SINDROM DOWN
OLEH:
Hartini Sri Utami
(01131465301o)
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..........................................................................................................i
KATA PENGANTAR........................................................................................................ii
DAFTAR ISI....................................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN.................................................................................................1
1.1 Latar Belakang................................................................................................1
1.2 Tujuan.............................................................................................................2
1.2.1 Tujuan Umum........................................................................................2
1.2.2 Tujuan Khusus.......................................................................................2
1.3 Sistematika Penulisan.....................................................................................3
1.4 Manfaat...........................................................................................................3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................4
2.1 Definisi Sindrom Down..................................................................................4
2.2 Etiologi...........................................................................................................4
2.3 Genetika..........................................................................................................7
2.4 Faktor risiko....................................................................................................8
2.5 Skrining...........................................................................................................9
2.5.1 Maternal Serum Sceening...................................................................9
2.5.2 Ultrasound Sceening (USG).............................................................10
2.5.3 Amniosentesis...................................................................................11
2.5.4 Chorionic Villus Sampling (CVS) ...................................................11
2.6 Patofisiologi..................................................................................................12
2.7 Mortalitas/ Morbiditas..................................................................................13
2.8 Efek Pada Fisik Dan Sistem Tubuh..............................................................13
2.8.1 Temuan Fisik.....................................................................................16
2.8.2 Hematologi........................................................................................19
2.8.3 Penyakit Jantung Kongenital............................................................19
2.8.4 Immunodefisiensi..............................................................................22
2.8.5 Sistem Gastrointestinal.....................................................................22
2.8.6 Sistem Endokrin................................................................................22
2.8.7 Gangguan Psikologis........................................................................22
2.8.8 Trisomi 21 Mosaik............................................................................23
2.9 Pencegahan...................................................................................................23
2.10Penatalaksanaan............................................................................................23
2.10.1 Stimulasi Dini...................................................................................24
2.10.2 Pembedahan......................................................................................24
2.10.3 Fisioterapi.........................................................................................25
2.11Perawatan Medis ..........................................................................................27
BAB 3 PENUTUP...........................................................................................................29
3.1 Kesimpulan...................................................................................................29
3.2 Saran.............................................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................30
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sindrom Down merupakan salah satu kelainan genetik yang sering terjadi
pada bayi baru lahir. Prevalensi kejadian bayi lahir dengan sindrom Down adalah 1
dari 800 kelahiran. Berdasarkan penelitian awal yang dilakukan, di Amerika Serikat
terdapat lebih dari 400,000 orang menderita sindrom Down, dengan jumlah
kelahiran bayi yang mendapat sindroma tersebut mencapai 3,400 bayi dalam
setahun ( CDC, 2009).
Kelainan ditemukan di seluruh dunia pada semua suku bangsa. Diperkirakan
angka kejadian 1,5 : 1000 kelahiran dan terdapat 10 % diantara penderita retardasi
mental. Menurut Biran, sejauh ini diketahui faktor usia ibu hamil mempengaruhi
tingkat risiko janin mengidap sindrom Down. Usia yang berisiko adalah ibu hamil
pada usia lebih dari 35 tahun. Kehamilan pada usia lebih dari 40 tahun, risikonya
meningkat 10 kali lipat dibanding pada usia 35 tahun. Sel telur (ovum) semakin
menua seiring pertambahan usia perempuan
Sindrom Down merupakan kelainan kromosom yang nantinya akan
menimbulkan berbagai kelainan ketika lahir. Individu dengan sindrom Down
biasanya akan mengalami keterbatasan dari segi kognitif, wajah dismorfik yang
berbeda apabila dibandingkan dengan orang normal, kelainan jantung dan masalah
masalah kesehatan yang lain. Keparahan kondisi yang diderita penderita sindrom
Down adalah berbeda antara satu individu dengan individu yang lainnya. Walau
demikian, dengan adanya teknik skrining yang ada sekarang, usia penderita
sindrom Down dapat mencapai 60 tahun (National Down Syndrome Society, 2009).
Sebuah penelitian telah dilakukan pada 24 (21,62 %) anak yang dicurigai
sindrom Down dari 111 anak retardasi mental di Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri
Semarang periode Juli 2007 Juni 2008. Berdasarkan pemeriksaan dari 20 anak
SLBC Negeri Semarang dengan penampakan klinis Sindrom Down, 19 anak (95
%) mempunyai kelainan kromosom trisomi 21 (kelebihan 1 kromosom 21) dan 1
anak (5%) dengan kariotipe (46,XX) (Vidyaningsih, 2008).
