Anda di halaman 1dari 29

RUMUS PERHITUNGAN DARAH UNTUK TRANSFUSI

Rumus : Hb normal Hb pasien = hasil


hasil x BB x jenis darah
Keterangan :
Hb normal = Hb yang diharapkan atau Hb normal
Hb pasien = Hb pasien saat ini
Hasil = hasil pengurangan Hb normal dan Hb pasien
Jenis darah = darah yang dibutuhkan
= PRC dikalikan 3
= WB dikalikan 6

And berikut ini ada rumus perhitungan darAh buat transfusi.


Rumus : Hb normal Hb pasien

= hasilhasil x BB x jenis darah


Keterangan:
Hb normal = Hb yang diharapkan atau Hb normal

Hb pasien = Hb pasien saat ini


Jenis darah = darah yang dibutuhkan

= PRC dikalikan 3
= WB dikalikan 6
Hasil = hasil pengurangan Hb normal dan Hb pasien
Rumus Transfusi Darah

1. Whole Blood : 6 x Hb x BB
2. PRC : 3 x Hb x BB
3. Konsentrat : 0,5 x Hb x BB
4. FFP : 10 x Hb x BB
5. Cryopresipitat : 0,5 x Hb x BB

Rumus Kebutuhan Albumin

Alb x [(BB x 40)/100 ] x 2 = .gram


Rumus Menentukan ARDS

AaDO2 = [ (713 x FiO2) 5/4.pCO2 ] pO2

Keterangan:
AaDO2 adalah Alveolar Arteriol O2 Difference
FiO2 : Udara bebas : 0,2 ; Setiap kenaikan O2 1 liter: + 0,04
Nilai Normal : 20 65
Pneumonia : 100 200
ARDS : > 300

Obat Dalam ASI


Seorang ibu yang sedang menyusui terkadang memerlukan obat-obatan (antibiotik ataupun
analgesik) untuk mengobati penyakit ringan seperti flu, demam, atau penyakit yang lama
diderita, misalnya tekanan darah tinggi, asma, atau kencing manis. Lantas apakah ia harus tetap
minum obat selama menyusui (dan bayinya diberi susu botol), atau sebaliknya si Ibu berhenti
minum obat? Pertanyaan seperti ini tidak jarang muncul di masyarakat.

Kita semua menyadari bahwa air susu ibu adalah makanan terbaik bagi bayi. Namun jika
Ibu harus minum obat, perlu diperhitungkan untung ruginya, antara keuntungan buat si Ibu dan
kerugian si bayi, atau sebaliknya. Hal ini mengingat adanya sejumlah obat yang jika diminum
ibu yang sedang menyusui, obat tersebut ikut keluar melalui ASI sehingga tanpa disadari
terminum juga oleh bayi. Keadaan ini kemungkinan menimbulkan pengaruh buruk bagi sang
bayi.

Jenis obat-obatan yang sama sekali tidak diperbolehkan berada dalam ASI adalah
antineoplastik dan imunosupresif seperti siklosporin. Namun azatioprin dan metotreksat dosis
rendah untuk ibu yang sedang menyusui (dengan dosis mingguan-untuk mengobati rematik)
dilaporkan relatif aman bagi bayi. Dari golongan antibiotik, yang perlu diperhatikan adalah
kloramfenikol, golongan tetrasiklin, sulfonamid, kinolon dan tinidazol (lihat tabel 1).

Tabel 1. Obat-obat yang sebaiknya dihindari selama


menyusui

Antineoplastik, imunosupresif
Tetrasiklin, sulfonamid, kinolon, kloramfenikol,tinidazol
Laksatif (fenolftalein)
Radiofarmasi
Anti tiroid
Garam Emas
Litium, amiodaron, aspirin
Opiate (barbiturat, benzodiazepin)
Antagonis H2
Alkaloid Ergot
Kloramfenikol hendaknya dihindari bukan karena resiko grey baby syndrome mengingat
kadarnya dalam plasma bayi terlalu rendah untuk menimbulkan gejala tersebut, tetapi karena
kemungkinan terjadinya depresi sumsum tulang, sehingga produksi sel-sel darah berkurang.
Golongan tetrasiklin juga perlu dihindari karena terbukti menyebabkan gigi bayi berwarna
kuning. Khusus untuk bayi yang baru lahir, keberadaan obat-obat golongan sulfonamid dalam
ASI dapat menyebabkan kern-ikterus pada bayi. Selanjutnya antibiotik golongan kinolon
(misalnya norfloksasin dan siprofloksasin) dapat mengganggu proses penulangan pada bayi jika
obat tersebut terdapat di dalam ASI. Tinidazol tidak diperbolehkan bagi ibu hamil karena
kadarnya di dalam plasma janin cukup besar untuk menimbulkan kanker dan mutagenensis.

Masih banyak sederetan obat lain yang sebaiknya dihindari oleh ibu yang sedang menyusui.
Misalnya obat pencahar (laksatif) yang mengandung fenolftalein hendaknya dihindari karena
dapat menyebabkan kanker pada bayi. Bahan radioaktif misalnya Iodin, dapat terakumulasi
dalam ASI. Obat anti tiroid (karbimazol) sebaiknya tidak diminum karena dapat menekan
kelenjar tiroid bayi. Garam-garam Emas hendaknya dihindari karena lama dikeluarkan dari tubuh
bayi, dan ada kemungkinan menyebabkan rash, radang hati dan ginjal. Litium tidak
diperkenankan karena menekan syaraf pusat mengingat kadarnya dalam ASI mirip dengan
kadarnya dalam plasma ibunya, sehingga dikhawatirkan terjadi hipotonia pada bayi. Penekan
syaraf lainnya seperti golongan barbiturat dan benzodiasepin tidak dianjurkan karena waktu
paroh eliminasinya lama. Amiodaron (sangat larut dalam lemak dan volume distribusinya besar),
lebih dari 30% dijumpai di dalam ASI, sedangkan aspirin juga bisa berada dalam ASI dengan
resiko Reye's Syndroma pada bayi. Obat lain seperti simetidin, oleh perkumpulan dokter anak di
Amerika dilarang diberikan kepada ibu menyusui, karena terakumulasi di dalam ASI, meskipun
makna klinisnya belum diketahui. Akhirnya alkaloid ergot dan turunannya bisa menyebabkan
ergotismus pada bayi.

Beberapa obat yang tergolong sebagai obat yang relatif aman tercantum pada tabel 2
berikut:

Tabel 2. Obat-obat yang relatif aman selama masa menyusui pada dosis
lazim(a

Analgesik (parasetamol (b, morfin)

Antikonvulsan (Na valproat(b, klonazepam(b)

Antidepresan (nortriptilin(b, imipramin, desipramin(b, amitriptilin, Doxepin)

Antihistamin (loratadin, triprolidin)

Penekan (metoprolol(b, labetolol, propranolol)


Ca antagonis (verapamil, diltiazem)

Antihipertensif lain (hidralazin, minoksidil(b)

Antibiotik (amoksisilin, seflaklor, sefalosporin, eritromisin(b)

Antimalaria (meflokuin, hidroksiklorokuin(b)

Kortikosteroid (prednison)

AINS (diklofenak, ibuprofen, indometasin, asam mefenamat)

Lain-lain (metroteksat dosis rendah, digoksin, laksatif tak terabsorbsi, asiklovir, terbutalin, asam folat,
sukralfat, antasid, insulin, warfarin(b)

Keterangan
(a
Kadar maksimum pada bayi kurang dari 10% kadar plasma ibu
(b
Kadar maksimum pada bayi antara 10% - 50% kadar plasma ibu

Seperti yang terlihat pada tabel 2, cukup banyak obat-obatan yang diperbolehkan bagi ibu
yang sedang menyusui, karena terhitung aman untuk bayi sehat dan lahir normal. Maksudnya
jumlah obat yang diterima bayi melalui ASI kurang dari 10% dosis yang diminum ibunya
(berdasarkan mg/kg berat badan). Namun jika bayinya prematur atau ibunya mengalami over
dosis, hal ini dapat beresiko bagi bayinya. Jika mungkin pilihlah obat yang mempunyai waktu
paro eliminasi pendek atau jika memungkinkan minumlah obat di malam hari sewaktu bayi
sedang tidak memerlukan ASI.

Formula lepas lambat atau obat dan metabolit yang memiliki waktu paro panjang sebaiknya
dihindari. Dalam hal ini metronidazol masih menjadi kontroversi, sebab secara invitro
menimbulkan mutagenesis. Juga tidak boleh diabaikan, meski kasusnya jarang, yaitu pengaruh
tidur yang berkepanjangan pada bayi ketika ibunya menggunakan doxepin 75 mg perhari, atau
timbulnya konvulsi sewaktu ibunya meminum indometasin pada dosis lazim.

