Anda di halaman 1dari 92

BAB. I.

CIRI DAN SIFAT HUTAN ALAM MERANTI

Tujuan:
Pengenalan asal-usul jenis pohon utama, penyebaran, struktur dan komposisi hutan alami
meranti.
Setelah mempelajari dan mengerjakan soal bab ini, para mahasiswa akan dapat:
(1) Mengetahui dan mampu menceriterakan tanah leluhur dan penyebaran suku
dipterocarpaceae.
(2) Mengetahui dan hafal nama marga dan jumlah jenis dari suku dipterocarpaceae.
(3) Mampu menceriterakan penyebaran hutan alami meranti.
(4) Memahami komposisi floristik hutan alami meranti.
(5) Mampu menceriterakan struktur tegakan hutan alami meranti.

A. Tanah leluhur dan penyebaran suku dipterocarpaceae


Tanah leluhur dipterokarpa mungkin benua purba Gondwanaland, yang sampai akhir zaman
Yura merupakan induk dari benua Australia, New Zealand, benua Afrika, benua Amerika Selatan,
anak-benua India dan benua Antartika. Pada lk. 140 juta tahun yang lalu, benua purba ini
terpecah dan pecahan-pecahannya kemudian bergeser ke tempat masing-masing seperti sekarang
ini. Pecahan anak-benua India bergeser ke arah timurlaut sehingga menabrak benua purba
Laurasia (sekitar 55 juta tahun yang lalu) sehingga terbentuk pegunungan tinggi Himalaya
sebagai akibat desakan tersebut. Pecahan Australis juga menggelisir terus ke arah timurlaut,
menabrak ujung selatan benua Laurasia sehingga tercecer sebagian sepanjang jalurnya yang
membelok ke arah tenggara. Cecerannya menjadi kepulauan di Asia Tenggara, dan bagian
utamanya menjadi benua Australia. Pulau-pulau di Paparan Sunda sejak semula merupakan bagi-
an dari benua Laurasia, sedangkan yang berada di sebelah timur, di atas Paparan Sahul, itulah
yang merupakan pecahan benua Gondwanaland. Tumbuhan dan hewan telah mencapai pulau-
pulau itu dulu pada waktu kedua paparan itu masih berupa daratan (Weidelt, 1986 dari Ashton,
1982).
Dari kedua benua purba yang pernah bergesekan dan dari alam yang lama tidak terjamah,
terbentuklah keanekaragaman nabati yang tinggi di wilayah kepulauan Asia Tenggara
(Whitmore, 1984). Pada Gb 1.1 diperlihatkan letak kedua benua dewasa ini dengan batas-batas
hayal dari dunia nabati dan hewani.

1
90 100 110 120 130 140 150

Gambar 1.1. Letak Paparan Sunda,


Paparan Sahul, dan batas-batas
20 20

zoophytogeography (Whitmore,
10 10 1984).
Paparan
Sunda

0 0

Menurut Ashton (1982, dalam


10 Ga
Weidelt 1986), suku dipterocarpaceae
Paparan 10
Sahul
Batas20 0m
Fauna Australia
dapat mencapai India karena
20
menumpang pecahan benua tadi. Dari
20
90 100 110 120 130
situ menyebar ke arah timur sampai
140 150

ke kepulauan di atas Paparan Sunda dan melalui kepulauan Filipina merayap ke Kepulauan
Maluku sampai ke Pulau Irian. Dalam perjalanannya ini hanya sedikit yang mendarat di Pulau
Sulawesi, yang dari Paparan Sunda terhalang oleh Selat Makassar yang dalam. Pada zaman es
sekalipun selat ini tidak pernah kering (dan dikenal sebagai "Batas Wallace"). Perbedaan jumlah
jenis dipterokarpa, 276 jenis di Pulau Borneo (Kalimantan dan Malaysia Timur) dan hanya 8
jenis di Sulawesi yang jaraknya hanya 110 km (dari Tanjung Mangkalihat, jontor timur Pulau
Kalimantan), menunjukkan peristiwa perjalanan dipterokarpa tempo dulu itu. Pulau Jawa dan
Papua Niugini merupakan batas terselatan dari penyebaran dipterokarpa. Wilayah hidup dipte-
rokarpa itu dilukiskan oleh Weidelt dan Banaag (1982) seperti pada Gambar 1.2.

India
6/12
10/32
6/56

12/72 13/276 4/6


Afrika 3/8
Seychelles
2/34 5/10
1/1

Australia

Gambar 1.2. Wilayah penyebaran jenis-jenis Dipterocarpaceae (Weidelt dan Banaag, 1982).

B. Marga dan jenis-jenis dipterocarpaceae


Suku Dipterocarpaceae meliput tiga anak-suku dengan 16 marga dan lebih dari 500 jenis
yang hingga kini telah dikenal. Anak suku terpenting adalah Dipterocarpoideae dengan 470 jenis

2
di Asia Tenggara (dari Seychelles sampai Papua Niugini). Kedua anak-suku lainnya tidak begitu
penting. Monotoideae membawahi lk 40 jenis yang berupa pohon-pohon kecil di savanna Afrika
(dan satu jenis di Madagaskar). Anak-suku yang ketiga, Pakaraimoideae, sampai sekarang hanya
membawahi satu jenis (Pakaraimoidea dipterocarpacea). Mungkin saja masih ada jenis-jenisnya
yang lain yang belum diketemukan.
Uraian selanjutnya hanya akan mengenai anak-suku Dipterocarpoideae yang kadang-kadang
akan dianggap setingkat saja dengan sukunya sendiri. Jenis-jenis dari anak-suku ini dengan
pelbagai tingkat kedominanannya merupakan unsur utama dalam hutan hujan alami di wilayah
Asia Tenggara. Pada hutan lembab dataran rendah, jenis-jenisnya sering merupakan kelompok
yang dominan pada lapisan tajuk atas, sekaligus merupakan penghasil utama kayu tropis di pasar
antarbangsa (Breyer, 1988).
Marga yang termasuk anak-suku dipterocarpoideae adalah: 1. Shorea; 2. Parashorea; 3.
Dipterocarpus (asal nama suku dipterocarpaceae); 4. Anisoptera; 5. Vatica; 6. Pentacme; 7.
Balanocarpus; 8. Dryobalanops; 9. Hopea; 10. Upuna; 11. Cotylelobium.

C. Penyebaran hutan meranti


Seperti ditunjukkan dalam Gambar 1.3, penyebaran suku dipterocarpaceae sangat luas.
100 110 120 130 140
Gambar 1.3. Penyebaran hutan
20 20
meranti di Asia Tenggara (Wei-
delt, 1986).

10
Filipina 10 Namun penyebaran hutan
dipterokarpa (selanjutnya disebut
Kalimantan
hutan meranti sebagai padanan
Sulawesi
0
dari "dipterocarp forests"), sebe-
0

narnya lebih sempit. Hutan me-


Sumatra Papua
ranti dewasa ini terutama berada
Jawa di Semenanjung Malaya, Suma-
10 10
tra, Borneo, dan Filipina. Di
dalam daerah penyebarannya,
100 110 120 130 140jenis-jenis dipterokarpa bervariasi
dalam komposisi jenis serta nilai
pentingnya. Di Filipina, suku dipterocarpaceae memiliki Bidangdasar (G) terluas di dalam hutan,
misalnya di pantai timur Pulau Mindanao mencapai 90% dari bidangdasar pohon-pohon yang
garistengah setinggi dada (GSD)-nya >70 cm (Weidelt, 1986). Di sebelah barat penyebarannya,
porsi bidangdasar dari dipterokarpa lebih kecil, karena lebih banyak jenis dari suku lain yang
bersama-sama berada di peringkat tajuk atas, sekaligus jumlah jenis dari suku dipterocarpaceae
menjadi lebih banyak. Perbandingan posisi dipterokarpa dalam tegakan hutan ditunjukkan dalam
Tabel 1.1.
Tabel 1.1. Proporsi dipterokarpa dalam tegakan (Weidelt, 1986).

3
Parameter tegakan Smj Kaltim Sabah Filipina
Malaya
Marga/Jenis 14/168 12/276 12/276 5/56
Bidangdasar (%) 55-70 40-60 60-80 70-90
N-Dipt gsd > 80 cm < 57% 50-60% 79-89% 95-99%
Massa teg. kom. 70-80 40-60 70-90 90-120
(m3/ha)

Daerah penyebaran hutan meranti tersebut dalam tabel iklim tropis Lamprecht (1986),
berada dalam wilayah tropis selalu-lembab (Tabel 1.2).
Dalam Tabel 1.2. nampak bahwa hutan dipterocarpaceae hanya terbentuk pada suasana
iklim dengan suhu rataan 22-28C pada ketinggian 0-800 m dari permukaan laut yang oleh
Lamprecht disebut iklim tropis panas selalu lembab. Lamprecht menggunakan satuan curah
hujan (P) > 50 (T+14) mm. Bilamana t = 25C, maka curah hujan (P) > 50 x 39 = > 1950 mm/th.
Hutan meranti terbentuk bilamana suhu > 22C ketinggian 0-800 m dpl, dan curah hujan > 1950
mm/th dan tersebar sepanjang tahun.

Tabel 1.2. Pembagian formasi hutan menurut suhu dan presipitasi (Lamprecht, 1986).

Iklim hangat - suhu rataan tahunan C


Presipitasi 28-22C 22-14C 14-10C
tropis panas tropis sedang tropis sejuk
0-800 m dpl 800-1200 m dpl 2100-3200 m dpl
Presipitasi lk merata Hutan selalu Hutan Hutan
sepanjang tahun hijau dataran pegunungan pegunungan
P > 50 (T+14) mm rendah (HT selalu hijau lembab /
MERANTI) berawan selalu
hijau
Musim penghujan Hutan gugur Hutan gugur Hutan gugur
berseling kemarau < daun dataran daun daun
5 bl rendah lembab pegunungan pegunungan
P < 50 (T+14) mm lembab tinggi lembab
> 20 (T+14) mm
Musim penghujan Hutan gugur Hutan gugur Hutan gugur
berseling kemarau > dataran rendah daun daun
5 bl kering pegunungan pegunungan
P < 20 (T+14) mm kering tinggi kering

D. Komposisi floristik
Wilayah Malesia (Asia Tenggara) betul-betul memiliki jumlah jenis tumbuhan yang sangat
banyak dibandingkan dengan wilayah manapun di planet ini. Jumlah jenis tumbuhan di wilayah

4
ini ditaksir mencapai 25.000 jenis tumbuhan berkayu, atau 10% dari flora dunia. Suku terbesar
adalah Orchidaceae dengan 3.000-4.000 jenis. Di antara tumbuhan berkayu, Dipterocarpaceae
meliput 386 jenis, terutama di wilayah barat (Paparan Sunda). Eugenia (Myrtaceae) dan Ficus
(Moraceae) masing-masing membawahi sekitar 500 jenis, dan Ericaceae 737. Keanekaan jenis
itu dimungkinkan oleh adanya struktur hutan yang lengkap. Pohon-pohon yang besar menjadi
"kerangka" dari tubuh hutan yang di dalamnya dipadati oleh berbagai bentuk-bentuk kehidupan
lainnya (semak, saprofit, pemanjat, herba).
Contoh komposisi jenis hutan tropis lembap ditampilkan komposisi tegakan tinggal di
Kabupaten Paser, Provinsi Kalimantan Timur seperti Tabel 1.3.
Tabel 1.3. Komposisi jenis tegakan tinggal bekas tebang pilih di areal kerja PT ITCIKU
Kabupaten Paser: dalam 2 ha terdapat 189 jenis, dalam 49 suku (Sutisna, 1990).
Tingkat pertumbuhan Urutan 5 jenis dominan Bentuk tumbuhan

Semai Pternandra galeata Semak


tinggi 0,3 - 1,5 m Baccaurea angulata pohon
86 jenis Eugenia grandis pohon
Eugenia lanceolata pohon
Glochidion semak pionir
wallichianum
Pancang Glochidion semak pionir
tinggi > 1,5 m - diameter < 10 cm wallichianum pohon
136 jenis Baccaurea angulata pohon
Eugenia dyeriana pohon
Eugenia lanceolata pohon
Eugenia grandis
Tiang Litsea sp. pohon niagawi
diameter 10-20 cm Eusideroxylon zwageri pohon niagawi
53 jenis Palaquium rostratum pohon niagawi
Polyalthia lateriflora pohon niagawi
Baccaurea angulata pohon
Pohon Shorea laevis pohon niagawi
diameter > 20 cm Eusideroxylon zwageri pohon niagawi
42 jenis Shorea smithiana pohon niagawi
Eugenia lanceolata pohon
Polyalthia lateriflora pohon niagawi

Tumbuhan tingkat pohonnya saja di dalam hutan biasanya sudah terdiri dari berratus jenis
yang tumbuh berbaur. Bila dihitung, jumlah jenis pohon itu akan selalu bertambah seiring
dengan penambahan kesatuan luas yang diamati. Keanekaan itu ditunjukkan dalam Gambar 1.4
yang merupakan hasil penelitian dari plot-plot 'kecil' di Malaya, Kalimantan, dan Irian untuk
pohon-pohon yang ber-gsd >10 cm.

5
250

200

150

Jumlah jenis
100
Wanariset d>10cm Bukit Lagong d>10cm Sungai Menyala d>10cm Jaro d>10cm Papua d>20cm

50

0
0 0.2 0.4 0.60000000000000064 0.8 1 1.2 1.4 1.6
Luas plot (ha)

Gambar 1.4. Kurva jenis-luas untuk plot-plot kecil di hutan tropis lembab dataran rendah (Whit-
more, 1984).
160

140

120

100

80
Jumlah jenis
60

40

20

0
20 30 40 50 60 70
Diameter (cm)

Jumlah jenis pohon itu akan segera berkurang bila diameter pohon yang diamati dinaikkan
seperti diperlihatkan pada Gambar 1.5. Itu berarti bahwa keanakeragaman hayati (floristik)
terdapat pada vegetasi berukuran kecil dan bukan di pepohonan. Padahal saat ini, vegetasi
berukuran kecil di hutan alam masih disebut semak-belukar.

Gambar 1.5. Penurunan jumlah jenis dari plot 0,4 ha bila garis tengah pohon dinaikkan.

6
E. Struktur tegakan
Tajuk hutan meranti pada umumnya berada pada ketinggian 45 m, walaupun pohon yang
tingginya mencapai 60 m atau lebih, juga banyak. Peringkat tajuk teratas biasanya mengelompok
(Whitmore, 1984). Selain pohon, di dalam hutan terdapat epifit, pemanjat dan pencekik.
Pemanjat yang biasanya mulai muncul dalam rumpang, membentuk tajuknya di puncak-puncak
pohon yang tinggi dan menjalar dari satu ke lain pohon. Dalam silvikultur, pemanjat sangat tidak
disukai, karena menaungi tajuk pohon sehingga tajuk sebagian mati dan mengurangi riap
pohon/produksi kayu secara langsung, membengkokkan pohon karena tarikan pohon lain atau
karena berat tubuh perambat itu sendiri, dan mematahkan pohon dalam penebangan yang
sesungguhnya akan/sedang dipelihara.
Sebagai contoh, Ruhiyat (1989) merisalahkan struktur tegakan di konsesi PT ITCI,
Balikpapan, pada ketinggian 220-280 m dpl. sebagai berikut.

UKURAN POHON DI HUTAN ALAM


KALIMANTAN
Sebatang pohon kapur (Dryobalanops
beccarii) tua rebah diterpa angin di hutan
klimaks PT Sumalindo, Kabupaten Berau,
Propinsi Kalimantan Timur pada bulan
Mei 1995. Karena ada perambat yang
menggubat tajuknya, maka terikut rebah
pula dua batang pohon lainnya yang
berdekatan. Karena telah rebah, ketiga
pohon itu telah dapat dukur teliti sbb:
jenis diameter tinggi bbc
tinggi total
- kapur 127 cm39 m 55 m
- hara 81 cm 39 m 62 m
- pose 48 cm 21 m 34 m
Itulah ukuran pohon di Kalimantan,
hasil pengukuran, dan bukan dikira-kira
(Sutisna, 04-06-1994)
Tajuk tegakan berlapis. Tinggi pohon-pohon dominan berkisar antara 40-55 meter, yang kese-
luruhannya dipterokarpa. Tajuk pohon-pohon ini tidak membentuk atap yang rapat, melainkan
terpisah-pisah. Peringkat tajuk di bawahnya, dengan ketinggian 25-35 meter, bertaut lebih rapat.
Penyusun utamanya suku Dipterocarpaceae dan Lauraceae. Lapisan di bawahnya lagi, yang
relatif sambung-menyambung berada pada ketinggian 14-23 meter, dengan penghuni utamanya
dari suku Euphorbiaceae, Lauraceae, dan Myrtaceae. Apa yang berada di bawah susunan tajuk
ini, karena keanekaannya sulit disebut satu stratum. Ruang dengan tinggi 2-3 meter di atas tanah,

7
lengang. Palma jarang terdapat. Banyak pohon berbanir 2-3 meter. Disamping dipterokarpa, di
sini terdapat banyak Ulin dan Merbau (Eusideroxylon dan Intsia).

Selanjutnya Ruhiyat menguraikan kerapatan tegakan meranti itu sebagaimana disajikan


dalam Tabel 1.4.
Tabel 1.4. Perbandingan kerapatan tegakan hutan hujan klimaks di pelbagai tempat (Ruhiyat,
1989).
Tempat Jml pohon (bt/ha) Bidangdasar (m2/ha) Sumber
ITCI, Balikpapan 578 42,4 Ruhiyat, 1989
Wanariset, Samarinda 541 29,7 Kartawinata et al. 1981
Samboja, Samarinda 464 39,6 Unmul, 1983
Jaro, Kalimantan Selatan 400 39,1 Suthesorn, 1977
Venezuela 25-34 Hase, 1981
Kolumbia 28,1 Foelster, 1972
Brasil 32,6 Dawkins, 1960
Thailand 35,4 Ogawa et al., 1965

Tegakan hutan di daerah Balikpapan itu lebih rapat daripada di wilayah lainnya di Indonesia
ataupun di negeri lainnya. Struktur garistengah di hutan primer yang khas berbentuk hyperbola
juga ditunjukkan oleh Ruhiyat. Sekitar 85% dari jumlah pohon yang berdiameter 10 cm berada
pada rentang diameter 10-40 cm. Pada rentang ini pula jumlah pohon itu merosot tajam seiring
dengan meningkatnya kelas gsd. Pada kelas-kelas diameter >40 cm, penurunan jumlah pohon itu
menjadi landai seperti ditunjukkan pada Gambar 1.6.

400
350
300
250
200
Jumlah pohon per ha
150
100
50
0
'10-19 20-29 30-39 40-49 50-59 60-69 70-79 80-89 90-99 100-109 110-119

Interval diameter (cm)

Gambar 1.6. Sebaran gsd pohon dalam tegakan hutan meranti klimaks di Kalimantan Timur
(Ruhiyat, 1989).

Berlimpahnya jenis pohon di kawasan hutan produksi di satu fihak kurang menguntungkan,
karena potensi kayu niagawi tidak cukup banyak, di fihak lain keadaan itu memberikan

8
kesempatan untuk memilih jenis mana yang akan diusahakan. Tindakan silvikultur untuk
memusatkan riap hanya pada pohon-pohon niagawi mutlak diperlukan.

BAB .II.
BIOLOGI POHON DIPTEROCARPACEAE

Tujuan:
Memberikan pengetahuan tentang sifat-sifat biologis dan peremajaan hutan alami.
Setelah mengikuti kuliah dan melatih soal bab ini, mahasiswa diharapkan mampu:
(1) menceriterakan kembali hal perawakan dan tapak jenis-jenis dipterocarpaceae,
(2) menceriterakan kembali cara peremajaan alami dipterocarpaceae,
(3) menceriterakan kembali cara perkecambahan meranti,
(4) menceriterakan kembali suksesi hutan alami,
(5) menceriterakan kebutuhan hara dan sinar dipterocarpaceae,
(6) menceriterakan peran mikorisa bagi kehidupan dipterocarpaceae.

A. Perawakan dan tapak dipterocarpaceae


Kebanyakan pohon dipterocarpaceae berperawakan besar (di Kalimantan Timur umumnya
mencapai tinggi 60 meter) dan bertajuk tinggi. Permukaan kulit batangnya ada yang halus, mi-
salnya tempudau (Dipterocarpus cornutus) dan resak (Vatica rassak), dan ada pula yang pecah
kasar, misalnya meranti-merembung (Shorea smithiana) dan bangkirai (Shorea laevis). Ada yang
berbanir tinggi (meranti-meranti)dan ada pula yang sama sekali tidak (resak).

9
Bentuk tajuk pohon-pohon muda biasanya sempit, tetapi segera setelah mencapai sinar
penuh di peringkat atas, bentuk tajuk tersebut mulai melebar. Sejalan dengan
perkembangan umur, berubah pula pola perakarannya. Pada masa muda jenis-jenis
dipterocarpaceae berakar lateral. Kemudian bertahap membentuk akar vertikal. Akar lateral
tumbuh berlanjut melebar, dan ada yang sampai mencapai radius 35 meter dengan akar-akar
vertikal di bawahnya yang dapat mencapai kedalaman 4 meter. Banir-banir dari pohon dewasa
juga merupakan lanjutan dari akar lateral (Breyer,1988 dari Baillie, 1983). Dari beberapa pohon
meranti yang terjungkal rebah karena badai di areal HPH PT ITCIKU di Kabupaten Paser, dapat
disaksikan bahwa meranti tidak memiliki akar tunggang yang cukup panjang. Kedalaman akar
mereka jauh terlampau pendek dibandingkan dengan jangkungnya yang lebih dari 50 meter.
Sebatang pohon meranti-tembaga (Shorea leprosula) dengan tinggi 50 m memiliki akar yang
dalamnya 1,5 m dengan diameter perakaran 6 m (lihat Gambar 2.1.).

banir
lateral lateral

vertikal

tunggang

Gambar 2.1. Gambar pola perakaran dipterocarpaceae: lebar, dangkal, berbanir di masa
dewasa.

Oleh karena itu pohon-pohon yang ditinggalkan berdiri di dalam tegakan yang telah dija-
rangi atau bekas ditebang pilih, sering rebah karena badai. Pohon-pohon di hutan alami meranti
dengan demikian hanya memiliki kemantapan kolektif (dalam hutan klimaks yang rapat) namun
pohon-pohon penyusunnya tidak memiliki kemantapan individual yang memadai. Pohon-pohon
yang menjulang tinggi itu hanya dapat berdiri mantap karena saling melindungi dengan sesa-
manya. Fenomena ini seyogyanya difikirkan dalam cara perawatan tegakan tinggal dari sistem
tebang pilih. Perakaran yang mantap hanya akan dimiliki oleh pohon-pohon yang sejak muda
memiliki tajuk yang lebar karena telah membesar di dalam ruang yang memadai, atau pohon-
pohon yang dipelihara sejak muda, bukan setelah mereka menjadi pohon-pohon.
Penyebab dangkalnya akar pohon meranti di hutan alami adalah:
(1) Pada tanah Ultisols terbentuk horison argillic, yaitu penimbunan liat di horison bawah
sehingga menjadi kedap dan sukar ditembus akar.
(2) Semakin tinggi porsi liat semakin banyak ion Al +++ yang beracun bagi akar sehingga
lapisan tanah bawah tidak dapat didiami oleh akar.
(3) Pada tanah tropis yang relatif miskin, sumber bahan makanan yang penting jatuh berupa
bahan organik dari atas, sehingga sebagian besar bulu akar berada di lapisan tanah teratas.
Untuk perkembangannya di alam, kebanyakan anak pohon dipterokarpa tahan keku-
rangan sinar. Di bawah naungan, anak-anak pohon itu berbatang lemah. Sering menjadi tegak
karena bersandar kepada belukar di sekitarnya. Kalau belukar itu disingkirkan, anak-anak
meranti yang lemah itu akan terkulai sujud ke tanah. Tajuk merekapun sangat keri (tidak
rimbun). Bila diperoleh cukup sinar, segera tumbuh ke atas dengan batang yang langsing
(perbandingan h/d >100) untuk secepatnya meraih stratum teratas. Setelah tajuknya berada di
stratum atasan, barulah batangnya menggemuk. Pada saat perkembangan meningginya itu se-
10
lesai, garistengah batangnya baru mencapai sepertiga atau setengahnya saja dari garistengah
maksimum.
Sebagian besar jenis-jenis pohon dari suku dipterokarpa hidup di dataran rendah (sampai
300 m dpl.). Banyak yang tidak lagi terdapat di atas ketinggian 600-800 meter (Weidelt, 1986).
Tapak mereka terbatas dan banyak yang spesifik. Kebanyakan hidup di wilayah dengan
presipitasi (hujan dan embun) sekitar 2000 mm pertahun dan tidak tahan musim kering yang
terlampau panjang. Tanah yang banyak ditempatinya bertekstur lempung berpasir, yang
berdrainase baik, dan dengan derajat kesuburan sedang. Langka yang tahan hidup pada tapak
yang ekstrim seperti Shorea albida yang mendominasi hutan gambut dan rawa di Sarawak, atau
Kahoi (Shorea balangeran) yang banyak terdapat di hutan kerangas dan rawa di Kalimantan
Timur.
Umur pohon-pohon di hutan alami meranti jarang diketahui karena tiadanya lingkaran
tahun pada kayunya. Di dataran rendah Semenanjung Malaya, dengan metode C-14 telah diukur
umur sebatang Shorea curtisii berukuran besar yang menunjukkan umur 800 tahun (Whitmore,
1984). Hasil extrapolasi riap dari pohon meranti yang besar di hutan PT ITCIKU Kabupaten
Paser menunjukkan umur 200 tahun (Breyer, 1988).

B. Buah dipterocarpaceae
Walaupun di hutan hujan sering dikatakan tidak ada perbedaan musim yang jelas, namun
irama pertumbuhan dan pembungaan ternyata ada. Pembungaan kebanyakan pohon meranti ter-
jadi setiap 2-3 tahun (Whitmore, 1984). Pembungaan sering terjadi setelah musim kemarau
lewat, walaupun pembangkit yang sesungguhnya belumlah jelas, apakah peranan kekeringan
ataukah penyinaran yang tinggi. Sebatang pohon Meranti kadang-kadang melewatkan satu
periode begitu saja tanpa pembungaan. Mungkin saat demikian digunakan untuk penyiapan
persediaan terlebih dulu. Pada beberapa marga seperti Shorea (di Malaysia dan Borneo),
pembungaan jenis-jenisnya kadang-kadang berselisih waktu, sehingga tidak terjadi persilangan
(hibridisasi) antar jenis. Di dalam hutan, setiap tahun ada pohon meranti berbunga, walaupun
bukan dari individu yang sama. Meranti tembaga (Shorea leprosula) dan kapur (Dryobalanops
lanceolata) di Kalimantan Timur malah berbunga setiap tahun.
Nama suku dipterocarpaceae diperoleh dari bentuk buahnya (yang bergaristengah 0,5-5 cm)
yang bersayap. Marga Dipterocarpus (Tempudau, Keruing) dan marga Hopea (Merawan)
bersayap dua lembar panjang dan tiga buntu. Marga Shorea (Meranti, Bangkirai) bersayap tiga
panjang dan dua buntu, sedangkan marga Dryobalanops (Kapur) bersayap panjang lima lembar.
Sayap buah yang panjang itu mengurangi kecepatan jatuhnya buah, dengan harapan sempat dibe-
lokkan tiupan angin sehingga tidak seluruh buah menggeletak di bawah naungan induknya
(dimana pemangsanya menunggu). Namun jarang pula terbang terlampau jauh. Shorea curtisii
di Malaya, Dryobalanops lanceolata di Kalimantan Timur dapat terhembus angin sampai 500
meter karena yang disebut pertama berbuah kecil dan yang disebut kedua bersayap horizontal 5
lembar yang berputar dan melayang bilamana ditiup angin. Menurut Weidelt (1986), secara
keseluruhan, 50% dari buah yang jatuh hanya mencapai radius 20 meter dari tepi tajuk induknya.
Penyebaran buah yang lebih jauh dapat terjadi oleh tiupan badai, dihanyutkan air, atau dibawa
hewan. Dengan kemampuan penebaran buah yang sempit, dipterokarpa tidak dapat menjadi
pendatang yang agresif. Kecepatan meluaskan wilayahnya ditaksir satu kilometer dalam seratus
tahun.

Buah beberapa jenis dipterokarpa diperlihatkan dalam Gambar 2.2.

11
Hopea
Sayap 2, buntu 3
Shorea Sayap 3, buntu 2

Dipterocarpus
Sayap 2, buntu 3 Dryobalanops Sayap 5,
panjang semuanya

Gambar 2.2. Buah dari marga-marga dipterocarpaceae.

Buah dipterocarpaceae yang bersayap itu bila telah matang dan lepas dari ranting
induknya akan melayang jatuh dan menyangkut di tajuk pohon dan semak yang berlapis di
bawah pohon induknya. Dengan demikian buah dipterocarpaceae akan mengering dan mati
karena tidak berhasil mencapai tanah mineral yang lembab di bawah tajuk hutan.
Manfaat utama sayap dipterocarpaceae adalah untuk menahan buah agar tidak
menggelundung pada saat berkecambah membentuk akar pertama. Setelah beberapa hari di
tanah, bilamana selamat dari pemangsa, kulit buah dan sayap akan mengeluarkan serat-serat
yang mengikat buah ke lantai hutan. Dengan terjangkarnya buah, maka akar pertama akan aman
menembus serasah menuju tanah mineral.
Secara botanis apa yang digambarkan dalam Gambar 2.1 itu adalah buah. Pada ujung
sayap setiap buah itu terdapat hanya satu biji. Oleh karena selanjutnya, buah itu disebut biji juga.
Sejak zaman kolonial Belanda sebagian buah dipterocarpaceae dikenal menghasilkan
minyak tengkawang. Vriese (1861) melaporkan bahwa di Kalimantan Barat minyak tengkawang
dihasilkan dari buah Hopea spp. dan beberapa marga Shorea spp. yang dapat menjadi barang
dagangan penting bagi negeri Belanda. Teijsmann (1876) melaporkan produksi minyak keruing
yang diperoleh dengan cara membakar lubang pada batang keruing (Dipterocarpus spp.). Minyak
keruing digunakan untuk menambal sambungan dan melabur badan kapal agar tahan serangan
cacing laut dan kerang. Selain minyak tengkawang dan minyak keruing, Loos (1878) melaporkan
ada 39 minyak nabati yang dihasilkan dari hutan alami. Minyak tengkawang dari Hopea spp.
Dan minyak tangkallak dari Litsea roxburghii diekspor dari Kalimantan ke Singapura terus ke
Inggris, yang pertama untuk bahan pelumas dan bahan makanan dan yang kedua untuk campuran
bahan lilin (Bisschop-Grevelink 1881). Laporan tentang upaya budidaya tengkawang dibuat oleh
Schot (1881), bahwa pohon tengkawang mulai berbuah pada umur 10 tahun. Tengkawang
tungkul (Shorea stenoptera dan S. macrophylla) menghasilkan buah terbaik. Saat itu penjuaslan
buah tengkawang telah menjadi pendapatan masyarakat di Kalimantan Barat. Analisis
komprehensif secara botanis tentang jenis-jenis pohon penghasil minyak tengkawang (Shorea
spp dan Isoptera spp) dan jenis-jenis penghasil minyak nabati lainnya (Palaquium, Payena,
Diploknema spp) dibuat oleh Burck (1886). Menurut Burck (1887) pohon penghasil minyak
tengkawang adalah Shorea stenoptera (t. tungkul), S. gysbertsiana (t. layer), S. gysbertsiana var.
scabra (t. guncang), S. lepidota (T. majau), S. scaberrima (t. babi), S. pinanga (t. pinang) = S.
martiana, S. compressa dan Isoptera borneensis (t. trendah). T. tungkul adalah jenis yang paling
umum doiusahakan dan dibudidagayakan oleh penduduk di Kalimantan Baratlaut. Masa panen
12
buah tengkawang tidak menentu tergantung curah hujan. Buah tengkawang telah dibagikan
kepada semua kepala distrik hutan dan pemilik tanah untuk dibudidayakan. Beberapa pohon
telah tumbuh di Kebun Percobaan Cikeumeuh dan Cibodas. Rob (1888) melaporkan bahwa
minyak tengkawang sangat baik sebagai pelumas besi karena kadart airnya sangat rendah.
Penduduk asli menggunakannya sebagai obat luar dan obat dalam, tetapi tidak dijelaskan untuk
mengobati penyakit apa. Menurut Jansen (1909) kapurbarus (kamper Baros) diperoleh dari
pohon Dryobalanops aromatica (kapur/kamper) di Sumatra Barat terutama di daerah Baros,
Kalimantan, dan Malacca. Ratusan pohon kapur ditebang untuk menemukan sebatang yang ada
kampernya. Itu sebabnya kapur barus sangat mahal harganya. Setiap pohon Dryobalanops
aromatica mengandung minyak kamper, tetapi belum diketahui pada keadaan mana minyak
kamper itu berubah menjadi kamper padat. Pengetahuan sementara menyatakan bahwa kamper
padat terbentuk pada lubang penggerek pada batang. Jawabannya diperoleh: karena ada lubang,
oksigen masuk dan bertemu dengan minyak kamper yang meleleh memasuki lubang penggerek
yang selanjutnya teroksidasi dan memadat menjadi kamper padat.

