Anda di halaman 1dari 19

DEWAN HISBAH

KEDUDUKAN URBUN (UANG MUKA) BILA BATAL JAUL BELI

Dihimpun dan Disampaikan

Oleh

M. Abdurrahman

Pada Sidang Dewan Hisbah Kamis 29 Rabiul Awal H/ 29 Desember 2016-


12-24

Gedung Qornul Manazil

Bojong Soang Kabupaten Bandung

KABUPATEN BANDUNG

1437 H/2016 M
DEWAN HISBAH

KEDUDUKAN URBUN (UANG MUKA) BILA BATAL JAUL BELI

Dihimpun dan Disampaikan

Oleh M. Abdurrahman

A. Mukadimah
Pardagangan atau tijarah, Buyu merupakan kegiatan yang
tidak pernah terpisahkan dalam kehidupan manusia, sejak
peradaban manusia muncul yang zaman Rasul saw dan beliau
pun pernah sebagai salah seorang pedagang dengan adanya
pepergian dari Mekkah ke Sam atau ke Yaman, sebelum
kenabian, lebih-lebih Sayyidah Khadijah yang kemudian menjadi
istrinya adalah seorang pedagang besar. Demikian pula para
sahabatnya banyak juga yang menjadi pedagang, baik ketika
mereka berada di Mekah maupun Madinah, malahan diteruskan
oleh para saahabat, tabiin, tabiit tabiin sambil mendakwahkan
Islam ke seluruh penjuru dunia. Dalam konteks masyarakat
Mekkah Allah menurunkan surat al-Quraisy/ 106: 1-4. Namun,
dalam muamalah dan perdagangan atau bukan ada yang
disebut dain atau utang karena yang bersangkutan tidak dapat
membayar saat itu, sehingga tidak bisa tidak kecuali dengan
cara utang (dain). Rasul saw diriwayatkan pernah berutang pada
pedagang dengan menggadaikan baji besinya sebagai rahianun
maqbudhah (jaminan).

Adalah tidak heran bila dalam ayat-ayat Alquran dan hadis


banyak membicarakan hukum-hukum yang berkaitan dengan
perdagangan, dan para fuqaha banyak mencoba mengklasifikasi
dalam kitab hadis dan kitab fikih ada yang disebut Bab al-Buyu,
tijarah, dan dain. Adanya ayat-ayat Alquran dan hadis yang
berkaitan dengan perdagangan bukan hanya rincian
perdagangan yang boleh dan tidak boleh, tetapi halal pada zat
dan sifatnya. Menyangkut proses, perdagangan, seperti salam,
taqshith dain, urbun (uang muka saat ini), dan lain-lain yang
adakalanya menimbulkan ribawi yang amat dilarang Alquran dan
hadis sezak jaman Zaman Rasul Saw karena prilaku orang
jahiliyah saat ini yang ingin untung dengan enteng. Kaum
Muslimin dilarang terperosok pada riba atau rente sedikitpun.

Oleh karena itu, Alquran sudah mengisyaratkan adanya


tijarah, dain, tardhin di dalamnya. Untuk menyingkat bahasan,
maqalah fokus urbun atau pembatalan jual berli yang sudah
diberikan uang uang panjar atau urbun.

A. Prisnip-prisnip Tijarah, Bai, Dain dalam Islam

Berbicara prinsip tentu akan mengacu pada Alquran dan


hadis itu sendiri yang meliputi poin berikut:
1. Menghindari riba sebagaimana disebut dalam Alquran/2: 275-280
2. Utang piutang boleh dengan persyaratan tertentu al-
Baqaarah/2:282
3. Harus ada rihabnun maqbudhah, seperti Albaqarah/2: 283.
4. Adanya an taradhin, suart an-Nisa/4: 29
5. Halal dan tidak diharamkan dzat dan sifat al-Baqaragh/2: 168, 172-
173
6. Tidak adanya unsur ghasy: : Man ghassya falaisa minna.
7. Menunaikan janji dan tolong menolong
Dalam konteks jual beli dan bahkan utang piutang bukan hanya
sekedar untung yang dikejarnya tetapi juga tolong menolong/5: 2
8. Utang dibayar, ada catatannya, bila ada tempo bila belum terbayar
al-Baqarah 2/280-283
Ada yang menarik dalam utang piutang ini bahwa Rasul Saw
tidak mau mensalati jenazah orang berutang bila tidak ada yang
bertanggung jawab membayarnya. Maka baik juga sebelum
atau sesudah jenazah disalati diumumkan bila jenazah ada
terkait utang dengan masyarakat agar menghubungi
keluarganya. Intinya adalah berutangh itu boleh, tetapi
cacatannya harus jelas. Di samping pada dunia saat ini berutang
akan banyak sekali modelnya, bukan hanya perorangan, tetapi pada
lembaga, bahkan tidak lepas dari Utang, seperti Indonesia sekitar
346 M USD dan akan mencapai 550 milyar dolar.
Saat ini pun model utang piutang yangh disebut taqshith
atau cicilan, kredit dengan berbagai tingkatannya. Mungkin utang
disebabkan oleh lifestyle, seperti keperluan untuk memenuhi gaya
hidup modern, di samping untuk keperluan, seperti cicilan mobil,
rumah, komputer, HP dan lain-lain. Dahulu dari Tasikmalaya
terkenal tukang kreditnya sampai ke Sulawesi, Kalimantan, Ambon,
Papua, dll. Dalam paper ini akan difokuskan pada urbun (Uang muka
dalam Jual beli)

