Pemimpin adalah inti dari manajemen. Ini berarti bahwa manajemen akan tercapai
tujuannya jika ada pemimpin. Menurut Panji Anogara ; seorang pemimpin adalah seseorang
yang aktif membuat rencana-rencana, mengkoordinasi, melakukan percobaan dan memimpin
pekerjaan untuk mencapai tujuan bersama-sama.
4. Daya ingat yang kuat, pemimpin harus mempunyai kemampuan inteletual yang
berada di atas kemampuan rata-rata orang-orang yang dipimpinnya, salah satu bentuk
kemampuan intelektual adalah daya ingat yang kuat.
9. Objektivitas, pemimpin diharapkan dan bahkan dituntut berperan sebagai bapak dan
penasehat bagi para bawahannya. Salah satu kunci keberhasilan seorang pemimpin dalam
mengemudikan organisasi terletak pada kemampuannya bertindak secara objektif.
11. Kemampuan menentukan prioritas, biasanya yang menjadi titik tolak strategi organisasi
adalah SWOT (strengths/kekuatan, weaknesses/kelemahan, opportunities/kesempatan,
dan threats/ancaman).
12. Kemampuan membedakan yang penting.
13. Naluri yang Tepat, kemampuannya untuk memilih waktu yang tepat untuk melakukan
atau tidak melakukan sesuatu.
14. Rasa kohesi yang tinggi ; senasib sepenanggungan, keterikatan satu sama lain.
15. Rasa relevansi yang tinggi, pemimpin tersebut mampu berpikir dan bertindak sehingga
hal-hal yang dikerjakannya mempunyai relevansi tinggi dan langsung dengan usaha
pencapaian tujuan dan berbagai sasaran organisasi.
16. Keteladanan, seseorang yang dinilai pantas dijadikan sebagai panutan dan teladan
dalam sikap, tindak-tanduk dan perilaku.
19. Fleksibilitas, mampu melakukan perubahan dalam cara berpikir, cara bertindak, sikap
dan perilaku agar sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi tertentu yang dihadapi
tanpa mengorbankan prinsip-prinsip hidup yang dianut oleh seseorang.
20. Ketegasan.
21. Keberanian.
22. Orientasi masa depan.
23. Sikap yang antisipatif dan proaktif.
Gaya Kepemimpinan
Banyak studi yang sudah dilakukan untuk melihat gaya kepemimpinan seseorang. Salah
satunya yang terkenal adalah yang dikemukakan oleh Blanchard, yang mengemukakan 4
gaya dari sebuah kepemimpinan. Gaya kepemimpinan ini dipengaruhi oleh bagaimana cara
seorang pemimpin memberikan perintah, dan sisi lain adalah cara mereka membantu
bawahannya. Keempat gaya tersebut adalah :
a. Directing
Gaya tepat apabila kita dihadapkan dengan tugas yang rumit dan staf kita belum memiliki
pengalaman dan motivasi untuk mengerjakan tugas tersebut. Atau apabila anda berada di
bawah tekanan waktu penyelesaian. Kita menjelaskan apa yang perlu dan apa yang harus
dikerjakan. Dalam situasi demikian, biasanya terjadi over-communicating (penjelasan
berlebihan yang dapat menimbulkan kebingungan dan pembuangan waktu). Dalam proses
pengambilan keputusan, pemimpin memberikan aturan aturan dan proses yang detil kepada
bawahan. Pelaksanaan di lapangan harus menyesuaikan dengan detil yang sudah dikerjakan.
b. Coaching
Pemimpin tidak hanya memberikan detil proses dan aturan kepada bawahan tapi juga
menjelaskan mengapa sebuah keputusan itu diambil, mendukung proses perkembangannya,
dan juga menerima barbagai masukan dari bawahan. Gaya yang tepat apabila staf kita telah
lebih termotivasi dan berpengalaman dalam menghadapi suatu tugas. Disini kita perlu
memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengerti tentang tugasnya, dengan
meluangkan waktu membangun hubungan dan komunikasi yang baik dengan mereka.
