jakarta: FK UI.
165. Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M., (2006). Patofisiologi Konsep Klinis ProsesProses Penyakit, volume 2, edisi 6, Jakarta : EGC.
166.
167. Rahardjo, Sri. (2002). Gagal Napas. Modul Anestesi HSC UGM. Yogyakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Gadjah Mada