Anda di halaman 1dari 53

Referat

DEPRESI SEDANG, BERAT, DAN GANGGUAN BIPOLAR

Oleh:

Muhammad Syahid 04054821517103

Deswan Capri Nugroho 04054821517068

Ekki Kurnia Genio 04054821618038

Tia Okidita 04084821618156

Evita Yolanda 04084821618161

Pembimbing:

dr. H.M. Zainie Hassan A.R., Sp.KJ(K)

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN JIWA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

RUMAH SAKIT DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

2016

HALAMAN PENGESAHAN
Referat

DEPRESI SEDANG, BERAT, DAN GANGGUAN BIPOLAR

Oleh

Muhammad Syahid 04054821517103

Deswan Capri Nugroho 04054821517068

Ekki Kurnia Genio 04054821618038

Tia Okidita 04084821618156

Evita Yolanda 04084821618161

Telah dilaksanakan pada bulan November 2016 sebagai salah satu


persyaratan guna mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu
Kesehatan Jiwa FK Unsri/RSMH Palembang.

Palembang, November 2016

Pembimbing,

dr. H.M. Zainie Hassan A.R., Sp.KJ(K)

KATA PENGANTAR

2
Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan
rahmat Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Referat dengan judul Depresi
Berat, Sedang, dan Gangguan Bipolar untuk memenuhi tugas laporan referat
yang merupakan bagian dari sistem pembelajaran kepaniteraan klinik, khususnya
dalam Departemen Ilmu Kesehatan Jiwa.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. H.M.
Zainie Hassan A.R., Sp.KJ(K), selaku pembimbing yang telah membantu
memberikan ajaran dan masukan sehingga referat ini dapat selesai.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan referat ini masih
banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan
kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Demikianlah penulisan
laporan ini, semoga bermanfaat.

Palembang, November 2016

Penulis

3
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL...............................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN................................................................................ii
KATA PENGANTAR.............................................................................................iii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................3
2.1 Depresi Sedang dan Berat ..............................................................20
2.2 Gangguan Bipolar ..........................................................................27
BAB III KESIMPULAN.....................................................................................47
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................49

4
BAB I
PENDAHULUAN

Depresi merupakan masalah kesehatan masyarakat yang cukup serius.


World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa depresi berada pada
urutan ke-empat penyakit di dunia. Sekitar 20% wanita dan 12% pria, pada
suatu waktu dalam kehidupannya pernah mengalami depresi. Depresi ditandai
dengan adanya perasaan sedih, murung, dan iritabilitas. Pasien mengalami
distorsi kognitif seperti mengeritik diri sendiri, timbul rasa bersalah, perasaan
tidak berharga, kepercayaan diri menurun, pesimis, dan putus asa. Terdapat juga
perasaan malas, tidak bertenaga, retardasi psikomotor, dan menarik diri dari
hubungan sosial. Pasien mengalami gangguan tidur seperti sulit masuk tidur atau
terbangun dini hari. Nafsu makan berkurang, begitu juga dengan gairah seksual.
Depresi disebabkan oleh beberapa etiologi, seperti faktor biologis yang dimana
banyak penelitian yang melaporkan abnormalitas pada faktor biologis dapat
menyebabkan gejala-gejala depresi. Neurotransmiter-neurotransmiter neuroamin,
seperti norephinefrin, dopamin, serotonin, dan histamin merupakan titik fokus
utama dalam penyebab gejala-gejala depresi. Dari faktor genetik dilaporkan
bahwa keluarga atau orang tua yang mengalami gejala-gejala depresi sebelumnya
dapat diturunkan pada anggota keluarga lainnya terutama anak mereka sendiri.
Diperoleh dari data keluarga yang dimana salah satu orang tuanya memiliki
gejala-gejala depresi, anak akan memiliki resiko sekitar 10%-25% untuk
mengalami gangguan mood, salah satunya adalah gangguan depresi (Kaplan &
Saddock, 2010).
Gangguan bipolar (GB) merupakan gangguan jiwa yang bersifat episodik
dan ditandai oleh gejala-gejala manik, hipomanik, depresi, dan campuran,
biasanya rekuren serta dapat berlangsung seumur hidup. Berdasarkan World
Mental Health Survey Initiative tahun 2011, prevalensi seumur hidup untuk
gangguan bipolar I sebesar 0,6%, 0,4% untuk bipolar II, 1,4% untuk bipolar
subthreshold, dan 2,4% untuk spektrum bipolar. Rasio jenis kelamin pada
gangguan bipolar sekitar 1:1, dengan onset paling sering pada kisaran usia 20

1
tahun.
Individu dengan gejala-gejala depresi dan bipolar sering tidak
mendapatkan penanganan atau pengobatan sesuai dengan yang mereka inginkan.
Mereka juga tidak mengerti kemana mereka harus meminta pertolongan atau
mereka percaya terhadap suatu pengobatan yang salah atau dapat memperparah
keadaan mereka. Tidak sedikit juga dari mereka yang merasa tidak memerlukan
penanganan atau pengobatan yang tepat karena mereka merasa gejala-gejala
yang muncul pada diri mereka hanya merupakan suatu stres yang biasa atau
normal terjadi (National Institute of Mental Health, 2010).
Jika tidak mendapatkan pengobatan yang sesuai dan penanganan yang
tepat gejala-gejala depresi dan bipolar dapat mencetuskan ide bunuh diri.
Perilaku bunuh diri merupakan ciri atau simtom dari gangguan psikologis yang
mendasarinya, biasanya gangguan mood. Suatu penelitian memperkirakan sekitar
60% orang yang melakukan bunuh diri telah menderita gangguan mood
(National Strategy for Suicide Prevention, (2001), dalam Nevid et al 2005)).
Pemahaman tentang gangguan depresi dan bipolar penting untuk
diketahui mengingat gangguan ini samar-samar dan jarang disadari oleh pasien.
Hingga sekarang terapi yang paling efektif untuk gangguan depresif berat yaitu
kombinasi antara psikoterapi dan farmakoterapi. Psikoterapi jangka pendek dapat
dibagi menjadi yaitu terapi kognitif, terapi perilaku dan terapi interpersonal.
Referat ini disusun untuk memperdalam wawasan mengenai depresi
sedang, berat dan gangguan bipolar agar membantu dalam memahami
patofisiologi, menentukan diagnosis, dan memberikan tatalaksana yang tepat
kepada pasien.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Depresi Sedang Dan Berat


2.1.1 Definisi
Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang
berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk
perubahan pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia,
kelelahan, rasa putus asa dan tak berdaya, serta gagasan bunuh diri (Kaplan dkk,
2010). Depresi adalah gangguan jiwa umum yang disertai dengan perasaan sedih,
kehilangan minat atau kegembiraan, rasa bersalah, kurang percaya diri , pola tidur
dan nafsu makan terganggu, kurang energi, kurangnya konsentrasi serta
keinginan bunuh diri (Marcus, 2012).

2.1.2 Epidemiologi
Prevalensi kejadian depresi cukup tinggi hampir lebih dari 350
jutapenduduk dunia mengalami depresi. Survey yang dilakukan di 17 negara
eropa, rata-rata 1 dari 20 orang pernah mengalami depresi (Marcus, 2012).
Prevalensi gangguan mental emosional pendudukdi atas 15 tahun di
Indonesia berdasarkan data Riskesda tahun 2007 mencapai11,6% atau diderita
sekitar 19 juta orang (RISKESDAS, 2007).
Depresi lebih sering terjadi pada wanita dari pada laki-laki dengan risiko 2
kali lebih besar. Rata-rata usia onset untuk depresi adalah sekitar 40 tahun. 50%
dari semua pasien mempunyai onset antara 20-50 tahun. Prevalensi depresi tidak
berbeda dari satu ras ke ras lain. Pada umumnya, depresi paling sering terjadi pada
orang yang tidak memiliki hubungan interpersonal yang erat atau yang bercerai
atau berpisah (Kaplan dkk, 2010).

a. Insiden dan prevalen

Gangguan depresi berat adalah gangguan yang lazim ditemukan dengan


prevalensi seumur hidup sekitar 15%.Insidem gangguan depresi berat 10% pada
pasien yang berobat di fasilitas kesehatan primer dan 15% di tempat rawat inap.

b. Seks

3
Gangguan depresif berat dua kali lebih besar pada perempuan daripada laki-laki.
Alasan perbedaan yang telah dihipotesiskan antara lain perbedaan hormonal,
pengaruh kelahiran anak, stressor psikososial yang berbeda antara laki-laki dan
perempuan dan model perilaku.

c. Usia

Usia awitan gangguan depresi berat sekitar 40 tahun, dengan 50% pasien memiliki
awitan antara usia 20 dan 50 tahun.

d. Status pernikahan

Gangguan depresif berat paling serng terjadi pada orang tanpa hubungan
antarpersonal yang dekat atau pada orang yang mengalami perpisahan atau
perceraian.

e. Faktor sosioekonomi dan kebudayaan

Depresi lebih lazim di daerah perdesaan daripada di daerah perkotaan.

2.1.3 Neuroanatomi Depresi


Pada 1937, James Papes pertama kali mendeskripsikan sistem limbik yang
diduga berperan dalam system of emotion, suatu jalur utama yang
menghubungkan sekelompok struktur otak di sekitar batang otak (cingulate gyrus,
hippocampus, hipotalamus, dan nuklei thalamus anterior). Papes menyadari
bahwa sirkuit ini membentuk rute fungsional yang memungkinkan kontrol korteks
untuk emosi dan sekaligus berperan dalam penyimpanan memori. Ditemukannya
teknik pencitraan otak, Magnetic Resonance Imaging (MRI), fMRI, dan Positron
Emission Tomography (PET), mengembangkan pentingnya neurosirkuit emosi
dan struktur lain termasuk korteks prefrontal. Struktur otak ini dan jarasnya
bertanggung jawab untuk mempertahankan stabilitas emosional dan malfungsinya
dianggap merupakan faktor utama patofisiologi depresi (Maletic dkk, 2009).