c. Supporting
Sebuah gaya dimana pemimpin memfasiliasi dan membantu upaya bawahannya dalam
melakukan tugas. Dalam hal ini, pemimpin tidak memberikan arahan secara detail, tetapi
tanggung jawab dan proses pengambilan keputusan dibagi bersama dengan bawahan. Gaya
ini akan berhasil apabila karyawan telah mengenal teknik teknik yang dituntut dan telah
mengembangkan hubungan yang lebih dekat dengan anda. Dalam hal ini kita
perlumeluangkan waktu untuk berbincang bincang, untuk lebih melibatkan mereka dalam
penganbilan keputusan kerja, serta mendengarkan saran saran mereka mengenai
peningkatan kinerja.
d. Delegating
Sebuah gaya dimana seorang pemimpin mendelegasikan seluruh wewenang dan tanggung
jawabnya kepada bawahan. Gaya Delegating akan berjalan baik apabila staf kita sepenuhnya
telah paham dan efisien dalm pekerjaan, sehingga kita dapat melepas mereka menjalankan
tugas atau pekerjaan itu atas kemampuan dan inisiatifnya sendiri.
Keempat gaya ini tentu saja mempunyai kelemahan dan kelebihan, serta sangat tergantung
dari lingkungan di mana seorang pemimpin berada, dan juga kesiapan dari bawahannya.
Maka kemudian timbul apa yang disebut sebagai situational leadership. Situational
leadership mengindikasikan bagaimana seorang pemimpin harus menyesuaikan keadaan dari
orang orang yang dipimpinnya.
Ditengah-tengah dinamika organisasi yang antara lain diindikasikan oleh adanya perilaku staf
/ individu yang berbeda-beda, maka untuk mencapai efektivitas organisasi, penerapan
keempat gaya kepemimpinan diatas perlu disesuaikan dengan tuntutan keadaan. Inilah yang
dimaksud dengan situasional lesdership. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa untuk dapat
mengembangkan gaya kepemimpinan situasional ini, seseorang perlu memiliki tiga
kemampuan khusus yakni :
1) Kemampuan analitis (analytical skills) yakni kemampuan untuk menilai tingkat
pengalaman dan motivasi bawahan dalam melaksanakan tugas.
2) Kemampuan untuk bersikap fleksibel (flexibility atau adaptability skills) yaitu
kemampuan untuk menerapkan gaya kepemimpinan yang paling tepat berdasarkan analisa
terhadap situasi.
3) Kemampuan berkomunikasi (communication skills) yakni kemampuan untuk
menjelaskan kepada bawahan tentang perubahan gaya kepemimpinan yang kita terapkan.
Ketiga kemampuan di atas sangat dibutuhkan bagi seorang pemimpin, sebab seorang
pemimpin harus dapat melaksanakan tiga peran utamanya yakni peran interpersonal, peran
pengolah informasi (information processing), serta peran pengambilan keputusan (decision
making).
Tipe Kepemimpinan
1. Tipe Otokratik
Semua ilmuan yang berusaha memahami segi kepemimpinan otokratik mengatakan bahwa
pemimpin yang tergolong otokratik dipandang sebagai karakteritik yang negatif. Dilihat dari
persepsinya seorang pemimpin yang otokratik adalah seseorang yang sangat egois. Seorang
pemimpin yang otoriter akan menujukan sikap yang menonjolkan keakuannya, antara lain
dalam bentuk :
- Kecenderungan memperlakukan para bawahannya sama dengan alat-alat lain dalam
organisasi, seperti mesin, dan dengan demikian kurang menghargai harkat dan martabat
mereka
- Pengutamaan orientasi terhadap pelaksanaan dan penyelesaian tugas tanpa mengkaitkan
pelaksanaan tugas itu dengan kepentingan dan kebutuhan para bawahannya.