Pada penelitian tahun 1994, dari 340 siswa SLB, laki laki dan perempuan,
di Semarang didapatkan 42 kasus sindrom Down di Semarang (12,3%), secara
keseluruhan jumlah sindrom Down jenis kelamin laki-laki sama dengan jenis
kelamin perempuan. Selanjutnya pada penelitian siswa SLB-C di Kotamadia
Semarang pada tahun 2000 menunjukkan frekuensi penderita sindrom Down 14%
(32/235) dengan distribusi jenis kelamin yang juga sama pada laki laki dan
perempuan. Sindrom Down yang ditemukan pada penelitian ini menunjukkan
angka yang hampir mirip dengan angka yang pernah dilaporkan oleh peneliti lain
pada bangsa Kaukasia, tetapi pada penelitian lain jumlah penderita laki-laki lebih
banyak daripada penderita perempuan (Sultana, 2004).
Hampir setengah dari bayi dengan sindrom Down akan mendapat kelainan
jantung. Kelainan jantung dapat ringan dan dapat diterapi dengan obat, dan ada
juga kelainan berat yang memerlukan pembedahan. Setiap bayi yang lahir dengan
sindrom Down harus diperiksa oleh dokter kardiologi anak. Pemeriksaan yang
dapat dilakukan adalah pemeriksaan dengan echocardiogram atau ultrasound pada
jantung setelah usia dua bulan (American Academy of Pediatrics Committee on
Genetics, 2007).
Harapan hidup bagi individu dengan sindrom Down memiliki secara dramatis
meningkat selama beberapa dekade terakhir sebagai perawatan medis dan inklusi
sosial telah membaik. Seseorang dengan sindrom Down dalam kesehatan yang baik
akan rata-rata hidup sampai usia 55 atau lebih.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mengerti dan memahami sindrom Down sebagai kelainan genetik
1.4 Manfaat
1.4.1 Sebagai bahan memperluas wawasan mengenai sindrom Down
1.4.2 Sebagai bahan tambahan untuk referensi mengenai sindrom Down
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.2. Etiologi
Sindroma Down disebabkan oleh trisomi 21, autosomal trisomi yang paling
sering pada bayi baru lahir. Tiga tipe abnormalitas sitogenik pada fenotipe Sindroma
Down adalah: trisomi 21 (47, +21), di mana terdapat sebuah salinan tambahan pada
kromosom 21, diperkirakan 94%. Translokasi Robertsonian pada kromosom 21,
sekitar 3-4%. Translokasi Robertsonian adalah penyusunan seluruh lengan pada
kromosom akosentrik (kromosom manusia 13-15, 21, dan 22) dan juga bisa berupa
sebuah translokasi antara kromosom 21 (atau ujung 21q saja) dan sebuah kromosom
nonakrosentrik. Trisomi 21 mosaikisme (47, +21/46), terjadi pada 2-3% kasus. Pada
bentuk ini, terdapat dua kelompok sel: sebuah sel normal dengan 46 kromosom dan
kelompok lain dengan trisomi 21.
Salinan tambahan pada kromosom 21 biasanya disebabkan oleh nondisjunction,
sebuah kesalahan selama meosis. Nondisjunction adalah kegagalan kromosom
homolog untuk pemisahan selama meosis I atau meosis II. Oleh karena itu, satu anak
sel menurunkan tiga kromosom pada kromosom yang terkena dan menjadi trisomi,
sedangkan anak sel lainnya menurunkan satu kromosom yang menyebabkan
monosomi.
Kesalahan dalam meosis yang menyebabkan nondisjunction sebagian besar
diturunkan dari ibu; hanya sekitar 5% terjadi selama spermatogenesis. Kesalahan pada
meosis meningkat seiring dengan pertambahan usia ibu. Kesalahan yang diturunkan
dari ibu paling sering terjadi pada meosis I (76-80%) dan terjadi pada 67-73% pada
kasus trisomi 21. Kesalahan yang diturunkan dari ibu lainnya terjadi pada meosis II
dan mungkin diakibatkan oleh kegagalan pemisahan pasangan kromatid. Mereka
terjadi pada 18-20% kasus trisomi 21. Nondisjunction yang diturunkan dari ayah
biasanya terjadi pada meosis II.
Mekanisme nondisjunction masih belum jelas. Hal itu mungkin berhubungan
dengan kegagalan pada rekombinasi, di mana proses alami pemecahan dan
penggabungan kembali susunan DNA selama meosis untuk membentuk kombinasi
baru pada gen agar menghasilkan variasi genetik.
Pada beberapa studi, peningkatan risiko pada nondisjunction meosis telah
dihubungkan dengan polimorfik maternal pada gen yang mengkode enzim yang
memetabolisme folat, methylenetetrahydrofolate reductase (MTHFR) dan methionine
synthase (MTRR).
