Anda di halaman 1dari 7

Malnutrisi Akut Berat

1. Diagnosis Malnutrisi Akut Berat (MAB)

Kriteria untuk mendiagnosis Malnutrisi Akut Berat antara lain:

- Terlihat sangat kurus


- Edema nutrisional
- BB/TB < -3 SD
- LILA < 115 mm

2. Tatalaksana Malnutrisi Akut Berat

Berikut ini adalah alur tatalaksana malnutrisi akut berat yang digunakan pada
program CTC (Community based Theraperutic Care)

Malnutrisi akut berat

Dengan Tanpa
Komplikasi Komplikasi

1. Edema pitting bilateral LLA < 11,5 cm


derajat 3 (edema berat) LLA 11,5-12,5
(atau) (atau) cm (dan) tidak
Edema pitting ada edema
2. LLA < 11,5 cm dan edema
bilateral derajat pitting (dan)
pitting bilateral derajat 1-2
1-2 dengan LLA nafsu makan
(marasmik kwashiorkor) (dan
11,5 cm (dan) baik, klinis
ditambah) 1 dari komplikasi :
nafsu makan stabil, dan
anoreksia, pneumonia berat,
baik, secara sadar
demam tinggi, dehidrasi
berat, letargis, hipotermia, klinis baik, sadar Pemberian
hipoglikemia Rawat Jalan dg suplemen
OTP makanan
Pasien dirawat inap

Tatalaksana penderita malnutrisi akut berat dibagi dua yaitu malnutrisi akut
berat dengan komplikasi dan malnutrisi akut berat tanpa komplikasi. Pasien
malnutrisi akut berat dengan komplikasi harus ditatalaksana dengan rawat inap.
Pasien malnutrisi akut berat tanpa komplikasi dapat tetap di rumah, tetapi harus
menjalani rawat jalan dengan Outpatient Therapy Program (OTP) yaitu dengan
pemantauan status nutrisi dan kesehatan pasien setiap minggu di tempat
tertentu yang disepakati masyarakat serta mendapatkan makanan khusus.
3. Rawat Inap pada Penderita Gizi Buruk

Penderita gizi butuk yang dirawat di rumah sakit diberikan tatalaksana yang
dibagi menjadi dua tahap yaitu fase stabilisasi dan fase rehabilitasi dengan
sepuluh langkah utama dengan perkiraan waktu dalam setiap fase seperti yang
dicantumkan dalam tabel dibawah ini:

Langkah 1. Atasi/ Cegah Hipoglikemia

Anak yang mengalami gizi buruk berisiko mengalami hipoglikemia (kadar gula
darah < 54 mg/dL). Hal ini dapat terjadi karena adanya infeksi berat atau anak
tidak makan selama 4-6 jam. Hipoglikemia merupakan salah satu tanda infeksi
dan sering bersamaan dengan hipotermia. Maka dari itu, hipoglikemia harus
diselidiki apabila menemukan tanda hipotermia. Pencegahan dapat dilakukan
dengan pemberian makan F-75 dengan frekuensi sering yaitu setiap 2-3 jam.
Selanjutnya kadar gula darah dapat dimonitor setelah 2 jam. Apabila kadar
glukosa darah tidak dapat diukur, semua anak malnutrisi berat dapat dianggap
hipoglikemia dan dilakukan penanganan.

Langkah 2. Atasi/ Cegah Hipotermia

Gizi buruk meningkatkan risiko seorang anak mengalami hipotermia (suhu aksila
< 35,0oC dan suhu rektal < 35,5oC). Apabila hal ini terjadi maka :

- Berikan makanan secara langsung (mulai rehidrasi)


- Hangatkan anak dengan pakaian, penghangat atau lampu, atau anak
diletakkan pada dada ibu
- Berikan antibiotik spektrum luas
- Lakukan hingga suhu tubuh anak mencapai > 36,5 oC

Hipotermia dapat dicegah dengan menjaga agar anak tetap kering, menghindari
paparan langsung dengan udara, dan membiarkan anak tidur dengan ibu/
pengasuh pada malam hari.