- Pengabaian peranan para bawahan dalam proses pengambilan keputusan.
2. Tipe Paternalistik
Tipe pemimpin paternalistik hanya terdapat di lingkungan masyarakat yang bersifat
tradisional, umumnya di masyarakat agraris. Salah satu ciri utama masyarakat tradisional
ialah rasa hormat yang tinggi yang ditujukan oleh para anggota masyarakat kepada orang tua
atau seseorang yang dituakan. Pemimpin seperti ini kebapakan, sebagai tauladan atau panutan
masyarakat. Biasanya tokoh-tokoh adat, para ulama dan guru. Pemimpin ini mengembangkan
sikap kebersamaan.
3. Tipe Kharismatik
Karakteristik yang khas dari tipe ini yaitu daya tariknya yang sangat memikat sehingga
mampu memperoleh pengikut yang jumlahnya kadang-kadang sangat besar. Tegasnya
seorang pemimpin yang kharismatik adalah seseorang yang dikagumi oleh banyak pengikut
meskipun para pengikut tersebut tidak selalu dapat menjelaskan secara konkret mengapa
orang tersebut dikagumi.
5. Tipe Demokratik
Pemimpin yang demokratik biasanya memperlakukan manusia dengan cara yang manusiawi
dan menjunjung harkat dan martabat manusia. Seorang pemimpin demokratik disegani
bukannya ditakuti.
Oleh karena itu, seorang pemimpin harus dapat menunjukkan energi yang positif, seperti :
a. Percaya pada orang lain
Seorang pemimpin mempercayai orang lain termasuk staf bawahannya, sehingga mereka
mempunyai motivasi dan mempertahankan pekerjaan yang baik. Oleh karena itu,
kepercayaan harus diikuti dengan kepedulian.
b. Keseimbangan dalam kehidupan
Seorang pemimpin harus dapat menyeimbangkan tugasnya. Berorientasi kepada prinsip
kemanusiaan dan keseimbangan diri antara kerja dan olah raga, istirahat dan rekreasi.
Keseimbangan juga berarti seimbang antara kehidupan dunia dan akherat.
c. Melihat kehidupan sebagai tantangan
Kata tantangan sering di interpretasikan negatif. Dalam hal ini tantangan berarti
kemampuan untuk menikmati hidup dan segala konsekuensinya. Sebab kehidupan adalah
suatu tantangan yang dibutuhkan, mempunyai rasa aman yang datang dari dalam diri sendiri.
Rasa aman tergantung pada inisiatif, ketrampilan, kreatifitas, kemauan, keberanian,
dinamisasi dan kebebasan.
d. Sinergi
Orang yang berprinsip senantiasa hidup dalam sinergi dan satu katalis perubahan. Mereka
selalu mengatasi kelemahannya sendiri dan lainnya. Sinergi adalah kerja kelompok dan
memberi keuntungan kedua belah pihak. Menurut The New Brolier Webster International
Dictionary, Sinergi adalah satu kerja kelompok, yang mana memberi hasil lebih efektif dari
pada bekerja secara perorangan. Seorang pemimpin harus dapat bersinergis dengan setiap
orang atasan, staf, teman sekerja.
e. Latihan mengembangkan diri sendiri
Seorang pemimpin harus dapat memperbaharui diri sendiri untuk mencapai keberhasilan
yang tinggi. Jadi dia tidak hanya berorientasi pada proses. Proses daalam mengembangkan
diri terdiri dari beberapa komponen yang berhubungan dengan:
- Pemahaman materi
- Memperluas materi melalui belajar dan pengalaman
- Mengajar materi kepada orang lain
- Mengaplikasikan prinsip-prinsip
- Memonitoring hasil
- Merefleksikan kepada hasil
- Menambahkan pengetahuan baru yang diperlukan materi
- Pemahaman baru
- Kembali menjadi diri sendiri.
