I. PENDAHULUAN
Farmasi didefinisikan sebagai profesi yang menyangkut seni dan ilmu penyediaan bahan
obat, dari sumber alam atau sintetik yang sesuai, untuk disalurkan dan digunakan pada
pengobatan dan pencegahan penyakit. Farmasi mencakup pengetahuan mengenai identifikasi,
pemilahan (selection), aksi farmakologis, pengawetan, penggabungan, analisis, dan pembakuan
bahan obat (drugs) dan sediaan obat (medicine). Pengetahuan kefarmasian mencakup pula
penyaluran dan penggunaan obat yang sesuai dan aman, baik melalui resep (prsecription) dokter
berizin, dokter gigi, dan dokter hewan, maupun melalui cara lain yang sah, misalnya dengan cara
menyalurkan atau menjual langsung kepada pemakai [4].
Kata farmasi diturunkan dari bahasa Yunani pharmakon, yang berarti cantik atau elok,
yang kemudian berubah artinya menjadi racun, dan selanjutnya berubah lagi menjadi obat atau
bahan obat. Oleh karena itu seorang ahli farmasi (Pharmacist) ialah orang yang paling
mengetahui hal ihwal obat. Ia satu-satunya ahli mengenai obat, karena pengetahuan keahlian
mengenai obat memerlukan pengetahuan yang mendalam mengenai semua aspek kefarmasian
seperti yang tercantum pada definisi di atas.
Bagian I tulisan ini membicarakan ruang lingkup farmasi, termasuk perkembangan
orientasi farmasi; sejarah farmasi, farmasi sebagai ilmu dan profesi, karir dan pekerjaan Farmasis,
dan pendidikan farmasi. Perkembangan farmasi suatu negara tercermin dalam kurikulum
pendidikan tingginya, karena kurikulum pendidikan merupakan gambaran kebutuhan masyarakat
akan jenis kemampuan dan keterampilan dalam bidang keahlian tertentu. Oleh karena itu sebagai
perbandingan dibicarakan pula pendidikan Farmasis pada beberapa perguruan tinggi diluar
negeri.
Mengikuti perkembangan zaman, telah terjadi pula perubahan penekanan pada pengertian dan
orientasi farmasi. Pada awalnya profesi farmasi itu dikatakan merupakan seni (arts) dan
pengetahuan (science). Hal ini dapat dilihat pada buku teks yang digunakan di perguruan tinggi
farmasi pada awal pertengahan abad ke-20, yang antara lain berjudul Scovilles The Art of
Compounding (Seni Meracik Obat), dan Recepteerkunde (Ilmu Resep) karangan van Duin,
dan van der Wielen. Definisi obat menurut Undang-Undang No. 7 Tahun 1960 tentang Farmasi :
Definisi ini lebih menekankan sumber atau asal diperolehnya obat. Perkembangan farmasi
setelah itu berorientasi pada teknologi seperti tergambar oleh buku teks yang populer pada saat
itu, dan masih digunakan sampai sekarang : Pharmaceutical Technology oleh Lachman. Dalam
Kebijaksanaan Obat Nasional (KONAS, 1980) : obat ialah bahan atau paduan bahan yang
digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka
penetapan diagnosa, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi.
Tidak dapat disangkal bahwa sistem pengetahuan farmasi, karena penerapannya untuk
tujuan kesehatan, merupakan bagian yang berarti secara kuantitatif maupun secara kualitatif
dalam setiap upaya kesehatan.
Sejak dahulu nenek moyang bangsa Indonesia telah mengenal penggunaan obat tradisional
(jamu) dan pengobatan secara tradisional (dukun). Pada zaman itu sebenarnya dukun
melaksanakan dua profesi sekaligus, yaitu profesi kedokteran, (mendiagnose penyakit) dan
profesi kefarmasian (meramu dan menyerahkan obat kepada yang membutuhkannya).
Penggunaan obat dapat ditelusuri sejak tahun 2000 S.M. pada zaman kebudayaan Mesir dan
Babilonia telah dikenal obat dalam bentuk tablet tanah liat (granul), dan bentuk sediaan obat lain.