Dari uraian di atas, sangat dianjurkan bagi ibu-ibu yang sedang menyusui untuk lebih
berhati-hati minum obat, agar tidak terjadi penyesalan di kemudian hari

Tabel. Obat yang lazim digunakan dan ekskresinya dalam air susu ibu
Obat Efek pada bayi Komentar
Ampisilin Minimum Tanpa efek samping bermakna, mungkin kejadian diare atau sensitisasi alergi
Aspirin Minimum Dosis sekali mungkin aman; Dosis tinggi, mungkin menimbulkan konsentrasi
bermakna dalam ASI
Diazepam Bermakna Akan menyebabkan sedasi pada bayi yang minum ASI; dapat timbul
akumulasi pada neonatus
Digoksin Minimum Jumlah yang memasuki ASI tidak bermakna
Dikumarol Minimum Tidak dilaporkan efek samping; mungkin bijaksana mengawasi waktu
protrombin bayi
Etanol Sedang Ibu yang minum dalam jumlah sedang tak mungkin menimbulkan efek pada
bayi; ibu yang mengkonsumsi dosis besar dapat menimbulkan efek alkohol
pada bayi
Fenitoin Sedang Jumlah yang memasuki ASI mungkin cukup untuk menimbulkan efek samping
pada bayi
Fenobarbital Sedang Dosis hipnotik dapat menyebabkan sedasi pada bayi
Heroin Bermakna Memasuki ASI dan dapat memperpanjang ketergantungan narkotik neonatal
Isoniazid (INH) Minimum Konsentrasi ASI sama dengan konsentrasi plasma ibu, mungkin timbul
defisiensi piridoksin pada bayi
Kafein Minimum Aman masukan kafein tingkat sedang; konsentrasi dalam ASI sekitar 1%
dosis total yang diminum ibu
Kanamisin Minimum Tidak dilaporkan efek samping
Kloral hidrat Bermakna Bisa menimbulkan mengantuk, jika ASI diminum pada saat konsentrasi
puncak obat
Kloramfenikol Bermakna Konsentrasi terlalu rendah untuk menimbulkan Grey Syndrome, mungkin ada
sumsum tulang; direkomendasikan untuk tidak meminum kloramfenikol
selama menyusui
Klorotiazid Minimum Tidak dilaporkan efek samping
Klorpromazin Minimum Tampak tak bermakna
Kodein Minimum Tidak dilaporkan efek samping
Kontrasepsi oral Minimum Akan menekan laktasi dalam dosis tinggi
Litium Bermakna Hindari penyusuan
Metadon Bermakna (Lihat heroin). Dengan pengawasan dokter yang ketat, penyusuan dapat
dilanjutkan. Tanda putus opiat pada bayi bisa timbul jika ibu mengehentikan
minum metadon atau menghentikan penyusuan mendadak
Penisilin Minimum Konsentrasi sangat rendah dalam ASI
Prednison Sedang Dosis ibu yang rendah mungkin aman. Dosis 2 kali jumlah fisiologik atau lebih
mungkin harus dihindari
Propranolol Minimum Jumlah sangat kecil memasuki ASI
Propiltiourasil,
tiourasil
Bermakna Dapat menekan fungsi tiroid pada bayi
Spironolakton Mimimum Jumlah sangat kecil memasuki ASI
Teofilin Sedang Dapat memasuki ASI dalam jumlah sedang, tapi tidak menimbulkan efek
bermakna
Tetrasiklin Sedang Mungkin mewarnai gigi yang sedang berkembang pada bayi secara
permanen. Harus dihindari selama laktasi.
Tiroksin Minimum Tanpa efek samping dalam dosis terapi
Tolbutamin Minimum Konsentrasi rendah dalam ASI
Warfarin Minimum Jumlah sangat kecil ditemukan dalam ASI
Yodium
(radioaktif)
Bermakna Memasuki ASI dalam jumlah mencukupi untuk menyebabkan penekanan
tiroid pada bayi
Sumber: Katzung BG (1987) Basic and Clinical Pharmacology, 3rd edition. Appleton and Lange.Norwalk
Hal-hal Terbaru Tentang Transfusi Darah

Ronald D. Miller, MD

Sejak dikenalnya hepatitis non A, non B (HCV) sebagai komplikasi mayor transfusi
darah, penyebab infeksi lainnya seperti HTLV-I (human T-cell leukemia/virus
limfoma tipe I) and CMV (sitomegalovirus) timbul bersama infeksi yang paling
menghancurkan yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Syndrome (AIDS).
Infektifitas darah homolog telah menyebabkan pergeseran perhatian dari
menyempurnakan prosedur pencocokan silang dan mencegah reaksi transfusi ke
permasalahan yang berkisar antara pencegahan penyakit yang ditularkan melalui
transfusi dan immunosupresi yang diinduksi oleh transfusi hingga mempertanyakan
apakah banyak transfusi darah homolog benar-benar berindikasi klinis. Data tahun
1996 menunjukkan bahwa resiko infeksi dari darah homolog telah berkurang secara
bermakna (Tabel 1) . Hal ini utamanya disebabkan oleh luasnya pengujian pada
seluruh darah yang didonasikan (Tabel 2). Walaupun belum diukur dengan yang
teliti, pengujian yang diperbaiki (misalnya pengujian molekular dan inaktifasi viral),
dengan menggunakan pengujian yang mengidentifikasi asam-asam nukleat virus,
window period (Tabel 1) menurun secara bermakna dan insidensi HIV dan hepatitis
berkurang hingga kurang lebih 1/1.000.000. Sebelum meninjau status produk-
produk darah sintetik, pernyataan berbagai konsep pada kedokteran transfusi akan
diperiksa.
Tabel 1 : Persentase Resiko Infeksi yang Ditularkan melalui Transfusi dengan Unit
Penyaring Darah di Amerika Serikat

Resiko Window Period (hari)

1. HIV 1/493.000 22
2. HTLV 1/641.000 51
3. Cytomegalovirus <1.0% dengan cepat
4. HCV 1/103.000 82
5. HBV 1/63.000 59
6. Resiko infeksi agregat 1/34.000*

HIV = human immunodeficiency virus tipe 1


HTLV = human T-cell lymphotropic virus
HCV = virus hepatitis C
HBV = virus hepatitis B
* 88% HBV & HCV

Tabel 2: Pengujian Penyakit Infeksi terhadap Darah Transfusi H

1. Pengujian diskontinuitas alanin aminotransferase


2. Pengujian antibodi hepatitis C
3. Antibodi terhadap antigen inti hepatitis B
4. HIV-1*
5. HIV-2
6. HTLV I/II**
7. Pengujian serologik terhadap sifilis
H dari JAMA 1995; 274: 1374
* HIV = human immunodeficiency virus
** HTLV = human T-cell lymphotropic virus

