Anda di halaman 1dari 9

Kata pengantar

Segala puji bagi Allah Ta’ala yang telah melimpahkan segala nikmat dan
karunianya kepada para hamba-Nya. Yangmana nikmat dan karunianya tiada habisnya
sampai hari akhir. Dan sebagai hamba-Nya yang beriman dan bertakwa, sudah
selayaknya kita menaati-Nya di setiap waktu dan selalu berusaha untuk mengenal-Nya
lebih dekat lagi. Seorang ulama Turki yang sangat berpengaruh, Syeikh Badi’uzzaman
Sa’id Nursi pernah berkata “Siapa yang mengenal Allah dan menaati-Nya, pasti bahagia
meskipun berada di dalam penjara. Namun, siapa yang lalai dan melupakan-Nya, pasti
menderita meskipun berada dalam istana”1. Maka beruntunglah orang yang mengenal
sekaligus menaati Allah Tuhan semesta Alam.

Shalawat serta salam tak lupa kami haturkan kepada Sayyidul Mursalin, Baginda
Besar Muhammad Saw. Karena Allah serta para malaikat pun bershalawat kepada Nabi
Akhir zaman “ ‫ الخ‬...‫صلَّونَ َعلَى النَّ ِبي‬
َ ُ‫ ” ِإ َّن هللاَ َو َم ََل ِئ َكتَهُ ي‬. Semoga syafa’atnya tercurahkan
2

kepada kita yang senantiasa bershalawat kepadanya. Amin.

Penyusunan makalah ini kami lakukan untuk memenuhi nilai ujian akhir semester
(UAS) Madrasah Darus-Sunnah. Semoga apa yang kami lakukan ini tercatat sebagai amal
sholeh kami nantinya.

Tertanda,

________
Penulis/Penyusun

1
Badi’uzzaman Sa’id Nursi, Tuntunan generasi muda, hal. 70, Risalah Nur Press, Cetakan pertama.
2
Al- Ahzab [33] : 56

1
Daftar Isi

1) Kata pengantar 1

2) Daftar Isi 2

3) Bab 1: Pendahuluan 3

4) Bab 2: Isi 3

a) Pengertian 3

b) Pembagian al-Mubayyan 4

c) Pembagian al-Mujmal 6

d) Pembagian al-Bayan 6

e) Sebab-sebab al-Ijmal 7

f) Pembagian at-Tabyin 8

g) Perbedaan al-Mujmal dan al-Muhtamal 8

5) Bab 3: Penutup 9

6) Refrensi 9

2
Pendahuluan
Al- qur’an adalah sumber pokok ajaran Islam. Tidak ada ajaran Islam yang tidak
bersumber kepada al-Qur’an. Karenanya, menjadikan al-Qur’an sebagai rujukan utama
dalam pengamalan ajaran Islam menjadi sebuah kewajiban yang mesti dilakukan oleh
setiap Muslim.
Ketika seorang Muslim merujuk kepada al-Qur’an, maka ia berkewajiban untuk
mencari pemahaman yang benar dari sebuah ayat melalui perangkat-perangkat
pemahaman yang lazim disebut dengan ‘Ulumul Qur’an. Hal itu karena sesuai dengan
Ijma’ para ulama bahwa semua ayat al-Qur’an yang tercantum dalam mushaf al-Qur’an
yang dikenal selama ini sudah terjamin validitasnya sebagai ayat al-Qur’an, sehingga hal
itu tidak memerlukan kajian lagi.
Di dalam ‘Ulumul Qur’an sendiri, banyak sekali yang perlu dikaji. Termasuk ilmu
bahasa arab, ilmu ushul fiqh, ilmu tafsir, dan berbagai macam ilmu-ilmu yang menunjang
akan pemahaman al-Qur’an yang baik lagi benar.
Kemudian, nantinya akan banyak permasalahan yang akan ditemukan dalam
persoalan Al-Mubayyan dan Al-Mujmal. Dan ternyata, Al-Mubayyan dan Al-Mujmal
adalah salah satu cabang ilmu ulumul qur’an yang patut dipelajari karena urgenitasnya
dalam memahami ayat al-qur’an.