Saat itu juga sudah dikenal ratusan jenis bahan alam yang digunakan sebagai obat.Pengetahuan
tentang obat dan pengobatan selanjutnya berkembang lebih rasional pada zaman Yunani, ketika
Hippocrates (460 S.M.) memperkenalkan metode dasar ilmiah dalam pengobatan. Dalam zaman
Yunani itu dikenal pula Asklepios atau Aesculapius (7 S.M.) dan puterinya Hygeia. Lambang
Semua ilmu adalah pengetahuan, tetapi tidak semua pengetahuan dapat disebut ilmu.
Manusia mempunyai perasaan, pikiran, pengalaman, panca indera, intuisi, dan mampu
menangkap gejala alam lalu mengabstraksikannya dalam bentuk ketahuan atau pengetahuan;
misalnya kebiasaan, akal sehat, seni, sejarah dan filsafat. Apa yang diperoleh dalam proses
mengetahui itu dilakukan tanpa memperhatikan obyek, cara (ways of knowing) dan
kegunaannya, maka ini dikategorikan dalam ketahuan atau pengetahuan, dalam bahasa
Inggris disebut knowledge. Ilmu atau Science ialah pengetahuan yang diperoleh melalui
metode ilmiah, yaitu suatu cara yang menggunakan syarat-syarat tertentu, melalui
serangkaian langkah yang dilakukan dengan penuh disiplin. [8]
Dari kajian filsafat di atas terlihat bahwa di samping sebagai Ilmu atau Sains, Farmasi
meliputi pula pelayanan obat secara profesional. Istilah Profesi dan Profesional saat ini semakin
dikaburkan karena banyak digunakan secara salah kaprah. Semua pekerjaan (job, vacation,
occupation) dan keahlian (skill) dikategorikan sebagai profesi. Demikian pula istilah profesional
sering digunakan sebagai lawan kata amatir.
Menurut Hughes, E.C. [4] :
Kelompok profesional dapat dibedakan dari yang bukan profesional menurut kriteria berikut :
1. Memiliki Pengetahuan Khusus, yang berhubungan dengan kepentingan sosial. Pengetahuan
khusus ini dipelajari dalam waktu yang cukup lama untuk kepentingan masyarakat umum.
2. Sikap dan Prilaku Profesional. Seorang profesional memiliki seperangkat sikap yang
mempengaruhi prilakunya. Komponen dasar sikap ini ialah mendahulukan kepentingan orang
lain (altruisme) di atas kepentingan diri sendiri. Menurut Marshall, seorang profesional bukan
bekerja untuk dibayar, tetapi ia dibayar agar supaya ia dapat bekerja.
3. Sanksi Sosial. Pengakuan atas suatu profesi tergantung pada masyarakat untuk menerimanya.
Bentuk penerimaan masyarakat ini ialah dengan pemberian hak atau lisensi (lincense) oleh
negara untuk melaksanakan praktek suatu profesi. Lisensi ini dimaksudkan untuk menghindarkan
masyarakat dari oknum yang tidak berkompetensi untuk melakukan praktek profesional.
Apabila kriteria di atas diperinci lebih lanjut maka diperoleh sikap dan sifat sebagai
berikut :
1. Profesi itu sendiri yang menentukan standar pendidikan dan pelatihannya.
2. Mahasiswa yang mengikuti pendidikan profesi tertentu harus memperoleh pengalaman
sosialisasi menuju kedewasaan yang lebih intensif dibanding mahasiswa pada bidang
pekerjaan lain.
3. Praktek profesional secara legal (menurut hukum) diakui dengan pemberian lisensi.
4. Pemberian lisensi dan dewan penilai dikendalikan oleh anggota profesi.
5. Umumnya peraturan yang berkaitan dengan profesi dibentuk dan dirumuskan oleh profesi
itu sendiri.
6. Okupasi ini akan berkembang dari segi pendapatannya, kekuasaan, dan tingkat prestise,
sehingga dapat menetapkan persyaratan yang lebih tinggi bagi calon mahasiswanya.