C. Penyimpanan benih dipterocarpaceae


Kesimpulan umum ialah bahwa biji dipterokarpa terpelihara daya kecambahnya bilamana
disimpan dengan kadar air biji 50-70%. Biji yang kekeringan dapat turun daya kecambahnya
sampai tinggal 20-25%, begitu pula yang terlalu tinggi kadar air bijinya. Pada umumnya, kadar
air biji menurun bilamana biji menjadi matang, biji yang mentah mempunyai kadar air yang
sangat tinggi (di atas 100%), oleh karena itu tidak dapat disimpan aman. Proses penurunan kadar
air biji tidak semata-mata merupakan proses fisis (penguapan) tetapi disebabkan oleh proses
fisiologi biji yang amat rumit, sehingga tidak dapat diatur seenaknya dengan pengeringan biji.
Inilah alasan mengapa hasil terbaik biasanya diperoleh dengan pemetikan biji yang telah betul-
betul masak matang di pohon, yang sayapnya telah berwarna coklat. Problem penyimpanan
adalah bagaimana mengatur agar kadar air biji dipertahankan 50-70% tanpa menyebabkan biji
menjadi layu atau terfermentasi dalam tangki tertutup, yang juga dapat disertai serangan
cendawan. Tetapi penyimpanan terbaik adalah kantong plastik tertutup. Pemakaian fungisida
mungkin dapat menghindarkan infeksi oleh cendawan tetapi dapat menyebabkan pengaruh
negatif terhadap daya kecambah. Diperlukan masih banyak percobaan.
Dalam hal toleransinya terhadap penyimpanan dengan temperatur rendah, dipterokarpa
dapat digolongkan menjadi dua (Sasaki, 1978):
(1) Jenis-jenis dengan kadar air biji 50-70% toleran terhadap penyimpanan dengan suhu 4C dan
dapat memelihara kecambahnya selama 3-6 bulan:
-Jenis-jenis Shorea dari subgenus Anthoshorea;
-Beberapa Hopea, sampai 3 bulan;
-Beberapa Anisoptera;
-Beberapa Dipterocarpus;
-Beberapa Vatica.
Dryobalanops dan Parashorea dapat disimpan hanya untuk 2-4 minggu tanpa kehilangan
daya kecambah, dan hanya bila kadar airnya dipelihara tepat. Penyimpanan dalam suhu
rendah bermanfaat menahan terjadinya pembusukan dan serangan cendawan. Contohnya,
Shorea talura masih berkecambah sebanyak 69% setelah disimpan 6 bulan pada temperatur
4C dengan kadar air 68%.
(2) Jenis-jenis yang sangat sensitif terhadap suhu rendah dan memperlihatkan kerentanan yang
tinggi terhadap luka beku (jaringannya menjadi rapuh, busuk, dan mati). Jenis-jenis ini

13
terbaik disimpan pada suhu 16-25C (rata-rata 21C), yang meliput terutama subgenus
Rubroshorea. Toleransi terhadap penyimpanan dalam berbagai keadaan untuk memperoleh
daya kecambah tinggi, tetap masih merupakan tantangan penelitian yang luas.
Biji dipterokarpa tidak dapat disimpan lama. Banyak percobaan oleh para peneliti telah
dibuat dan diuraikan, tentang penyimpanan pada berbagai suhu, kelembaban dan cara penge-
pakan. Yap (1981) meringkas hasil-hasil itu, seperti dicuplik dalam Tabel 2.1.
Seperti nampak dari Tabel 2.1., biji dipterokarpa dapat disimpan hanya sebentar saja.
Terutama pada suhu rendah. Namun pada suhu tinggipun, penyimpanan itu problematis. Bila
kelembaban terlampau rendah, biji mati. Pada kelembaban yang memadai, biji itu langsung
berkecambah, atau rusak oleh jamur. Pada keadaan tercocokpun, biji dipterokarpa hanya dapat
disimpan antara 8 sampai 84 hari. Tidak ada satu jenispun yang dapat disimpan sampai masa
pembuahan berikutnya (minimal setahun). Beberapa jenis seperti Dryobalanops oblongifolia,
dan Hopea subalata sama sekali tidak dapat disimpan, kalau daya kecambahnya diharapkan
tidak merosot kurang dari 75% dari aslinya (Sasaki, 1980; Tang dan Tamari, 1973). Buah
Dryobalanops malah sudah mulai berkecambah sejak masih di atas pohon induknya (Sasaki,
1980). Penyediaan bibit di persemaian untuk sepanjang tahun, tidak mungkin dapat dilakukan.
Untuk memenuhi kebutuhan praktis biasanya cabutan semai alami disapih di persemaian, seperti
dilakukan perusahaan-perusahaan kehutanan di Kalimantan. Metode pembiakan vegetatif untuk
penanaman besar-besaran juga sudah selesai dikembangkan di Kalimantan Timur.
Menurut pengamatan penulis, pohon-pohon dipterocarpaceae di Kalimantan Timur ber-
bunga pada bulan November, dan buahnya jatuh pada bulan Januari sampai Maret tahun
berikutnya. Menurut penelitian Maury-Lechon et al. (1981) di PT ITCIKU Kabupaten Paser, dari
sebatang Shorea parvifolia berdiameter 70 cm dapat dipetik 5000 sampai 18000 buah. Dari
sebatang Dipterocarpus humeratus - yang diameter buahnya 3-4 cm - yang berdiameter 60 cm
dapat berbuah 1000 sampai 6000 butir. Hal itu berarti, sebatang pohon induk dipterocarpaceae
dapat menaburkan buah untuk 2 ha lahan dengan melimpah, asal saja buah tersebut dapat
mencapai tanah mineral dan tidak menyangkut di atas tajuk belukar yang kemudian mati kering.

Tabel 2.1. Lama maksimum penyimpanan biji dipterokarpa pada pelbagai suhu, agar persen
kecambah tidak kurang dari 75% dari persen kecambah biji segar (Yap, 1981).

NO JENIS Daya kecambah Lama maksimum penyimpanan (hari) pada suhu


biji segar (%) 4 C 8 C 14 C 25 C
1 Dipterocarpus baudii 75 - - 17 -
2 D. oblongifolia 90 - - 60 60
3 Dryobalanops aromatica 75 2 - 8 8
4 Dr. oblongifolia 90 - - - -
5 Hopea helferi 100 - - 14 14
6 H. odorata 100 - - 14 -
7 H. subalata 100 - - - -
8 Neobalanocarpus heimii 100 - 17 57 -
9 Parashorea densiflora 87 16 - - 60
10 Shorea materialis 96 - - - -
11 S. sumatrana 80 - - - 15
12 S. assamica 86 - - - -
13 S. hypochra 95 38 - - -
14 S. roxburgii 95 - - - 84
15 S. acuminata 85 - - - 30

14
16 S. curtisii 77 - - - 30
17 S. leprosula 100 - - 9 -
18 S. parvifolia 100 - - - -
19 S. ovalis 100 - - 13 44
20 S. macrophylla 92 - - - -
21 S. platyclados 100 - - - 30
22 S. maxima 95 - - 14 -
23 Vatica umbonata 100 - - 30 30
24 V. cinerea 86 - - - 60

D. Perkecambahan biji dipterokarpa


Daya kecambah biji dipterokarpa bertahan sebentar saja. Di alam, daya kecambah itu
merosot drastis dari 90% menjadi 0% dalam beberapa hari saja. Biji menjadi mati karena
kehilangan kelembaban. Cara penyimpanan biji yang biasanya dilakukan dengan kelembaban
lebih kurang 10% dari asalnya dan dengan suhu -18 C, tidak dapat dilakukan karena buah
dipterokarpa tidak tahan. Sebagai kekecualian, biji Keruing, Kapur dan Hopea dapat disimpan
dengan suhu 5 C sampai sebulan. Penyebab kritisnya penyimpanan ada tiga yaitu kekurangan
oksigen, kekurangan kelembaban, dan gangguan jamur (Ng, 1981).
Perkecambahan juga memerlukan kelembaban tinggi, sebagaimana di alam tropis yang
biasanya pembuahan bertepatan dengan musim hujan. Gangguan utama selama perkecambahan
adalah disantap serangga (terutama semut dan ulat). Pada umumnya perkecambahan selesai
dalam 12 minggu.
Faktor penentu perkecambahan biji dipterokarpa adalah kelembabannya. Biji hanya
dapat berkecambah bila kadar airnya lebih dari 20% dan pada kelembaban udara nisbi 95%.
Dapat diduga bahwa bedeng perkecambahan terbaik di alam adalah humus lembab di bawah
tajuk yang rimbun (Sasaki, 1980). Dugaan Sasaki tersebut tidak selalu benar, karena serasah di
hutan alam akan menjadi kering bilamana hari tidak hujan selama lebih dari 2-3 hari sehingga
serasah tidak lagi menjadi bedeng ideal untuk berkecambahnya buah dipterocarpaceae.
Pengaruh sinar matahari terhadap daya kecambah biji dan persen hidup semai telah diteliti
oleh Figarola (1986) di Filipina terhadap biji yang dipetik serentak dari lima pohon induk (Tabel
2.2).

Tabel 2.2. Pengaruh sinar terhadap daya kecambah dan persen hidup Anisoptera thurifera
(Figarola, 1986).
Keadaan Jml biji Berkecambah Persen hidup
penyimpanan disemaikan (%) (%)
Terbuka 500 17 6
Di bawah tajuk 500 16 14

Hasil itu menunjukkan, bahwa sinar matahari tidak diperlukan untuk perkecambahan,
namun juga tidak mengganggu. Tetapi semainya hidup lebih banyak di bawah naungan daripada
di tempat terbuka.
Di Malaysia Barat, Ng (1973) mengumpulkan data masa berkecambah dari jenis-jenis
Malaysia di bedeng tabur dan pada petri dish. Tidak selalu ia mencoba dengan jumlah biji yang
banyak. Sebagian hasilnya diperlihatkan dalam Tabel 2.3.

15
Seperti diperlihatkan dalam Tabel 2.3., setelah mencoba masa kecambah beberapa ratus
jenis pohon Malaysia, Ng dan Mat-Asri (1979) menyimpulkan, bahwa kebanyakan biji
dipterokarpa berkecambah dalam waktu kurang dari 12 pekan.

Tabel 2.3. Masa kecambah beberapa jenis dipterokarpa di persemaian Kepong, Malaysia
(Ng, 1973, 1975; Ng dan Mat-Asri, 1979).

Penyimpanan Masa kecambah


Jenis (hari) (pekan)
Selesai 75%
Dipterocarpus 3 4-6 5
cornutus 1 2-4 3
Dipterocarpus 1 3-6 4
grandiflorus 3 2-8 3
Vatica stapfiana 1 1-2 2
Shorea leprosula
Shorea ovalis
Percobaan pengecambahan dipterokarpa dengan berbagai pengolahan tanah di alam, telah
dilakukan oleh Taguchi dan Dalmacio (1987) di Filipina. Hasilnya disampaikan dalam Tabel 2.4.

Tabel 2.4. Daya kecambah dan persen hidup menurut berbagai pengolahan tanah hutan (Taguchi
dan Dalmacio, 1987).
Jenis Daya Persen hidup
kecambah
A B C A B C
1. Dipterocarpus 56 55 57 15 13 35
grandiflorus 10 14 16 0 2 8
2. Dipterocarpus haseltii 14 16 18 2 5 12
3. Dipterocarpus gracilis 12 18 15 11 16 13
4. Hopea dalingdingan 18 14 26 17 14 26
5. Anisoptera thurifera
A = tanpa pengolahan, B = tumbuhan bawah dibuang, C = tumbuhan bawah dan serasah
dibersihkan.

Pengaruh pengolahan tanah terhadap daya kecambah: lemah, namun pengaruhnya terha-
dap persen hidup: kuat. Kontak langsung biji dengan tanah mineral karena penyingkiran seresah
(rubrik persen hidup, kolom C) telah meningkatkan persen hidup semai.

E. Peranan rumpang di hutan alam meranti


Dipterokarpa muda hanya memiliki kesempatan berkembang bila kebetulan berada di dalam
sebuah rumpang atau menerima telau (sunfleck). Rumpang kecil terbentuk oleh mati atau patah-

16
nya sebatang pohon dewasa. Rumpang yang lebih besar terjadi karena rebahnya beberapa pohon
bersamaan oleh badai misalnya, atau tertarik perambat, atau oleh exploitasi hutan alami. Ukuran
rumpang mempunyai pengaruh yang besar terhadap iklim mikro (iklim di bawah tajuk), dan
terhadap suksesi hutan. Beberapa dipterokarpa, khususnya dari kelompok meranti seperti Shorea
leprosula, S. parvifolia, S. ovalis, S. pauciflora, berkembang baik dalam rumpang yang besar.
Jenis-jenis tersebut dapat tumbuh di bawah tekanan jenis-jenis pionir. Vegetasi pionir tersedia
bijinya di mana-mana yang segera berkecambah bila suhu tanah naik.
Hutan meranti dapat meremajakan diri secara alami. Pohon-pohon tua akan mati, dan ruang
yang ditinggalkannya digantikan oleh semai meranti dan jenis-jenis pionir baik yang berupa
herba, pohon, semak dan perambat. Semakin besar rumpang, semakin kuat proporsi jenis-jenis
pionir yang dalam silvikultur sering dianggap gulma. Pohon-pohon pionir tumbuh melesat lebih
cepat daripada perkembangan jenis-jenis primer. Namun setelah satu sampai dua dekade,
kebanyakan dari mereka tidaklah tumbuh meninggi lagi atau malahan sudah mulai mati. Tinggal
lagi satu dua jenis pionir berumur panjang, misalnya kelampayan (Anthocephalus chinensis),
embulung (Duabanga molluccana), dan mataudang (Endospermum peltatum). Pada saat itulah
pancang meranti mulai berkesempatan menikmati sinar penuh dan tumbuh lebih sempurna.
Weidelt dan Banaag (1982) menganjurkan agar pohon-pohon pionir tidak perlu diganggu dalam
perawatan tegakan. Pertama karena anakan meranti masih dapat tumbuh bagus dibawah naungan
ringan mereka, keduanya, kalau pohon-pohon pionir itu dibunuh, bukan berarti permudaan
meranti menjadi bebas saingan, malah muncul perambat yang bagi produksi kayu sangat
merugikan. Dengan demikian yang harus betul-betul diberantas hanyalah semua perambat,
termasuk rotan.
Dinamika dalam tegakan meranti telah diteliti mendalam oleh Woell (1988) di Filipina de-
ngan berbagai plotnya yang tersebar dari Luzon-Utara sampai Mindanao-Timur dan Selatan.
Dalam usia 18 tahun setelah eksploitasi, 70% wilayah rumpang sudah ditutupi oleh permudaan
dipterokarpa yang berdiameter >10 cm. Dari proyeksi tajuk yang diurut menurut diameter, dapat
dikenali sudah terjadinya diferensiasi pertumbuhan di antara pohon-pohon muda meranti yang
mendominasi (bekas) rumpang. Pada tegakan demikian, dimana pohon unggul dan tertekan
sudah dapat dibedakan, pemeliharaan sudah dapat dimulai, karena para rimbawan sudah dapat
memilih pohon unggulan. Lebih banyak rumpang, lebih banyak terdapat permudaan tingkat
tiang. Pada umur rumpang seperti itu hanya tinggal 30% nya saja yang masih 'kosong', yang
artinya permudaan meranti yang berada di situ masih berdiameter <10 cm, yang jumlahnya
mencapai lebih dari 400 batang perhektar dengan diameter 5 - 9,9 cm. Kerapatan pancang itu
lebih rendah daripada kerapatan tingkat tiang, namun secara umum dapat dinyatakan bahwa
kerapatan permudaan dalam rumpang 1,7 - 3,2 kali lebih tinggi daripada di bawah sisa tegakan
primer. Populasi tiang meranti terpadat berada di dalam bekas rumpang-rumpang besar yang ber-
ukuran 0,1 - 0,2 ha (30x30 m sampai 40x50 m). Di situ pula tersedia cukup sinar bagi semai-
semai baru yang lahir setelah eksploitasi. Oleh karena itu rumpang besar dihuni lebih padat oleh
permudaan meranti. Namun demikian, sejak berukuran 0,02 - 0,03 ha (45x45 m sampai 55x55
m), rumpang bekas eksploitasi sudah menunjukkan kerapatan permudaan dipterokarpa yang
lebih tinggi daripada di bawah tajuk tegakan.
Walaupun jalannya dinamika dalam rumpang itu ditentukan juga oleh keadaan tapak (ke-
suburan tanah, kelembaban, topografi), struktur permudaan (bercampur jenis pionir), dan be-
sarnya rumpang, namun keadaan di muka berlaku bagi pada umumnya hutan tropis lembab
dataran rendah.

17
Dibandingkan dengan kehidupan yang dinamis di dalam rumpang, keadaan di bawah sisa
tajuk primer dapat dianggap sebagai 'fase stasioner'. Ruang di bawah tajuk pohon-pohon besar
yang masih berdiri itu merupakan habitat yang baik bagi pohon-pohon kecil dan jenis-jenis
pohon tahan naungan. Peranan lainnya dari keanekaan dalam hutan tropis lembab adalah untuk
mempertahankan kelengkapan cadangan menu makanan bagi seluruh sistem.
Hampir semua jenis dipterokarpa memerlukan naungan untuk pertumbuhan awalnya (Ni-
cholson, 1979). Tidak jelas, seberapa jauh kematian dapat disebabkan oleh terlalu kuatnya sinar.
Atau apakah pengaruh tidak langsung dari penyinaran itulah yang menyebabkan kematian,
seperti kekeringan tapak dan menjadi panasnya tanah serta serasah. Beberapa hasil penelitian
terakhir menunjukkan bahwa semai dipterokarpa tumbuh paling baik pada kadar penyinaran 30-
50% (dari penyinaran penuh seperti di tempat terbuka). Di bawah tajuk hutan yang sangat rapat,
kadar sinar sering tinggal 1-2% saja, tidak mencukupi untuk kebutuhan minimal fotosintesa.
Dengan demikian tapak terbaik untuk pertumbuhan semai dipterokarpa adalah rumpang
(celah/ruang di antara tajuk stratum atas yang memungkinkan sampainya sinar ke permukaan
tanah). Sejak berumur 2 tahun, hampir semua semai dipterokarpa telah menjadi tahan atau
bahkan memerlukan sinar yang lebih banyak.
Semai yang hidup dengan sinar langsung tetapi berada di tempat sejuk, misalnya dalam
rumpang, tumbuh lebih cepat dan sehat daripada di dalam ruang terbuka di tepi jalan.
Penyebabnya adalah karena suhu daun di dalam rumpang tidak menjadi terlampau panas
sehingga fotosintesis dapat berlangsung sepanjang hari. Lain halnya dengan daun yang berada di
tempat terbuka luas, harus menutup stomata pada tengah hari akibat suhu daun menjadi
terlampau panas. Padahal bilamana stomata menutup, maka terhenti pulalah fososintesis. Itulah
sebabnya mengapa kebun kakao, kopi, dan teh dinaungi pohon besar yang jarang, agar
produktivitas kebun menjadi maksimal.
Permudaan alami tumbuh setelah pembuahan di sekitar induknya. Semai-semai itu bertahan
di bawah naungan untuk beberapa tahun dengan sinar yang tidak memadai, sehingga pertum-
buhan tingginyapun hanya sekitar 2 cm setahun (Whitmore, 1984). Mereka hidup dalam "masa
tunggu". Kalau setelah beberapa tahun tidak kunjung ada rumpang terbentuk, atau tidak ada
pertambahan sinar yang mencapai tanah, matilah semai-semai itu. Itulah sebabnya selalu terdapat
cukup semai namun sedikit pancang dan tiang dalam struktur tegakan meranti.
Hasil penelitian Sutisna (1990) tentang keperluan sinar dan hara semai dipterocarpaceae
ditampilkan ulang dalam Tabel 2.5. Sutisna menampilkan hasil analisis varians 4 faktor:
naungan, jenis pohon, pupuk posfat, dan pupuk NPK yang dilanjutkan dengan uji jarak Duncan.
Pupuk TSP diberikan saat penanaman di lubang tanam. Pupuk NPK diberikan 3 bulan kemudian
kepada setiap tanaman.

Tabel 2.5. Pengaruh naungan dan pemupukan terhadap riap tinggi semai dipterocarpaceae
dalam 12 bulan pertama.

FAKTOR PERLAKUAN RIAP TINGGI


(cm)
Naungan Rumpang (diameter 30 m, sinar 70% dalam 73 c
(N) *** Lux) 52 b
Naungan ringan (sinar 12% dalam Lux) 3a
Tegakan rapat (sinar 1% dalam Lux)

18
Jenis tanaman Shorea leprosula 62 c
(J) *** Shorea laevis 37 a
Shorea johorensis 37 a
Shorea dolichocarpa 29 a
Dryobalanops lanceolata 47 b
Pupuk posfat 0 g/tanaman 47 b
(P) ** 10 g/tanaman 42 a
20 g/tanaman 42 a
40 g/tanaman 41 a
80 g/tanaman 40 a
Pupuk NPK 0 g/tanaman 40 a
(M) - 10 g/tanaman 41 a
20 g/tanaman 42 a
40 g/tanaman 43 a
80 g/tanaman 45 a
NxJ ***
NxP -
NxM -
JxP -
JxM -
NxJxP -
NxJxM -
JxPxM -
NxJxPxM -
Taraf bena menurut analisis varians: *** bena pada 0,1%, ** pada 1%, - tidak bena pada 5%.
Huruf a,b,c, menunjukkan beda bena menurut uji Duncan pada taraf 5%.

Dari Tabel 2.5. ditunjukkan pengaruh nyata dari naungan dan pupuk posfat dan juga
interaksi nyata antara naungan dan jenis tanaman. Secara satu-persatu dapat dikemukakan sbb.
(1) Pengaruh naungan terhadap riap tinggi.
Semai dipterocarpaceae tumbuh terbaik dalam rumpang (rata-rata semua jenis 73 cm selama
tahun pertama), diikuti oleh tanaman dalam naungan ringan. Sebaliknya di bawah tegakan
rapat semai tumbuh seret sekali. Secara statistik riap tinggi tanaman pada naungan yang
berbeda itu berbeda bena. Hal ini menunjukkan bahwa intensitas sinar yang cukup sangat
diperlukan bagi pertumbuhan tinggi tanaman dipterocarpaceae.
(2) Perbedaan riap tinggi antar jenis pohon.
Selama tahun pertama Shorea leprosula menghasilkan riap tinggi terbesar yaitu 62 cm
diikuti oleh Dryobalanops lanceolata. Dibandingkan jenis-jenis Shorea lainnya (S. laevis,
S. johorensis, S. dolichocarpa), S. leprosula menghasilkan riap tinggi hampir dua kali lebih
besar.
(3) Pengaruh pupuk awal posfat terhadap riap tinggi
Tanaman dipupuk tumbuh lebih lambat daripada yang tidak dipupuk. Pupuk awal dengan
triple-superposfat pada tanah asli hutan alam, menghambat pertumbuhan semai
dipterocarpaceae. Penyebabnya diduga karena pupuk awal pada lubang tanam menghasilkan
efek pemasaman reaksi tanah yang mengganggu fisiologi pohon, namun dalam penelitian ini
tidak diselidiki.
(4) Pengaruh pupuk NPK terhadap riap tinggi.
Secara statistik tidak ada pengaruh bena dari semua dosis pemupukan NPK terhadap riap
tinggi. Penyebab yang memungkinkan adalah pencampuran pupuk TSP dengan Urea
mengakibatkan melemahnya manfaat senyawa pupuk.

19
(5) Interaksi antar faktor.
Hanya satu interaksi ditemukan, yaitu antara naungan dan jenis tanaman. Ini berarti bahwa
pengaruh naungan itu nyata tidak sama bagi setiap jenis tanaman.
Secara kasar dapat dikatakan bahwasanya ukuran rumpang optimum untuk membesarkan
semai dan pancang meranti adalah sebesar tajuk pohon yang menaunginya. Dengan demikian
bilamana sebatang semai atau pancang dipterocarpaceae diharapkan tumbuh membesar, maka
sebatang pohon penaung di atas tajuknya harus dibunuh dengan peneresan atau peracunan.

F. Mikorisa pada meranti


Semua jenis dipterokarpa membentuk mikorisa. Jlich (1988) telah menemukan 60 jenis
jamur pembentuk mikorisa di hutan meranti di Kalimantan Timur. Pada dipterokarpa, mikorisa
yang terbentuk adalah ektomikorisa ("ectomycorrhyzae"). Benang-benang hypa dari jamur tum-
buh menyelimuti akar halus (bukan bulu akar) atau di antara sel-sel kulit akar, dan sangat jarang
membentuk haustoria yang memasuki sel akar. Ektomikorisa di hutan tropis lembab dataran
rendah pada umumnya dibentuk oleh jamur dari subdivisio Basidiomycetes yang dapat
membentuk sangat banyak spora halus yang dapat ditebarkan angin. Jamur yang membentuk
mikorisa pada Meranti termasuk ke dalam ordo Agaricales s.lat., Boletales, Aphyllophorales,
Gastromycetes dan jamur Imperfect. Sejenis pohon Meranti ditemukan bersimbiose dengan
beberapa jenis jamur. Begitu pula satu jenis jamur, misalnya Laccaria aff. laccata dan
Scleroderma columnare, dapat membentuk mikorisa pada beberapa jenis Dipterocarpus dan
Shorea sekaligus. Jadi tidaklah benar dugaan lama yang menyatakan bahwa mikorisa pada
Meranti hanya terbentuk dengan jamur yang spesifik.
Akar halus yang telah menjadi mikorisa, akan tetap pendek dan mejadi lebih tebal karena
terbungkus benang-benang hypa dari jamur. Hypa yang sangat tipis ini dapat menyelinap meme-
nuhi semua ruang antar sel cortex akar. Akar yang membentuk mikorisa memiliki tiga ciri: (1)
tanpa bulu akar; (2) tudung akarnya tipis saja; (3) diferensiasi anatomis akar sudah jelas sejak
dari ujung akar.
Akar pohon akan lebih mudah "bertemu" dengan jamur pasangannya yang tepat bila pohon
itu hidup di dalam habitat aslinya. Misalnya bagi akar semai-semai yang lahir dekat induknya.
Kalau semai ditanam di tempat terbuka, biasanya sulit memperoleh jamur pasangan dengan
hanya mengandalkan tebaran spora oleh angin. Tanpa mikorisa, semai hidup merana dan tidak
mampu membangun tajuk. Jamur pembentuk mikorisa lebih banyak terdapat pada tanah-tanah
yang bertekstur remah dan lembab. Pembentukan mikorisa lebih banyak terjadi pada tanah yang
mengandung cadangan hara sedikit dan bila pohon inang menerima sinar yang cukup. Kebakaran
hutan yang hebat dapat memunahkan semua hypa yang di kedalaman tanah sekalipun, namun di
bekas kebakaran permukaan hutan di Kalimantan Timur ternyata masih dapat ditemukan adanya
mikorisa.
Simbiose antara pohon dengan jamur menguntungkan kedua belah fihak. Akar menyediakan
karbohidrat dan senyawa-senyawa lainnya bagi jamur, dan jamur meningkatkan daya serap akar
terhadap nitrogen, posfat, dan hara-hara lainnya, walaupun jumlahnya di dalam tanah kurang
memadai. Jamur mikorisa juga meningkatkan ketahanan pohon inangnya terhadap kekeringan,
suhu tanah yang terlampau tinggi, toksin tanah, merangsang pertumbuhan dan perpanjangan
bulu-bulu akar, meningkatkan penyerapan air, dan melindungi akar dari penyakit.
Peningkatan daya serap akar yang membentuk mikorisa seiring dengan bertambahnya
diameter akar dan percabangan serta perpanjangan dari benang-benang hypa. Volume tanah yang
dieksploitasi oleh mikorisa dapat mencapai 10 kali lebih besar daripada oleh akar biasa.

20
Mikorisa dapat lebih banyak menyerap air karena:
(1) Merangsang pertumbuhan bulu-bulu akar baru;
(2) Peranan hypa yang merupakan pipa bertekanan rendah sehingga lebih mudah dilalui air
menuju sel-sel akar;
(3) Menambah luas penyerapan dengan perpanjangan hypa ke dalam tanah.
Mikorisa dapat menahan kekeringan karena:
(1) Volume tanah yang dieksploitasi jauh lebih besar;
(2) Akar lebih tebal sehingga tidak mudah rusak karena kekeringan.
Mikorisa meningkatkan translokasi ion-ion nitrogen dan posfat serta kation-kation kalsium
dan natrium ke dalam akar inangnya. Penyerapan N-P-K lewat mikorisa menjadi 1,8 - 3,2 - 2,1
kali lebih banyak. Mikorisa juga mampu menyerap lebih banyak Ca++, Rb+, Cl, SO4, Na+, Mg--,
Fe++, dan Zn++.
Di persemaian lama PT ITCI (Km 41, Jl.no. 1000, sekarang sudah dibongkar) telah dite-
mukan dua jenis jamur mikorisa yaitu Laccaria aff. laccata (Agaricales) dan Scleroderma co-
lumnare (Gastromycetes) yang bertahan hidup pada tempat yang betul-betul tanpa naungan (suhu
dapat mencapai 40C) dan kering. Kedua jamur ini juga ditemukan pada lingkungan aslinya di
tanah hutan. Dari penemuan ini Jlich (1988) menganjurkan pemilihan kedua jenis jamur itu
untuk penularan mikorisa di persemaian bilamana semai-semai Meranti akan ditanam di tempat
terbuka atau yang telah dibakar. Metoda isolasi dan penularannya juga telah diuraikannya terrinci
dalam bukunya tersebut.

BAB.III.
PERKEMBANGAN SILVIKULTUR DI WILAYAH TROPIK

Tujuan
Menjelaskan prinsip-prinsip silvikultur hutan alami dan kemajuan silvikultur di beberapa negeri
tropis.
Setelah aktif mengikuti kuliah dan mengerjakan soal bab ini, mahasiswa mampu:
(1) Menceriterakan kembali kondisi umum hutan alami.
(2) Menceriterakan teknik perbaikan hutan alami.
(3) Menceriterakan prinsip sistem tebang pilih.
(4) Menceriterakan prinsip sistem the Malayan Shelterwood System (MSS).
(5) Menceriterakan prinsip sistem the Malayan Uniform System (MUS).
(6) Menceriterakan prinsip sistem the Philippine Selective Logging (PSLS).
(7) Mengenal riwayat pengelolaan hutan di Indonesia dan hubungannya dengan silvikultur.
(8) Mengenal kendala pengusahaan hutan alami di Indonesia.

A. Keadaan umum
Silvikultur adalah teknik pekerjaan untuk mewujudkan keinginan politik hutan yang
ditentukan oleh kepentingan umum, tujuan perusahaan, dan keadaan setempat di tempat peng-
elolaan hutan berada. Kepentingan umum tercermin dengan fungsi hutan, tujuan pengelolaan
adalah memaksimalkan manfaat, sedangkan keadaan setempat adalah daya dukung tapak (iklim,
tanah, vegetasi), dan daya dukung sosial masyarakat sekitar hutan.
Menurut Lamprecht (1986), sampai akhir-akhir ini langka ada pengelolaan hutan alami
tropik yang tertata. Pemanfaatan hutan tropik kebanyakan berupa "penambangan" atau

21
"eksploitasi", tanpa prinsip kelestarian dan tanpa silvikultur. Sering hutan tidak dianggap suatu
sumberdaya ekonomi, melainkan sebagai penghambat peradaban. Pandangan masyarakat yang
keliru tentang hutan alami biasanya yaitu sebagaimana dibawah ini.
(1) Bahwa hutan tak pernah habis, atau permintaan penduduk terhadap kayu masih sedikit.
(2) Pengetahuan tentang hutan sangat kurang, padahal merupakan syarat mutlak pengendalian
produksi. Bahkan wilayah-wilayah hutan yang jauh dari pemukiman masih belum
terpetakan.
(3) Kurang tahu pentingnya hutan terhadap kesejahteraan masyarakat. Kesadaran akan
pentingnya keberadaan hutan baru muncul biasanya setelah hutannya tidak ada lagi dan
bencana mulai timbul.
Penyebab tidak berlangsungnya kelestarian pengelolaan hutan alami tropik adalah sebagai
berikut.
(1) Kekurangan tenaga profesional yang berbakti dan mau bekerja di lingkungan hutan tropik
alami yang pada umumnya fasilitas infrastrukturnya tidak memadai untuk kehidupan yang
layak dari keluarga.
(2) Tidak mungkin menerapkan teori kehutanan dari negeri yang telah maju, karena keadaan
alam, komposisi jenis, struktur dan dinamiknya berbeda. Terutama untuk teknik silvikultur
yang sangat terikat dengan keadaan tapak dan biologis hutan. Pembangunan kehutanan
memerlukan dana, tenaga teknis, dan waktu untuk menyusun teknik pengelolaan tegakan
hutan yang sesuai dengan keadaan setempat. Para silvukulturis masih berhadapan dengan
problem pengelolaan hutan-hutan yang baru dibuka.
(3) Perambahan hutan untuk tujuan lain dilakukan oleh segala lapisan masyarakat, padahal
kelestarian hutan hanya dimungkinkan pada kawasan yang aman. Kebanyakan instansi
Pemerintah belum mampu mengatasi masalah ini.
B. Modal awal silvikultur
Sebagai modal awal, pengelolaan hutan menghadapi berbagai keadaan hutan alami yang
berupa hutan primer, hutan sekunder, dan tegakan tinggal.
1. Karakteristik hutan primer
(1) Karena perbedaan tapak, timbul struktur dan tipe hutan yang sangat beraneka, sehingga tidak
ada 'resep' yang dapat berlaku umum.
(2) Jenis pohon sangat banyak (40-80 jenis/ha), sehingga jumlah batang per jenis sangat sedikit
sehingga menyulitkan pemanfaatan/pemasaran. Jenis-jenis pohon bercampur secara
individual.
(3) Pada satu tapakpun terdapat variasi struktur dan komposisi akibat adanya mosaik-mosaik
umur tegakan hutan alami.
(4) Frekuensi (ukuran kemerataan) jenis pada umumnya rendah, namun ada juga jenis yang
penyebaran vertikal dan horizontalnya tinggi.
(5) Struktur diameter 'plenter' (huruf J terbalik). Beberapa jenis niagawi berstruktur tidak
teratur, pada ukuran pohon besarnya cukup, namun permudaanya kurang, khususnya jenis-
jenis pionir berumur panjang, nomaden dan oportunis.
(6) Sedikit batang yang mulus. Pohon-pohon besar sering bolong.
(7) Hanya sedikit (0-20%) jenis pohon niagawi, yang lainnya kalaupun laku akan rugi. Volume
terjual sekitar 0-20 m3/ha, kecuali hutan dipterokarpa di Asia Tenggara yang mengandung
banyak kayu seragam dari jenis yang berbeda.
(8) Secara alami riapnya kecil, bahkan dalam skala luas besarnya nol.

22
(9) Di banyak hutan tropis alami, walaupun terdapat permudaan, namun jumlahnya sering
sedikit saja.
2. Karakteristik hutan sekunder
Hutan sekunder adalah fase pertumbuhan hutan dari keadaan tapak gundul, karena
perubahan secara alami ataupun karena ulah manusia (antropogen), sampai menjadi klimaks
kembali. Tidak benar bahwa hutan sekunder tidak lagi alami, yang benar adalah istilah 'hutan
alami sekunder' untuk membedakannya dari 'hutan alami primer'. Sifat-sifat hutan sekunder
dirinci berikut ini.
(1) Komposisi dan struktur tidak saja tergantung tapak namun juga tergantung kepada umur.
(2) Tegakan muda berkomposisi dan berstruktur lebih seragam dibandingkan hutan aslinya.
(3) Tak berisi jenis niagawi. Jenis-jenis pohonnya berkayu lunak, ringan, tidak awet, kurus,
tidak laku.
(4) Persaingan ruang dan sinar yang intensif sering membuat batang bengkok. Jenis-jenis
kayunya cepat gerowong.
(5) Riap awal besar, lambat-laun mengecil.
(6) Karena struktur, komposisi dan riapnya tidak akan pernah stabil, sulit merencanakan
pemasaran hasilnya.
3. Karakteristik tegakan tinggal
Tegakan tinggal adalah tegakan hutan alami setelah tebang pilih. Tergantung kekerasan
panen, ada yang tumbuh kembali menjadi klimaks, ada pula yang menjadi hutan sekunder.
Tegakan tinggal ini yang menjadi tipe terpenting dewasa ini di Indonesia dan menjadi pusat
perhatian silvikultur.
Tegakan tinggal merupakan mosaik-mosaik hutan muda (di bekas rumpang tebang pilih) di
tengah hutan klimaks. Tanpa campur tangan manusia pohon-pohon muda membesar di dalam
rumpang. Dengan demikian tegakan tinggal adalah tegakan hutan yang tumbuh, berbeda dengan
hutan klimaks yang pertumbuhan totalnya tidak ada karena diimbangi pohon mati.
Di Kalimantan, pemanenan kayu dengan sistem tebang pilih di hutan primer yang
menebang pohon besar sebanyak 10 bt/ha ternyata mengurangi kerapatan pohon setengahnya,
yaitu dari sekitar 500 bt/ha menjadi sekitar 250 bt/ha. Pemeliharaan tegakan tinggal di plot-plot
penelitian biasanya mengurangi bidangdasar tegakan (d 10 cm) dari sekitar 25 m/ha menjadi
sekitar 15 m/ha.
4. Pertimbangan budidaya
Banyak hutan tropik yang tidak langsung siap panen, karena kayu niagawinya terlampau
sedikit sehingga tidak dapat menutupi biaya panennya. Hutan-hutan demikian harus dibudidaya-
kan dulu agar siap diusahakan dengan salahsatu sistem silvikultur. Teknik budidaya mana yang
akan dipakai ditentukan oleh faktor-faktor sebagai berikut.
(1) Keadaan tapak dan produktivitasnya: pada tanah pasir jangan tebanghabis.
(2) Jenis pohon yang ada dalam tegakan: kalau terdapat cukup permudaan jenis niagawi, jangan
dikonversi menjadi tanaman.
(3) Tujuan politik hutan setempat atau nasional: fungsi hutan mana yang diutamakan?
(4) Kemampuan pengelolaan dari instansi kehutanan yang ada: kalau kurang tenaga teknis yang
siap pakai pada tahap bawah, jangan pakai kegiatan silvikultur intensif.
(5) Biaya produksi dan pertimbangan-pertimbangan usaha lainnya: mengusahakan jenis yang
mana.
(6) Aksesibilitas hutan.

