Anda di halaman 1dari 11

Pemberian Obat Pada Ibu Hamil Dan

Menyusui
07/05/2019 RSUDZA

TIDAK dipungkiri bahwa selama kehamilan dan menyusui, seorang ibu dapat mengalami
berbagai keluhan atau gangguan kesehatan yang membutuhkan obat. Pemahaman mengenai
keamanan penggunaan obat pada ibu hamil dan menyusui belum dimengerti dengan baik di
masyarakat, dalam kalangan tenaga kesehatan sendiri pun sih belum dapat memaksimalkan
pemahaman penggunaan obat bagi ibu hamil dan menyusui. Secara umum patokan pada
penggunaan dan penggolongan keamanan obat pada ibu hamil dan menyusui masih mengarah
pada panduan FDA (Food and Drug Administration) Amerika Serikat.

Masa kehamilan
Banyak ibu hamil menggunakan obat dan suplemen pada periode organogenesis sedang
berlangsung sehingga resiko terjadi cacat janin lebih besar, di sisi lain.Mengingat beberapa
jenis obat dapat melintasi plasenta, maka penggunaan obat pada wanita hamil perlu hati-hati.
Selama trisemester pertama, obat dapat menyebabkan cacat lahir (teratogenesis), dan resiko
terbesar adalah kehamilan 3-8 minggu. Selama trisemester kedua dan ketiga, obat dapat
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan secara fungsional pada janin atau dapat
meracuni plasenta.

Berikut kategori tingkat keamanan penggunaan obat pada ibu hamil dari FDA (Food
Drug Administration) :

 Kategori A
Aman untuk janin seperti vitamin C asam folat, vit B6, parasetamol, zinc, dan
sebagainya.
 Kategori B
Cukup aman untuk janin seperti amoksisilin, ampisilin, azitromisin, bisakodil,
cefadroksil, cefepim, cefixim, cefotaxim, ceftriaxon, cetirizin, klopidogrel,
eritromisin, ibuprofen, insulinlansoprazol, loratadin, me penem, metformin,
metildopa, metronidazol, dan sebagainya.
 Kategori C
Dapat beresiko, digunakan jika perlu. Obat dianjurkan hanya jika manfaat yang
diperoleh oleh ibu atau janin melebihi resiko yang mungkin tim bul pada janin.
Contohnya albendazol, allopurinol, aspirin, amitriptilin, kalsitriol, kalsium laktat,
kloramfe nikol, ciprofloksasin, klonidin, kotrimoksazol, codein + parasetamo
dektrometorfan, digoksin, enalapril, efedrin, flukonazol dan sebagainya.
 Kategori D
Ada bukti positif dari resiko, digunakan jika darurat. Pengunaan obat diperlukan
untuk mengatasi situasi yang mengancam jiwa atau penyakit serius dimana obat yang
lebih aman tidak efektif atau tidak dapat diberikan. Contohnya alprazolam, amikasin,
amiodaron, carbamazepin, klordiaz epoksid, diazepam, kanamisin, fenitoin, asam
valproat, dan sebagainya.
 Kategori X
Kontraindikasi dan sangat berbahaya bagi janin, conhnya (amlodipi atorvastatin),
atorvastatin, (kafein + ergotamin), (desogestrel + etinil es tradiol), ergometrin,
estradol, miso prostol, oksitosin, simvastatin, warfarin.

Efikasi, kemanjuran (benefit) vs resiko (risk) adalah pertimbangan utama menggunakan obat
khususnya untuk A dan B, untuk obat yang masuk kategori C dan D dianjurkan untuk benar-
benar melalui pertimbangan dokter dengan mempertimbangkan manfaat, keselamatan jiwa
yang lebih besar dibandingkan resikonya, untuk obat kategori X tidak boleh digunakan pada
masa kehamilan.