Langkah 3. Atasi/ Cegah Dehidrasi

Anak gizi buruk dengan diare atau muntah harus dicegah agar tidak terjadi
dehidrasi dengan tetap memberikan F75, mengganti perkiraan cairan yang
hilang dengan ReSoMal (Rehydration Solution for Malnutrition), serta ASI masih
dapat diberikan apabila anak masih menyusu ASI.

Diagnosis pasi adanya dehidrasi pada gizi buruk adalah dengan pengukuran
berat jenis urin (> 1.030) selain tanda dan gejala klinis khas bila ada, antara lain
rasa haus dan mukosa mulut kering. Bila pada anak gizi buruk didapatkan
dehidrasi maka anak harus diberikan ReSoMal 5ml/kg/jam setiap 30 menit
selama 2 jam pertama, dilanjutkan dengan 5-10 ml/kg/jam selama 4-10 jam
berikutnya. Pemberian ReSoMal dapat dihentikan bila sudah rehidrasi, tetapi
ReSoMal masih dilanjutkan bila anak masih diare.
Langkah 4. Koreksi Gangguan Keseimbangan Elektrolit

Semua anak dengan malnutrisi berat mengalami gangguan elektrolit sehingga


berikan ekstra kalium 3-4 mmol/kg/hari, ekstra magnesium 0,4-0,6 mmol/kg/hari,
ReSoMal (atau ccairan rendah natrium lainnya), dan siapkan makanan tanpa
garam

Langkah 5. Obati/ Cegah Infeksi

Pada saat rawat inap, antibiotik spektrum luas dan vaksin campak (pada anak >
6 bulan dan belum mendapat imunisasi) dapat diberikan secara rutin.Bila anak
tidak terdapat komplikasi atau infeksi tidak nyata dapat diberikan kotrimoksasol
5 ml larutan pediatrik per oral dua kali sehari selama 5 hari (2,5ml bila berat < 6
kg), sedangkan pada anak yang terlihat sangat sakit atau terdapat komplikasi
dapat diberikan ampisilin 50 mg/kg IM/IV tiap jam untuk 2 har dan dilanjutkan
dengan amoksisilin per oral 15 mg/kg/8 jam untuk 5 hari atau ampisilin per oral
50 mg/kg/6 jam.

Langkah 6. Koreksi Defisiensi Mikronutrien

Pemberian pada hari pertama adalah (1) vitamin A per oral dengan dosis
200.000 IU untuk usia > 12 bulan, 100.000 IU untuk usia 6 12 bulan, dan
50.000 IU untuk usia 0 5 bulan; (2) asam folat 5 mg per oral. Lalu selama 2
minggu selanjutnya pemberian mikronutrien harian berupa (1) suplemen
multivitamin; (2) asam folat 1 mg/hari; (3) zink 2 mg/kgBB/hari; (4) Copper
0,3mg/kgBB/hari; (5) Preparat besi 3 mg/kgBB/hari pada fase rehabilitasi

Langkah 7. Pemberian Makanan

Pemberian makan pada fase stabilisisasi adalah pemberian makan melalui oral
atau pipa nasogastrik dengan porsi kecil dan sering dengan osmolaritas rendah
dan rendah laktosa (F75 = 75 kkal/100 ml dan 0,9 gram protein/ 100 ml). Pada
fase stabilisasi, kebutuhan energi sebesar 80 100 kkal/kgBB/hari, kebutuhan
protein sebesar 1 1,5 gram/kgBB/hari, dan kebutuhan cairan sebesar 130
ml/kgBB/hari.