Diperkirakan 5% kasus kromosom ekstra 21 muncul diakibatkan oleh kesalahan
pada mitosis. Kasus ini tidak berkaitan dengan meningkatnya umur ibu.
Translokasi trisomi 21, yaitu ketidakseimbangan translokasi Robertsonian,
seluruh lengan panjang pada sebuah kromosom ditranslokasikan ke lengan panjang
pada sebuah kromosom akosentrik melalui penggabungan sentral. Pada Sindroma
Down, bentuk yang paling umum adalah translokasi yang mengenai kromosom 14 dan
21. Individu yang memiliki 46 kromosom, tetapi kromosom 14 mengandung lengan
panjang kromosom 14 dan 21. Hal ini memberikan tiga salinan pada lengan panjang
kromosom 21 (dua berasal dari kromosom 21 dan yang ketiga berasal dari lengan
panjang yang ditranslokasikan dari kromosom 14).
Mayoritas translokasi Robertsonian yang mengakibatkan trisomi 21 adalah
mutasi yang baru. Mereka hampir selalu berasal dari ibu dan terjadi terutama selama
oogenesis. Sindroma Down yang disebabkan oleh mekanisme ini tidak berhubungan
dengan umur ibu (Roizen et al., 2009).
Sejauh ini, tidak ditemukan hubungan antara Sindroma Down dan diet, obat-
obatan, ekonomi, status, ataupun gaya hidup. Risiko Sindroma Down juga tidak
meningkat meskipun memiliki saudara dengan Sindroma Down. Beberapa bukti
menunjukkan bahwa Sindroma Down sedikit lebih umum terjadi pada keluarga
dengan penyakit Alzheimer dalam satu atau lebih anggota keluarga yang lebih tua
(Benke et al., 1995).
Gambar 2.1 Kelebihan Kromosom 21 Pada Penderita Sindrom Down
2.3 Genetika
Menurut Hattori et al. (2000) dalam Sommer dan Henrique-Silva (2008), hampir
seluruh rangkaian DNA pada lengan panjang kromosom 21 (21q) telah berhasil
ditentukan dan dipublikasikan dalam Nature. Hal ini menunjukkan sebuah pencapaian
baru dalam penelitian Sindroma Down, yang sangat membantu dalam
mengidentifikasikan setiap gen dan rangkaian nonkode pada 21q.
Panjang dari 21q adalah 31,5 Mb dan diperkirakan 3% dari rangkaiannya
mengkode beberapa protein. Analisis pertama dari 21q menunjukkan terdapat 225 gen
dan 59 pseudogen. Menurut Gardiner et al. (2003) dalam Sommer dan Henrique-Silva
(2008), meskipun katalog gen yang tepat belum dapat disimpulkan, mereka telah
memperkirakan 364 gen dan sangkaan gen dari rangkaian yang selesai dari kromosom
21. Protein yang dikode oleh gen ini mempunyai beberapa kategori fungsi yaitu faktor
transkripsi, regulator, dan modulator (Sommer dan Henrique-Silva, 2008).
Dalam trisomi 21, kehadiran gen ekstra menyebabkan overexpression pada gen
yang terlibat sehingga meningkatkan produk-produk tertentu. Pada sebagian besar gen,
efek overexpression tersebut memiliki efek yang sedikit karena tubuh memiliki
mekanisme regulasi. Tetapi gen yang terlibat pada Sindroma Down tampaknya
merupakan pengecualian.
Dari penelitian bertahun-tahun, satu teori yang terkenal meyebutkan bahwa
hanya sedikit bagian dari kromosom 21 yang sebenarnya dibutuhkan untuk membuat
efek pada Sindroma Down, yang disebut sebagai critical region. Kromosom 21
memegang 200-250 gen, tetapi diperkirakan hanya beberapa persen saja yang
mengakibatkan ciri-ciri pada Sindroma Down (Leshin, 2003).
Adanya Down Syndrome Critical Region (DSCR), sebuah segmen kecil pada
kromosom 21 yang mengandung gen-gen yang bertanggung jawab pada ciri-ciri utama
Sindroma Down, telah mendominasi penelitan Sindroma Down pada tiga dekade
terakhir. Gen-gen yang terdapat pada daerah 5,4Mb ini dikelompokkan menjadi
DSCR1 dan DSCR 2 (Sommer dan Henrique-Silva, 2008).