Selama kehamilan terjadi perubahan-perubahan fisiologi yang mempengaruhi


farmakokinetika obat. Perubahan fisiologi tersebut misalnya perubahan volume cairan tubuh
yang dapat menyebabkan penurunan kadar puncak obat-obat di serum, terutama obat-obat
yang terdistribusi di air dan obat dengan volume distribusi yang rendah.

Peningkatan cairan tubuh juga menyebabkan pengenceran albumin serum (hipoalbuminemia)


yang menyebabkan penurunan ikatan obat-albumin sehing ga obat bebas banyak terakumulasi
dalam darah dan berpotensi meningkatkan efek yang merugikan. Tetapi hal ini tidak
bermakna secara klinis kara bertambahnya kadar obat dalam bentuk bebas juga akan
menyebabkan bertambahnya kecepatan metabolisme obat.

Berikut beberapa obat yang dapat digunakan pada masa kehamilan :

1. Pereda Nyeri dan Demam: Obat parasetamol termasuk obat yang aman mengatasi
nyeri atau demam, untuk sakit kepala, lain dengan mengkonsumsi parasetamol juga
bisa diatasi dengan kompres dingin dan beristirahat. Untuk demam, bisa dibantu
mengatasinya dengan kompres air hangat.
2. Batuk Pilek : Obat batuk pilek yang banyak dijual bebas biasanya berupa kombinasi
sebaiknya dihindari pada saat hamil.
Dekongestan adalah obat yang berfungsi mengatasi hidung tersumbat seperti
phenylephrine dan pseudoe fedrin. Pada saat hamil harus dihindari penggunaan
dekongestan oral (minum). Ibu hamil yang membutuhkan dekongestan sebaiknya
disarankan menggunakan semprot (spray). Obat dekongestan semprot lebih aman
karena mekanisme kerja secara lokal di area hidung, dosis rendah serta paparan obat
dengan tubuh lebih singkat, seperti penggunaan tetes hidung saline.
Obat batuk pada ibu hamil pili pertama adalah dektrometorphan (untuk mengatasi
batuk kering), un tuk batuk berdahak bisa menggunakan asetilsistein. Hindari sediaan
obat batuk yang mengandung alkohol. Selain obat, bisa mengkonsumsi air lemon,
maupun air madu.
3. Sembelit dan Diare: Bisa menggunakan obat laksatif atau metilselulosa.
Sementara untuk diare, bisa menggunakan obat loperamid. Untuk menggantikan
cairan elektrolit tubuh yang hilang bisa diganti dengan oralit. Sembelit juga bisa
diatasi dengan konsumsi makanan tinggi serat dan cukup cairan. Olahraga ringan,
seperti berenang atau jalan kaki, dapat membantu mengatasi sembelit karena dapat
meningkatkan sirkulasi yang dapat merangsang sistem pencernaan.
4. Alergi: Bagi ibu hamil yang mengalami alergi bisa menggunakan obat cetirizin yang
aman bagi ibu hamil.

Masa Menyusui
Banyak ibu yang sedang menyusui menggunakan obat-obatan yang dapat memberikan efek
yang tidak dikehendaki pada bayi yang disusui. Pada umumnya, hampir semua obat yang
diminum dapat terdeteksi dalam ASI, namun dengan konsentrasi yang umumnya rendah.
Konsentrsi obat dalam darah ibu merupakan faktor utama yang berperan dalam proses
transfer obat ke ASI. Pada umumnya, kadar puncak obat di ASI adalah sekitar 1-3 jam
sesudah ibu meminum obat. Hal ini mungkin dapat membantu mempertimbangkan untuk
tidak memberikan ASI pada kadar puncak. Bila ibu menyusui tetap harus meminum obat
yang potensial berbahaya terhadap bayinya maka untuk sementara ASI tidak diberikan. ASI
dapat diberikan kembali setelah dapat dikatakan tubuh bersih dari obat dan ini dapat
diperhitungkan setelah 5 kali waktu paruh obat.