4
Gambar 1. Sistem kortikolimbik.

Korteks Prefrontal (PFC). PFC terletak anterior dari area premotor


(terlibat dalam perencanaan aksi motorik kompleks) dan area motor primer
(memediasi gerakan sadar) dari korteks frontal dan memiliki fungsi heteromodal,
mengintegrasikan informasi kompleks sensorimotor dengan motivasi dan afek.
Area ini dibagi menjadi tiga bagian utama: bagian dorsolateral, bagian paralimbik
aspek orbital dan medial dari PFC dan anterior cingulate cortex (ACC). Bagian
ventromedial (VMPFC) dan bagian dorsolateral (DLPFC) dihubungkan satu sama
lain via cingulate gyrus dan hippocampus. VMPFC dibutuhkan untuk
pembentukan normal emosi, khususnya emosi sosial dan mengatur respons
otonom dan neuroendokrin, modulasi nyeri, agresi, perilaku seksual dan makan.
PFC bagian orbita berperan dalam respons emosional dan perilaku (yang
dihasilkan oleh amygdala). Bagian DLPFC berimplikasi pada kontrol kognitif,
memecahkan masalah, mempertahankan dan memanipulasi informasi pada
working memory. PFC, amygdala, dan khususnya hippocampus adalah struktur
otak yang dipelajari paling intensif dalam hubungannya pada depresi. MRI

5
menunjukkan reduksi volume otak pada pasien depresi dibandingkan kontrol
sehat, dengan reduksi volume utama pada cingulate anterior dan korteks
orbitofrontal dan reduksi moderat pada hippocampus, putamen, dan nukleus
kaudatus. Penelitian menggunakan PET menunjukkan abnormalitas aliran darah
cerebral regional dan metabolisme glukosa pada korteks prefrontal dan sistem
limbik yang berimplikasi pada pengolahan emosional. Bagian VMPFC dan
LOPFC menunjukkan peningkatan aktivitas sementara DLPFC menunjukkan
penurunan aktivitas, pada depresi. Penurunan aktivitas DLPFC pada depresi
berhubungan dengan retardasi psikomotor dan anhedonia, dua dari beberapa
manifestasi klinis depresi (Palazidou, 2012). Respons terapi berhubungan dengan
penurunan aktivitas metabolik, dan terapi kronik agen antidepresan menurunkan
metabolisme di amigdala dan ACC pada subyek dengan respons pengobatan
positif yang persisten (Maletic dkk, 2009).

Amygdala. Amygdala terlibat dalam fungsi koordinasi respons kortikal


dan respons neuroendokrin pada stimulus yang tidak dapat diprediksi
(mengejutkan dan ambigu) sebagaimana memori dan pembelajaran emosional.
Aktivasi abnormal dari amygdala berkorelasi dengan keparahan depresi.
Perubahan struktur ini berdampak pada kecenderungan untuk merenung
(ruminate) dan diperkirakan berperan dalam depresi pada gangguan bipolar dan
anxietas (Maletic, 2009).

Hippocampus. Hippocampus adalah struktur otak yang paling sering


dipelajari dalam kaitannya dalam patogenesis depresi, dengan beberapa alasan: (i)
hippocampus memainkan peran fundamental dalam proses belajar dan memori;
disfungsi pada hippocampus kemungkinan bertanggung jawab untuk respons
emosional bergantung-konteks yang tidak adekuat; (ii) hippocampus merupakan
struktur yang kaya akan reseptor kortikosteroid dan berkaitan erat secara anatomis
dan fisiologis dengan hipotalamus melalui fornix, memberikan umpan balik
negatif untuk aksis Hipotalamus Pituitari Adrenal (HPA); (iii) Hippokampus
adalah salah satu dari dua struktur otak dimana neoneurogenesis diketahui
berlangsung pada otak manusia dewasa, dikarenakan kapasitas neuroplastisitasnya

6
yang tinggi. Neoneurogenesis terjadi pada lapisan subgranular dari gyrus dentatus
hippocampus. Aktivitas basal neo-neurogenesis sangat terbatas namun dapat
diaktivasi oleh agonis serotonergik dan adrenergik, seperti antidepresan dan
neurotropin dan disupresi oleh proses penuaan, stess, kortikosteroid, agen
glutamatergik. Volume hippocampus berkurang pada pasien depresi dengan
episode multipel. Struktur ini juga relevan dengan sistem sirkuit yang melibatkan
otak tengah/batang otak (semisal serotonergic raphe nuclei dan adrenergic
nucleus coeruleus). Sirkuit kortiko-striato-pallido-thalamo-limbik bertanggung
jawab menjaga stabilitas emosional dan respons yang sesuai untuk stimulus
emosional sebagaimana regulasi neurotransmisi, fungsi otonomik dan
neeuroendokrin. Komunikasi dalam sirkuit neuronal ini dan efek regulasinya pada
bagian lain di otak terlalu kompleks dan dibutuhkan kerja keras untuk
menyediakan gambaran komprehensif penuh. Berdasarkan bukti ilmiah yang
sudah ada, dihipotesiskan bahwa keadaan depresif adalah gangguan keseimbangan
antarstruktur sirkuit neuronal yang diakibatkan penurunan aktivitas PFC yang
menganggu kerja regulasi (inhibisi) pada struktur limbik sehingga menjadikannya
overaktif (Maletic, 2009).

Mekanisme Imunologis. Mekanisme imunologis juga berperana pada


patofisiologi depresi. Sitokin proinflamasi menginduksi perilaku sakit (fatigue dan
letargi) ddan gejala anxietas/depresi. Episode depresi adalah suatu efek samping
dari pasien yang mendapatkan terapi interferon. Episode depresi berat
berhubungan dengan aktivasi imun dan khususnya meningkatkan konsentrasi
sitokin. Aktviasi Inflammatory System Response (IRS) mungkin berpengaruh
terhadap fungsi sistem organ lain, termasuk patogenesis depresi. Peningkatan
konsentrasi sitokin berhubungan dengan penurunan triptofan (prekursor
serotonin), mempengaruhi aktivitas noradrenergik, dan menstimulasi aksis HPA.
Perubahan neuroendokrin ini akan diinterpretasikan otak sebagai stresor dan
mempotensiasi aktivasi dari aksis HPA. Diperkirakan gangguan fungsi reseptor
glukokortikoid berhubungan dengan pajanan kronik sitokin proinflamasi
yangberhubungan dengan penyaakit kronik dan stres kronik. Kondisi ini

7
menjelaskan komorbiditas depresi pada penyakit-penyakit kronis. Resistensi
glukokortikoid meningkatkan inflamasi lebih lanjut (Maletic, 2009).

Gambar 2. Aksis HPA

2.1.4 Etiologi
Dasar penyebab depresi yang pasti tidak diketahui, banyak usaha untuk
mengetahuipenyebab dari gangguan ini. Menurut Kaplan, faktor-faktor yang
berhubungan denganpenyebab depresi dapat dibagi atas: faktor biologi, faktor
genetik, faktor psikososial.Dimana faktor-faktor tersebut juga dapat saling
mempengaruhi satu dengan yanglainnya (Kaplan dkk, 2010).

a. Faktor Biologi
Norepinefrin dan serotonin merupakan dua neurotransmitter yang paling
berperan dalam patofisiologi gangguan mood. Penurunan serotonin dapat
mencetuskan depresi, dan beberapa pasien yang bunuh diri memiliki konsentrasi
metabolit serotonin di dalam cairan serebospinal yang rendah dan konsentrasi

8
tempat ambilan serotonin yang rendah di trombosit. Penurunan jumlah
norepineprin yang dilepaskan pada sinaps dapat menyebabkan timbulnya gejala
depresi (Lam & Mok, 2000).

Walaupun norepineprin dan serotonin adalah amin biogenik yang paling


sering dihubungkan dengan patofisiologi depresi, dopamine, juga telah
diperkirakan memiliki peranan dalam depresi. Data menyatakan bahwa aktivitas
dopamine menurun pada depresi dan meningkat pada mania (Kaplan, 2010).

Gambar 3. Norepinephrin, Serotonin, Dopamin

1) Mekanisme Amin biogenik : Norepinephrin, Serotonin, Dopamin

Norepinefrin dan serotonin merupakan neurotransmitter yang paling terkait


dalam patofisiologi gangguan mood, terutama gangguan depresif.

9
1. Norepinefrin : Penurunan regulasi atau penurunan sensitivitas dari
reseptor 2 adrenergik dan penurunan respon terhadap antidepressan
berperan dalam terjadinya gangguan depresi.

Gambar 4. Sistem noradrenergik.

2. Serotonin : penurunan jumlah serotonin dapat mencetuskan terjadinya


gangguan depresif. Hasil pemeriksaan laboratorium pada beberapa
penelitian menunjukkan terjadinya penurunan jumlah serotonin pada
cairan serebrospinal pada pasien yang ingin melakukan percobaan
bunuh diri.

Gambar 5. Sistem serotoninergik.

10
3. Dopamin : Aktivitas dopamin akan berkurang pada keadaan depresi.
Keadaan ini dapat dijumpai pada pasien yang mengalami penyakit
Parkinson atau pasien yang mengonsumsi obat reserpine (Serpasil)
yang menunjukkan menurunnya konsentrasi dopamine dalam cairan
serebrospinal. Sedangkan obat seperti tyrosin, amphetamine, dan
bupropion dapat menurunkan gejala depresi.

Gambar 6. Sistem dopaminergik.

2) Mekanisme Regulasi Neuroendokrin

Diperkirakan bahwa hormon mempunyai pengaruh penting dalam terjadinya


gangguan mood, terutama gangguan depresif. Sistem neuroendokrin meregulasi
hormon-hormon penting yang berperan dalam gangguan mood yang
mempengaruhi fungsi dasar, seperti : gangguan tidur, makan, seksual dan fungsi
lainnya.

Terdapat tiga komponen penting yang saling bekerjasama dalam pengaturan


neuroendokrin dan terkoneksi dengan sistem limbik yakni hipotalamus, hipofisis
anterior, dan korteks adrenal. Hipotalamus merupakan pusat pengaturan aksis
neuroendokrin, menerima input neuron yang mengandung neurotransmiter amin
biogenik. Pada pasien dengan gangguan depresif ditemukan adanya disregulasi
neuroendokrin, hal ini terjadi akibat kelainan fungsi neuron di dalam nucleus
paraventrikular yang mengandung neurotransmitter amin biogenik.