23
(7) Ketersediaan tenaga kerja: bila penduduk jarang dan areal kerja terlampau luas jangan
menggunakan pengusahaan intensif, gunakan saja sistem tebang pilih.
(8) Pasar dan industri kayu lokal: kalau hanya laku beberapa jenis saja, cukup ambil dengan
tebangpilih.
Sasaran pendahuluan budidaya hutan alami fungsi produksi ada beberapa hal seperti
berikut ini.
(1) Komposisi floristik, struktur tegakan dan umur lebih homogen daripada tegakan asalnya.
(2) Dapat menghasilkan kayu seragam dalam jumlah banyak (contoh: dipterokarpa).
(3) Tegakan yang telah dibudidayakan harus menghasilkan jumlah kayu lebih banyak dari
yang dibiarkan.
(4) Mutu hasil dari tegakan budidaya harus lebih baik daripada mutu kayu tegakan alam.
Teknik budidaya hutan tropik dapat dikelompokkan menjadi dua macam yaitu perbaikan
dan konversi. Perbaikan tegakan adalah pemeliharaan tegakan hutan alami, biasanya yang
berupa tegakan tinggal bekas tebang pilih. Konversi hutan alami adalah penggantian bentuk
hutan alami menjadi hutan tanaman.

C. Perbaikan tegakan
Perbaikan tegakan didefinisikan sebagai pengubahan struktur atau komposisi tegakan
secara perlahan-lahan untuk memproduktifkan hutan tropik. Masih belum jelas sepenuhnya,
seberapa jauh hutan tropik tahan diseragamkan tanpa merusak kemampuan melestarikan dirinya.
Karena sebagian besar kation basa penting (K, Ca, Mg) hanya berada dalam phytomassa, maka
keanekaan vegetasi harus dipertahankan. Artinya, perlakuan pembebasan dan pembersihan hanya
boleh dikerjakan yang sangat perlu saja, tidak boleh sembarang tebas. Budidaya yang terlampau
drastis/keras dalam jangka panjang akan menyebabkan gangguan siklus hara dalam ekosistem
hutan.
Secara umum perbaikan tegakan berisikan kegiatan sebagai berikut:
a. pembagian kedalam blok,
b. potong semua perambat,
c. tebang semua pohon luka, bengkok, sakit, selama tidak menyebabkan rumpang besar,
d. pemacuan riap pohon unggulan dengan membunuh penyaingnya (teres, racun); pembebasan
diulang bila pohon unggulan telah tersaing kembali, dilanjutkan dengan penjarangan pilihan.
Kaidah pokok perbaikan tegakan adalah tebang seperlunya, karena tidak ada hasil. Selain
itu, pembebasan yang terlampau keras menyebabkan pohon binaan merunduk dan munculnya
gulma. Perlakuan yang baik adalah: sedang tapi sering. Hanya saja perlakuan yang terlampau
sering secara finansial tidak dapat dibenarkan.
Metode ini dipakai di Gabun untuk membudidayakan jenis pionir okome (Aukomea klai-
neana) di bekas ladang. Penerapan lain adalah Celos-system di Suriname, yang berupa pema-
nenan dengan daur 25 tahun, sekali panen 20 m/ha. Tegakan tinggal biasanya berisi sekitar 500
batang (>10 cm) dengan bidang dasar 25 m/ha., yang 1/4-nya berupa pohon niagawi. Diikuti
pembebasan 1-2 tahun setelah panen, untuk mengurangi kerapatan tegakan menjadi 15 m/ ha.
Dengan kerapatan demikian diperoleh riap diameter 1 cm. Kalau tidak dibebaskan 4 mm.
Pembebasan harus diulang setiap 8 tahun dan panen kedua setelah 25 tahun, dengan volume 40
m/ha (Graff, 1982; Jonkers and Schmidt, 1984). Keuntungan Celos: murah tapi lestari,
ekosistem sedikit saja berubah, mudah dilakukan siapa saja.
1. Pengayaan

24
Bila di dalam tegakan hutan alami terlampau sedikit permudaan niagawi atau tidak terdapat
sama sekali, maka diperlukan penanaman pengayaan. Biasanya keadaan demikian ditemukan di
bekas ladang dan kawasan hutan bekas kebakaran. Arah lariktanam dibuat timur-barat.
Caranya dapat diringkaskan di bawah ini.
(1) Lariktanam lebar 2 m bersihkan semuanya, lebar 5 meter kiri dan kanan semua liana,
belukar dan pohon bertajuk gelap dipotong.
(2) Jarak antara lariktanam 10 m, jarak antara pohon dalam lariktanam 5 m, bibit pancang
(tinggi 1 m).
(3) Diikuti perawatan, pada tahun pertama 2-3 kali, selanjutnya lebih jarang.
Untung rugi pengayaan ada beberapa hal seperi berikut ini.
(1) Tanpa tebang habis, perlindungan kontinyu terhadap iklim mikro dan tanah.
(2) Dapat menanam jenis-jenis pohon hutan klimaks yang sering tidak tahan ditanam pada lahan
gundul.
(3) Tegakan akhirnya dapat membentuk beberapa stratum tajuk.
(4) Karena bibit yang ditanam sedikit, maka biaya pembibitan dan pengangkutan relatif murah.
(5) Rintis yang bersih dapat menjadi tempat bermain satwa. Tanaman sering disantap oleh
herbivora.
(6) Kelemahan pengayaan sering kekurangan sinar, karena pekerja malas meneres pohon-pohon
penaung dan sulit pengawasannya.

2. Perbaikan tegakan setelah eksploitasi


Pekerjaan silvikultur dimulai setelah panenpilih. Ada yang menuju ke tegakan seragam
(The Malayan Uniform System = MUS), dan ada yang menuju kepada tegakan tidak seumur
(The Malayan Shelterwood System = MSS, The Philippine Selective Logging System = PSLS,
The Indonesian Selective Logging with Planting System = ISLPS).
D. Pertimbangan umum dalam pemilihan sistem silvikultur
Sistem silvikultur di hutan alam pada dasarnya ditentukan oleh: (1) keadaan hutan alami
(primer, sekunder, tegakan tinggal, bekas ladang); dan (2) tujuan pengusahaan (kayu vinir, kayu
bangunan, kayu serat, kayu energi).
Hutan alami fungsi produksi pada umumnya diusahakan untuk menghasilkan kayu
pertukangan dengan mempertahankan keaslian alamnya guna meminimalkan bencana
ekologis akibat terusiknya struktur tegakan hutan. Dengan demikian pertimbangan penetapan
sistem silvikultur untuk hutan alami biasanya hanya ditentukan oleh keadaan awal tegakan hutan.
Untuk itu keadaan hutan dapat dibedakan menjadi dua macam saja sebagaimana dirinci di bawah
ini.
(1) Hutan yang berisi cukup pohon siap panen yang terpencar, dapat diusahakan dengan sistem
tebang pilih, tebang jalur dan tebang rumpang. Ketiga macam sistem silvikultur itu
merupakan metode pemanenan sekaligus metode peremajaan. Sistem tebang pilih yang
memanen pohon terpencar satu demi satu, ditetapkan untuk merangsang kehadiran dan
pertumbuhan permudaan jenis-jenis pohon yang memerlukan naungan ringan. Sistem tebang
rumpang (menebang beberapa pohon mengelompok) dipakai untuk memanen dan sekaligus
meremajakan hutan yang berisi pohon siap panen banyak dan rapat, namun permudaannya
memerlukan naungan ringan. Sistem tebang jalur digunakan untuk memanen pohon siap
panen yang rapat, namun peremajaannya diinginkan secara alami (bukan ditanam)
sedangkan permudaannya memerlukan sinar penuh.

25
(2) Hutan yang berisi terlampau sedikit pohon masak tebang atau tidak cukup permudaan,
memerlukan "perbaikan" komposisi jenis sebelum siap diusahakan secara berkelanjutan.
Upaya perbaikan dapat berupa pengayaan dengan penanaman dan atau pembebasan, dapat
pula dengan konversi.
Bagaimana dengan hutan dipterokarpa di Indonesia. Hutan primer dipterokarpa memiliki
cukup volume pohon siap panen yang letaknya terpencar acak. Permudaannya memerlukan sinar
langsung dalam suasana rumpang. Oleh karena itu pemanenan di hutan alami dipterokarpa
menggunakan sistem tebang pilih dengan diikuti pembebasan.
E. Sistem tebang pilih
Selective logging atau selective felling dalam bentuk aslinya merupakan cara pertama da-
lam menata penebangan di hutan tropis. Upaya pertama adalah menetapkan batas diameter untuk
penebangan agar produksi kayu terjamin lestari. Kalau demikian saja, tebangpilih itu hanya
merupakan pengurasan yang agak beradab. Sistem tebangpilih yang lebih maju mencantumkan
perlakuan silvikultur pada tegakan tinggal yang berupa peracunan dan peneresan terhadap
pohon-pohon yang tidak diharapkan, terutama pohon-pohon sisa yang sudah terlalu tua, atau
pohon-pohon non komersial yang bertajuk lebar. Dalam bentuk itu, tebangpilih sudah berbentuk
suatu sistem silvikultur sederhana.
Kelemahan dari penetapan batas diameter yang absolut yaitu:
(1) bila terlalu besar, hasil akan kecil karena riap pohon-pohon tua sudah menurun,
(2) kalau ditetapkan terlalu kecil, tegakan tinggal akan betul-betul terkuras, diikuti oleh kecilnya
hasil pada rotasi penebangan berikutnya.
Catatan usul digunakan sistem tebang pilih untuk hutan alami di Indonesia pernah dibuat
oleh Kramer (1925) dari hasil studi banding ke Swiss dan Jerman. Ia mengungkapkan perlunya
studi pendahuluan untuk mengetahui perilaku tumbuh jenis-jenis pohon utama, dan mengatasi
gulma. Dari pengalamannya di hutan alami Priangan (Jawa Barat) ia menyimpulkan bahwa
membuat penyebaran peremajaan alami merata di dalam petak kerja lebih penting daripada
meningkatkan riap pohon binaan. Tebang pilih harus diikuti oleh peneresan dan atau peracunan
pohon penyaing terhadap pohon tinggal yang baik. Alpen de Veer (1949a) melaporkan perlunya
tindakan silvikultur setelah tebang pilih di hutan alami dipterocarpaceae di Pulau Bangka dan
Belitung dengan urutan kegiatan sebagai berikut:
(1) penandaan pohon induk muda berbatang dan tajuk baik, meranti berdiameter 30-40 cm, jenis
niagawi lainnya 20-30 cm, kerapatan 2-4 bt/ha,
(2) eksploitasi pohon niagawi oleh konsesioner,
(3) peracunan pohon tua cacat pada akhir musim kemarau,
(4) pembebasan permudaan dengan cara penjarangan tajuk selective,
(5) jenis-jenis pohon induk yang dianjurkan: Eusideroxylon zwageri, Dysoxilum acutangulum,
Cantleya corniculata, Shorea belangeran, S. ovalis, S. leprosula, S. platycarpa, Hopea
mengarawan, H. sangal, Hopea spp., Dipterocarpus spp., Vatica spp., Schima wallichii,
Palaquium spp., Lauraceae, Calophyllum spp.
Di Sumatra Timur Alphen de Veer (1949b) mengusulkan penetapan dan pembebasan 10
bt/ha pohon induk sebelum tebang pilih oleh kontraktor. Permudaan yang melimpah harus
dilepaskan dari tumpukan belukar. Pada tempat kosong harus dilakukan penanaman larikan
dengan jarak antara lariktanam 10 m dan jarak tanaman dalam latikan 2 m. Ia juga melaporkan
keberhasilan penanaman Shorea platyclados di kelompok hutan Mertelu.
Pengaturan hasil dalam tebangpilih

26
Konsep dasar pengaturan hasil pada hutan alami produksi adalah berdasarkan pengaturan
luas (etat luas) dan pengaturan volume (etat volume).
(1) Metode etat luas
Inilah metode tertua dan tersederhana untuk mengatur pengaliran hasil yang telah diprak-
tekkan di Eropa sejak lebih dari 200 tahun yang lalu. Kawasan produksi hutan dibagi dengan
jumlah tahun rotasi tebang. Pada setiap tahun ditebanglah satu wilayah hutan yang luasnya sama
untuk dikerjakan dengan tebangpilih. Kawasan non produksi dalam unit pengelolaan tidak boleh
dimasukkan dalam perhitungan etat luas.
Contoh:
Luas unit HPH 100.000 ha, areal non produksi 15.000 ha, maka etat luas =
85.000
----------- = 2428,57 ha/th.
35
Areal non produksi di hutan produksi alami di Indonesia biasanya berupa areal-areal sebagai
berikut ini.
(1) Bekas ladang yang dikuasai penduduk setempat.
(2) Kawasan pelestarian plasma nutfah 100 ha per wilayah RKL.
(3) Kebun benih 100 ha per wilayah RKL, 700 ha per unit pengelolaan.
(4) Petak ukur permanen (PUP) 24 ha per wilayah RKL, 168 ha per unit pengelolaan.
(5) Bangunan infrastruktur (perkampungan karyawan, jalan, TPK, TPn, persemaian).
(6) Rawa tidak produktif.
(7) Hutan kerangas (Podsol), hutan batu kapur, tanah berbatu (Litosol).
(8) Kawasan lindung (sempadan perairan, lereng sangat curam > 40%).
Kelemahan penggunaan etat luas sendirian dalam pengaturan kelestarian hasil yaitu
hasilnya mungkin tidak sama besar dari tahun ke tahun, karena potensi per hektar tidak merata.
Untuk menghindarkan luas tebangan yang berlebihan, harus betul2 diketahui berapa luas hutan
produktif yang sudah tidak dicampuri kawasan hutan non produksi. Harus pula ada pengawasan
yang ketat, bahwa tidak diambil terlampau banyak kayu dari wilayah yang direncanakan. Selain
itu dalam metode luas ini harus betul-betul diperiksa apakah semua pohon yang masak tebang
telah betul-betul dipanen dan tidak dipilih yang terbaiknya saja.
(2) Metode etat volume
Penataan hasil dengan pengaturan volume biasanya dinyatakan dengan: himpunan riap
keseluruhan dibagi dengan rotasi tebang dan dikalikan faktor pengaman 0,8. Di Indonesia jatah
tebangan tahunan dikalikan dengan faktor eksploitasi 0,7.
Misal:
Etat luas 2428,57 ha/th dengan potensi kayu di hutan primer rataan 50 m/ha.
Etat volume (jatah produksi tahunan) = etat luas x potensi/ha x 0,8 x 0,7
= 2428,57 ha x 50 m/ha x 0,8 x 0,7 = 67.999,96 m/th.
Faktor pengaman eksploitasi 0,8 digunakan untuk pengamanan kelestarian produksi dari
risiko kesalahan inventarisasi massa tegakan.
Metode etat volume nampak halus dan meyakinkan, tetapi pada hakekatnya mengandung
pula kelemahan-kelemahan:
(1) Hasil tidak merata. Rumus itu menyiapkan hasil merata hanya untuk rotasi tebangan pertama,
karena volume dasarnya dari hutan perawan. Volume panen dari tegakan tinggal belum tentu
sama dengan sebelumnya, sehingga jatah tebang tahunan dari rotasi pertama itu bisa saja
terlalu tinggi bila diterapkan untuk kelestarian hasil.

27
(2) Perlu data tepat. Pengaturan hasil dengan metode volume memerlukan data yang tepat
tentang massa kayu di hutan perawan, massa kayu tegakan tinggal, riap yang tepat dari
tempat tumbuh yang berbeda-beda, pengaruh luka pohon terhadap mutu kayu batang dan
riap, efisiensi operasi pembalakan, luas yang tepat dari bagian hutan yang betul-betul dapat
diusahakan dalam unit pengelolaan, dan mempertimbangkan kehilangan wilayah hutan yang
diserobot perambahan. Sayang banyak data itu masih belum diketahui, atau hanya samar-
samar dan menyebabkan kesulitan dalam memproyeksikan hasil pada rotasi tebang
mendatang.
Berdasarkan segala faktor-faktor yang tidak jelas dan ketidaktentuan dari pengaturan
volume, maka penggunaan metode pengaturan luas nampak lebih mudah dalam pendekatan
kelestarian hasil.
Kelemahan metode luas adalah adanya turun naik dari hasil tebang tahunan, tetapi
fluktuasi ini diharapkan tidaklah terlalu besar. Walaupun menggunakan metode volume, fluktuasi
demikian mesti terjadi. Pada keadaan khusus orang dapat menyesuaikan luas tebangan, tetapi
akan mengacaukan rencana keseluruhan dalam jangka panjang.
Di bawah pengaturan volume sering terjadi bahwa hanya batang-batang terbaik yang
ditebang, dan banyak pohon-pohon tua atau jelek tidak dipanen. Dengan kontrol luas orang harus
melihat sebaliknya, agar tidak terlalu banyak pohon yang ditebang. Pengawasan intensif di
lapang diperlukan pada kedua metode tersebut.
Syarat keberhasilan pengaturan luas harus diketahuinya dengan pasti berapa luas hutan
produktif baik di hutan perawan ataupun di tegakan tinggal. Keperluan lainnya adalah
pengetahuan mendalam tentang volume tegakan dan riap untuk keperluan perencanaan pada
tingkat unit pengelolaan dan nasional. Tidaklah realistis untuk mengharapkan perubahan seketika
dari metode volume ke metode luas. Tetapi pada suatu saat, bilamana semua hutan perawan
sudah menjadi tegakan tinggal, mungkin ditemukan manajemen lain untuk tegakan tinggal. Pada
saat itulah kesempatan yang baik untuk mengubah metode volume dengan metode luas.

F. Mengenal silvikultur hutan alam di negeri jiran


Untuk memahami perkembangan sistem silvikultur di Indonesia dalam perspektif yang
benar, perlu diketahui gambaran ringkas tentang perkembangan sistem-sistem silvikultur dalam
manajemen hutan alam tropis di negeri-negeri tropis lainnya, terutama di negeri-negeri tetangga,
dengan hutan-hutan dan masalah-masalah yang serupa.
Pekerjaan silvikultur di negeri tropis telah banyak dipengaruhi oleh sistem-sistem dari E-
ropa. Pada akhir abad ke 19 telah banyak orang Jerman (ahli kehutanan) yang bekerja pada ke-
mentrian kolonial Inggris dan Belanda. Misalnya kehutanan di India sangat kuat dipengaruhi
oleh Brandis (seorang ahli botani), Schlich, dan Ribbentrop. Pada masa-masa berikutnya mulai-
lah para rimbawan Inggris dan Prancis menggantikan mereka.
1. The Malayan Shelterwood System (MSS)
Perkembangan sistem silvikultur untuk hutan meranti diawali dengan lahirnya MSS pada
akhir tahun 20-an dan awal 30-an. Dengan selalu mengalami penyempurnaan, sistem ini secara
resmi digunakan sampai tahun 1950.
MSS berintikan 8 tahap kegiatan seperti diringkaskan dalam Tabel 1.1.

Tabel 1.1. Ringkasan tahap kegiatan the Malayan Shelterwood System.

28
Waktu Kod Kegiatan
e
n-x P Tebang pole, jenis-jenis non niagawi, gsd < 20
cm.
N S1 Tebang pembijian pertama, jenis-jenis non
niagawi
n+1 C1 Potong pemanjat dan jenis-jenis non niagawi
n+3 S2 Tebang pembijian kedua, jenis-jenis non
niagawi
n+4 C2 Potong pemanjat kedua dan peneresan.
n+5 F Tebang utama, jenis-jenis niagawi
n+6/+ C3 Pembersihan setelah penebangan
7
n+10 T Penjarangan pertama atau TSI (timber stand
improvement)

Penebangan pole (P)


Tujuan: menyiapkan kondisi yang nyaman bagi regenerasi meranti dengan membuka
tajuk bawah. Dengan cara penebangan tiang jenis-jenis non niagawi yang bergaristengah setinggi
dada (GSD) < 20 cm. Waktunya tidak terikat, tergantung keperluan. Pengawasan harus ketat agar
jenis-jenis niagawi tidak ditebang. Tetapi pada umumnya pohon-pohon untuk calon lapisan tajuk
atas terdapat sangat sedikit. Kebanyakan tiang hidup selamanya pada lapisan tajuk bawah atau
pertengahan (bukan jenis-jenis yang mencapai tinggi dominan). Penebangan tiang ini dilarang
pada hutan yang telah banyak semainya.

Tebang pembijian S1 dan S2 (Seeding felling)


Tujuan: membuka rumpang secukupnya untuk memberikan kesempatan kepada semai-
semai yang telah ada.
Dianjurkan untuk membuat rumpang-rumpang yang menyebar dengan garistengah rum-
pang 7-12 m yang akan menghasilkan kondisi penyinaran yang terbaik. Diperoleh kesimpulan
bahwa pembukaan tajuk demikian hanya menolong semai-semai yang telah ada, tetapi tidak me-
nolong perkecambahan biji-biji yang baru jatuh. Pohon-pohon yang harus ditebang ditandai oleh
teknisi dinas kehutanan. Kalau semai berlimpah, banyak pohon yang harus disingkirkan.
Pembukaan tajuk itu semata-mata untuk tujuan silvikultur dan bukan untuk keperluan ekonomis.
Penebangan pohon-pohon yang sudah ditandai (jenis-jenis II) dilaksanakan oleh kontraktor.
Di Malaysia, kayu-kayu hasil tebangan itu dapat dijual, walaupun mutunya rendah. Pada
S1 ditebang terutama jenis-jenis yang tidak laku dijual. Pada S2 ditebang jenis-jenis yang agak
berharga, yang diharapkan telah menghasilkan biji/semai setelah penebangan pertama (S1).
Kalau semai terdapat banyak cukuplah hanya melaksanakan S1 tanpa S2.
Cleaning operations (C1 dan C2)
Pedomannya dapat diikhtisarkan seperti di bawah ini.
(1) Potong semua pemanjat, jahe-jahean, pisang-pisang liar, Eupatorium, dan lain-lain.

29
(2) Kalau terdapat sudah banyak semai, potong semua pancang dari jenis-jenis non komersial
sampai diameter 5 cm. Kalau semai kurang, pancang non komersialpun harus dibiarkan hidup
dengan jarak minimal 3 m dari semai niagawi.
(3) Peracunan tiang-tiang jenis tidak niagawi sampai diameter 30 cm, kecuali pohon-pohon yang
memang diperlukan atas pertimbangan silvikultur atau lainnya.
(4) Peracunan semua pohon yang semestinya sudah ditebang pada S1 tetapi belum dilaksanakan
oleh kontraktor karena sulit dijual.
Penebangan utama (F=final felling)
Pada dua atau tiga tahun setelah penebangan pembijian, kalau jumlah semai dianggap
sudah memadai, sisa pohon-pohon boleh ditebang.
Cleaning (C3)
3-4 tahun setelah penebangan utama (F) harus ada pembersihan yang berisi:
(1) Peracunan semua pohon yang tidak diharapkan.
(2) Pemotongan pemanjat.
(3) Penjarangan semai bila terlampau rapat.
Setelah semua tahap pekerjaan selesai, akhirnya di dalam hutan hanya tinggal pancang-
pancang niagawi. Mereka harus dipertahankan sampai akhir daur tanpa gangguan. Penebangan
sebelum akhir daur akan banyak menimbulkan kerusakan tegakan.
Persyaratan MSS adalah:
(1) Harus ada pemasaran bagi tiang dan jenis-jenis tidak niagawi.
(2) Permudaan harus sudah ada sejak awal atau dapat terbentuk di antara kedua penebangan
pembijian.
(3) Wilayah hutan harus memiliki jaringan jalan yang cukup untuk penyelenggaraan dan
pemeriksaan berbagai kegiatan.
MSS memang rumit dengan adanya 7-8 kegiatan bertahap. Sejak penebangan tiang
sampai pembersihan terakhir perlu waktu minimal 11 tahun. Sampai tahun 1950 sistem ini
dipakai di Malaysia dalam wilayah yang luas dan telah menghasilkan banyak tegakan meranti
generasi kedua yang sangat baik. Dengan adanya pembukaan tajuk yang sangat hati-hati, sistem
ini memungkinkan turut berregenerasinya jenis-jenis yang lambat tumbuh (kayu berat) yang
belum laku diekspor. Di fihak lain, banyak jenis-jenis kayu yang dulunya tak laku, sekarang
menjadi laku. Shelterwood system memerlukan teknisi yang terlatih, cermat dan banyak
silvikulturis, yang sering sulit diperoleh. Kelemahan sistem ini adalah penebangan bertingkat
yang hanya menghasilkan kayu sedikit-sedikit, yang tidak lagi ekonomis bila dikumpulkan. Satu
lagi kelemahan MSS adalah penebangan akhir baru dilaksanakan pada saat permudaan telah
menjadi tiang. Kerusakan permudaan yang telah besar ukurannya selalu lebih parah dan tak
dapat pulih lagi.
Dengan lahirnya pemanenan mekanis muncul tuntutan untuk memanen kayu dalam
penebangan ekonomis sekaligus. Lahirlah perubahan menuju suatu sistem yang lebih sederhana
tanpa banyak mengorbankan keberhasilan silvikultur. Itulah dia The Malayan Uniform System
yang dipraktekkan sampai sekarang di hutan dataran rendah Malaysia.

2. The Malayan Uniform System (MUS)


Ciri terpenting dari MUS adalah penebangan sekaligus dari keseluruhan tegakan
ekonomis. Tetapi penebangan hanya diperkenankan bilamana telah terdapat cukup permudaan,
yang diketahui melalui diagnostic sampling survey. Setelah penebangan pohon-pohon komersial,
tegakan tinggal yang terdiri atas pohon-pohon yang tidak berharga akan diracun.

30
Dalam MUS, pohon-pohon besar ditebang pada saat semai masih berukuran kecil, sering
belum mencapai 1 m. Pada tingkat ini semai masih lentur. Kalaupun semai demikian tertimpa
kayu sampai patah, semai-semai tersebut segera bertunas kembali. Walau tertimbun sekalipun
oleh ranting-ranting dan daun-daun pohon rebah, banyak yang pulih kembali.
Kekeliruan MSS yang baru diketahui belakangan, bahwa dengan terlampau seringnya
pembersihan malah merangsang pertumbuhan flora pionir perambat. Tetapi dari beberapa plot
yang terabaikan pada waktu Perang Dunia II, terbukti bahwa masa hidup pemanjat itu hanya
sementara dan dipterokarpa dapat memelihara dirinya sendiri sampai mereka menjadi besar.
Satu hal lagi yang telah terbukti, bahwa naungan dari flora pionir seperti mahang-
mahangan (Macaranga spp.) ternyata sangat berharga bagi perkembangan awal dipterokarpa.
Sangatlah keliru bila setiap mahang dibunuh. Tentulah memang tidak mungkin untuk
mengabaikan semua kegiatan pembebasan (atau timber stand improvement = pemeliharaan te-
gakan tinggal), tetapi biasanya dapat ditangguhkan sampai tajuk permudaan mencapai tinggi 10-
12 m sehingga pekerja dapat leluasa bergerak dalam tegakan.
Hutan meranti yang diusahakan dengan MUS meninggalkan tegakan tiang yang mirip
bekas tebang pilih. Tetapi tegakan tinggal yang berupa tiang-tiang itu dalam MUS harus diang-
gap bonus saja, sedangkan dalam tebangpilih semua pohon tinggal adalah tegakan masa datang.
Dengan MUS diharapkan bahwa penebangan berikutnya diselenggarakan setelah daur
keseluruhan yang 80-100 th terpenuhi. Orang boleh masuk ke dalam tegakan hanya untuk
pemeliharaan saja. Pada sistem tebangpilih tebangan berikutnya diselenggarakan setelah rotasi
penebangan yang hanya 35-40 th.
Pengalaman menunjukkan bahwa MUS tidak cocok untuk hutan pebukitan yang
berlereng curam, dengan regenerasi yang tidak merata dan dengan variasi yang besar dalam
komposisi jenis. Di fihak lain, hutan-hutan dengan elevasi di atas 300-400 m dpl. itu di Malaysia
akan merupakan penghasil kayu utama di masa datang, setelah kebanyakan dataran rendah
digunduli untuk kegiatan pertanian. Dengan adanya komposisi jenis yang sangat berbeda-beda
dari suatu tempat ke tempat lainnya, suatu sistem yang sangat fleksibel harus diadakan, yang
tidak hanya memungkinkan pemanfaatan ekonomis dari hutan, tetapi juga menyelamatkan
fungsi-fungsi ekologisnya sekaligus.
Berdasarkan kondisi hutan tersebut, Forest Department of Peninsula Malaysia membuat
bicyclic cutting system dengan batas diameter tebang yang mengambang (tidak absolut seperti
sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia) untuk hutan-hutan yang dikonsesikan di pebukitan. Sistem
itu didasarkan atas inventarisasi sebelum penebangan yang juga mempertimbangkan iklim, ta-
nah, keseimbangan ekologis, dan aspek sosial ekonomis. Manajer hutan harus dapat menemukan
cara penebangan yang cocok dalam sistem tersebut. Mungkin batas diameter yang berbeda untuk
jenis yang berbeda, atau batas diameter yang berbeda untuk satu jenis di tempat yang berlainan,
untuk mencapai semaksimal mungkin tujuan manajemen. Sejauh ini belum banyak hasilnya yang
diketahui, dan masih dalam percobaan.
Konsekuensi dari meningkatnya pengetahuan silvikultur bagi hutan meranti dan dengan
adanya perubahan keadaan ekonomi, sistem-sistem baru selalu menjadi lebih sederhana. Dengan
tekanan ekonomi, malah diperoleh hasil tegakan tinggal yang sedikit lebih miskin daripada hasil
MSS.
Penyederhanaan MUS berintikan kegiatan-kegiatan di bawah ini.
(1) Survey untuk menguji apakah terdapat peremajaan yang cukup.
(2) Inventarisasi sensus untuk semua pohon yang dapat dipanen.
(3) Pemanenan tegakan ekonomis sekaligus.

31
(4) Segera diikuti dengan peracunan pohon-pohon yang tidak diharapkan.
(5) Timber stand improvement pada 5-6 th setelah panen.
Penjadwalan rinci MUS diringkaskan dalam Tabel 1.2.

Tabel 1.2. Ringkasan kegiatan the Malayan Uniform System.

Waktu Kegiatan
n-7 - n-2 Setelah pembuahan lebat kadang2 diperlukan meracun pohon-pohon
dengan tajuk lebat dan memotong perambat.
n-3 - n-4 Pemotongan palm bertam, kalau diperlukan.
n-1,5 - 0,5 Milliacre sampling untuk menguji apakah cukup semainya.
n-1,5 - 0,5 Sensus pohon yang akan ditebang.
n (sampai Penebangan pohon2 ekonomis tidak lebih dari 2 tahun. Peracunan
n+1) semua pohon yang tidak dikehendaki.
n+4 sp.5 Quarter chain square sampling untuk menetapkan tindakan selanjutnya
LS1/4 (tidak diperlukan bila semai berlimpah). Diikuti:
a. Pemotongan tiang atau perambat penyaing.
b. Peracunan pohon-pohon yang tidak diharapkan.
c. Membetulkan kekeliruan.
n+10 Half chain square sampling, selalu harus dilaksanakan. Tegakan
LS1/2 dianggap memiliki permudaan cukup bila > 60% plot-plot berisi
permudaan.

Alasan-alasan utama dalam penyusunan MUS (khas banyak negeri tropis) biasanya
adalah hal-hal berikut ini.
(1) Penggunaan yang meningkat dari kayu-kayu non dipterokarpa. Peningkatan teknik peng-
awetan kayu memungkinkan penggunaan jenis-jenis kayu lemah. Jenis-jenis kayu lemah ini
lebih banyak muncul pada sistem MUS daripada MSS.
(2) Ternyata dari hutan-hutan alam primer terdapat semai dalam jumlah yang cukup tanpa harus
mengubah struktur tajuk.
(3) Juga telah terbukti bahwa regenerasi alami dari jenis-jenis komersial mampu bersaing dengan
jenis-jenis pionir tanpa pembersihan yang intensif dan mahal.
(4) Pasar sekarang menghendaki lebih banyak lagi kayu-kayu ringan, yang untuk memper-
banyaknya di hutan tidak memerlukan pembukaan tajuk secara hati-hati seperti untuk
merangsang kayu-kayu berat.
(5) MSS kurang fleksibel. Setiap tahap menjadikan tahapan berikutnya harus dilakukan.
(6) Alasan utama untuk penyusunan MUS adalah aspek ekonomi. Lebih murah menebang
pohon-pohon sekaligus daripada berkali-kali.
Keberhasilan MUS ditentukan oleh tersedianya semai alami. Dalam hal ini MUS ku-
rang fleksibel dibandingkan dengan MSS yang panen besarnya dapat ditangguhkan sampai me-
lewati masa berbuah lebat. Semai-semai yang sudah ada saat ini mungkin akan musnah dalam
waktu 2 -7 th mendatang bilamana tidak ada pembukaan tajuk. Bagaimanapun risiko kegagalan
dan kesulitan perencanaan dengan MUS lebih tinggi daripada dengan MSS.

3. Sistem Tebang Pilih Filipina (The Philippine Selective Logging System)

32
Gagasan dasar dari sistem tebang pilih manapun adalah meninggalkan pohon-pohon sehat
dalam jumlah cukup setelah pembalakan yang memungkinkan pemanenan berikutnya setelah
habis rotasi penebangan pertama dan untuk menjamin kelestarian produksi kayu.
Di Filipina, sebelum diperkenalkan sistem tebang pilih yang disempurnakan tahun 1954,
hanya pembatasan diameter secara kasar yang dilaksanakan. Hasilnya tak terlalu baik, tegakan
tinggalnya segera diduduki oleh kaingineiros (peladang) karena tidak ada yang bersedia
melindunginya (Siapno 1970 dalam Weidelt 1982).
Dalam sistem tebang pilih diharapkan bahwa tiang dan pancang yang dilindungi akan
tumbuh lebih cepat untuk mencapai ukuran bisa ditebang dibandingkan dengan menunggu semai.
Sistem tebang pilih Filipina disusun untuk mencapai tujuan bahwa setelah rotasi tebang 30, 35
atau 40 tahun tergantung kepada kondisi pertumbuhannya, suatu pembalakan ekonomis dapat
kembali dilakukan. Kemudian, kalau hanya sebagian wilayah tertentu dari areal unit pengelolaan
hutan yang ditebang setiap tahunnya dengan pengaturan luas atau pengaturan volume, maka ke-
sinambungan operasi pembalakan dan penyediaan kayu dapatlah dijamin.