Penggunaan obat yang tidak diperlukan harus dihindari, jika pengobatan memang diperlukan,
perbandingan manfaat/resiko harus dipertimbangkan pada ibu maupun bayinya. Pada
neonatus (khusus bayi yang lahir prematur) mempunyai resiko lebih besar terhadap paparan
obat melalui ASI.

Kategori penggunaan obat bagi ibu menyusui :

 L1: Paling aman, contohnya parasetamol, ibuprofen, loratadin


 L2: Aman, contohnya cetirizin, dimenhidrinat, guaiafenesin.
 L3: Cukup aman,contohnya pseudoefedrin, lorazepam, aspirin
 L4: Kemungkinan berbahaya, contohnya kloramfenikol, sibutramin
 L5: Kontraindikasi, contohnya amiodaron

Berikut Tips Bagi Ibu Hamil dalam penggunaan Obat !

 Ibu hamil harus cermat dan selektif dalam memilih obat.


 Berkonsultasilah dengan dokter maupun apoteker.
 Sebaiknya seminimal mungkin mengkonsumsi obat saat hamil, kecuali adanya
riwayat penyakit kronis yang mengharuskan minum obat dengan adanya
pertimbangan manfaat/resiko.
 Jika terpaksa membeli obat yang di jual bebas, pilihlah obat yang mencantumkan
keterangan aman untuk ibu hamil dan pastikan anda mendapatkan informasi mengenai
obat langsung kepada Apoteker.

Berikut Tips Bagi Ibu Menyusui dalam penggunaan Obat !

 Berkonsultasi lah dengan para dokter, jelaskan kondisi ibu yang sedang menyusui.
 Jika memang harus mengkonsumsi obat, mintalah dosis yang serendah mungkin dan
dikonsumsi dalam waktu yang sesingkat mungkin.
 Jika terpaksa membeli obat yang di jual bebas, pilihlah obat yang mencantumkan
keterangan aman untuk ibu hamil dan menyusui dan pastikan anda mendapatkan
informasi mengenai obat langsung kepada Apoteker.
 Aturlah waktu meminum obat, misalnya setelah menyusui, atau pada saat si kecil
tidur untuk waktu yang agak lama. Hal ini untuk memperkecil resiko masuknya
pengaruh obat dalam ASI yang dikonsumsi bayi.
 Perhatikan gejala-gejala yang tampak, apakah si kecil jadi rewel, timbul ruam atau
bercak merah/biru, sakit, kejang perut/kholik, atau ada peru bahan pada pola tidur dan
makannya. Bila muncul salah satu gejala ini segera beritahu dokter, termasuk jenis
obat yang anda konsumsi
Tabel 1.
Definisi dan strategi pengelolaan dari kategori Badan Pengawas Obat dan Makanan AS untuk
obat yang diminum selama kehamilan