B. URBUN

Saat ini banyak pemodal, baik besar maupun kecil amat ramai
melakukan transaksi dengan model utang piutang dengan nasabah
dalam penjualan barang dengan cara adanya uang muka
tertentu sampai waktu tertentu. Namun, sering terjadi jual beli tidak
diselesaikan karena orang tadi gagal bayar, sehingga uang muka,
biasa disebut panjer, urbun menjadi maslah. Jika jual beli tidak
lanjut apakah uang muka dikembalikan pada pemesan atau hangus
dan dimiliki oleh penjual karena jual beli tidak terjadi. Apakah ini
juga menjadi ribawi bila pemesan barang dipaksa untuk tidak
mengambilnya uangnya kembali. Bagimana kesepakan semula
antara dain dan madin

1. Pengertian urbun (uang muka)

Banyak sekali pengartian urbun yang disamapaikan ulama,


baik secara lughawi maupun isthilahi yang lebih dari 10 ulama,
tetapi dalam tulisan ini hanya diambil dari beberpa ulama dan dari
suatu ensiklopedi, sebagai berikut:

a. Menurut Hisham ad-Din al-Turfawi, urbun adalah:


: :



: : : .

:
" : .



".




1

Pertama, secara etimologis, Ibnu Mandzur berkata: arroba, wa arbana,
wa huwa urban, wa urbun, wa arbun dikatakan, bahwasannya dinamai
demikian karena sebagai uang panjar dalam akad jual beli, yaitu
perbaikan dan penghilangan kerusakan supaya tidak dimiliki oleh pembel
selainnya.
Kedua secara terminologi, memiliki dua makna, yaitu: 1). seseorang
membeli barang dagangan dan menyerahkan sebagain uang kepada
penjual, apabila ia jadi melakukan jual beli ia akan menyempurnakan
pembayaran, apabila tidak jadi melakukan jual beli maka ia (penjual)
mengembalikan apa yang ia terima. 2). Seseorang membeli barang
dagangan dan menyerahkan sejumlah uang kepada penjual, apabila
pembeli melangsungkan transaksi jual beli maka pembeli akan membayar
penuh, dan apabila pembeli tidak jadi melangsungkan jual beli, maka
uang muka tersebut menjadi milik penjual dan pembeli tidak meminta
uang mukanya kembali.
b. Menurut Dr. Wahbab al-Zuhaili, urbun adalah:

.



:





: .









2

Terdapat enam bentuk bacaan dalam cara pengucapan kata


al-urbun. Tiga diantaranya yang paling fashih, yaitu urbun,
arabun, dan urban. Kata urbun (uang muka) pada dasarnya adalah
bahasa non-Arab yang sudah mengalami Arabisasi. Adapun arti
dasar kata urbun dalam bahasa Arab adalam meminjamkan dan
memajukan. Adapaun yang dimaksud jual beli urbun adalah
seseorang membeli sebuah barang kemudian ia membayar satu
dirham atau sebagian kecil dari harga barang kepada penjual,
dengan syarat apabila transaksi jual beli dilanjutkan maka satu
1Abu Hisan ad-Din al-Turfawi, Bai al-Urbun fi Dhoi al-Syariah al-Islamiyah, (tp,
tt), hlm. 2.

2 Ibid., hlm. 119.


dirham yang telah dibayarkan itu akan terhitung sebagai bagian dari
harga barang, akan tetapi apabila transaksi jual beli tidak jadi, maka
satu dirham yang telah dibayarkan akan menjadi pemberian (hibah)
bagi penjual.
c. Menurut Mausuah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah urbun
adalah:

.



.


.


:
. : .





3

Al-arabun dengan menggunakan dua fathah seperti halazun, wa al-
urbun wizan ushfur, lughotun fih. Al-urban dengan dhommah
lughatun tsalits dengan wazan (timbangan) qurban. Adapun dengan
menggunakan fathah dan sukun adalah lahnun (tidak tepat
membacanya) tidak ada perbincangan di dalamnya menurut orang-
orang Arab. Itu adalah muarrab. Para ahli memberikan tafsir secara
bahasa adalah apa-apa yang diakadkan dalam jual beli.
Menurut istilah fiqih adalah seorang pembeli membeli sesuatu, dan
menyerahkan kepada penjual satu dirham atau lebih, apabila ia
mengambil barang dagangan tersebut dari penjual, maka ia
(pembeli) akan menyempurnakan pembayarannya, dan apabila
pembeli tidak jadi mengambil (barang dagangan) tersebut maka
uang yang telah diberikan pembeli kepada penjual akan menjadi
milik penjual
d. Menurut Fadhilah Syaikh al-Utsaimin urbun adalah:



























