Anda di halaman 1dari 3

Copas dari tetangga sebelah...

*Membedah Sisi Linguistik Kalimat Pak Basuki*

Sebenarnya saya sudah malas untuk membahas hal ini. Namun nurani saya terusik saat
pembela Pak Basuki berdalih tidak ada yang salah dengan kalimat Pak Basuki. Salah satu
yang membuat saya heran adalah pernyataan Pak Nusron Wahid yang notabenya adalah tokoh
NU.

Baik, dalam tulisan ini saya tidak akan berpolemik masalah agamanya (jelas saya bukan
ahlinya). Tulisan ini akan lebih difokuskan untuk membedah sisi linguistik, sisi kaidah bahasa
yang beliau gunakan.

Ini adalah potongan kalimat beliau :

*Dibohongin pakai surat Al Maidah 51 macam-macam..*

Sengaja saya fokuskan pada kalimat yang menimbulkan polemik ini. Saya sudah melihat
keseluruhan video, dan memang masalahnya ada pada frasa ini.

*Terjemahan versi sebagian besar orang* : Pak Basuki menistakan surat Al Maidah. Al
Maidah 51 dibilang bohong oleh Pak Basuki.
*Terjemahan versi pembela Pak Basuki* : Pak Basuki tidak menistakan Al Maidah 51. Dia
menyoroti orang yang membawa surat Al Maidah 51 untuk berbohong.

Mari kita bedah dengan kepala dingin. Jika kita ubah kalimat di atas dengan struktur yang
lengkap maka akan menjadi seperti ini :
Anda dibohongin orang pakai surat Al Maidah 51 Ini adalah kalimat pasif.

Anda : Objek
Dibohongin : Predikat
Orang : Subjek
Pakai surat Al Maidah 51 : Keterangan Alat

Dengan struktur kalimat seperti ini, jelas yang disasar dalam kalimat Pak Basuki adalah
SUBYEK nya. Yaitu orang . Dalam hal ini orang yang menggunakan surat Al Maidah 51.

Karena Surat Al Maidah 51 di sini hanya sebagai keterangan alat yang sifatnya NETRAL.
Saya analogikan dengan struktur kalimat yang sama seperti ini :

Anda dipukul orang pakai penggaris.

Struktur kalimat di atas sama, yaitu : OPSK . Jenis kalimat pasif. Subyek ada pada orang.
Sedangkan penggaris merupakan keterangan alat yang bersifat netral.

Di sini menariknya.
Penggaris memang bersifat netral. Bisa dipakai menggaris, memukul dan yang lainnya
tergantung predikatnya. Yang menentukan apakah si penggaris ini fungsinya menjadi positif
atau negatif adalah predikatnya.

Nah masalahnya adalah apakah Surat Al Maidah 51 bisa digunakan sebagai alat untuk
berbohong?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bohong/bohong/ berarti tidak sesuai dengan hal
(keadaan dan sebagainya) yang sebenarnya; dusta:

Dan inilah arti dari surat Al Maidah 51 tersebut : Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu);
sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu
mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan
mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.

Makna dari surat Al Maidah 51 tersebut sudah sangat jelas. Bukan kalimat bersayap yang
bisa dimultitafsirkan. Tanpa dibacakan oleh orang lain, seseorang yang membaca langsung
Surat Al Maidah 51 pun mampu memahami artinya.

*Kesimpulan saya, dengan makna sejelas ini surat Al Maidah 51 TIDAK BISA DIJADIKAN
ALAT UNTUK BERBOHONG. Jadi ketika Pak Basuki berkata dengan kalimat seperti itu,
sudah pasti dia menyakiti umat islam karena menempatkan Al Maidah 51 sebagai
keterangan alat yang didahului oleh predikat bohong. Menempelkan sesuatu yang suci
dengan sebuah kata negatif, itulah kesalahannya.*

Sebuah logika yang sama dengan kasus seperti ini :

Seseorang Ustadz menghimbau jamaahnya : "Jangan makan babi, Allah mengharamkannya


dalam Surat Al Maidah ayat 3".
Pedagang babi lalu komplain. "Anda jangan mau dibohongi Ustadz pake Surat Al Maidah
Ayat 3".
atau
Seseorang Ustadz menghimbau jamaahnya, " Al Quran mengharamkan khamr dan judi dalam
Surat Al Maidah ayat 90".
Bandar judi dan produsen vodka pun protes, "Anda jangan mau dibohongi Ustadz pakai Surat
Al Maidah Ayat 90. "

Jika Anda sudah membaca arti Surat Al Maidah Ayat 3 dan 90 , mana yang akan Anda
percaya? Ustadz yang memberitahu Anda atau Pedagang Babi, Khamr, dan Bandar Judinya ?

Itu pilihan Anda. Namun sebagai orang yang mengaku muslim, jika Al Quran dan As
Sunnah tidak menjadi pegangan utama kita, apakah kita masih layak menyebut diri kita
muslim?
Pak Basuki yang terhormat, selama tinggal di Jakarta saya mengalami dua periode gubernur.
Pak Fauzi Bowo dan Pak Basuki. Secara kinerja, saya angkat topi terhadap Anda yang sudah
membuat banyak perubahan di kota tercinta kami ini.

Katakanlah kinerja Pak Basuki ibarat makanan yang sangat enak (walaupun tentu saja ini
debatable) , bungkus makanan ini sangat kotor. Saya ambil analogi makanan kesukaan saya
adalah Mie Ayam. Saya akan menolak memakan mie ayam itu jika dibungkus memakai kulit
babi yang busuk. Namun saya akan memakan mie ayam tersebut jika dibungkus dengan
wadah yang bersih dan halal.

Jika ada dua pilihan untuk masyarakat Jakarta :


1. Makanan enak namun bungkusnya kotor dan haram
2. Makanan enak dan bungkusnya bersih dan halal

Maka saya yakin masayakat Jakarta ini akan memilih yang kedua. Bagaimana dengan Anda?

Jakarta, 7 Oktober 2016


Brili Agung
Penulis 23 Buku

Anda mungkin juga menyukai