Untuk mengatasi hal tersebut, memerlukan latihan dan pengalaman yang terus-menerus.
Latihan dan pengalaman sangat penting untuk mendapatkan perspektif baru yang dapat
digunakan sebagai dasar dalam pengambilan keputusan.
Hukum alam tidak dapat dihindari dalam proses pengembangan pribadi.
Perkembangan intelektual seseorang seringkali lebih cepat dibanding perkembangan
emosinya. Oleh karena itu, sangat disarankan untuk mencapai keseimbangan diantara
keduanya, sehingga akan menjadi faktor pengendali dalam kemampuan intelektual. Pelatihan
emosional dimulai dari belajar mendengar. Mendengarkan berarti sabar, membuka diri, dan
berkeinginan memahami orang lain. Latihan ini tidak dapat dipaksakan. Langkah melatih
pendengaran adalah bertanya, memberi alasan, memberi penghargaan dan mendorong. Dalam
proses melatih tersebut, seseorang memerlukan pengontrolan diri, diikuti dengan memenuhi
keinginan orang.
Mengembangkan kekuatan pribadi akan lebih menguntungkan dari pada bergantung pada
kekuatan dari luar. Kekuatan dan kewenangan bertujuan untuk melegitimasi kepemimpinan
dan seharusnya tidak untuk menciptakan ketakutan. Peningkatan diri dalam pengetahuan,
ketrampilan dan sikap sangat dibutuhkan untuk menciptakan seorang pemimpin yang
berpinsip karena seorang pemimpin seharusnya tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi
juga cerdas emosional dan spiritual (IQ, EQ dan SQ).
MANAJEMEN KONFLIK
DALAM MANAJEMEN KEPERAWATAN
1. Pengertian Konflik
Banyak definisi tentang konflik yang diberikan oleh ahli manajemen. Hal ini tergantung
pada sudut tinjauan yang digunakan dan persepsi para ahli tersebut tentang konflik dalam
organisasi. Namun, di antara definisi yang berbeda itu nampak ada suatu kesepakatan, bahwa
konflik dilatarbelakangi oleh adanya ketidakcocokan atau perbedaan dalam hal nilai, tujuan,
status, dan budaya. Konflik merupakan situasi yang terjadi ketika ada perbedaan pendapat
atau perbedaan cara pandang diantara beberapa orang, kelompok atau organisasi. Sikap saling
mempertahankan diri sekurang-kurangnya diantara dua kelompok, yang memiliki tujuan dan
pandangan berbeda, dalam upaya mencapai satu tujuan sehingga mereka berada dalam
posisi oposisi, bukan kerjasama.
Terlepas dari faktor-faktor yang melatarbelakanginya, konflik merupakan suatu gejala
dimana individu atau kelompok menunjukkan sikap atau perilaku bermusuhan terhadap
individu atau kelompok lain, sehingga mempengaruhi kinerja dari salah satu atau semua
pihak yang terlibat.
Keberadaan konflik dalam organisasi, menurut Robbin (1996), ditentukan oleh persepsi
individu atau kelompok. Jika mereka tidak menyadari bahwa telah terjadi konflik di dalam
organisasi, maka secara umum konflik tersebut dianggap tidak ada. Sebaliknya, jika mereka
mempersepsikan bahwa di dalam organisasi telah terjadi konflik, maka konflik tersebut
menjadi suatu kenyataan.
a) Komunikasi
Komunikasi yang buruk, dalam arti komunikasi yang menimbulkan kesalah - pahaman antara
pihak-pihak yang terlibat, dapat menjadi sumber konflik. Suatu hasil penelitian menunjukkan
bahwa kesulitan semantik, pertukaran informasi yang tidak cukup, dan gangguan dalam
saluran komunikasi merupakan penghalang terhadap komunikasi dan menjadi kondisi
anteseden untuk terciptanya konflik.