4

Mendahulukan pembayaran ketika terjadi proses transaksi jual beli


atau sewa menyewa dan uang yang dibayarkan adalah sebagai
uang muka, apabila transaksi jadi dilakukan maka uang muka
tersebut menjadi bagian dari uang transaksi atau uang sewa, dan
apabila transaksi tidak jadi dilanjutkan maka uang muka tersebut
menjadi milik pemilik pekarangan (dalam transaksi sewa menyewa)
atau milik penjual (dalam transaksi jual beli).
e. Menurut Ibnu Atsir urbun adalah:















5

Seseorang membeli barang dagangan dan menyerahkan sejumlah


uang kepada penjual, apabila pembeli melangsungkan transaksi jual

3 Departemen Wakaf dan Persoalan Keiskalam Kuwait, Muasuah al-Fiqhiyyah al-


Kuwaitiyyah, (Kuwait: Dar Salasil, 1427 H), juz. IX, hlm. 93.

4Muhammad ibn Sholih al-Utsaimin, Fatawa Nur ala Dirob, (Muasasah Syaikh
Muhammad ibn Sholih al-Utsaimin Rohimahullah, 2006), juz. II, hlm. 242.
beli maka pembeli akan membayar penuh, dan apabila pembeli
tidak jadi melangsungkan jual beli, maka uang muka tersebut
menjadi milik penjual dan pembeli tidak meminta uang mukanya
kembali.

C. Berbagai Pendapat Kedudukan Hukum Urbun


1. Pendapat Para Fuqaha Klasik tentang bai al-urbun
Para ahli fiqh berbeda pendapat menyangkut hukum jual beli urbun.
Mayoritas ahli fiqh mengatakan bahwa jual beli urbun adalah jual beli
yang dilarang dan tidak sah. Akan tetapi, menurut Hanafi jual beli
urbun hukumnya hanya fasid. Sedangkan menurut selain madzhab
Hanafi mengatakan bahwa jual beli ini adalah jual beli yang batal.
Imam Ahmad berpendapat bahwasannya jual beli ini boleh saja
dilakukan, dan bukan termasuk jual beli yang batal.
Adapun uraian dan argumentasi yang digunakan adalah sebagai
berikut:
a. Pendapat yang melarang jual beli urbun












Yang berpendapat bahwasannya jual beli urbun adalah haram
adalah mayoritas ahli ilmu, yaitu Imam Malik, Syafii, Abu Hanifah dan
para Sahabatnya. Menurut madzhab Maliki bahwasannya jual beli
urbun termasuk kategori jual beli yang batil. Mereka berargumentasi
dengan hadits yang melarang jual beli urbun. Adapun redaksi hadits
tersebut adalah sebagai berikut:










6











7






:










:

5 Abu Saadat al-Mubarok ibn Muhammad al-Jaziri, al-Nihayah Fi Gharib wa al-
Atsar, (Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyyah, 1979), juz. III, hlm. 431.

6 Abi Abdullah Muhammad ibn Yazid al-Raba al-Qazwani, Sunan Ibn Majah,
(Beirut: Dar Fikr, 2008), juz. I, hlm. 690.

7 Abu Umar Yusuf ibn Abdullah ibn Abd al-Bir al-Namri al-Qurthubi, al-Istidzkar,
(Beirut: Dar Kutub al-Imiyah, 2000), juz. VI, hlm. 263.













.


.

.

:
:
.




.

8
Hal yang senada juga dikemukakan oleh Ibnu Arabi dan Abu
Hayyan ketika menafsirkan surat An-Nisa ayat 29. Adapun redaksinya
adalah sebagai berikut:
{ :
} :
:


:



.


: .

: 9
.



:
10




8 Abdullah Muhammad ibn Ahmad Al-Anshori al-Qurthubi, al-Jami Li Ahkam al-
Quran, (Kairo: Dar al-Hadits, 2007), juz III, hlm. 136.

9 Abu Hayyan Muhammad ibn Yusuf ibn Ali ibn Hayyan al-Nahwi al-Andalusi,
Bahr al-Muhith, (tp, tt), juz. IV, hlm. 117.

10
:
. . .
). Menurut Manna Al-Qthan nama (
lengkap Ibn Arabi adalah Abu Bakar Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin
Abdullah bin Ahmd Al-Maarrifi Al-Andalusi Al-Isybili adalah salah satu ulama Andalusia
yang amat luas ilmunya. Dia menganut madzhab Maliki. Kitabnya yang berjudul
)Ahkam al-Quran merupakan rujukan utama bagi tafsir bercorak hukum (fiqh
kalangan madzhab Maliki. Lihat, Manna al-Qathan, Mabahits fi Ulum al-Quran,
(Mansyurat al-Ash al-Hadits, 1990), hlm. 379.



{. }

: (

)


: :
:





11
.