11
Gambar 7. Jalur Aksis HPA pada depresi

Dalam keadaan depresi hipotalamus akan mengeluarkan neurotransmitter


yang mengganggu aksis neuroendokrin, yaitu pada kelenjar adrenal, tiroid dan
pengaturan hormon pertumbuhan bahkan hormon seksual. Keadaan yang paling
khas adalah terjadi peningkatan kadar Corticotropin Realising Hormone (CRH)
yang disekresikan oleh hipotalamus. Keadaan ini disebabkan rusaknya mekanisme
umpan balik kortisol pada sistem limbik atau adanya kelainan pada sistem
monoaminogenik dan neuromodulator yang mengatur CRH. CRH akan
menstimulus sekresi Adenocorticotropic Hormone (ACTH) di hipofisis anterior,
ACTH sendiri akan mempengaruhi pelepasan kortisol di korteks adrenal. Kortisol
yang berlebih akan mempengaruhi berbagai regulasi tubuh, seperti terganggunya
sistem respirasi, kardiovaskular, imunitas, seksual, bahkan pertumbuhan. Hal ini
yang mendasari alasan mengapa pada pasien dengan gangguan depresif akan
terjadi gejala-gejala klinis seperti nafas cepat, takikardi, penurunan berat badan,
mudah letih dan sakit, susah tidur dan sebagainya. Di otak, peningkatan kadar
kortisol akan mempengaruhi peningkatan reuptake serotonin yang mengakibatkan

12
kadar serotonin dalam tubuh menurun, hal ini akan menginduksi terjadinya
depresi.
b. Faktor Genetik
Data genetik dengan kuat menyatakan bahwa suatu faktor penting di dalam
perkembangan gangguan mood adalah genetika. Tetapi, pola penurunan genetika
adalah jelas melalui mekanisme yang kompleks. Bukan saja tidak mungkin untuk
menyingkirkan efek psikososial, tetapi faktor non genetik kemungkinan
memainkan peranan kausatif dalam perkembangan gangguan mood pada
sekurangnya beberapa orang. Penelitian keluarga menemukan bahwa sanak
saudara derajat pertama dari penderita gangguan depresi berat berkemungkinan 2
sampai 3 kali lebih besar terkena depresi daripada sanak saudara derajat pertama
subjek kontrol (Kaplan, 2010).

Resiko untukterjadinya depresi meningkat antara 2040% untuk


keluarga keturunan pertama.Dapat dikatakan bahwa anak-anak dari orangtua yang
depresi psikotik dan depresi nonpsikotikterdapat insiden yang tinggi dari gejala
depresi ini. Memiliki satu orangtuayang mengalami depresi, meningkatkan resiko
dua kali pada keturunannya. Resiko itumeningkat menjadi empat kali bila kedua
orangtuanya sama-sama mengalami depresi (Lam & Mok, 2000).

c. Faktor Psikososial
Peristiwa kehidupan dan stres lingkungan dimana suatu pengamatan
klinikmenyatakan bahwa peristiwa atau kejadian dalam kehidupan yang penuh
ketegangansering mendahului episode gangguan mood. Suatu teori menjelaskan
bahwa stres yangmenyertai episode pertama akan menyebabkan perubahan
fungsional neurotransmitter dan sistem pemberi tanda intra neuronal yang
akhirnya perubahan tersebutmenyebabkan seseorang mempunyai resiko yang
tinggi untuk menderita gangguanmood selanjutnya (Kaplan, 2010).

Faktor kepribadian premorbid menunjukkan tidak ada satu kepribadian atau


bentukkepribadian yang khusus sebagai predisposisi terhadap depresi. Semua
orang denganciri kepribadian manapun dapat mengalami depresi, walaupun tipe
kepribadian sepertidependen, obsesi kompulsif, histironik mempunyai risiko yang
besar mengalami depresidibandingkan dengan lainnya (Kaplan, 2010).

13
Faktor Psikoanalitik dan Psikodinamik : Freud (1917) menyatakan suatu
hubunganantara kehilangan objek dan melankoli. Ia menyatakan bahwa
kemarahan pasien depresidiarahkan kepada diri sendiri karena
mengidentifikasikan terhadap objek yang hilang.Freud percaya bahwa introjeksi
merupakan suatu cara ego untuk melepaskan diriterhadap objek yang hilang
(Kaplan, 2010).

Faktor ketidakberdayaan yang dipelajari dimana ditunjukkan dalam hewan


percobaan, dimana binatang secara berulang-ulang dihadapkan dengan kejutan
listrik yang tidak dapat dihindarinya, binatang tersebut akhirnya menyerah dan
tidak mencoba sama sekali untuk menghindari kejutan selanjutnya. Mereka
belajar bahwa mereka tidak berdaya. Pada penderita depresi, dapat menemukan
hal yang sama dari keadaan ketidak berdayaan tersebut (Kaplan dkk, 2010).

Pada teori kognitif, Beck menunjukkan perhatian gangguan kognitif pada


depresi. Dia mengidentifikasikan 3 pola kognitif utama pada depresi yang disebut
sebagai triad kognitif, yaitu pandangan negatif terhadap masa depan, pandangan
negatif terhadap diri sendiri, individu menganggap dirinya tak mampu, bodoh,
pemalas, tidak berharga, dan pandangan negatif terhadap pengalaman hidup
(Kaplan dkk, 2010).

2.1.5 Gambaran Klinis


a. Gejala Utama
Afek depresif
Kehilangan minat dan kegembiraan
Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah
(rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya
aktivitas)
b. Gejala Lainnya
Konsesntrasi dan perhatian yang berkurang
Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis

14
Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
Tidur terganggu
Nafsu makan berkurang

2.1.6 Kategori Diagnosis Depresi

Untuk menegakkan diagnosa gangguan depresif di Indonesia dapat


menggunakan Pedoman Penggolongan dan Diagnosa Gangguan Jiwa di
Indonesia, Edisi ketiga (PPDGJ-III). Dapat pula merujuk pada panduan diagnosa
menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, Forth Edition,
Text Revision (DSM-IV-TR), atau ICD 10.

Pedoman diagnosa menurut PPDGJ-III :

I. (F32) EPISODE DEPRESIF

Terdapat tiga variasi dari episode depresif yang khas, yaitu ringan (F32.0),
sedang (F32.1), dan berat (F32.2 dan F32.3). Individu yang mengalami gangguan
depresif umumnya memiliki gejala seperti dibawah ini :

1) Gejala utama (pada derajat ringan, sedang, dan berat) :


a) Afek depresif
b) Kehilangan minat dan kegembiraan
c) Berkurang energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah
lelah (rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan
aktivitas menurun.
2) Gejala lainnya :
a) Konsentrasi dan perhatian kurang
b) Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
c) Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
d) Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
e) Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
f) Gangguan tidur
g) Nafsu makan berkurang
3) Untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahan tersebut,
diperlukan masa sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakkan
diagnosis, akan tetapi periode lebih pendek dapat dibenarkan jika
gejala luar biasa beratnya dan berlangsung cepat.

15
4) Kategori diagnosis episode depresif ringan (F32.0), sedang (F32.1),
dan berat (F32.2) hanya digunakan untuk episode depresi tunggal
(yang pertama). Episode depresif berikutnya harus diklasifikasikan di
bahwa salah satu diagnosis gangguan depresif berulang (F33,-).

Individu yang mengalami gangguan depresif biasanya mengalami mood


yang menurun sedikit demi sedikit tiap harinya, dan seringkali tidak
terpengaruh oleh keadaan sekitarnya. Keadaan mood tersebut juga dapat
memperlihatkan variasi diurnal yang khas seiring berjalannya waktu.
Gejala-gejala gangguan depresif dapat berkembang dan membentuk gejala
khas pada tiap keparahan depresi. Gejala khas tersebut sering disebut
dengan gejala somatik. Gejala somatik terdiri dari :

1)Kehilangan minat atau kesenangan pada kegiatan yang biasanya


dapat dinikmati.
2)Tidak adanya reaksi emosional terhadap lingkungan atau peristiwa
yang biasanya menyenangkan.
3)Bangun pagi lebih awal 2 jam atau lebih daripada biasanya.
4)Depresi lebih parah pada pagi hari.
5)Adanya bukti objektif dari retardasi atau agitasi psikomotor yang
nyata (dijelaskan oleh orang lain).
6)Kehilangan nafsu makan secara mencolo.
7) Penurunan berat badan (sering ditentukan sebagai 5% atau lebih dari
berat badan bulan terakhir).
8)Kehilangan libido secara mencolok.
Gejala somatik dapat ditegakkan bila ditemukan sekitar empat gejala
dari delapan gejala diatas.Episode depresif terbagi menjadi 3 tingkat
keparahan. Perbedaan antara episode depresif ringan, sedang, dan berat
terletak pada penilaian klinis kompleks yang meliputi jumlah, bentuk, dan
keparahan gejala yang ditemukan.
1. (F32.0) Episode Depresif Ringan
1) Sekurang-kurangnya harus ada dua dari tiga gejala utama depresi
seperti tersebutdiatas
2) Ditambah sekurang-kurangnya dua dari gejala lainnya
3) Tidak boleh ada gejala yang berat
4) Lamanya seluruh episode berlangsung minimal dua minggu

16
5) Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang
biasa dilakukannya
6) Dapat dengan gejala somatik atau tanpa gejala somatik.

2. (F32.1) Episode Depresif Sedang


1) Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti
pada episode depresi ringan (F30.0)
2) Ditambah sekurang-kurangnya 3 (dan sebaiknya 4) dari gejala
lainnya.
3) Lamanya seluruh episode berlangsung minimal sekitar 2 minggu.
4) Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial,
pekerjaan dan urusan rumah tangga.
5) Dapat dengan gejala somatik atau tanpa gejala somatik.

3. (F32.2) Episode Depresif Berat tanpa Gejala Psikotik

1) Semua 3 gejala utama depresi harus ada.

2) Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya, dan beberapa


di antaranya harus berintensitas berat.

3) Bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi psikomotor)


yang mencolok, maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu
untuk melaporkan banyak gejalanya secara rinci.Dalam hal
demikian, penilaian secara menyeluruh terhadap episode depresif
berat masih dapat dibenarkan.

4). Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurang-kurangnya 2


minggu, akan tetapi jika gejala amat berat dan beronset sangat
cepat, maka masih dibenarkan untuk menegakkan diagnosis dalam
kurun waktu kurang dari 2 minggu.

5). Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan


sosial , pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali pada pada
taraf yang sangat terbatas.

17
4. (F32.3) Episode Depresif Berat dengan Gejala Psikotik
1) Episode depresi berat yang memenuhi kriteria menurut F32.2
tersebut diatas;
2) Disertai waham, halusinasi atau stupor depresif. Waham biasanya
melibakan ide tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka yang
mengancam, dan pasien merasa bertanggung jawab atas hal itu.
Halusinasi auditorik atau olfatorik biasanya berupa suara yang
menghina atau menuduh, atau bau kotoran atau daging membusuk.
Retardasi psikomotor yang berat dapat menuju pada stupor.

Jika diperlukan, waham atau halusinasi dapat ditentukan sebagai


serasi atau tidak serasi dengan afek (mood-congruent).

5. (F32.8) Episode Depresif Lainnya


6. (F32.9) Episode Depresif YTT

II. (F33) GANGGUAN DEPRESIF BERULANG

Pedoman Diagnostik

1) Gangguan ini tersirat dengan episode berulang dari :


- Episode depresif ringan (F32.0)
- Episode depresif sedang (F32.1)
- Episode depresif berat (F32.2)

Episode masing-masing rata-rata lamanya sekitar 6 bulan, akan tetapi


frekuensinya lebih jarang dibandingkan dengan gangguan bipolar.