Bab I
Isi

a. Pengertian

Dalam pembahasan al-Mubayyan wa al-Mujmal, setidaknya ada tiga istilah yang


harus dipahami. Yaitu; al-Mubayyan (penjelas), al-Mujmal (sesuatu yang tidak dapat
diketahui atau dipahami maksudnya), dan al-Bayan (penjelasan).
Adapun al-Mubayyan )‫ (المبين‬secara bahasa berarti Al-Mudzhir )‫ (المظهر‬yang
diambil dari kalimat “‫”بيّن فَلن كذا إذا أظهر وأوضح‬3 . Dan secara istilah, banyak yang
mendefinisikannya dalam struktur kata yang berbeda, namun memiliki inti yang
sama. Dr. Muhammad ‘Afifuddin ad- Dimyathi mendefinisikan al-Mubayyan sebagai
‫ ما تتضح داللته‬4. Imam Abu Ishaq asy- Syirazy mendefinikanya sebagai ‫ما استقل بنفسه في‬
‫ الكشف عن المراد وال يفتقر في معرفة المراد إلى غيره‬Ustadz Abdul Hamid Hakim 5 .
mendefinisikannya sebagai ‫ما له أدلة واضحة‬6. |Semua definisi tersebut memiliki inti
yang sama. Bahwasanya al-Mubayyan itu adalah suatu dalil/argumen yang dapat

3
Ustadz Abdul Hamid Hakim, Al-Bayan, Maktabah As-Sa’adiyyah Putra, Jakarta, hal. 70
4
Dr. Muhammad ‘Afifuddin Ad-Dimyathi, Mawarid al-Bayan fi ‘Ulum al-Qur’an, Maktabah Lisan ‘Arabi,
Sidoarjo, Jawa Timur, hal. 83
5
Abu Ishaq bin ‘Ali bin Yusuf Asy-Syirazy, Al-Luma’ fi Ushul al-Fiqh, Dar Ibnu al-Jauzi, Kairo, hal. 59
6
Ustadz Abdul Hamid Hakim, hal. 70

3
menjelaskan dalil lainnya yangmana dalil lain tersebut belum dapat dipahami atau
diketahui maksudnya dengan baik dan benar.
Sedangkan al-Mujmal (‫ (المجمل‬secara bahasa adalah Al-Mubham (‫ )المبهم‬yang
diambil dari kalimat “‫”أجمل األمر إذا أبهم‬7 . Seperti halnya al-Mubayyan, al-Mujmal juga
memiliki beberapa definisi yang berbeda-beda lafadznya namun satu makna.
Seperti Syeikh ‘Abdul Aziz bin ‘Ali al-Makki az-Zamzami asy-Syafi’i berkata
dalam nazhamnya ‫ كالقرء إذ بيانه بالسنة‬# ‫ ما لم يكن بواضح الداللة‬8. Dr. Muhammad ‘Afifuddin
ad- Dimyathi dan Sayyid ‘Alawi bin ‘Abbas al-Maliki al-Hasani mendefinisikan al-
Mujmal dengan menukil definisi dari Imam as- Suyuthi, yaitu ‫ ما لم تتضح داللته‬9. Imam
Abu Ishaq asy- Syirazy mendefinisikannya sebagai ‫ما ال يُعقَل معناه من لفظه ويفتقر في معرفة‬
‫ما د ّل داللة ال‬. Ustadz Abdul Hamid Hakim mendefinisikannya sebagai 10‫المراد إلى غيره‬
‫يتعين المراد بها ّإال بمعين‬. Inti dari definisi-definisi tersebut hanya satu. Bahwasanya al-
mujmal adalah suatu dalil/argumen yang tidak dapat dipahami kandungannya dan
membutuhkan dalil lain untuk mengutuhkan pemahaman yang dimaksud dari dalil
yang mujmal tersebut.
Sedangkan al-Bayan (‫ )البيان‬adalah ‫ إخراج الشيء من حيز اإلشكال إلى حيز التجلي‬11. 3
komponen tersebut adalah dasar dari mempelajari ilmu al-Mubayyan wa al-Mujmal.
Sebaimana yang telah ditulis oleh ustadz Abdul Hamid Hakim pada judul bab yang
kelima “Al-Mabhas al-khamis fi al-mujmal wa al-mubayyan wa al-bayan”.