Prosedur Sistem Tebang Pilih Filipina


Prosedur dari Sistem Tebang Pilih Filipina telah diuraikan secara lengkap oleh SIAPNO (1970)
dalam The Handbook of Selective Logging dan di sini hanya akan disentuh sedikit.

(1) Pembuatan tata batas


Pemancangan batas bertujuan untuk memudahkan pembalakan di lapang. Pada saat yang sama
dia berfungsi sementara sebagai unit manajemen terkecil untuk pencatatan dan
pengadministrasian dan sebagai dasar pemerikasaan serta pengendalian. Perkiraan sementara da-
ri batas-batas itu ditentukan pertama kali di peta kerja (sebagian dari rencana kerja) dan ditandai
di lapang oleh para pelaksana mengikuti kondisi topografi alami seperti punggung bukit, atau su-
ngai-sungai. Batas-batas itu dapat mudah diperbaharui kembali setelah bertahun-tahunpun
bilamana jaringan pengangkutan kayu sudah tidak nampak lagi. Radius batas tidak boleh
melebihi jarak penyaradan maksimum, yaitu maksimum 250 meter untuk "high lead yarding"
dan maksimum 90 meter untuk penyaradan dengan truk (ketentuan dari kantor kehutanan Filipi-
na).

(2) Pencuplikan dan penghitungan


Tujuan pencuplikan adalah untuk mengetahui struktur diameter dari hutan alami. Dari
hasilnya, akan ditentukan jumlah pohon-pohon yang harus ditinggalkan sebagai tegakan tinggal.
Intensitas yang ditentukan ialah sebuah plot lingkaran 0,1 ha untuk setiap 2 ha hutan yang
disurvei. Plot-plot itu diletakkan dengan interval 50 meter sepanjang garis khayal yang
memotong tegakan yang akan ditebang. Instruksi terakhir menentukan pencuplikan dengan cara
jalur selebar 20 meter menuruti arah utama. Pengukuran dapat mengetahui intensitas surveynya
dari panjang jalur. Hasil survey dari sampel plot itu dianggap mewakili tegakan. Maka jumlah
pohon dari diameter 20 - 70 cm-pun diperoleh. Jumlah pohon yang ditinggalkan harus 70% dari
pohon-pohon dengan diameter 20 - 60 cm (sebenarnya antara 15,0 - 64,9 cm), dan 40% dari
kelas 70 cm. Jumlah ini disebut marking goal. Karena prosedur pencuplikan yang berbelit-belit,
yang sering menimbulkan kekeliruan, Nicholson (1970) menganjurkan penggunaan angka
absolut dari marking goal, misalnya 25 pohon inti per hektar seperti digunakan di Indonesia.

(3) Penandaan pohon

33
Setelah penghitungan pohon-pohon tinggal, pencacah yang diawasi oleh manajernya
menandai pohon-pohon tinggal tersebut dengan lingkaran putih atau kuning beserta nomor
urutnya. Pohon-pohon bertanda tersebut harus tersebar merata di seluruh tegakan, tetapi masa-
lah-masalah berikut harus dipertimbangkan.
(1) Suatu lingkaran dengan radius maksimal 40 meter sekeliling "spartree" harus dibersihkan
(tidak perlu ada pohon inti), untuk penempatan/penumpukan kayu.
(2) Jangan ada pohon inti pada arah rebah pohon. Arah rebah ditandakan berupa anak panah dari
cat pada pohon. Arah ini harus ke tempat yang paling ringan merusak tegakan tinggal dan
dengan sudut yang cocok terhadap arah kabel agar batang tidak menyapu tegakan tinggal.
(3) Jangan ada pohon inti pada calon jalur kabel selebar 5 meter.
Dalam praktek akan sangat jelek bila pohon-pohon inti hanya ada pada bagian tepi
tegakan karena mereka tidak terlalu rusak oleh eksploitasi atau tidak dibalak secara sungguh-
sungguh. Dengan cara ini semua pohon inti akan berdiri tanpa cacat dan para konsesioner dapat
menghindari denda. Kemudian dalam inventarisasi tegakan tinggal akan dihasilkan jumlah rata-
rata pohon inti per hektar yang baik, meskipun sebagian besar areal telah gundul.

(4) Inventarisasi tegakan tinggal


Setelah pembalakan, inventarisasi tegakan tinggal dilaksanakan oleh cruiser dari peru-
sahaan bersama-sama petugas Dinas Kehutanan dibawah pengawasan dari Timber Management
Officer.
Inventarisasi tegakan tinggal mempunyai 3 tujuan, yaitu:
(1) mengetahui seberapa besar dan sebab-sebab kerusakan pada operasi pembalakan untuk
menentukan koreksi yang diperlukan,
(2) menaksir masa tegakan tinggal untuk memproyeksikan hasil dan etat tebangan,
(3) inventarisasi tegakan sisa juga merupakan dasar perhitungan denda atas kerusakan pohon inti
(tegakan tinggal).
Kriteria tentang kesehatan tegakan tinggal ada dirinci dalam Handbook of Selective Log-
ging sebagai berikut:
(1) pohon inti disebut sehat bila kekar, batangnya lurus dan silindris, tanpa atau sedikit sekali
terluka,
(2) Tajuk yang rusak tidak lebih dari 1/6 bagian,
(3) Setiap luka pada kayu gubal tidak lebih besar dari 5 cm dan panjang 50 cm,
(4) Banir yang rusak tidak melebihi 1/3 bagian,
(5) Tidak lebih dari 1/2 keliling batang yang terteres oleh kabel,
(6) Tidak ada kerusakan akar yang serius.
Setiap pohon yang kerusakannya melebihi standar di atas, dinyatakan meragukan atau
rusak.
Pada inventarisasi tegakan tinggal setiap pohon inti diperiksa kesehatannya. Kalau ada
pohon sehat yang belum bernomor, haruslah diberi nomor lanjutan. Tetapi tidak diperkenankan
mengganti pohon bernomor yang rusak atau hilang. Untuk kerusakan atau kehilangan pohon
inti, dendanya 4 kali lipat harga kayu normal.
Urutan kegiatan dalam Philippine Selective Logging adalah sebagai berikut ini.
(1) Membuat batas areal tebang tahunan.
(2) Survey potensi.
(3) Penghitungan "marking goal" (pohon inti).
(4) Penandaan pohon.

34
(5) Pembalakan.
(6) Inventarisasi tegakan tinggal (sensus).
(7) Penghitungan denda yang harus dibayar konsesioner.

Kesulitan penyelenggaraan
(1) Walaupun hutan dipterocarpa Filipina mengandung persentase kayu komersial yang sangat
tinggi, yang terutama adalah jenis-jenis dipterocarpa sendiri, hasil inventarisasi tegakan
tinggal menunjukkan kondisi yang tidak terlalu baik. Kerapatan tegakan tinggal rataan di
Mindanao Timur (hanya dipterokarpa):
Kelas D N
20 3,5
30 3,9
40 3,5
50 2,0
60 1,4
70 1,1
Jumlah 15,4 pohon/ha

Dari pengalaman di Mindanao, sekitar 35 - 45 % tegakan tinggal setelah penyaradan dengan


traktor, rusak berat. Bila dirata-ratakan rusak 40 % pohon komersial/ hektar, maka situasinya
tidak lagi nampak bagus. Tetapi angka rataan 40 pohon/ha masih berdiri sehat, diantaranya
ada pohon dipterocarpaceae.
(2) Masalah lainnya terletak pada survey kruising, yang dipakai dasar perhitungan jumlah pohon
inti. Sangat sering terjadi kekeliruan sampling sehingga menjadikan kesalahan. Sehingga
dianjurkan menggunakan angka absolut seperti di Indonesia sampai tahun 1993. Tegakan
yang miskin tentu harus diperlakukan lain.
(3) Penyebaran pohon inti yang merata selalu merupakan kesulitan. Para kruiser yang
berpengalaman sering menetapkannya berupa kelompok-kelompok yang kira-kira tidak
dirusak penyaradan atau di pinggir tegakan. Hasilnya akan berupa tegakan yang sangat tidak
seragam.
(4) Pelaksanaannya memerlukan sejumlah besar kruiser terlatih yang keseluruhannya harus
ditanggung oleh pemerintah untuk menjaga kesetiaan.
(5) Pertumbuhan tegakan tinggal sering tidak cukup baik, karena banyak pohon tua yang secara
genetis tidak berreaksi selayaknya terhadap perluasan ruang. Pohon-pohon tua itu tumbuh
lambat terus bagaikan di bawah tajuk.
Secara mendasar pelaksanaan PSLS sama dengan pelaksanaan Tebang Pilih Indonesia
(versi 1972). Perbedaan utama adalah penetapan pohon inti, yang di Filipina bervariasi, dan
secara absolut dalam TPI. Batas diameter minimum pohon tebangan di Filipina 65 cm, di Indo-
nesia 50 cm.
G. Riwayat ringkas pengelolaan hutan alam di Indonesia
Dalam Undang-undang No. 5 tahun 1967 tentang Kehutanan, hutan Indonesia
dialokasikan untuk 4 fungsi hutan, yaitu fungsi lindung (ada 30 juta ha), fungsi produksi (64 juta
ha), fungsi wisata (sedikit), dan fungsi suaka (sedikit). Dalam Undang-undang No. 41 tahun
1999 tentang Kehutanan, fungsi hutan tersebut disederhanakan menjadi tiga saja, yaitu fungsi
pelindung, fungsi produksi, dan fungsi konservasi.
Sebagian besar kawasan tanah negara yang masih berhutan belum dialokasikan
peruntukkannya dan disebut Tanah Negara. Hutan produksi (hutan yang diusahakan)
35
dialokasikan sangat hati-hati, yaitu hanya hutan hujan dataran rendah dengan ketinggian tidak
melebihi 500 m dpl. Pada tahap awal di Indonesia luas hutan yang diusahakan berbentuk Hak
Pengusahaan Hutan mencapai 64 juta ha termasuk ke dalamnya ada 27 juta ha hutan produksi
yang dapat dikonversi.
Pemerintah Indonesia mengundang partisipasi fihak badan usaha milik negara dan badan
usaha milik swasta untuk mengusahakan hutan produksi di Indonesia melalui lahirnya Undang-
undang Penanaman Modal Asing (UUPMA) dan Undang-Undang Penanaman Modal Dalam
Negeri (UUPMDN) pada tahun 1968. Sejak tahun 1969 mulailah fihak BUMN dan BUMS
menanamkan modalnya dalam pengelolaan hutan alam yang diatur pertama kalinya dengan
Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 1970. Menurut PP 21/70, setiap badan usaha yang memenuhi
persyaratan untuk mengelola hutan alam diberikan hak pengusahaan hutan selama 20 tahun
dengan membayar sewa lahan yang disebut Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH) dan
menandatangai sebuah Forestry Agreement (FA). Sedangkan izin pengelolaan hutan sesuai FA
disebut Surat Keputusan Hak Pengelolaan Hutan (SK HPH).
Hampir semua pengusahaan hutan alam menggunakan sistem silvikultur tebangpilih yang
mulai diatur sejak tahun 1972 dengan nama Sistem Tebang Pilih Indonesia (TPI). TPI mengatur
penataan areal, inventarisasi hutan, pembukaan wilayah, penebangan pohon, pembinaan tegakan
tinggal yang pada pokoknya dengan cara membebaskan pohon inti. Pohon inti adalah pohon
jenis komersial yang berdiameter 20-49 cm, sehat, dan berjumlah sekurang-kurangnya 25 bt/ha
yang terletak tersebar merata di dalam tegakan tinggal.
Sistem Tebang Pilih Indonesia pernah direvisi menjadi Sistem Tebang Pilih Tanam
Indonesia pada tahun 1989, yang isi pokoknya sebenarnya tidak terlampau berbeda dengan
sistem TPI 1972. Penambahan kata tanam dalam judul sistem silvikultur untuk meningkatkan
motivasi rehabilitasi hutan bekas tebangan dengan kegiatan pengayaan areal kosong permudaan.
Revisi tahun 1993 (SK Dirjen Pengusahaan Hutan No. 151/1993) mengubah konsep pohon
produksi andalan rotasi berikutnya dari pohon inti yang berjumlah 25 bt/ha menjadi pohon
binaan yang berjumlah 200 bt/ha tersebar merata.
Dalam perjalanan sejarah kehutanan di hutan alam, lahirlah gagasan membangun hutan
tanaman meranti yang merupakan jenis kayu andalan Indonesia di Kalimantan. Untuk
mendukung gagasan tersebut Pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal
Kehutanan No. 15/1995 tentang Sistem Silvikultur Penanaman dan Pemeliharaan Meranti Dalam
Larikan yang merupakan salah satu varians sistem tebang habis dengan permudaan buatan
(THPB).
Akhirnya pada tahun 1997 disadari Pemerintah, bahwa keamanan hutan alam tidak
terjamin, karena masyarakat luas hanya menghormati tanaman sebagai asset perusahaan. Maka
Pemerintah menganjurkan mengubah sebagian pengusahaan hutan alam untuk dijadikan hutan
tanaman meranti yang berstatus hutan tanaman industri di bawah naungan Peraturan Pemerintah
No. 7/1990 tentang pembangunan HTI dengan kontrak hak pengusahaan hutan 70 tahun dengan
melahirkan Sistem Tebang Tanam dalam Jalur (STTJ).

H. Kendala pengelolaan hutan alami di Indonesia


Kendala pengelolaan hutan lestari di Indonesia sebagian besar merupakan faktor non
teknis, yaitu ketidakpastian kawasan dan ketidakpastian keamanan. Yang dimaksud dengan
ketidakpastian kawasan yaitu berubahnya fungsi kawasan baik secara terrencana maupun tidak
terrencana atau illegal. Ketidakpastian keamanan adalah terjadinya perambahan dan penebangan
illegal secara berkelanjutan tanpa ada kemampuan pemerintah untuk menghentikannya.

36
Setelah kawasan hutan produksi dikontrakkan hampir seluruhnya kepada fihak badan
usaha sejak tahun 1970-an, Pemerintah Provinsi menyadari kebutuhan akan ruang/lahan untuk
kegiatan non kehutanan, padahal hampir seluruh wilayah provinsi di Pulau-pulau berhutan luas
seperti Sumatera, Kalimantan, Maluku, dan Papua telah terlanjur dikapling menjadi unit-unit
pengelolaan hutan yang berstatus hak pengusahaan hutan (HPH). Pada pertengahan dasawarsa
1990-an lahirlah Peraturan-peraturan Daerah Provinsi tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Provinsi (RTRWP) yang menetapkan mana kawasan budidaya dan mana kawasan lindung.
Dengan lahirnya kawasan budidaya non kehutanan, maka sebagian kawasan hutan produksi,
yang lokasinya paling dekat dengan pemukiman dan pesisir, diubah fungsinya menjadi bukan
kawasan hutan tetap. Dengan peristiwa itu hampir semua unit pengelolaan hutan kehilangan
sebagian kawasan produksinya, yang biasanya merupakan bagian hutan yang telah ditebang pilih
terdahulu. Kehilangan sebagian kawasan hutan itu menyebabkan harus ditataulangnya areal unit
pengelolaan hutan (lazim disebut areal HPH). Sebagian kawasan budidaya non kehutanan sampai
saat ini masih berupa hutan karena belum digunakan untuk kegiatan lain.
Selain perubahan terrencana oleh Pemerintah Daerah akibat lahirnya RTRWP, terjadi pula
secara berkepanjangan konversi hutan alami yang dilakukan oleh penduduk setempat untuk
dijadikan ladang dan kebun tanpa ada pencegahan represif dari Pemerintah. Walaupun sebagian
areal konversi oleh penduduk ini berada berimpitan dengan KBNK versi RTRWP, tetapi justru
konversi ini yang secara nyata mengurangi fisik hutan.
Seiring dengan perubahan politik pemerintahan dari sentralistik ke otonomi daerah
Kabupaten, terjadi perambahan hutan besar-besaran di hutan alami dan hutan tanaman.
Sebenarnya secara formal tidak ada hubungannya antara proses otonomi dengan perambahan
hutan, karena perambahan hutan terjadi akibat tidak tegaknya hukum atau lemahnya penegakan
hukum. Penebangan kayu secara liar sampai saat buku ini disusun telah terjadi puluhan tahun
tanpa ada tindakan repesif yang efektif akibat daripada terlampau banyaknya kepentingan pribadi
atau keterlibatan banyak fihak dalam peristiwa jual-beli kayu ilegal tersebut.
Sejak tahun 1999 banyak Bupati di Kalimantan mengeluarkan izin pemungutan dan
pemanfaatan kayu dari hutan alami di KBNK. Izin tersebut diperuntukkan bagi perorangan atau
koperasi dengan satuan luas 100 ha dan batas izin 1 tahun. Dalam prakteknya si pemegang izin
meletakkan kegiatan penebangannya di mana saja yang menguntungkan, termasuk di dalam
kawasan HPH yang masih aktif. Tentu saja pemilik HPH tidak puas dan menghalangi kegiatan
tersebut, tetapi akhirnya mengalah karena biasanya penduduk datang berbondong-bondong dan
mengancam keselamatan aset dan karyawan perusahaan. Untuk konflik fisik seperti itupun
pemerintah tidak mampu mengatasi.
Dengan peristiwa ini terjadi ketidakpastian keamanan usaha pengelolaan hutan dan
sangat merusak prinsip kelestarian. Padahal tanpa gangguanpun belum tentu para pemegang
HPH dapat melaksanakan prinsip kelestarian, karena perusdahaan-perusahaan kehutana di
Indonesia (kecuali PT Perhutani di Pulau Jawa dan Madura), memulai kegiatannya dengan
tebang pilih kayu di hutan alami. Dengan demikian sebagian besar perusahaan baru memiliki
mentalitas memanen saja dan belum siap membina hutan untuk panen masa depan. Kelemahan
sistem silvikultur hutan alami ini ditunjang oleh lemahnya mentalitas aparat pengawasan dan
pengendalian yang tidak mampu memaksa perusahaan pemegang HPH membina hutan alami
bekas tebangan sesuai dengan peraturan.

37
BAB. IV.
PEDOMAN SISTEM TEBANG PILIH TANAM INDONESIA (TPTI)

A. Pendahuluan
1. Latar belakang
Seperti telah dijelaskan dalam Bab I bahwa kawasan hutan di Indonesia sebagian besar
berupa hutan alami. Ciri-ciri hutan tropis tersebut di antaranya adalah berisi banyak sekali jenis
pohon, selalu hijau, terdapat perambat dan palma, tajuk tegakan berlapis-lapis, tegakan hutan
berisi semua ukuran pohon dengan struktur tegakan seperti huruf J-terbalik, dan terdapat pohon-
pohon tua yang cacat.
Untuk mengelola kawasan hutan alami fungsi produksi dengan karakteristik seperti di
atas, sistem silvikultur tebang pilih dianggap yang paling efisien, karena hanya menebang pohon
besar yang kayunya dapat langsung dimanfaatkan saja tanpa mengubah ekosistem hutan
terlampau keras. Sistem silvikultur tebang pilih merupakan sistem silvikultur yang paling luas
digunakan di Indonesia. Sistem silvikultur ini dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan dengan
nama Sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia. Pedoman TPTI menjadi acuan pengelolaan tegakan
hutan alami campuran tidak seumur di Indonesia yang berupa hutan alami daratan, hutan alami
rawa, hutan alami eboni, hutan alami rawa bergambut.
Pada tanggal 18-9-1989 Menteri Kehutanan RI mengeluarkan Surat Keputusan no.
485/Kpts-II/1989 untuk menetapkan sistem silvikultur di Indonesia, yaitu sistem Tebang pilih

38
Tanam Indonesia (TPTI), Tebang Habis dengan Permudaan Alam (THPA) dan Tebang Habis de-
ngan Permudaan Buatan (THPB). Keputusan ini adalah penyempurnaan ketetapan terdahulu
sejak tahun 1972. Petunjuk teknis TPTI dan THPA akan ditetapkan oleh Dirjen Pengusahaan
Hutan sedangkan THPB oleh Dirjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan.
Pedoman TPTI versi 1989 ditetapkan dengan SK Dirjen Pengusahaan Hutan no.
564/Kpts/IV-BPHH/1989, sedangkan revisi 1993 ditetapkan dengan SK no 151/KPTS/IV-
BPHH/1993 tanggal 19 Oktober 1993. Pedoman TPTI ini dimaksudkan untuk mengelola tegakan
hutan alami tidak seumur seperti hutan hujan tropis, hutan rawa, hutan gambut, hutan eboni, dan
mungkin ada tipe hutan alam campuran lainnya. Pedoman ini sebenarnya baru dapat digunakan
bilamana telah diikuti oleh lahirnya Petunjuk Teknis TPTI untuk Hutan Alami Daratan, dan tipe
hutan alami lainnya.
Satu sistem silvikultur ditetapkan untuk satu tegakan berdasarkan risalah hutan. Risalah
hutan adalah kegiatan pendahuluan perencanaan yang memuat bahasan kritis terhadap tegakan
sebagai dasar penetapan kegiatan silvikultur atau bahkan sistem silvikultur yang sesuai.
Penetapan ini harus selalu memperhatikan azas kelestarian hutan yang mencakup kelangsungan
produksi, penyelamatan tanah dan air, perlindungan alam, dan aspek usaha yang menguntung-
kan.

2. Tujuan, sasaran, dan tahapan TPTI


Sistem TPTI dinilai sesuai untuk mengusahakan hutan alami produksi, kecuali untuk hu-
tan payau.
Tujuan: membentuk struktur dan komposisi tegakan hutan alami tak seumur yang
optimal dan lestari sesuai dengan sifat-sifat biologi dan tapak aslinya. Ditandai dengan
keberadaan pohon, tiang, pancang, semai dengan mutu dan produktivitas tinggi, didampingi jenis
pohon lainnya sehingga memenuhi tingkat keanekaan hayati yang diinginkan.
Sasaran TPTI: tegakan hutan alam produksi tidak seumur dengan keanekaan hayati yang
tinggi. Unit kegiatan adalah petak kerja.

B. Prasyarat pengelolaan
(1) Penataan areal kerja unit, bagian, blok, petak, dilakukan dengan batas jelas dan permanen.
(2) Organisasi TPTI telah sistematik dan efektif, didukung oleh bagian lain (administrasi, bina
desa, litbang).
(3) Perencanaan tebangan berdasarkan informasi yang baik tentang: luas, fisiografi, pembukaan
wilayah, peta pohon, keberadaan pohon induk/muda/permudaan.
(4) Jaringan jalan memperoleh pemeliharaan terus menerus.
(5) Sistem pemantauan efektif.
(6) Petak ukur permanen dibuat dan diamati teratur.

C. Pengertian
1. Pengertian pokok
(1) Sistem silvikultur adalah rangkaian kegiatan berencana dari pengelolaan hutan yang
meliputi penebangan, peremajaan, dan pemeliharaan tegakan hutan guna menjamin ke-
lestarian produksi kayu atau hasil hutan lainnya.
(2) Sistem silvikultur TPTI adalah serangkaian tindakan yang dilakukan berencana terhadap
tegakan tidak seumur untuk memacu pertumbuhan tegakan sesuai keadaan hutan dan
tapaknya sehingga terbentuk tegakan tertata yang optimal dan lestari.

39
(3) Tegakan tinggal adalah tegakan hutan yang telah ditebang pilih, yang menjadi modal
pengusahaan berikutnya, berisi pohon-pohon binaan dan pohon-pohon pendamping.
(4) Pohon binaan adalah pohon yang harus dirawat setelah tebang pilih, yang berupa pohon-
pohon muda jenis niagawi, sehat, dapat berasal dari permudaan alam atau pengayaan,
banyaknya ditentukan sehingga dapat membentuk tegakan optimal pada akhir daur. Pohon
binaan terdiri atas pohon inti dan permudaan.
(5) Pohon pendamping adalah pohon-pohon penyusun tegakan selain pohon binaan.
(6) Siklus tebang adalah jangka waktu di antara dua tebangan berturut-turut. Siklus tebangan
ditentukan berdasarkan pertumbuhan tegakan dan tujuan pengusahaan.
(7) Pertumbuhan tegakan adalah perubahan dimensi tegakan dari waktu ke waktu yang
diakibatkan oleh adanya tambah-tumbuh ukuran pohon-pohon penyusun tegakan,
kematian, dan alih tumbuh (ingrowth). Pertumbuhan tegakan dapat dinyatakan dengan
diameter, tinggi, volume, yang diukur berkala pada petak-petak permanen.
(8) Alih tumbuh adalah banyaknya permudaan yang masuk ke dalam ukuran pohon terkecil
yang diperhitungkan selama periode tumbuh.
(9) Pembinaan hutan adalah kegiatan yang dikerjakan tebang pilih meliputi: perapihan, ITT,
Pembebasan I/ II/ III, Pengadaan bibit, pengayaan/rehabilitasi, Penjarangan I/ II/ III.
2. Pengertian penunjang
(1) Rencana Karya Pengusahaan Hutan (RKPH) adalah rencana karya yang meliputi seluruh
jangka waktu pengusahaan hutan yang memuat pedoman dan arahan serta filosofi
perusahaan hutan untuk mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. RKPH
dijadikan pedoman penyusunan rencana yang lebih pendek masa lakunya.
(2) Rencana Karya Lima Tahun (RKL) adalah rencana karya yang memuat semua rencana
kegiatan dalam suatu wilayah pengelolaan untuk jangka waktu lima tahun.
(3) Rencana Karya Tahunan (RKT) adalah jabaran, penyesuaian, dan operasional tahunan dari
RKL.
(4) Manager Pembinaan Hutan adalah manajer yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaan
kegiatan pembinaan hutan.
(5) Struktur organisasi pembinaan hutan adalah struktur organisasi yang menangani kegiatan
pembinaan hutan, merupakan bagian dari struktur organisasi pengelolaan hutan Hak
Pengusahaan Hutan yang bersangkutan. Struktur organisasi pembinaan hutan terpisah dari
struktur organisasi penebangan (logging).
(6) Perlindungan dan pengamanan di areal pengusahaan hutan adalah semua upaya dan usaha
kegiatan serta tindakan untuk mencegah perusakan hutan dan hasil hutan yang disebabkan
oleh perbuatan manusia maupun alam, meliputi tindakan perlindungan hutan dari hewan
ternak, api, hama, penyakit, manusia.
(7) Penelitian dan pengembangan adalah kegiatan pemantauan dan pengamatan terhadap
tegakan hutan yang meliputi aspek teknis, ekologis, dan sosial ekonomi dalam upaya
meningkatkan produktivitas dan keanekaan hayati yang tinggi.

D. Penyesuaian terhadap tipe dan tapak hutan


(1) Pemilihan sistem silvikultur untuk pengusahaan hutan alam ditentukan oleh keadaan
tegakan hutan dan tapak hutan yang akan diusahakan. Sedangkan tujuan pengusahaan
ditetapkan hanya satu yaitu menghasilkan kayu pertukangan kualita prima (untuk veneer).
(2) Sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia merupakan sistem yang paling sedikit
mengubah ekosistem hutan di hutan produksi yang merupakan hutan alami campuran tak

40
seumur, dibandingkan sistem silvikultur lainnya. Sistem TPTI diharapkan menjadi
modifikasi dari peristiwa alami di dalam hutan, yaitu menyingkirnya pohon-pohon tua agar
ruang yang dipakainya dimanfaatkan oleh pohon-pohon muda yang masih produktif.
(3) Karena sistem TPTI mengusik ekosistem hutan alam paling minimal, maka sistem
silvikultur TPTI dapat digunakan aman untuk hampir semua tipe hutan yang mempunyai
potensi produksi kayu yang memadai untuk dipanen.
(4) Tipe hutan dengan produksi kayu rendah karena tapaknya yang secara alamiah kurus,
sangat basa, atau sangat asam, sebagaimana misalnya hutan kerangas, dan hutan batu kapur
sebaiknya dikeluarkan dari peruntukan hutan produksi. Pada tapak-tapak tersebut, usikan
tebangpilih sekalipun akan merusak terlampau parah. Di fihak lain hasil pengusahaan tipe-
tipe hutan demikian juga secara ekonomis bernilai rendah.
(5) Sistem TPTI memerlukan struktur tegakan pohon-pohon jenis niagawi yang berimbang.
Artinya, jenis-jenis pohon yang bakal dipanen harus memiliki jumlah permudaan segala
tingkatan yang memadai. Namun struktur demikian pada umumnya tidak dimiliki oleh
jenis-jenis pohon stratum atasan, karena jenis-jenis itu hanya berkembang tumbuh di dalam
rumpang dengan sinar matahari yang cukup. Untuk memperbaiki struktur harmonis dari
tegakan jenis-jenis niagawi, diperlukan pengaturan ruang tumbuh untuk mendukung
sejumlah terbatas dari permudaan, agar segala tingkatan permudaan memiliki jumlah
batang yang memadai.
(6) Penerapan sistem TPTI pada kawasan hutan kurang permudaan seperti pada hutan bekas
kebakaran, harus disertai program pengayaan. Pengayaan adalah penanaman permu-
daan/bibit jenis niagawi setempat pada jalur-jalur yang cukup memasukkan sinar matahari
langsung, dengan jumlah tanaman seperlunya atau antara 200 sampai 400 bt per ha.
(7) Sistem TPTI digunakan untuk mengusahakan hutan alam campuran tidak seumur, misalnya
hutan dipterokarpa. Untuk pengusahaan hutan alam seumur seperti hutan alam Pinus, hutan
alam Binuang, yang merupakan jenis-jenis pionir (sangat suka cahaya) hendaknya tidak
menggunakan sistem TPTI, karena akan merusak suksesi alami tegakan jenis-jenis pionir.
Sistem TPTI hanya cocok untuk pengusahaan jenis-jenis rumpang (gap opportunists)
seperti meranti-merantian.
(8) Pada tapak peka erosi seperti perbukitan dengan bentang alam curam, pengusahaan hutan
dengan sistem TPTI hendaknya tidak mengusik tanah terlampau semberono. Pada tapak
demikian, penyaradan dengan sistem kabel skyline lebih dianjurkan dan penyaradan
dengan buldoser harus dihindari.
(9) Modifikasi sistem TPTI untuk menambah atau mengurangi volume panen hanya
diperkenankan setelah melalui persetujuan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan, Depar-
temen Kehutanan, berdasarkan hasil ujicoba jangka panjang (sekurang-kurangnya 5 tahun)
dan kajian mendalam dari para pakar silvikultur terhadap hasil ujicoba tersebut.
(10) Penggantian sistem TPTI untuk meningkatkan volume panen dari hutan alam tidak seumur
yang mengarah kepada sistem Tebang Habis dengan Permudaan Alam (THPA) hanya
diperkenankan pada hutan alam campuran dataran rendah dengan kelerengan rataan di
bawah 40% dan tanah cukup subur (kandungan liat tidak kurang dari 10%). Penggantian
TPTI untuk meningkatkan volume panen diantaranya adalah: sistem tebang kelompok, sis-
tem Tebang Jalur Tanam Indonesia, dan sistem THPA.
(11) Penggantian sistem TPTI untuk menurunkan volume panen diperlukan pada hutan alam
campuran perbukitan dengan lereng curam atau pada tanah pasir dengan kandungan liat

41
kurang dari 10%. Cara yang dipakai adalah prosedur TPTI tanpa perapihan (pembebasan
horisontal) dan tanpa pembebasan vertikal.

E. Tahap-tahap kegiatan sistem silvikultur TPTI (tanpa penataan areal kerja dan
pembukaan wilayah hutan)
1. Inventarisasi tegakan sebelum pemanenan (itsp)
(1) ITSP dilaksanakan secara sistematis dari petak kerja satu ke petak kerja lainnya, dengan
intensitas 100 % (seratus persen).
(2) ITSP bertujuan untuk:
a. Memilih pohon, menentukan, mengukur, memberi tanda dan penomoran pohon, mencatat
dan memetakan pohon-pohon yang akan dipanen dan yang harus dilindungi.
b. Mencari dan menandai pohon inti yang berjumlah sekurang-kurangnya 25 batang per
ha, berdiameter 20-49 cm, terdiri dari jenis-jenis pohon niagawi utama setempat, dan
tersebar merata dalam tegakan.
c. Mencatat kondisi fisik lapang (konfigurasi lahan) dan keadaan permukaan tanah
(kering, rawa, gambut).
d. Mengukur, mencatat, memberi tanda dan memetakan kawasan yang tidak boleh dipanen,
yang meliputi:
- Radius 200 m dari tepi mata air, waduk, atau danau,
- Selebar 100 m dari tepi sungai yang lebarnya > 10 m,
- Jurang dan tebing curam (>40%),
- Tegakan benih dalam setiap wilayah RKL yang luasnya disesuaikan dengan
peraturan yang berlaku.
(3) Data hasil inventarisasi terhadap mata air, sungai, waduk, dan danau, dimaksudkan untuk
perlindungan tata air.
(4) Inventarisasi terhadap tegakan benih seluas sekurang-kurangnya 100 ha per wilayah RKL
dimaksudkan sebagai cadangan sumber benih dan bibit untuk keperluan pengayaan, dan
sebagai konservasi insitu keanekaan hayati di wilayah hutan produksi.
(5) Penyebaran pohon hasil ITSP dipetakan pada peta penyebaran pohon berskala 1 : 2.000 dan
dilaporkan.
(6) ITSP dilaksanakan dua tahun sebelum suatu blok RKT dipanen (Et-2).
2. Pemanenan
(1) Pemanenan dilakukan di petak-petak dalam blok RKT yang telah ditetapkan dan disahkan.
Penebangan pohon berpedoman kepada peta pohon dan tanda-tanda di pohon.
(2) Asas-asas penebangan pohon dalam sistem TPTI adalah:
a. Menebang pohon besar yang telah mencapai ukuran siap panen untuk dijual agar
perusahaan memperoleh keuntungan finansial, dan memberikan ruang tumbuhnya
kepada permudaan yang menghasilkan riap kayu lebih besar daripada pohon-pohon tua.
b. Pemanfaatan potensi hutan per satuan luas seoptimal mungkin dengan meminimalkan
limbah pembalakan.
c. Penebangan pohon dalam tegakan menggunakan arah rebah menuju pangkal jalan sarad
agar kerusakan tanah dan tegakan tinggal dapat diminimalkan.
d. Penomoran kayu bulat secara konsisten berdasarkan nomor pohon berdiri yang dibuat
dan dipetakan dalam kegiatan ITSP.
3. Perapihan (pembebasan horisontal)

42
(1) Perapihan dilakukan pada tempat-tempat bekas pemanenan dengan maksud untuk memu-
dahkan pelaksanaan pekerjaan silvikultur berikutnya.
(2) Elemen tegakan yang harus dan boleh ditebas dalam pembersihan adalah semua perambat
kecuali rotan dari jenis niagawi, dan sebagian belukar yang menaungi atau mendesak tajuk
permudaan.
(3) Pembersihan sepenuhnya di seluruh areal kerja tidak diperkenankan, kecuali pada tempat-
tempat yang kosong permudaan dengan luasan terbatas dengan maksud memberikan
peluang kepada biji pohon jenis niagawi mencapai tanah agar berkecambah dan menjangkar
di situ.
(4) Pembersihan dilaksanakan pada tegakan tinggal setahun setelah pemanenan (Et+1).
4. Inventarisasi tegakan tinggal (itt)
(1) Sasaran ITT adalah:
a. Jumlah dan penyebaran permudaan di dalam tegakan tinggal.
b. Luas dan letak areal kosong (>1 ha) yang memerlukan pengayaan atau rehabilitasi.
c. Sumber bibit dan lokasi persemaian.
(2) ITT dilaksanakan dengan menggunakan jalur-jalur sampling yang lebarnya 20 m.
(3) Hasil ITT dipetakan dan dilaporkan.
(4) ITT dilaksanakan 2 tahun setelah pemanenan (P+2).