I. Indikasi untuk Transfusi Darah


Indikasi untuk transfusi darah makin dipertanyakan. Transfusi darah biasanya
diberikan untuk meningkatkan kapasitas pengangkutan oksigen dan volume
intravaskular. Walaupun demikian, berdasarkan teori, peningkatan volume vaskular
seharusnya bukan merupakan suatu indikasi untuk transfusi darah, karena volume
intravaskular dapat diperbesar dengan pemberian cairan yang tidak menularkan
infeksi (misalnya, kristaloid atau koloid). Sehingga, peningkatan kapasitas
pengangkutan oksigen merupakan satu-satunya indikasi nyata untuk transfusi
darah. Dari segi praktisnya, bila seorang pasien mengalami perdarahan, darah
tepatnya diberikan untuk meningkatkan baik kapasitas pengangkutan oksigen dan
volume intravaskular. Secara kritis berapa nilai hematokrit/ hemoglobin yang
diperlukan untuk kapasitas pengangkutan O2. Dalam sejarah, hematokrit kurang
dari 30% (atau hemoglobin kurang dari 10 g/dl) menunjukkan kebutuhan untuk
transfusi darah perioperatif. Bagaimanapun juga ketakutan pada tahun-tahun
terakhir akan penyakit-penyakit yang disebabkan oleh transfusi, khususnya
Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS), menyebabkan peninjauan ulang
terhadap indikasi ini. Jelaslah transpor oksigen dapat dipertahankan dengan
hematokrit hingga 20%. Dengan anggapan volume intravaskular normal dan respon
kompensasi kardiovaskular normal (contohnya, takikardi). Baru-baru ini, National
Institutes of Health Consensus Conference berpendapat bahwa pasien-pasien sehat
dengan hematokrit lebih besar daripada 30% jarang membutuhkan transfusi darah
perioperatif sedang pasien-pasien tersebut dengan anemia akut (misalnya,
kehilangan darah intraoperatif) dengan hematokrit kurang dari 21% seringkali
membutuhkan transfusi darah. Defenisi akhir kadar hematokrit atau hemoglobin
yang dibutuhkan untuk melakukan transfusi darah harus berdasarkan pada banyak
faktor seperti status kardiovaskular, umur, kehilangan darah yang diantisipasi,
oksigenasi arterial, cardiac output, dan volume darah. Yang lebih memperumit
permasalahan ini, indikasi untuk transfusi darah mungkin juga tergantung pada
sumber darah. Sebagai contoh, indikasi-indikasi untuk darah autolog mungkin lebih
liberal karena tidak akan menyebarkan penyakit (misalnya, hepatitis dan AIDS)
dibandingkan dengan darah homolog. Bagaimanapun juga, darah autolog sebaiknya
tidak dipandang sepenuhnya aman karena adanya kemungkinan kesalahan klinis
dan reaksi hemolitik sesudah transfusi.
Pada bulan Juli 1989 FDA Drug Bulletin, memberikan panduan keras untuk
pemberian sel darah merah. Bulletin tersebut menyatakan bahwa kapasitas
pengangkutan oksigen adekuat dapat dipenuhi dengan hemoglobin 7 g/dl atau
bahkan lebih kurang bila volume intravaskular adekuat untuk melakukan perfusi.
Ada kondisi medis yang dapat membenarkan pemberian darah untuk mencapai
hemoglobin yang lebih tinggi (misalnya, penyakit arteri koroner). Meskipun
demikian, kekhawatiran bahwa transfusi darah seringkali diberikan secara tidak
tepat sehingga diperlukan penelitian yang lebih cermat terhadap praktek transfusi.
Sebagai contoh, banyak komite transfusi rumah sakit mengadakan pemeriksaan
ulang pada pasien-pasien didapatkan hematokrit postoperatif lebih tinggi dari
normal (33-34 %) dan menerima darah sehingga perlu ditinjau kembali indikasi
pemberian transfusi darah. Peninjauan ini dilakukan untuk menentukan apakah
darah telah diberikan dengan tepat. Bila ditemukan transfusi yang tidak tepat, baik
dokter dan komite transfusi akan mengevaluasi lebih lanjut ketepatan transfusi
tersebut. Sehingga seorang dokter ahli anestesi harus menyatakan secara jelas
dalam status rumah sakit alasan pemberian transfusi darah.
Yang terbaru, biasanya pada pasien-pasien perawatan intensif, beberapa kelompok
telah mencoba mendefenisikan keadaan dimana transfusi darah sebaiknya diberikan
dengan mengukur oksigenasi jaringan dan hemodinamik (contohnya, peningkatan
konsumsi oksigen sebagai respon terhadap kandungan oksigen). Tidak ada
pengukuran spesifik yang dapat secara konsisten memperkirakan kapan seorang
pasien diuntungkan oleh transfusi darah.
Walaupun demikian terdapat bukti bahwa kualitas (contohnya, umur) dan
peningkatan kapasitas oksigen (misalnya, hemoglobin lebih tinggi dari 10 g/dl)
dapat menguntungkan pasien yang sangat tidak sehat. Kenyataannya satu
penelitian menemukan bahwa bila darah yang disimpan lebih dari 15 hari diberikan,
akan terjadi iskemia limpa.
Lebih baru lagi, konsep yang ditegaskan oleh Purdy et al menyatakan bahwa
pasien-pasien yang menerima darah yang berumur 17 hari dibandingkan dengan
darah yang berumur 25 hari mempunyai tingkat kelangsungan hidup yang lebih
tinggi. Pengaruh usia darah yang diberikan akan didiskusikan nanti pada presentasi
ini.
Mungkin indikator lebih sensitif terhadap oksigenasi jaringan (misalnya, pH
intramukosal) dapat menjadi indikasi untuk transfusi darah. Menggunakan data
pada sebuah populasi pembedahan orthopedik, variasi kadar hemoglobin tidak
berhubungan dengan lamanya hospitalisasi. Namun, atlit yang terlatih dan pasien-
pasien kardiak postoperatif mengalami perbaikan kemampuan fisik bila kadar
hemoglobin ditingkatkan. Sebaliknya, Weiskopf et al menemukan, pada pasien-
pasien yang sehat, penurunan konsentrasi hemoglobin hingga 5.0 g/dl tidak
menyebabkan adanya bukti oksigenasi yang tidak adekuat. Bagaimanapun juga
pasien-pasien ini tidak dipermasalahkan dengan stress pemulihan dari pembedahan
dan anesthesia. Bagaimanapun juga, Weiskopf et al menemukan bahwa pasien
yang tidak dapat meningkatkan cardiac outputnya dengan cara meningkatkan
denyut jantungnya sebaiknya menerima transfusi hingga kadar hemoglobin lebih
dari 10 g/dl. Sayangnya, tidak dapat dihasilkan kesimpulan tepat dari data yang
sangat berguna tapi bersifat usulan ini.
American Society of Anesthesiologists (ASA) telah mengembangkan Panduan
Praktek untuk Terapi Komponen darah. Rekomendasi ASA untuk transfusi darah
adalah:

Rekomendasi: Sel Darah Merah


Organisasi tersebut menyimpulkan bahwa:
1. Transfusi jarang diindikasikan bila konsentrasi hemoglobin lebih besar dari 10
g/dL dan hampir selalu diindikasikan bila kurang dari 6 g/dL, khususnya bila anemia
akut.
2. Apakah konsentrasi hemoglobin sedang (6-10 g/dL) membutuhkan transfusi sel
darah merah harus berdasarkan resiko pasien terhadap komplikasi-komplikasi
oksigenasi yang tidak adekuat.
3. Tidak disarankan hanya menggunakan pemicu hemoglobin untuk pasien yang
gagal memperbaiki semua faktor-faktor fisiologis dalam pembedahan penting yang
dapat mempengaruhi oksigenasi.
4. Bila keadaan tepat, penggunaan darah autolog preoperatif, intraoperatif dan
postoperatif, hemodilusi akut normovolemik, hipotensi yang disengaja, dan obat-
obatan dapat saja menguntungkan.
5. Indikasi untuk transfusi sel darah merah autolog mungkin lebih baik daripada sel
darah merah alogenik karena resiko transmisi penyakit yang lebih rendah.
Panduan ini menekankan pentingnya penetapan resiko pasien terhadap komplikasi
yang berhubungan dengan oksigenasi yang tidak adekuat, suatu konsep yang lebih
ditekankan baru-baru ini. Lebih lanjut, beberapa organisasi menekankan
penggunaan tanda-tanda vital dan kehilangan darah sebagai indikator:
Print Pengelompokan American College of Surgeons terhadap perdarahan Akut

Faktor I II III IV
Kehilangan darah, ml up to 750 750-1500 1500-2000 2000
Kehilangan darah, %BV up to 15 15-30 30-40 40
Denyut nadi, per menit >100 >100 >120 140
Tekanan darah (mm Hg) Normal Normal Menurun Menurun
Tekanan nadi Normal/meningkat Menurun Menurun Menurun
Tes pengisian kapiller Normal Positif Positif Positif
Pernapasan per menit 14-20 20-30 30-40 >35
Urine , ml/jam 30 20-30 5-10 dpt diabaikan
SSP (status mental) Sedikit gelisah Cukup gelisah Gelisah bingung Bingung letargi
Penggantian cairan (hukum 3:1) Kristaloid Kristaloid Kristaloid + darah Kristaloid
+darah

Panduan yang lebih sederhana akan sangat menolong. Sebagai contoh, dengan
bantuan Habibi et al, panduan berikut disarankan bahwa pemberian satu unit PRC
akan meningkatkan hematokrit 3-5 %. Indikasinya adalah:
! Kehilangan darah > 20% volume darah bila lebih dari 1000 ml.
! Hemoglobin < 8 g/dL
! Hemoglobin < 10 g/dL dengan penyakit berat (misalnya, emfisema, penyakit
jantung iskemik)
! Hemoglobin < 10 g/dL dengan darah autolog
! Hemoglobin < 12 g/dL dan tergantung ventilator
Pertimbangannya peningkatan kapasitas pengangkutan oksigen lebih penting
daripada peningkatan volume intravaskular. Karena itu penulis menekankan
pentingnya penetapan hemoglobin atau hematokrit. Anjuran banyak bank darah,
darah autolog lebih baik dibanding darah alogenik.

II. Darah Autologous dibandingkan dengan Darah Alogenik


Secara mengejutkan, ada pendapat bahwa darah autolog tidak lebih aman
dibandingkan dengan darah alogenik (misalnya, dari resiko infeksi). Karena itu,
program darah autolog dapat saja dihapuskan.Satu contoh dari penelitian seperti
itu adalah pasien-pasien histerektomi. Kanter et al menemukan bahwa 25 dari 140
pasien yang mendonorkan darahnya dirinya harus ditransfusi kembali sedangkan
dari 123 pasien yang tidak mendonorkan darahnya sendiri hanya 1 yang perlu
ditransfusi. Karena itu, disimpulkan bahwa darah autolog sebelum operasi lebih baik
dihapuskan karena akan meningkatkan resiko transfusi darah alogenik. Lebih lanjut
mereka membantah bahwa darah autolog tidak mempunyai resiko. Satu dari
16.000 donasi darah autolog mengalami reaksi yang cukup berat yang
membutuhkan perawatan di rumah sakit. Kenyataannya, beberapa komplikasi yang
berhubungan dengan transfusi darah autolog ada pada daftar di bawah:
1. Anemia
2. Iskemia miokardial preoperatif dari anemia
3. Unit yang salah (1:100.000)
4. Transfusi darah yang lebih sering
Saran untuk pembatasan transfusi darah autolog tidak meliputi imunosupresi (lihat
diskusi selanjutnya) atau penyebaran infeksi dalam darah alogenik. Sebagai contoh,
dari tahun 1986 hingga 1991, ada 182 kegawatan yang berhubungan transfusi
dilaporkan ke FDA, 29 (16%) diantaranya disebabkan oleh kontaminasi bakterial.
10 kasus infeksi Yersinia enterokolitika yang dilaporkan. Hampir semua dengan
darah alogenik walaupun dua pasien juga mendapatkan darah autolog. Sehingga
disimpulkan bahwa darah alogenik juga cukup beresiko.