b. Pembagian al-Mubayyan

Imam Abu Ishaq asy- Syirazy membagi al- Mubayyan menjadi dua bagian.
Dorbun yufidu bi nutqihi (‫ )ضرب يفيد بنطقه‬wa Dorbun yufidu bi mafhumihi ( ‫ضرب يفيد‬
‫)بمفهومه‬12. Dorbun yufidu bi nutqihi terbagi dalam 3 sub bagian. An-Nash, adz-Dzahir,
dan al-‘Umum13. Dan dorbun yufidu bi mafhumihi pun terbagi dalam 3 sub bagian.
Fahwa al-khithab, lahn al-khithab, dan dalil al-khithab14.
 Dorbun yufidu bi nutqihi (Pembagian 1: sesuatu yang berfaedah dengan makna
yang tersurat)

7
Ustadz Abdul Hamid Hakim, hal. 70
8
Syeikh ‘Abdul Aziz bin ‘Ali Al-Makki Az-Zamzami Asy-Syafi’i, Faydh al-Khabir wa Khulashoh at-Taqrir ‘ala
Nahj at-Taysir Syarh Mandzumah at-Tafsir, Dar al-Kutub al-Islamiyyah, Jakarta, hal. 165, Cetakan Pertama.
9
Dr. Muhammad ‘Afifuddin Ad-Dimyathi, hal. 83,
Sayyid Muhsin bin ‘Ali bin Abdurrahman Al-Masawi, Faydh al-Khabir wa Khulashoh at-Taqrir ‘ala Nahj at-
Taysir Syarh Mandzumah at-Tafsir, hal. 165,
Imam al-Hafidz Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi, Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, Ad-Dar Al-‘Alamiyyah,
juz 3, hal. 46.
10
Abu Ishaq bin ‘Ali bin Yusuf Asy-Syirazy, hal. 60
11
Ustadz Abdul Hamid Hakim, hal.70,
Abu Ishaq bin ‘Ali bin Yusuf Asy-Syirazy, hal. 63
12
Abu Ishaq bin ‘Ali bin Yusuf Asy-Syirazy, hal. 59
13
Abu Ishaq bin ‘Ali bin Yusuf Asy-Syirazy, hal. 59
14
Abu Ishaq bin ‘Ali bin Yusuf Asy-Syirazy, hal. 60

4
 An- Nash adalah setiap lafadz yang menunjukkan atas suatu hukum yang jelas
dalam dalam satu pendapat yang tidak mengandung kemungkinan yang lain.
Seperti firman Allah swt. dalam surah Al-Fath ayat 29 yang berbunyi “ ‫سو ُل‬ ُ ‫ُم َح َّمدٌ َّر‬
ِ‫”هللا‬. Pada ayat tersebut, sudah jelas bahwa Muhammad saw. adalah Rasulullah
(utusan Allah) yang terakhir. Tidak perlu penafsiran yang lain.
 Adz- Dzahir adalah setiap lafadz yang memungkinkan dua perkara. Namun
dalam perkara yang pertama itu lebih jelas. Sebagaimana perintah dan larangan.
 Al-‘Umum adalah setiap lafadz yang memiliki makna keumuman akan dua hal
atau lebih. Seperti firman Allah swt. pada surah at- Taubah ayat 5 “ ‫فَا ْقتُلُوا‬
ْ Jika dipahami secara tekstualis, maka akan didapati pemahaman yang
َ‫”ال ُم ْش ِر ِكيْن‬.
ekstrem. Pemahaman tersebut seperti “Umat Islam diwajibkan untuk membunuh
setiap orang Musyrik tanpa terkecuali. Hal tersebut telah diperintahkan dalam
al- Qur’an yangmana tidak dapat diragukan lagi kualitas keabsahannya”. Maka
dari itu, lafadz tersebut digolongkan dalam lafadz yang bermakna umum. Agar
dapat dipahami secara baik dan benar.15
 Dorbun yufidu bi mafhumihi (Pembagian 2: sesuatu yang berfaedah dengan
makna yang tersirat)
 Fahwa ai-khithab adalah yangmana al-Maskut ‘anhu-nya lebih besar hukumnya
ketimbang hukum yang tercantum dalam nash itu sendiri. Seperti hukum
larangan memukul orang tua yang dipahami dari ayat 23 surat al-Isra’ “ ‫فَ ََل تَقُ ْل لَ ُه َما‬
‫ف‬ ّ ُ ‫”أ‬16. Pada ayat tersebut yang dilarang adalah berkata kasar kepada orang tua.
Dan fahwa al-khithab-nya adalah larangan memukul kedua orang tua. Karena
memukul itu lebih kasar ketimbang berkata kasar itu sendiri.
 Lahn al-khithab adalah yangmana al-Maskut ‘anhu-nya setara hukumnya
dengan hukum yang tercantum dalam nash itu sendiri. Seperti halnya larangan
membakar harta anak yatim yang dapat dipahami dari ayat 9 surat an-Nisa “ ‫إِ َّن‬
‫َارا‬
ً ‫طو ِن ِه ْم ن‬ُ ُ‫ظ ْل ًما ِإنَّ َما َيأ ْ ُكلُونَ ِفي ب‬
ُ ‫”الَّ ِذيْنَ َيأ ْ ُكلُونَ أ َ ْم َوا َل ْال َيت َا َمى‬17 . Dapat dipahami dari potongan
ayat tersebut, bahwasanya memakan/menggunakan harta anak yatim sebagai
perlakuan dzolim terhadapnya, itu sama saja dengan memakan api neraka. Dan
membakar harta anak yatim, sama halnya dengan menggunakan harta mereka.
Titik temu antara membakar dan menggunakan harta anak yatim ada pada
menghilangkan hak anak yatim. Maka dalam hal ini, dapat disimpulkan bahwa
al-Maskut ‘anhu-nya setara hukumnya dengan hukum yang tercantum dalam
nash itu sendiri.
 Dalil al-khithab adalah penggantungan sebuah hukum pada salah satu dari dua
sifat objeknya. Yangmana kedua sifat tersebut menunjukkan perbedaan yang
bertentangan antara satu sifat dengan sifat yang lain. Seperti ‫"إن َجا َء ُك ْم فَا ِس ٌق ِبنَ َبإ‬ ْ