5. Pembebasan vertikal
(1) Tujuan utama pembebasan adalah memberi ruang tumbuh kepada pohon-pohon binaan.
Pembebasan adalah membuang penaung dan pendesak tajuk pohon binaan, sehingga pohon-
pohon binaan menjadi hidup bebas di dalam rumpang-rumpang kecil.
(2) Letak pohon binaan yang jumlahnya sekurang-kurangnya 200 batang per hektar tegakan
tinggal, harus tersebar merata dengan jarak rataan satu sama lain antara 5 sampai 9 m.
Pembebasan tajuk pohon-pohon binaan yang letaknya tersebar merata juga akan menambah
kesempatan peremajaan jenis-jenis niagawi sehingga dapat memperbaiki struktur
tegakannya.
(3) Dalam pembebasan harus ditaati prinsip menebas seperlunya, karena selain harus menekan
biaya pekerjaan, juga harus meminimalkan gangguan kepada ekosistem hutan.
(4) Pembebasan tajuk pohon binaan harus dilaksanakan dengan konsekuen, karena riap kayu
niagawi dalam tegakan tinggal yang merupakan hasil panen berikutnya, tergantung kepada
mutu pekerjaan pembebasan.
(5) Hasil pekerjaan pembebasan diregister dan dilaporkan.
(6) Pembebasan dilakukan 2 tahun setelah pemanenan (Et+2).
6. Pengadaan bibit
(1) Sasaran pengadaan bibit adalah penyiapan bahan tanaman bagi kegiatan pengayaan dan
rehabilitasi.
(2) Jenis bibit yang disemaikan diutamakan sama dengan jenis pohon yang dipanen.
(3) Bahan bibit untuk dirawat di persemaian dapat berupa biji, cabutan, atau stek.
(4) Pembibitan dilaksanakan setelah selesai ITT, bersamaan dengan pembebasan, yaitu pada
tahun kedua setelah pemanenan (Et+2).
7. Pengayaan dan rehabilitasi
(1) Sasaran kegiatan pengayaan adalah kawasan hutan berhutan yang jumlah permudaannya
tidak mencukupi, yang luasnya lebih dari satu hektar. Sedangkan sasaran kegiatan

43
rehabilitasi adalah kawasan hutan tidak berhutan seperti bekas TPn, bekas TPK, bekas
ladang, belukar dan semak.
(2) Letak dan luas tanaman pengayaan dan tanaman rehabilitasi ditentukan dalam peta hasil
ITT, yaitu:
a. Tegakan hutan yang kosong permudaan jenis niagawi yang luas satuan arealnya lebih
dari 1 ha.
b. Bekas Tempat Pengumpulan (TPn) dan Tempat Penumpukan Kayu (TPK).
c. Areal non produktif dalam blok RKT yang disebabkan bukan oleh karena sifat tanahnya.
(3) Sistem penanaman dilaksanakan dengan jalur tanam untuk memudahkan pemeliharaan
tanaman selanjutnya.
(4) Hasil kegiatan pengayaan dan rehabilitasi diregister dan dilaporkan.
(5) Kegiatan pengayaan dan kegiatan rehabilitasi dilaksanakan pada tahun kedua setelah
pemanenan (Et+3).
8. Pemeliharaan tanaman
(1) Pemeliharaan tanaman adalah kegiatan penyulaman dan penyiangan hasil pengayaan dan
hasil rehabilitasi.
(2) Bagi tanaman yang kurang segar seperti di bekas TPn, harus dilakukan juga pendangiran,
pemulsaan dan pemupukan tanaman.
(3) Pemeliharaan tanaman dilakukan sekurang-kurangnya setiap empat bulan sejak penanaman,
selama tiga tahun berturut-turut, yaitu pada Et+3, Et+4, dan Et+5.
9. Pembebasan kedua dan ketiga
(1) Pekerjaan pembebasan kedua dan ketiga adalah pengulangan seperlunya pekerjaan
pembebasan pertama agar tajuk pohon-pohon binaan selalu tumbuh bebas dari naungan dan
desakan, sehingga pohon-pohon binaan mempunyai riap maksimum.
(2) Kegiatan pembebasan kedua dan pembebasan ketiga dipusatkan kepada perawatan pohon-
pohon binaan saja.
(3) Pembebasan kedua dilakukan pada Et+4 dan Pembebasan Ketiga pada Et+6.
10. Penjarangan
(1) Penjarangan adalah lanjutan kegiatan pembebasan, yaitu pada tingkat tiang dan pohon, yang
berfungsi untuk meningkatkan produktivitas tegakan.
(2) Macam penjarangan yang perlu dan boleh dilakukan adalah penjarangan tajuk. Cara ini
merupakan cara termurah dan paling efektif untuk memusatkan riap tegakan kepada pohon-
pohon binaan.
(3) Penjarangan tajuk adalah pekerjaan membunuh pohon penyaing, yaitu pohon-pohon yang
tajuknya menaungi atau mendesak tajuk pohon binaan.
(4) Untuk memelihara kebersihan batang pohon-pohon binaan, vegetasi pendamping yang
terdiri dari jenis-jenis pohon tahan naungan harus dipertahankan keberadaannya, agar
pemangkasan alami dari pohon-pohon binaan berlangsung sempurna.
(5) Penjarangan tajuk harus dilaksanakan pada tahun ke 10, 15, dan 20 setelah pemanenan
(Et+10, Et+15, Et+20).
(6) Hasil penjarangan harus diregister, dipetakan, dan dilaporkan.

F. Kriteria dan indikator


Keberhasilan pelaksanaan sistem TPTI di suatu unit pengelolaan harus dapat dikenali secara
obyektif. Untuk keperluan itu kriteria dan indikator yang gayut dengan keberhasilan itu
hendaknya ditetapkan, yang meliputi:

44
(1) Keteraturan pelaksanaan TPTI, ditandai dengan indikator-indikator:
a. Adanya jaringan jalan dan elemen PWH lain yang selalu terpelihara di seluruh bagian
areal kerja.
b. Tersedianya register petak kerja yang terisi secara teratur sesuai dengan jenis dan
volume kegiatan dalam TPTI serta hasil kegiatannya.
c. Register petak pengamatan pertumbuhan (petak ukur permanen) tersedia dan terisi
secara teratur, dengan sistem penyimpanan dan pemrosesan data yang jelas.
d. Tersedianya catatan keuangan per petak kerja yang teratur, berisi jenis kegiatan, biaya
satuan, dan tanggal transaksinya.
(2) Keadaan fisik tegakan yang ditandai dengan:
a. Batas petak kerja masih dapat dikenali di lapangan.
b. Tidak banyak liana yang mengganggu pohon binaan.
c. Petak pengamatan permanen terpelihara dan terbebas dari gangguan.
d. Struktur tegakan sehat, ditunjukkan oleh perimbangan permudaan, pohon binaan dan
pohon masak tebang yang berimbang, sesuai dengan umur lepas tebangnya.
e. Pohon binaan masih dapat dikenali melalui tanda-tanda yang jelas, dengan tajuk yang
bebas desakan dan naungan pohon non binaan.
f. Masyarakat sekitar hutan terserap oleh penyediaan kesempatan kerja pada kegiatan-
kegiatan TPTI.
g. Tidak ada areal kosong permudaan / tegakan niagawi.

G. Penyelenggaraan TPTI
(1) Persiapan
a. Persiapan di kantor (perangkat lunak) menyangkut penyediaan hal-hal terpenting berikut:
1) Buku RKPH sebagai dasar perencanaan secara umum dan sebagai dasar pemilihan
sistem TPTI termasuk dasar modifikasi TPTI (jika ada).
2) Bagan kerja TPTI lengkap dengan peta-peta kerjanya, yang merupakan rencana teknis
tahunan untuk setiap kegiatan TPTI. Bentuk bagan kerja ini serupa dengan bagan kerja
panenan tahunan, hanya menyangkut seluruh elemen kegiatan TPTI.
3) Register petak-petak kerja yang tersebut di dalam bagan kerja TPTI. Register ini berisi
identitas petak kerja dan hasil pelaksanaan kegiatan TPTI.
4) Surat-surat penugasan kepada satuan organisasi lapangan yang harus bertanggungjawab
menangani kegiatan yang akan dilaksanakan.
5) Pendanaan dan mekanisme penggunaannya untuk pelaksanaan kegiatan TPTI.
b. Persiapan di lapangan:
1) Penataan areal kerja sudah dilakukan, terutama pemancangan batas dan pemberian
tanda-tanda pada petak-petak kerja yang akan digarap. Enklave yang ada di dalam
hutan harus ditata batas dengan teliti.
2) Pembukaan wilayah hutan termasuk pengadaan dan pemeliharaan jaringan jalan, TPn,
camp antara, barak kerja (paling tidak satu untuk setiap wilayah lima tahunan) harus
sudah disiapkan.
3) Sarana/prasarana lapangan disiapkan sesuai dengan kebutuhan setiap kegiatan TPTI.

45
4) Dokumen-dokumen yang menyangkut persiapan lapangan disiapkan untuk
pemeriksaan.
(2) Pelaksanaan.
a. Kegiatan TPTI dilaksanakan sesuai dengan tatawaktu seperti tercantum dalam petunjuk
teknis. Keterlambatan, jika terpaksa terjadi, harus disertai dengan berita acara yang
memberikan keterangan sebab terjadinya keterlambatan tersebut.
b. Pelaksanaan kegiatan harus memperoleh supervisi yang intensif dari minimum seorang
sarjana kehutanan (terdidik di bidang silvikultur/manajemen hutan) yang bekerja pada unit
pengelolaan yang bersangkutan. Yang bersangkutan dilengkapi dengan register harian
supervisi, yang berisi waktu, tempat, pelaksanaan, masalah yang timbul, dan evaluasi
kegiatan TPTI.
c. Supervisi dari Dinas Kehutanan setempat dapat dilakukan setiap saat secara langsung di
petak kerja mana saja, dengan sasaran memberikan bimbingan teknis atau koreksi. Laporan
supervisi ditandatangani kedua belah fihak.
(3) Perlindungan hutan.
a. Hasil kegiatan TPTI pada suatu kawasan hutan harus mendapat perlindungan yang cukup.
Pelaksanaan perlindungan hutan berdasar kepada suatu pedoman dan petunjuk teknis
perlindungan hutan, yang disusun tersendiri.
b. Perlindungan hutan untuk sistem TPTI difokuskan kepada pencegahan dan penanggulangan
gangguan terhadap hutan yang berbentuk perambahan hutan, kebakaran, tebangan tak
terjadwal, dan hama/penyakit.
c. Perlindungan hutan juga menyangkut tindakan konservasi terutama terhadap
keanekaragaman hayati dan tata air.
d. Pada tempat-tempat dengan pertimbangan khusus (estetika, adat, budaya) diberlakukan
Kelas Hutan Dengan Tujuan Istimewa, dan pada tempat-tempat itu diberikan tatabatas serta
perlindungan khusus pula.
(4) Pengamatan pertumbuhan tegakan.
a. Dinamika/pertumbuhan tegakan terutama pohon-pohon binaan merupakan parameter kunci
untuk melihat apakah tindakan silvikultur yang telah dilakukan akan menjamin terwujudnya
struktur dan komposisi tegakan yang menjadi tujuan. Pertumbuhan tegakan diamati melalui
petak-petak pengamatan/ pengukuran permanen.
b. Petak pertumbuhan harus ditetapkan untuk setiap tipe dan mewakili tapak hutan yang ada di
dalamnya.
c. Pedoman penetapan dan pengelolaan petak pengamatan pertumbuhan disusun secara
tersendiri.
d. Unsur-unsur pertumbuhan tegakan yang minimal harus diketahui adalah tambah-tumbuh
(upgrowth), kematian (mortalitas), dan alih-tumbuh (ingrowth).
e. Disamping pertumbuhan, diperlukan penelitian dan pengamatan aspek lain terutama yang
berkenaan dengan aspek finansial/ekonomi, partisipasi masyarakat, dan dampak lingkungan
(keanekaragaman hayati, fisik lahan, tata dan kualitas air).
(5) Pemantauan dan penilaian.
a. Setiap kali suatu kegiatan TPTI selesai dilakukan untuk suatu petak kerja tertentu, pelaksana
diwajibkan mengisi buku register petak yang bersangkutan.
b. Pemantauan (monitoring) dilakukan paling kurang setahun sekali dengan cara
menghadapkan register kegiatan TPTI dengan keadaan di lapangan.

46
c. Unit pengelolaan harus dilengkapi dengan bagian organisasi yang menangani dokumen-
dokumen pelaporan dan statistik petak kerja. Bagian organisasi ini mempunyai
tanggungjawab untuk menerima, menyimpan, memroses, dan mengkomunikasikan laporan
dan informasi tegakan lainnya.
d. Penilaian (evaluasi) menyeluruh dilakukan paling kurang lima tahun sekali terutama pada
saat penyiapan RKL. Evaluasi mempunyai sasaran pada kriteria dan indikator seperti
tersebut pada Bab V.

BAB.V.
PETUNJUK TEKNIS TPTI HUTAN ALAM DARATAN

Tujuan:
Menjelaskan teknik pelaksanaan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia.
Setelah mengikuti kuliah dan melatih soal bab ini mahasiswa akan mampu:
(1) Menceriterakan tatawaktu sistem TPTI.
(2) Menceriterakan tatakerja perapihan.
(3) Menceriterakan tatakerja inventarisasi tegakan tinggal.
(4) Menceriterakan tatakerja pembebasan.
(5) Menceriterakan pengadaan bibit.
(6) Menceriterakan penanaman pengayaan.
(7) Menceriterakan pemeliharaan tanaman pengayaan.
(8) Menceriterakan penjarangan.

A. Tatawaktu
Tatawaktu pelaksanaan TPTI 1993 untuk hutan alami daratan fungsi produksi diringkaskan
dalam Tabel 7.1.

Tabel 7.1. Tatawaktu kegiatan TPTI 1993 (Surat Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan
Hutan no. 151/1993, tanggal 19-10-1993).

47
Tahap kegiatan Tahun ke Keterangan
Perencanaan
Penataan areal kerja (PAK) Et-3 Tatabatas blok, petak
Inventarisasi sebelum penebangan Et-2 Penentuan etat
(ITSP) Et-1 volume
Pembukaan wilayah hutan (PWH) Jalan dan jembatan
Silvikultur
Pemanenan Et Tebangpilih > 50 cm
Perapihan Et+1 Tebas semak
Inventarisasi tegakan tinggal (ITT) Et+2 Tetapkan ph binaan
Pembebasan I, II, III Et+2,4,6 Ph binaan 200 bt/ha
Pembibitan Et+2
Pengayaan dan rehabilitasi Et+3
Pemeliharaan tanaman Et+3,4,5
pengayaan/rehabilitasi Et+10,15, PB 200,150,100
Penjarangan tajuk I, II, III 20 bt/ha
Et=tahun pemanenan.

B. PERAPIHAN
B.1. Pengertian:
1. Kegiatan penebasan semak dan perambat di areal bekas tebang pilih agar tegakan hutan
alami produksi lebih mudah diinventarisasi, diperbaiki, dan ditingkatkan produktivitasnya.
2. Permudaan adalah semai, pancang, dan tiang dari jenis-jenis pohon niagawi.
3. Penebasan semak belukar tidak dimaksudkan untuk mengurangi keanekaan, melainkan untuk
mengurangi penyaing permudaan atau menghalangi jatuhnya biji.
B.2. Maksud dan tujuan:
1. Maksud: memudahkan pekerjaan silvikultur berikutnya, mempertahankan permudaan alami,
dan menyiapkan lahan bersih untuk jatuhnya biji baru pada tempat kosong.
2. Tujuan: meningkatkan mutu tegakan untuk siap ditingkatkan produktivitasnya, meningkatkan
keamanan dan kenyamanan bekerja.
B.3. Ketentuan umum:
1. Menebas semak yang mendesak permudaan, memotong semua perambat, menebas bersih
tempat kosong permudaan.
2. Ukuran semak yang ditebang berdiameter < 7 cm, dilakukan dengan parang, dan dipimpin
tenaga teknis kehutanan, waktu Et+1.
B.4. Persiapan:
1. Satu regu kerja 6 orang cukup untuk satu jalur per hari (20 x 1000 m). Tugas sama: menebas
semak.
2. Peralatan: peta kerja 1:10.000, kompas, parang, dan tenda.
B.5. Pelaksanaan:
1. Bersihkan rintis batas petak lebar 4 m. Pasang patok batas jalur dari kayu awet, nomori
permanen.
2. Seorang ketua regu menggunakan kompas untuk menetapkan arah jalur, yang lain bersap
dalam jalur.
B.6. Pencatatan:

48
1. Pencatatan per petak: nomor, luas, tanggal, tenaga yang digunakan, ditandatangani oleh
Ketua Regu. Laporan ini akan digunakan untuk bahan inventarisasi tegakan tinggal dan
laporan ke instansi kehutanan.
B.7. Prestasi dan mutu kerja:
1. Perapihan dinyatakan selesai bila semua semak (diameter < 7 cm) yang menutupi permudaan
dan menutupi areal kosong telah ditebas bersih.
2. Satu regu kerja dapat menyelesaikan 1 jalur per hari, atau 50 hari per petak.
B.8. Sketsa dan contoh:
1. Register petak untuk kegiatan perapihan.
RKT th 19../19.. No petak:
Nama Ketua Regu Kerja:
Tangga No. Panjang Jml Jml Catatan
l jalur jalur tenaga bahan

Base Camp, ................................


Mengetahui: Penanggungjawab:

---------------------------------------- -------------------------------------
Manager Pembinaan Hutan Kepala Urusan perapihan

C. INVENTARISASI TEGAKAN TINGGAL


a.. Pengertian:
1. ITT adalah kegiatan pencatatan, pengukuran, pemetaan pohon dan permudaan dalam tegakan
tinggal untuk mengetahui penyebaran, komposisi, dan struktur tegakan.
2. Tegakan tinggal adalah tegakan hutan yang sudah ditebang pilih dan dipelihara sampai saat
penebangan berikutnya.
3. Pohon Inti adalah pohon jenis niagawi berdiameter 20-49 cm yang akan ditebang dalam
rotasi tebang berikutnya.
4. Pengganti pohon inti adalah pohon lain jenis niagawi yang ditunjuk sebagai pohon inti, bila
pohon inti kurang dari 25 bt/ha.
5. Permudaan tingkat tiang adalah pohon muda jenis niagawi berdiameter 10-19 cm.
6. Permudaan tingkat pancang adalah permudaan, dengan tinggi lebih dari 1,5 m dan
berdiameter kurang dari 10 cm.
7. Permudaan tingkat semai adalah permudaan dengan tinggi 0,3-1,5 m.
8. Jalur ITT adalah jalur pengamatan dengan lebar 20 m pada petak yang telah ditebang pilih.
9. Petak ukur adalah petak pengamatan pohon dan permudaan berukuran 20m x 20m, 10m x
10m, 5m x 5m, 2m x 2m yang dibuat bersambungan dalam jalur ITT.
b. Maksud dan tujuan:
1. Maksud: mengetahui jumlah pohon inti dan permudaan yang selamat dan yang rusak setelah
pemanenan, dan lokasi PU kosong setelah panen pilih dan perapihan.

49
2. Tujuan: menetapkan perlakuan silvikultur pada tegakan tinggal, luas pengayaan dan
rehabilitasi.
c. Ketentuan umum:
1. Kemampuan kerja 1 regu kerja 500 ha per tahun.
2. Luas ITT sama dengan luas tebangan 2 tahun sebelumnya.
3. Pada petak pengamatan 20m x 20m diamati pohon inti (jenis, diameter, mutu), pada petak
pengamatan 10m x 10m disurvei tiang (jenis, diameter), pada petak pengamatan 5m x 5m
disurvei pancang (jenis, jumlah), dan pada petak pengamatan 2x2m disurvei semai (jenis,
jumlah).
4. Bila dalam satu PU tidak terdapat sekurang-kurang 1 pohon inti, atau 2 tiang, atau 4 pancang,
atau 8 semai, maka PU itu ditandai patok kuning, mungkin kelak harus dikayakan.
5. Pohon inti dinyatakan rusak bila: tajuk rusak > 30%, luka batang > 1/4 keliling dan panjang >
1,5 m.
6. Pasang papan nama pada blok dan petak ITT.
7. Pembuatan peta pohon berdiameter > 10 cm, jalan induk dan jalan cabang, alur sarad, TPn
(tempat pengumpulan kayu), TPK (tempat penimbunan kayu), tempat terbuka atau kurang
permudaan.
8. ITT dilakukan pada blok RKT yang berumur 2 tahun setelah penebangan (Et+2).
d. Persiapan:
1. Satu regu kerja terdiri atas 7 orang: 1 ketua rangkap pencatat, 1 kompas, 2 pembuat petak
pengamatan, 2 penghitung/pengukur/penomor, 1 pembantu. Dipimpin tenaga teknis
kehutanan.
2. Bahan/alat: label plastik, spidol permanen, tambang nilon 20 m, buku lapangan, parang, obat,
makanan, dan tenda.

e. Pelaksanaan:
1. Penetapan di peta: blok, petak, jalur mana.
2. Memeriksa dan mengganti pohon inti rusak.
3. Menghitung, mencatat pohon, pohon inti, tiang, pancang, semai dalam petak pengamatan
masing-masing.
4. Pasang patok kuning pada petak ukur kosong permudaan. Kosong berarti tidak ada pohon
inti, atau 2 tiang, atau 4 pancang, atau 8 semai.
5. Pemetaan pohon pada peta hasil ITSP skala 1:1.000.
f. Pengolahan data dan pelaporan:
1. Menghitung dan merekapitulasi calon pohon binaan dalam petak hasil ITT.
2. Menghtung tempat kosong dan kebutuhan bibit dari jenis pohon yang cocok.
g. Sketsa dan contoh:

2m

5m

10m
50
Register petak untuk kegiatan ITT
RKT th: No. petak:
Nama Ketua Regu Kerja:
Tanggal No Panjang Jml Jml Jumlah Catatan
jalur jalur tenaga bahan upah

Base Camp, ................................


Mengetahui: Penanggungjawab:

--------------------------------- -------------------------------------
Manager Pembinaan Hutan Kepala Urusan ITT

DAFTAR UKUR ITT


No Pohon lain Pohon inti Tiang Pancang Semai
PU Jenis Dia Jenis Dia Jenis Dia Jenis Dia Jenis Jml
m m. m. m.
(cm) (cm) (cm) (cm)

Keterangan: Basecamp, ...............................


Peta kerja skala 1:10.000
Peta pohon skala 1:1.000

Mengetahui: Penanggungjawab:

-------------------------------------- -------------------------------------
Manager Pembinaan Hutan Kepala Urusan ITT

D. PEMBEBASAN I, II, III


a. Pengertian:

51
1. Pembebasan adalah kegiatan pemeliharaan tegakan tinggal yang berupa pekerjaan
membebaskan tajuk 200 pohon binaan (pohon inti dan permudaan) dari desakan dan naungan
pohon atau tumbuhan penyaing.
2. Tegakan tinggal adalah tegakan hutan yang telah ditebangpilih.
3. Jenis pohon niagawi adalah jenis-jenis pohon yang menghasilkan kayu perdagangan.
4. Pohon inti adalah pohon jenis niagawi berdiameter 20-49 cm, yang diharapkan akan
membentuk tegakan utama rotasi berikutnya.
5. Pengganti pohon inti adalah pohon jenis niagawi lain yang ditunjuk untuk melengkapi bila
pohon inti kurang dari 25 bt/ha.
6. Permudaan adalah tiang, pancang, semai jenis niagawi dengan tinggi > 30 cm dan diameter <
20 cm. Permudaan bersama pohon inti diharapkan menyusun tegakan produktif dalam rotasi
pengusahaan berikutnya.
7. Pohon binaan adalah pohon inti dan permudaan yang dibebaskan, jumlahnya 200 bt/ha atau
jarak satu sama lain 5-9 m.
8. Penebangan dalam pembebasan adalah memotong pohon berdiameter < 10 cm sampai putus
dengan kapak atau parang.
9. Peneresan adalah pekerjaan membunuh pohon penyaing atau pohon yang tidak diinginkan
dengan cara membuang kulit 20 cm dan gubal sedalam 1 cm, bersih, tidak ada kambium
tertinggal.
10. Peracunan adalah pekerjaan membunuh pohon penyaing yang berdiameter 10-50 cm dengan
bacok keliling, lalu dikucuri arborisida.
11. Arborisida adalah herbisida untuk membunuh pohon penyaing, agar pohon tersebut mati
berdiri. Dianjurkan penggunaan bahan aktif garam isopropil-amin-glifosat dilarutkan dalam
air 12%.

b. Maksud dan tujuan:


1. Maksud: mengadakan ruang tumbuh optimal bagi Pohon Binaan.
2. Tujuan: meningkatkan riap pohon binaan untuk memperbesar produktivitas tegakan tinggal
untuk memaksimumkan keuntungan perusahaan.
c. Ketentuan umum:
1. Tumbuhan yg dibebaskan (dipelihara) adalah pohon binaan.
2. Kriteria pohon binaan:
- jarak rataan 5-9 m,
- jenis niagawi utama, atau jenis lainnya, atau jenis sembarang asal membesar,
- ukuran terbesar di tempatnya,
- batang sehat, lurus, bundar, tajuk besar tanpa cacat,
- semua pohon dari jenis yang dilindungi,
- semua pohon yang berdiameter > 40 cm dan sehat.
3. Pohon binaan berdiameter > 10 cm dinomori label seperti pohon inti.
4. Tumbuhan yang dibunuh pada pembebasan adalah penyaing pohon binaan:
- pohon bukan binaan dengan tajuk menaungi atau mendesak tajuk pohon binaan,
- semua perambat kecuali rotan berharga.
5. Dilarang membunuh pohon-pohon berikut:
- pohon dilindungi,
- pohon yang tajuknya tidak mendesak atau menaungi tajuk Pohon Binaan walaupun cacat
atau jenis tidak berharga,

52
- pohon dengan jarak < 200 m dari mata air atau < 100 m dari tepi danau dan pantai dari
titik pasang tertinggi,
- pohon berdiameter > 50 cm dengan tinggi pangkal tajuk > 20m, walaupun cacat.
6. Peneresan tanpa racun tidak dianjurkan karena kalau dikerjakan sempurna sekalipun pada
tahun pertama hanya akan mencapai keberhasilan 50%, yang berarti kehilangan riap pohon
binaan.
7. Bahan kimia arborisida yang telah direkomendasikan oleh Komisi Pestisida Departemen
Kehutanan.
8. Pembebasan dilakukan pada 2 th, 4 th, 6 th setelah panen pilih.
d. Persiapan:
1. Persiapan regu: 8 orang -> 1 kepala regu bersihkan rintis, 2 pengenal pohon, 2 menebang dan
meneres pohon penyaing berdiameter 7-20 cm, 2 peracun pohon penyaing berdiameter 20-50
cm, 1 pembawa jeriken racun 5 l. Pembebasan dipimpin tenaga teknis bersertifikat
pembebasan, dipertanggungjawabkan oleh Sarjana Muda / Sarjana Kehutanan.
2. Alat: peta 1:10.000, kompas, parang, kapak, jeriken 5 lt, botol plastik 500 cc, alat tulis, tenda.
e. Pelaksanaan:
1. Di peta tentukan lokasi blok, petak, luas areal kerja, anggaran biaya/tenaga untuk persiapan,
pelaksanaan, dan pelaporan.
2. Buat ruang bebas ke atas dan 1-2m ke samping, sinar langsung dari atas dan/atau samping ke
tajuk pohon binaan.
3. Setiap regu mengerjakan pembebasan dalam jalur ITT lebar 20m sistematis.
4. Penebangan hanya dilakukan terhadap pohon penyaing berdiameter < 7 cm agar rebah dapat
dikendalikan.
5. Peracunan terhadap pohon penyaing berdiameter 10-50 cc agar cukup tebal untuk dibacok
keliling, kucuri larutan Roundup 12% dalam air, cuci tangan dengan sabun sebelum makan-
minum-merokok. Bahan aktif glifosat bekerja sistemik. Kedalaman 1-2 cm ke dalam kayu
gubal.
f. Pencatatan:
1. Kemajuan pekerjaan dicatat dalam register petak setiap hari kegiatan. Laporan diserahkan
kepada instansi kehutanan sesuai ketentuan.
g. Prestasi dan mutu:
1. Satu regu pembebasan dapat menyelesaikan pembebasan satu jalur per hari.
2. Pembebasan dinilai selesai bila dengan uji petik ditemukan > 80% tajuk pohon binaan telah
bebas atau telah diracun penyaingnya.
h. Sketsa dan contoh:

Register Petak Pembebasan Nomor petak:


Nama Ketua regu:
Tangg Nom Pohon Inti Tiang Pancang Semai Jml Jml
al or
PU Jenis Jml Jenis Jml Jenis Jml Jenis Jml HO biay
K a

53
E. PENGADAAN BIBIT
a. Pengertian:
1. Pengadaan bibit adalah kegiatan meliputi persiapan prasarana dan sarana untuk mengadakan
bibit.
2. Pembibitan adalah kegiatan mengumpulkan dan memelihara bibit/biji dari hutan / kebun
pangkas.
3. Persemaian adalah areal pemeliharaan benih pada lokasi tetap dan dibangun rapi.
4. Bibit adalah tanaman muda yang akan dibudidayakan.
5. Bedeng tabur adalah bedeng berisi media untuk membiakkan benih.
6. Bedeng sapih adalah bedeng untuk meletakkan pot berisi bibit yang dipersiapkan mencapai
ukuran/mutu yang memadai untuk ditanam.
7. Media semai adalah tanah yang telah diolah untuk menumbuhkan biji/bibit.
8. Biji adalah suatu bakal bibit/benih yang berasal dari tegakan benih atau pohon induk yang
belum dikenai perlakuan khusus atau belum diseleksi.
9. Benih adalah biji yang telah diseleksi agar daya kecambahnya mencapai 100%.
10. Pembiakan vegetatif adalah pembibitan yang menggunakan bahan tanaman stek yang
dihasilkan kebun pangkas.
b. Maksud dan tujuan:
1. Maksud: memperoleh benih/bibit mutu tinggi, dengan jumlah memadai, dalam waktu yang
tepat.
2. Tujuan: meningkatkan produktivitas hutan dan keamanan usaha.
c. Ketentuan umum:
1. Jumlah bibit sesuai luas areal yang akan ditanami.
2. Benih harus bermutu tinggi dengan daya kecambah tinggi (>80%).
3. Benih diyakini dari tegakan / kebun benih yang diyakini memiliki mutu benih unggul.
4. Pengadaan bibit dilakukan pada Et+2.
d. Persiapan persemaian:
1. Pemilihan tipe persemaian: sederhana, semi permanen, permanen.
2. Pemilihan lokasi pers: dekat penanaman, sumber air, tepi jalan, mudah pengawasan, datar,
tanah baik.
3. Penentuan luas: 1 ha untuk 500 ha penanaman.
4. Persiapan fisik: pembersihan, pemagaran, pengumpulan media, papan nama, tangki, pompa.
5. Sarana:
- bangunan: kantor, rumah, gudang, bengkel,
- persemaian: kotak, penaburan, pencampur media, sekop, cangkul,
- penyiraman: pompa, tangki, selang, pipa, embrat,
- pengolah media: pemecah, penyaring, sterilisasi, pencampur,
- pertumbuhan bibit: bedeng tabur, bedeng sapih, penaung, penyapihan,
- pemupukan: sprayer,
- pengangkutan: kotak, gerobak, rak, dumptruk,
- lain-lain: parang, gunting, cat, tally sheet, alat tulis.
e. Pembuatan bedeng tabur:

54
1. Biji halus ditabur dalam bak tabur 0,5m x 0,5 m, diletakkan di atas rak 5m x 1 m.
2. Biji besar kecambahkan pada bedeng tabur 5m x 1 m: keliling papan, tanah gembur,
sterilisasi formalin 7%, diatapi.
3. Kecambah tinggi 5-10 cm disapih ke dalam pot plastik, pot tray, poly tube.
f. Pembuatan bedeng sapih:
1. Bedeng sapih 5m x 1 m, keliling kayu, bersih, dasar padat / batu.
2. Bedeng sapih dinaungi sarlon sebulan, dipanaskan 2 bulan, hardening off 2 pekan.
3. Papan keterangan setiap bedeng: jenis tanaman, tanggal tabur, tanggal sapih.
g. Pengadaan bibit dari biji:
1. Benih dari tegakan benih, pohon tinggi-lurus, tajuk lebat, sehat cukup umur, seleksi segera,
biji tenggelam, ukuran seragam.
2. Media semai gembur, campur tanah dari bawah tegakan, dibuat dalam bedeng atau dalam pot
plastik yang disusun dalam bedeng, kalau perlu disterilisasi.
3. Media disiram, ditabur benih, ditutupi tanah tipis, ditutupi serasah, setelah tinggi semai 15
cm disapih ke ruang bebas.
4. Naungan sapih tergantung jenis pohon, siram pagi-sore dengan sprayer, pupuk NPK, pengen-
dalian gulma, pengendalian hama.
5. Pengangkutan setelah bibit mencapai tinggi 30 cm, siram dulu, ditutupi.
h. Pengadaan bibit puteran:
1. Dikumpulkan pada musim hujan dari bawah pohon induk, tinggi 15 cm, diambil dengan
tanahnya gunakan skop, daun buang separuh.
2. Segera sapih ke pot plastik, disungkup 3 minggu, siram, jaga kelembaban.
3. Setelah berdaun baru, pindahkan sebulan di bawah sarlon, dijemur 2 bulan.
4. Dilakukan pemupukan NPK, dosis harus dicoba sendiri.

i. Pengadaan bibit cabutan:


1. Dikumpulkan pada musim hujan dari bawah pohon induk, tinggi 15 cm, diambil telanjang,
kumpulkan dalam kantong plastik/peti tertutup agar tidak meguap. Daun buang separuh.
2. Segera sapih ke pot plastik, disungkup 3 minggu, siram, jaga kelembaban.
3. Setelah berdaun baru, pindahkan sebulan di bawah sarlon, dijemur 2 bulan.
4. Pemupukan setiap minggu dengan NPK, dosis harus dicoba sendiri.
j. Pengadaan bibit stek:
1. Bahan stek pucuk orthotrop dari kebun pangkas, umur kebun < 5 th, pada masa istirahat daun
sudah membuka, 2-3 helai daun, daun dibuang 2/3 bagian, potong di bawah buku, stek
letakan dalam air, celup ke hormon sedalam 2 cm.
2. Bak pengecambahan media padat diisi pasir atau vermikulit atau gambut bersih, dinaungi,
disungkup plastik, selalu lembab, stek ditanamkan.
3. Bak pengecambahan media cair diisi larutan hormon, ditutup plastik, stek ditanam pada ijuk,
udara disemprotkan dengan kompresor dengan volume perlu percobaan.
4. Stek disapih bilamana telah berakar banyak, tanam dalam pot plastik, sungkup lagi sebulan,
pindahkan ke bawah sarlon sebulan, jemur sebulan. Pemupukan diberikan setelah di tempat
jemuran.
6. Cara lengkap pelajari publikasi Wanariset Kalimantan Timur tentang pembuatan kebun
pangkas dan pembuatan stek dipterocarpaceae.