Menurut Davies et al. (2007) dalam Sommer dan Henrique-Silva (2008),
DSCR1, yang sekarang diberi nama RCAN1 (Regulator of Calcineurin 1) di
overexpress dalam otak fetus Sindroma Down dan berinteraksi secara fisik dan
fungsional dengan kalsineurin A, sebuah katalitik sub unit dari kalsium/ calmodulin
dependent protein phosphatase. Menurut Fuentes et al. (1995) dalam Sommer dan
Henrique-Silva (2008), RCAN1 yang banyak diekspresikan di otak dan jantung
menunjukkan overexpression itu berhubungan pada patogenesis Sindroma Down,
terutama retardasi mental dan atau kelainan jantung. Menurut Vidal-Taboada et al.,
(2000) dalam Sommer dan Henrique-Silva (2008), sedangkan DSCR2 lebih banyak
diekspresikan pada semua jaringan dan sel yang berproliferasi, seperti jaringan fetus,
testis, dan sel kanker.
Gen-gen yang terlibat dalam Sindroma Down adalah:
Superoxide Dismutase (SOD1) -- overexpression menyebabkan penuaan dini dan
menurunnya fungsi sistem imun. Gen ini berperan dalam demensia pada tipe
Alzheimer
COL6A1 -- overexpression menyebabkan cacat jantung.
ETS2 -- overexpression menyebabkan abnormalitas skeletal.
CAF1A -- overexpression menyebabkan detrimental pada sintesis DNA
Cystathione Beta Synthase (CBS) -- overexpression menyebabkan gangguan
metabolisme dan perbaikan DNA
DYRK -- overexpression menyebabkan retardasi mental.
CRYA1 -- overexpression menyebabkan katarak.
GART -- overexpression menyebabkan gangguan sintesis dan perbaikan DNA
IFNAR gen yang mengekspresiakn interferon, overexpression mempengaruhi
sistem imun dan organ sistem lainnya (Lewis, 2008)
2.5 Skrining
Baru-baru ini, tanda lain yang disebut Papp-A ternyata bisa berguna bahkan lebih
awal.
Alpha-fetoprotein dibuat di bagian rahim yang disebut yolk sac dan di hati janin,
dan sejumlah AFP masuk ke dalam darah ibu. Pada sindrom Down, AFP menurun
dalam darah ibu, mungkin karena yolk sac dan janin lebih kecil dari biasanya.
Estriol adalah hormon yang dihasilkan oleh plasenta, menggunakan bahan yang
dibuat oleh hati janin dan kelenjar adrenal. estriol berkurang dalam sindrom Down
kehamilan.
Human chorionic gonadotropin hormon yang dihasilkan oleh plasenta, dan
digunakan untuk menguji adanya kehamilan. bagian yang lebih kecil tertentu dari
hormon, yang disebut subunit beta, adalah sindrom Down meningkat pada
kehamilan.
Inhibin A adalah protein yang disekresi oleh ovarium, dan dirancang untuk
menghambat produksi hormon FSH oleh kelenjar hipofisis. Tingkat inhibin A
meningkat dalam darah ibu dari janin dengan Down syndrome.
PAPP-A , yang dihasilkan oleh selubung telur yang baru dibuahi. Pada trimester
pertama, rendahnya tingkat protein ini terlihat dalam sindrom Down kehamilan.
Pertimbangan yang sangat penting dalam tes skrining adalah usia janin (usia
kehamilan). Analisis yang benar komponen yang berbeda tergantung pada usia
kehamilan mengetahui dengan tepat. Cara terbaik untuk menentukan bahwa adalah
dengan USG.
Ada beberapa item lain yang dapat ditemukan selama pemeriksaan USG bahwa
beberapa peneliti telah merasa bahwa mungkin memiliki hubungan yang bermakna
dengan sindrom Down. Temuan ini dapat dilihat dalam janin normal, tetapi beberapa
dokter kandungan percaya bahwa kehadiran mereka meningkatkan risiko janin
mengalami sindrom Down atau abnormalitas kromosom lain. echogenic pada usus,
echogenic intracardiac fokus, dan dilitation ginjal (pyelctasis). Marker ini sebagai
tanda sindrom Down masih kontroversial, dan orang tua harus diingat bahwa setiap
penanda dapat juga ditemukan dalam persentase kecil janin normal. Penanda yang
lebih spesifik yang sedang diselidiki adalah pengukuran dari hidung janin; janin
dengan Down syndrome tampaknya memiliki hidung lebih kecil USG dari janin tanpa
kelainan kromosom. masih belum ada teknik standar untuk mengukur tulang hidung
dan dianggap benar-benar dalam penelitian saat ini.
Penting untuk diingat bahwa meskipun kombinasi terbaik dari temuan USG dan
variabel lain hanya prediksi dan tidak diagnostik. Untuk benar diagnosis, kromosom
janin harus diperiksa.