b) Struktur
Istilah struktur dalam konteks ini digunakan dalam artian yang mencakup: ukuran
(kelompok), derajat spesialisasi yang diberikan kepada anggota kelompok, kejelasan
jurisdiksi (wilayah kerja), kecocokan antara tujuan anggota dengan tujuan kelompok, gaya
kepemimpinan, sistem imbalan, dan derajat ketergantungan antara kelompok. Penelitian
menunjukkan bahwa ukuran kelompok dan derajat spesialisasi merupakan variabel yang
mendorong terjadinya konflik. Makin besar kelompok, dan makin terspesialisasi kegiatannya,
maka semakin besar pula kemungkinan terjadinya konflik.
c) Variabel Pribadi
Sumber konflik lainnya yang potensial adalah faktor pribadi, yang meliputi: sistem nilai yang
dimiliki tiap-tiap individu, karakteristik kepribadian yang menyebabkan individu memiliki
keunikan (idiosyncrasies) dan berbeda dengan individu yang lain. Kenyataan menunjukkan
bahwa tipe kepribadian tertentu, misalnya, individu yang sangat otoriter, dogmatik, dan
menghargai rendah orang lain, merupakan sumber konflik yang potensial. Jika salah satu dari
kondisi tersebut terjadi dalam kelompok, dan para karyawan menyadari akan hal tersebut,
maka muncullah persepsi bahwa di dalam kelompok terjadi konflik. Keadaan ini disebut
dengan konflik yang dipersepsikan (perceived conflict). Kemudian jika individu terlibat
secara emosional, dan mereka merasa cemas, tegang, frustrasi, atau muncul sikap
bermusuhan, maka konflik berubah menjadi konflik yang dirasakan (felt conflict).
Selanjutnya, konflik yang telah disadari dan dirasakan keberadaannya itu akan berubah
menjadi konflik yang nyata, jika pihak-pihak yang terlibat mewujudkannya dalam bentuk
perilaku. Misalnya, serangan secara verbal, ancaman terhadap pihak lain, serangan fisik,
huru-hara, pemogokan, dan sebagainya.
Berbeda dengan Robbins yang hanya menyebut tiga factor dalam antecedent conditions,
Schermerhorn merinciantecedent conditions menjadi lima faktor, yaitu :
1) Ketidakjelasan peranan atau peranan yang mendua (role ambiguities)
2) Persaingan untuk mendapatkan sumberdaya yang terbatas
3) Rintangan-rintangan dalam komunikasi (communication barriers)
4) Konflik sebelumnya yang tidak terselesaikan
5) Perbedaan-perbedaan individual, yang mencakup: perbedaan kebutuhan, nilai-nilai, dan
perbedaan tujuan.
Kreitner dan Kinicki (1995:284-285) merinci lagi antecedent conditions itu menjadi 12 faktor
sebagai berikut :
1. Ketidakcocokan kepribadian atau sistem nilai;
2. Batas-batas pekerjaan yang tidak jelas atau tumpang-tindih;
3. Persaingan untuk memperoleh sumberdaya yang terbatas;
4. Pertukaran informasi atau komunikasi yang tidak cukup (inadequate communication);
5. Kesalingtergantungan dalam pekerjaan (misalnya, seseorang tidak dapat menyelesaikan
pekerjaannya tanpa bantuan orang lain);
6. Kompleksitas organisasi (konflik cenderung meningkat bersamaan dengan semakin
meningkatnya susunan hierarki dan spesialisasi pekerjaan);
7. Peraturan-peratuan, standar kerja, atau kebijakan yang tidak jelas atau tidak masuk akal;
8. Batas waktu penyelesaian pekerjaan yang tidak masuk akal sehingga sulit dipenuhi
(unreasonable deadlines);
9. Pengambilan keputusan secara kolektif (semakin banyak orang yang terlibat dalam
proses pengambilan keputusan, semakin potensial untuk konflik);
10. Pengambilan keputusan melalui konsensus;
11. Harapan-harapan yang tidak terpenuhi (karyawan yang memiliki harapan yang tidak
realistik terhadap pekerjaan, upah, atau promosi, akan lebih mudah untuk konflik);