2) Tanpa riwayat adanya episode tersendiri dari peninggian afek dan


hiperaktivitas yang memenuhi kriteria mania (F30.1 dan F30.2).

Namun kategori ini tetap harus digunakan jika ternyata ada episode
singkat dari peninggian afek dan hiperaktivitas ringan yang memenuhi
kriteria hipomania (F30.0) segera sesudah suatu episode depresif
(kadang-kadang tampaknya dicetuskan oleh tindakan pengobatan
depresi).

18
3) Pemulihan keadaan biasanya sempurna diantara episode, namun
sebagian kecil pasien mungkin mendapat depresi yang akhirnya
menetap, terutama pada usia lanjut (untuk keadaan ini, kategori ini
harus tetap digunakan).

4) Episode masing-masing, dalam berbagai tingkat keparahan, seringkali


dicetuskan oleh peristiwa kehidupan yang penuh stress atau trauma
mental lain (adanya stress tidak esensial untuk penegakkan diagnosis).
III. (F34.1) DISTIMIK

Menurut DSM-IV-TR, ciri gangguan distimik yang paling khas adalah


perasaan yang tidak adekuat, bersalah, iritabilitas, kemarahan, penarikan diri
dari masnyarakat, hilang minat dan inaktivitas serta tidak produktif. Istilah
distimia dikenalkan pada tahun 1980 yang berarti tidak menyenangkan
(ill-humored).

Gangguan distimik dibedakan dengan gangguan depresif berat


berdasarkan fakta bahwa pasien mengeluh selalu merasa depresi, yang
gangguan tersebut terjadi pada masa kanak-kanak atau remaja dan saat
pasien mencapai usia 20-an. Gejala depresi pada gangguan distimik juga
bersifat subjektif daripada objektif. Sehingga tidak ditemukan tanda khas
berupa gangguan nafsu makan, gangguan libido, dan agitasi atau retardasi
psikomotor tidak terlihat pada gangguan distimik. Gangguan distimik dapat
menetap selama beberapa waktu sampai setidaknya dua tahun. Untuk
diagnosi gangguan distimik, seorang pasien tidak pernah memiliki gejala
dari gangguan depresif berat.1 Gangguan distimik ada dengan awitan dini
atau lambat.

- Awitan dini terjadi sebelum usia 21 tahun.


- Awitan lambat jika terjadi pada usia 21 tahun atau lebih.

Pedoman diagnostik :

1) Ciri esensial ialah afek depresif yang berlangsung sangat lama yang
tidak pernah atau jarang sekali cukup parah untuk memenuhi kriteria
gangguan depresif berulang ringan atau sedang (F33.0 atau F33.1).

19
2) Biasanya mulai pada usia dini dari masa dewasa dan berlangsung
sekurang-kurangnya beberapa tahun, kadang-kadang untuk jangka
waktu tidak terbatas.

Jika onsetnya pada usia lebih lanjut, gangguan ini seringkali merupakan
kelanjutan suatu episode depresif tersendiri (F32.) dan berhubungan dengan
masa berkabung atau stress lain yang tampak jelas.

2.1.6 Tatalaksana
Psikoterapi
Psikoterapi terdiri dari terapi kognitif, terapi interpersonal dan terapi
psikodinamik (Kaplan dkk, 2010).

a. Terapi kognitif
Tujuan :
Bertujuan memberikan peringanan gejala melalui perubahan pikiran
sasaran, mengidentifikasi kognisi yang menghancurkan diri sendiri,
memodifikasi anggapan salah yang spesifik dan mempermudah
pengendalian diri terhadap pola pikiran.

Teknik :
Teknik yang digunakan adalah mencatat dan memonitor kognisi,
mengoreksi tema yang menyimpang dengan tes logika dan
eksperimental, memberikan isi pikiran alternatif, dan pekerjaan rumah.

b. Terapi interpersonal
Tujuan :
Bertujuan memberikan keringanan somatik melalui pemecahan
masalah interpersonal sekarang, menurunkan stres yang melibatkan
keluarga atau pekerjaan, dan meningkatkan keterampilan interpersonal.

Teknik :
Teknik yang digunakan adalah menjelaskan dan menangani hubungan
maladaptif dan mempelajari hubungan yang baru melalui latihan

20
komunikasi dan keterampilan sosial, dan memberikan informasi
tentang penyakit.

c. Terapi psikodinamik
Tujuan :
Bertujuan menimbulkan perubahan kepribadian melalui pengertian
konflik masa lalu, mencapai tilikan ke dalam pertahanan, distorsi ego
dan defek superego, memberikan model peran; dan memungkinkan
pelepasan katartik dari agresi.

Teknik :
Teknik yang digunakan adalah menganalisis transferensi dan resistensi
secara penuh atau parsial, konfrontasi dengan pertahanan, dan
menjelaskan distorsi ego dan superego.

Farmakoterapi
Saat akan memberikan terapi obat-obatan, pasien dan keluarga pasien
perlu diberikan informasi tentang pengobatannya. Saat memperkenalkan masalah
pengobatan pada pasien, dokter harus menekankan bahwa gangguan depresi
adalah suatu kombinasi faktor biologis dan psikologis, dan semua manfaat dari
terapi obat. Dokter juga harus menekankan bahwa pasien tidak akan mengalami
ketagihan terhadap antidepresan, karena obat tersebut tidak memberika pemuasan
yang segera. Dokter harus mengatakan pada pasien mungkin diperlukan waktu 3
sampai 4 minggu untuk dapat dirasakan efek antidepresan dan kendatipun pasien
tidak menunjukkan perbaikan pada waktu tersebut, medikasi lain tersedia. Dokter
harus menjelaskan efek samping yang diperkirakan secara terinci (NICE, 2009).
Dalam pengobatan semua gangguan mental, alasan terbaik untuk memilih
obat adalah riwayat respon yang baik dengan obat tersebut pada pasien atau
anggota keluarga. Jika informasi tersebut tidak ada, pemilihan obat didasarkan
pada terutama efek yang merugikan dari obat. Klinisi harus mempertimbangkan
keparahan dan frekuensi efek yang merugikan yang potensial jika menggunakan
efek samping sebagai dasar untuk memilih dari antara berbagai antidepresan yang
tersedia (Kaplan dkk, 2010).

21
Untuk melakukan pengobatan farmakoterapi pada pasien dengan gangguan
depresi sedang dan berat, ada 3 tahapan yang harus dipertimbangkan antara lain :

a. Fase akut, fase ini berlangsung 6 sampai 10 minggu. pada fase ini bertujuan
untuk mencapai masa remisi ( tidak ada gejala ).
b. Fase lanjutan, fase ini berlangsung selama 4 sampai 9 bulan setelah mencapai
remisi. pada fase ini bertujuan untuk menghilangkan gejala sisa atau
mencegah kekambuhan kembali.
c. Fase pemeliharaan, fase ini berlangsung 12 sampai 36 bulan. Pada fase ini
tujuannya untuk mencegah kekambuhan kembali.
Obat antidepresan terdiri dari beberapa golongan, yaitu golongan ikatan
trisiklik dan tetrasiklik, golongan Mono Amine Oxidase Inhibitor (MAOI)
Reversible, golongan Selective Serotonin Reuptake Inhibitor, golongan
antidepresan atipikal.

Golongan Ikatan Trisiklik dan Tetrasiklik


Semua trisiklik memiliki inti tiga cincin dalam struktur molekulernya
sedangkan tetrasiklik memiliki inti empat cicin dalam struktur molekulernya. Obat
trisiklik memiliki banyak sifat farmakokinetik dan farmakodinamik yang mirip
dan memiliki sfat reaksi merugikan yang mirip. Obat tetrasiklik awalnya
diperkenalkan berbeda secara bermakan dengan trisiklik , tetapi penelitian lebih
lanjut dan pemaikain klinis telah menunjukkan bahwa kedua-duanya paling baik
dipandang sebagai anggota keluarga besar obat (Kaplan dkk, 2010).
Efek jangka pendek obat trisiklik dan tetrasiklin adalah untuk menurunkan
ambilan kembali norepinefrin dan serotonin, dan menghambat reseptor asetilkolin
muskarinik dan histamin (Ciraulo dkk, 2011).
Pemberian jangka panjang obat trisiklik dan tetrasiklik menyebabkan
penurunan jumlah reseptor beta adrenergik dan kemungkinan yang serupa dalam
jumlah reseptor serotonin tipe 2 (Kaplan dkk, 2010).
Efek samping obat trisiklik dan tetrasiklik, yaitu mampu merangsang
aktivitas antikolinergik (antimuskarinik) yang dapat menyebabkan sembelit, mulut
kering, retensi urin dan dispepsia. Pada pasien usia lanjut, efek samping yang
lebih berat seperti takikardia,kebingungan, agitasi bahkan delirium dapat terjadi.
Sementara reaksi antagonis alfa1-adrenergik dan reaksi antihistamin masing-

22
masing dapat menyebabkan hipotensi ortostatik dan peningkatan berat badan
(Ciraulo dkk, 2011).

Dosis obat untuk trisiklik dan tetrasiklik bervariasi dan dijelaskan pada tabel 1.

Tabel 1. Dosis Obat Trisiklik dan Tetrasiklik pada Orang Dewasa

23
Dikutip dari Ciraulo, D. A., Shader, R. I. & Greenblatt, D. J. 2011. Clinical Pharmacology and
Therapeutics of Antidepressants. Department of Psychiatry, Boston University School of
Medicine. England. Hal: 33-100.

Golongan Mono Amine Oxidase Inhibitor (MAOI)


Penghambat monoamine oksidase merupakan terpilih untuk gangguan
depresi sebagai indikasi utamanya dan biasanya memiliki kemanjuran yang sama
jika dibandingkan dengan obat antidepresan lainnya. MAOI sekarang jarang
digunakan dikarenakan pembatasan diet yang harus diikuti untuk menghindari
krisis hipertensi akibat konsumsi tyramine. Empat jenis MAOI yang sering
digunakan di Amerika Serikat, yaitu Isocarboxazid, Phenelzine, Tranylccypromine
dan Selegiline (Kaplan dkk, 2010).

Golongan Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI)


Golongan Selective Serotonin Reuptake Inhibitor memiliki aktivitas
spesifik dalam hal inhibisi ambilan kembali serotonin tampa efek pada ambilan
kembali norepinefrin dan dopamine. SSRI juga tidak memiliki sama sekali
aktivitas agonis dan antagonis pada tiap reseptor neurotransmitter (Kaplan, 2010).
Meskipun umumnya SSRI dapat ditoleransi dengan baik, SSRI dapat
menyebabkam rasa cemas, gangguan tidur dan gangguan pencernaan. SSRI bisa
dikelola dengan menurunkan dosis atau memperlambat peningkatan dosis
sementara mengobati gejala sasaran (misalnya ondansetron untuk mual,
lorazepam untuk insomnia) (Ciraulo dkk, 2011).