Di dalam kitab Fatawa al-Fasadi, disebutkan macam-macam jual beli
fasid, yaitu bai al-urban atau dapat pula dikatakan al-irban. Yang
dimaksud dengan jual beli urbun adalah seseorang membeli barang
dagangan, kemudia ia (pembeli) menyerahkan kepada pihak penjual
satu dirham, bahwasannya apabila pembeli mengambil barang
dagangan tersebut maka satu dirham tadi termasuk bagian dari bagian
harga pembayaran, dan apabila (pembeli) tidak mengambil barang
dagangan tersebut maka kembalikanlah satu dirham tadi.
3). Madzhab Syafii

: )



:



















:


:
:





: :
:





12
Madzhab Asy-Syafii pun berpendapat bahwasannya jual beli urbun
adalah bentuk transaksi yang makruh. Pendapat ini dikemukakan oleh
Syamsu al-Din Muhammad ibn Ahmad al-Minhaji al-Suyuthi dan Abu
Hasan Ahmad ibn Muhammad ibn Ahmad ad-Dhobi yang maka
keduanya menganut madzhab Asy-Syafii. adapun redaksinya adalah
sebagai berikut:
:
:





11 Abu Hasan Ali ibn Husein ibn Muhammad al-Saadi, Fatawa al-Saadi, (Beirut:
Muasasah al-Risalah, 1984), juz. I, hlm. 473.

12 Abu Zakariya Muhyi al-Din Yahya ibn Syarif an-Nawawi, al-Majmu Syarah al-
Muhadzhab, (tp, tt), juz. 9, hlm.














13
.

Adapun yang termasuk ke dalam jenis jual beli yang makruh ada 9
(Sembilan) macam, yaitu: bai talaqqi rukban14, bai al-Najasy15,
membeli barang yang sedang dalam penawaran orang lain, bai al-
musharraah16, jual beli anggur untuk dijadikan khamer, jual beli senjata
yang dipergunakan untuk membunuh orang muslim secara dzolim, jual
beli paku yang dipergunakan untuk berburu di tanah haram, bai tadlis
(jual beli yang mengandung penipuan), dan jual beli urbun (jual beli
dengan menggunakan uang muka/panjar).


:








.

17

Adapun yang termasuk ke dalam jual beli yang makruh ada 9


(Sembilan) yaitu; bai talaqqi rukban, ba Najsy, membeli barang yang
sedang dalam penawaran orang lain, bai musharraah, jual beli

13 Syamsu al-Din Muhammad ibn Ahmad al-Minhaji al-Suyuthi, Jawahir al-Uqud


wa Muin al-Qudat wa al-Muwaqiin wa al-Syuhud, (tp, tt), juz. I, hlm. 49.

14 Bai talaqqi rukban adalah transaksi jual beli dimana supplier menjemput
produsen yang sedang dalam perjalanan menuju pasar, transaksi ini tidak
diperbolehkan dengan alasan supplier memanfaatkan ketidak tahuan produsen
untuk mendapatkan suatu keuntungan. Secara asal jual beli ini sah, dengan
catatan, produsen memiliki hak khiyar dari penipuan harga.

15 Bai Najys adalah rekayasa jual beli dengan menciptakan permintaan palsu (false
demand). Penjual melakukan kolusi dengan pihak lain untuk melakukan penawaran,
dengan harapan, pembeli akan membeli dengan hargta yang tinggi. Bai najsy
merupakan rekayasa untuk menaikan harga dengan menciptakan permintaan palsu.
Menurut Malikiyah dan Hanabilah, jual beli ini sah dengan adanya hak khiyar (jika
penipuan yang dilakukan melebihi kewajaran, maka jual beli batal). Menurut
Hanafiyah dan Syafiiyah, jual beli ini sah, tetapi terdapat dosa di dalamnya (makruh
tahrim), jika memang harga yang disepakati melebihi dari nilai barang sebenarnya.

16 Bai al-musharraah yaitu binatang ternak yang air susunya sengaja dibiarkan (tidak
diperah) selama beberapa hari agar air susunya mengumpul dalam putingnya. Pembeli
akan mengira binatang tersebut banyak air susunya, sehingga dim au membelinya. Jual
beli adalah haram tetapi sah, karena dilarang dalam hadits Abu Hurairah yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan Musilm,
Janganlah kamu mengikat (air susu) unta dan kambing. Lihat Zuhali, op.cit.,
hlm. 195.

17 Abu Hasan Ahmad ibn Muhammad ibn Ahmad al-Dhobi, al-Lubab fi fiqh Asy-
Syafii, (Madinah Munawarah: Dar al-Bukhari, Mamlukah al-Arabiyah As-
Suudiyah, 1416H), juz. I, hlm. 204.
anggung yang dipergunakan untuk membunuh orang muslim secara
zolim, jual beli kayu yang dipergunakan untuk alat musik, jual beli
urbun (uang muka), dan bai tadlis (penipuan).
4). Ulama lain yang mengharamkan jual beli urbun
Selain berargumentasi dengan hadits yang melarang jual beli
urbun, para ulama yang mengharamkan jual beli tersebut
berargumentasi dengan hadits lain yang diriwayatkan oleh Ismail al-
Bushiri yang bersumber dari Ibn Umar bahwasannya Rasulullah SAW
melarang menjual hutang dengan hutang, adapun redaksi hadits
tersebut adalah sebagai berikut:
