III. Koagulasi
Dokter ahli anestesi mengetahui bahwa kecenderungan perdarahan sering terjadi
pada pasien-pasien yang ditransfusi secara masif. Koagulopati ini disebabkan oleh
kombinasi banyaknya volume darah yang diberikan dan lamanya hipotensi atau
hipoperfusi. Pasien-pasien dengan perfusi baik dan tidak hipotensi untuk jangka
waktu yang lama (misalnya, > 1 jam) dapat mentolerir banyak unit darah tanpa
menyebabkan koagulopati. Nyatanya, banyak pasien yang telah menerima lebih
dari 100 unit darah bertahan dengan perubahan kecil pada koagulasi. Jelasnya,
pasien yang hipotensif dan menerima banyak unit darah kemungkinan terjadi
koagulopati baik karena DIC maupun karena berkurangnya faktor-faktor koagulasi
karena penyimpanan darah di bank darah.
Thrombositopenia dilusi merupakan penyebab diatesis hemoragik pada pasien yang
menerima banyak unit darah. Walaupun penekanan utama pada hitung thrombosit,
beberapa pengarang mempertanyakan peranan thrombositopenia pada koagulopati
pada pasien-pasien yang ditransfusi secara masif. Mereka secara tepat menunjuk
bahwa hitung thrombosit jarang menurun serendah yang diperkirakan dari
pengenceran saja. Hal ini mungkin karena thrombosit dilepaskan ke dalam sirkulasi
dari limpa, sumsum tulang dan karena adanya thrombosit non fungsional. Lebih
lanjut, Reed et al menemukan tidak ada keuntungan pemberian thrombosit
profilaksis selama transfusi masif. Thrombosit sebaiknya jangan diberikan untuk
memperbaiki hasil pemeriksaan laboratorium pada keadaan thrombositopenia
kecuali pada keadaan koagulopati klinis.
Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa, FFP tetap diberikan untuk pengobatan
koagulopati yang disebabkan oleh transfusi. Keseluruhan peningkatan penggunaan
FFP pada tahun 1970an menyebabkan National Institutes of Health (NIH)
mengadakan konferensi untuk membahas masalah ini pada tahun 1985. Konferensi
ini menyimpulkan bahwa pemberian FFP sebagai bagian dari terapi koagulopati
yang disebabkan oleh transfusi darah masif hanya sedikit yang dapat dibuktikan
kebenarannya. Bila dokter tetap ingin memberikan FFP kriteria berikut harus
ditetapkan:
1. Perdarahan menyeluruh yang tidak dapat dikendalikan dengan jahitan bedah
atau kauter
2. PTT paling kurang 1.5 kali dari normal.
3. Hitung thrombosit lebih besar daripada 70.000/mm (untuk menjamin bahwa
thrombositopenia bukan merupakan penyebab perdarahan).
Buletin Obat FDA baru (Juli 1989) menyimpulkan bahwa FFP sebaiknya jangan
diberikan:
1. Untuk ekspansi volume, sebagai suplemen nutrisi
2. Profilaksis dengan transfusi darah masif
3. Profilaksis setelah operasi By Pass

Yang lebih baru lagi, ASA menyarankan pemberian FFP dengan panduan berikut:
1. Untuk reversal mendesak terapi warfarin.
2. Untuk koreksi defisiensi faktor pembekuan yang tidak diketahui bila konsentrat
spesifik tidak tersedia.
3. Untuk koreksi perdarahan mikrovaskular bila ada peningkatan PT atau APTT
(>1.5 kali normal).
4. Untuk koreksi perdarahan mikrovaskular sekunder terhadap defisiensi faktor
pembekuan pada pasien-pasien yang ditransfusi dengan lebih dari satu volume
darah dan bila PT dan PTT tidak dapat diperiksa.
5. FFP harus diberikan dalam dosis yang dihitung untuk mencapai konsentrasi
faktor plasma minimum 30% (biasanya dicapai dengan pemberian FFP 10-15 mL/kg
), kecuali untuk reversal mendesak antikoagulasi warfarin, dimana FFP 5-8 ml/kg
biasanya mencukupi. Satu unit darah segar menyediakan faktor-faktor koagulasi
yang sama dengan yang terkandung dalam satu unit FFP.
6. FFP dikontraindikasikan untuk tambahan volume plasma atau konsentrasi
albumin.

Kesimpulan diatas berdasarkan anggapan bahwa yang diberikan adalah darah


lengkap. Kebanyakan penelitian memeriksa pengaruh transfusi masif darah lengkap
pada koagulasi karena banyak pusat trauma menggunakan darah lengkap. Murray
et al secara khusus mempertanyakan penggunaan PRC untuk kehilangan darah
yang banyak. Pada penggunaan PRC, kadar fibrinogen menurun signifikan,
kebalikan dari penggunaan darah lengkap dimana kadar fibrinogen tetap tidak
berubah kecuali ada DIC (koagulasi inravaskular diseminata). Walaupun seluruh
faktor-faktor koagulasi menurun, penurunan tidak sebanyak yang diperkirakan
karena pengenceran. Mereka merasa bahwa faktor-faktor, seperti VIII, mungkin
disimpan dalam sel-sel endotelial dan dilepaskan dari endotelium selama stress
pembedahan. Bila PRC digunakan untuk mengganti kehilangan darah mayor, dokter
dapat mencoba memberikan FFP secara profilaksis. Bagaimanapun juga, Murray et
al secara khusus menyarankan untuk tidak mengikuti kebijaksanaan ini, tetapi
menyatakan bahwa FFP hanya dibutuhkan bila PT dan PTT paling kurang 1,5 kali
normal dan kadar fibrinogen kurang dari 75 mg/dL. Penelitian terbaru oleh Murray
et al menunjukkan bahwa bila kehilangan volume intravaskuler digantikan dengan
PRC dan kristaloid, PT dan PTT seringkali melebihi 1,5 kali normal.
Baru-baru ini tiga pilihan dipertimbangkan oleh kebanyakan bank darah :
A. Detergen Pelarut. Plasma dari donor multipel dikumpulkan dan diberikan
campuran pelarut penghancur lemak (tri-n-butil fosfat) dan detergen (triton x-100)
untuk menginaktivasi sampul lipid penyebab infeksi termasuk HIV, HTLV, HCV, HBV.
Baru-baru ini (1998) tersedia di Palang Merah. Mempunyai beberapa kekurangan,
termasuk pengumpulan yang dapat menyebabkan kontaminasi penyebab infeksi
yang beramplop.
B. Plasma donor tunggal, yang diuji kembali untuk mempersiapkan FFP. Unit
(donasi pertama) disimpan bila seluruh riwayat dan penyebab penyakit infeksi
negatif. Unit tersebut tidak dilepaskan untuk digunakan hingga donor yang sama
menyumbangkan unit kedua lebih dari 3 bulan setelah donasi pertama dan lolos
pada pengujian serologik. Saat itu, unit pertama dilepaskan. Unit kedua tidak
digunakan hingga orang tersebut kembali lebih dari 3 bulan kemudian untuk donasi
ketiga dan lolos kembali seluruh pengujian. Saat itu, unit kedua dapat digunakan.
Pendekatan ini mempunyai keuntungan yang jelas, tetapi pemberiannya rumit.
C. Plasma yang sering didonorkan. Suatu hubungan terbalik terjadi antara jumlah
donasi yang diberikan seseorang dengan kemungkinan menjadi sero positif.
Hubungan ini tidak saling bergantung pada waktu dimana donasi diberikan. Yang
tampaknya mencapai reduksi maksimum insidensi sero positif pada lebih dari 4
donasi. Perkiraannya adalah bahwa reduksi sero positif (dan karena itu transmisi)
hingga 1/3-1/2 gambaran saat ini.
Pilihan diatas diadakan pada pertemuan di University of California San Fransisco
Transfusion Committee dan dokter akan mempunyai banyak pilihan plasma yang
lebih aman untuk pasien.

IV. Imunosupresi
Transfusi darah homolog menimbulkan suatu reaksi imunosupresif nonspesifik pada
resipien. Efek ini bersifat terapi untuk resipien transplantasi ginjal. Namun, banyak
pengarang telah mengemukakan data untuk menunjukkan bahwa transfusi darah
meningkatkan suseptibilitas terhadap infeksi dan peningkatan progresi tumor
malignan. Walaupun banyak faktor dapat terlibat pada pasien yang sakit keras
(misalnya, pasien-pasien yang menerima transfusi darah kemungkinan punya
penyakit yang lebih luas dan invasif), bukti meyakinkan bahwa ada hubungan
antara transfusi preoperatif dan rekurensi tumor atau bertahan hidup pada pasien-
pasien dengan berbagai jenis kanker sebagaimana ditinjau oleh Schricmer et al.
Mekanisme dan efek dari kanker ini tidak diketahui, tetapi berhubungan dengan
peningkatan sintesis prostaglandin E, penurunan generasi interleukin 2, dan produk
degradasi fibrinogen pada FFP. Penemuan lanjut ini menimbulkan kekhawatiran
tentang pemberian FFP pada pasien-pasien yang imunitasnya ditekan. Blumbert et
al, menemukan bahwa pasien-pasien yang ditransfusi dengan PRC bertahan hidup
lebih baik daripada pasien-pasien yang menerima darah lengkap. Hasilnya,
Schriemer et al, menyarankan untuk memberikan PRC dibanding darah lengkap bila
transfusi diindikasikan pada pasien-pasien kanker.
Terbaru, Landers et al telah meninjau mekanisme imunomodulasi yang disebabkan
tranfusi (Tabel 3) dan penurunan fungsi imun setelah transfusi darah alogenik atau
homolog. (Tabel 4).