KATEGORI DEFINISI STRATEGI MANAJEMEN


Karena penelitian tidak dapat
Penelitian yang memadai dan terkontrol
mengesampingkan kemungkinan
dengan baik pada wanita hamil gagal
A bahaya, (nama obat) sebaiknya
menunjukkan adanya risiko pada janin
digunakan selama kehamilan hanya
pada trimester pertama kehamilan.
jika diindikasikan dengan jelas.
Penelitian pada reproduksi hewan gagal
menunjukkan adanya risiko pada janin,
Karena penelitian pada manusia tidak
namun belum ada penelitian yang
dapat mengesampingkan
memadai dan terkontrol dengan baik
kemungkinan bahaya, (nama obat)
B pada wanita hamil. Atau penelitian pada
sebaiknya digunakan selama
hewan menunjukkan adanya risiko, dan
kehamilan hanya jika benar-benar
penelitian yang memadai dan terkontrol
diperlukan.
dengan baik pada wanita hamil belum
dilakukan selama trimester pertama.
Penelitian pada reproduksi hewan
menunjukkan efek buruk pada janin,
namun belum ada penelitian yang
memadai dan terkontrol dengan baik
pada manusia. Manfaat penggunaan obat
(Nama obat) sebaiknya diberikan pada
C pada wanita hamil mungkin dapat
ibu hamil hanya jika jelas diperlukan.
diterima meskipun terdapat potensi
risiko. Atau penelitian pada hewan
belum dilakukan dan tidak ada
penelitian yang memadai dan terkontrol
dengan baik pada manusia.
Terdapat bukti positif mengenai risiko
terhadap janin manusia berdasarkan data
reaksi merugikan dari pengalaman Jika obat ini digunakan selama
investigasi atau pemasaran atau kehamilan, atau jika pasien hamil saat
D penelitian terhadap manusia, namun mengonsumsi obat ini, pasien harus
potensi manfaat dari penggunaan obat diberi tahu tentang potensi bahayanya
pada wanita hamil mungkin dapat pada janin.
diterima meskipun terdapat potensi
risiko.
X Penelitian pada hewan atau manusia (Nama obat) dikontraindikasikan pada
telah menunjukkan kelainan pada janin wanita yang sedang atau mungkin
atau terdapat bukti positif adanya risiko hamil. Jika obat ini digunakan selama
pada janin berdasarkan laporan reaksi kehamilan, atau jika pasien hamil saat
merugikan dari pengalaman investigasi mengonsumsi obat ini, pasien harus
atau pemasaran, atau keduanya. Risiko diberi tahu tentang potensi bahayanya
penggunaan obat pada wanita hamil pada janin.
jelas lebih besar daripada manfaat yang
KATEGORI DEFINISI STRATEGI MANAJEMEN
mungkin didapat.
DAFATAR PUSTAKA

Law R, Bozzo P, Koren G, Einarson A. FDA pregnancy risk categories and the CPS: do they
help or are they a hindrance? Can Fam Physician. 2010 Mar;56(3):239-41. PMID: 20228306;
PMCID: PMC2837687.

Kategori Risiko Kehamilan FDA Sebelum 2015

Pada tahun 1979, FDA menetapkan lima kategori risiko huruf - A, B, C, D atau X - untuk
menunjukkan potensi suatu obat menyebabkan cacat lahir jika digunakan selama kehamilan.
Kategori tersebut ditentukan dengan menilai keandalan dokumentasi dan rasio risiko terhadap
manfaat. Kategori ini tidak memperhitungkan risiko apa pun dari bahan farmasi atau
metabolitnya dalam ASI. Pada label produk obat, informasi ini terdapat pada bagian
“Penggunaan pada Populasi Tertentu”.

Kategori kehamilan sebelumnya yang masih dapat ditemukan pada beberapa sisipan kemasan
adalah sebagai berikut:

Kategori A

Penelitian yang memadai dan terkontrol dengan baik gagal menunjukkan adanya risiko pada
janin pada trimester pertama kehamilan (dan tidak ada bukti adanya risiko pada trimester
selanjutnya).

Contoh obat atau zat: levothyroxine , asam folat , liothyronine

Kategori B

Penelitian pada reproduksi hewan gagal menunjukkan adanya risiko pada janin dan belum
ada penelitian yang memadai dan terkontrol dengan baik pada wanita hamil.

Contoh obat: metformin , hidroklorotiazid , siklobenzaprin , amoksisilin

Kategori C

Penelitian pada reproduksi hewan menunjukkan efek buruk pada janin dan belum ada
penelitian yang memadai dan terkontrol dengan baik pada manusia, namun potensi
manfaatnya mungkin memerlukan penggunaan obat pada wanita hamil meskipun terdapat
potensi risiko.

Contoh obat: gabapentin , amlodipine , trazodone

Kategori D

Terdapat bukti positif mengenai risiko terhadap janin manusia berdasarkan data reaksi
merugikan dari pengalaman investigasi atau pemasaran atau penelitian pada manusia, namun
potensi manfaatnya mungkin memerlukan penggunaan obat pada wanita hamil meskipun
terdapat potensi risiko.