F. PENGAYAAN DAN REHABILITASI

55
a. Pengertian:
1. Pengayaan adalah kegiatan penanaman tegakan tinggal yang kurang permudaan untuk
memperbaiki komposisi jenis, penyebaran pohon, dan nilai tegakan.
2. Rehabilitasi adalah penanaman bidang kosong agar menjadi produktif.
3. Jenis pohon toleran adalah jenis pohon yang anaknya tahan terhadap naungan, sedangkan
jenis pohon intoleran adalah jenis pohon yang anaknya tidak tahan terhadap naungan atau
suka cahaya.
4. Bidang tegakan perlu dikayakan bila ada > 25 petak ukur kurang permudaan. Rehabilitasi
pada bekas TPn, TPK, dan areal kosong lainnya. Lihat peta ITT.
b. Maksud dan tujuan:
1. Menambah jumlah anakan pada tegakan tinggal pada bidang kurang permudaan.
2. (a) Memperbaiki komposisi jenis dan penyebaran, (b) peningkatan nilai tegakan.
c. Ketentuan umum:
1. Lokasi, hasil ITT peta 1:1000, areal satu bidang > 1 ha.
2. Jaraktanam pengayaan 5m x 5 m, rehabilitasi 3m x 3 m.
3. Jumlah bibit maksimum 16 bt dikurangi semai/pancang yang telah ada dalam petak ukur,
ditambah 20% untuk menyulam, berdasar hasil ITT.
4. Bila ada petak ukur penuh di dekat petak ukur kosong, pindahkan semai pakai puteran.
5. Jenis pohon pengayaan: toleran dominan; jenis untuk rehabilitasi: pionir/intoleran.
d. Persiapan:
1. Regu kerja 12 orang: 1 ketua/pencatat, 1 kompas, 2 jalur, 2 ajir, 2 lubang tanam, 2 bibit, 2
penanam.
2. Peta kerja 1:10.000, peta pengayaan 1:1000, parang, cangkul hutan, tenda, penggendong
bibit.
e. Pelaksanaan:
1. Temukan lokasi ET+3, bidang kosong > 1 ha, ikut rintis batas jalur.
2. Buat jalur tanam, ajir, lubang tanam, tanam.
3. Jalur tanam harus terang, lebar 2 m (di atas).
4. Catat lokasi, jumlah petak ukur, jenis dan jumlah bibit, hari orang kerja, petakan skala
1:1000.
f. Pengolahan data dan pelaporan:
1. Rekapitulasi dicatat setiap petak, ditandatangani oleh Kepala Urusan Pengayaan.
2. Laporan ditandangani Manager Pembinaan Hutan.
G. PEMELIHARAAN TANAMAN PENGAYAAN/REHABILITASI
a. Pengertian:
1. Membersihkan jalur tanam, gulma, penaung, rumput, setiap 4 bulan selama 3 th (Et+3,4,5),
penyulaman tanaman mati.
2. Penyiangan adalah membuang gulma sekitar tanaman; penyulaman adalah mengganti tanam-
an mati; pendangiran adalah menggemburkan tanah sekitar tanaman.
b. Maksud dan tujuan:
1. Maksud: membebaskan tanaman baru dari gulma dan mengganti tanaman mati.
2. Tujuan: mempertahankan jumlah tanaman dan memacu pertumbuhannya.
c. Ketentuan umum:
1. Pemeliharaan dimulai 3-4 bulan sejak penanaman.
2. Sasaran pemeliharaan adalah tanaman baru dari saingan gulma.
3. Gulma ditebas sehingga tanaman dapat ruang bebas 1 m, menerima sinar langsung.

56
d. Persiapan:
1. Regu pelaksana 6 orang, kemampuan 500 ha/th.
2. Peta, alat tulis, parang, kompas, cangkul, alat tebang.
e. Pelaksanaan:
1. Mengkaji rencana, menetapkan jumlah regu, menyiapkan peralatan.
2. Membersihkan jalur tanam, lebar 2 m, bersih di bawah terang di atas, tebas rumput / belukar
dengan parang.
3. Pohon yang menaungi dapat diracun dengan glyfosat 12% dalam air.
f. Pengolahan data dan pelaporan:
1. Laporan: nomor petak, luas petak, nama kegiatan, jumlah dan jenis pohon yang dirawat,
jumlah biaya dan orang, kirim ke instansi kehutanan.

H. PENJARANGAN I, II, III


a. Pengertian
1. Penjarangan adalah kegiatan penyingkiran penyaing pohon binaan bilamana pohon binaan
telah berupa tingkat tiang dan pohon atau berdiameter 10 cm.
2. Penjarangan termurah yang efektif dan dianjurkan adalah penjarangan tajuk selektif.
3. Penjarangan tajuk adalah penjarangan yang dilakukan untuk membuang pohon penaung dan
pendesak tajuk pohon binaan.
4. Pohon binaan adalah 200 pohon jenis niagawi terbaik per ha, termasuk pohon inti, tersebar
merata, jarak 5-9 m, dengan kriteria:
- jenisnya niagawi utama setempat,
- diameter terbesar di tempatnya / kelompoknya,
- tajuknya paling besar dan berbatang sehat.
5. Pohon penyaing adalah pohon bukan binaan yang tajuknya menaungi atau mendesak tajuk
pohon binaan.
6. Penjarangan I dilakukan pada Et+10, Penjarangan II pada Et+15, Penjarangan III pada
Et+20.
b. Maksud dan tujuan
Maksud adalah untuk mempertahankan riap yang besar dari pohon binaan. Tujuan untuk
memusatkan riap tegakan kepada pohon-pohon binaan.
c. Ketentuan umum
1. Pada Penjarangan I dibebaskan 200 pohon binaan, pada Penjarangan II dibebaskan 150
pohon binaan, pada Penjarangan III dibebaskan 100 pohon binaan.
2. Pemanfaatan kayu penjarangan yng berupa pemanenan pohon penyaing tidak dibenarkan.
d. Persiapan
1. Kelengkapan : peta skala 1:10.000, peta pohon binaan, kapak, botol arborisida, dan jeriken
larutan arborisida.
2. Penunjuk pohon binaan dan pohon penyaing (kepala regu) harus tenaga teknis kehutanan
yang bersertifikat penjarangan atau pembinaan tegakan tinggal.
3. Satu regu 6 orang: 1 ketua merangkap pencatat jumlah dibebaskan dan jumlah dibunuh, 2
penebas belukar, 2 juru racun, 1 pembantu umum.
e. Pelaksanaan
1. Ketua regu berjalan di tengah jalur, menunjuk pohon binaan dan pohon penyaing yang harus
dibunuh.
2. Penebas membersihkan pohon binaan.

57
3. Juru racun meracun setiap pohon penyaing.
4. Pembantu umum berjalan di belakang, mengoreksi pekerjaan.
5. Tidak dibenarkan membunuh pohon bukan penyaing walaupun cacat atau tertekan, atau
jenis non niagawi.
f. Pencatatan dan pelaporan
1. Hasil kerja dicatat dalam register petak.
2. Letak pohon binaan dipetakan dalam peta pohon skala 1:1000.
3. Hasil kerja dilaporkan ke instansi kehutanan.
g. Mutu kerja
Penjarangan adalah pekerjaan vital perusahaan hutan yang menentukan produktivitas tegakan
tinggal. Harus dilakukan profesional dan tepat waktu. Dinyatakan selesai bilamana dalam setiap
petak terdapat sekurang-kurangnya 80% pohon binaan dari jumlah semestinya dengan tajuk
yang longgar.

Register penjarangan
Nomor petak : Tanggal :
Nomor jalur : Luas :
No PU Pohon binaan Pohon dibunuh Jumlah Jumlah
PU Jenis Jumlah Jenis Jumlah HOK Biaya
1
2
3
...
...
50
Jumlah
Keterangan: Basecamp, .......................
Harus dilengkapi peta
- kegiatan penjarangan skala 1:10.000
- peta pohon skala 1:1000.

Mengetahui, Penanggungjawab kegiatan,

----------------------------------- ---------------------------------------------

58
Manager Pembinaan Hutan Kaur Penjarangan

BAB.VI.
KEUNGGULAN DAN KENDALA SISTEM TPTI
SEBAGAI SISTEM SILVIKULTUR

Tujuan:
Menjelaskan manfaat sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia.

Setelah selesai mengikuti kuliah dan melatih soal bab ini, mahasiswa akan mampu:
(1) Berceritera tentang pertimbangan penetapan sistem dan teknik silvikultur.
(2) Berceritera tentang perhitungan biaya dan pendapatan pengelolaan hutan alami produksi
dengan sistem TPTI.
(3) Menyatakan evaluasi tegakan tinggal hutan alami bekas tebangan TPTI.
(4) Menceriterakan kendala-kendala pelaksanaan TPTI.

A. Pendahuluan
Hutan alami produksi di luar Pulau Jawa diusahakan besar-besaran sejak
dimungkinkannya partisipasi penanaman modal asing dan modal dalam negeri tahun 1967. Sejak
itu hutan alam pada ketinggian tempat di bawah 500 m d.p.l. disewakan kepada perusahaan
swasta (dalam negeri dan asing) dan Badan Usaha Milik Negara untuk diusahakan. Sistem
pengusahaan yang digunakan, diatur atau tidak, mengikuti prinsip efisiensi, yaitu menebang
pohon-pohon besar yang kayunya laku dijual dan dapat diangkut (biasanya dirakit) serta

59
meninggalkan pohon-pohon lainnya yang belum laku dijual atau kayunya berat, tetap di hutan.
Itulah sistem tebangpilih dengan batas diameter yang merupakan sistem silvikultur paling tua di
hutan alam. Pada tahun 1972 oleh Pemerintah dikeluarkan sistem pengusahaan hutan Tebang
Pilih Indonesia, Tebang Habis dengan Permudaan Alam, dan Tebang Habis dengan Permudaan
Buatan. Sampai tahun 2001, sistem silvikultur yang telah ada rincian petunjuk teknisnya dan
merupakan sistem yang utuh, ada 4 buah yaitu: Sistem TPTI, Sistem Silvikultur Hutan Payau,
dan Sistem Penanaman Meranti Dalam Larikan, dan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ).
Sejak dikeluarkannya sampai sekarang, Sistem TPTI telah disempurnakan dua kali, yaitu
pada tahun 1989 dan tahun 1993. Kedua revisi itu merupakan pemantapan teknis dan konsep
yang mengacu kepada perkembangan pengetahuan tentang hutan dan dinamikanya dari hasil
penelitian yang senantiasa berlangsung.
Tahap pelaksanaan TPTI bervariasi dari tempat yang satu ke tempat yang lain, dengan
alasan yang berbeda-beda pula. Salah satu ketidaklancaran penerapan TPTI di lapang adalah
karena Pemerintah Indonesia belum ammpu memaksakan pembinaan hutan alami kepada para
pemegang hak pengusahaan hutan.
Bab ini dicoba disusun untuk menganalisis kebaikan, kelemahan, dan kesulitan penerapan
TPTI dilihat dari aspek silvikultur.

B. Pertimbangan dalam penetapan sistem silvikultur di hutan alami daratan


Sistem silvikultur di hutan alam pada dasarnya ditentukan oleh: (1) keadaan hutan (hutan
primer seumur, hutan primer tidak seumur, vegetasi sekunder, hutan alami tegakan tinggal, atau
bekas ladang); dan (2) tujuan pengusahaan (kayu vinir, kayu bangunan, kayu serat, kayu energi).
Tujuan pengusahaan hutan alami fungsi produksi pada umumnya hanya satu saja yaitu
untuk menghasilkan kayu pertukangan dengan mempertahankan keaslian alamnya guna
meminimalkan bencana ekologis akibat terusiknya struktur dan komposisi tegakan hutan.
Dengan demikian pertimbangan penetapan sistem silvikultur untuk hutan alam biasanya hanya
ditentukan oleh keadaan awal tegakan hutan.
Menurut Manan (1991), keadaan hutan yang dijadikan dasar penetapan sistem silvikultur
adalah tipe hutan, sifat silvik, struktur tegakan yang telah ada, komposisi jenis pohon dalam
tegakan asal, jenis tanah, rupa bumi, kemampuan profesional para rimbawan, dan kemampuan
pembiayaan dari instansi yang akan mengelola hutan. Manan menjelaskan selanjutnya, bahwa
hutan tropis di Indonesia terdiri atas pelbagai tipe hutan, yaitu hutan dataran rendah, hutan
pegunungan, hutan bakau, hutan rawa, hutan kerangas, hutan pantai. Masing-masing hutan itu
memiliki komposisi jenis pohon dan struktur tegakan yang berbeda. Demikian pula tanah tempat
tumbuhnya serta ketinggian dari permukaan laut. Oleh karena itu sistem silvikultur yang
diterapkan pada hutan-hutan itu tidak perlu dan tidak dapat seragam. Jadi harus disesuaikan
menurut kondisi tipe hutannya.
Mengapa hutan alam di Indonesia diusahakan dengan sistem tebangpilih, penulis
berpendapat karena beberapa alasan berikut ini.
(1) Hutan alami tropis berisi beberapa puluh bahkan ratus jenis flora dalam setiap hektarnya.
Di antara jenis tumbuhan itu ada yang berupa pohon, dan sebagian kecil berupa jenis-jenis
pohon besar. Hanya sebagian kecil saja dari jumlah jenis pohon besar itu yang kayunya telah
umum laku dijual. Oleh karena itu sistem tebang pilihlah yang cocok untuk digunakan untuk
mengusahakan hutan alam campuran demikian. Untuk apa menebang pohon berlebihan kalau
yang laku dijual hanya sebagian kecil saja.

60
(2) Letak pohon-pohon besar siap panen di hutan alam itu tersebar acak, sehingga sistem
pemanenan tebang pilih merupakan cara paling efisien dibandingkan sistem tebang habis,
jalur, atau kelompok.
(3) Pohon-pohon di hutan alam terdiri atas semua ukuran, dari besar sampai kecil, ada yang utuh
ada pula yang gerowong. Dari semua ukuran itu hanya pohon-pohon besar yang masif saja
yang laku dijual, sehingga sistem tebang pilih merupakan sistem pemanenan yang cocok.
(4) Pembeli kayu selalu jauh dari hutan di mana pohon berada sehingga biaya pengangkutan
tinggi. Kalaupun ada jalan angkutan kayu, maka jalan itu hanya menghubungkan hutan
dengan sungai atau laut terdekat dan bukan dengan pemakai. Oleh karena itu walaupun
secara teknis semua jenis kayu laku dijual, namun sebagian besar kayu yang dapat
dikeluarkan dari hutan alam kita masih tetap juga berupa jenis-jenis kayu terapung bila
dirakit saja. Kayu tenggelam hanya dapat keluar pada musim penghujan saja agar tongkang
untuk mengangkutnya dapat memasuki anak sungai yang cukup besar. Padahal pada musim
hujan kayu yang dapat diangkut dari hutan justru sedikit karena jalan angkutan yang
kebanyakan tidak diperkeras sulit dilalui. Oleh karena itu untuk memanen jenis-jenis kayu
terapung saja yang paling cocok adalah sistem tebang pilih.
(5) Jenis-jenis pohon perdagangan utama di hutan alam meremajakan diri paling baik sesuai
dengan alam aslinya, yaitu di dalam rumpang (gap) dan bukannya di dalam areal terbuka
gersang seperti jenis pionir. Oleh karena itu secara ekologis, sistem tebang pilihlah yang
paling cocok untuk meremajakan sebagian besar jenis-jenis pohon utama di Indonesia.
(6) Seperti dijelaskan dalam makalah Ruhiyat secara lebih rinci, beberapa kation basa yang
merupakan faktor pembatas dalam cadangan hara di hutan alam tidak berletak di tanah
melainkan di dalam tubuh vegetasi. Dengan demikian bilamana vegetasi hutan alam
ditebang habis, maka sebagian kation basa tersebut akan hilang dari ekosistem hutan. Oleh
karena itu kalau hutan harus dipertahankan tetap sehat, itu yang disebut dengan prinsip
kelestarian sumber, maka sistem tebang pilih merupakan sistem yang paling aman, karena
kehilangan akibat panen pilih dapat ditutupi oleh masukan hara dari atmosfir.
(7) Sebagian besar jumlah jenis flora hutan alam tropis masih tidak diketahui manfaat
ekonomisnya, malah disebut "semak-belukar" atau bahkan disebut "gulma". Bisa saja pada
masa depan, jenis-jenis semak itu menjadi jenis dagangan yang penting. Contohnya adalah
jenis kayu meranti dan ramin 30 tahun yang lalu bukanlah merupakan jenis kayu
perdagangan penting, untung tidak ditebasi sebagai gulma. Oleh karena itu untuk
pengamanan sumber plasma nutfah tersebut, sistem tebang pilih merupakan sistem yang
aman.

C. Isi pokok sistem TPTI


Sebagai sistem tebangpilih, TPTI menetapkan rotasi penebangan 35 th, dengan batas
diameter di hutan produksi tetap 50 cm, di hutan produksi terbatas 60 cm. Jumlah pohon inti
yang harus diamankan dan dirawat minimal 25 bt/ha yang harus tersebar merata dan berdiameter
20-49 cm. Selain itu harus dilindungi jenis-jenis pohon yang dilindungi Pemerintah. Dalam revisi
1993, jumlah pohon binaan yang harus dipelihara dibakukan menjadi 200 batang per ha,
termasuk di antaranya 25-50 bt pohon inti per ha.
Dalam revisi tahun 1993, Pedoman TPTI tetap digunakan untuk hutan alami campuran.
Namun Petunjuk Teknisnya tidak lagi berlaku umum untuk semua tipe hutan alami campuran,
melainkan yang telah ada sekarang hanya untuk tipe hutan alami daratan saja dan tidak
diperuntukkan untuk hutan rawa, hutan gambut, hutan eboni atau hutan lainnya.

61
TPTI menurut revisi 1993 terdiri dari 17 tahap. Bila dibandingkan dengan versi 1989
sebenarnya tidak ada perubahan, hanya dalam versi 1993 program perawatan tegakan tinggal
dirinci sesuai dengan saran-saran para peneliti untuk lebih meningkatkan produktivitas dan
mengurangi usikan ekosistem (Anonim, 1993).
Sebagai sistem silvikultur untuk hutan alam campuran daratan, TPTI adalah sistem yang
aman karena pengusahaan hutan alam dengan TPTI hanya mengusik ekosistem minimal atau
seperlunya saja. Bahkan dalam praktek sering perusahaan hutan belum melakukan campur
tangan terhadap struktur tegakan dengan melaksanakan perapihan, pengayaan, dan pembebasan
dengan semestinya, padahal ketiga kegiatan itulah bagian dari TPTI yang dapat meningkatkan
riap tegakan hutan alam dari 1,5 m/ha.th menjadi 10 m/ha.th. seperti akan diuraikan di bagian
lain tulisan ini (Sutisna, 1997).

D. Perhitungan riap volume dan pendapatan finansial TPTI


Untuk menunjukkan manfaat TPTI, haruslah ditunjukkan perhitungan biaya
penyelenggaraan TPTI dalam pengusahaan hutan alam.
Pengeluaran biaya langsung, dihitung dari biaya yang umum secara nyata dikeluarkan di
Kalimantan Timur, dirangkum dari beberapa perusahaan pemegang HPH, dan disajikan dalam
Tabel 8.1.

Tabel 8.1. Perkiraan pengeluaran biaya dari TPTI, dihitung per hektar untuk 35 tahun.

Kegiatan HOK US$ %


Pembinaan Tegakan 56 224 1
Tinggal:
Perapihan 5
Pembebasan I,II,III 6+5+4
ITT 100% 4
Pengayaan/rehabilitasi 6
20%
Pemeliharaan tanaman 9 9
kali
Penjarangan I,II,III 5+5+5
Perlindungan 1
Penelitian dan 1
Pengembangan
Pemanenan rotasi II: $ 10/m x 350 3.500 20
350m/ha m
Biaya umum + DR + IHH $ 40/m x 350 14.000 79
+ pajak m
Jumlah 17.724 100

62
Catatan: UPAH 1 hok = Rp 40.000,- tahun 2001 setara dengan US$ 4.-
Biaya langsung produksi kayu dari hutan alami adalah US$ 17.724/35 th = US$ 506/ha.th.
Dari Tabel 8.1. nampak jelas bahwa biaya langsung pengelolaan hutan terbesar adalah
biaya umum, Dana Reboisasi, Provisi Sumberdaya Hutan dan pajak-pajak sebesar 79% sedangkan
biaya langsung pembinaan tegakan hanya 1%.
Dalam perkiraan biaya tidak perlu dimasukkan biaya kegiatan PAK, PWH, ITSP, dan
Pemanenan yang semuanya telah ditutupi oleh hasil panen rotasi pertama. Dalam perhitungan ini,
pengusahaan dibatasi mulai dari pemeliharaan pertama yang berupa perapihan sampai panen
kembali.
Berapa pendapatan TPTI? Pendapatan pengusahaan adalah riap kayu semata yang
diperhitungkan dari massa tegakan pohon binaan pada akhir daur dibagi 35 tahun sebagai
disajikan Tabel 8.2.

Tabel 8.2. Taksiran hasil pengusahaan hutan alam rotasi kedua dengan TPTI.

Risalah Besarnya
Riap rataan diameter 200 pohon binaan 1,5 cm/th
Diameter (gsd) pohon binaan rataan akhir daur bila pada awal 1+(33x1,5)=49,5
berdiameter 1 cm (semai) cm
Bidangdasar tegakan akhir daur 25 m2/ha
Jumlah pohon binaan akhir daur: 25/(0,25x3,1416x0,535x0,535) 132 bt/ha
Massa tegakan akhir rotasi 35 th: 25 m/ha x 20m x 0,7 350 m3/ha
Riap tegakan binaan: 350/35 10 m3/ha/th
Nilai riap rataan: 10 x US$ 60 US$ 600

Menurut perhitungan dalam Tabel 8.2., nilai riap hasil pembinaan TPTI adalah US$ 600.-
per ha dan tahun.
Dengan membandingkan biaya dan pendapatan penyelenggaraan TPTI, maka ada nilai
tambah sebesar:
US$600 US$506 = US$94 per ha.th.

E. Pendapatan finansial perusahaan bilamana TPTI tidak dilakukan


Bilamana tegakan tinggal tidak dirapihkan dan dibebaskan, maka massa tegakan pada
akhir rotasi kedua akan sama saja dengan rotasi I, yaitu sekitar 50-70 m/ha. Bilamana dibagi daur,
maka riap tegakan tinggal adalah:
60 m/ha / 35 th = 1,7 m/ha.th.
Pendapatannya adalah:
1,7 x USD 60 = US$ 102,- per ha.th.
Biaya yang dikeluarkan untuk pembinaan tegakan dan panen kecil adalah:
biaya pembinaan + biaya panen + biaya umum =
0 + (50 m x USD 20) + (50 m x USD 40) = US$ 3.000,-/ha/35 th atau US$ 86/ha.th.
Keuntungan perusahaan = US$ 102 US$ 86 = US$ 16.- per ha.th.
Bila dibandingkan antara hasil pengusahaan hutan alam yang dibina dengn TPTI dan tanpa
TPTI, maka diperoleh selisih sbb:
- laba dengan pembinaan tepatguna : US$ 94.- per ha.th.
- laba tanpa pembinaan tepatguna : US$ 16.- per ha.th.

63
- selisih laba potensial : US$ 78.- per ha.th.

F. Tegakan tinggal TPTI rusak ?


Rincian untung rugi sistem tebang pilih ditulis Manan (1991) sebagai Tabel 8.3 berikut.

Kerusakan tegakan akibat tebang pilih diteliti oleh Abdulhadi dkk. (1981) di Kalimantan
Timur. Dalam 2 plot dari masing-masing 1 ha, diidentifikasi jenis pohon berdiameter > 10 cm dan
kesehatan setiap pohon. Kekerasan panen pilih adalah 11 bt/ha pohon-pohon berdiameter 80
sampai 150 cm dari jenis-jenis Shorea leprosula, S. lamellata, S. ovalis, Dipterocarpus caudiferus,
Dryobalanops beccarii, dan Eusideroxylon zwageri. Pohon-pohon dalam tegakan tinggal 60%
sehat, 18% rusak tajuk, dan 22% rusak cabang. Dari pohon-pohon yang rusak tajuk, 3/4nya
mengalami rusak berat sehingga diduga tipis harapan pulih kembali.
Bila dibandingkan dengan keadaan hutan primer yang berada 200 m dari plot pengukuran,
para peneliti menemukan perubahan tegakan seperti ditampilkan dalam Tabel 8.4.

Tabel 8.3. Perbandingan untung rugi sistem tebang pilih.

Keuntungan Kerugian
1. Perlindungan terhadap tapak dan 1. Produksi kecil tetapi kawasan penebangan luas
permudaan
2. Terjadi penutupan tajuk vertikal 2. Terjadi kerusakan tegakan tinggal
selamanya
3. Perlindungan terhadap hama dan 3. Memusnahkan sumber plasma nutfah yang baik (*)
penyakit
4. Perlindungan terhadap bahaya kebakaran4. Bentuk pohon buruk karena ruang luas pada masa
tua (**)
5. Secara estetika lebih baik 5. Permudaan jenis toleran lebih banyak daripada
jenis intoleran (***)
6. Permudaan alam jenis toleran 6. Memerlukan kecakapan profesional yang tinggi
dipermudah dari para rimbawan
7. Penyesuaian dengan situasi pasar kayu 7. Tertutup terhadap penggembalaan ternak
8. Tegakan tidak seumur lebih baik bagi 8. Kurang banyak menyerap tenaga kerja dalam
habitat satwa operasinya (****)
9. Menjamin kelestarian produksi pada 9. Permudaan alam lebih sulit diatur, misalnya luas
kawasan kecil rumpang,
teknik pembebasan

64
10. Penjarangan dapat dilakukan simultan
dengan
pemanenan
11. Biaya permudaan lebih murah
(*) Penulis tidak sependapat, karena permudaan melimpah yang berupa turunan pohon-pohon
baik.
(**) Hanya benar pada generasi i, pada generasi ii dengan ditambahnya pohon binaan, ruang
menjadi penuh sehingga pohon binaan dipaksa tumbuh lurus.
(***)Bukan kerugian bila tidak terdapat jenis-jenis pionir di dalam hutan alam.
(****) Bukan kerugian malah kebetulan, karena hutan alam yang diusahakan dengan tebang
pilih selalu berada di tempat-tempat yang kekurangan tenaga kerja, seperti Kalimantan.

Tabel 8.4. Perbandingan keadaan tegakan hutan primer dan tegakan tinggal segera setelah panen
pilih di Lempake, Kalimantan Timur (Abdulhadi, dkk. 1981).

Risalah Tegakan tinggal (2 Hutan primer (1,6


ha) ha)
Kerapatan (ph/ha) 259 445
Bidangdasar 16,7 36,0
(m2/ha)
Jumlah jenis pohon 159 205
Jumlah suku 41 43

Dari Tabel 8.4 nampak bahwa jumlah pohon berkurang hampir separuhnya, dengan
perhitungan bahwa setiap rebahan meranti menghancurkan 17 batang pohon yang lebih kecil
dalam tegakan. Jumlah jenis pohon juga menurun.
Dari pemetaan jalan cabang dan alur sarad diketahui terbentuk 30% lahan terbuka di dalam
hutan. Pada tanah padat terbuka itu, infiltrasi air ke dalam tanah melambat 7 kali lipat sehingga
dipastikan meningkatkan aliran air permukaan dan meningkatkan erosi tanah. Pada saat 6 bulan
kemudian para peneliti menemukan hadirnya jenis-jenis pohon pionir Macaranga spp.,
Endospermum diadenum, dan Anthocephalus chinensis pada bekas jalan sarad. Tidak diketemukan
permudaan jenis primer di jalan sarad walaupun di sekitarnya terdapat banyak. Saat itu peneliti
menyimpulkan bahwa regenerasi hutan akan terhambat oleh munculnya perambat di dalam
rumpang-rumpang bekas penebangan, tegakan tinggal akan berisi turunan pohon-pohon buruk
karena yang baik habis dipanen, tebang pilih menyebabkan penurunan jumlah jenis pohon, dan
jalan sarad kosong permudaan jenis niagawi.
Fakta-fakta ekologis itu dapat menjadikan orang pesimis terhadap masa depan tegakan
tinggal bekas Sistem TPTI. Namun penulis dengan kacamata silvikultur berpendapat lain dari data
Abdulhadi dkk. tersebut:
(1) Panjang jalan sarad memang menimbulkan erosi dalam satu tahun pertama, namun pada akhir
tahun pertama selalu sudah tertutup rapat oleh rumput, pohon pionir dan perambat Merremia,
sehingga pengikisan partikel tanah dapat berhenti secara alami. Dalam pandangan silvikultur,
luas jalan sarad yang 30% itu tidak berarti banyak, karena lebar jalan sarad yang biasanya
berkisar antara 3-4 m, dalam silvikultur diperhitungkan tidak menimbulkan kehilangan
produksi kayu dalam tegakan yang berhutan. Kalau jalan angkutan yang lebarnya > 5 m,

65
barulah harus dikeluarkan dari luas kawasan berhutan dan tidak diperhitungkan dalam
penetapan hasil dan riap.
(2) Tegakan tinggal tidak mungkin merosot mutu pohonnya secara genetis, karena di dalam
tegakan tinggal terdapat ribuan batang permudaan meranti yang sebagian merupakan
keturunan pohon-pohon baik yang dipanen itu. Memang ada penambahan permudaan setelah
panen pilih dari pohon-pohon gerowong atau pohon-pohon inti, namun pohon menjadi
gerowong tidak selalu karena sifat genetis harus gerowong seperti bambu, melainkan karena
gangguan jamur yang masuk ke dalam luka batang atau karena terlampau tua, dengan
demikian permudaan keturunan pohon gerowong secara genetis baik-baik saja. Maka menurut
penulis, tidak benar terjadi kemerosotan mutu genetis dalam tegakan tinggal TPTI.
(3) Dewasa ini disadari sepenuhnya bahwa jenis-jenis niagawi seperti meranti hanya tumbuh
membesar bilamana berada di dalam rumpang, karena memperoleh cukup sinar yang
diperlukan mutlak untuk berfotosintesa membentuk karbohidrat. Di dalam rumpang pula
terjadi perebutan ruang antara semua individu pelbagai jenis termasuk perambat. Kalau tidak
dibantu pembebasan, maka hampir semua permudaan jenis niagawi akan ditumpuki perambat
dan hanya satu dua batang saja yang bisa kebetulan tumbuh selamat menjadi pohon. Namun
jelas bahwa rumpang sangat vital diperlukan untuk membesarnya pohon meranti dan juga
semua jenis tumbuhan lainnya. Bahkan dalam Sistem TPTI, rumpang selalu ditambah dengan
program pembebasan horisontal dan pembebasan vertikal untuk membesarkan sebagian
permudaan pohon niagawi.
Jumlah permudaan pada daerah "rusak" berupa rumpang bekas rebahan pohon, bekas jalan
sarad, dan bekas Tempat Pengumpulan Kayu (TPn) diamati oleh Harmawan (1993) di PT ITCI,
Kalimantan Timur dengan hasil sebagaimana disajikan dalam Tabel 8.5. berikut.

Tabel 8.5. Jumlah permudaan (semai, pancang, tiang) meranti dan komersil lain di dalam
rumpang, jalan sarad, dan TPn di PT ITCI per ha (Harmawan, 1993).

Jenis/lokasi Et+1 Et+3 Et+5


Dalam 1095 2188 1666
rumpang
Pada jalan 3965 3125 3870
sarad
Dalam TPn 0 445 516

Harmawan (1993) menemukan data penting dari tegakan tinggal pelbagai umur, bahwa
hanya pada TPn yang berumur setahun saja tidak berisi permudaan alam jenis komersial yang
sebagian besar berupa jenis-jenis meranti. Sedangkan pada bekas jalan sarad dan bekas rebahan
pohon sejak Et+1 pun telah dihuni kembali oleh permudaan jenis komersial. Hasil pengamatan
Harmawan ini tentu saja berbeda daripada hasil pengamatan para peneliti yang datang terlampau
segera beberapa pekan setelah penebangan dimana keadaan hutan masih sangat terbuka, dan
kemudian tidak diperiksa kembali setelah beberapa tahun sehingga terbentuklah kesimpulan
yang sangat berbeda. Pada hutan tegakan tinggal seperti di PT ITCI ini, kegiatan pengayaan tidak
lagi diperlukan, pada TPn sekalipun. Kecuali kalau inventarisasi tegakan tinggal dilakukan
beberapa hari setelah penebangan, kembali hasilnya tidak menggambarkan situasi yang bakal
terjadi. Alangkah baiknya bila para rimbawan lebih sering berjalan-jalan di hutan dan membuka
mata mengamati keadaan yang sebenarnya terjadi.

66
G. Hambatan Sistem TPTI: non teknis
Penyebab keengganan HPH melaksanakan perawatan tegakan sebagaimana ditetapkan
dalam Sistem TPTI diantaranya adalah:
(a) Belum adanya motivasi untuk merawat tinggal karena tidak yakin akan dua hal:
- berapa besar hasil perawatan tersebut,
- siapa yang menikmati hasil perawatan hutan itu kelak.
Pada saat ini hasil-hasil penelitian TPTI yang menunjukkan manfaat perlakuan TPTI belum
diketahui masyarakat luas, akibat terlampau sedikitnya dan terlambatnya penyelenggaraan
penelitian silvikultur di hutan alam. Selain itu kurun kontrak Hak Pengusahaan Hutan
berlaku untuk 20 tahun saja, padahal rotasi penebangan TPTI 35 tahun, sehingga tidak ada
kepastian siapa yang bakal menikmati hasil perawatan TPI itu kelak.
(b) Dana Reboisasi yang dihasilkan dari hutan alam saat ini tidak digunakan untuk membina
hutan alam yang menghasilkannya. Di fihak lain, pembinaan hutan alam tidak dapat ditawar-
tawar lagi, selain untuk meningkatkan produktivitasnya juga untuk mengukuhkan
keberadaannya agar tidak senantiasa menjadi sasaran perambahan, perladangan, dan konversi.
(c) Data dasar berupa foto udara harus secara menyeluruh dibuat periodik untuk mengetahui luas
dan keadaan hutan yang sebenarnya sebagai dasar yang akurat bagi perencanaan penataan dan
pengusahaannya.
(d) Koordinasi antara konsep Tataguna Hutan Kesepakatan dengan Rencana Umum Tata Ruang
di daerah dalam penataan dan pengukuhan batas kawasan hutan masih ada yang belum
selesai, padahal sangat vital sebagai dasar kepastian hukum dalam penetapan peruntukan dan
pemilikan kawasan hutan. Musuh utama Sistem TPTI adalah, seperti diderita di negeri-negeri
jiran, yaitu kehilangan kawasan tegakan tinggal karena digunakan untuk keperluan lain baik
secara ilegal maupun legal.