Dosis obat untuk Selective Serotonin Reuptake Inhibitordijelaskan pada


tabel 2.

24
Tabel 2. Dosis Obat Selective Serotonin Reuptake Inhibitorpada Orang Dewasa

Dikutip dari Ciraulo, D. A., Shader, R. I. & Greenblatt, D. J. 2011. Clinical Pharmacology and
Therapeutics of Antidepressants. Department of Psychiatry, Boston University School of
Medicine. England. Hal: 33-100.

Golongan Antidepresan Atipikal


Golongan antidepresan atipikal adalah obat antidepresan yang tidak cocok jika
dimasukkan dalam klasifikasi obat antidepresan lainnya (trisiklik, MAOI, dan
SSRI). Jenis obat antidepresan atipikal, yaitu bupropion, venlafaxine, mirtazapine,
dan Trazodone.

Venlafaxine
Venlafaxine termasuk golongan Serotonin and Norepinephrine Reuptake
Inhibitors (SNRI). SNRI pada dasarnya perkembangan dari obat SSRI dan
memiliki efikasi lebih tinggi dari pada SSRI karena SNRI mempunyai
mekanisme ganda, yaitu menghambat transporter serotonin dan norepinefrin.
Obat golongan SNRI yang digunakan adalah venlafaxine.

Venlafaxine adalah inhibitor nonselektif ambilan kembali 3 amin


biogenic, yaitu serotonin, norepiefrin, dan dopamin. Obat ini paling kuat
sebagai inhibitor ambilan kembali serotonin, tetapi potensinya sebagai
inhibitor ambilan kembali norepinefrin juga tinggi, dan potensinya sebagai
inhibitor ambilan kembali dopamine cukup bermakna.

25
Bila venlafaxin tersedia dalam bentuk tablet 37,5mg dan 75mg. dosis
awal lazimnya pada pasien depresi rawat jalan adalah 75mg sehari,
diberikan dalam 2 sampai 3 dosis terbagi. Pada populasi pasien tersebut
dosis dapat ditingkatkan sampai 150 mg sehari, diberikan dalam 2 atau 3
dosis terbagi setelah periode pemeriksaan klinis yang cukup dengan dosis
lebih rendah. Dosis maksimum venlafaxine adalah 375 mg sehari (Kaplan
dkk, 2010).

Bupropion
Bupropion termasuk golongan Norepinephrine and Dopamine
Reuptaking Inhibitors (NDRI), NDRI bekerja pada transporter
norepineprin dan dopamine sehingga meningkatkan jumlah kedua
neurotransmitter tersebut pada postsynaptic cell. Bupropion juga tidak
menyebabkan disfungsi seksual dan penambahan berat badan sehingga
diindikasikan pada orang yang mengalami disfungsi seksual akibat SSRI.

Bupropion tersedia dalam bentuk tablet 75 mg dan 100 mg. awal


terapi pada pasien dewasa rata-rata harus 100 mg per oral 2kali sehari.
Pada hari ke empat terapi dosis dapat ditingkatkan 100 mg per oral 3 kali
sehari. Dosis tunggal bupropion tidak boleh melebih 150 mg dan dosis
harian total tidak boleh melebih 450 mg (Kaplan dkk, 2010).

Mirtazapine
Mirtazapine termasuk golongan Noradrenergic and specific
antidepressants (NaSSA). Cara kerja NaSSA adalah dengan menghambat
reseptor alfa-2 adrenergik pada presinaptik dan postsinaptik tetapi juga
memiliki afinitas yang rendah pada reseptor alfa-1 adrenergik. NaSSA
juga menghambat reseptor serotonin 5HT2 dan 5HT3. Dosis awal yang
harus diberikan adalah 15mg dan maksimal 45mg dikonsumsi setiap
malam sebelum tidur (Halverson, 2015).

Trazodone

26
Trazodone efektif dalam penanganan depresi mayor dengan cara
menghambat ambilan semula serotonin dan modulasi neurotransmisi
serotonergik. Trazodone juga mempunyai peran signifikan dalam
menghambat reseptor histamine (H1). Trazodone dapat memperbaiki
kualitas tidur hingga menurunkan jumlah dan lama terjaga di malam hari.
Trazodone sering diberikan pada dosis rendah yaitu antara 25mg hingga
50mg sebagai pelengkap SSRI dalam merawat masalah insomnia
(Halverson, 2015).

Algoritma pengobatan farmakoterapi episode depresi sedang atau berat tanpa ada
kontrindikasi terhadap antidepresan.

Jika obat yang diberikan kepada pasien tidak berespon setelah pemakaian
2 minggu atau 3 minggu maka periksa apakah obat memang benar dikonsumsi
secara teratur atau ada disposisi farmakokinetik (NICE, 2009)

Jika obat antidepresan pertama telah digunakan secara adekuat dan


konsentrasi plasma yang adekuat telah dicapai tetapi tidak memberikan respon
yang maksimal maka dapat dilakukan dua pilihan, yaitu memperkuat obat dengan
lithium, liothyronine atau L-tryptophan atau mengganti agen primer alternatif
(Kaplan, 2010).

Jika pengobatan 2 atau 3 minggu pertama memiliki respon maka dokter


wajib meyakinkan pasien depresi untuk melanjutkan pengobatan minimal 6 bulan.
Sarankan pasien depresi untuk melanjutkan pengobatan paling sedikit 2 tahun
untuk pasien yang berisiko relapse. Pasien yang berisiko relapse, yaitu pasien
yang memiliki riwayat depresi lebih atau sama dengan 2 episode, pasien yang
memiliki gangguan fungsional yang berat, pasien yang memiliki riwayat
pengobatan yang lama.

27
Gambar 8. Algoritma Pengobatan Farmakoterapi Episode Depresi Sedang atau
Berat

Pasien depresi yang secra fisik sehat tanpa ada kontraindikasi terhadap antidepresan

SSRI (dipilih tergantung beberapa faktor)

Terapi gagal, tidak ada respon Respon parsial Remisi penuh

atau timbul efek samping

Tingkatkan dosis, ganti Menjaga 4 9 bulan untuk


Dipastikan kepatuhan terapi lanjutan, jika perlu
dengan antidepresan
lainnya atau terapi 12 36 bulan untuk terapi
pengobatan
kombinasi (dengan pemeliharaan
Lithium)
Diganti dengan alternatif lain ( SSRI
yang lain, antidepresan non- SSRI)

Remisi penuh

Menjaga 4 9 bulan untuk terapi


lanjutan, jika perlu 12 36 bulan
untuk terapi pemeliharaan

Dikutip dari Yuniastuti. 2013. Evaluasi Terapi Obat Antidepresan pada Pasien Depresi di Rumah
Sakit Jiwa Daerah Surakarta Tahun 2011-2012. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Indonesia.
Hal: 1-10.

Terapi alternatif terhadap terapi obat, yaitu elektrokonvulsif dan fototerapi.


Terapi elektrokonvulsif biasanya digunakan jika pasien tidak respon terhadap
farmakoterapi, pasien tidak menoleransi farmakoterapi, situasi klinis sangat parah
sehingga diperlukan perbaikan cepat yang terlihat pada elektrokonvulsif.
Fototerapi adalah suatu pengobatan baru yang telah digunakan pada pasien yang
menderita gangguan mood dengan pola musiman (Kaplan dkk, 2010)

2.2. Gangguan Bipolar


2.2.1 Definisi

28
Gangguan bipolar (GB) merupakan gangguan jiwa yang bersifat episodik
dan ditandai oleh gejala-gejala manic, hipomanik, depresi, dan campuran,
biasanya rekuren serta dapat berlangsung seumur hidup. Setiap episode
dipisahkan sekurangnya dua bulan tanpa gejala penting mania atau hipomania.
Tetapi pada beberapa individu, gejala depresi dan mania dapat bergantian secara
cepat, yang dikenal dengan rapid cycling. Episode mania yang ekstrim dapat
menunjukkan gejala-gejala psikotik seperti waham dan halusinasi.

2.2.2 Epidemiologi
Gangguan bipolar adalah gangguan yang lebih jarang dibandingkan
dengan gangguan depresif berat. Prevalensi gangguan bipolar di Indonesia hanya
sekitar 2% sama dengan prevalensi skizofrenia. Prevalensi antara laki-laki dan
wanita sama besar. Onset gangguan bipolar adalah dari masa anak-anak (usia 5-6
tahun) sampai 50 tahun atau lebih. Rata-rata usia yang terkena adalah usia 30
tahun. Gangguan bipolar cenderung mengenai semua ras

2.2.3 Etiologi
Penyebab gangguan bipolar multifaktor. Secara biologis dikaitkan dengan
faktor genetik dan gangguan neurotransmitter di otak. Secara psikososial
dikaitkan dengan pola asuh masa kanak-kanak, stress yang menyakitkan, stress
kehidupan yang berat dan berkepanjangan, dan banyak lagi faktor lainnya
Faktor Genetik
Penelitian keluarga telah menemukan bahwa kemungkinan menderita
suatu gangguan mood menurun saat derajat hubungan kekeluargaan melebar.
Sebagai contoh, sanak saudara derajat kedua (sepupu) lebih kecil
kemungkinannya dari pada sanak saudara derajat pertama. Penurunan gangguan
bipolar juga ditunjukkan oleh fakta bahwa kira-kira 50 persen pasien Gangguan
bipolar memiliki sekurangnya satu orangtua dengan suatu Gangguan mood, paling
sering Gangguan depresif berat. Jika satu orangtua menderita gangguan bipolar,
terdapat kemungkinan 25 persen bahwa anaknya menderita suatu Gangguan
mood. Jika kedua orangtua menderita Gangguan bipolar, terdapat kemungkinan
50-75 persen anaknya menderita Gangguan mood