2.5.3 Amniosentesis
Prosedur ini digunakan untuk mengambil cairan ketuban, cairan yang ada di
rahim. Ini dilakukan di tempat praktek dokter atau di rumah sakit. Sebuah jarum
dimasukkan melalui dinding perut ibu ke dalam rahim, menggunakan USG untuk
memandu jarum. Sekitar satu cairan diambil untuk pengujian. Cairan ini mengandung
sel-sel janin yang dapat diperiksa untuk tes kromosom. Dibutuhkan sekitar 2 minggu
untuk menentukan apakah janin sindrom Down atau tidak.
Rekomendasi saat ini wanita dengan risiko memiliki anak dengan sindrom
Down dari 1 dalam 250 atau lebih besar harus ditawarkan amniosentesis. Ada
kontroversi mengenai apakah akan menggunakan risiko pada saat penyaringan atau
perkiraan resiko pada saat kelahiran. (Risiko pada saat skrining lebih tinggi karena
banyak janin dengan Down syndrome membatalkan secara spontan sekitar waktu
penyaringan atau sesudahnya.
Dalam prosedur ini, bukan cairan ketuban yang diambil, jumlah kecil jaringan
diambil dari plasenta muda (juga disebut lapisan chorionic). Sel-sel ini berisi
kromosom janin yang dapat diuji untuk sindrom Down. Sel dapat dikumpulkan dengan
cara yang sama seperti amniosentesis, tetapi metode lain untuk memasukkan sebuah
tabung ke dalam rahim melalui vagina.
2.6 Patofisiologi
Kromosom 21 yang lebih akan memberi efek ke semua sistem organ dan
menyebabkan perubahan sekuensi spektrum fenotip. Hal ini dapat menyebabkan
komplikasi yang mengancam nyawa, dan perubahan proses hidup yang signifikan
secara klinis. Sindrom Down akan menurunkan survival prenatal dan meningkatkan
morbiditas prenatal dan postnatal. Anak anak yang terkena biasanya mengalami
keterlambatan pertumbuhan fisik, maturasi, pertumbuhan tulang dan pertumbuhan gigi
yang lambat.
Lokus 21q22.3 pada proksimal lebihan kromosom 21 memberikan tampilan fisik
yang tipikal seperti retardasi mental, struktur fasial yang khas, anomali pada
ekstremitas atas, dan penyakit jantung kongenital. Hasil analisis molekular
menunjukkan regio 21q.22.1-q22.3 pada kromosom 21 bertanggungjawab
menimbulkan penyakit jantung kongenital pada penderita sindrom Down. Sementara
gen yang baru dikenal, yaitu DSCR1 yang diidentifikasi pada regio 21q22.1-q22.2,
adalah sangat terekspresi pada otak dan jantung dan menjadi penyebab utama retardasi
mental dan defek jantung (Mayo Clinic Internal Medicine Review, 2008).
Abnormalitas fungsi fisiologis dapat mempengaruhi metabolisme thiroid dan
malabsorpsi intestinal. Infeksi yang sering terjadi dikatakan akibat dari respons sistem
imun yang lemah, dan meningkatnya insidensi terjadi kondisi aotuimun, termasuk
hipothiroidism dan juga penyakit Hashimoto.
Penderita dengan sindrom Down sering kali menderita hipersensitivitas terhadap
proses fisiologis tubuh, seperti hipersensitivitas terhadap pilocarpine dan respons lain
yang abnormal. Sebagai contoh, anak anak dengan sindrom Down yang menderita
leukemia sangat sensitif terhadap methotrexate. Menurunnya buffer proses metabolik
menjadi faktor predisposisi terjadinya hiperurisemia dan meningkatnya resistensi
terhadap insulin. Ini adalah penyebab peningkatan kasus Diabetes Mellitus pada
penderita Sindrom Down (Cincinnati Children's Hospital Medical Center, 2006).
Anak anak yang menderita sindrom Down lebih rentan menderitaleukemia,
seperti Transient Myeloproliferative Disorder dan Acute Megakaryocytic Leukemia.
Hampir keseluruhan anak yang menderita sindrom Down yang mendapat leukemia
terjadi akibat mutasi hematopoietic transcription factor gene yaitu GATA1. Leukemia
pada anak anak dengan sindrom Down terjadi akibat mutasi yaitu trisomi 21, mutasi
GATA1, dan mutasi ketiga yang berupa proses perubahan genetik yang belum
diketahui pasti (Lange BJ,1998).
2.7 Mortalitas/Morbiditas
Diperkirakan sekitar 75% kehamilan dengan trisomi 21 tidak akan bertahan.
Sekitar 85% bayi dapat hidup sampai umur satu tahun dan 50% dapat hidup sehingga
berusia lebih dari 50 tahun. Penyakit jantung kongenital sering menjadi faktor yang
menentukan usia penderita sindrom Down. Selain itu, penyakit seperti Atresia
Esofagus dengan atau tanpa fistula transesofageal, Hirschsprung disease, atresia
duodenal dan leukemia akan meningkatkan mortalitas (William, 2002).