12. Tidak menyelesaikan atau menyembunyikan konflik.
Menurut Kreitner dan Kinicki (1995), manajer atau pimpinan organisasi harus proaktif
untuk mengidentifikasikan keberadaan kondisi - kondisi tersebut dalam organisasinya, dan
jika salah satu atau lebih dari kondisi itu muncul, maka ia harus segera mengambil tindakan,
sebelum kondisi itu menjadi konflik terbuka atau konflik yang nyata (manifest conflict).
Dengan cara seperti ini, diharapkan konflik tidak meluas ke seluruh organisasi dan akhirnya
mempengaruhi kinerja karyawan. Untuk itulah maka manajer harus memiliki kemampuan
untuk mengelola konflik, sehingga konflik tidak menjadi faktor yang mengancam
keberlangsungan hidup organisasi, tetapi menjadi faktor yang fungsional untuk meningkatkan
kinerja organisasi.
Para manajer organisasi publik harus menyadari bahwa karena konflik disebabkan oleh
faktor-faktor yang berlainan, maka model yang digunakan dalam pengelolaan konflik juga
berlainan, tergantung keadaan. Memilih sebuah model pemecahan konflik yang cocok
tergantung pada beberapa faktor, termasuk alasan mengapa konflik terjadi, dan hubungan
khusus antara pimpinan dengan pihak yang terlibat konflik. Menurut Greenhalgh (1999),
efektivitas pimpinan organisasi dalam menangani konflik tergantung pada seberapa baik
mereka memahami dinamika dasar dari konflik, dan apakah mereka dapat mengenali hal-hal
penting yang terdapat dalam konflik tersebut.
Beberapa model teoretis dalam mengelola konflik yang dikemukakan oleh para ahli
manajemen dan perilaku organisasi adalah sebagai berikut :
Ukuran taruhan
Semakin besar nilai yang dipertaruhkan dalam perdebatan, semakin sulit konflik dipecahkan.
Misalnya, kebijakan akuisisi yang oleh manajer dianggap membahayakan kedudukannya.
Manajer yang berpikir subyektif akan memandang taruhannya cukup tinggi, karena itu akan
berusaha mati-matian menentang proses akuisisi tersebut. Dalam kasus ini pendekatan
persuasif dengan cara menunda penyelesaian, hingga semua pihak menjadi kurang emosianal,
sangat baik untuk dilakukan. Selama masa penundaan tersebut masing-masing pihak dapat
mengevaluasi kembali masalah yang dipertaruhkan dan berusaha untuk mencoba bersikap
obyektif dalam penilaian mereka.
Kontinuitas interaksi
Dimensi kontinuitas interaksi berhubungan dengan horizon waktu dimana semua pihak
melihat diri mereka sendiri berhubungan satu sama lain. Jika mereka memvisualisasikan
interaksi yang terjadi sebagai interaksi jangka panjang atau suatu hubungan yang terus
menerus, maka konflik yang terjadi akan lebih mudah diselesaikan. Sebaliknya jika transaksi
dipandang sebagai hubungan jangka pendek atau hubungan episodic, maka konflik tersebut
akan sulit dipecahkan. Karena itu, pihak-pihak yang terlibat harus dibujuk agar mau
menyadari bahwa hubungan mereka tidak berhenti di sini saja, atau pada saat konflik terjadi,
tetapi akan ada hubungan lain yang terus menerus di masa yang akan datang.