H. Penutup
(1) Penerapan Sistem TPTI dalam pengusahaan hutan alam produksi diperhitungkan aman
secara ekologis dan menguntungkan secara finansial. Bila hutan tegakan tinggal tidak
dirawat sesuai Petunjuk Teknis TPTI, maka keuntungan perusahaan hanya 1/10 nya dari
pada produktivitas potensialnya yang dapat dicapai dengan pembebasan.
(2) Melihat besarnya potensi produktivitas tegakan tinggal dan juga didasari oleh pentingnya
mempertahankan keanekaan hayati sumber alam hutan tropik, seyogyanya kawasan hutan
alam dipertahankan diusahakan dengan Sistem TPTI.
(3) Pembukaan wilayah dalam pengusahaan hutan alam telah meningkatkan erosi sebagai
konsekuensi pemanfaatan sumberdaya alam, namun dalam penilaian silvikultur tegakan
tinggal tidaklah rusak seperti dinilai beberapa fihak non silvikultur. Menutup seluruh
sumberdaya hutan alam tanpa pengusahaan adalah saran yang tidak realistis dibandingkan
dengan mengusahakan hutan dengan semestinya yang harus dibarengi konservasi insitu dari
setiap tipe ekosistem hutan.
(4) Untuk memotivasi perusahaan pemegang HPH agar menyelenggarakan tatacara TPTI secara
lengkap, alangkah baiknya bilamana kurun kontrak HPH diperpanjang menjadi melebihi
rotasi tebang TPTI, perawatan tegakan tinggal didukung oleh Dana Reboisasi yang
dihasilkan hutan alam, monitoring periodik kawasan hutan dengan foto udara sebagai dasar
perencanaan yang akurat, dan diperlukan dikukuhkannya batas-batas hutan dan batas fungsi

67
secara terkoordinasi antara yang berwenang dalam penetapan Tata Guna hutan Kesepakatan
dan Rencana Umum Tata Ruang.
(5) Karena pengusahaan hutan tegakan tinggal itu jelas dapat memberikan keuntungan finansial
yang layak, dan kawasan hutan seyogyanya tidak terlampau mudah diubah menjadi kawasan
non hutan demi fungsi ekologisnya, maka penulis menyarankan agar Pemerintah Daerah
berusaha mengusahakan sendiri areal hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) oleh
semacam perusahaan kehutanan daerah yang didukung Bank Pembangunan Daerah.
Pengusahaan itu, selain menjadi lahan usaha Daerah juga merupakan pembagian wewenang
pengaturan hutan Nasional kepada Pemerintah Daerah, agar Pemerintah Daerah menikmati
manfaat ekonomis hutan yang lebih besar dan diharapkan meningkatkan tanggungjawab
serta wewenangnya dalam melestarikan kawasan hutan.

DAFTAR PUSTAKA
Abdulhadi, R., Kartawinata, K., Sukardjo, S. 1981. Effects of mechanized logging in the lowland
dipterocarp forest in Lempake, East Kalimantan. The Malaysian Forester, vol. 44, no. 2 & 3:
407-418.
Anonim. 1993. Pedoman dan petunjuk teknis Tebang Pilih Tanam Indonesia. Direktorat Jenderal
Pengusahaan Hutan. Jakarta.
Anonim, 1993. Petunjuk teknis Sistem Tebang Pilih Indonesia untuk Hutan Alam Daratan.
Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan. Jakarta.

Bisschop-Grevelink, A.H. 1881. Mienjak Tangkawang en Mienjak Tangkallak (Minyak


tengkawang and minyak tangkallak). De Indische Gids 3 (part 1): 350-355 (Nl).
Indonesian Forestry Abstract, Dutch Literature Until About 1960. Pudoc, Wageningen.
Breyer, F. 1988. Zur Problematik der Naturwaldnutzung in Ostkalimantan, Indonesien (Masalah
pengusahaan hutan alam di Kalimantan Timur, Indonesia). Tesis Diplom Fakultas
Kehutanan, Albert-Ludwig-Universitaet, Freiburg. 100 hal.
Burck, W. 1886. Minjak Tengkawang en andere weinig bekende plantaardige vetten uit
Nederlandsch-Indie (Minyak tengkawang and other less known vegetable oils from the
Dutch East Indies). Meded.s Lands Plantentuin 3: pp 45 (Nl). Indonesian Forestry
Abstract, Dutch Literature Until About 1960. Pudoc Wageningen.

68
Burck, W. 1887. Minjak Tangkawang (Minyak Tangkawang). De Indische Gids 9 (part 1): 60-62
(Nl). Indonesian Forestry Abstract, Dutch Literature Until About 1960. Pudoc,
Wageningen.
Harmawan, 1993. Kehadiran permudaan alam pada tempat terbuka di areal kerja PT ITCI,
Kabupaten Pasir. hal. 27, 32, 35, 36. Skripsi S1 Fakultas Kehutanan, Universitas
Mulawarman.
Lamprecht, H. 1986. Waldbau in den Tropen (Silvikultur di wilayah tropis). Verlag Paul Parey,
Hamburg-Berlin. 318 halaman.
Manan, S. 1991. Sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia. Media Persaki, edisi IV/MP-10:
24-29.
Ruhiyat, D. 1989. Die Entwicklung der standrtlichen Nhrstoffvorrte bei naturnaher
Waldbewirtschaftung und im Plantagenbetrieb Ostkalimantan, Indonesien (Perkembangan
cadangan hara dalam tanah pada tegakan alami dan hutan tanaman di Kalimantan Timur,
Indonesia). Disertasi Doktor, Institut fr Bodenkunde und Waldernhrung der Georg-
August-Universitt Gttingen. 206 halaman.
Sutisna, M. 1990. Ansaetze fuer die Bewirtschaftung exploitierter Dipterocarpazeen-Waelder in
Ost-Kalimantan, Indonesien (Saran-saran untuk pengusahaan tegakan tinggal meranti di
Kalimantan Timur, Indonesia). Disertasi doktor pada Fakultas Kehutanan, Universitaet
Freiburg, Jerman. 190 h.
Sutisna, M. 1992. Metode pembebasan Binapilih sebagai alternatif dalam pengusahaan hutan alam
produksi. Makalah seminar nasional "Status silvikultur di Indonesia saat ini". Yogyakarta,
27-29 April 1992. Rimba Indonesia vol. 27 (3-4): 13-17.
Sutisna, M. 1997. Laporan akhir (1,5 tahun) ujicoba peningkatan riap hutan alam di PT Sumalindo
Lestari Jaya I Site Batuputih, Kecamatan Talisayan, Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan
Timur.
Weidelt, H. J. dan Banaag, V. S. 1982. Aspects of management and silviculture of Philippine
dipterocarp forests. GTZ, Eschborn. 302 halaman.
Weidelt, H. J. 1986. Di Auswirkungen waldbauliche Pflegemanahmen auf die Entwicklung
exploitierter Dipterocarpaceenwlder (Pengaruh pemeliharaan silvikultur terhadap perkem-
bangan tegakan tinggal dipterokarpa). Tesis Habilitasi pada Fachbereich Forstwissenschaft,
Universitt Gttingen. 166 halaman.
Whitmore, T. C. 1984. Tropical rain forests of the Far East. (Edisi kedua). Clarendon Press,
Oxford. 352 halaman.

69
BAB.IV.
PENGARUH PEMBALAKAN DAN PEMBINAAN
TERHADAP TEGAKAN TINGGAL

Tujuan:
Menjelaskan pengaruh tebang pilih terhadap tanah, struktur, komposisi, dan riap tegakan hutan
alami fungsi produksi.

Setelah mengikuti kuliah dan mengerjakan soal bab ini mahasiswa akan mampu:
(1) Menceriterakan pengaruh tebang pilih terhadap tanah di hutan alami produksi.
(2) Menceriterakan pengaruh tebang pilih terhadap peremajaan di hutan alami produksi.
(3) Menceriterakan pengaruh tebang pilih terhadap pohon-pohon tinggal di hutan alami
produksi.

70
(4) Menceriterakan prinsip pembinaan tegakan tinggal hutan alami produksi.
(5) Menceriterakan tatakerja pembinaan tegakan di hutan alami produksi.

Pengantar.
Pengusahaan hutan alam di Indonesia telah menimbulkan kesenangan dan keprihatinan
sekaligus. Kesenangan karena sumberdaya alam yang besar (luasnya diakui Pemerintah sekitar
140 juta ha) itu secara ekonomis telah menghasilkan pendapatan berupa uang, kesempatan
bekerja bagi masyarakat, dan kesempatan berusaha yang luas, dan secara ekologis merupakan
potensi sumberdaya genetik yang sangat besar nyang merupakan peluang pengembangan di masa
depan. Keprihatinan timbul karena prinsip-prinsip kehutanan untuk menjamin kelestarian
pengusahaan, kelestarian sumberdaya dan kelestarian hasil, tidak selalu terselenggara dengan
semestinya akibat masih adanya berbagai kendala. Tekanan dari masyarakat sadar lingkungan,
baik di dalam maupun di luar negeri, telah mempertajam kesadaran betapa pentingnya segala
daya upaya dikerahkan untuk "semakin meluruskan" arah menuju pengusahaan efisien yang
secara ekonomis paling menguntungkan dan secara ekologis paling aman.
Pengaruh pembalakan terhadap tegakan tinggal, haruslah dilihat dari beberapa segi.
Menganalisis pengaruh pembalakan terhadap ekologi, terutama terhadap iklim dan tata air, tidak
termasuk ke dalam bahasan.
Laporan tentang perubahan struktur tegakan hutan alami karena eksploitasi oleh manusia telah
dilaporkan oleh seorang rimbawan dari Samarinda yang bernama Haring (1928a) di Sungai
Palaran (10 km sebelah barat kota Samarinda). Pada tahun 1928 hutan di pebukitan Palaran yang
asalnya merupakan hutan meranti (dipterocarpaceae) dan ulin (Eusideroxylon zwageri) telah
menjadi tipis karena pohon-pohon meranti dan ulin ditebangi sebagai bahan bangunan. Hutan
sekitar Sungai Janan dan Sungai Jembayan sampai muara Sungai Gitan (10-30 km di sebelah
hulu Kota Samarinda) dilaporkan telah menjadi belukar bekas ladang (Haring, 1928b, 1928c). Di
Loa Haur (juga 30 km sebelah hulu Kota Samarinda) dilaporkan bahwa masyarakat menebang
pohon meranti, kapur dan ulin, disarad dengan tenaga kerbau ke tepi Sungai Mahakam,
kemudian merakitnya dan menjualnya ke Kota Samarinda (Haring, 1929a). Dari hasil
inventarisasi hutan di Sungai Jembayan ditemukan 62 m/ha, kayu ulin 58 m/ha, dan kayu
kelampayan 34 m/ha (Haring, 1929b). Di kelompok hutan Sungai Lendak Sangkulirang, Haring
(1929c) menemukan 196 m/ha kayu siap panen, 45% di antaranya adalah kayu
dipterocarpaceae.

4.1 Pengaruh pembalakan terhadap permukaan tanah


Kalau hutan perawan dibuka dengan pembangunan jalan angkutan untuk pembalakan, se-
bagian areal hutan produktif menjadi hilang. Areal yang ditempati jalan permanen, hilang
selamanya. Areal yang digunakan untuk jalan sarad hilang sementara, biasanya akan ditumbuhi
lagi atau dimasuki jenis-jenis komersial setelah 2-3 tahun.
Pengamatan di areal PT Kutai Timber Indonesia (Sebulu, Kutai) dan PT Georgia Pacific
Indonesia (Batuampar, Kutai, sekarang PT Kiani Lestari) menunjukkan bahwa jalan traktor lama
pada tegakan tinggal 10 tahun telah diduduki oleh Macaranga triloba, M. gigantea, Picus
septica, tetapi jarang dipterokarpa. Perkembangan semai dipterokarpa pada tempat-tempat yang
terkupas sangat tidak menentu. Diperlukan waktu 10 - 15 tahun sampai bekas jalan-jalan sarad
bervegetasi mirip keadaan alam sekelilingnya (Weidelt, 1982).
Di Kalimantan Timur dengan intensitas pembalakan kurang lebih 25 pohon/ha, jalan
traktor mencapai luas 30-40 % dari luas areal. Sebuah penelitian pada hutan kapur yang dibalak

71
berat di Malaysia Barat menunjukkan 9% wilayah menjadi jalan permanen, 26% wilayah
ditutupi rebahan tajuk, 1% wilayah ditutupi batang-batang rebah. Jumlah areal rusak = 36%
(Weidelt, 1982).
Di fihak lain hutan dapat mentoleransi persentase tinggi dari permukaan terkupas selama
persentase ini terpencar-pencar dan membentuk jalur-jalur sempit. Kerusakan parah nampak
bersumber kepada tidak efisiennya penggunaan jalur-jalur sarad, pelebaran jalur-jalur sarad
karena menghindari permukaan yang membonggol, dan tempat pengumpulan kayu yang terlalu
luas.
Untuk menghindari kerusakan permukaan tanah yang terlalu berat, upaya-upaya berikut
diperlukan beberapa hal berikut ini.
(1) Operator traktor atau penyarad harus terlatih baik. Harus dijelaskan kepada mereka betapa
pentingnya menghindari kerusakan tanah.
(2) Peralatan yang tepat: penyarad berban karet pada umumnya dipertimbangkan lebih baik
daripada yang berban rantai, dalam hal keselamatan permukaan tanah. Juga penting untuk
mengangkat ujung kayu yang diikat agar tidak terlalu membongkar tanah waktu disarad.
(3) Calon jalur sarad harus ditandai terlebih dahulu dengan pita warna. Operator harus
diberitahu untuk tidak keluar dari jalur yang sudah ditandai. Kayu ditarik ke jalan sarad
dengan kabel winch, sedangkan traktornya diam di jalan sarad.
(4) Pada medan yang berbukit, tempat pengumpulan batang harus ditempatkan di lokasi
terendah untuk menghindari jalur zigzag bila menarik mendaki.
(5) Pengawasan secukupnya.
Perubahan kandungan hara dalam ekosistem hutan alam akibat tebang pilih 80 m/ha
setiap 35 tahun di areal kerja PT ITCIKU Kalimantan Timur, telah diteliti oleh Ruhiyat (1989)
dengan hasil seperti ditampilkan dalam Tabel 4.1.

Tabel 4.1. Neraca hara yang merupakan faktor pembatas dalam ekosistem hutan alam tropis
di PT ITCI, Balikpapan (Ruhiyat, 1989).

Perubahan hara K(kg/ha) Ca Mg


(kg/ha) (kg/ha)
Pengeluaran hara akibat pemanenan 80 33 78 10
m/ha kayu dg rotasi tebang 35 th.
Pemasukan hara melalui hujan selama 35 227 192 70
th.

Dengan melihat perbandingan antara jumlah hara yang dikeluarkan dan hara yang masuk
dari atmosfir, dapat diperhitungkan bahwa dengan tebang pilih 80 m/ha setiap 35 tahun tidak
akan terjadi kekurangan salah satu hara dalam ekosistem hutan.

72
4.2. Pengaruh pembalakan terhadap peremajaan alami
Masa depan suatu tegakan tinggal tergantung pada tingkat kehadiran yang tinggi dari
semai dan pancang pohon jenis niagawi lokal. Permukaan tanah yang terkupas oleh penyaradan
dengan traktor pada teknik tebang pilih mekanis tradisional meliputi luas wilayah 10-20%.
Walau terdapat sedikit sekali data tentang itu, dapat diasumsikan bahwa tingkat kerusakan semai
dan pancang minimal sama dengan persentase kerusakan tanah, kalaupun tidak melebihi. Jumlah
semai per hektar biasanya dinyatakan dengan persentase plot-plot miliacre yang berisi. Dalam
sampling miliacre, ukuran plot adalah 2 x 2 m = 4m, sehingga sehektar berisi plot 2500 buah.
Sebuah plot dinyatakan berisi bila ia berisi sekurang-kurangnya sebatang semai komersial. Perse-
diaan 100% berarti paling sedikit ada 2500 semai komersial per ha. Persediaan semai 40% pada
umumnya dinyatakan cukup untuk miliacre sampling.
Dwisutanto (1985) meneliti pengaruh pembalakan terhadap populasi semai. Ia mene-
mukan penyebaran semai pada hutan perawan dan yang baru saja dibalak di wilayah PT ITCIKU
(Tabel 4.2). Bila data itu diperoleh dari hutan yang sama sebelum dan sesudah pembalakan,
kerusakan lebih tinggi daripada umumnya 40%, karena di wilayah ini malah mencapai 70 %.
Hanya perlu diketahui oleh semua rimbawan bahwa kehilangan tersebut merupakan peristiwa
sesaat setelah tebang pilih, yang tidak menggambarkan keadaan permudaan beberapa bulan
kemudian.

Tabel 4.2. Perbandingan frekuensi semai dan pancang di hutan perawan dan tegakan tinggal
(Dwisutanto, 1975).

Tingkat Ukuran petak Plot berisi


pertumbuhan ukur Hutan Tegakan
primer tinggal
Semai 2x2 m 920 248
Pancang 5x5 m 352 174

Bila berbicara tentang jumlah absolut semai dipterocarpaceae, harus dicatat bahwa
jumlahnya sangat banyak. Jumlah 10.000-20.000/ha atau lebih, pernah tercatat di hutan perawan
di Mindanao, dan kerapatan serupa nampak pula di Kalimantan Timur. Oleh karena itu, kalaupun
sejumlah semai rusak dalam pembalakan, masih banyak sisanya yang dapat berkembang cepat
setelah pembalakan. Namun demikian sangatlah penting untuk menghindarkan kerusakan itu
terjadi pada suatu tempat yang luas yang kemudian hanya akan berisi jenis-jenis non komersial
saja.

4.3. Pengaruh pembalakan terhadap pohon-pohon tinggal


Kerusakan karena pembalakan terhadap pohon-pohon tinggal, pertama disebabkan oleh
kegiatan penebangan, kemudian dilanjutkan oleh kegiatan penyaradan atau pengeluaran kayu.
Kerusakan itu bisa pada tajuk, pada batang, pada banir, atau pada akar. Kerusakan ringan
mungkin hanya akan menyebabkan cacat kecil pada kayu. Tetapi luka yang besar pada kulit atau
banir mungkin akan menjadi lubang masuknya jamur yang menyebabkan kayu itu tidak dapat
lagi dimanfaatkan pada rotasi penebangan yang berikutnya. Pertanyaan yang penting adalah,
apakah dapat dibedakan luka yang serius atau hanya akan menimbulkan cacat ringan saja tanpa

73
pengaruh negatif kelak pada kayu. Jawabannya hanya akan diperoleh melalui studi luka pohon.
Untuk menyelenggarakannya diperlukan proyek jangka panjang. Namun tidak ada data bagi dip-
terokarpa hingga saat sekarang ini. Tentang kerusakan akibat pembalakan pada tegakan tinggal
dikemukakan di sini data dari provinsi tetangga, Sabah. Data itu berdasarkan plot Nicholson
seluas 43,7 ha dan plot Fox (2 x 8,1 ha) (Weidelt, 1986). Semua pohon berdiameter > 10 cm. Plot
kedua dari Fox dipotong pemanjatnya 3 th sebelum eksploitasi (Tabel 4.3.).

Tabel 4.3. Pengaruh pemotongan perambat terhadap kerusakan tegakan tinggal.

Nicholson, 1958 Fox, 1968


Tanpa pemotongan Dengan Dengan
Kerusakan
prb pemotongan prb pemotongan prb
N/ha % N/ha % N/ha %
Patah/rebah 28,3 61,7 17,3 29,8 17,2 43,7
Rusak kulit 3,0 6,5 5,4 9,3 3,3 8,5
Rusak tajuk 1,5 3,2 1,9 3,3 1,1 2,8
Rusak 1,1 2,4 0,8 1,4 1,0 2,5
kulit+tajuk
Jumlah 33,9 73,9 25,4 43,7 22,6 57,5
kerusakan 12,0 26,1 32,7 56,3 16,7 42,5
Pohon tidak
rusak
Jumlah 45,9 100,0 58,1 100,0 39,3 100,0

Dari Tabel itu nampak, sebagaimana diduga, terdapat variasi dari tempat ke tempat
lainnya, tergantung kepada keahlian dan kecerobohan operator traktor, topografi, dan jumlah
kayu yang dipanen. Pemotongan perambat 3 th sebelum penebangan telah mengurangi jumlah
pohon-pohon rebah atau patah secara meyakinkan (dari 62% menjadi 44%), tetapi tidak
menyebabkan perbedaan banyak dalam kerusakan kulit dan tajuk. Haruslah dicatat bahwa plot
Fox hanya memiliki sedikit pohon yang sehat atau rusak ringan. Membandingkan data Nicholson
dan Fox yang datanya beda 10 th, kenaikan derajat kerusakan nampak bukan karena adanya
perbedaan keadaan medan, tetapi menunjukkan penggunaan mesin-mesin yang bertenaga lebih
besar dan meningkatnya kecerobohan praktek penebangan.

4.4. Pengaruh pembalakan terhadap struktur tegakan


Pengaruh pembalakan terhadap struktur tegakan dapat ditunjukkan melalui tabel tegakan
rataan di Kalimantan Timur (Tabel 4.4).

Tabel 4.4. Struktur tegakan hutan primer di Kalimantan Timur.

Kelompok jenis Gsd 20-49 cm Gsd > 50 cm Jumlah


N/ha G N/ha G N/ha G
(m/ha) (m/ha) (m/ha)

74
Komersial ekspor:
Dipterocarpacea 34,2 3,1 18,5 5,2 52,6 8,4
e 15,2 1,4 7,4 2,1 22,6 3,5
Non 17,3 1,4 4,4 1,3 21,8 2,7
dipterocarpaceae 40,8 3,3 5,4 1,5 46,1 4,8
Komersial nono
ekspor
Non komersial
Seluruh jenis 107,5 9,3 35,7 10,1 143,2 19,4
Sumber: Haeruman, 1975 dalam Weidelt, 1982. N/ha = jumlah pohon per hektar; B = Luas
bidangdasar tegakan, m/ha.

Bila semua pohon komersial yang berdiameter > 50 cm dipanen, bidangdasar (G) pohon-
pohon komersial akan berkurang sbb:

G-asal : 8,4 + 3,5 + 2,7 + 4,8 = 19,6 m


G-dipanen : 5,2 + 2,1 + 1,3 = 8,6 m
------------------------------------------------------------------------
G-tegakan tinggal = 11,0 m atau 56%.

Sebagian dari pohon-pohon tinggal mungkin akan tumbang, patah dan rusak karena
pembalakan. Dari Tabel Nicholson dan Fox ditunjukkan bahwa pohon-pohon yang selamat
setelah pemanenan sekitar 25-46%. Bila diperhitungkan kepada sisa bidangdasar yang 11 m,
maka pohon-pohon sehat itu hanya tinggal memiliki Bidangdasar 2,7-5,1 m saja. Jumlah itu
harus dianggap terlampau kecil. Dapat diduga bahwa sebagian dari pohon-pohon yang sehat itu
tidak akan selalu bertahan memanfaatkan ruang yang tersedia (ada yang kalah bersaing). Namun
demikian, keadaan sebenarnya di Kalimantan Timur dari apa yang pernah dilihat, agak sedikit
lain, yaitu biasanya hanya pohon dipterokarpa terapung saja yang dipanen, dan sebagian besar
sisanya ditinggalkan dengan kerusakan ringan saja. Kayu terapung itu meliputi sekitar 50%
dipterokarpa komersial ekspor. Di dekat pusat konsumsi kayu, spektrum jenis yang dimanfaatkan
tentu saja lebih besar. Namun kayu-kayu berat tetap ditinggalkan di hutan, seperti bangkirai,
keruing, merawan dan sebagian kapur. Hutan-hutan yang hanya berisi beberapa batang Meranti
yang disukai sering menunjukkan kerusakan ringan saja. Di fihak lain hutan-hutan yang berisi
banyak Meranti dewasa bisa hanya memiliki sedikit saja pohon-pohon sehat setelah pembalakan.
Sebagai dalil umum: semakin kaya hutan itu sebelum pembalakan, semakin miskin tegakan
tinggalnya setelah pembalakan.
Data terbaru tentang perubahan tegakan hutan alami akibat tebang pilih dilaporkan
Sutisna dan Suyana (1997) dari Kalimantan Timur seperti ditampilkan dalam Tabel 4.5.

Tabel 4.5. Pengaruh tebang pilih terhadap struktur tegakan hutan alami di PT ITCI Kalimantan
Timur (Sutisna dan Suyana, 1997).

No Risalah Dia teb 50 cm Dia teb 30 cm Selisih


(3 ha) (3 ha)
1 Jumlah pohon panen (bt/3 ha):
Semua ukuran 28 49 +21

75
Pohon kecil (diameter 30-49 cm) 0 7 +7
2 Jumlah jenis pohon ditebang pilih dalam 3 10 12 +2
ha
3 Vol kayu hasil tebangan per ha di TPn
(m/ha): 105 165 +60
Semua ukuran (diameter 30 cm) 0 15 +15
Kayu kecil (diameter 30-49 cm)
4 Sisa kerapatan pohon dalam tegakan
tinggal: 76 54 -22
% jumlah pohon 66 45 -21
% luas bidangdasar
5 Pohon mati tertubruk per ha (data 3 ha) 73 121 +48
Pohon mati tertubruk per bt pohon panen 7,8 7,4 -0,4
(data 3 ha)
6 % pohon selamat segera setelah tebang 71 62 -11
pilih
7 % keterbukaan lahan: 27,3 44,5
Jalan sarad (% luas lahan) 6,8 7,5 +0,7
Rebahan pohon (% luas lahan) 20,5 37,0 +16,5

Dari Tabel 5.4, dapat dilihat bahwa dengan penurunan batas diameter tebang pilih,
keterbukaan lahan sesaat bertambah dari 27 ke 44%, tetapi singkapan tanah hampir sama saja
yaitu sekitar 7%. Penambahan volume panen dicapai kecil saja, yaitu 15 m/ha, karena
perusahaan itu tidak mampu memasarkan kayu kecil (diameter 30-49).
Pemanenan kayu tahun 1997 telah menggunakan teknik penebangan ramah lingkungan,
sehingga dengan volume panen 105-165 m/ha keterbukaan lahannya kurang lebih akibat panen
sekitar 50 m/ha dengan cara lama, yaitu sekitar 30-40%.

4.5. Pengaruh tebang pilih terhadap keanekaragaman jenis vegetasi.

Tabel 4.6. Pengaruh tebang pilih terhadap keanekaragaman jenis vegetasi hutan alami
(Matius, 1997).

N Risalah Diameter teb 50 cm Diameter teb 30 cm


o Asal Tingg Hilan Asal Tingg Hilan
al g al g
1 Pohon dalam 1 ha:
Jumlah jenis 106 75 31 130 81 49
Jumlah jenis 10 8 2 14 1 13

76
dipterocarpaceae
2 Pancang dalam 1 ha:
Jumlah jenis 102 58 44 102 51 51
Jumlah jenis 47 20 27 11 5 6
dipterocarpaceae
3 Semai dalam 1 ha:
Jumlah jenis 59 32 27 53 33 20
Jumlah jenis 6 5 1 6 4 2
dipterocarpaceae
4 Indeks Shanon-Wiener 5,51 5,09 0,4 6,07 5,52 0,55

Matius (1997) meneliti pengaruh tebang pilih terhadap keanekaragaman vegetasi di hutan
alam PT ITCI Kalimantan Timur dengan hasil seperti disajikan dalam Tabel 4.6.
Dari data dalam Tabel 4.6. dapat dinyatakan bahwa tebang pilih dengan batas diameter
yang lebih rendah mengurangi keanekaragaman flora lebih banyak di tingkat pohon dan pancang
daripada di tingkat semai. Berkurangnya jumlah jenis pohon pada tingkat semai tidak lagi
dipengaruhi kekerasan tebang pilih. Matius berpendapat bahwa kehilangan jenis ini akan bersifat
sementara, karena bilamana diamati pada tahun-tahun berikutnya, berkurangnya jenis tersebut
akan berangsur-angsur pulih kembali.

4.6. Prinsip dasar pembinaan tegakan tinggal


Pemeliharaan atau pembinaan tegakan tinggal bekas tebang pilih dalam terminologi
berbahasa Inggris disebut timber stand improvement (TSI). Pembinaan tegakan tinggal dalam
silvikultur hutan hujan berisi penyingkiran pohon-pohon yang tidak diinginkan dan pemotongan
pemanjat untuk mendukung pertumbuhan jenis-jenis yang lebih berharga dalam tegakan.
Pembinaan kadang-kadang berarti penjarangan, bila kayu dari pohon-pohon singkiran
dapat dijual karena jenis kayunya kurang-lebih dengan jenis tegakan yang dipelihara. Dapat juga
dianggap penjarangan, bilamana pohon singkiran kebetulan dipterokarpa dari kelompok pohon
yang terlampau rapat dan sudah mencapai ukuran perkakas. Tetapi bila pembinaan hanya
meneres dan meracun pohon-pohon jompo atau gerowong yang menaungi permudaan alam,
maka itulah pembinaan murni. Penggunaan istilah penjarangan sendiri berbeda di antara
beberapa negeri, tetapi pada umumnya digunakan untuk membuang pohon-pohon penyaing atau
pohon-pohon yang tidak diinginkan di hutan tanaman, dan jarang yang menggunakan istilah itu
sebagai penyingkiran pohon-pohon yang tidak disukai di hutan alami. Penyingkiran pohon-
pohon di hutan hujan sampai sekarang dilakukan dalam rangka tebang pilih yang tidak bermakna
penjarangan biasa. Pohon-pohon disingkirkan semata-mata untuk mendukung perkembangan
pohon-pohon tinggal. Aspek pemanfaatan hasil tebangan, kalau pohon unggulan ada, hanyalah
hasil ikutan. Selanjutnya, di dalam silvikultur hutan hujan akan disebut pembebasan dan bukan
penjarangan.
Fase-fase dalam pembinaan tegakan tinggal ada dua yaitu perapihan (refinement) dan
pembebasan (liberation).

Perapihan
Berarti membuang kotoran dari campuran. Dalam silvikultur berarti membuang pohon-
pohon yang secara ekonomis dan ekologis kurang berarti, dengan harapan bahwa rumpangnya
akan menambah kesempatan pohon-pohon berharga muncul lebih banyak atau mendukung

77
perkembangan semai-semai yang telah ada. Dalam operasi pembebasan awal biasanya banyak
pekerjaan pembersihan harus dilakukan, yang mencakup peracunan pohon-pohon sisa atau
pohon-pohon penekan, atau pohon-pohon rusak yang tak lagi berharga, dan tentu juga pe-
motongan perambat. Dalam pembersihan dilaksanakan pilihan negatif, yang berarti membuang
semua elemen jelek.

Pembebasan
Dalam pembebasan, pandangan diubah menjadi pilihan positif yaitu memusatkan per-
hatian kepada elemen-elemen terbaik dalam tegakan, yang dibebaskan dari persaingan atas dan
samping, sehingga pohon unggulan dapat mengembangkan tajuk menjadi besar dan rimbun.
Proses perkembangan tajuk ini harus dimulai sejak dini, dan harus berkelanjutan selama
pohonnya nampak sehat. Bila terlambat dimulai, pohon-pohon itu biasanya telah kehilangan
kemampuannya untuk melebarkan tajuknya dan kurang respons terhadap penambahan ruang.
Biasanya pembersihan dan pembebasan dilakukan pada saat yang sama. Pada umumnya
bila pembebasan dilakukan lebih awal, lebih banyak harus melaksanakan pembersihan.
Kemudian bila yang jelek-jelek itu sudah tiada, barulah pembebasan pohon-pohon unggulan,
yang menjadi mudah sekali dikenali, dapat dilakukan.

4.7. Pengaruh pembebasan terhadap riap


Respons dipterokarpa muda terhadap kebebasan dari persaingan sangatlah jelas. Pada
suatu percobaan pembinaan, Weidelt (1986) di Kalimantan Timur selama 2 tahun pengamatan
pada 8 plot x 0,5 ha, kekerasan pembebasan 33% bidangdasar, diperoleh hasil sebagai Tabel 4.7.

Tabel 4.7. Pengaruh pembebasan terhadap riap diameter dalam tegakan dipterokarpa di
Kalimantan Timur.

Riap GSD tanpa Riap GSD dengan


Tegakan pembebasan pembebasan
cm/th % cm/th %
Pohon binaan dibebaskan 0,6 4,4 1,0 8,7
Pohon sisa besar (Gsd > 0,5 0,5 0,5 0,5
70 cm)
Dipterocarpaceae lain 0,4 3,5 0,6 5,4
Non dipterocarpaceae 0,4 2,8 0,5 4,0

Interpretasi:
(1) Pohon-pohon unggulan yang dibebaskan telah tumbuh hampir dua kali lebih cepat dari
pohon-pohon tanpa pembebasan.
(2) Pohon-pohon sisa yang besar tidak menunjukkan respons terhadap pembebasan.
(3) Dipterokarpa lainnya juga mengambil manfaat pembebasan.
(4) Non dipterokarpa anehnya mempunyai riap kecil, mereka hanya sedikit sekali memanfaatkan
pembebasan.

Juga sangat menarik untuk membandingkan hasil pembebasan pada berbagai kelas
diameter. Dalam Tabel 4.8. disajikan data hasil pembinaan dari Sabah (Fox) dan dari Mindanao

78
(Weidelt). Kedua data menunjukkan kecenderungan yang sama: respons yang sangat baik dari
tiang dan pohon yang diameternya 25-30 cm, tetapi pengaruh pembebasan menjadi lemah atau
tak menentu pada kelas-kelas diameter yang lebih besar.

Tabel 4.8. Pengaruh diameter terhadap riap hasil pembebasan di Sabah dan Mindanao.

Perlakuan Riap diameter (cm/th) pada rentang diameter


0-8 8-16 16-32 32-48 48-64 >64
Fox (Sabah):
Tanpa pembebasan (G=28,7 0,3 0,6 0,6 1,1 1,0 1,0
m/ha) 0,7 0,9 0,8 1,1 1,3 0,9
Dengan pembebasan 0,4 0,3 0,2 0,0 0,3 -0,1
(G=13,9 m/ha)
Selisih
Perlakuan Riap gsd (cm/th) pada kelas gsd:
5-15 15-25 25-35 35-45 45-55 55-65
Weidelt (Mindanao):
Tanpa pembebasan (G=32,0 0,4 0,3 0,8 0,7 1,0 0,6
m/ha) 0,8 0,8 1,0 0,7 1,3 0,9
Dengan pembebasan 0,4 0,5 0,2 0,0 0,3 0,3
(G=20,3 m/ha)
Selisih
Fox (Sabah): Riap hasil pembebasan terhadap 100 bt dipterokarpa terbaik dalam 1 ha, Madai
Forest Reserve, Sabah.
Weidelt (Filipina): Hasil pembebasan dari 3 pasang plot di North Camarines Lumber Co.,
PICOP, Gonzalo Puyat & Sons, 525 ph dalam plot-plot pembebasan dan 501 ph dalam plot-plot
tanpa perlakuan (Weidelt, 1986).

Kesimpulan data tersebut adalah bahwa pembebasan hanya bermanfaat bagi pohon-
pohon kecil. Bagi pohon-pohon besar, yang mungkin telah tumbuh sangat lama di bawah
tekanan, pengaruhnya tidak menentu, karena pohon-pohon itu telah kehilangan kemampuan
untuk mengembangkan tajuknya. Dipterokarpa yang telah pernah dibebaskan sejak muda usia
sempat mengembangkan tajuk mereka sehingga dapat diharapkan akan bereaksi positif terhadap
penambahan ruang sekalipun mereka sudah memiliki diameter besar, tetapi membebaskan pohon
yang pernah hidup tertekan adalah usaha sia-sia.