15
Abu Ishaq bin ‘Ali bin Yusuf Asy-Syirazy, hal. 59
16
Ustadz Abdul Hamid Hakim, hal. 81
17
Ustadz Abdul Hamid Hakim, hal. 81

5
"‫ فَت َ َبيَّ ُنوا‬18. Sifat yang disebutkan dalam ayat tersebut adalah fasiq. Jika seorang
yang fasiq datang dengan membawa suatu berita, maka wajib untuk dicari tahu
keabsahan berita tersebut. Dan sifat yang kedua adalah ‘adl. Jika seorang yang
‘adl datang membawa berita, maka berita tersebut boleh langsung diterima tanpa
perlu adanya pengecekan keabsahan berita tersebut.

c. Pembagian al-Mujmal
 Al-lafdz lam yudho’ li ad-dilalah ‘ala syay’in bi ‘ainihi (Lafadz yang tidak
menunjukkan sesuatu secara teksnya). Seperti hadits nabi ” ‫أمرت أن أقاتل الناس حتى‬
‫ فإذا قالوها عصموا مني دماءهم وأموالهم إال بحقها‬,‫ال إله إال هللا‬: ‫”يقولوا‬. Pada teks hadits
tersebut, hak yang dimaksud adalah sesuatu yang majhul (tidak diketahui),
sehingga memerlukan penjelasan.
 Al-lafdz fi al-wadh’i musytarikan baina syai’aini (Lafadz yang terdapat dalam
suatu bentuk yangmana lafadz tersebut memilki keterkaitan secara makna
diantara dua hal). Sebagaimana lafadz ‫القرء‬, lafadz tersebut bisa bermakna ‫الحيض‬
dan juga bisa bermakna ‫الطهر‬.
 Lafadz yang terletak pada jumlah yang maklum, akan tetapi jumlah tersebut
kemasukan istisna’ majhul. Seperti firman Allah pada surat al-Maidah ayat
ْ َّ‫"أ ُ ِحل‬. Jika di dalam ayat
َّ ‫ت لَ ُك ْم َب ِهي َمةُ ْاأل َ ْن َع ِام ِإ َّال َما يُتْلَى َعلَ ْي ُكم َغي َْر ُم ِح ِلّى ال‬
pertama "‫الخ‬... ‫ص ْي ِد‬
tersebut tidak terdapat istisna’ majhul, maka ayat tersebut tidak menjadi mujmal
dan tidak memerlukan penjelasan. Namun karena kemasukan istisna’ majhul,
maka memerlukan penjelasan bagi istisna’ majhul-nya.19