Contoh obat: losartan

Kategori X

Penelitian pada hewan atau manusia telah menunjukkan kelainan pada janin dan/atau terdapat
bukti positif mengenai risiko pada janin manusia berdasarkan data reaksi merugikan dari
pengalaman penelitian atau pemasaran, dan risiko penggunaan obat pada wanita hamil jelas
lebih besar daripada potensi manfaatnya.

Contoh obat: atorvastatin , simvastatin , metotreksat , finasterida

A. Perubahan Fisiologi Kehamilan

Kehamilan berlangsung sekitar 280 hari (dihitung dari

hari pertama haid terakhir sampai persalinan). Berbagai

perubahan fisiologi yang terjadi selama kehamilan dapat

mempengaruhi absorpsi obat yang dikonsumsi. Peningkatan

volume plasma menyebabkan konsentrasi obat menurun,

sehingga merubah laju absorbsi obat. Beberapa obat dapat

menembus plasenta dan mengganggu perkembangan janin.

(Tan and Tan, 2013; Soma-Pillay, et al., 2016; Ummah, et al., 2018;

Schwinghammer, et al., 2021)

Risiko teratogenik obat pada kehamilan seringkali tidak

diketahui. Salah satu alasannya adalah wanita hamil sering

dikecualikan dalam uji klinis pre-marketing. Selain itu, hasil yang

diperoleh dari penelitian pada hewan tidak selalu memprediksi

efek teratogenik pada manusia. Namun demikian, penggunaan

obat tidak dapat dihindari selama kehamilan, misalnya


kehamilan dengan epilepsi, diabetes atau hipertensi berat.

Sejumlah besar obat diduga menginduksi cacat lahir melalui

berbagai mekanisme, antara lain antagonis folat, gangguan

pembuluh darah dan stres oksidatif. Dalam studi pemanfaatan

obat Belanda, 17,5% wanita menerima satu atau lebih obat resep

yang diduga teratogenik selama trimester pertama kehamilan.

(Gelder, et al., 2014; F.Greene, 2015; Anand, et al., 2023).


Informasi Peraturan tentang Keamanan Obat Selama Kehamilan

Hingga tahun 2010-an, Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) mengklasifikasikan
obat bebas (OTC) dan obat resep ke dalam 5 kategori keamanan untuk digunakan selama
kehamilan (A, B, C, D, X). Namun, hanya sedikit penelitian terkontrol mengenai obat
terapeutik yang dilakukan pada wanita hamil. Sebagian besar informasi tentang keamanan
obat selama kehamilan diperoleh dari penelitian pada hewan, penelitian tidak terkontrol, dan
pengawasan pasca pemasaran. Akibatnya, sistem klasifikasi FDA menyebabkan kebingungan
dan kesulitan menerapkan informasi yang tersedia untuk pengambilan keputusan klinis. Pada
bulan Desember 2014, FDA menanggapinya dengan mewajibkan kategori kehamilan A, B,
C, D, dan X dihapus dari label semua obat.

Alih-alih kategori, FDA sekarang mengharuskan label obat memberikan informasi tentang
obat tertentu dalam format yang konsisten (disebut aturan akhir, atau Aturan Akhir Pelabelan
Kehamilan dan Menyusui ( PLLR)).

Informasi yang diwajibkan oleh FDA memiliki 3 subbagian:

 Kehamilan: Informasi yang relevan dengan penggunaan obat pada wanita hamil
(misalnya, dosis, risiko terhadap janin) dan informasi tentang apakah terdapat
pencatatan yang mengumpulkan dan memelihara data tentang bagaimana wanita
hamil terpengaruh oleh obat tersebut.
 Laktasi: Informasi tentang penggunaan obat saat menyusui (misalnya jumlah obat
dalam ASI, potensi efek pada anak yang disusui)
 Wanita dan pria dengan potensi reproduksi: Informasi tentang tes kehamilan,
kontrasepsi, dan infertilitas yang berkaitan dengan obat

Subbagian kehamilan dan menyusui masing-masing mencakup 3 subpos (ringkasan risiko,


pertimbangan klinis, dan data) yang memberikan rincian lebih lanjut. Aturan terakhir tidak
berlaku untuk obat-obatan tanpa resep (yang dijual bebas).