Table 3: Mekanisme Modulasi Imun yang ditimbulkan oleh Transfusi*

! Penumpukan Fe pada sistem RE mengakibatkan berbagai perubahan


! Penurunan aktifitas makrofag yang dapat menangkap antigen kelas II oleh
monosit yang memproduksi prostaglandin E2, sehingga menghambat produksi IL-2
! Inhibisi interleukin-2 oleh limfositT akan menurunkan stimulasi sel B dan produksi
antibodi
! Teori deplesi klonal sel-sel yang rusak akan menolak proses graft
! Penurunan produksi limfosit T supressor
! Pembentukan anti-idiotipik T cell receptor atau antibodi yang dapat melawan
antigen pada transfusi darah akan bangkit dan membentuk antigen yang baru.
* Dari : Landers et.al. Anesth Analg 1996;82:187

Table 4: Penurunan Fungsi Imun akibat Transfusi Darah Allogenik*

! Pengurangan respon limfosit


! Penurunan produksi sitokin
! Penurunan respon terhadap mitogen (subtansi yang menstimulasi mitosis dan
perubahan limfosit) atau antigen larut in vivo atau in vitro
! Peningkatan jumlah atau fungsi sel supresor
! Penurunan aktivitas sel pembunuh alami
! Penurunan fungsi monosit
! Penurunan sitotoksisitas yang di mediasi sel terhadap sel-sel target tertentu
! Peningkatan produksi mediator dan antibodi anti idotipik supresif
* Dari : Landers et.al. Anesth Analg 1996;82:187 (33)

V. Terapi Komponen
A. Thrombosit
Sebagiamana diindikasikan sebelumnya, terdapat kekhawatiran bahwa produk-
produk darah homolog telah diberikan secara tidak tepat. FDA Drug Bulletin Juli
1989 mencoba memberi panduan dan menyatakan bahwa thrombosit tidak boleh
diberikan :
1. Kepada pasien-pasien dengan ITP (kecuali bila ada perdarahan yang mengancam
jiwa)
2. Profilaksis transfusi darah massif.
3. Profilaksis pada cardiopulmonar bypass.
FDA tidak menyatakan bahwa pada pasien yang menjalankan pembedahan atau
prosedur invasif lain tidak diuntungkan dari transfusi thrombosit profilaksis bila
hitung thrombosit paling kurang 50.000/mm3 dan thrombositopenia merupakan
satu-satunya kelainan.
ASA task force baru-baru ini menyarankan bahwa :
1. Transfusi thrombosit profilaksis tidak efektif dan jarang kali diindikasikan bila
thrombositopenia berhubungan dengan peningkatan destruksi thrombosit
(misalnya, ITP).
2. Tranfusi thrombosit profilaksis jarang diindikasikan pada pasien-pasien bedah
dengan thrombositopenia yang berhubungan dengan penurunan produksi
thrombosit bila hitung thrombosit lebih besar daripada 100.000/mm3 dan biasanya
diindikasikan bila hitung thrombosit lebih rendah dari 50.000/mm3. Penentuan
apakah pasien-pasien dengan hitung thrombosit pada tingkat menengah (50.000-
100.000/mm3) membutuhkan terapi harus berdasarkan pada resiko perdarahan.
3. Pasien-pasien bedah dan obstetrik dengan perdarahan mikrovaskular biasanya
membutuhkan transfusi thrombosit bila hitung thrombosit lebih kecil dari
50.000/mm3 dan jarang membutuhkan transfusi bila lebih besar dari
100.000/mm3. Jika hitung thrombosit antara 50.000-100.000/mm3), penentuan
harus didasarkan pada resiko pasien untuk perdarahan yang lebih signifikan
4. Persalinan pervaginam atau operatif dengan kehilangan darah yang sedikit dapat
dilakukan pada pasien-pasien dengan hitung thrombosit kurang dari 50.000/mm3.
5. Transfusi thrombosit dapat diindikasikan bila hitung thrombosit cukup tetapi
terdapat disfungsi thrombosit dan perdarahan mikrovaskular.
Transfusi thrombosit dibutuhkan untuk pasien-pasien dengan perdarahan sistemik
dan untuk pasien-pasien dengan resiko tinggi perdarahan yang disebabkan oleh
gangguan koagulasi, sepsis, atau disfungsi thrombosit yang berhubungan dengan
pengobatan atau penyakit. Jelasnya, maksudnya adalah untuk membuat dokter
lebih tepat dalam menetapkan indikasi transfusi thrombosit. Karena peningkatan
kekhawatiran tentang kontaminasi bakterial, kini sangat disarankan tiap pasien
yang menjadi demam setelah menerima konsentrat thrombosit harus dianggap
septik hingga terbukti sebaliknya.

B. Kriopresipitat
Kriopresipitat mengandung faktor VIII:C (aktivitas prokoagulan), faktor VIII:vWF
(faktor von Willebrand ), fibrinogen, faktor XIII, dan fibronektin, yang merupakan
glikoprotein yang berperan pada peningkatan aktivitas sistem RES dalam
membunuh partikel asing dan bakteri dari darah
Terdapatnya fibrinogen yang rendah pada PRC, sehingga ASA task force
menyarankan pemberian kriopresipitat untuk:
1. Profilaksis pada pasien-pasien non perdarahan perioperiatif atau peripartum
dengan defisiensi fibrinogen kongenital atau penyakit von Willebrand yang tidak
berespon terhadap DDAVP (bila memungkinkan, keputusan ini harus dibuat dengan
konsultasi dengan hematolog pasien tersebut).
2. Pasien-pasien perdarahan dengan penyakit von Willebrand.
3. Koreksi perdarahan mikrovaskular pada pasien-pasien dengan transfusi massif
dengan konsentrasi fibrinogen kurang dari 80-100 mg/dL (atau bila konsentrasi
fibrinogen tidak dapat diukur pada saat itu).
Darah lengkap harus diberikan pada transfusi darah massif, karena PRC kurang
mengandung faktor koagulasi.
Konsentrat faktor VIII merupakan terapi standar untuk hemofilia. Teknik
rekombinan DNA terbaru telah digunakan untuk mengembangkan faktor VIII yang
bebas transmisi penyakit.

VI. Komplikasi
Dengan memperhitungkan pertimbangan di atas, insidensi dari reaksi yang
merugikan adalah :
Reaksi yang merugikan terhadap Transfusi*
Tipe reaksi Insidensi
Reaksi febril 1% dari transfusi PRC
Reaksi alergi (urtikaria) 20% dari transfusi platelet
Rekasi transfusi hemolitik akut 1/1000 reaksi transfusi
Rekasi transfusi lambat ~ 1/33,000 U PRC
Penyakit graft vs host (GVHD) ~ 1/2,500 U PRC
Udem paru akut yang berhubungan
dengan transfusi (TRALI) 1/10,000 U PRC
* Dari Principles of Anesthetic Techniques and Anesthetic Emergencies

Darah yang telah bersih dari leukosit dapat menurunkan kejadian imunosupresi dan
insidensi banyak reaksi transfusi.

VII. Darah Sintetik


Karena banyak masalah, termasuk yang terdaftar di atas, dengan allogenik, banyak
perusahaan mencoba membuat hemoglobin sintetik. Produk ini telah diberikan pada
sukarelawan manusia dan pasien-pasien dengan keberhasilan yang cukup. Hal ini
diungkapkan oleh Dietz et al pada Anesthesia & Analgesia Februari 1996. Dasarnya
produk-produk ini :
1. Larutan hemoglobin bebas stroma yang mengandung sejumlah modifikasi dari
molekul hemoglobin.
2. Hemoglobin rekayasa genetik (misalnya E.coli menghasilkan sel darah merah
manusia).
3. Larutan hemoglobin liposome-encapsulated, mengandung hemoglobin dengan
membran sintetik.
4. Perfluorokarbon, larutan organik dengan kelarutan oksigen tinggi.
Untuk mencegah banyak komplikasi, seperti kerusakan ginjal, pelepasan
endotoksin, dan lain-lain, berbagai pendekatan telah digunakan, seperti cross-link,
polimerisasi, dan konjugator baik dengan kimiawi maupun tehnik genetik
sebagaimana diringkaskan dibawah.