d. Pembagian al-Bayan
 Bayan bi al-qoul. Seperti firman Allah tentang puasa tathowu’ ‫َلثَ ِة أَيَّام فِي‬
َ َ َ ‫صيَا ُم ث‬
ِ َ‫"ف‬
"‫َاملَة‬ ْ
ِ ‫س ْب َعة ِإذَا َر َج ْعت ُ ْم تِلكَ َعش ََرة ٌ ك‬ ْ
َ ‫ ال َح ّجِ َو‬.
 Bayan bi al-fi’il. Seperti halnya penjelasan Nabi saw tentang cara shalat, haji,
dan lainnya yang tidak dapat ditemui redaksi nashnya yang menjelaskan
syari’at-syai’at tersebut.
 Bayan bi al-kitabah. Seperti penjelasan takaran-takaran zakat.
 Bayan bi al-isyarah. Seperti sabda Nabi "‫) "الشهر هكذا وهكذا وهكذا‬Nabi bersabda
seperti itu dengan isyarat dari jari-jarinya. Ketika menyebutkan ‫هكذا‬, maka Nabi
sambil berisyarat dengan sepuluh jari tangannya. Dan lafadz ‫ هكذا‬diulang
sebanyak tiga kali. Itu berarti dalam satu bulan ada tiga puluh hari. Kemudian
Nabi mengulangi isyaratnya tersebut. Namun pada lafadz ‫ هكذا‬yang ketiga, Nabi
hanya mengisyaratkan dengan sembilan jarinya. Itu berarti, terkadang dalam
satu bulan hijriah ada 30 hari, dan terkadang ada 29 hari)
 Bayan bi as-sukut ba’da as-sual. Seperti riwayat Abu Hurairah ra. berkata
Rasulullah saw. berkhutbah untuk kami, dan ia bersabda; “Wahai manusia!

18
Abu Ishaq bin ‘Ali bin Yusuf Asy-Syirazy, hal. 56
19
Abu Ishaq bin ‘Ali bin Yusuf Asy-Syirazy, hal. 60

6
Sesungguhnya Allah telah mewajibkan bagi kalian haj. Maka berhajilah!”. Tiba-
tiba seseorang bertanya “Apakah berhaji setiap tahun wahai Rasulullah?”.
Rasulullah tidak menjawab sampai orang tersebut mengulangi pertanyaannya
tiga kali. “Seandainya aku berkata ‘ya’, maka (haji tersebut) menjadi wajib
(setiap tahunnya)....”20
 Bayan bi mafhum al-qoul. Seperti halnya ayat ‫ف‬ ّ ُ ‫فَ ََل تَقُ ْل لَ ُه َما أ‬. (Penjelasannya
sbagimana penjelasan Fahwa al-khithab)
 Bayan bi al-iqrar. Seperti hadits riwayat Qois bin ‘Amr tentang shalat sunnah
setelah shalat shubuh. Nabi melihat akan hal itu, namun tidak mengingkarinya.
Sehingga hal tersebut membuktikan kebolehan shalat sunnah ba’diyyah
shubuh.21

e. Sebab-sebab al-Ijmal

Banyak sekali penyebab-penyebab ke-mujmal-an sebuah redaksi. Diantaranya;