Selain itu, penderita sindrom Down mempunyai tingkat morbiditas yang tinggi
karena mempunyai respons sistem imun yang lemah. Kondisi seperti tonsil yang
membesar dan adenoids, lingual tonsils, choanal stenosis, atau glossoptosis dapat
menimbulkan obstruksi pada saluran nafas atas. Obstruksi saluran nafas dapat
menyebabkan Serous Otitis Media, Alveolar Hypoventilation, Arterial Hypoxemia,
Cerebral Hypoxia, dan Hipertensi Arteri Pulmonal yang disertai dengan cor
pulmonale dan gagal jantung (Cincinnati Children's Hospital Medical Center, 2006).
Keterlambatan mengidentifikasi atlantoaxial dan atlanto-occipital yang tidak
stabil dapat mengakibatkan kerusakan pada saraf spinal yang irreversibel. Gangguan
pendengaran, visus, retardasi mental dan defek yang lain akan menyebabkan
keterbatasan kepada anak anak dengan sindrom Down dalam meneruskan
kelangsungan hidup. Mereka juga akan menghadapi masalah dalam pembelajaran,
proses membangunkan upaya berbahasa, dan kemampuan interpersonal (Cincinnati
Children's Hospital Medical Center, 2006).
Retardasi mental yang ringan hingga berat dapat terjadi. Intelegent quatio (IQ)
mereka sering berada antara 20 85 dengan rata-rata 50. Hipotonia yang diderita
akan meningkat apabila umur meningkat. Mereka sering mendapat gangguan
artikulasi. (Mao R., 2003).
Penderita sindrom Down mempunyai sikap atau prilaku yang spontan, sikap
ramah, ceria, cermat, sabar dan bertoleransi. Kadang kala mereka akan menunjukkan
perlakuan yang nakal dengan rasa ingin tahu yang tinggi (Nelson, 2003)
Infantile spasms adalah yang paling sering dilaporkan terjadi pada anak anak
sindrom Down sementara kejang tonik klonik lebih sering didapatkan pada yang
dewasa. Tonus kulit yang jelek, rambut yang cepat beruban dan sering gugur,
hipogonadism, katarak, kurang pendengaran, hal yang berhubungandengan
hipothroidism yang disebabkan faktor usia yang meningkat, kejang, neoplasma,
penyakit vaskular degeneratif, ketidakmampuan dalam melakukan sesuatu, pikun,
dementia dan Alzheimer dilaporkan sering terjadi pada penderita sindrom Down.
Semuanya adalah penyakit yang sering terjadi pada orang orang lanjut usia (Am J.,
2009).
Penderita sindrom Down sering menderita Brachycephaly, microcephaly, dahi
yang rata, occipital yang agak lurus, fontanela yang besar dengan perlekatan tulang
tengkorak yang lambat, sutura metopik, tidak mempunyai sinus frontal dan sphenoid
serta hipoplasia pada sinus maksilaris (John A. 2000).
Mata pasien sindrom Down bentuknya seperti tertarik ke atas (upslanting)
karena fissura palpebra yang tidak sempurna, terdapatnya lipatan epicanthal, titik
titik Brushfield, kesalahan refraksi sehingga 50%, strabismus (44%), nistagmus
(20%), blepharitis (33%), conjunctivitis, ruptur kanal nasolacrimal, katarak
kongenital, pseudopapil edema, spasma nutans dan keratoconus (Schlote, 2006).
Pasien sindrom Down mempunyai hidung yang rata, disebabkan hipoplasi tulang
hidung dan jembatan hidung yang rata (Schlote, 2006).
Apabila mulut dibuka, lidah mereka cenderung menonjol, lidah yang kecil dan
mempunyai lekuk yang dalam, pernafasan yang disertai dengan air liur, bibir bawah
yang merekah, angular cheilitis, anodontia parsial, gigi yang tidak terbentuk dengan
sempurna, pertumbuhan gigi yang lambat, mikrodontia pada gigi primer dan
sekunder, maloklusi gigi serta kerusakan periodontal yang jelas (Selikowitz, Mark.,
1997).
Pasien sindrom Down mempunyai telinga yang kecil dan heliks yang berlipat.
Otitis media yang kronis dan kehilangan pendengaran sering ditemukan. Kira kira
6080% anak penderita sindrom Down mengalami kemerosotan 15 20 dB pada
satu telinga (William W. Hay Jr, 2002).