Tabel 5: Pengganti Sel darah Merah

Aktivitas Efisiensi
(efek biologis) (keuntungan untuk pasien)
! Transpor O2 ! Penurunan penggunaan produk-produk darah
! Bantuan hidup selama anemia berat ! Penurunan morbiditas dan mortalitas yang
berhubungan dengan transfusi
! Resusitasi cairan ! Penggunaan pada lingkungan yang secara logistik sulit

Awalnya, produk-produk ini dipandang sebagai pengganti darah. Meskipun aman,


tapi sulit disediakan oleh bank darah. Kriteria FDA terhadap efisiensi sulit
diterapkan. Sekarang lebih menekankan pada kemampuan transpor oksigennya
yang akan didiskusikan.
Berbagai penelitian fase II and III telah dan sedang dilaksanakan. Sejauh ini,
kebanyakan produk menyebabkan hipertensi ringan dan peningkatan konsentrasi
amilase dan lipase yang signifikansinya masih harus ditetapkan.

Kewaspadaan Pada Graviida


Obat Efek Samping Utama Keterangan
Kloramfenikol Gray-baby sindrom (kolaps
sirkulasi pd neonatus), anemia
Hindari pemberian pd trimester 3,
masa laktasi & neonatus
Sulfonamid,
Dapson
Risiko hemolisis & ikterus Hindari pemberian pd trimester 3 &
masa laktasi
Trimetoprim Hindari pemberian pd trimester 3

Obat Efek Samping Utama Keterangan


Kloramfenikol Gray-baby sindrom (kolaps
sirkulasi pd neonatus), anemia
Hindari pemberian pd trimester 3,
masa laktasi & neonatus
Sulfonamid,
Dapson
Risiko hemolisis & ikterus Hindari pemberian pd trimester 3 &
masa laktasi
Trimetoprim Hindari pemberian pd trimester 3
Kotrimoksazol
Teratogenik
Eritromisin Hepatotoksik, gangguan GIT Terutama pada sang ibu
Penisilin &
Sefalosporin
Hipersensitivitas, rx alergi,
gangguan GIT
Ruam & diare pd neonatus
Ko-amoksiklav sebaiknya dihindari
pd kehamilan
Ototoksik Gangguan pendengaran bisa
mempengaruhi ibu &

Ibu Hamil Membutuhkan Antibiotik

Menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), antibiotik


merupakan suatu zat yang dihasilkan oleh mikroba untuk menghambat
pertumbuhan dan membasmi mikroba jenis lain. Awalnya, antibiotik hanya
ada beberapa, namun saat ini sudah ditemukan berbagai jenis antibiotik
yang mampu mengatasi penyakit infeksi. lanjutan. Antibiotik bekerja untuk
melawan infeksi yang disebabkan oleh bakteri, bukan virus. Penggunaan
antibiotik tidak boleh sembarangan karena akan mendatangkan bahaya bagi
tubuh. Prinsip yang harus diketahui, antibiotik hanya digunakan jika ada
infeksi yang disebabkan oleh kuman bakteri.

Obat-obatan antibiotik itu termasuk obat keras yang membantu tubuh untuk membunuh
kuman ataupun bakteri yang masuk dan tidak bisa dilawan dengan sistem kekebalan tubuh.
Karena obat-obatan ini bekerja dengan sistem penghancuran total, maka tidak hanya bakteri saja,
sel tubuh kita yang terinfeksi dan disekitarnya akan ikut terkena guna menghilangkan
kesempatan masih ada sisa-sisa koloni bakteri yang mungkin "bersembunyi". Oleh karena itu
pemberian obat antibiotik harus tuntas, sampai seluruh koloni bakteri benar-benar habis
terbunuh, jika tidak maka dapat dipastikan bakteri itu bisa "bersiap diri" untuk menyerang
kembali, atau bahkan bisa juga bakteri-bakteri itu menjadi resisten dengan obat tersebut dan
kalau sudah begitu diperlukan antibiotik generasi lebih tinggi untuk membunuh kuman. Oleh
karena efek membunuh yang kuat, jika seorang pasien diberi obat antibiotik, harus dipastikan
sistem kekebalan tubuh pasien itu juga kuat. Karena untuk melawan efek dari antibiotik itu
sendiri dan untuk sistem self-recovery mengganti sel-sel tubuh yang telah rusak.

Pengaruh buruk obat terhadap janin dapat bersifat toksik, teratogenik maupun letal,
tergantung pada sifat obat dan umur kehamilan paga saat minum obat. Pengaruh toksik adalah
jika obat yang diminum selama masa kehamilan menyebabkan terjadinya gangguan fisiologik
atau bio-kimiawi dari janin yang dikandung, dan biasanya gejalanya baru muncul beberapa saat
setelah kelahiran. Pengaruh obat bersifat teratogenik jika menyebabkan terjadinya malformasi
anatomik pada petumbuhan organ janin. Pengaruh teratogenik ini biasanya terjadi pada dosis
subletal. Sedangkan pengaruh obat yang bersifa letal, adalah yang mengakibatkan kematian janin
dalam kandungan. Secara umum pengaruh buruk obat pada janin dapat beragam, sesuai dengan
fase-fase berikut,
<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->Fase implantasi, yaitu pada umur kehamilan
kurang dari 3 minggu. Pada fase ini obat dapat memberi pengaruh buruk atau
mungkin tidak sama sekali. Jika terjadi pengaruh buruk biasanya menyebabkan
kematian embrio atau berakhirnya kehamilan (abortus).
<!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->Fase embional atau organogenesis, yaitu pada
umur kehamilan antara 4-8 minggu. Pada fase ini terjadi diferensiasi pertumbuhan
untuk terjadinya malformasi anatomik (pengaruh teratogenik). Berbagai pengaruh
buruk yang mungkin terjadi pada fase ini antara lain,
<!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Gangguan fungsional atau metabolik yang
permanen yang biasanya baru muncul kemudian, jadi tidak timbul secara
langsung pada saat kehamilan. Misalnya pemakaian hormon dietilstilbestrol pada
trimester pertama kehamilan terbukti berkaitan dengan terjadinya adenokarsinoma
vagina pada anak perempuan di kemudian hari (pada saat mereka sudah dewasa).
<!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Pengaruh letal, berupa kematian janin atau
terjadinya abortus.
<!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Pengaruh sub-letal, yang biasanya dalam
bentuk malformasi anatomis pertumbuhan organ, seperti misalnya fokolemia
karena talidomid.
<!--[if !supportLists]-->3. <!--[endif]-->Fase fetal, yaitu pada trimester kedua dan ketiga
kehamilan. Dalam fase ini terjadi maturasi dan pertumbuhan lebih lanjut dari janin.
Pengaruh buruk senyawa asing terhadap janin pada fase ini tidak berupa malformasi
anatomik lagi. tetapi mungkin dapat berupa gangguan pertumbuhan, baik terhadap
fungsi-fungsi fisiologik atau biokimiawi organ-organ. Demikian pula pengaruh obat
yang dialami ibu dapat pula dialami janin, meskipun mungkin dalam derajat yang
berbeda. Sebagai contoh adalah terjadinya depresi pernafasan neonatus karena selama
masa akhir kehamilan, ibu mengkonsumsi obat-obat seperti analgetika-narkotik; atau
terjadinya efek samping pada sistem ekstrapiramidal setelah pemakaian fenotiazin.

Secara umum,setiap obat dibagi dalam kategori (A, B, C, D dan X) berdasarkan tingkat
resiko saat kehamilan.
<!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Kategori A
Hanya beberapa obat saja yang termasuk kategori A, di mana obat tersebut tidak
berbahaya bila dikonsumsi pada trisemester pertama saat kehamilan. Contoh obat
adalah Nystatin vaginal (Mycostatin)
<!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Kategori B
Obat kategori B meliputi obat-obat yang pengalaman pemakainya pada wanita hamil
masih terbatas, tetapi tidak terbukti meningkatkan frekuensi malformasi atau
pengaruh buruk lainnya pada janin. Mengingat terbatasnya pengalaman pemakaian
pada wanita hamil, maka obat-obat kategori B dibagi lagi berdasarkan temuan-
temuan pada studi toksikologi pada hewan, yaitu:
B1: Dari penelitian pada hewan tidak terbukti meningkatnya kejadian kerusakan janin
(fetal damage). Contoh obat-obat yang termasuk pada kelompok ini misalnya
simetidin, dipiridamol, dan spektinomisin.
B2: Data dari penilitian pada hewan belum memadai, tetapi ada petunjuk tidak
meningkatnya kejadian kerusakan janin, tikarsilin, amfoterisin, dopamin, asetilkistein,
dan alkaloid belladona adalah obat-obat yang masuk dalam kategori ini.
B3: Penelitian pada hewan menunjukkan peningkatan kejadian kerusakan janin, tetapi
belum tentu bermakna pada manusia. Sebagai contoh adalah karbamazepin,
pirimetamin, griseofulvin, trimetoprim, dan mebendazol
<!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Kategori C
Beberapa ada di kategori ini, karena tidak ada informasi yang cukup dan beberapa
obat member efek buruk pada hewan percobaan, tetapi tidak ada konfirmasi ataupun
pemberitahuan adanya masalah yang timbul seperti kelahiran yang cacat pada
manusia. Merupakan obat-obat yang dapat memberi pengaruh buruk pada janin tanpa
disertai malformasi anatomik semata-mata karena efek farmakologiknya. Yang
termasuk kategori C, yaitu Baktirm, Trimetropim, Biaxin, Cipro, Diflucan, Monistat,
Terazol, Isoniazid, Rifampin, dan Vermox
<!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Kategori D
Pada kategori ini, obat memberi efek yang buruk pada kehamilan dan sebaiknya
tidak digunakan kecuali tidak ada alternatif lain. Contohnya adalah Tetrasiklin.
<!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Kategori X
Obat-obat yang masuk dalam kategori ini adalah yang telah terbukti mempunyai
risiko tinggi terjadinya pengaruh buruk yang menetap (irreversibel) pada janin jika
diminum pada masa kehamilan. Obat dalam kategori ini merupakan kontraindikasi
mutlak selama kehamilan. Sebagai contoh adalah isotretionin dan dietilstilbestrol.