: 18

.
Pendapat tersebut dikemukakan oleh Doktor Jawad Ali di dalam
kitabnya al- Mafashil fi Tarikh al-Arab qabla al-Islam, yang berpendapat
bahwasannya transaksi urbun adalah transaksi yang dilarang oleh
Nabi SAW yang berargumen dengan kedua hadits tersebut.19



:








.
:

20




Menurut Khatib al-Syarbini sebagaimana dikutip oleh Wahbab al-
Zuhaili, bahwasannya di samping terdapat larangan dari Rasulullah
mengenai jual beli urbun, spekulasi, gharar, dan memakan harta orang
lain secara batil tanpa adanya kompensasi. Juga, mengandung du
syarat yang fasid: Pertama, syarat hibah dan kedua, syarat akan
mengembalikan barang bila tidak suka, dan pembeli mensyaratkan
kepada penjual sesuatu tanpa adanya imbalan sehingga jual beli
menjadi tidak sah. Seperti halnya apabila seorang pembeli
mensyaratkan sesuatu kepada orang lain yang tidak terlibat dalam
transaksi. Disamping itu, syarat dalam jual beli ini seperti hak khiyar
yang tidak jelas karena pembeli mensyaratkan bagi dirinya untuk
mengembalikan barang tanpa menyebutkan waktu tertentu sehingga
syarat ini juga tidak sah. Hal ini sama saja apabila pembeli
mengatakan, Saya berhak memiliki hak khiyar kapan saja saya mau,
saya akan mengembalikan barangmu disertai dengan uang satu
dirham. Pendapat inilah yang sesuai dengan qiyas.
18 Ahmad ibn Abu Bakar ibn Ismail al-Bushiri, al-Ittihaf al-Kahiroh al-Mahrah
bizawaid al-Masandi al-Asyrah, (tp, tt), juz. III, hlm. 334.

19 Jawad Ali, al-Mafashil fi Tarikh al-Arab qabla al-Islam, (Madinah: Dar al-Sabiq,
2001), juz. XIV, hlm. 90.

20 Az-Zuhaili, op.cit., hlm. 119.


b. Pendapat yang membolehkan jual beli urbun
1). Dari kalangan sahabat
a). Amirul Muminin Umar ibn Khattab Radiallahuan.



)( :













21






Ibn Abdul Bar berkata di dalam Kitabnya (Al-Istidzkar):
Hadits Nafi ibn Abdal-Rahman, diriwayatkan oleh Sufyan ibn
Uyainah, dari Umar ibn Dinar, dari Abd al-Rahman ibn Furukh dari Nafi
ibn Abd al-Harits, Bahwasannya ia membelikan Umar sebuh rumah di
)Mekah dari Shafwan ibn Umayyah dengan harga 4.000 (empat ribu
dirham, apabila Umar setuju maka jual beli dilaksanakan. Dan jika
tidak, Shofwan mendapatkan 400 (empat ratus) dirham yang dijadikan
sebagai uang muka.
b). Abdullah ibn Umar ibn Khattab




:








Ibn Abi Syaibah berkata di dalam kitab mushanaf-nya. Telah
menceritakan kepada kami Yazid ibn Harun, dari ibn Abi dzabi, dari al-
Zuhri, dari Hamzah ibn Abdullah ibn Umar ibn Khattab, ia berkata:
Kami membeli pakaian dari Abdullah ibn Umar, bahwasannya yang
mau hendaklah membayar panjar dengan satu dirham, ia
menyuruhkan kami dan tidak melarang kami.
2). Dari kalangan Tabiin
a). Muhammad ibn Sirin


:

.


:




22
.
:

:
:
:


23


:
b). Mujahid.

21 Ibn Abd al-Bar, op.cit., juz. VI, hlm. 265.

22 Abu Bakar Abdullah ibn Muhammad ibn Abi Syaibah al-Abasi al-Kufi, Mushanif
ibn Abi Syaibah, (tp, tt), juz. VII, hlm. 305.

23 Ibid., hlm. 307.









.

24

.
:

2. Dari kalangan ulama dan fatwa-fatwa salaf dan modern
a. Madzhab Imam Ahmad ibn Hanbal

:
.








:


. .