Gambar 2.4 Penampakan Fisik Penderita Sindrom Down
Gambar 2.5 Tanda dan Gejala Pada Anak Dengan Sindrom Down
2.8.2 Hematologi
Anak penderita sindrom Down mempunyai risiko tinggi mendapat Leukemia,
termasuklah Leukemia Limfoblastik Akut dan Leukemia Myeloid. Diperkirakan 10%
bayi yang lahir dengan sindrom Down akan mendapat klon preleukemic, yang
berasal dari progenitor myeloid pada hati yang mempunyai karekter mutasi pada
GATA1, yang terlokalisir pada kromosom X. Mutasi pada faktor transkripsi ini
dirujuk sebagai TransientLeukemia, Transient Myeloproliferative Disease (TMD),
atau Transient Abnormal Myelopoiesis (TAM) (Lanzkowsky, 2005).
2.9 Pencegahan
Pencegahan yang dapat dilakukan untuk menghindari anak dengan Sindrom
Down:
1. Konseling Genetik maupun amniosentesis pada kehamilan yang dicurigai akan
sangat membantu mengurangi angka kejadian Sindrom Down.
2. Dengan Biologi Molekuler, misalnya dengan gene targeting atau yang dikenal
juga sebagai homologous recombination sebuah gen dapat dinonaktifkan.
3. Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan kromosom melalui
amniocentesis bagi para ibu hamil terutama pada bulan-bulan awal kehamilan.
Terlebih lagi ibu hamil yang pernah mempunyai anak dengan sindrom down atau
mereka yang hamil di atas usia 40 tahun harus dengan hati-hati memantau
perkembangan janinnya karena mereka memiliki risiko melahirkan anak dengan
sindrom down lebih tinggi. Sindrom down tidak bisa dicegah, karena DS
merupakan kelainan yang disebabkan oleh kelainan jumlah kromosom. Jumlsh
kromosm 21 yang harusnya cuma 2 menjadi 3. Penyebabnya masih tidak diketahui
pasti, yang dapat disimpulkan sampai saat ini adalah makin tua usia ibu makin
tinggi risiko untuk terjadinya DS.Diagnosis dalam kandungan bisa dilakukan,
diagnosis pasti dengan analisis kromosom dengan cara pengambilan CVS
(mengambil sedikit bagian janin pada plasenta) pada kehamilan 10-12 minggu) atau
amniosentesis (pengambilan air ketuban) pada kehamilan 14-16 minggu.
2.10 Penatalaksanaan
Sampai saat ini belum ditemukan metode pengobatan yang paling efektif untuk
mengatasi kelainan ini. Pada tahap perkembangannya penderita Down syndrom juga
dapat mengalami kemunduran dari sistim penglihatan, pendengaran maupun
kemampuan fisiknya mengingat tonus otot-otot yang lemah. Dengan demikian
penderita harus mendapatkan dukungan maupun informasi yang cukup serta
kemudahan dalam menggunakan sarana atau fasilitas yang sesuai berkaitan dengan
kemunduran perkembangan baik fisik maupun mentalnya.
Walaupun secara jumlah meningkat, namun penderita down syndrome lebih
banyak yang berprestasi dan hidup lebih lama dibanding orang dengan kehidupan
yang lebih berkecukupan. Dengan kata lain, harapan hidup dan mutu kehidupan para
penderitadown syndrome jauh meningkat beberapa tahun terakini. Perbaikan kualitas
hidup pengidap down sindrom dapat terjadi berkat perawatan kesehatan, pendekatan
pengajaran, serta penanganan yang efektif.
3.1 Kesimpulan
Sindrom Down adalah suatu kelainan genetik yang disebabkan karena
terjadinya trisomi kromosom 21 yang angka kejadiannya adalah 1: 800 kelahiran.
Hal ini mengkibatkan berubahnya keseimbangan genetik tubuh serta perubahan
karakteristik fisik dan kemampuan intelektual, serta gangguan dalam fungsi fungsi
fisiologi tubuh. Gangguan yang ada meliputi kelainan pada fisik, mental,
hematologi, jantung, immunologi, gastrointestinal, endokrin, dan psikologis.
Salah satu faktor risiko terjadinya sindrom Down adalah usia ibu hamil yang
terlalu tua (diatas 40 tahun) sehingga kualitas oocyte menurun sehingga proses
fertilisasi dan pembelahan mengalami kelainan. Kelainan tersebut dapat dicegah
dengan melakukan skrining pada ibu hamil.
Diperkirakan sekitar 75% kehamilan dengan trisomi 21 tidak akan bertahan.
Sekitar 85% bayi dapat hidup sampai umur satu tahun dan 50% dapat hidup
sehingga berusia lebih dari 50 tahun. Morbiditas dan mortalitas penderita sindrom
Down tergantung pada berat ringannya gejala yang ditemukan, begitu pula dengan
penatalaksanaan terapi pada penderita sindrom Down tergantung pada jenis
kelainan yang ditemukan serta berat ringannya.