Transfer Obat dan Metabolisme Selama Kehamilan

elama kehamilan, obat-obatan seringkali diperlukan untuk mengatasi gangguan tertentu.


Secara umum, ketika manfaat potensial lebih besar daripada risiko yang diketahui,
pengobatan dapat dipertimbangkan untuk pengobatan gangguan selama kehamilan.

Tidak semua obat atau zat lain dalam sirkulasi ibu melewati plasenta (dipindahkan) ke janin.
Beberapa obat yang melewati plasenta mungkin mempunyai efek toksik langsung atau efek
teratogenik. Obat-obatan yang tidak melewati plasenta masih dapat membahayakan janin

 Menyempitkan pembuluh darah plasenta sehingga mengganggu pertukaran gas dan


nutrisi
 Menghasilkan hipertonia uterus parah yang menyebabkan cedera anoksik
 Mengubah fisiologi ibu (misalnya menyebabkan hipotensi)
Untuk daftar beberapa obat dengan efek buruk selama kehamilan, lihat tabel Keamanan Obat
Pilihan pada Kehamilan .

Obat berdifusi melintasi plasenta dengan cara yang sama seperti obat melintasi penghalang
epitel lainnya (lihat Penyerapan ). Cepat atau tidaknya suatu obat melewati plasenta
bergantung pada berat molekul obat, tingkat pengikatannya dengan zat lain (misalnya protein
pembawa), area yang tersedia untuk pertukaran melintasi vili plasenta, dan jumlah obat yang
dimetabolisme oleh plasenta. Kebanyakan obat dengan berat molekul < 500 dalton mudah
melewati plasenta dan memasuki sirkulasi janin. Zat dengan berat molekul tinggi (misalnya
obat yang terikat protein) biasanya tidak melewati plasenta. Satu pengecualian adalah
imunoglobulin G, yang dapat digunakan untuk mengobati kelainan seperti trombositopenia
aloimun janin atau hemachromatosis janin. Umumnya, keseimbangan antara darah ibu dan
jaringan janin memerlukan waktu setidaknya 30 hingga 60 menit; namun, beberapa obat tidak
mencapai konsentrasi yang sama dalam sirkulasi ibu dan janin.

Efek suatu obat pada janin sangat ditentukan oleh usia janin saat terpapar, permeabilitas
plasenta, faktor ibu, potensi obat, dan dosis obat.

Usia janin mempengaruhi jenis efek obat:

 Sebelum hari ke-20 setelah pembuahan: Obat-obatan yang diberikan pada saat ini
biasanya mempunyai efek semua atau tidak sama sekali, membunuh embrio atau tidak
mempengaruhi sama sekali. Teratogenesis tidak mungkin terjadi pada tahap ini.
 Selama organogenesis (antara 20 dan 56 hari setelah pembuahan): Teratogenesis
kemungkinan besar terjadi pada tahap ini. Obat-obatan yang mencapai embrio pada
tahap ini dapat mengakibatkan aborsi spontan , cacat anatomis yang tidak mematikan
(efek teratogenik sebenarnya), embriopati terselubung (cacat metabolik atau
fungsional permanen yang mungkin terjadi di kemudian hari), atau peningkatan risiko
kanker pada masa kanak-kanak ( misalnya, ketika ibu diberikan yodium radioaktif
untuk mengobati kanker tiroid); atau obat-obatan tersebut mungkin tidak memiliki
efek yang dapat diukur.
 Setelah organogenesis (pada trimester kedua dan ketiga): Teratogenesis tidak
mungkin terjadi, namun obat-obatan dapat mengubah pertumbuhan dan fungsi organ
dan jaringan janin yang terbentuk secara normal. Ketika metabolisme plasenta
meningkat, dosis harus lebih tinggi agar efek buruk pada janin dapat terjadi.