Kemajuan konflik
Sulit mengatasi konflik jika semua pihak yang terlibat tidak siap untuk suatu rekonsiliasi. Jika
masing-masing pihak merasa bahwa diri mereka paling dirugikan, maka konflik sulit
dipecahkan. Karena itu, hal penting yang harus dilakukan adalah membujuk pihak - pihak
yang terlibat agar menyadari bahwa mereka sama-sama menderita akibat konflik. Pihak-
pihak yang terlibat harus dibawa pada posisi yang sama, sehingga mau secara sukarela
berpartisipasi dalam penyelesaian konflik yang terjadi.
Lima Gaya Penanganan Konflik (Five Conflict Handling Styles) dari Kreitner dan
Kinicki
Model ini ditujukan untuk menangani konflik disfungsional dalam organisasi.
Menggambarkan sisi pemecahan masalah yang berorientasi pada orang lain (concern for
others) dan pemecahan masalah yang berorientasi pada diri sendiri (concern for self).
Kombinasi dari kedua variabel ini menghasilkan lima gaya penanganan masalah yang
berbeda, yaitu: integrating, obliging, dominating, avoiding, dan compromising.
- Obliging (Smoothing)
Sesuai dengan posisinya dalam gambar di atas, seseorang yang bergaya obliging lebih
memusatkan perhatian pada upaya untuk memuaskan pihak lain daripada diri sendiri. Gaya
ini sering pula disebut smothing(melicinkan), karena berupaya mengurangi perbedaan-
perbedaan dan menekankan pada persamaan atau kebersamaan di antara pihak-pihak yang
terlibat. Kekuatan strategi ini terletak pada upaya untuk mendorong terjadinya kerjasama.
Kelemahannya, penyelesaian bersifat sementara dan tidak menyentuh masalah pokok yang
ingin dipecahkan.
- Dominating (Forcing)
Orientasi pada diri sendiri yang tinggi, dan rendahnya kepedulian terhadap kepentingan orang
lain, mendorong seseorang untuk menggunakan taktik saya menang, kamu kalah. Gaya ini
sering disebut memaksa (forcing) karena menggunakan legalitas formal dalam menyelesaikan
masalah. Gaya ini cocok digunakan jika cara-cara yang tidak populer hendak diterapkan
dalam penyelesaian masalah, masalah yang dipecahkan tidak terlalu penting, dan waktu
untuk mengambil keputusan sudah mepet. Tetapi tidak cocok untuk menangani masalah yang
menghendaki partisipasi dari mereka yang terlibat. Kekuatan utama gaya ini terletak pada
minimalnya waktu yang diperlukan. Kelemahannya, sering menimbulkan kejengkelan atau
rasa berat hati untuk menerima keputusan oleh mereka yang terlibat.
- Avoiding
Taktik menghindar (avoiding) cocok digunakan untuk menyelesaikan masalah yang sepele
atau remeh, atau jika biaya yang harus dikeluarkan untuk konfrontasi jauh lebih besar
daripada keuntungan yang akan diperoleh. Gaya ini tidak cocok untuk menyelesaikan
masalah - malasah yang sulit atau buruk. Kekuatan dari strategi penghindaran adalah jika
kita menghadapi situasi yang membingungkan atau mendua (ambiguous situations).
Sedangkan kelemahannya, penyelesaian masalah hanya bersifat sementara dan tidak
menyelesaikan pokok masalah.
- Compromising
Gaya ini menempatkan seseorang pada posisi moderat, yang secara seimbang memadukan
antara kepentingan sendiri dan kepentingan orang lain. Ini merupakan pendekatan saling
memberi dan menerima (give and take approach) dari pihak-pihak yang terlibat. Kompromi
cocok digunakan untuk menangani masalah yang melibatkan pihak-pihak yang memiliki
tujuan berbeda tetapi memiliki kekuatan yang sama. Misalnya, dalam negosiasi kontrak
antara buruh dan majikan. Kekuatan utama dari kompromi adalah pada prosesnya yang
demokratis dan tidak ada pihak yang merasa dikalahkan. Tetapi penyelesaian konflik kadang
bersifat sementara dan mencegah munculnya kreativitas dalam penyelesaian masalah.