7. Praktisi profesi secara relatif tidak dievaluasi dan dikontrol oleh orang awam.
8. Norma-norma praktek yang dikeluarkan profesi itu lebih mengikat dibanding kontrol legal.
9. Anggota profesi sangat erat terikat dan terafiliasi dengan profesinya dibanding dengan
anggota okupasi lain.
10. Profesi ini biasanya merupakan terminal, dalam arti tidak ada yang akan beralih ke profesi
lain. [7]
Perhatian utama para dokter, dokter gigi dan dokter hewan yang menulis resep ialah pada
efek obat pada penderita, nilai terapetika, dan toksiologinya. Para perawat bertugas untuk
memberikan obat, tanggap terhadap bentuk sediaan obat, dan terhadap manifestasi toksisnya.
Maka ahli Farmasi (Farmasis) itulah satu-satunya ahli mengenai obat. Ia diberikan tanggung
jawab legal untuk menangani obat dan pengetahuan segala sesuatu mengenai obat itu adalah
tanggung jawab profesinya. Tidak ada program studi lain selain Farmasi yang memberikan dasar-
dasar pengetahuan lengkap mengenai segala sesuatu yang perlu diketahui tentang obat. Jadi
hanya seorang Farmasis yang mempunya kompetensi keahlian obat secara lengkap.
Industri Farmasi
Farmasis di industri farmasi terlibat pula dalam fungsi pemasaran produk, riset dan
pengembangan produk, pengendalian kualitas, produksi dan administrasi atau manajemen. Fungsi
perwakilan pelayanan medis (medical service representative) atau detailman yang bertugas dan
langsung berhubungan dengan Dokter dan Apoteker untuk memperkenalkan produk yang
dihasilkan industri farmasi mungkin juga dijabat seorang Farmasis atau tenaga ahli lain. Namun
paling ideal apabila fungsi itu dipegang seorang Farmasis atau tenaga ahli lain. Namun paling
ideal apabila fungsi itu dipegang seorang Farmasis karena latar belakang pengetahuannya. Saat
ini memang tidak banyak Farmasis yang mengisi jabatan ini karena jumlahnya belum mencukupi,
dan lebih dibutuhkan di tempat pengabdian profesi yang lain. Peningkatan karir jabatan ini dapat
mencapai tingkat supervisor dalam pemasaran produk, dan direktur pemasaran produk dalam
organisasi industri farmasi.
Pada unit produksi dan pengendalian kualitas (quality control) industri dipersyaratkan
seorang Apoteker. Untuk bidang riset dan pengembangan (R & D = Research and Development)
biasanya diperlukan lulusan pendidikan pascasarjana, meskipun bukan merupakan persyaratan.
Instansi Pemerintah
Departemen Kesehatan adalah instansi pemerintah yang paling banyak menyerap tenaga
Farmasis, terutama Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Minuman (DitJen POM) dan
jajaran Pusat Pemeriksaan Obat (PPOM) dan Balai Pemeriksaan Obat dan Makanan (Balai POM)
di daerah. Demikian pula Bidang Pengendalian Farmasi dan Makanan pada setiap Kantor
Wilayah Dep.Kes dan jajaran Dinas Kesehatan sampai ke Daerah Tingkat II dan Gudang
8 Bagian 1 RUANG LINGKUP FARMASI
Farmasi. Fungsi utama Farmasis pada instansi pemerintah ialah administrastif, pemeriksaan,
bimbingan dan pengendalian. Sejak tahun 2000, telah terjadi perubahan struktur, Direktorat
Jendral POM tidak lagi bernaung di bawah Departemen Kesehatan, tetapi menjadi Badan POM
yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden RI. Demikian pula struktur Balai (besar,kecil)
POM di daerah tingkat I, yang langsung berada di bawah Badan POM, tidak berada di dalam
Dinas Kesehatan Propinsi. Departemen HANKAM, juga memerlukan Farmasis yang terutama
berfungsi pada bagian logistik dan penyaluran obat dan alat kesehatan. Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan merekrut Farmasis untuk jabatan dosen di perguruan tinggi. Sesuai Tri Dharma
Perguruan Tinggi, maka fungsi seorang Farmasis ialah dalam bidang pendidikan dan pengajaran,
penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Persyaratan untuk diterima menjadi dosen akan
ditingkatkan menjadi lulusan Pascasarjana, atau mempunyai Sertifikat Mengajar Program
PEKERTI/AA (Pengembangan Keterampilan Dasar Teknik Instruksional/Applied Approach),
yaitu program penataran dosen dalam aktivitas instruksional atau proses belajar mengajar.