4.9. Tatakerja Pembinaan


Langkah pertama adalah penunjukkan pohon unggulan (potential crop trees = PCT).
Pohon unggulan mesti dari jenis-jenis niagawi dengan tajuk yang berkembang baik, tanpa
cacat atau kerusakan, menunjukkan tubuh yang sehat dan tegap. Mereka mestilah pohon-pohon
terbaik dalam grupnya dan mempunyai kesempatan untuk menjadi pohon dominan.
Jenis. Untuk kondisi Kalimantan, pohon unggulan hendaklah jenis ekspor, terutama dip-
terokarpa. Bila tidak ada dipterokarpa, jenis-jenis niagawi untuk pasar lokalpun dapat dijadikan
pengganti. Dasar pengetahuan dendrologi sangatlah mutlak diperlukan untuk mengenal jenis
pohon dalam pekerjaan pembinaan. Dalam hal ini seringkali ditemukan keputusan yang sulit.
Misalnya sebatang tiang Nyatoh yang tumbuh lambat sedang bersaing dengan Meranti kecil tapi

79
kekar. Salah satu mesti diteres, tapi yang mana? Ada kelompok jenis seperti Medang (Lauraceae,
terutama marga Litsea spp.) dan Nyatoh (Sapotaceae, terutama Palaquium spp.) yang memiliki
banyak sekali jenis pohon yang sulit sekali dikenali pada waktu usia muda. Hanya sebagian dari
mereka yang bakal tumbuh menjadi pohon besar, sebagian yang lainnya tinggal tetap di bawah
tajuk pohon lain sampai tua, atau hanya mencapai ukuran tiang. Pada usia muda, jenis-jenis yang
dapat tumbuh menjadi pohon besar tidak mudah dibedakan dari lainnya, atau sangat memerlukan
pengalaman setempat.
Mutu. Pohon unggul harus mempunyai tajuk yang sehat, sehingga akan tumbuh lebih
cepat bilamana dibebaskan. Perlu diperhatikan juga cacat seperti penggarpuan, cabang tegak,
luka batang, atau pembusukan. Pohon-pohon yang ditumbuhi lumut biasanya tanda tumbuh lam-
bat. Satu bengkokan ringan pada batang usia muda biasanya tidak merupakan cacat serius, dan
batang demikian mungkin menjadi lurus kelak. Pohon bengkok atau melintir tidak boleh dipilih
menjadi pohon binaan.
Jarak. Dalam pelaksanaan pembinaan tegakan tinggal hendaknya jangan terikat dengan
jumlah pohon per hektar, melainkan semata-mata menurut keperluan silvikultur. Harus ada jarak
yang cukup di antara pohon-pohon unggulan yang dibebaskan sehingga tajuk mereka tidak
segera kembali bertaut setelah pembebasan. Jarak minimum sebagai berikut dapat dijadikan
acuan:
Diameter 5-10 cm : 6m
10-15 cm : 8m
> 15 cm : 10 m.
Tetapi bilamana ada dua pohon binaan yang berdekatan satu sama lain, dan mereka tum-
buh di dekat rumpang atau areal tanpa ada pohon komersial lainnya, maka kedua pohon binaan
tersebut dapat dianggap satu unit, dan dipelihara kedua-duanya. Keputusan demikian selaras
dengan keadaan di alam, di mana beberapa pohon besar tumbuh bersama dalam satu cluster
(kelompok). Pada umumnya, dalam memilih pohon, haruslah melihat ke tajuk, bukannya ke
tanah. Jarak pohon minimum hanyalah sebagai ancar-ancar.
Jumlah pohon. Menurut pengalaman, 100-150 pohon dapat dibebaskan per hektar.
Orang mungkin berfikir bahwa jumlah 150 itu terlampau banyak, mengingat di hutan perawan
toh hanya ditebang paling 10 bt per hektar. Jangan lupa bahwa tidak akan semua pohon yang
dibebaskan itu hidup terus sampai ukuran masak tebang. Dengan taksiran kematian 1% per
tahun, hanyalah tinggal setengahnya yang tinggal hidup setelah 70 th. Di dalamnya sejumlah
tertentu hanya bertahan sebagai pohon tertekan atau cacat. Namun jumlah pohon awal tidak
boleh juga terlampau banyak. Harus diperhitungkan bahwa diperlukan hanya 78 pohon dengan
diameter 70 cm untuk memenuhi luas bidangdasar tegakan 30 m/ha (= bidangdasar tegakan
hutan perawan). Hal ini menunjukkan bahwa tempat tumbuh tropis akan mendukung lebih
banyak pohon-pohon masak tebang daripada perolehan dari hutan perawan. Bila dikelola dengan
trampil, tegakan tinggal dapat menghasilkan kayu lebih banyak daripada hutan perawan. Di
sinilah terbuka tantangan dan kesempatan besar bagi para silvikulturis.

4.10. Pohon diambil dan pohon ditinggalkan


Pembebasan hanya diperlukan bila tajuk pohon unggulan berada lebih pendek atau sama
tinggi dengan tetangga penyaing. Pohon tetangga yang tajuknya berada lebih pendek tidak perlu
diteres. Tetapi pada saat itu sulit memutuskan, bagaimana komposisi tegakan masa datang.
Seringkali harus difikirkan apakah memilih pohon yang lebih kecil yang jenis niagawi
ekspor, ataukah pohon yang lebih besar jenis niagawi lokal, ataukah pohon lebih besar dengan

80
sedikit cacat. Akan sangat menolong bila untuk setiap tempat ada daftar jenis-jenis yang harus
dibebaskan, yang selalu harus diperbaharui sesuai dengan kemajuan teknologi pemanfaatan
kayu. Tetapi masih juga diperlukan banyak pertimbangan dan kemampuan untuk memperkirakan
permintaan pasar pada masa depan.
Dari banyak pengalaman diketahui, bahwa bilamana pekerjaan pembebasan diserahkan
kepada karyawan tanpa latihan dan pengawasan, hanya pohon-pohon tertekan saja yang
dipotong, mungkin untuk menghindari salah potong. Untuk memutuskan setiap tindakan
silvikultur memang diperlukan pengetahuan yang memadai dan pengertian ekologi. Bagai-
manapun, setiap mandor untuk pekerjaan pembebasan, harus benar-benar dipilih dan dilatih
khusus. Peraturan-peraturan hanya menolong dalam situasi umum, tidak untuk keseluruhan kesu-
litan. Hanya sebagai dasar pengetahuan, pokok-pokok berikut ini dapat menolong.
Pohon-pohon yang dibuang:
(1) Semua pohon yang sangat mendesak/menaungi tajuk pohon binaan.
(2) Semua pohon non dipterokarpa yang berbentuk jelek atau cacat, walaupun tidak berdekatan
dengan pohon unggulan (pembersihan).
(3) Dipterokarpa besar cacat (cull trees) dibunuh bila gerowong dan diduga tidak akan hidup
sampai rotasi tebang berikutnya. Tetapi kalau terdapat terlampau sedikit permudaan, pohon-
pohon tua cacatpun harus dipertahankan sebagai sumber benih.
(4) Pohon-pohon yang batangnya menggesek batang pohon unggulan.
(5) Pohon-pohon yang statusnya meragukan. Dalam keraguan berlaku kaidah umum: kalau
ragu-ragu, bunuh saja. Kaidah ini lahir dari pengalaman, bahwa kelemahan pembebasan
seringkali terlampau sedikit membuang penyaing, karena kayunya tidak laku dijual.
(6) Perambat harus selalu dipotong dimanapun ditemukan. Banyak perambat yang bertunas lagi
dari tunggulnya. Perambat khas rumpang Merremia nympheifolia tidak akan hidup lagi sean-
dainya tanah sudah ternaung.

Pohon-pohon tinggal (di samping pohon binaan)


(1) Semua pohon-pohon di bawah tajuk pohon unggulan tidak dibunuh, karena pohon-pohon
tersebut umumnya tumbuh lambat dan tidak akan menyaingi pohon unggulan untuk sinar
dan ruang. Percobaan telah menunjukkan bahwa penebasan tumbuhan bawah tidak
memperbesar pertumbuhan pohon unggulan.
(2) Pohon-pohon yang menghasilkan makanan hewan seperti Dillenia, beberapa Myrtaceae,
Baccaurea, Palaquium, Durio dan banyak lainnya, jangan diganggu.
(3) Semua pohon di tepi hutan, tepi jalan raya, tepi ladang, tepi lapang terbuka, tepi sungai,
harus dipelihara serimbun mungkin untuk memelihara mikroklimat di dalam tegakan.
Manfaatnya, bilamana udara panas tidak masuk ke tegakan maka gulma tidak akan
berkembang dalam tegakan.
(4) Tidak ada pohon diganggu sepanjang sungai dan mata air.
(5) Pohon besar non dipterokarpa berbatang baik, janganlah dikorbankan untuk sebatang
pancang dipterokarpa, walaupun jenisnya belum diketahui sekalipun.
Dalam kegiatan pembebasan, pohon-pohon non unggulan dapat diusahakan untuk diman-
faatkan/dijual seandainya pasarnya ada. Misalnya pohon-pohon pionir tua Macaranga,
Anthocephalus, Cananga, Alphitonia, yang cepat tua dan tidak lagi membesar. Kalau tidak
segera diambil, mungkin tidak mencapai ujung rotasi tebang pengusahaan hutan alam. Mudahlah
difahami, bahwa pohon-pohon yang diambil akan terlampau banyak seandainya hasilnya laku
dijual. Bilamana hanya peneresan dilakukan, ada kecenderungan meninggalkan pohon terlampau

81
banyak dengan harapan bahwa pohon-pohon itu akan dapat dipanen pada rotasi tebang
berikutnya.

BAB.V.
PENERESAN DAN PERACUNAN POHON
DALAM PEMBINAAN TEGAKAN HUTAN ALAMI

Tujuan:
Menjelaskan teknik membunuh pohon penyaing untuk membebaskan pohon binaan di hutan
alami.
Setelah mengikuti kuliah dan mengerjakan soal latihan bab ini mahasiswa akan mampu:
(1) Menceriterakan kembali pertimbangan perlakuan peneresan dan peracunan pohon penyaing.
(2) Menceriterakan kembali hasil ujicoba peneresan dan peracunan pohon di hutan alami tempo
dulu.

82
(3) Menceriterakan kembali hasil ujicoba peneresan dan peracunan terbaru dan aktual.
(4) Menceriterakan kembali prospek peneresan dan peracunan dalam pengelolaan hutan alami
produksi.

5.1. Pendahuluan
Di bawah naungan gelap, anak-anak pohon dipterokarpa tumbuh langsing dan lunglai.
Anak pohon demikian mudah rebah/patah atau terkulai bila penyaingnya ditebang dalam
pembebasan. Pancang yang lunglai itu dapat diturus beberapa lama sampai menjadi kekar, kalau
mereka masih kecil. Namun bila tinggi pancang lebih dari 4 m, pekerjaan demikian akan sangat
sukar dan makan waktu lama. Padahal pemilihan pohon-pohon lunglai sering tak terelakkan da-
lam memilih pohon binaan dari jenis niagawi yang diinginkan tersebar merata dalam tegakan.
Penyingkiran pohon penyaing dengan penebangan juga akan mengakibatkan pohon binaan rusak
tertubruk atau tertimbun.
Cara mengurangi kerusakan pohon binaan dalam pembebasan adalah pohon penyaing ha-
rus mati berdiri, yaitu dengan peneresan dan peracunan. Selain itu metode pemeliharaan tegakan
di Kalimantan harus murah dan mudah, agar perusahaan pelaksana mau dan benar melaku-
kannya. Dari aspek ini nampak bahwa peneresan dan peracunan merupakan alternatif terbaik.
Sketsa kedudukan calon pohon binaan dilukiskan dalam Gambar 5.1.

Belukar
Pohon Penyaing (PP)

PP HARUS MATI BERDIRI

Permudaan jenis niagawi calon pohon binaan

Gambar 5.1. Sketsa kedudukan calon pohon binaan dalam himpitan pohon penyaing di hutan
alami.

Dalam literatur telah berulang kali ditekankan, bahwa untuk membunuh penyaing di hu-
tan meranti, peracunan lebih baik daripada peneresan. Bahan aktif racun pohon (arborisida) yang
dianjurkan adalah 2,4,5-T, tetapi bahan ini sejak tahun 1987 di Indonesia sudah dilarang digu-
nakan, karena dalam pembuatannya mau tidak mau selalu terbentuk dioxin sebagai hasil sam-
pingan. Dioxin adalah senyawa penyebab kanker pada tubuh manusia yang sangat ditakuti. Oleh
karena itu harus dicoba bahan aktif lain yang terdapat di pasar dan bagaimana cara
penggunaannya.

5.2. Pengalaman peracunan pohon di hutan meranti


5.2.1. Untungrugi peneresan dan peracunan
Peneresan pohon penyaing di Indonesia belum tentu lebih murah daripada peracunan.
Walaupun peneresan pohon tidak menggunakan arborisida yang mahal, namun peneresan
memerlukan ketelitian pengerjaan sehingga memerlukan waktu jauh lebih banyak daripada

83
pengerjaan peracunan. Secara teknis, peneresan pohon penyaing juga mengandung kelemahan,
yaitu:
a. pohon diteres kehilangan sebagian kayunya sehingga mudah patah oleh terpaan angin dan
menimbulkan tubrukan,
b. pada pohon yang berbatang tidak bundar, pembuangan kambium sering tidak bersih sehingga
pohon itu tidak akan mati,
c. pohon yang diteres kadang-kadang bertunas di bawah teresan, sehingga walaupun kayu
batangnya lapuk tetapi pohonnya tidak mati.
Keuntungan peracunan dibandingkan penebangan di hutan meranti dikemukakan Weidelt
(1986, disempurnakan) sebagaimana di bawah ini.
(1) Tubrukan akibat penebangan pohon apalagi yang terikat perambat kepada pohon lainnya,
dapat dihindari atau dikurangi.
(2) Pembebasan dengan peracunan menggunakan tenaga kerja lebih sedikit daripada metode
lainnya.
(3) Terubusan dari tonggak tidak akan terjadi.
(4) Pohon unggulan lunglai yang dibebaskan sempat menjadi kekar dan punya tempat bersandar
karena penyaingnya tidak langsung hilang. Aspek ini penting bagi pancang di tempat gelap
dan belukar.
(5) Pohon diracun mati perlahan dalam beberapa bulan sehingga daun pohon yang dibebaskan
sempat menyesuaikan diri dari daun naung menjadi daun terang.

Pohon diteres tidak Tunas dapat


mati dalam setahun, tumbuh di bawah
pembe-basan gagal. teresan, sehingga
pohon tidak mati.

Gambar 5.2. Kegagalan peneresan, pohon yang dibunuh tidak mati sehingga peningkatan riap
pohon binaan tidak terjadi.

Dari pengalaman pembebasan, diketahui bahwa keuntungan peracunan terpenting adalah


tidak hilangnya tempat bersandar bagi pohon binaan dan sedikitnya penggunaan tenaga kerja.
Kedua aspek ini penting, karena kebanyakan pohon unggulan berasal dari tempat gelap/belukar,
dan karena semua hutan meranti berada di daerah berpenduduk jarang seperti Kalimantan.
Bersamaan dengan itu terdapat kelemahan peracunan, yaitu:
a. kalau arborisida yang digunakan berracun bagi manusia, maka berbahaya bagi pekerja,

84
b. pohon yang mati diracun akan rontok sedikit demi sedikit selama bertahun-tahun, sehingga
tegakan yang diracun hanya aman dimasuki pada saat cuaca tanpa angin saja.

5.2.2. Hasil-hasil percobaan


Sudah pada tahun 1930-an percobaan peneresan penyaing di hutan meranti Malaysia
dilakukan oleh Strugnell (1934). Hasilnya dikemukakan dalam Tabel 5.1.

Tabel 5.1. Keberhasilan peneresan di hutan meranti Malaysia (Strugnell, 1934).

Jumlah pohon Persen pohon mati selama:


diteres 0,5 th 1 th 1,5 th 2,0 th 3,0 th
358 48 57 76 85 92

Hasil itu menunjukkan, bahwa lambat laun hampir semua pohon yang diteres bakal mati.
Tetapi dalam tahun pertama pohon penyaing yang diteres baru mati 57%, sehingga peneresan di
hutan alami produksi dapat dinyatakan kurang efektif. Pohon yang lebih besar bila diteres mati
lebih lambat daripada yang kecil, sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 5.2.

Tabel 5.2. Keberhasilan peneresan menurut ukuran pohon, tidak termasuk yang rebah
(Strugnell,1934).

GSD (cm) Jumlah pohon Persen pohon mati dalam


diteres 9 bulan
10-19 14 43
20-29 144 32
30-39 99 32
40-48 54 22
49-58 26 12

Dari Tabel 5.2 itu belum jelas apakah pohon-pohon yang lebih besar lebih tahan terhadap
peneresan ataukah pohon-pohon itu hanya mati lebih lambat saja.
Selanjutnya Strugnell juga mencoba membunuh penyaing dengan larutan natriumarsenit.
Ia menunjukkan, bahwa keberhasilan yang dicapai peneresan dalam 2 th, telah dicapai oleh
arborisida dalam 6 bl saja. Penggunaan natriumarsenit sebagai arborisida untuk membunuh
pohon-pohon yang tidak diinginkan di Malaysia telah dikenal luas sejak tahun 1935 (Beveridge,
1957). Ujicoba di Indonesia dilakukan Filon (1938) yang mencoba peracunan pohon hutan alami
dengan Na2AsO3, dengan catatan bacokan harus masuk 1,25 cm ke dalam kayu gubal. Larutan
yang digunakan adalah dengan konsentrasi 10% (1 kg natriumarsenit danam 10 l air). Untruk
meminimalkan munculnya tunas batang dianjurkan meracun pohon serendah mungkin.
Karena senyawa arsen ini sangat berbahaya terhadap manusia dan khewan, kemudian
dicari racun lain yang murah dan tidak terlampau berbahaya. Dalam ujicobanya Beveridge
(1957) membuktikan, bahwa larutan 2% 2,4,5-T dalam minyak disel sama manjurnya dengan
larutan 20% natriumarsenit dalam air. Ia membuat batasan mati 80% dalam tahun pertama
sebagai "manjur". Menurut pengalamannya pula, penggunaan semua bahan dengan bacok
keliling lebih manjur daripada disemprotkan ke batang, karena seperti mudah difahami, dengan
bacok keliling lebih banyak arborisida diisap pohon. Ia menganjurkan untuk tidak melarutkan

85
2,4,5-T dan 2,4-D dalam air, 2,4-D dalam minyak disel, dan campuran 2,4,5-T dan 2,4-D dalam
air, karena menjadi kurang manjur.
Wyatt-Smith (1960) melakukan percobaan mirip yang dilakukan Beveridge juga di Ma-
laysia. Hasilnya yang terpenting dari ujicoba pelbagai konsentrasi natriumarsenit, 2,4,5-T, dan
2,4-D pada 100 sampai 10.000 pohon per perlakuan adalah sebagai berikut ini.
(1) Larutan natriumarsenit 20% dalam air tetap yang paling manjur. Pekerjaan dengan bahan ini
lebih mudah, karena tidak harus memikul minyak disel di dalam hutan.
(2) Sekalipun larutan 20% natriumarsenit lebih murah daripada larutan 2% 2,4,5-T dalam
minyak disel, namun natriumarsenit sangat berbahaya bagi pekerja.
Karena pohon-pohon yang lebih besar lebih tahan terhadap semua arborisida, Wyatt-
Smith (1963) mencoba kembali kemanjuran arborisida hanya terhadap pohon-pohon besar
(diameter 43 cm) (Tabel 5.3).

Tabel 5.3. Keberhasilan peracunan terhadap pohon-pohon dengan diameter 43 cm (Wyatt-


Smith, 1963).

Arborisida Pelarut % ph mati dl


9 bl
1. 8% 2,4,5-T (merek Inverton) air 57
2. 6% 2,4,5-T (garam amin) air 37
3. 2% paraquat (merek air 30
Gramoxon)
4. 4% 2,4-D (merek Esteron WS) minyak diesel 25
5. 4% 2,4,5-T (merek Kuron) minyak diesel 26
6. 5% campuran 2,4-D dan 2,4,5- minyak diesel 58
T (2:1)
7. 6% 2,4-D (butylester) minyak diesel 44
8. 2% Diquat (merek Reglone) air 60
9. 20% natrium arsenit air 75
Catatan: setiap perlakuan menggunakan 17 pohon.

Ia menyimpulkan, bahwa di luar larutan natriumarsenit yang berbahaya, paling baik


digunakan "Reglone" 2% atau 2,4,5-T 8% ("Inverton"), karena bahan-bahan itu paling manjur,
tidak berbahaya bagi manusia dan khewan, dan tidak memerlukan minyak disel.
Sampai saat itu, peracunan pohon berlateks melalui bacok keliling kurang bermanfaat,
karena pohon demikian begitu dilukai segera mengeluarkan getah yang menghanyutkan racun.
Percobaan dilakukan Liew dan Charington (1972) untuk menemukan cara mana yang manjur
mematikan jenis-jenis demikian. Mereka mencoba meracun khusus jenis-jenis Ficus. Ficus
memiliki tajuk lebar dan rimbun, berkecambah di pangkal dahan pohon besar, kemudian menju-
lurkan akar-akarnya untuk mencapai tanah sambil lama kelamaan memeluk dan mencekik
inangnya. Dengan 1-2 kali menyemprotkan larutan 2,5%, 5%, dan 10% 2,4,5-T butylester pada
kulit akar, matilah pohon-pohon Ficus itu dalam 2-4 bulan tergantung konsentrasi larutannya.
Konsentrasi larutan yang tinggi telah mempercepat kematian, namun pengulangan penyemprotan
tidak memperbaiki kemanjuran racun. Larutan 2,5% sekali semprot juga telah membunuh semua
pohon coba, walaupun lebih lambat.

86
Juga Nicholson (1969) dan Leppe (1984) telah mencoba peracunan dengan larutan 2,4,5-
T serta 2,4-D dalam minyak diesel. Hasil mereka serupa saja dengan hasil para pendahulu di
Malaysia.
Semua hasil percobaan itu dapat digunakan di lapang, tetapi natriumarsenit serta hormon
pertumbuhan buatan 2,4,5-T dewasa ini dilarang digunakan di Indonesia untuk keamanan
ekologis. Oleh karena itu mesti dicari bahan dan metode lain.

5.3. Hasil ujicoba di Kalimantan Timur


Untuk mencari arborisida manjur dan sah peredarannya dicoba 3 bahan yang dijual bebas
di Samarinda, seperti dirinci dalam Tabel 5.4.

Tabel 5.4. Bahan yang digunakan untuk percobaan arborisida.

Arborisida Bahan aktif dan


konsentrasinya
1. Roundup 48%
Isopropylaminglyphosat
2. Garlon 62% Triclopyr-
butoxyethylester
3. Asam 90% Asam formiat
semut

Bahan Roundup dan Garlon adalah herbisida, yang menurut aturan pakainya dapat
digunakan sebagai arborisida (pembunuh pohon). Asam semut bukan herbisida, dan di
perkampungan Kalimantan Timur digunakan sebagai pengental getah karet sadapan, namun
menurut penduduk, juga sering dipakai membunuh pohon, dengan cara memasukkannya ke
dalam lubang bor pada batang. Telah dicoba mencari bahan yang telah dikenal manjur namun
tidak berbahaya yaitu Silvisar (Huss, ket. lisan), tetapi gagal. Juga bahan lain yang telah diuji
seperti Tordon (Picloram), tidak berhasil diperoleh.
Ukuran pohon yang diambil adalah yang berdiameter > 10 cm, agar dapat diteres. Jumlah
yang diperlukan dari setiap kelompok tidak selalu tercapai, seperti ditunjukkan dalam Tabel 5.5.

Tabel 5.5. Kelompok jenis, jumlah, dan ukuran pohon dalam percobaan arborisida.

Kelompok jenis Jumla Rentan Rataan


pohon h gd d (cm)
(cm)
Dipterokarpa lunak 45 10-37 16
Dipterokarpa keras 20 10-35 19
Non dipterokarpa 45 10-32 15
lunak

87
Non dipterokarpa 45 11-41 20
keras
Bergetah 20 11-29 17

Di dalam tegakan plot hutan alami bekas tebang pilih berulang yang asalnya disiapkan
untuk dikonversi menjadi lahan hutan tanaman, langka terdapat pohon dengan diameter > 40 cm.
Percobaan dilakukan dari Oktober 1987 sampai Maret 1989, dengan mengamati pengaruh semua
perlakuan.
Untuk membandingkan pengaruh perlakuan digunakan data 3 kelompok jenis (Dip.
lunak, Non dip. lunak, dan Non dip. keras). Hasil pengamatan bulan ke 6, 12, dan 18 menurut
perlakuan ditampilkan dalam Gambar 5.3.

120
100
80
60
% POHON MATI
40
0,5 th 1,0 th 1,5 th
20
0
TERES R20%B R40%B A90%B G10%B R20%K R40%K A90%K G10%K
PERLAKUAN

Keterangan
: Teres = diteres; R20%B = Roundup 20% dg bacok, R40%B = Roundup 40% dg bacok; A90%B
= Asamsemut 90% dg bacok; G90%B = Garlon 90% dg bacok; R20%K = Roundup 20% dg
bacok-keliling, R40%K = Roundup 40% dg bacok-keliling; A90%K = Asamsemut 90% dg
bacok-keliling; G90%K = Garlon 90% dg bacok-keliling.

Gambar 5.3. Perbandingan hasil perlakuan.

Pengaruh peneresan lambat-laun bertambah. Sampai akhir masa pengamatan, namun


hasilnya belum memuaskan, karena batas 80% pohon mati masih jauh dari tercapai. Pohon-
pohon diteres lambat menjadi mati.
Pada perbandingan antar cara pemberian, nampak bahwa secara umum pengaruh arbori-
sida dengan pemberian bacok-keliling lebih baik daripada peneresan ataupun arborisida dengan
bacok. Hasil ini mudah dijelaskan, bahwa melalui bacok-keliling lebih banyak arborisida
diterima pohon daripada melalui bacok. Pengaruh bacok masih belum jelas apakah konsentrasi
arborisida terlampau rendah ataukah jumlah bacokan terlampau sedikit.
Kemanjuran Roundup dengan bacok baik konsentrasi 20% maupun 40% tidak memuas-
kan. Sebaliknya, pemberian dengan bacok-keliling dari kedua konsentrasi itu berhasil.
Kemanjuran larutan Roundup 40% mula-mula lebih tinggi kemudian lebih rendah daripada kon-
sentrasi 20%. Kemungkinan ini terjadi karena pohon coba terlampau sedikit. Walaupun belum
pasti, dapat dikatakan bahwa konsentrasi Roundup 20% sama manjurnya dengan yang 40%,
sehingga dosis 20% dapat dianggap sudah cukup.
Asam semut 90% yang diberikan dengan bacok sama sekali tidak berpengaruh. Penga-
ruhnya melalui bacok-keliling juga tidak memuaskan. Karena konsentrasi asam semut telah

88
maksimum, maka penggunaan asam semut sebagai arborisida dengan bacok dan bacok-keliling
tidak dianjurkan.
Keberhasilan pemberian Garlon 10% dengan bacok tergolong rendah. Pemberian bahan
ini dengan bacok-keliling namun hampir mencapai batas minimal 80%. Kemungkinan dosis yang
lebih tinggi dari 10% akan lebih manjur. Dosis 10% seperti dianjurkan pabrik untuk mematikan
pohon-pohon hutan ternyata terlampau rendah.
Persen pohon mati pada semua perlakuan dan semua arborisida (kecuali asam semut +
bacok), setelah 12 bulan lebih tinggi daripada 6 bulan. Hasil pengamatan setelah 18 bulan hampir
tidak menunjukkan perbedaan. Hanya peneresan dan Roundup 20% + bacok-keliling yang masih
menunjukkan kenaikan. Kenyataan ini menunjukkan, bahwa pengamatan percobaan peracunan
pohon cukup 12 bulan saja.

Perbandingan antar kelompok jenis


Seperti telah dikemukakan dalam bab 6.424, karena kekurangan pohon kelompok Dip.
keras dan kelompok bergetah, perbandingan antara semua kelompok jenis hanya dibuat pada
pemberian peneresan, bacok + Roundup 20%, Bacok + Roundup 40%, dan Bacok + Asamsemut
90%. Kepekaan kelompok jenis terhadap perlakuan disajikan dalam Gambar 5.4.

60
50
40
30
% POHON M ATI
20
0,5 th 1,0 th 1,5 th
10
0
Dip.ringan Dip.berat ND-ringan ND-berat Bergetah
KELOM POK JENIS POHON

Gambar 5.4. Perbandingan kerentanan kelompok jenis terhadap perlakuan.

Persen kematian terbesar dialami semua kelompok jenis dalam 6 bulan pertama. Nilainya
berkisar antara 30% pada Non dip. keras dan 45% pada Dip. keras dan lunak. Persen mati paling
sedikit selama semester pertama adalah kelompok bergetah, hanya 20%. Dalam 6 bulan
berikutnya meningkat paling cepat. Padahal kelompok lainnya meningkat sedikit saja. Perbedaan
peningkatan antar kelompok juga sedikit. Setelah bulan ke-12, tambahan kematian hanya dialami
kelompok Dip. lunak dan Non dip. keras. Setelah 18 bulan, persen mati Dip. lunak dan Dip.
keras adalah tertinggi, dengan 55%.
Hasil ini menunjukkan, bahwa kekerasan kayu tidak ada pengaruhnya terhadap kepekaan
terhadap arborisida. Persen mati yang lebih rendah pada Non dip. keras dibandingkan Dip. keras
bukan disebabkan oleh kekerasan kayu melainkan oleh jenis pohon.

Evaluasi hasil
Walaupun datanya sedikit, percobaan ini mendapatkan hasil bahwa pohon-pohon dari se-
mua kelompok jenis mati hampir bersamaan, hanya pohon bergetah yang mati agak lambat.
Pemilahan jenis pohon hutan berdasarkan kekerasan kayu dan kandungan getah dengan demikian

89
tidak diperlukan, dan apa yang dikemukakan Wyatt-Smith (1960) dengan demikian tidak ter-
bukti. Karena seperti diakui data percobaan ini terlampau kecil, percobaan lanjutan perlu
dilakukan, agar hasilnya dapat digunakan tanpa kekuatiran. Keputusan ini penting, karena kalau
pohon-pohon dalam hutan harus dipilah-pilah menurut jenis dan getah, maka percobaan menjadi
tidak praktis karena setiap jenis dalam tegakan hutan tropis yang kaya jenis pohon terdiri atas
hanya beberapa batang saja.
Dalam percobaan lanjutan, setiap perlakuan tidak boleh kurang dari 100 batang pohon,
agar perbedaan kepekaan antar jenis dapat terimbangi. Jumlah batang yang hanya 15 setiap per-
lakuan, terlampau sedikit, karena setiap batang bernilai 7%, padahal terdiri atas pelbagai jenis
yang sifat kayunya berbeda.
Karena mahalnya percobaan ini, maka percobaan arborisida dengan persyaratan statistik
sangat sulit dipenuhi.
Karena pohon besar mati lebih lambat atau lebih tahan terhadap arborisida (Wyatt-Smith,
1960; 1963; Chew, 1982) dan di dalam tegakan langka terdapat dibandingkan dengan pohon
yang lebih kecil, maka percobaan arborisida cukup dilakukan dalam rentang diameter yang
terbatas saja. Rentang diameter percobaan ini, yaitu 10-40 cm dapat dibenarkan.

Kurun waktu dan ulangan pengamatan


Hasil percobaan arborisida hanya bermanfaat bagi silvikultur bila disebutkan kurun peng-
amatannya, yang diperlukan untuk mencapai suatu hasil. Sebagai contoh, suatu arborisida
disebut manjur bila sekurang-kurangnya mematikan 80% pohon dalam tahun pertama (Be-
veridge, 1957). Untuk itu diperlukan hanya dua kali pengamatan, yaitu setelah 6 dan 12 bulan,
terutama bila pohon coba banyak sekali. Pengamatan lebih dari setahun tidaklah perlu. Pertama,
karena setelah setahun penambahan jumlah pohon mati sedikit sekali. Keduanya, karena
kematian yang terlambat menyebabkan kehilangan riap tegakan, sehingga tujuan peracunan tidak
seluruhnya tercapai. Ulangan pengamatan yang sering dilakukan pada awal penelitian ini
disebbkan oleh ketidaktahuan, kapan gerangan pohon-pohon yang diracun itu akan mati.

Arborisida yang handal


Larutan 20% Roundup dalam air telah mematikan lebih dari 80% pohon dalam tahun
pertama, sehingga dapat disebut manjur. Dosis yang lebih tinggi, misalnya 40%, jelas tidak
diperlukan.
Percobaan serupa dengan berbagai bahan termasuk Roundup telah dilakukan Weidelt
(1986) di Bukit Suharto, Kalimantan Timur. Dari hasil pengamatan setahun terhadap 80 sampai
100 pohon coba per perlakuan, Weidelt menemukan bahwa larutan 12% Roundup dapat
membunuh 80% pohon. Konsentrasi 6% hanya membunuh 63% pohon coba. Dengan demikian,
konsentrasi Roundup masih dapat diturunkan menjadi 12-15% saja. Publikasi Weidelt (1986) ini
sayangnya baru ditemukan penulis setelah penelitian sendiri selesai.

Penilaian cara pemberian


Walaupun bacok-keliling telah memberikan hasil terbaik, sebenarnya cara bacok lebih
disukai bagi wilayah berpenduduk jarang seperti Kalimantan ini. Sebaliknya, peneresan kurang
disukai. Pertama karena pengerjaannya lebih lama, kedua karena bagi pohon kecil, sering pohon
menjadi patah tertiup angin. Juga dengan bacok-keliling, pohon kecil pada suatu waktu akan
patah. Hal itu terjadi bila tajuk telah kering dan rontok, sehingga kerusakan karenanya menjadi
tidak berarti.

90
Prospek
Untuk memperoleh gambaran biaya peracunan, disajikan perhitungan dalam Tabel 5.6.

Tabel 5.6. Perkiraan biaya pembebasan dengan peracunan, dinyatakan dalam hari orang
kerja (HOK).

Kerja dan bahan HOK/ Sumber


ha
1. Pembebasan pertama untuk 200 ph binaan per ha 6,9 v.d.Goltz,
tanpa penebangan (upah kerja 1995 Rp 7500 per hari). 1988
2. Pemakaian arborisida: 10 l larutan 12% = 1,2 l 3,2
Roundup (1 l Roundup 1995 = Rp 20.000,-) Weidelt,
1986
Sutisna, 1990
v.d. Goltz,
1988
Seluruhnya untuk pembebasan dan biaya pengadaan 10,1
arborisida

Dibandingkan dengan keuntungan berupa peningkatan riap kayu pohon binaan, biaya
pembebasan dengan peracunan tidak berarti. Dalam tahun pertama, diatas kertas, sudah terbayar.
Untuk perhitungan yang tepat tentu harus diperhitungkan dengan bunga modal selama daur.
Namun demikian dapatlah dikatakan, bahwa pembebasan dengan arborisida Roundup masih
ekonomis.
Menurut perhitungan itu jumlah biaya pembebasan pertama dengan peracunan sebesar 10
hok atau Rp 400.000,- per hektar (upah bruto pekerja tahun 2001 di Kalimantan Timur Rp
40.000,-/hok). Sebaliknya keuntungan riap hasil pembebasan dapat diperhitungkan sbb:
10 m x Rp 400.000,- = Rp 4.000.000,- per ha dan th (tahun 2001).

91
92

Anda mungkin juga menyukai