Untuk keadaan hamil, apalagi masih dalam trimester ketiga, pemberian antibiotik bisa
sangat membahayakan janin, karena hampir semua antibiotik memberikan efek samping mual,
muntah, pusing dan gangguan sistem pencernaan. Efek-efek samping yang ditimbulkan juga
akan menekan kehamilan. Bahkan ada antibiotik yang bisa menembus sampai ke sistem
kelenjar / cairan, seperti liur, kelenjar getah bening, cairan otak dan ASI. Jika pada masa
menyusui minum antibiotik, maka obat akan merembes di ASI dan bayi akan minum ASI
bercampur obat, bisa dibayangkan apa yang akan terjadi.

Obat-obat antibiotik yang perlu perhatian khusus atau tidak boleh diminum untuk ibu
hamil dan menyusui:
<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->Golongan Aminoglikosida (biasanya dalam
turunan garam sulfate-nya), seperti amikacin sulfate, tobramycin sulfate, dibekacin
sulfate, gentamycin sulfate, kanamycin sulfate, dan netilmicin sulfate.
Aminoglikosida dimasukkan dalam kategori obat D, yang penggunaannya oleh
wanita hamil diketaui meningkatkan angka kejadian malformasi dan kerusakan janin
yang bersifat ireversibel. Pemberian aminoglikosida pada wanita hamil sangat tidak
dianjurkan. Selain itu aminoglikosida juga mempunyai efek samping nefrotoksik dan
ototoksik pada ibu, dan juga dapat menimbulkan kerusakan ginjal tingkat seluler
pada janin, terutama jika diberikan pada periode organogeneis. Kerusakan saraf
kranial VIII juga banyak terjadi pada bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang
mendapat aminoglikosida pada kehamilan.
<!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->Golongan Sefalosporin, seperti : cefuroxime
acetyl, cefotiam diHCl, cefotaxime Na, cefoperazone Na, ceftriaxone Na, cefazolin
Na, cefaclor dan turunan garam monohydrate-nya, cephadrine, dan ceftizoxime Na.
Sama halnya dengan penisilin, sefalosporin relatif aman jika diberikan pada trimester
pertama kehamilan. Kadar sefalosporin dalam sirkulasi janin meningkat selama
beberapa jam pertama setelah pemberian dosis pada ibu, tetapi tidak terakumulasi
setelah pemberian berulang atau melalui infus. Sejauh ini belum ada bukti bahwa
pengaruh buruk sefalosporin seperti misalnya anemia hemolitik dapat terjadi pada
bayi yang dilahirkan oleh seorang ibu yang mendapat sefalosporin pada trimester
terakhir kehamilan.
<!--[if !supportLists]-->3. <!--[endif]-->Golongan Kloramfenikol, seperti :
Kloramfenikol, dan thiamfenicol.
Kloramfenikol bila diberikan menjelang persalinan dapat mengakibatkan kolaps
sirkulasi pada neonatus. Pemberian kloramfenikol pada wanita hamil, terutama pada
trimester II dan III, di mana hepar belum matur, dapat menyebabkan angka terjadinya
sindroma Grey pada bayi, ditandai dengan kulit sianotik (sehingga bayi tampak
keabuabuan), hipotermia, muntah, abdomen protuberant, dan menunjukkan reaksi
menolak menyusu, di samping pernafasan yang cepat & tidak teratur, serta letargi.
Kloramfenikol dimasukkan dalam kategori C, yaitu obat yang karena efek
farmakologiknya dapat menyebabkan pengaruh buruk pada janin tanpa disertai
malformasi anatomik. Pengaruh ini dapat bersifat reversibel. Pemberian
kloramfenikol selama kehamilan sejauh mungkin dihindari, terutama pada minggu-
minggu terakhir menjelang kelahiran dan selama menyusui.
<!--[if !supportLists]-->4. <!--[endif]-->Golongan Makrolid, seperti : clarithomycin,
roxirhromycin, erythromycin, spiramycin, dan azithromycin.
<!--[if !supportLists]-->5. <!--[endif]-->Golongan Penicillin, seperti : amoxicillin,
turunan tridydrate dan turunan garam Na-nya.
Obat-obat yang termasuk dalam golongan penisilin dapat dengan mudah menembus
plasenta dan mencapai kadar terapetik baik pada janin maupun cairan amnion.
Penisilin relatif paling aman jika diberikan selama kehamilan, meskipun perlu
pertimbangan yang seksama dan atas indikasi yang ketat mengingat kemungkinan
efek samping yang dapat terjadi pada ibu.
<!--[if !supportLists]-->6. <!--[endif]-->Golongan Kuinolon, seperti : ciprofloxacin dan
turunan garam HCl-nya, ofloxacin, sparfloxacin dan norfloxacin.
<!--[if !supportLists]-->7. <!--[endif]-->Golongan Tetrasiklin, seperti : doxycycline,
tetracyclin dan turunan HCl-nya (tidak boleh untuk wanita hamil), dan oxytetracylin
(tidak boleh untuk wanita hamil).
Tetraskilin adalah jenis antibiotik yang merupakan anti bakteri yang luas sebagai
penghambat dan pembunuh bakteri gram positif dan gram negatif. Merupakan zat
kelasi yang mempunyai afinitas dengan kalsium dan basa yang sukar larut dalam air,
tetapi bentuk garam natrium atau garam HCL-nya mudah larut. Dalam keadaadn
kering, bentuk basa dan garam HCL tetrasiklin bersifat relative stabil. Sedangkan
dalam larutan, kebanyakan tetrasiklin sangat labil sehingga cepat berkurang
potensinya. Efek tetrasiklin semakin fatal pada ibu hamil trimester pertama.
Sehingga dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan tulang, mikromelia, dan
sindaktil . Pembentukan tulang baru mulai pada trimester kedua. Oleh karena itu
pemberian pada trismester kedua dapat mengakibatkan peubahan warna kekuningan
yang permanen pada gigi susu dan hipoplasia enamel. Meskipun demikian gigi yang
kekuningan tersebut lebih tahan terhadap karies dibandingkan gigi normal.
Sedangkan pemberian pada bulan ke 4 kehidupan janin sampai akhir tahun pertama
dapat menimbulkan kelainan warna gigi. Wanita hamil atau masa nifas dengan
pielonefritis atau gangguan fungsi ginjal lain cendrung menderita kerusakan hati
akibat pemberian golongan tetrasiklin. Tapi saat ini tetraskilin sudah jarang diberikan
kepada ibu hamil dan anak anak.
<!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Ampilisin : Segi keamanan baik bagi ibu
maupun janin relatif cukup terjamin. Kadar ampisilin dalam sirkulasi darah janin
meningkat secara lambat setelah pemberiannya pada ibu dan bahkan sering melebihi
kadarnya dalam sirkulasi ibu. Pada awal kehamilan, kadar ampisilin dalam cairan
amnion relatif rendah karena belum sempurnanya ginjal janin, di samping
meningkatnya kecepatan aliran darah antara ibu dan janin pada masa tersebut. Tetapi
pada periode akhir kehamilan di mana ginjal dan alat ekskresi yangi lain pada janin
telah matur, kadarnya dalam sirkulasi janin justru lebih tinggi dibanding ibu.
Farmakokinetika ampisilin berubah menyolok selama kehamilan. Dengan
meningkatnya volume plasma dan cairan tubuh, maka meningkat pula volume
distribusi obat. Oleh sebab itu kadar ampisilin pada wanita hamil kira-kira hanya 50%
dibanding saat tidak hamil. Dengan demikian penambahan dosis ampisilin perlu
dilakukan selama masa kehamilan.
<!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Amoksisilin : Pada dasarnya, absorpsi
amoksisilin setelah pemberian per oral jauh lebih baik dibanding ampisilin.
Amoksisilin diabsorpsi secara cepat dan sempurna baik setelah pemberian oral
maupun parenteral. Seperti halnya dengan ampisilin penambahan dosis amoksisilin
pada kehamilan perlu dilakukan mengingat kadarnya dalam darah ibu maupun janin
relatif rendah dibanding saat tidak hamil. Dalam sirkulasi janin, kadarnya hanya
sekitar seperempat sampai sepertiga kadar di sirkulasi ibu
<!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Sulfonmida: Obat-obat yang tergolong
sulfonamida dapat melintasi plasenta dan masuk dalam sirkulasi janin, dalam kadar
yang lebih rendah atau sama dengan kadarnya dalam sirkulasi ibu. Pemakaian
sulfonamida pada wanita hamil harus dihindari, terutama pada akhir masa kehamilan.
Hal ini karena sulfonamida mampu mendesak bilirubin dari tempat ikatannya dengan
protein, sehingga mengakibatkan terjadinya kern-ikterus pada bayi yang baru
dilahirkan. Keadaan ini mungkin akan menetap sampai 7 hari setelah bayi lahir.
<!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Eritromisin : Pemakaian eritromisin pada
wanita hamil relatif aman karena meskipun dapat terdifusi secara luas ke hampir
semua jaringan (kecuali otak dan cairan serebrospinal), tetapi kadar pada janin hanya
mencapai 1-2% dibanding kadarnya dalam serum ibu. Di samping itu, sejauh ini
belum terdapat bukti bahwa eritromisin dapat menyebabkan kelainan pada janin.
Kemanfaatan eritromisin untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh Chlamydia
pada wanita hamil serta pencegahan penularan ke janin cukup baik, meskipun bukan
menjadi obat pilihan pertama. Namun ditilik dari segi keamanan dan manfaatnya,
pemakaian eritromisin untuk infeksi tersebut lebih dianjurkan dibanding antibiotika
lain, misalnya tetrasiklin.
<!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Trimetoprim : Karena volume distribusi yang
luas, trimetoprim mampu menembus jaringan fetal hingga mencapai kadar yang lebih
tinggi dibanding sulfametoksazol, meskipun kadarnya tidak lebih tinggi dari ibu. Pada
uji hewan, trimetoprim terbukti bersifat teratogen jika diberikan pada dosis besar.
Meskipun belum terdapat bukti bahwa trimetoprim juga bersifat teratogen pada janin,
tetapi pemakaiannya pada wanita hamil perlu dihindari. Jika terpaksa harus
memberikan kombinasi trimetoprim + sulfametoksazol pada kehamilan, diperlukan
pemberian suplementasi asam folet.
<!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Nitrofurantoin : Sering digunakan sebagai
antiseptik pada saluran kencing. Jika diberikan pada awal kehamilan, kadar
nitrofurantoin pada jaringan fetal lebih tinggi dibanding ibu, tetapi kadarnya dalam
plasma sangat rendah. Dengan makin bertambahnya umur kehamilan, kadar
nitrofurantoin dalam plasma janin juga meningkat. Sejauh ini belum terbukti bahwa
nitrofurantoin dapat meningkatkan kejadian malformasi janin. Namun perhatian harus
diberikan terutama pada kehamilan cukup bulan, di mana pemberian nitrofurantoin
pada periode ini kemungkinan akan menyebabkan anemia hemolitik pada janin.
LKSI, 2006, Diagnosis dan Terapi Penyakit Gigi dan Mulut, Percetakan Not: Bandung.
Ragg, M. 2001. Obat-Obat yang paling diresepkan. Arcan: Jakarta.
Santoso, B. 1995. Efek Samping Obat, ed 2. Pusat Study Farmakologi Klinik dan
Kebijakan Obat UGM: Yogyakarta.