Sebagai tenaga kesehatan, seorang Farmasis atau Apoteker diwajibkan untuk mengabdi
pada negara selama 3 tahun setelah lulus ujian Apoteker sebelum dapat berpraktek swasta
perorangan. Wajib kerja sarjana ini dikenal sebagai Masa Bakti Apoteker (MBA) yang dapat
dilaksanakan pada instansi pemerintah seperti tersebut di atas atau penugasan khusus dari Kepala
Kantor Wilayah Departemen Kesehatan sebagai wakil Menteri Kesehatan di daerah. Dengan
dihapuskannya Kantor Wilayah, tugas ini diambil alih Kepala Dinas Kesehatan Propinsi.
Profesi ini mulai berkembang di luar negeri bagi Farmasis yang memperoleh latihan khusus
dalam kewartawanan dan mempunyai bakat menulis dan mengedit. Pekerjaan ini diperlukan oleh
instansi pemerintah atau industri farmasi untuk publikasi, mengedit atau menulis tulisan yang
berlatar belakang kefarmasian.
Manajemen Perusahaan
Khususnya instansi swasta banyak memerlukan tenaga ahli berlatar belakang kefarmasian
dengan berkembangnya organisasi pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Untuk ini diperlukan
pendidikan tambahan, misalnya Magister Manajemen (MBA = Master of Business
Administration).
Perkembangan pendidikan tinggi kefarmasian di Indonesia dapat dibagi dalam era pra
Perang Dunia II, Zaman Pendudukan Jepang dan pasca Proklamasi Kemerdekaan R.I. Sebelum
Perang Dunia II, selama penjajahan Belanda hanya terdapat beberapa Apoteker yang berasal dari
Denmark, Austria, Jerman dan Belanda. Tenaga kefarmasian yang dididik di Indonesia hanya
setingkat Asisten Apoteker (AA), yang mulai dihasilkan tahun 1906. Pelaksanaan pendidikan
A.A. ini dilakukan secara magang ada Apotik yang ada Apotekernya dan setelah periode tertentu
seorang calon menjalani ujian negara. Pada tahun 1918 dibuka sekolah Asisten Apoteker yang
pertama dengan penerimaan murid lulusan MULO Bagian B (Setingkat SMP). Pada tahun 1937
jumlah Apotik di seluruh Indonesia hanya 37. Pada awal Perang Dunia ke-2 (1941) banyak
Apoteker warga negara asing meninggalkan Indonesia sehingga terdapat kekosongan Apotik.
Untuk mengisi kekosongan itu diberi izin kepada dokter untuk mengisi jabatan di Apotik, juga
diberi izin kepada dokter untuk membuka Apotik-Dokter (Dokters-Apotheek) di daerah yang
belum ada Apotiknya.
Pada zaman pendudukan Jepang mulai dirintis pendidikan tinggi Farmasi dengan nama
Yukagaku sebagai bagian dari Jakarta Ika Daigaku. Pada tahun 1944 Yakugaku diubah menjadi
Yaku Daigaku. Pada tahun 1946 dibuka Perguruan Tinggi Ahli Obat di Klaten yang kemudian
pindah dan berubah menjadi Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta. Tahun
1947 diresmikan Jurusan Farmasi di Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Ilmu Alam (FIPIA),
Sejak 1991 telah dirintis pembukaan pendidikan tenaga farmasi ahli madya dalam bentuk
Program Diploma (D-III) oleh Departemen Kesehatan, yaitu Program Studi Analis Farmasi.