:









25

c. Ibnu Qayyim






26


d. Syaikh Ahmad ibn Abdullah al-Ahmad








:

": :
- -

- " ] )



: ( [



:






24 Ibid., hlm. 305.

25 Al-Zuhaili, op.cit., hlm. 119.

26 Muhammad ibn Abu Bakar Ayyub al-Zari Abu Abdullah, Badaiu al-Fawaid,
(Makah al-Mukaramah: Maktabah Nazar Musthafa al-Baz, 1996), juz. IV, hlm. 887.
:





27
.



e. Syams ad-Din al-Maqdisi


:






28
:
f. Adullah bin Abdurrahman Al-Bassam
Kami melihat bahwa kami dapat membantah dalil-dalil lain yang
mengatakan bahwa jual beli dengan uang muka batil hukumnya. Uang
muka tidak disyaratkan oleh si penjual tanpa kompensasi, karena
kompensasinya adalah menunggu barang perniagaan dan
kepastiannya sampa si pembeli memilih serta hilangnya kesempatan
menjual berang tersebut kepada orang lain dengan batas waktu
tertentu. Jual beli dengan uang muka bukan berarti khiyar yang tidak
jelas, karena si pembeli juha mensyaratkan khiyar akan kembali dalam
penjualan. Sementara apabila ia tidak kembali, maka transaksi
tersebut berlanjut dan khiyar menjadi terputus.29
g. Wahbah al-Zuhaili
















.30
Dalam kitab yang lain Dr. Wahbah al-Zuhaili mengemukakan dengan
pendapat yang senada bahwasannya Imam Ahmad ibn Hanbal
membolehkan jual beli dengan uang muka, karena dianggap telah
menjadi urf manusia di samping merupakan keperluan. Hal itu
dilakukan oleh apa yang diriwayatkan dari Nafi ibn Abdil-Harits; bahwa
ia membeli sebuah rumah tahanan dari Shafwan ibn Umaiyah untuk
Umar ra dengan harga 4.000 dirham, lalu jika Umar setuju, maka jual
belinya jadi dan jika Umar tidak setuju maka uang muka yang 400
dirham itu adalah menjadi milik Shafwan. Ahmad menilai dhaif hadits
larangan Rasulullah SAW dari jual beli berpenjar. Di samping itu pula,
dewasa ini, cara jual beli berpanjar terlah menjadi dasar ikatan dalam
hubungan dagang yang di dalamnya tercakup janji untuk
menggantikan kerusakan yang diderita orang lain sebagai akibat dari
kondisi tak bekerja dan masa menunggu. 31

27 Ahmad ibn Abdullah al-Ahmad, Syarah Zad al-Mustaqna, (tp, tt), juz. XIII, hlm.
73.

28 Muhammad ibn Maflah ibn Muhammad ibn Mafraj Abu Abdullah Syams ad-Din
al-Maqdisi al-Ramimi tsuma al-Sholih, al-Furu, (tp, tt), juz. VI, hlm. 288.

29 Abdullah bin Abdurrahman Al-Bassam, Taudhih al-Ahkam Syarah Bulugh al-


Maram, (Jakarta: Putsaka Azzam, 2011), juz. IV, hlm. 307.

30 Al-Zuhaili, op.cit., hlm. 120.


h. Muhammad ibn Sholih al-Utsaimin-Ulama Saudi
Di dalam fatwanya (al-Fatawa al-Tsalasiyah) Syaikh al-Utsaimin
pernah ditanya mengenai seorang penjual pengambil uang muka,
apakah hal tersebut diperbolehkan?

[
] - - :


:

..





32

3. Keputusan Liga Fikih Islam Mengenai Jual Beli Dengan Sistem Uang
Muka

: 1993 1414

:

-1






. . .






-2


. .

Setelah mengkaji riset yang sampai kepada Lembaga, khususnya


masalah jual beli dengan sistem uang muka dan setelah mendengar
diskusi yang ada disekitarnya, maka Lembaga memutuskan sebagai
berikut:
a. Yang dimaksud dengan jual beli uang muka adalah penjualan
barang perniagaan disertai dengan pembayaran sejumlah uang
kepada penjual dengan syarat apabila pembeli jadi mengambil
barang perniagaan tersebut, maka ia termasuk bagian dari harga
dan apabila ia meninggalkannya, maka uang muka tersebut menjadi
milik penjual. Transkasi ini sesuai dengan transaksi sewa beli,
karena ia hanya menjual manfaat barang. Dikecualikan dari jenis
jual beli adalah jual beli yang syarat keabsahannya harus diterima
salah satu dari kompensasi jual beli di dalam tempat akad (yaitu jual
beli salam) atau diterima keduanya (tukar menukar harta ribawi dan
penukaran uang). Hal demikian tidak berlaku pada murabahah
karena ada perintah pembelian barang pada fase perjanjian, akan
tetapi transkasi ini berlaku pada fase penjualan berikut karena
perjanjian.
b. Jual beli dengan uang muka boleh hukumnya, apabila masa
menunggunya ditentukan dan uang mukanya tersebut dianggap

31 Wahbab al-Zuhaili, Konsesp Darurat Dalam Hukum Islam: Studi Banding


Dengan Hukum Positif, (trj. Said Agil Husain al-Munawar), (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1997), hlm. 192.