29
Beberapa studi berhasil membuktikan keterkaitan antara Gangguan bipolar
dengan kromosom 18 dan 22, namun masih belum dapat diselidiki lokus mana
dari kromosom tersebut yang benar-benar terlibat. Beberapa diantaranya yang
telah diselidiki adalah 4p16, 12q23-q24, 18 sentromer, 18q22-q23, dan 21q22.
Yang menarik dari studi kromosom ini, ternyata penderita sindrom Down (trisomi
21) beresiko rendah menderita Gangguan bipolar
Sejak ditemukannya beberapa obat yang berhasil meringankan gejala
bipolar, peneliti mulai menduga adanya hubungan neurotransmitter dengan
Gangguan bipolar. Neurotransmitter tersebut adalah dopamine, serotonin,
noradrenalin. Gen-gen yang berhubungan dengan neurotransmitter tersebut pun
mulai diteliti seperti gen yang mengkode monoamine oksidase A (MAOA), tirosin
hidroksilase, cathecol-ometiltransferase (COMT), dan serotonin transporter
(5HTT). Penelitian terbaru menemukan gen lain yang berhubungan dengan
penyakit ini yaitu gen yang mengekspresi brain derived neurotrophic factor
(BDNF). BDNF adalah neurotropin yang berperan dalam regulasi plastisitas
sinaps, neurogenesis, dan perlindungan neuron otak. BDNF diduga ikut terlibat
dalam mood. Gen yang mengatur BDNF terletak pada kromosom 11p13. Terdapat
tiga penelitian yang mencari tahu hubungan antara BDNF dengan Gangguan
bipolar dan hasilnya positif
Faktor Biologis
Kelainan di otak juga dianggap dapat menjadi penyebab penyakit ini.
Terdapat perbedaan gambaran otak antara kelompok sehat dengan penderita
bipolar. Melalui pencitraan magnetic resonance imaging (MRI) dan positron-
emission tomography (PET), didapatkan jumlah substansia nigra dan aliran darah
yang berkurang pada korteks prefrontal subgenual. Tak hanya itu, Blumberg dkk
dalam Arch Gen Psychiatry 2003 pun menemukan volume yang kecil pada
amygdale dan hippocampus. Korteks prefrontal, amygdale, dan hippocampus
merupakan bagian dari otak yang terlibat dalam respon emosi (mood dan afek)
Penelitian lain menunjukkan ekspresi oligodendrosit-myelin berkurang
pada otak penderita bipolar. Seperti diketahui, oligodendrosit menghasilkan
membran myelin yang membungkus akson sehingga mampu mempercepat

30
hantaran konduksi antar saraf. Bila jumlah oligodendrosit berkurang, maka dapat
dipastikan komunikasi antar saraf tidak berjalan lancar
Faktor Lingkungan
Penelitian telah membuktikan faktor lingkungan memegang peranan
penting dalam Gangguan perkembangan bipolar. Faktor lingkungan yang sangat
berperan pada kehidupan psikososial dari pasien dapat menyebabkan stress yang
dipicu oleh faktor lingkungan. Stress yang menyertai episode pertama dari
Gangguan bipolar dapat menyebabkan perubahan biologik otak yang bertahan
lama. Perubahan bertahan lama tersebut dapat menyebabkan perubahan keadaan
fungsional berbagai neurotransmitter dan sistem pemberian signal intraneuronal.
Perubahan mungkin termasuk hilangnya neuron dan penurunan besar dalam
kontak sinaptik. Hasil akhir perubahan tersebut adalah menyebabkan seseorang
berada pada resiko yang lebih tinggi untuk menderita Gangguan mood
selanjutnya, bahkan tanpa adanya stressor eksternal

2.2.4 Gambaran Klinis


Terdapat dua pola gejala dasar pada Gangguan bipolar yaitu, episode
depresi dan episode mania.

Episode manik:
Paling sedikit satu minggu (bisa kurang, bila dirawat) pasien mengalami mood
yang elasi, ekspansif, atau iritabel. Pasien memiliki, secara menetap, tiga atau
lebih gejala berikut (empat atau lebih bila hanya mood iritabel) yaitu:
Grandiositas atau percaya diri berlebihan
Berkurangnya kebutuhan tidur
Cepat dan banyaknya pembicaraan
Lompatan gagasan atau pikiran berlomba
Perhatian mudah teralih
Peningkatan energy dan hiperaktivitas psikomotor
Meningkatnya aktivitas bertujuan (social, seksual, pekerjaan dan sekolah)

31
Tindakan-tindakan sembrono (ngebut, boros, investasi tanpa perhitungan
yang matang)
Gejala yang derajatnya berat dikaitkan dengam penderitaan, gambaran
psikotik, hospitalisasi untuk melindungi pasien dan orang lain, serta adanya
Gangguan fungsi sosial dan pekerjaan. Pasien hipomania kadang sulit didiagnosa
sebab beberapa pasien hipomania justru memiliki tingkat kreativitas dan
produktivitas yang tinggi. Pasien hipomania tidak memiliki gambaran psikotik
(halusinasi, waham atau perilaku atau pembicaraan aneh) dan tidak memerlukan
hospitalisasi.

Episode Campuran
Paling sedikit satu minggu pasien mengalami episode mania dan depresi
yang terjadi secara bersamaan. Misalnya, mood tereksitasi (lebih sering mood
disforik), iritabel, marah, serangan panic, pembicaraan cepat, agitasi, menangis,
ide bunuh diri, insomnia derajat berat, grandiositas, hiperseksualitas, waham kejar
dan kadang-kadang bingung. Kadang-kadang gejala cukup berat sehingga
memerlukan perawatan untuk melindungi pasien atau orang lain, dapat disertai
gambaran psikotik, dan mengganggu fungsi personal, social dan pekerjaan.

Siklus Cepat
Siklus cepat yaitu bila terjadi paling sedikit empat episode depresi,
hipomania, atau mania dalam satu tahun. Seseorang dengan siklus cepat jarang
mengalami bebas gejala dan biasanya terdapat hendaya berat dalam hubungan
interpersonal atau pekerjaan.

Siklus Ultra Cepat


Mania, hipomania, dan episode depresi bergantian dengan sangat cepat
dalam beberapa hari. Gejala dan hendaya lebih berat bila dibandingkan dengan
siklotimia dan sangat sulit diatasi.

Sindrom Psikotik

32
Pada kasus berat, pasien mengalami gejala psikotik. Gejala psikotik yang
paling sering yaitu:
Halusinasi (auditorik, visual, atau bentuk sensasi lainnya)
Waham
Misalnya, waham kebesaran sering terjadi pada episode mania sedangkan
waham nihilistic terjadi pada episode depresi. Ada kalanya simtom psikotik tidak
serasi dengan mood. Pasien dengan Gangguan bipolar sering didiagnosis sebagai
skizofrenia. Ciri psikotik biasanya merupakan tanda prognosis yang buruk bagi
pasien dengan Gangguan bipolar. Faktor berikut ini telah dihubungkan dengan
prognosis yang buruk seperti: durasi episode yang lama, disosiasi temporal antara
Gangguan mood dan gejala psikotik, dan riwayat penyesuaian social pramorbid
yang buruk. Adanya ciri-ciri psikotik yang memiiki penerapan terapi yang
penting, pasien dengan symptom psikotik hampir selalu memerlukan obat anti
psikotik di samping anti depresan atau anti mania atau mungkin memerlukan
terapi antikonvulsif untuk mendapatkan perbaikan klinis.

2.2.5 Kriteria
Berdasarkan DSM-IV, Gangguan bipolar digolongkan menjadi 4 kriteria:
Gangguan bipolar I
Terdapat satu atau lebih episode manik. Episode depresi dan hipomanik
tidak diperlukan untuk diagnosis tetapi episode tersebut sering terjadi.
Gangguan bipolar II
Terdapat satu atau lebih episode hipomanik atau episode depresif mayor
tanpa episode manik.
Siklotimia
Adalah bentuk ringan dari Gangguan bipolar. Terdapat episode hipomania
dan depresi yang ringan yang tidak memenuhi kriteria episode depresif
mayor.
Gangguan bipolar YTT

33
Gejala-gejala yang dialami penderita tidak memenuhi kriteria Gangguan
bipolar I dan II. Gejala-gejala tersebut berlangsung tidak lama atau gejala
terlalu sedikit sehingga tidak dapat didiagnosa Gangguan bipolar I dan II.

2.2.6 Diagnosis
Keterampilan wawancara dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis.
Informasi dari keluarga sangat diperlukan. Diagnosis ditegakkan berdasarkan
criteria yang terdapat dalam DSM-IV atau ICD-10. Salah satu instrumen yang
dapat digunakan untuk mengidentifikasi symptom Gangguan bipolar adalah The
Structured clinical Interview for DSM-IV (SCID). The Present State Examination
(PSE) dapat pula digunakan untuk mengidentifikasi symptom sesuai dengan ICD-
10.
Pembagian menurut DSM-IV:
Gangguan mood bipolar I
Gangguan mood bipolar I, episode manic tunggal
A. Hanya mengalami satu kali episode manic dan tidak ada riwayat
depresi mayor sebelumnya.
B. Tidak bertumpang tindih dengan skizofrenia, skizofreniform,
skizoafektif, Gangguan waham, atau dengan Gangguan psikotik
yang tidak dapat diklasifikasikan.
C. Gejala-gejala tidak disebabkan efek fisiologik langsung zat atau
kondisi medic umum
D. Gejala mood menyebabkan penderitaan yang secara klinik cukup
bermakna atau menimbulkan hendaya dalam social, pekerjaan dan
aspek fungsi penting lainnya.
Gangguan mood bipolar I, episode manic sekarang ini
A. Saat ini dalam episode manic
B. Sebelumnya, paling sedikit, pernah mengalami satu kali episode
manik, depresi, atau campuran.
C. Episode mood pada kriteria A dan B bukan skizoafektif dan tidak
bertumpang tindih dengan skizofrenia, skizofreniform, Gangguan

34
waham, atau dengan Gangguan psikotik yang tidak dapat
diklasifikasikan.
D. Gejala-gejala tidak disebabkan oleh efek fisiologik langsung zat
atau kondisi medik umum.
E. Gejala mood menyebabkan penderitaan yang secara klinik cukup
bermakna atau menimbulkan hendaya dalam social, pekerjaan dan
aspek fungsi penting lainnya.
Gangguan mood bipolar I, episode campuran saat ini
A. Saat ini dalam episode campuran
B. Sebelumnya, paling sedikit, pernah mengalami episode manik,
depresi atau campuran
C. Episode mood pada kriteria A dan B tidak dapat dikategorikan
skizoafektif dan tidak bertumpang tindih dengan skizofrenia,
skizifreniform, Gangguan waham, atau Gangguan psikotik yang
tidak diklasifikasikan
D. Gejala-gejala tidak disebabkan efek oleh fisiologik langsung zat
atau kondisi medik umum
E. Gejala mood menyebabkan penderitaan yang secara klinik cukup
bermakna atau menimbulkan hendaya dalam social, pekerjaan, atau
aspek fungsi penting lainnya.
Gangguan mood bipolar I, episode hipomanik saat ini
A. Saat ini dalam episode hipomanik
B. Sebelumnya, paling sedikit, pernah mengalami satu episode manic
atau campuran
C. Gejala mood menyebabkan penderita yang secara klinik cukup
bermakna atau hendaya social, pekerjaan atau aspek fungsi penting
lainnya
D. Episode mood pada kriteria A dan B tidak dapat dikategorikan
sebagai skizoafektif dan tidak bertumpang tindih dengan
skizofrenia, skizofreniform, Gangguan waham, dan dengan
Gangguan psikotik yang tidak dapat diklasifikasikan.
Gangguan mood bipolar I, episode depresi saat ini
A. Saat ini dalam episode depresi mayor