Setiabudy S. dkk., 2007, Farmakologi dan Terapeutik, edisi 5, FKUI: Jakarta


Speirs, Al. 1992. Ilmu Kesehatan Anak untuk Perawat, ed 2. IKIPSemarang Press. Semarang.
Yagiela, J. A., Frank J. D., Enid A. N., 2004, Pharmacology and Therapeutics for
Dentistry, Elsevier Mosby: St. Louis.

Obat-obatan Untuk Ibu

Sebenarnya obat yang langsung ke ASI itu jumlahnya sangat kecil. Sebagian kecil berpengaruh kepada bayi.
Secara umum, menghentikan pemberian ASI lebih berbahaya daripada pengaruh obat tersebut. Hanya
sebagian kecil obat yang mempunyai efek samping. Bayi yang berumur kurang dari satu bulan mempunyai
masalah yang besar dibandingkan dengan bayi yang lebih tua. Tetapi, mungkin perlu dipikirkan obat
alternatif untuk ibu yang menyebabkan lebih sedikit masalah. Kejadian penghentian menyusui karena ibu
harus minum obat adalah sangat jarang.

Pada sedikit situasi, menyusui merupakan kontra indikasi.

Jika ibu mendapatkan obat anti kanker, pemberian ASI boleh dihentikan. Jika ibu mendapatkan pengobatan
radioaktif, ibu dapat menghentikan pemberian ASI untuk sementara. Obat-obatan ini jarang digunakan.

Beberapa obat dapat menimbulkan efek samping, yang kadang-kadang menyebabkan


perlunya penghentian pemberian ASI.

Jika ibu mendapatkan obat psikiatrik atau anti konfulsan, kadang-kadang membuat bayi (berusia kurang
dari satu bulan) yang menyusui menjadi tampak lemah. Khususnya jika diberikan barbiturat dan diazepam.
Jika memungkinkan sebaiknya diganti dengan obat lain yang mempunyai efek samping kecil. Namun
demikian, sangat berbahaya jika mengubah pengobatan secara cepat khususnya pada kasus epilepsi.

Jika tidak ada alternatif, teruskan pemberian ASI dan amatilah bayinya.

Jika terjadi efek samping, pemberian ASI dapat dihentikan.

Beberapa antibiotik perlu dihindari.

Antibiotik pada umumnya aman bagi ASI dan bagi bayi. Tetapi lebih baik menghindari pemberian
Chloramphenikol dan tetrasiklin serta metronidazole. Jika salah satu antibiotik tersebut harus diberikan
kepada ibu, teruskan menyusui dan amatilah bayinya. Pada umumnya tidak ada masalah.

Hindari pemberian sulphonamide kepada ibu khususnya jika bayi jaundice. Jika obat seperti cotrimoxasole,
fansidar, dan dapsone diperlukan, berikan obat tersebut dan teruskan pemberian ASI. Pertimbangkan
pemberian makanan alternatif bila bayi jaundice, terutama jaundice yang terjadi ketika ibu meminum obat
tersebut.

Obat yang menyebabkan menurunnya produksi ASI perlu dihindari.

Hindari penggunaan kontrasepsi yang mengandung estrogen. Hindari penggunaan Thiazide diuretik seperti
Chlorotiazide karena obat ini menurunkan produksi ASI. Jia mungkin, carilah alternatifnya.

Kebanyakan obat yang umum digunakan adalah aman pada dosis biasa

Jika ibu menyusui mendapatkan obat, tetapi anda tidak yakin obat apa :

1. Cek daftar obat di dalam manual.

2. Anjurkan agar ibu terus menyusui sambil mencoba mengetahui obat apa yang diberikan.

3. Amatilah bayi jika terjadi efek samping seperti mengantuk yang abnormal, tidak nafsu makan dan
ikterus, khususnya jika ibu mengkonsumsi obat untuk waktu yang lama.

4. Usahakan mendapatkan saran dari petugas kesehatan yang lebih ahli seperti dokter atau apoteker.

5. Jika khawatir, cobalah mencari obat alternatif yang anda ketahui lebih aman.

6. Jika bayi terkena efek samping dan ibu tidak mengubah penggunaan obatnya gunakanlah metode
alternatif yang aman.

7. Jika bayi terkena efek samping dan anda tidak mungkin mengubah obatnya, pertimbangkan cara
pemberian makanan yang lain, untuk sementara waktu bila mungkin.

Menyusui dan Obat-obatan untuk Ibu

Kontra indikasi pemberian ASI Obat anti kanker;

Radioaktif (berhenti menyusui sementara)

Teruskan pemberian ASI Obat penyakit psikis dan anti konvulsan


(Amati efek samping pada bayi

misalnya mengantuk)

Gunakan obat alternatif Chloramfenikol, tetracyclin, metronidazole

Quinolone antibiotics (eg. Ciprofloxacin)

Pantau kemungkinan ikterius Sulphonamides, cotrimoxazole, fansidar,


dapsone

Gunakan obat alternatif Estrogen, terutama kontrasepsi berisi estrogen

(dapat menurunkan produksi ASI) Thiazide diuretic

Aman pada dosis biasa Obat-obatan paling biasa digunakan :

Pantau bayi Analgesik dan antipiretik; paracetakol yang diberikan


untuk waktu siang, asam acetil salisilik, ibuprofen;
kadang-kadang diberikan morfin dan petidin; kebanyakan obat
batuk dan masuk angin, antibiotik; ampisilin, kloxasilin dan penisilin,
erythromisin lain, obat anti TB, anti lepra, anti malaria (kecuali
meflokuin), antihelmint, anti jamur, bronchodilator (eg. Salbutamol),
corticosteroids, antihistamin, antasid, obat untuk diabetes,
kebanyakan oabat anti-hipertensi, digoksin, suplemen gizi; yodium,
zat besi dan vitamin-vitamin.

Dikirim oleh : (RSIA permata hati)

Anda mungkin juga menyukai