3.2 Saran
3.2.1 Saran Teoritis
Makalah ini berisi tinjauan pustaka mengenai sindrom Down yang perlu
dilengkapi dengan contoh kasus nyata serta asuhan yang diberikan kepada penderita
sindrom Down sehingga dapat melengkapi sebagai wawasan dalam memberikan
asuhan pada penderita sindrom Down sesuai dengan kebutuhan mereka.
3.2.2 Saran Praktis
Makalah ini memberikan wawasan mengenai sindrom Down, sehingga bagi
pembaca perlu memahami faktor resiko serta pencegahan yang dapat dilakukan
pada sindrom Down sehingga dapat mencegah kelahiran anak dengan sindrom
Down tersebut untuk menghasilkan generasi penerus bangsa yang berkualitas
dalam segi sumber daya manusia (SDM).
DAFTAR PUSTAKA
Asokan S, Muthu MS, Sivakumar N. Dental caries prevalence and treatment needs of Down
syndrome children in Chennai, India. Indian J Dent Res 2008; 19(3): 224-9.
Desai SS. Down syndrome: a review of the literature. Oral Surg, Oral Med, Oral Radiol, Oral
Pathol and Endodontics 1997; 84(3): 279-85.
Palupi J. Down syndrome dan terapi gen. <http://www.fk.unair.ac.id/> (30 Maret 2012).
McDonald RE, Avery DR, Dean JA. Dentistry for the child and adolescent. 9 thed. China:
Mosby Elsevier, 2011: 186, 471-4.
Ali I. Status kesehatan gigi dan mulut anak sindroma down dan non sindroma down kajian
pada anak yang berkunjung di klinik khusus tumbuh kembang Rumah Sakit Anak dan
Bersalin Harapan Kita. Tesis. Jakarta: Universitas Indonesia.
<http://lontar.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=78525&lokasi=lokal > (Abstrak).
Wijaya S. Prevalensi karies gigi dan relasi gigi anterior pada anak sindroma Down di kota
Makassar. http://repository.unhas.ac.id/handle/123456789/1886. UNHAS Repository
2012 (Abstrak).
Khan R, Abdallah I, Antony VV. Down syndrome : a case report. Orthodontic Cyber J 2009: 1-
11.
Barlow K, Stewart. Trisomy 21-Down Syndrome. 8 thed. The Australasian Genetics Res Book
2007: 1-3.
Lubis WH, Sitepu MOH. Prinsip penanggulangan gigi dan mulut penderita sindroma down.
Dentika Dent J 2006; 11(1): 62-5.
Children grow up clinic. Down syndrome: Deteksi dini, pencegahan dan penatalaksanaan
sindrom down <http://childrengrowup.wordpress.com/2012 /02/06/deteksi-dini-
pencegahan-dan penatalaksanaan-sindrom-down/ > (6 Februari 2012).
Cheng RHW, Yiu CKY, Leung WK. Oral health in individuals with down syndrome. China:
Faculty of Dentistry University of Hong Kong 2000: 59-75.
Pintauli S, Hamada T. Menuju gigi & mulut sehat pencegahan dan pemeliharaan. Medan: USU
Press, 2008: 4-18.
Al-Khadra T. Prevalence of dental caries and oral hygiene status among Downs Syndrome
patients in Riyadh-Saudi Arabia. Pakistan Oral & Dent J 2011; 31(1): 113-5.
Putri CF. Hubungan antara komposisi saliva dan karies gigi pada kelompok anak-anak sindrom
down Mesir. Programstudi kedokteran gigi universitas sriwijaya, 2011.
Ehrlich A. Nutrition and dental health. Delmar Publisher Inc, 1982: 163-70, 181-95.
Pilcher ES. Dental care for the patient with down syndrome. Down Syndrome Research and
Practice 1998; 5(3): 111-6.
Suwelo. Karies gigi pada anak dengan pelbagai faktor etiologi. Jakarta: EKG, 1986: 28-30.
Angela A. Pencegahan primer pada anak yang berisiko karies tinggi. Dent J 2005; 38 (3): 130-
4.
Suyuti M. Hubungan faktor sosial ekonomi, perilaku dan oral hygiene terhadap karies gigi
pada anak usia remaja umur 15-16 tahun di SMA negeri 1 Galesong Utara. Media
kesehatan gigi; 2010: 32-42.
Triandini, Lukman M, Susanti RD. Gambaran faktor-faktor yang berkontribusi terhadap intensi
ibu merawat kesehatan gigi dan mulut anak Down Syndrome di SLB-C kota Bandung.
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadjaran: 1-15.
Jain M, Mathur A, Sawla L, et al. Oral health status of mentally disabled subjects in India.
Journal of Oral Science 2009; 51(3) 333-40.