35
B. Sebelumnya, paling sedikit, pernah mengalami episode manik dan
campuran
C. Episode mood pada kriteria A dan B tidak dapat dikategorikan
sebagai skizoafektif dan tidak bertumpang tindih dengan
skizofrenia, skizofreniform, Gangguan waham, dan dengan
Gangguan psikotik yang tidak dapat diklasifikasikan.
D. Gejala-gejala tidak disebabkan efek fisiologik langsung zat atau
kondisi medik umum
E. Gejala mood menyebabkan penderitaan yang secara klinik cukup
bermakna atau menimbulkan hendaya dalam social, pekerjaan, atau
aspek fungsi penting lainnya.
Gangguan mood bipolar I, Episode Yang tidak dapat diklasifikasikan saat
ini
A. Criteria, kecuali durasi, saat ini, memenuhi kriteria untuk manik,
hipomanik, campuran atau episode depresi.
B. Sebelumnya, paling sedikit, pernah mengalami satu episode manik
atau campuran.
C. Episode mood pada kriteria A dan B tidak dapat dikategorikan
sebagai skizoafektif dan tidak bertumpang tindih dengan
skizofrenia, skizofreniform, Gangguan waham, atau dengan
Gangguan psikotik yang tidak dapat diklasifikasikan di tempat lain.
D. Gejala mood menyebabkan penderitaan yang secara klinik cukup
bermakna atau menimbulkan hendaya dalam social, pekerjaan, atau
aspek fungsi penting lainnya.
Ganggguan Mood Bipolar II
Satu atau lebih episode depresi mayor yang disertai dengan paling sedikit
satu episode hipomanik.

Gangguan Siklotimia
A. Paling sedikit selama dua tahun, terdapat beberapa periode dengan gejala-
gejala hipomania dan beberapa periode dengan gejala-gejala depresi yang

36
tidak memenuhi criteria untuk Gangguan depresi mayor. Untuk anak-anak
dan remaja durasinya paling sedikit satu tahun.
B. Selama periode dua tahun di atas penderita tidak pernah bebas dari gejala-
gejala pada kriteria A lebih dari dua bulan pada suatu waktu.
C. Tidak ada episode depresi mayor, episode manik, episode campuran,
selama dua tahun Gangguan tersebut
Catatan: setelah dua tahun awal, siklotimia dapat bertumpang tindih
dengan manic atau episode campuran (diagnosis GB I dan Gangguan
siklotimia dapat dibuat) atau episode depresi mayor (diagnosis GB II
dengan Gangguan siklotimia dapat ditegakkan)
D. Gejala-gejala pada criteria A bukan skizoafektif dan tidak
bertumpangtindih dengan skizofrenia, skizofreniform, gangguan waham,
atau dengan Gangguan psikotik yang tidak dapat diklasifikasikan.
E. Gejala-gejala tidak disebabkan oleh efek fisiologik langsung zat atau
kondisi medic umum
F. Gejala-gejala di atas menyebabkan penderitaan yang secara klinik cukup
bermakna atau menimbulkan hendaya dalam social, pekerjaan atau aspek
fungsi penting lainnya.

Pembagian menurut PPDGJ III:


F31 Gangguan Afek bipolar
Gangguan ini tersifat oleh episode berulang (sekurang-kurangnya dua
episode) dimana afek pasien dan tingkat aktivitasnya jelas terganggu, pada
waktu tertentu terdiri dari peningkatan afek disertai penambahan energi
dan aktivitas (mania atau hipomania), dan pada waktu lain berupa
penurunan afek disertai pengurangan energi dan aktivitas (depresi). Yang
khas adalah bahwa biasanya ada penyembuhan sempurna antar episode.
Episode manik biasanya mulai dengan tiba-tiba dan berlangsug antara 2
minggu sampai 4-5 bulan, episode depresi cenderung berlangsung lebih
lama (rata-rata sekitar 6 bulan) meskipun jarang melebihi 1 tahun kecuali
pada orang usia lanjut. Kedua macam episode itu seringkali terjadi setelah

37
peristiwa hidup yang penuh stress atau trauma mental lainnya (adanya
stress tidak esensial untuk penegakan diagnosis).
Termasuk: gangguan atau psikosis manik-depresif
Tidak termasuk: Gangguan bipolar, episode manic tunggal (F30)
F31.0 Gangguan Afektif Bipolar, Episode Klinik Hipomanik
Episode yang sekarang harus memenuhi criteria untuk hipomania (F30);
dan
Harus ada sekurang-kurangnya satu episode afektif lain (hipomanik,
manik , depresif, atau campuran)di masa lampau.
F31.1 Gangguan afektif Bipolar, Episode kini Manik Tanpa Gejala Psikotik
Episode yang sekarang harus memenuhi kriteria untuk mania tanpa gejala
psikotik (F30.1); dan
Harus ada sekurang-kurangnya satu episode afektif lain (hipomanik,
manik, depresif, atau campuran) di masa lampau.
F31.2 Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Manik dengan gejala psikotik
Episode yang sekarang harus memenuhi kriteria untuk mania dengan
gejala psikotik (F30.2); dan
Harus ada sekurang-kurangnya satu episode afektif lain (hipomanik,
manik, depresif atau campuran) di masa lampau
F31.3 Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Depresif Ringan atau Sedang
Episode yang sekarang harus memenuhi kriteria untuk episode depresi
ringan (F32.0) atau pun sedang (F32.1); dan
Harus ada sekurang-kurangnya satu episode afektif hipomanik, manik,
atau campuran di masa lampau
F31.4 gangguan afektif bipolar, episode kini depresif berat tanpa gejala
psikotik
Episode yang sekarang harus memenuhi kriteria untuk episode depresif
berat tanpa gejala psikotik (F32.2); dan
Harus ada sekurang-kurangnya satu episode afektif hipomanik, manik,
atau campuran di masa lampau

38
F31.5 Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Depresif Berat dengan Gejala
Psikotik
Episode yang sekarang harus memenuhi kriteria untuk episode depresif
berat dengan gejala psikotik (F32.3);dan
Harus ada sekurang-kurangnya satu episode afektif hipomanik, manik,
atau campuran dimasa lampau
F31.6 Gangguan Afektif Bipolar Campuran
Episode yang sekarang menunjukkan gejala-gejala manik, hipomanik, dan
depresif yang tercampur atau bergantian dengan cepat (gejala mania/hipomania
dan depresif yang sama-sama mencolok selama masa terbesar dari episode
penyakit yang sekarang, dan telah berlangsung sekurang-kurangnya 2 minggu);
dan
Harus ada sekurang-kurangnya satu episode afektif hipomanik, manik, atau
campuran di masa lampau
F31.7 Gangguan Afektif Bipolar, kini dalam Remisi
Sekarang tidak menderita gangguan afektif yang nyata selama beberapa
bulan terakhir ini, tetapi pernah mengalami sekurang-kurangnya satu
episode afektif hipomanik, manik atau campuran di masa lampau dan
ditambah sekurang-kurangnya satu episode afektif lain (hipomanik, manik,
depres if atau campuran)
F31.8 Gangguan Afektif Bipolar Lainnya
F31.9 Gangguan Afektif Bipolar YTT

Gangguan Bipolar pada Anak-anak


Kebanyakan kasus gangguan bipolar didiagnosis pada usia dewasa, tetapi
penelitian membuktikan bahwa sebagian anak yang didiagnosa dengan depresi
sebenarnya menderita gangguan bipolar. Anak-anak dengan gangguan bipolar
sebaiknya tidak diberikan label tertentu yang dapat membuat mereka terhindar
dari pergaulannya. Anak-anak tersebut juga beresiko tinggi menderita gangguan
kecemasan dan juga Attention Deficit-Hyperactivity Disorder (ADHD).

39
2.2.7 Diagnosis Banding
Terdapat beberapa gangguan mental lainnya yang memiliki gejala yang
sama dengan gangguan bipolar seperti skizofrenia, skizoafektif, intoksikasi obat,
gangguan skizofreniform, dan gangguan kepribadian ambang.

2.2.8 Tatalaksana
Farmakoterapi
Pendekatan farmakoterapeutik terhadap gangguan bipolar telah
menimbulkan perubahan besar dalam pengobatannya dan secara dramatis telah
mempengaruhi perjalanan gangguan bipolar dan menurunkan biaya bagi
penderita.

Penatalaksanaan Kedaruratan Agitasi Akut Pada Gangguan Bipolar


Lini 1
- Injeksi IM aripiprazol efektif untuk pengobatan agitasi pada pasien dengan
episode mania atau campuran akut. Dosis adalah 9,75 mg/injeksi. Dosis
maksimum adalah 29,25 mg/hari (tiga kali injeksi perhari dengan interval
dua jam). Berespon dalam 45-60 menit.
- Injeksi IM olanzapin efektif untuk agitasi pada pasien dengan episode
mania atau campuran akut. Dosis 10 mg/injeksi. Dosis maksimum adalah
30 mg/hari. Berespon dalam 15-30 menit. Interval pengulangan injeksi
adalah dua jam. Sebanyak 90% pasien menerima hanya satu kali injeksi
dalam 24 jam pertama. Injeksi lorazepam 2 mg/injeksi. Dosis maksimum
Lorazepam 4 mg/hari. Dapat diberikan bersamaan dengan injeksi IM
Aripiprazol atau Olanzapin. Jangan dicampur dalam satu jarum suntik
karena mengganggu stabilitas antipsikotika.
Lini 2
- Injeksi IM Haloperidol yaitu 5 mg/kali injeksi. Dapat diulang setelah 30
menit. Dosis maksimum adalah 15 mg/hari.
- Injeksi IM Diazepam yaitu 10 mg/kali injeksi. Dapat diberikan bersamaan
dengan injeksi haloperidol IM. Jangan dicampur dalam satu jarum suntik.

Penatalaksanaan Terapi Farmakologi Pada Mania Akut

40
Lini 1
- Litium, diivalproat, olanzapin, risperidon, quetiapin, quetiapin XR,
aripiprazol, litium atau divalproat + risperidon, litium atau divalproat +
quetiapin, litium atau divalproat + olanzapin, litium atau divalproat +
aripiprazol.
Lini 2
- Karbamazepin, Terapi Kejang Listrik (TKL), litium + divalproat,
paripalidon
Lini 3
- Haloperidol, klorpromazin, litium atau divalproat haloperidol, litium
+karbamazepin, klozapin.