Kebutuhan ini merupakan konsekuensi perkembangan di bidang kesehatan yang semakin
memerluka tenaga ahli, baik dalam jumlah maupun kualitas, dan semakin memerlukan
diversifikasi tenaga keahlian. Tujuan utama program studi ini ialah menghasilkan tenaga ahli
madya farmasi yang berkompetensi untuk pelaksanaan pekerjaan di bidang pengendalian kualitas
(quality control). Adapun peranan yang diharapkan dari lulusan program Studi Analis Farmasi
ialah: Melaksanakan analisis farmasi dalam laboratorium: obat, obat tradisional, kosmetika,
makanan-minuman, bahan berbahaya dan alat kesehatan; di industri farmasi, instalasi farmasi
rumah sakit, instansi pengawasan mutu obat dan makanan-minuman atau laboratorium
sejenisnya, di sektor pemerintah maupun swasta, dengan fungsi :
Pelaksanaan analisis, pengujian mutu, pengembangan metode analisis dan peserta aktif dalam
pendidikan dan penelitian di bidang analisis farmasi.
Kurikulum Inti Bidang Farmasi merupakan hasil rumusan Konsorsium Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam, DepDikBud pada tahun 1980 yang diberlakukan tahun 1983 dengan SK
DirJenDikTi. Kurikulum Inti (1983) dapat dilihat pada Tabel berikut menurut pengelompokan
mata kuliah dan sebaran SKS :
Kurikulum Inti Di luar Kurikulum Inti
Kelompok Jumlah SKS
(SKS) (SKS)
Mata kuliah Dasar Umum 6 8 - 10 14 - 16
(MKDU)
Mata Kuliah Dasar 54 11 - 18 65 - 72
Keahlian (MKDK)
Mata Kuliah Keahlian 54 11 - 18 65 - 72
Utama (MKKU)
(Kimia Farmasi 12
Farmasetik 12
Farmakognosi 12
Farmakologi 12
Tugas Akhir 6
Mata kuliah Pilihan(MKP) (termasuk mata kuliah di luar Kurikulum Inti)
114 114 - 160
Catatan :
1. Antara MKDK dan MKDU dibuat berimbang dengan maksud agar supaya mahasiswa lebih
fleksibel untuk mengembangkan diri baik terjun ke masyarakat, maupun melanjutkan ke
program Pascasarjana.
2. Masing-masing MKKU mendapat jumlah SKS yang sama dengan maksud memberi
kesempatan yang seimbang kepada masing-masing bidang untuk berkembang sesuai dengan
situasi dan kondisi masing-masing universitas/institut.
3. MKP dapat diisi dengan mata kuliah dalam bidang studi atau di luar bidang studi untuk
memperluas wawasan, juga dimaksudkan untuk diisi dengan mata kuliah yang sesuai dengan
Pola Ilmiah Pokok masing-masing universitas/institut.
Sejak 1984 telah dibentuk Forum Komunikasi oleh pimpinan pendidikan tinggi Farmasi
Negeri (Dekan atau Ketua Jurusan) yang bertemu sekali setahun sebagai wadah sumbang saran
dalam rangka meningkatkan dan mengembangkan pendidikan. Beberapa kesepakatan penting
antara lain :
1. usaha penyeragaman status pendidikan tinggi Farmasi menjadi Fakultas Farmasi.
2. usaha penyeragaman lulusan Farmasis, khususnya Apoteker dengan menetapkan
kurikulum minimal selain Kurikulum Inti.
3. pelaksanaan ujian negara bagi Perguruan Tinggi Swasta (sekarang ini sudah dihapus)
4. pengembangan program studi baru, misalnya D-III Farmasi, Pascasarjana Farmasi, dan
Spesialis.
FORKOM PTFN beranggotakan 8 perguruan tinggi negeri yang menyelenggarakan pendidik
Farmasi dan Apoteker. Sejak tahun 2000 perkembangan perguruan tinggi swasta semakin pesat
sehingga dibentuk Asosiasi Pendidikan Tinggi Farmasi Indonesia, yang beranggotakan semua
pendidikan tinggi farmasi, negeri dan swasta.