Faktor ibu meliputi faktor yang mempengaruhi penyerapan , distribusi , metabolisme , dan
ekskresi obat . Misalnya, mual dan muntah dapat menurunkan penyerapan obat oral.

Tingkat keseluruhan cacat lahir struktural utama di Amerika Serikat adalah sekitar 3% ( 1 );
sebagian besar malformasi disebabkan oleh penyebab genetik, lingkungan, multifaktorial,
atau tidak diketahui. Sulit untuk menentukan tingkat keseluruhan kelainan kongenital yang
disebabkan oleh obat-obatan terapeutik. Sebagai contoh, dalam sebuah penelitian terhadap
5504 kasus cacat lahir, hanya 20% yang memiliki penyebab pasti dan <1% kasus yang
diketahui penyebabnya disebabkan oleh obat-obatan ( 2 ).

Vaksinasi Selama Kehamilan

IMUNISASI sama efektifnya pada wanita hamil dan pada wanita yang tidak hamil.
Vaksin influenza dianjurkan untuk semua wanita hamil selama musim influenza.

Vaksin tetanus-difteri-pertusis (Tdap) direkomendasikan untuk semua ibu hamil selama


trimester ketiga.

CDC merekomendasikan vaksinasi COVID-19 untuk semua orang berusia 5 tahun ke atas,
termasuk orang yang sedang hamil, menyusui, mencoba untuk hamil, atau mungkin akan
hamil di kemudian hari. Bukti tentang keamanan dan efektivitas vaksinasi COVID-19 selama
kehamilan semakin banyak. Data ini menunjukkan bahwa manfaat menerima vaksin COVID-
19 lebih besar daripada risiko yang diketahui atau potensi risiko dari vaksinasi selama
kehamilan. (Lihat juga CDC: Vaksinasi COVID-19 Saat Hamil atau Menyusui .)

Pada bulan Agustus 2023, Badan Pengawas Obat dan Makanan AS menyetujui penggunaan
vaksin virus pernapasan syncytial (RSV) pada wanita hamil dengan usia kehamilan antara 32
hingga 36 minggu, dengan peringatan untuk menghindari penggunaan sebelum usia
kehamilan 32 minggu. Uji klinis telah menemukan peningkatan angka kelahiran prematur,
preeklampsia pada pasien hamil, dan berat badan lahir rendah serta penyakit kuning pada
bayi setelah pemberian vaksin RSV sebelum melahirkan dibandingkan dengan plasebo; studi
lebih lanjut diperlukan untuk mengevaluasi potensi risiko ini ( 3 ).

Vaksin-vaksin lain harus disediakan untuk situasi di mana wanita atau janin mempunyai
risiko tinggi terkena infeksi berbahaya dan risiko efek samping vaksin rendah. Vaksinasi
terhadap kolera , hepatitis A , hepatitis B , campak, gondok , wabah penyakit, poliomielitis ,
rabies , tipus , dan demam kuning dapat diberikan selama kehamilan jika risiko infeksinya
besar.

Vaksin virus hidup tidak boleh diberikan kepada wanita yang sedang atau mungkin sedang
hamil. Vaksin rubella , vaksin virus hidup yang dilemahkan, dapat menyebabkan infeksi
subklinis pada plasenta dan janin. Namun, tidak ada cacat pada neonatus yang disebabkan
oleh vaksin rubella, dan perempuan yang divaksinasi secara tidak sengaja pada awal
kehamilan tidak perlu disarankan untuk mengakhiri kehamilan hanya berdasarkan risiko
teoritis dari vaksin tersebut. Vaksin varicella adalah vaksin virus hidup yang dilemahkan dan
berpotensi menginfeksi janin; risiko tertinggi antara usia kehamilan 13 minggu dan 22
minggu. Vaksin ini dikontraindikasikan selama kehamilan.