32 Muhammad ibn Sholih al-Utsaimin, al-Fatawa al-Tsalatsiyah, (tp, tt), hlm. 59.
sebagai bagian dari harga, apabila terjadi penjualan dan menjadi
hak si penjual apabila si pembeli membatalkan pembelian.
4. Kitab Undang-Undang Hukum Muamalah Uni Emirat Arab dan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata Irak
Beberapa KUH Perdata di Negara-negara Islam yang didasarkan
kepada hukum syariah juga menerima pandangan Hanbali ini yang
menganggap urbun sebagai sesuatu yang sah. Dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Muamalah Uni Emirat Arab Pasal 148 dan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata Irak Pasal 92 ditegaskan:
a. Pembayaran urbun dianggap sebagai bukti bahwa akad telah final di
mana tidak boleh ditarik kembali kecuali apabila ditentukan lain
dalam persetujuan atau menurut adat kebiasaan.
b. Apabila kedua pihak sepakat bahwa pembayaran urbun adalah
sebagai sanksi pemutusan akad, maka masing-masing pihak
mempunyai hak menarik kembali akad; apabila yang memutuskan
akad adalah pihak yang membayar urbun, ia kehilangan urbun
tersebut dan apabila yang memutuskan akad adalah pihak yang
menerima urbun, ia mengembalikan urbun ditambah sebesar
jumlah yang sama. 33
4. Fatwa al-Azhar



.



.



34
.

5. DSN - MUI tentang Uang Muka dalam Murabahah


Salah satu fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) yang berkenaan
dengan e tproduk syariah adalah fatwa DSN Nomor 13/DSN-
MUI/IX/2000 tentang uang muka dalam murabahah.
Adapun konsep dan ketentuan-ketentuannya adalah: (1) nasabah
mengajukan permohonan dan perjanjian pembelian suatu barang atau
asset kepada bank; (2) setelah menerima permohonan, bank membeli
terlebih dahulu asset yang dipesannya secara sah dengan pedagang;
(3) bank menawarkan asset tersebut kepada nasabah dan nasabah
33 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah: Studi tentang Teori Akad dalam
Fikih Muamalat, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 348.

34 Anonimous, Fatawa al-Azhar, (tp, tt), juz. IX, hlm. 398.


harus membelinya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakatinya,
karena secara hukum perjanjian tersebut mengikat; kemudian kedua
belah pihak membuat kontrak jual beli; (4) bank dibolehkan meminta
nasabah untuk membayar uang muka saat menandatangani
kesepakatan awal pemesanan; (5) jika nasabah menolak membeli
barang tersebut, biaya ril bank harus dibayar dari uang muka tersebut;
(6) jika nilai uang muka kurang dari kerugian yang ditanggung oleh
bank, bank dapat meminta kembali sisa kerugiannya kepada nasabah;
(7) jika uang muka memakai kontrak urbun sebagai alternativ dari
uang muka, maka (a) jika nasabah memutuskan untuk membeli barang
tersebut, ia tinggal membayar sisa harga; dan (b) jika nasabah batal
membeli, uang mika menjadi milik bank, maksimal sebesar kerugian
yang ditanggung oleh bank akibat pembatalan tersebut, dan jika uang
muka tidak mencukupi, nasabah wajib melunasi kekurangannya.