Dalam rangka pembinaan Sistem Pendidikan Nasional, sejak Agustus 1993 oleh
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan diumumkan kebijakan keterkaitan (link) dan
Sejak tahun 1996 di Amerika Serikat hanya ada 1 jalur untuk mencapai profesi Pharmacist,
yaitu Pharmaceutical Doctor yang membutuhkan waktu 6 tahun (2 tahun pre-professional + 4
tahun professional). Di Australia juga akan diseragamkan lama waktu studi Pharmacist (Bachelor
of Pharmacy = B.P.) menjadi (4 + 1) tahun. Di samping program pascasarjana di bidang
penelitian (Master dan Doctor), sama halnya di Indonesia, di Australia juga disediakan program
Graduate Diploma di bidang tertentu (Hospital Pharmacy; Industrial Pharmacy) bagi Farmasis
yang ingin meningkatkan keahliannya, khususnya keterampilan.
Pendidikan tinggi Farmasi di Australia secara khusus mendidik calon Farmasis untuk dapat
bekerja sebagai seorang profesional di masyarakat, berbeda dengan di Indonesia yang mendidik
mahasiswa juga sebagai calon peneliti (ada jalur akademik dan jalur profesi). Yang dapat menjadi
peneliti hanya terbatas pada lulusan yang mencapai Honours Degree (lulusan dengan pujian) agar
dapat melanjutkan ke jenjang Master of Pharmacy atau Doctor of Philosophy. Hal ini
tergambarkan pada Tujuan Pendidikan dan Materi sebagai berikut :
Tujuan Pendidikan
18 Bagian 1 RUANG LINGKUP FARMASI
1. memahami ilmu dasar dan terapan yang cukup, agar dengan bertambahnya pengalaman,
mampu mengintegrasikan dan menerapkan pengetahuannya pada lingkungan profesi praktis.
2. memiliki keterampilan dispensing dan keterampilan lain yang sesuai agar setelah menjalani
magang (1 th.) dapat berpraktek sebagai Farmasis yang kompeten.
3. memperoleh keterampilan berkomunikasi yang cukup untuk berpraktek sebagai Farmasis
yang kompeten dengan bertambahnya pengetahuan.
4. mengembangkan ciri, kualitas dan pandangan pribadi terhadap etika dan standar profesi yang
diperlukan untuk berpraktek sebagai profesional di bidang kesehatan secara bertanggung
jawab.
5. mempunyai komitmen untuk mempertahankan dan mengembangkan pengetahuan dasarnya
dengan cara melanjutkan proses pendidikan selama karirnya.
Materi yang diperlukan untuk pencapaian tujuan di atas yang perlu dikuasai secara mendalam
ialah mengenai :
(a) ciri struktur dan sifat fisiokimia obat sebagai dasar untuk memahami mekanisme molekuler
dari aksi obat; faktor yang mempengaruhi absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi; dan
tentang desain bentuk sediaan.
(b) fisiologi manusia dan farmakologi sebagai dasar untuk pengobatan penyakit; optimasi
pengobatan, menghindari efek samping, kontraindikasi, efek bertentangan dan reaksi toksis.
(c) formulasi dan pembuatan obat menjadi bentuk sediaan yang tepat untuk optimasi kemanfaatn
terapetik.
(d) penyerahan obat kepada penderita (individu) sesuai dengan persyaratan legalitas, terapetik
dan profesional.
(e) peraturan perundang-undangan tentang praktek profesional farmasi.
Pendidikan Tinggi Farmasi (Pharmacist) di Amerika Serikat, sejak tahun 1996 telah
diseragamkan hanya melalui 1 jalur, yaitu Pharmaceutical Doctor yang berlangsung selama 6
tahun. Perubahan kurikulum pendidikan ini disebabkan oleh tuntutan kemampuan profesional
seorang Farmasis di masyarakat yang semakin meningkat dan memerlukan tambahan
pengetahuan, khususnya ilmu-ilmu dasar dan pengetahuan lain di luar kefarmasian, misalnya
pengetahuan mengenai komputer. Pada saat itu, profesi Pharmacist menempati ranking teratas
paling mulia di mata masyarakat. Hal ini disebabkan karena keahlian dan kemampuan profesi
pharmacist seanntiasa dikaji dan dikembangkan agar lebih sesuai dengan kebutuhan (link and
match). Kajian tentang perubahan kurikulum pendidikan pharmacist ini dihasilkan oleh suatu
Satuan Tugas Pendidikan Farmasi (Task Force on Pharmacy Education) yang dibentuk oleh
Ikatan Sarjana Farmasi Amerika Serikat (American Pharmaceutical Association, The National
Professional Society of Pharmacists), yang telah bekerja dalam kurun waktu yang cukup lama.