Antivirus Selama Kehamilan

Beberapa obat antivirus (misalnya zidovudine dan ritonavir untuk infeksi HIV) telah aman
digunakan selama kehamilan selama bertahun-tahun. Namun, beberapa obat antivirus
mungkin memiliki risiko yang signifikan bagi janin.

Kehamilan dikaitkan dengan peningkatan risiko COVID-19 yang parah . Untuk pasien hamil
dengan COVID-19 tahap awal ringan hingga sedang, Institut Kesehatan Nasional Amerika
Serikat (NIH) merekomendasikan penggunaan nirmatrelvir- ritonavir ( 4 ) atau remdesivir ( 5
), jika ada indikasi. American College of Obstetricians and Gynecologists menyarankan agar
penggunaan nirmatrelvirritonavir dapat dipertimbangkan, terutama untuk pasien dengan
setidaknya satu faktor risiko tambahan untuk penyakit parah. Untuk pasien hamil yang
dirawat di rumah sakit karena COVID-19, NIH merekomendasikan penggunaan baricitinib
atau tocilizumab , jika diindikasikan.
Antivirus untuk influenza harus dimulai sesegera mungkin, tanpa menunggu hasil tes untuk
memastikan diagnosis, karena pengobatan dalam waktu 48 jam setelah timbulnya penyakit
adalah yang paling efektif. Namun, pengobatan kapan saja selama infeksi dapat mengurangi
risiko komplikasi parah. Studi klinis terkontrol mengenai zanamivir dan oseltamivir belum
dilakukan pada wanita hamil; namun, banyak penelitian observasional menunjukkan bahwa
penggunaannya selama kehamilan tidak meningkatkan risiko efek samping. Terdapat lebih
sedikit data mengenai keamanan peramivir selama kehamilan dan tidak ada data tentang
baloxavir pada wanita hamil. Tenaga kesehatan profesional harus memberi tahu wanita hamil
apa saja gejala dan tanda influenza dan menyarankan mereka untuk mencari pengobatan
segera setelah gejala mulai muncul.

Asiklovir (oral dan topikal) tampaknya aman selama kehamilan.

Antidepresan Selama Kehamilan

Antidepresan , khususnya inhibitor reuptake serotonin selektif (SSRI), biasanya digunakan


selama kehamilan karena prevalensi depresi klinis selama kehamilan tinggi (7 hingga 12%
dalam satu ulasan) ( 6 ). Perubahan fisiologis dan psikososial selama kehamilan dapat
memengaruhi depresi (mungkin memperburuk depresi) dan mungkin mengurangi respons
terhadap antidepresan. Idealnya, tim multidisiplin yang mencakup dokter kandungan dan
spesialis psikiatri harus menangani depresi selama kehamilan.

Wanita hamil yang memakai antidepresan harus ditanyai tentang gejala depresi pada setiap
kunjungan prenatal, dan tes janin yang sesuai harus dilakukan. Ini mungkin termasuk yang
berikut:

 Evaluasi rinci anatomi janin selama trimester kedua


 Jika seorang wanita hamil mengonsumsi paroxetine , ekokardiografi untuk
mengevaluasi jantung janin karena dalam beberapa penelitian, paroxetine tampaknya
meningkatkan risiko kelainan jantung bawaan.

Untuk mengurangi risiko gejala putus obat pada neonatus, dokter harus mempertimbangkan
pengurangan dosis semua antidepresan ke dosis efektif terendah selama trimester ketiga.
Namun, manfaat pengurangan dosis harus diimbangi dengan risiko kambuhnya gejala dan
depresi pascapersalinan. Depresi pascapersalinan sering kali tidak disadari dan harus segera
ditangani. Kunjungan berkala dengan psikiater dan/atau pekerja sosial mungkin bisa
membantu.

Anda mungkin juga menyukai