Ada beberapa implikasi yang ditimbulkan sebagai akibat logis dari


kesimpulan tersebut. Adapun implikasi dimaksud adalah:
1. Seluruh lembaga keuangan syariah hendaknya dalam melakukan
praktik transaksi tidak keluar dari fatwa yang ditetapkan oleh DSN-
MUI, hal ini dikarenakan fatwa tersebut sebagai control agar dalam
tataran praktik tidak terjadi adanya hal yang dilarang dalam
melakukan transaksi.
2. Dalam menetapkan fatwa, DSN-MUI serahusnya menggunakan dalil-
dalil yang khusus mengani objek pembahasan, dan tidak
menggunakan dalil-dalil yang bersifat umum.
3. Berdasarkan uraian pada bab sebelumnya, maka permasalahan
dalam penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Ulama berbeda pendapat mengenai hukum jual beli urbun (uang
muka). Jumhur ulama (mayoritas ahli fikih) mengatakan bahwa,
bai urbun merupakan jual beli yang dilarang dan tidak shahih.
Menurut madzhab Hanafiyah, merupakan jual beli yang fasid
(rusak), dan dianggap batil oleh sebagian ulama lainnya (Maliki
dan Syafii). hal itu dilandasi atas hadits Nabi yang menyatakan
bahwa, Sesungguhnya Nabi SAW melarang jual beli urbun.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Abu Daud dan Malik.
Kedudukan hadits ini lemah, disebabkan di dalam riwayat Ibnu
Majah terdapat dua orang rawi yang lemah, yaitu Habib ibn Abi
Habib Abu Muhammad dan Habib ibn Abi Habib Abu Muhammad.
Selain itu juga disebabkan bahwa dalam bai urbun terdapat
gharar, risiko dan memakan harta orang lain tanpa adanya
kompensasi.
Menurut Imam Ahmad dan para pengikutnya bai urbun hukumnya
adalah boleh dengan dalil hadits dari Abd ar-Razaq dari Zaid ibn
Aslam berkata, Suatu ketika Rasulullah SAW ditanya tentang bai
urbun, maka Rasul menghalalkannya. Menurut al-Syaukani dalam
kitab Nail al-Authar hadits ini termasuk hadits mursal dan hadits ini
pun kedudukannya lemah, disebabkan dalam hadits tersebut
terdapat seorang rawi yang bernama Ibrahim ibn Abi Yahya ia
adalah rawi yang dhaif (lemah). Kedua hadits di atas, baik yang
melarang jual beli urbun ataupun yang membolehkannya tidak
dapat dijadikah hujjah (argumentasi) disebabkan kedua hadits
tersebut dikategorikan sebagai hadits yang dhaif (lemah).
Imam Ahmad menyatakan bahwa hadits yang diriwayatkan tentang
bai urbun kedudukannya adalah lemah. Namun demikian, bai
urbun sudah menjadi bagian transaksi jual beli dalam perdagangan
ataupun perniagaan dan sebagai ganti atas kemungkinan kerugian
yang diderita oleh penjual.
Dapat disimpulkan mengenai kedua pendapat tersebut yang saling
kontradiksi, maka pendapat yang paling kuat diantara kedua
pendapat tersebut adalah pendapat yang membolehkan jual beli
urbun, hal ini disebabkan kedua hadits yang berhubungan dengan
jual beli urbun keduanya lemah dan tidak dapat dijadikan hujjah,
serta pembayaran jual beli dengan menggunakan uang muka ini
sudah menjadi urf di masyarakat.
b. Dasar hukum yang digunakan DSN-MUI dalam menetapkan fatwa
tentang uang muka dalam murabahah menggunakan dalil-dalil,
baik ayat-ayat Al-Quran, Hadits Nabi, dan Kaidak-kaidah Fiqh.
Namun semua landasan hukum yang digunakan oleh DSN-MUI
masih menggunakan dalil-dalil yang umum, belum menyentuh
secara spesifik mengenai jual beli urbun.
Metode istinbath yang digukanan oleh DSN-MUI dalam menetapkan
fatwa tentang uang muka dalam murabahah menggunakan dua
pendekatan, pertama, dengan menggunakan metode maslahat
(kemaslahatan), kedua, dengan menggunakan metode urf sebagai
dasar pertimbangan lain dalam menetapkan fatwa tersebut.
c. Fatwa DSN-MUI nomor 13 tahun 2000 tentang uang muka dalam
murabahah tampaknya fatwa tersebut dipengaruhi oleh
pemikiran/pendapat Imam Ahmad beserta para pengikutnya
yang membolehkan transaksi jual beli dengan menggunakan
uang muka
.
D. KESIMPULAN
Setelah membandingakan antara berbagai pendapat tentang
kedudukan urbun dikaitakan dengan berbagai problematika umat
dalam hukum muamalah, maka ada yang mengharamkan,
memakruhkan, dan membolehkan. Maka kebolehan urbun adalah
lebih tepat dengan beberapa persyaratan sebagaimana yang
dikemukakan. DSN-MUI.
Kasus-klasus dapat terjadi pada urbun, malahan menjadi
konflik dan bila terkjadi seperti itu, maka persoalannya harus ada
hakam, baik resmu maupun tidak resmi agar segala sesuatunya
bukan hanay konflik dapat teratasi, tetapi puda dijamin
kehalalannya. Wallahu Aalam bi Shawab, Bandung Sabtu 24
Desember 2016, pukul 17.33. Dikutip kembali dari beberapa
sumber oleh: M. Abdurtrahman
DAFTAR PUSTAKA
1. Abu Hisan ad-Din al-Turfawi, Bai al-Urbun fi Dhoi al-Syariah al-Islamiyah, (tp,
tt), hlm.
. 2. . Ibid., hlm. 119.
3. Departemen Wakaf dan Persoalan Keiskalam Kuwait, Muasuah al-Fiqhiyyah al-
Kuwaitiyyah, (Kuwait: Dar Salasil, 1427 H), juz. IX, hlm. 93.
4. Muhammad ibn Sholih al-Utsaimin, Fatawa Nur ala Dirob, (Muasasah Syaikh
Muhammad ibn Sholih al-Utsaimin Rohimahullah, 2006), juz. II, hlm. 242.
Abu Saadat al-Mubarok ibn Muhammad al-Jaziri, al-Nihayah Fi Gharib wa al-
Atsar, (Beirut: Kutub al-Ilmiyyah, 1979), juz. III, hlm. 43

LAMPIRAN
a. Al-Baqarah: 275-276
















b. Albaqrah/2: 278-280


















c. Albaqarah/2: 281-282
















..........................



d. Annisa/4: 29









e. Surat al-Maidah 1 dan 2

............
























] . [90 /5

)2. Hadis Rasulullah Saw Perkataan sahabat-HM


- :
.
:
:

.
:




:-
: :

.
: :
.
: :

:
:
.

) (
:

- :-

3. Qaidah Ushuliyah
a. Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali
c. perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan
d. yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat
e. mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau
f. menghalalkan yang haram.
g. Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan orang
lain.
4. Kaidah fiqh antara lain:
a. Pada dasarnya, segala bentuk muamalat boleh dilakukan
kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
b. Bahaya (beban berat) harus dihilangkan.

Anda mungkin juga menyukai