Salah satu hasil kajian dari Satuan Tugas Pendidikan Farmasi ialah mengenai Standar
Profesi Farmsis (Professional Standards of Practice = SOP) yang rumusan terakhirnya berbunyi
sebagai berikut :
A. Seorang Farmasis hendaknya mampu bertukar pikiran dengan dokter dan praktisi perawatan
kesehatan lain, yang menyangkut perawatan dan perlakuan terhadap pasien, dan senantisa
mempertebal kepercayaan pasien akan perawatannya. Farmasis hendaknya dapat menghargai
esensi diagnosis klinis dan memahami pengelolaan medis untuk pasien. Farmasis hendaknya
memiliki pengetahuan tentang obat yang akan digunakan terhadap pengobatan status sakit
pasien; mekanisme aksinya, bentuk sediaan dan kombinasi obat dalam perdagangan; nasib
20 Bagian 1 RUANG LINGKUP FARMASI
dan disposisi obat; faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kemanfaatan fisiologis dan
aktivitas biologis obat dalam bentuk sediaannya; pengaruh umur, seks atau status sakit
sekunder yang dapat mempengaruhi lancarnya pengobatan; dan kemungkinan interaksi
dengan obat lain, makanan dan prosedur diagnostik yang dapat memodifikasi aktivitas obat.
B. Fungsi keseluruhan Farmasis hendaknya menghasilkan terapi obat secara maksimum.
Farmasis hendaknya memahami penggunaan yang sesuai dan regimen takaran dari terapi obat
yang dilakukan, kontraindikasi dan kemungkinan reaksi tak diinginkan yang diakibatkan oleh
terapi obat. Farmasis hendaknya mempunyai cukup informasi mengenai kemungkinan obat
paten mana yang interaksinya berlawanan dengan terapi atau mungkin berguna sebagai
tambahan dalam memperbaiki pemberian obat atau perawatan secara keseluruhan.
C. Farmasis harus mengetahui aksi terapi obat paten sesuai penegasan (claim) yang
dikemukakan, komposisinya dan keunikan maupun keterbatasan bentuk sediaan tersebut.
Farmasis hendaknya mampu menilai secara obyektif kemampuan suatu produk sesuai
iklannya. Jika diminta oleh pasien, Farmasis hendaknya mampu menegaskan kemungkinan
kegunaan terapetik suatu obat paten sehubungan dengan keluhan pasien.
D. Farmasis hendaknya mampu mereviuw publikasi ilmiah dan mampu mencari implikasi
praktis suatu hasil penelitian yang berkaitan dengan kegunaan klinis suatu obat. Farmasis
harus mampu menganalisis suatu laporan pustaka percobaan klinis mengenai kesesuaian
desain penelitian dan analisis statistik yang dibuat dari data. Farmasis hendaknya mampu
menyiapkan suatu abstrak yang obyektif mengenai kebermaknaan data dan kesimpulan si
penulis.
E. Farmasis hendaknya merupakan seorang spesialis mengenai karakteristik kestabilan dan
persyaratan penyimpanan obat dan bahan obat, mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi
pelepasan obat dari bentuk sediaannya, bagaimana tempat pemberian obat atau lingkungan di
sekitar tempat itu pada tubuh dapat mempengaruhi absopsi obat tertentu dari bentuk sediaan
yang diberikan, dan bagaimana kemungkinannya berinteraksi untuk mempengaruhi aksi awal
(onset), intensitas, atau lamanya (duration) aksi terapetik.