Gambar 9. Algoritma Terapi Mania Akut pada Gangguan Bipolar

Penatalaksanaan Episode Depresi Akut pada Gangguan Bipolar 1

41
Lini 1
Terapi:
- Litium, lamotrigin, quetiapin, quetiapin XR, litium atau divalproat + SSRI,
Olanzapin + SSRI, litium + divalproat.
Lini 2
Terapi:
- Quetiapin + SSRI, divalproat, litium atau divalproat + lamotrigin
Lini 3
Terapi:
- Karbamazepin, olanzapin, litium + karbamazepin, litium atau divalproat +
venlafaksin, litium + MAOI, TKL, Litium atau divalproat atau AA + TCA,
litium atau divalproat atau karbamazepin + SSRI + Lamotrigin,
penambahan topiramat.
Obat-obat yang tida direkomendasikan
- Gabapentin monoterapi, aripiprazol mono terapi

Rekomendasi terapi rumatan pada gangguan bipolar 1


Lini 1
Terapi:
- Litium, lamotrigin monoterapi, divalproat, olanzapin, quetiapin, litium
atau divalproat + quetiapin, risperidon injeksi jangka panjang (RIJP),
penambahan RIJP, aripiprazol
Lini 2
Terapi:
- Karbamazepin, litium +divalproat, litium + karbamazepine, litium +
divalproat + olanzapin, litium + risperidon, litium + lamotrigin, olanzapin
+ fluoksetin

Lini 3

42
Terapi:
- Penambahan fenitoin, penambahan olanzapin, penambahan ECT,
penambahan topiramat, penambahan asam lemak omega-3, penambahan
okskarbazepin
-
Obat-obatan yang tidak direkomendasikan:
- Gabapentin, topiramat atau antidepresan monoterapi

Penatalaksanaan Depresi akut pada Gangguan Bipolar II


Lini 1
Terapi:
- Quetiapin
Lini 2
Terapi:
- Litium, lamotrigin, divalproat, litium atau divalproat + antidepresan, litium
+ divalproat, antipsikotika atipik + antidepresan.
Lini 3
Terapi:
- Antidepresan mono terapi (terutama untuk pasien yang jarang mengalami
hipomania)

Rekomendasi Terapi Rumatan pada Gangguan Bipolar II


Lini 1
Terapi:
- Litium, lamotrigin
Lini 2
Terapi:
- Divalproat, litium atau divalproat atau antipsikotika atipik + antidepresan,
kombinasi dua dari: litium, lamotrigin, divalproat, atau antipsikotika
atipik.

Lini 3
Terapi:

43
- Karbamazepin, antipsikotika atipik, ECT
Obat-obatan yamg tidak dianjurkan:
- Gabapentin.

Gambar 10. Algoritma terapi Episode Depresi pada Gangguan Bipolar.

Psikoterapi
Disamping pengobatan medikamentosa, psikoterapi adalah salah satu terapi
yang efektif untuk gangguan bipolar. Terapi ini memberikan dukungan, edukasi,

44
dan petunjuk untuk seorang dengan gangguan bipolar. Beberapa jenis psikoterapi
yaitu:
1. Cognitive behavioral therapy (CBT) membantu penderita gangguan
bipolar untuk mengubah pola pikir dan perilaku negative.
2. Family-focused therapy melibatkan anggota keluarga. Terapi ini juga
memfokuskan pada komunikasi dan pemecahan masalah.
3. Interpersonal and social rhythm therapy membantu penderita gangguan
bipolar meningkatkan hubungan sosial dengan orang lain dan mengatur
aktivitas harian mereka.
4. Psychoeducation mengajarkan pada penderita gangguan bipolar mengenai
penyakit yang mereka derita beserta dengan penatalaksanaannya. Terapi
ini membantu penderita mengenali gejala awal dari episode baik manik
maupun depresi sehingga mereka bisa mendapatkan terapi sedini mungkin.

2.2.9 Prognosis
Prognosis tergantung pada penggunaan obat-obatan dengan dosis yang
tepat, pengetahuan komprehensif mengenai penyakit ini dan efeknya, hubungan
positif dengan dokter dan therapist, kesehatan fisik. Semua faktor ini merujuk ke
prognosis bagus.
Akan tetapi prognosis pasien gangguan bipolar I lebih buruk dibandingkan
dengan pasien dengan gangguan depresif berat. Kira-kira 40%-50% pasien
gangguan bipolar I memiliki episode manik Kedua dalam waktu dua tahun setelah
episode pertama. Kira-kira 7% dari semua pasien gangguan bipolar I tidak
menderita gejala rekurensi, 45% menderita lebih dari satu episode, dan 40%
menderita gangguan kronis. Pasien mungkin memiliki 2 sampai 30 episode manik,
walaupun angka rata-rata adalah Sembilan episode. Kira-kira 40% dari semua
pasien menderita lebih dari 10 episode.

45
BAB III
KESIMPULAN

3.1. Diagnosis depresi ditegakkan bila memenuhi gejala utama yaitu afek
depresif, anhedonia, dan anergia, serta gejala penyerta yaitu penurunan
konsentrasi, penurunan rasa percaya diri dan harga diri, gagasan rasa bersalah
dan tidak berguna, pandangan masa depan suram dan pesimistis, gagasan
membahayakan diri atau bunuh diri, gangguan tidur dan penurunan nafsu
makan, selama minimal 2 minggu.
3.2. Depresi terbagi menjadi depresi ringan tanpa atau dengan gejala somatik,
depresi sedang tanpa atau dengan gejala somatik, dan depresi berat tanpa atau
dengan gejala psikotik. Terdapat beberapa skala penentuan beratnya depresi,
di antaranya Hamilton Rating Scale for Depression, dan Montgomery-Asberg
Depression Rating Scale.
3.3. Terapi depresi terbagi menjadi psikoterapi dan farmakoterapi. Psikoterapi
yang dapat digunakan adalah kognitif, interpersonal, psikodinamik. Obat
antidepresan terdiri dari beberapa golongan, yaitu golongan ikatan trisiklik
dan tetrasiklik, golongan Mono Amine Oxidase Inhibitor (MAOI) Reversible,
golongan Selective Serotonin Reuptake Inhibitor, serta golongan antidepresan
atipikal.
3.4. Episode depresi dapat berdiri sendiri atau menjadi bagian dari gangguan
bipolar.
3.5. Diagnosis gangguan bipolar ditegakkan bila terdapat sekurang-kurangnya
dua episode, pada waktu tertentu terdapat hipomania atau mania, dan waktu
lain berupa depresi. Episode berulang hanya hipomania atau mania
digolongkan sebagai gangguan bipolar.
3.6. Episode mania ditegakkan dengan kriteria mood elasi, ekspansif, atau
iritabel dengan tiga atau lebih gejala grandiositas, meningkatnya kepercayaan
diri, berkurangnya kebutuhan tidur, bicara lebih banyak, loncatan gagasan,
distraktibilitas, meningkatnya aktivitas bertujuan dan yang berpotensi
merugikan.
3.7. Gangguan afektif bipolar terbagi berdasarkan episode saat ini yaitu
episode kini hipomanik, manik tanpa atau dengan gejala psikotik, depresi
ringan atau sedang, depresi berat tanpa atau dengan gejala psikotik, dan

46
campuran. Gangguan bipolar I bila terdapat satu atau lebih episode manik;
Gangguan bipolar II bila terdapat satu atau lebih episode hipomanik atau
episode depresif mayor tanpa episode manik; Siklotimia yaitu bentuk ringan
dari gangguan bipolar. Terdapat episode hipomania dan depresi yang ringan
yang tidak memenuhi kriteria episode depresif mayor.
3.8. Pengobatan gangguan bipolar dilaksanakan dengan psikoterapi dan
farmakoterapi. Psikoterapi yang dapat dilakukan diantaranya Cognitive
behavioral therapy (CBT), family-focused therapy, interpersonal and social
rhythm therapy serta psychoeducation. Farmakoterapi yang dapat digunakan
yaitu lithium, divalproat, lamotrigin, antipsikotik atipikal, antidepresan
seperti SSRI, dan kombinasi obat yang disesuaikan dengan jenis bipolar dan
kondisi episode kini.

47
Daftar Pustaka

1. American Psychiatric Association. (2000). Diagnostic and Statistical Manual


of Mental Disorders 4th Edition. Washington, DC. United State.
2. Ciraulo, D. A., Shader, R. I. & Greenblatt, D. J. 2011. Clinical Pharmacology
and Therapeutics of Antidepressants. Department of Psychiatry, Boston
University School of Medicine. England. Hal: 33-100.
3. Elvira, S. D. 2013. Buku Ajar Psikiatri Edisi 2.FKUI. Depok. Indonesia.
4. Halverson, J. L. 2015. Depression Medication. (Online).
(http://emedicine.medscape.com/article/286759-medication#showall).
5. Kaplan, H. I., Sadock, B. J. & Grebb, J. A. 2010. Sinopsis Psikiatri, Ilmu
Pengetauan Perilaku Psikiatri Klinis. Binarupa Aksara. Tangerang.
Indonesia. Hal: 791-807.
6. Kementerian Kesehatan RI. 2007. Riset Kesehatan Dasar Tahun 2007.
(Online).
(http://terbitan.litbang.depkes.go.id/penerbitan/index.php/blp/catalog/downlo
ad/22/22/29-2).
7. Maletic, V, Raison, C.L., 2009. Neurobiology of depression, fibromyalgia and
neuropathic pain. Frontiers in bioscience, 14,
(https://www.researchgate.net/publication/26253539_Maletic_V_Raison_CL
_Neurobiology_of_depression_fibromyalgia_and_neuropathic_pain_Front_B
iosci_14_5291-5338).
8. Marcus, M., Yasamy, T. M., Ommeren, V. M., Chisholm, D. & Saxena, S.
2012. Depression A Global Public Health Concern. World Health
Organization Department of Mental Health and Substance Abuse. (Online).
(http://www.who.int/mental_health/management/depression/who_paper_depr
ession_wfmh_2012.pdf).
9. Maslim, R. 2001. Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan dari PPDGJ-III. Bagian
Ilmu Kedokteran FK Unika Atmajaya. Jakarta. Indonesia. Hal: 64-67.
10. National Institute for Health and Clinical Excellence. 2009. The Treatment
and Management of Depression in Adults. London. United Kingdom. Hal : 1-
67
11. W. Lam R, Mok H. 2000. Depression Oxford Psychiatry Library. Lunbeck
Institutes. England. Hal: 1-57.

48
12. Yuniastuti. 2013. Evaluasi Terapi Obat Antidepresan pada Pasien Depresi di
Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta Tahun 2011-2012. Universitas
Muhammadiyah Surakarta. Indonesia. Hal: 1-10.

49

Anda mungkin juga menyukai