Model-model di atas sudah barang tentu hanya merupakan sebagain saja dari banyak
model yang dapat dipilih dalam manajemen konflik. Model apapun yang dipilih akan
tergantung pada beberapa faktor, antara lain :
a) Latar belakang terjadinya konflik
b) Kategori pihak-pihak yang terlibat dalam konflik: apakah antar-individu, individu
dengan kelompok, atau antar-kelompok dalam organisasi;
c) Kompleksitas masalah yang akan dipecahkan
d) Kompleksitas organisasi.
Model - model Manajemen konflik akan bermuara pada bagaimana mengusahakan agar
konflik berada pada situasi optimal, sehingga konflik tersebut dapat mencegah kemacetan,
merangsang kreativitas, memungkinkan lepasnya ketegangan, dan memprakarsai benih-benih
untuk perubahan. Robbins menjelaskan bahwa konflik itu baik bagi organisasi jika :
1) Konflik merupakan suatu alat untuk menimbulkan perubahan
2) Konflik mempermudah terjadinya keterpaduan (cohesiveness) kelompok
3) Konflik dapat memperbaiki keefektifan kelompok dan organisasi
4) Konflik menimbulkan tingkat ketegangan yang sedikit lebih tinggi dan lebih
konstruktif.
Tingkat konflik yang tidak memadai (terlalu rendah) atau terlalu berlebihan (konflik
tinggi) dapat merintangi keefektifan organisasi untuk mencapai kualitas pelayanan publik
yang tinggi. Kedua situasi ektrim ini dapat memunculkan sikap-sikap aparat yang apatis,
absenteisme tinggi, bekerja seadanya, tidak empatik terhadap pengguna jasa, dan sebagainya;
yang pada akhirnya akan memperendah kualitas pelayanan mereka kepada publik.Untuk
itulah diperlukan suatu keahlian untuk mengelola konflik dari setiap pimpinan organisasi
publik. Penggunaan berbagai teknik pemecahan dan motivasi untuk mencapai tingkat konflik
yang diinginkan disebut sebagai manajemen konflik.
Konflik bisa jadi merupakan sumber energi dan kreativitas yang positif apabila dikelola
dengan baik. Misalnya, konflik dapat menggerakan suatu perubahan :
Membantu setiap orang untuk saling memahami tentang perbedaan pekerjaan dan
tanggung jawab mereka
Memberikan saluran baru untuk komunikasi
Menumbuhkan semangat baru pada staf
Memberikan kesempatan untuk menyalurkan emosi
Menghasilkan distribusi sumber tenaga yang lebih merata dalam organisasi
b) Mengakomodasi
Memberi kesempatan pada orang lain untuk mengatur strategi pemecahan masalah,
khususnya apabila isu tersebut penting bagi orang lain. Hal ini memungkinkan timbulnya
kerjasama dengan memberi kesempatan pada mereka untuk membuat keputusan. Perawat
yang menjadi bagian dalam konflik dapat mengakomodasikan pihak lain dengan
menempatkan kebutuhan pihak lain di tempat yang pertama.
c) Kompetisi
Gunakan metode ini jika anda percaya bahwa anda memiliki lebih banyak informasi dan
keahlian yang lebih dibanding yang lainnya atau ketika anda tidak ingin mengkompromikan
nilai-nilai anda. Metode ini mungkin bisa memicu konflik tetapi bisa jadi merupakan metode
yang penting untuk alasan-alasan keamanan.
d) Kompromi atau Negosiasi
Masing-masing memberikan dan menawarkan sesuatu pada waktu yang bersamaan, saling
memberi dan menerima, serta meminimalkan kekurangan semua pihak yang dapat
menguntungkan semua pihak.