 Al-Isytirak (lafadznya satu tapi memiliki banyak makna). Seperti yang terjadi
pada surat at-Takwir ayat 17 "‫س‬ ْ َ‫"واللَّ ْي ِل إِذَا َع ْسع‬.
َ Karena lafadz ‫س‬ ْ َ‫ َع ْسع‬memilki
makna ‫ أدبر‬dan ‫أقبل‬.
 Al-Hadzf. Seperti ayat 127 di surat an-Nisa "‫"وت َْر َغبُونَ أ َ ْن تَ ْن ِك ُحوه َُّن‬. َ Lafadz َ‫ت َْر َغبُون‬
harus ber-muta’addi pada salah satu huruf ‫ في‬atau ‫عن‬.
 Ikhtilaf marja’ ad-dhamir (perbedaan tempat kembalinya dhamir). Seperti ....
 Ihtimal al-‘athf wa al-isti’naf (mengandung kemungkinan athaf dan isti’naf).
Seperi firman Allah swt. pada surat Ali Imran ayat 8 "‫الرا ِس ُخونَ فِي ْال ِع ْل ِم‬ َّ ‫" ِإ َّال هللاُ َو‬.
Huruf waw yang terdapat pada penggalan ayat tersebut masih mengandung dua
kemungkinan. Pertama, waw tersebut sebagai waw athaf. Jika waw tersebut
dianggap sebagai waw athaf, maka dapat dipahami bahwa Allah dan orang-
orang yang berilmu dapat mengetahui ta’wil al-qur’an. Kedua, waw tersebut
sebagai waw isti’naf. Sehingga yang dipahami dari potongan ayat tersebut
adalah bahwasanya yang dapat mengetahui ta’wil al-qur’an hanyalah Allah.
Sedangkan orang-orang yang berilmu cukup dengan mengimaninya saja.
 Ghurabah al-lafdz (lafadz yang aneh). Seperti "‫ضلُوه َُّن‬ ُ ‫"فَ ََل ت َ ْع‬. Lafadz ‫ضلُوه َُّن‬ ُ ‫ت َ ْع‬
adalah lafadz yang asing menurut orang arab sendiri.
 ‘Adam kastrah al-isi’mal al’an (tidak banyak penggunaannya sekarang). Seperti
"‫"ي ُْلقونَ الس َّْم َع‬. Lafadz tersebut jika diartikan secara tekstual akan mengakibatkan
kesalahan dalam pemaknaan. Maka, lafadz ‫ ي ُْلقونَ الس َّْم َع‬diartikan sebagai َ‫يَ ْس َمعُون‬
 At-taqdim wa at-ta’khir (didahulukan dan diakhirkan). Seperti ‫ت ِمن‬ َ ٌ‫"ولَ ْو َال َك ِل َمة‬
ْ ‫س َب َق‬ َ
"‫س َّمى‬ ‫م‬ ٌ
‫ل‬ ‫ج‬َ
َ ُّ َ َ ً‫أ‬ ‫و‬ ‫ا‬ ‫م‬‫ا‬ َ‫ز‬ َ ‫ل‬ َ‫ان‬ َ
‫ك‬ َ ‫ل‬ َ‫ك‬‫ب‬
ّ ‫ر‬.
ِ َّ Maksudnya adalah ‫ا‬ ‫م‬
ً ‫ا‬ َ‫ز‬ َ ‫ل‬ َ‫ان‬ َ
‫ك‬ َ ‫ل‬ ‫ى‬ ‫م‬ ‫س‬ ‫م‬ ‫ل‬ٌ
َّ َ ُّ َ َ َ‫ج‬َ ‫أ‬ ‫و‬ ‫ة‬ ‫م‬ ‫ل‬
ِ َ
‫ك‬ َ
‫ال‬ ‫و‬ َ
ْ َ‫ل‬ ‫و‬ .

20
Ustadz Abdul Hamid Hakim, hal. 74
21
Abu Ishaq bin ‘Ali bin Yusuf Asy-Syirazy, hal. 64

7
 Qalb al-manqul. Seperti "‫ور ِس ِنيْن‬
ِ ‫ط‬ُ ‫"و‬.
َ Yang dimaksud adalah gunung saina.
ْ ُ ‫" ِللَّ ِذيْنَ ا ْست‬
 At-takrir al-qathi’ li washli al-kalam fi adz-dhahir. Seperti َ‫ض ِعفُوا ِل َم ْن ا َمن‬
"‫م ْن ُه ْم‬.
ِ
 Dan lain-lain.22

f. Pembagian at-tabyin
 At-tabyin al-muttashil. Seperti "‫"منَ ْالفَجْ ِر‬
ِ setelah lafadz ‫ض ِمنَ ْال َخي ِْط‬ ْ
ِ َ‫"ال َخي ِْط ْاأل َ ْبي‬
"ِ‫ ْاألَس َْود‬.
ْ َّ‫"أ ُ ِحل‬.
 At-tabyin al-munfashil fi ayat ukhra. Seperti "‫ت لَ ُك ْم بَ ِه ْي َمةُ ْاأل َ ْن َع ِام إْ َّال َما يُتْلَى َعلَ ْي ُك ْم‬
Kemudian dijelaskan dengan ayat yang lain "ُ‫ت َعلَ ْي ُك ْم ْال َم ْيتَة‬
ْ ‫" ُح ِ ّر َم‬.
 At-tabyin al-munfashil bi as-sunnah. Seperti "َ ‫الزكَاة‬ َّ ‫ص ََلة َ َوأَتُوا‬ َّ ‫"وأَقِ ْي ُموا ال‬. َ Kaifiyah
shalat dan takaran zakat tidak dapat ditemukan penjelasannya dalam al-qur’an.23

g. Perbedaan al-mujmal dan al-muhtamal.