F. Farmasis hendaknya paham benar akan pengaturan legal tentang pengadaan, penyimpanan,
dan distribusi obat. Farmasis hendaknya mengetahui tentang penggunaan obat yang diizinkan
seperti yang terperinci oleh pejabat negara dan daerah, praktek medis yang benar, dan
tanggung jawab legalnya terhadap pasien dalam penggunaan obat pada prosedur terapetik
eksperimental.
G. Farmasis hendaknya mampu, dengan terdapatnya bahan sumber yang sesuai, untuk
merekomendasi produk obat atau bentuk sediaan mana yang mungkin secara potensial
berguna untuk kebutuhan terapetik tertentu, dan Farmasis hendaknya secara obyektif mampu
mendukung pilihan yang diambil. Farmasis hendaknya juga mampu untuk mengidentifikasi
produk obat berdasarkan bentuk dan warna yang dirinci, dan mungkin penggunaannya yang
dianjurkan dengan menggunakan bahan sumber yang sesuai.
H. Farmasis akan tanggap, berdasarkan gejala yang akan diuraikan dalam wawancara dengan
pasien, tentang informasi tambahan yang masih perlu diusahakan diperoleh dari pasien
mengenai kondisi pasien itu. Berdasarkan informasi ini Farmasis hendaknya dapat merujuk
pasien itu kepada praktisi medis yang sesuai, spesialis, atau badan yang paling berkompeten
untuk membantu pasien dalam kasus spesifik. Farmasis hendaknya memperoleh dan
menyimpan kartu data sakit (profil) pasien untuk digunakan dalam melakukan keputusan
farmatesis yang menyangkut perawatan pasien. Melalui pemanfaatan profil demikian dan
materi pembantu yang sesuai, Farmasis hendaknya melaksanakan program reviuw
pemanfaatan obat dalam lingkungan daerah praktek. Farmasis hendaknya memantapkan dan
Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI) pada Kongres Nasional ISFI XV di Semarang, pada
tahun 1966 juga sudah merumuskan Standar Profesi Apoteker dalam Pengabdian Profesi di
Apotik. Hal ini merupakan sebagia materi pada mata kuliah Perundang-undangan dan Etik,
Program Profesi Apoteker.
Kurikulum Pendidikan Farmasi di Amerika Serikat 2002
Sejak 1996 pendidikan profesi Farmasis di Amerika Serikat bergelar Doctor of Pharmacy
( Pharm.D.) berlangsung selama 6 tahun; terbagi atas 2 tahun prasyarat (Prepharmacy) dan 4
tahun magang (residence) untuk program profesional dan pengalaman kerja. Di samping itu
ditawarkan juga program Master of Science (M.S) dan Philosophical Doctor (Ph.D.) dalam
bidang farmasi tertentu, misalnya M.S. in Pharmaceutical Policy and Evaluative Sciences, yang
dapat dilanjutkan ke Program Ph.D. dalam bidang Pharmacoepidemiology, atau Ph.D. dalam
bidang Pharmacoeconomics and Policy. Contoh Kurikulum Pendidikan ialah sebagai berikut :
22 Bagian 1 RUANG LINGKUP FARMASI
A. General College, School of Pharmacy, University of North Carolina at Chapel Hill [11]
Fall Spring
First Professional Year
Community Hospital Externship
Physiology Pharmacology I
Biochemistry I Biochemistry II
Basic Pharmaceutics Basic Pharmaceutics II
Health Care Systems Pharmaceutical Care
Pharm.Care Lab.I Pharm.Care Lab II
Second Professional Year
Community/Hospital Externship
Pharmacology II Pharmacology III
Pharmacotherapy I Pharmacotherapy II
Literature Analysis Pharmacotherapy III
ANS Med. Chem. Pharmacotherapy IV
Pharmacokinetics Applied Pharmacokinetics
Dengan melihat beberapa contoh program pendidikan dan kurikulum di luar negeri,
mahasiswa dapat membandingkannya dengan kurikulum pendidikan di Indonesia. Tidak tertutup
kemungkinan adanya mahasiswa yang akan melanjutkan studinya di luar negeri, sehingga
pengetahuan dasar ini dapat membantu dalam menentukan pilihannya.
DAFTAR PUSTAKA