Anda di halaman 1dari 2

HARAPAN BARU DI TAHUN BARU

KATA harapan baru dalam memasuki tahun baru, sudah menjadi kata klise yang kehilangan
bobot. Bagaimana tidak, tiap kali kata itu diucapkan tak selalu diikuti oleh kenyataan. Bahkan
tak jarang yang terjadi malah sebaliknya. Atau yang lebih ironis lagi, sudah diperhitungkan
dengan teliti bahwa krisis akan terjadi, namun akal sehat seakan terbunuh, tetap saja harapan
baru yang terucap. Harapan baru yang sering kali membuat orang terlena, tak lagi berjaga dan
akhirnya harus kecewa, karena tak pernah siap.
Mengapa harus mengumbar harapan baru jika memang situasi tak berpihak pada diri? Jawaban
yang juga klise adalah optimisme. Ya, optimis, tiap orang harus optimis akan masa depan, tidak
boleh pesimis, teriak penganut teori motivasi yang kini kian menjamur. Belum lagi obsesi
berpikir positif, jadi optimis saja. Begitu juga dengan alasan beriman, maka tiap orang digugat
harus optimis. Apakah optimis salah?
Masalahnya di sini bukan soal benar atau salah, tapi ada yang lebih serius dari itu, yaitu,
penganalisaan masalah. Pertanyaan pertama tentu saja, apakah jika tidak bersikap optimis itu
berarti pesimis? Belum tentu! Karena di antara dua posisi itu, jangan lupa, ada sikap realistis. Ya,
realistis, karena mampu membaca situasi dengan jeli dan tidak berusaha menipu diri. Realistis
tidak sama dengan pesimis, tetapi juga tidak sama dengan optimis. Realistis membuat seseorang
berhitung hati-hati, berusaha agar, kalaupun meleset, tidak terlalu jauh dan mampu
menanggulanginya.
Pesimis membuat seseorang kalah sebelum berperang, sementara optimis membuat seseorang
menang sebelum tahu apa yang akan dihadapi dalam perang. Pesismis, membuat orang tak
berdaya, ragu, dan tidak berminat mencoba. Tapi jangan lupa, optimis seringkali membuat
seseorang menjadi lengah, dan mudah jatuh dalam kekecewaan yang berat, karena selalu tak siap
untuk sebuah kegagalan. Sementara, orang yang realistis selalu optimis berdasarkan analisis
yang bisa dipertanggungjawabkan. Jadi, realistis itu optimis tapi bukan sekadar optimis seperti
pada umumnya sehingga mengabaikan realita yang ada. Sementara pesimis juga mengabaikan
harapan yang masih tersisa.
Dalam realita masa kini, optimisme memang telah menjadi mantera baru. Dibangun dari sebuah
pemahaman bahwa manusia memiliki apa yang disebut sebagai human potential. Sebuah potensi
terpendam yang harus digali agar menjadi kekuatan tak berbatas. Manusia didorong dengan men-
sugesti diri bahwa mereka bisa, bahwa mereka hebat. Mereka bisa menjual, jika itu di-marketing,
atau, mereka bisa juara jika itu dalam kancah perlombaan. Optimis yang dibangun dengan
sugesti yang tinggi memang banyak terbukti ampuh, namun tak sedikit yang gugur. Belum lagi
sikap percaya diri yang terlalu kuat yang berakibat tak mampu intropeksi apalagi dikritisi.
Mereka cenderung self oriented, bahkan dalam skala tertentu playing God.
Di sisi lain, apalagi jika iman yang dijadikan dalih untuk optimis, dan menambahkan kata-kata
kita harus percaya Allah pasti bisa menolong. Ini lebih mengerikan lagi, karena Allah pun mau
diatur supaya tunduk pada keyakinan umat. Sangat banyak pengkhotbah mengacaukan nalar
yang juga adalah anugerah Allah, mengabaikan, bahkan menghanyutkan jemaat pada emosi yang
tidak terkendali atas nama kalimat Allah pasti bisa menolong. Kalau sakit, pegang dan
percayalah maka sakitmu akan sembuh. Mereka lupa, atau mungkin tidak membaca, kisah
Paulus yang minta tolong agar Allah mencabut duri dari dalam tubuhnya. Namun Allah tidak
pernah mengabulkannya sekalipun Paulus telah tiga kali memintanya. Akhirnya Paulus berkata,
Di dalam siksaan aku senang oleh karena Kristus, sebab jika aku lemah maka aku kuat (II
Korintus 12:10).
Allah pasti bisa menolong, itu sudah pasti! Tidak mungkin Allah tidak bisa menolong, karena
tidak ada yang mustahil bagi Allah. Namun jangan lupa, Allah juga punya rencana yang tidak
dapat kita pahami kini, melainkan nanti. Paulus tak mendapatkan apa yang dia inginkan, namun
mendapatkan yang lebih baik, yaitu konsep iman yang terus diperbaharui, sekalipun tetap dalam
penderitaan. Juga harus diingat, pasti Allah tidak bisa menolong kita untuk berbuat dosa, karena
DIA adalah Allah yang suci. Jadi, ada yang Allah tidak bisa, namun manusia bisa (II Timotius
2:13). Karena itu, iman seharusnya sejalan dengan nalar yang telah diperbaharui oleh Roh Kudus
(Efesus 4: 23-24), bukan suka-suka kita, atau sekadar percaya. Artinya, apa yang diimani itu
harus bisa dinalar oleh manusia sebagai umat yang telah ditebus. Nalar berasal dari Allah,
anugerah Allah, yang diberikan agar umat bisa mengerti apa yang menjadi ketetapan-ketetapan
Allah, sekaligus untuk menguji berbagai pendapat tentang DIA, agar umat tidak tersesat (I
Tesalonika 5: 21-22). Nah, ini berarti beriman bukan sekadar beriman, tetapi juga bernalar, tetapi
nalar yang harus tunduk pada iman yang benar, yaitu iman yang berpusat kepada Allah sang
pencipta, pemelihara dan penebus yang kekal dan maha-segalanya.
Kembali kepada harapan baru, di tahun baru. Sebagai orang beriman kita harus menyadari kasih
setia Allah selalu baru setiap hari (Ratapan 3: 21-23). Namun, baru tidak berarti yang sedikit
bertambah banyak, atau yang tidak tenang menjadi tenang, bahkan bisa sebaliknya. Jadi, arti
harapan baru di sini tidak sama dengan pemahaman umum. Tetapi, sekalipun fenomena yang
tampak tidak baik, Allah tetap baik, tidak ada yang salah dalam karya-NYA. Nah, jadi apa yang
dimaksud dengan harapan baru, atau, lebih baik dari tahun lalu, jelas sudah. Awas, jangan
terjebak pada fenomena, atau terbawa arus nilai relatif dunia. Anda berpikir harus berbeda.
Selamat baru karena memang Anda sudah baru sejak menjadi milik Kristus, dan, terus-menerus
diperbaharui, supaya tetap baru.

Anda mungkin juga menyukai