Langkah 8. Mencapai Kejar-Tumbuh

Untuk memasuki fase rehabilitasi diperlukan fase transisi dimana terdapat


perubahan pemberian makanan yang bertahap dari makanan awal ke makanan
kejar tumbuh yaitu fase rehabilitasi. Pada fase transisi ini F75 dapat diganti
dengan F100 dan meningkatkan volume secara bertahap sehingga kebutuhan
energi mencapai 100-150 kkal/kgBB/hari dan protein 2-3 gram/kgBB/hari.
Setelah fase transisi, anak masuk ke fase rehabilitasi. Tahapan ini dapat dimulai
bila nafsu makan anak kembali biasanya sekitar satu minggu setelah perawatan.
Kebutuhan dalam fase rehabilitasi adalah energi 150 220 kkal/kgBB/hari dan
protein 4-6 gram/kgBB/hari. Tatalaksana dapat dimonitor dengan kenaikan berat
badan seperti di bawah ini:
- Buruk (< 5 gram/kgBB/hari) maka anak perlu dilakukan penilaian ulang
tentang target asupan makanan dan periksa apakah ada tanda-tanda
infeksi
- Sedang (5-10 gram/kgBB/hari) maka lanjutkan tatalaksana
- Baik (> 10 gram/kgBB/hari) maka lanjutkan tatalaksana

Langkah 9. Memberikan Stimuli Fisik, Sensorik, dan Dukungan Emosional

Pada malnutrisi berat didapatkan perkembangan mental dan perlilaku yang


terlambat sehingga diperlukan pemberian stimuli-stimuli berupa:

- Perawatan dengan kasih sayang


- Kegembiraan dan lingkungan nyaman
- Terapi bermain yang terstruktur 15-30 menit/hari
- Aktivitas fisiik sesuai dengan kemampuan psikomotor anak
- Keterlibatan ibu dalam kenyamanan, makan, mandi, dan bermain

Langkah 10. Persiapan Tindak Lanjut Setelah Perawatan

Pada anak yang sudah mencapai persentil 90% BB/TB atau -1 SD maka anak
sudah pulih. Pola makan yang baik perlu dilanjutkan sehingga orang tua harus
diberikan edukasi tentang pemberian makan dengan frekuensi dan kandungan
yang memadasi serta terapi bermain yang terstruktur di rumah. Pasien yang
sudah pulang seharus nya kontrol secara teratur, diberikan imunisasi booster,
dan diberikan vitamin A setiap 6 bulan.

Alergi susu sapi

Penyakit yang bedasarkan reaksi hipersensitivitas akibat pemberian susu


sapi atau makanan yang mengandung susu sapi. Alergen yang paling sering
terdapat dalam susu sapi adalah protein. Protein susu sapi memiliiki 2 fraksi
yaitu casein dan whey. Fraksi kasein membuat susu menjadi kental, sedangkan
protein whey dapat mengalami denaturasi dalam pemanasan ekstensif.

Gejala alergi susu sapi timbul paling sering dimulai pada usia 6 bulan
pertama kehidupan dan bermanifestasi pada 3 sistem organ tubuh yaitu kulit
(urtikaria, kemerahan kulit, pruritus, dan dermatitis atopik), saluran nafas
(hidung tersumbat, rinitis, batuk berulang, dan asma), dan saluran cerna
(muntah, kolik, konstipasi, diare, dan buang air besar berdarah).

Diagnosis alergi susu sapi ditegakkan sesuai anamnesis tentang gejala


yang timbul saat meminum susu sapi, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
penunjang (hematologi, uji kulit, provokasi makanan, dan pemeriksaan kadar
histamin). Bila diagnosis sudah ditegakkan maka tatalaksana yang dilakukan
adalah pemberian susu sapi harus dihindari dengan ketat, mengganti susu
dengan susu kedele (bila alergi terhadap susu sapi dan susu kedele diberikan
susu sapi hidrolisat), dan pemberian pengobatan simptoomatis pada gejala yang
ditimbulkan alergi susu sapi.
Pencegahan alergi susu sapi dapat dilakukan dengan tiga tahap. Pertama
pencegahan primer adalah penghindaran sebelum terjadi sensitisasi yaitu sejak
dalam masa kehamilan dengan pemberian susu sapi hipoalergenik. Tahap kedua
adalah pencegahan sekunder dilakukan setelah terjadi sensitisasi tetapi belum
ada gejala dari alergi maka susu sapi harus dihindari dengan pemberian susu
sapi non alergenik pada usia 0 sampai 3 tahun. Terakhir, pencegahan tersier
yang dilakukan pada anak yang sudah tersensitisasi dan bermanifestasi dini
seperti dermatitis atopik atau rinitis sehingga diberikan susu sapi yang
dihidrolisis sempurna atau penggantu susu sapi pada usia 6 bulan sampai 4
tahun.

Tuberkulosis Milier

Tuberkulosis milier merupakan penyakit limfo-hematogen sistemik yang


disebabkan penyebaran kuman Mycobacterium tuberculosis dari kompleks
primer yang biasanya terjadi dalam waktu 2-6 bulan pertama setelah infeksi
awal. TB milier merupakan 3-7% dari seluruh kasus TB dengan angka kematian
yang tinggi. Penyakit ini sering terjadi pada bayi dan anak kecil, terutama pada
anak usia di bawah 2 tahun. Hal ini disebabkan oleh imunitas seluler spesifik,
fungsi makrofag, dan mekanisme lokal pertahanan paru pada anak yang belum
berkembang sempurna sehingga M. tuberculosis dapat berkembang biak dan
menyebar ke seluruh tubuh. Selain itu, terdapat pula faktor lain seperti faktor
kuman M. tuberkulosis (jumlah dan virulensi) serta faktor lingkungan (kurangnya
paparan sinar matahari, pemukiman padat, polusi udara, dan sosial ekonomi
yang buruk).

Gejala TB milier bervariasi bergantung pada banyaknya kuman dan jenis


organ yang terkena. Gejala yang sering muncul adalah anoreksia, berat badan
turun, gagal tumbuh, demam lama dengan penyebab tidak jelas, batuk, dan
sesak napas. Biasanya sering terdapat limfadenopati superfisial dan
hepatomegali. Gejala-gejala respiratorik yang biasanya timbul yaitu batuk,
sesak, ronkhi, dan mengi. Gejala lain yang dapat ditemukan adalah kelainan kulit
seperti tuberkuloid, papula nekrotiki, nodul, atau purpura. TB milier yang berat
dapat menyebabkan meningitis TB, peritonitis TB, gangguan fungsi organ,
kegagalan multiorgan, serta syok. Pada rontgen paru, TB milier memiliki
gambaran khas berupa tuberkel halus (millet seed) yang tersebar merata di
seluruh lapang paru, dengan bentuk yang khas dan ukuran yang hampir
seragam (1-3 mm).

Diagnosis TB milier pada anak dibuat berdasarkan adanya riwayat kontak


dengan pasien TB dewasa yang infeksius (BTA positif), gambaran radiologis yang
khas, gambaran klinis, serta uji tuberkulin yang positif. Pungsi lumbal sebaiknya
dilakukan pada anak dengan TB milier untuk mendiagnosis ada atau tidaknya
meningitis TB, walaupun pada anak belum timbul kejang atau penurunan
kesadaran.
Penatalaksanaan TB milier adalah pemberian 4-5 macam OAT (kombinasi
isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan streptomisin atau etambutol) selama 2
bulan pertama. Lalu dilanjutkan dengan isoniazid dan rifampisin sampai 9-12
bulan sesuai dengan perkembangan klinis. Kortikosteroid (prednison) juga
diberikan pada TB milier dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari selama 2-4 minggu dan
dirurunkan perlahan hingga 2-6 minggu. Terapi akan memberikan respon antara
lain hilangnya demam 2-3 minggu pengobatan, peningkatan nafsu makan,
perbaikan kualitas hidup, peningkatan berat badan, dan gambaran milier pada
foto toraks berangsur menghilang dalam 5-10 minggu.

Pneumonia

Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru yang


disebabkan oleh mikroorganisme (virus/ bakteri) dan hal-hal lainnya (aspirasi,
radiasi, dan lain-lain). Etiologi pneumonia berbeda-beda sesuai dengan usia
penderita. Bakteri yang paling berperan secara umum adalah Streptococcus
pneumoniae, Hemophilus influenzae, Staphylococcus aureus, strekokus grup B,
serta kuman atipik klamidia dan mikoplasma. Secara klinis, pneumonia bakterial
sulit dibedakan dengan pneumonia viral. Akan tetapi, sebagai pedoman dapat
disebutkan bahwa pneumonia bakterial awitannya lebih cepat, batuk produktif,
pasien tampak toksik, leukositosis, dan terdapat perubahan nyata pada
pemeriksaan radiologis.

Mikroorganisme penyebab masuk ke paru, menyebabkan edema akibat


reaksi jaringan yang mempermudah proliferasi dan penyebaran kuman ke
jaringan sekitar, dan paru akan mengalami konsolidasi. Konsolidasi ini disebut
stadium hepatisasi merah yang berisi sebukan sel PMN, fibrin, eritrosit, cairan
edema, dan adanya kuman di alveoli. Lalu dilanjutkan oleh stadium selanjutnya
yaitu stadium hepatisasi kelabu yang berupa deposisi fibrin semakin bertambah
serta terdapat fibrin dan leukosit PMN di alveoli dan terjadi fagositosis yang
cepat. Terakhir adalah stadium resolusi yaitu saat jumlah makrofag meningkat di
alveoli, sel mengalami degenerasi, fibrin menipis, dan debris menghilang.

Secara umum gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak dibagi
menjadi dua yaitu gejala infeksi umum dan gejala gangguan respiratori. Gejala
infeksi umum antara lain demam, sakit kepala, gelisah, malaise, nafsu makan
menurun, dan keluhan gastrointestinal (seperti mual, muntah atau diare).
Sedangkan gejala gangguan respiratori yaitu batuk, sesak napas, retraksi dada,
takipnea, napas cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis.

Foto rontgen toraks direkomendaskan pada pneumonia berat. Secara


umum gambaran foto toraks terdiri dari :

- Infiltrat interstisial : peningkatan corakan bronkofaskular, peribronchial


cuffing, dan hiperaerasi
- Infiltrat alveolar : konsolidasi paru dengan air bronchogram. Konsolidasi
yang mengenai satu lobus disebut pneumonia lobaris
- Bronkopneumonia : gambaran difus merata kedua paru berupa bercak
infiltrat yang dapat meluas hingga perifer paru disertai peningkatan
corakan peribronkial

Diagnosis etiologi pneumonia ditegakkan bedasarkan pemeriksaan


mikrobiologis dan/atau serologis. Akan tetapi pneumonia pada anak umumnya
didiagnosis bedasarkan gambaran klinis yang menunjukkan keterlibatan sistem
respiratoris, serta gambaran radiologis. Berkut ini adalah klasifikasi pneumonia
pada bayi dan anak usia 2 bulan 5 tahun:

- Pneumonia berat : sesak napas, harus dirawat, dan diberi antibiotik


- Pneumonia : tidak ada sesak napas, ada napas cepat dengan laju > 50
x/menit untuk usia 2 bulan 1 tahun dan > 40 x/menit untuk 1-5 tahun,
tidak perlu dirawat, dan diberi antibotik
- Bukan pneumonia : tidak ada napas cepat dan sesak napas, tidak dirawat,
tidak diberi antibiotik, dan diberi pengobatan simptomatis

Sedangkan pada bayi berusia di bawah 2 bulan klasifikasinya berbeda, yaitu


seperti di bawah ini:

- Pneumonia : napas cepat (>60 x/menit) atau sesak napas, dirawat, dan
diberi antibiotik
- Bukan pneumonia : tidak napas cepat, tidak sesak napas, tidak dirawat,
dan diberi pengobatan simptomatik.

Pada pneumonia rawat jalan diberikan antibiotik lini pertama yaitu


amoksisilin dengan dosis 25 mg/kgBB atau kotrimoksazol dengan dosis 4
mg/kgBB. Pada pneumonia rawat inap, antibiotik lini pertama yang digunakan
adalah golongan beta-laktam atau kloramfenikol. Kloramfenikol biasanya
diberikan dengan dosis 15 mg/kgBB setiap 6 jam. Terapi antibiotik dapat
diteruskan selama 7-10 hari. Walaupun pneumonia viral dapat ditatalaksana
tanpa antibiotik, umumnya pasien tetap diberi antibiotik karena infeksi bakteri
sekunder tidak dapat disingkirkan.

Anda mungkin juga menyukai