Seringkali seseorang menyamakan antara al-mujmal dan al-muhtamal,


padahal keduanya berbeda. Disini, akan kami sebutkan dua perbedaan mendasar
antara al-mujmal dan al-muhtamal.
 Ibnu al-Hasshar berkata: al-mujmal adalah lafadz yang samar secara makna lagi
tidak dapat dipahami maksudnya. Sdangkan al-muhtamal adalah lafadz yang
sesuai dengan fakta yang diambil makna pertamanya dari dua makna yang
dipahami atau lebih.
 Al-muhtamal menunjukkan perkara-perkara yang diketahui, dan lafadznya
musytarak (memiliki banyak makna dalam satu kata) yang membingungkan.
Sedangkan al-mujmal tidak menunjukkan perkara-perkara yang diketahui secara
pasti.24

Penutup
Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin, makalah ini dapat diselesaikan atas taufiq dari Allah,
meskipun masih banyak kekurangan dan kesalahannya. Hanya al-Qur’an lah yang
sempurna lagi bebas dari kekurangan dan kesalahan. Semua kesalahan dan kekurangan
yang didapati oleh pembaca dalam makalah ini adalah murni dari kecerobohan dan

22
Dr. Muhammad ‘Afifuddin Ad-Dimyathi, hal. 84,
Imam al-Hafidz Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi, hal. 46
23
Dr. Muhammad ‘Afifuddin Ad-Dimyathi, hal. 85,
Imam al-Hafidz Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi, hal. 47
24
Dr. Muhammad ‘Afifuddin Ad-Dimyathi, hal. 85,
Imam al-Hafidz Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi, hal. 50,
Sayyid Muhsin bin ‘Ali bin Abdurrahman Al-Masawi, hal. 169

8
kebodohan penulis. Segala yang benar dalam buku ini semata-mata hanyalah atas
petunjuk dari Allah.

Oleh karena itu, melalui kata penutup ini penulis memohon maaf apabila pembaca
menemukan kesalahan dan kekurangan dimana-mana. Semoga makalah ini dapat diambil
manfaatnya, segala kekurangan dapat segera terpenuhi, dan segala kesalahan dapat segera
diperbaiki dan diampuni.
Wallahu A’lam bis Shawwab.

Refrensi

i. Al-Qur’an al-karim
ii. Abu Ishaq bin ‘Ali bin Yusuf Asy-Syirazy, Al-Luma’ fi Ushul al-Fiqh, Dar Ibnu al-
Jauzi, Kairo.
iii. Badi’uzzaman Sa’id Nursi, Tuntunan generasi muda, Risalah Nur Press.
iv. Dr. Muhammad ‘Afifuddin Ad-Dimyathi, Mawarid al-Bayan fi ‘Ulum al-Qur’an,
Maktabah Lisan ‘Arabi, Sidoarjo, Jawa Timur.
v. Imam al-Hafidz Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi, Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an,
Ad-Dar Al-‘Alamiyyah.
vi. Sayyid Muhsin bin ‘Ali bin Abdurrahman Al-Masawi, Faydh al-Khabir wa
Khulashoh at-Taqrir ‘ala Nahj at- Taysir Syarh Mandzumah at-Tafsir, Dar al-
Kutub al-Islamiyyah, Jakarta.
vii. Syeikh ‘Abdul Aziz bin ‘Ali Al-Makki Az-Zamzami Asy-Syafi’i, Faydh al-Khabir
wa Khulashoh at-Taqrir ‘ala Nahj at-Taysir Syarh Mandzumah at-Tafsir, Dar al-
Kutub al-Islamiyyah, Jakarta.
viii. Ustadz Abdul Hamid Hakim, Al-Bayan, Maktabah As-Sa’adiyyah Putra, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai