Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN KASUS

SEORANG PEREMPUAN USIA 63 TAHUN DENGAN DEMAM TIFOID

Disusun oleh :
dr. Delia Intan Iswari
Dokter Internsip RS PKU Muhammadiyah Gombong

Pembimbing :
dr. Nur Hidayani

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA


RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH GOMBONG
KEBUMEN JAWA TENGAH
2017

1
BAB I
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. L

Umur : 63 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Agama : Islam

Alamat : Grenggreng 2/9 Karanganyar

No. RM : 002169xx

Tanggal masuk : 10 Februari 2017

II. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama : Mual-mual
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan mual sejak 7
hari SMRS. Keluhan dirasakan terus menerus dan semakin memberat,
akan tetapi tidak didapatkan adanya muntah. Rasa mual tidak
dirasakan membaik dengan makanan. Pasien juga mengeluh tidak
nafsu makan dan saat ini merasa lemas. Selain itu pasien mengeluhkan
adanya nyeri pada daerah ulu hati, serta demam yang bersifat naik
turun dan mulai meninggi ketika sore menjelang malam hari. Pasien
mengaku BAB dan BAK tidak ada gangguan. Nyeri kepala (-), nyeri
sendi (-), mimisan (-), gusi berdarah (-) dan bintik merah pada kulit
(-).

2
Pasien belum pernah mengalami sakit seperti ini sebelumnya.
Di keluarga dan lingkungan keluarga pasien tidak ada yang
mengalami sakit serupa.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat diabites mellitus : disangkal
Riwayat alergi obat : disangkal
4. Riwayat penyakit keluarga
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat diabites mellitus : disangkal
Riwayat alergi obat : disangkal
5. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien adalah ibu rumah tangga. Pasien berobat dengan fasilitas BPJS

III. PEMERIKSAAN FISIK

STATUS GENERALIS

Keadaan umum
Tampak sakit sedang
Kesadaran
Compos mentis (GCS :E4V5M6)
VITAL SIGN

Tekanan darah
130/80 mmHg
Nadi
84x/menit
Respiratory rate
20x/menit
Suhu
38.3OC
SpO2
99%
KEPALA
konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), oedem palpebra (-/-), bibir tidak
kering, lidah kotor di bagian tengah, tepi lidah hiperemis, tidak ada tremor
lidah
LEHER

3
Peningkatan jugular vena pressure (-), pembesaran kelenjar getah bening (-/-),
pembesaran tiroid (-/-)

THORAX
Bentuk normochest, simetris, pengembangan dada kanan = kiri, retraksi
intercostal (-), sela iga melebar (-), atrofi muskulus pectoralis (-), pembesaran
kelenjar getah bening (-/-)
PULMO

Inspeksi

- Statis : Normochest, simetris, sela iga tidak melebar, iga tidak mendatar

- Dinamis : Pengembangan dada simetris kanan = kiri, sela iga tidak melebar
Palpasi
- Statis : Simetris
- Dinamis : Pergerakan kanan = kiri, fremitus raba kanan = kiri
Perkusi
- Kanan : Sonor, redup pada batas relatif paru-hepar pada SIC
VI linea medioclavicularis dextra, pekak pada batas absolut paru hepar
- Kiri : Sonor, sesuai batas paru jantung pada SIC VI linea
medioclavicularis sinistra
Auskultasi
- Kanan : Suara dasar vesikuler normal, suara tambahan wheezing (-),
ronkhi basah kasar (-), ronkhi basah halus (-), krepitasi (-)
- Kiri : Suara dasar vesikuler normal, suara tambahan wheezing (-),
ronkhi basah kasar (-), ronkhi basah halus (-), krepitasi (-)
COR

Inspeksi
Ictus kordis tampak
Palpasi
Ictus kordis teraba di SIC VI linea midclavicula sinistra 3 cm kearah lateral, kuat
angkat
Perkusi

- Batas jantung kanan atas SIC II linea parasternalis dextra.


- Batas jantung kanan bawah SIC IV linea parasternalis dextra.
- Batas jantung kiri atas SIC II linea parasternalis sinistra.
- Batas jantung kiri bawah SIC VI linea midclavicularis sinistra 3 cm kearah lateral

Auskultasi

4
Bunyi jantung I-II, intensitas normal, reguler, bising (-)
ABDOMEN

Inspeksi
Dinding perut sejajardinding thorax, ascites (-), venektasi (-), sikatrik (-), striae
(-), caput medusae (-), darm steifung (-), darm contour (-)
Auskultasi
Bising usus (+) Normal, bruit hepar (-), bising epigastrium (-)
Perkusi
Timpani (+), pekak alih (-), pekak sisi (-), liver span 11 cm. Nyeri ketok costo
vertebra (-)
Palpasi
Supel, nyeri tekan (+) regio epigastrium; nyeri tekan region suprapubic (-).
Hepar teraba 2 cm di bawah arcus costa dextra LMCD dan 1 cm di bawah
processus Xyphoideus, sudut tajam, tepi rata. Lien tidak teraba. Ginjal tidak
teraba.
EKSTREMITAS

Akral dingin

- - Oedem
_- _-
- -
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium

Tanggal 10 Februari 2017

Leukosit 14.96 /ul


Eritrosit 4.25 x 106 /ul
Hemoglobin 13.0 g/dl
Hematokrit 37.1 %
MCV 87.1 fL
MCH 30.6 pg
MCHC 35.1 g/dL
Trombosit 259.000/ul
Basofil 0.2 %
Eosinofil 0.4 %
Netrofil 85.2 %
Limfosit 8.4 %
Monosit 5.8 %

5
WIDAL
Salmonella Thypi O 1/160
Salmonella Thypi H 1/160

URINALISA HASIL RUJUKA


N
URIN RUTIN
Warna Kuning muda Kuning
Kejernihan Jernih Jernih
Berat Jenis 1,015 1.015-1.025
Ph 6.0 5-7
Leukosit Negatif Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Protein Negatif Negatif
Glukosa Normal Normal
Keton Negatif Negatif
Urobilinogen Normal Normal
Bilirubin Negatif Negatif
Eritrosit Negatif Negatif
SEDIMEN
Eritrosit 0-1 0 1/lpb
Leukosit 0-1 0 1/lpb
Epitel
Epitel Negatif Positif
Kristal Negatif Negatif
Silinder Negatif Negatif

V. DIAGNOSIS

Demam Tifoid
VI. TERAPI
1. Infus RL 20tpm
2. Injeksi Ceftriaxon 1gr/12 jam
3. Injeksi Ranitidin 50mg/12 jam
4. Injeksi Metoclorpamide /8 jam k/p
5. Paracetamol 3x500mg PO
6. Antacyd syr 3x CI
VII. PROGNOSIS
Ad vitam : bonam
Ad sanam : dubia et bonam
Ad fungsionam : bonam

6
BAB II
ANALISIS MASALAH

Demam tifoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat


pada saluran pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu minggu
atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau
tanpa gangguan kesadaran.
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau
Salmonella paratyphi dari Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk
batang, gram negatip, tidak membentuk spora, motil, berkapsul dan
mempunyai flagella (bergerak dengan rambut getar). Bakteri ini dapat
hidup sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di dalam air, es,
sampah dan debu. Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu 600C)
selama 15 20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan khlorinisasi.
Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan mual sejak 7 hari
SMRS. Keluhan dirasakan terus menerus dan semakin memberat, akan
tetapi tidak didapatkan adanya muntah. Rasa mual tidak dirasakan
membaik dengan makanan. Pasien juga mengeluh tidak nafsu makan dan
saat ini merasa lemas. Selain itu pasien mengeluhkan adanya nyeri pada
daerah ulu hati, demam bersifat naik turun dan mulai meninggi ketika sore
menjelang malam hari. Pasien mengaku BAB dan BAK tidak ada
gangguan. Nyeri kepala (-), nyeri sendi (-), mimisan (-), ataupun gusi
berdarah (-) dan bintik merah pada kulit (-).

Pasien mengalami demam lebih dari 7 hari dengan suhu meningkat


dan turun tidak mencapai normal termasuk kedalam demam remitten,
selain itu pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya lidah tampak kotor
dan hiperemis pada baian tepi lidah menunjukkan adanya gambaran

7
thypoid tongue, terdapat pula nyeri tekan pada abdomen pada perut pasien
yang di sebabkan karena adanya infeksi bakteri salmonella typhi pada vili
usus. Pada hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan jumlah leukosit
yang meningkat sebanyak 14.96 x 103/ul. Uji Test Widal menunjukkan
hasil positif (Salmonella thypi O 1/160). Dari hasil anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, maka dapat disimpulkan
diagnosis pasien tersebut adalah Demam Tifoid.

Terapi yang diberikan adalah edukasi keluarga dan medika


mentosa. Medika mentosa yang dipilih adalah :

Infus RL 20tpm
Injeksi Ceftriaxon 1gr/12 jam
Pemilihan Ceftriaxon sebagi antibiotik pilihan didasarkan pada
angka resistensi terhadap ceftriaxon lebih rendah, efeksamping
lebih minimal, dan demam yang dapat lebih cepat turun
sehingga memperpendek durasi terapi selain itu ceftriaxon
memiliki efektivitas tinggi tinggi terhadap terapi demem tifoid,
bekerja selektif dengan menghancurkan struktur bakteri tanpa
mengganggu sel tubuh manusia, kemampuan penetrasi yang
baik pada jaringan, serta memiliki angka resistensi yang
rendah. (Musnelina, 2010).
Injeksi Ranitidin 50mg/12 jam
Injeksi ranitidin digunakan sebagai antihistamin reseptor 2
(AH2), yaitu menghambat reseptor histamin 2 secara selektif
dan reversible sehingga dapat menghambat sekresi asam
lambung yang diproduksi pada sel parietal lambung.
Injeksi Metoclopramide /8 jam k/p
Pemberian Metoclopramide sebagai antagonis dopamine dan
anti-emetik pusat sehingga dapat meningkatkan motilitas
gastrointestinal.
Paracetamol 3x500mg PO
Pemberian Paracetamol yang di manfaatkan sebagai analgesik-
antipiretik yang berfungsi menghambat sintesis prostaglandin.
Antacyd syr 3x CI

8
Pemberiaan antasid ditujukan untuk menetralkan asam
lambung yang diproduksi berlebihan.

Edukasi pada keluarga pasien dan terhadap pasien itu sendiri


melingkupi 2 hal, istirahat dan perawatan juga diet disertai terapi
penunjang. Pasien harus istirahat tirah baring absolut sampai minimal 7
hari bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari. Hal ini bertujuan
mencegah komplikasi seperti perdarahan dan mempercepat penyembuhan.
Untuk diet, pasien diberi makanan dengan konsistensi yang halus diet
bubur saring, kemudian bubur kasar, dan akhirnya nasi sesuai tingkat
kesembuhan pasien guna menghidari beban kerja usu yang berat.
Diharapkan dengan menjaga keseimbangan dan homeostasis, sistem imun
akan tetap berfungsi dengan optimal.

BAB III

9
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi

Demam tifoid (Tifus abdominalis, Enterik fever, Eberth disease) adalah


penyakit Infeksi akut pada usus halus (terutama didaerah illeosekal) dengan
gejala demam selama 7 hari atau lebih, gangguan saluran pencernaan, dan
gangguan kesadaran.

Penyakit ini ditandai oleh demam berkepanjangan, ditopang dengan


bakteriemia tanpa keterlibatan struktur endotelial atau endokardial dan invasi
bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari hati, limpa,
kelenjar limfe usus, dan Peyers patch (Soedarman, 2002).

2. Epidemiologi

Insiden, cara penyebaran dan konsekuensi demam enterik sangat berbeda


di negara maju dan yang sedang berkembang. Insiden sangat menurun di negara
maju. Demam tifoid merupakan penyakit endemis di Indonesia. 96% kasus
demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi, sisanya disebabkan oleh
Salmonella paratyphi. Sembilan puluh persen asus demam tifoid terjadi pada
umur 3-19 tahun, kejadian meningkat setelah umur 5 tahun.2 Sebagian besar dari
penderita (80%) yang dirawat di bagian Ilmu Kesehatan Anak RSCM berumur di
atas lima tahun (Hasan, 2005).

Di negara-negara berkembang perkiraan angka kejadian demam tifoid


bervariasi dari 10 sampai 540 per 100.000 penduduk. MIeskipun angka kejadian
demam tifoid turun dengan adanya perbaikan sanitasi pembuangan di berbagai
negara berkembang. Di negara maju perkiraan angka kejadian demam tifoid lebih
rendah yakni setiap tahun terdapat 0,2 0,7 kasus per 100.000 penduduk di Eropa
Barat; Amerika Serikat dan Jepang serta 4,3 sampai 14,5 kasus per 100.000
penduduk di Eropa Selatan. Di Indonesia demam tifoid masih merupakan
penyakit endemik dengan angka kejadian yang masih tinggi. Angka kejadian

10
demam tifoid di Indonesia diperkirakan 350-810 kasus per 100.000 penduduk per
tahun; atau kurang lebih sekitar 600.000 1,5 juta kasus setiap tahunnya. Diantara
penyakit yang tergolong penyakit infeksi usus, demam tifoid menduduki urutan
kedua setelah gastroenteritis. Di bagian Ilmu Kesehatan Anak RSCM sejak tahun
1992 1996 tercatat 550 kasus demam tifoid yang dirawat dengan angka
kematian antara 2,63 5,13% (NN,2006).

3. Etiologi

Demam tifoid (termasuk para-tifoid) disebabkan oleh kuman Salmonella


typhi, Salmonella paratyphi A, Salmonella paratyphi B, dan Salmonella paratyphi
C. Jika penyebabnya adalah Salmonella paratyphi, gejalanya lebih ringan
dibanding dengan yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Pada minggu pertama
sakit, demam tifoid sangat sukar dibedakan dengan penyakit demam lainnya.
Untuk memastikan diagnosis diperlukan pemeriksaan biakan kuman untuk
konfirmasi (Kligman, 2007).

Salmonella typhi termasuk bakteri famili Enterobacteriaceae dari genus


Salmonella. Kuman Salmonella typhi berbentuk batang, Gram negatif, tidak
berspora, motile, berflagela, berkapsul, tumbuh dengan baik pada suhu optimal
370C (150C-410C), bersifat fakultatif anaerob, dan hidup subur pada media yang
mengandung empedu.

Salmonella typhi sekurang-kurangnya mempunyai tiga macam antigen,


yaitu:

- Antigen O = Ohne Hauch = Somatik antigen (tidak menyebar)

- Antigen H = Hauch (menyebar), terdapat pada flagella dan bersifat termolabil.

- Antigen Vi = Kapsul; merupakan kapsul yang meliputi tubuh kuman dan


melindungi O antigen terhadap fagositosis

Dalam serum penderita terdapat zat anti (aglutinin) terhadap ketiga macam
antigen tersebut. Mempunyai makromolekuler lipopolisakarida kompleks yang
membentuk lapis luar dari dinding sel dan dinamakan endotoksin. Salmonella

11
typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi
terhadap multiple antibiotik 9Soedarman, 2002).

Untuk dapat mencapai usus halus biasanya Salmonella typhi ini harus
dapat bertahan melalui sawar asam lambung dan kemudian melekat pada sel
mukosa serta melakukan invasi. Sel M sebagai sel epitel khusus yang melapisi
sepanjang lapisan Peyer ini merupakan tempat potensial Salmonella typhi untuk
invasi dan sebagai transpor menuju jaringan limfoid. Pasca penetrasi, bakteri ini
menuju ke dalam folikel limfoid intestinal dan nodus limfe mesenterik dan
kemudian masuk dalam sel retikuloendotelial dalam hati dan limpa. Pada keadaan
ini terdapat perubahan degeneratif, proliferatif, dan granulomatosa pada villi,
kelenjar kript, lamina propria usus halus, dan kelenjar limfe mesenterica (Nn,
2006).

Bakteri ini kemudian dilepaskan dari habitat intraseluler masuk aliran


darah. Masa inkubasi ini berkisar 7-14 hari. Pada fase bakteriemi, bakteri akan
menyebar dan tempat infeksi sekunder paling sering ialah hati, limpa, sumsum
tulang, kandung empedu, dan lapisan Peyer ileum terminal. Invasi kandung
empedu terjadi langsung dari asam empedu. Jumlah bakteri pada fase akut
diperkirakan 1 bakteri /ml darah (sekitar 66 % dalam sel fagositik) dan sekitar 10
bakteri /ml sumsum tulang. Walaupun Salmonella typhi menghasilkan endotoksin
namun angka mortalitas stadium ini < 1 %. Studi menunjukkan

peningkatan kadar proinflamasi dan sitokin anti inflamasi dalam sirkulasi pasien
tifoid (Soedarman, 2002).

4. Patofisiologi

Beberapa faktor yang ikut berperan penting dalam patofisiologi demam


tifoid berdasarkan penelitian terbaru ialah (Kliegman, 2007):

a. bacterial type III protein secretion system (TTSS)

b. lima gen virulensi (A< B< C< D< dan E) of Salmonella spp yang mengkode
Sips (Salmonella Invasion Proteins).

12
c. Reseptor Toll R2 and Toll R4 dijumpai pada permukaan makrofag yang
berperan penting dalam signalisasi yang diperantarai LPS dalam makrofag

d. Mekanisme pertahanan tubuh antara lumen intestinal dan organ dalam

e. Peranan fundamental sel endotelial pada deviasi inflamasi dari aliran darah
menuju jaringan yang terinfeksi bakteri.

Kuman Salmonella typhi masuk ke dalam tubuh manusia melalui mulut


bersamaan dengan makanan dan minuman yang terkontaminasi. Setelah kuman
sampai lambung maka mula-mula timbul usaha pertahanan non spesifik yang
bersifat kimiawi yaitu, adanya suasana asam oleh asam lambung dan enzim yang
dihasilkannya. Ada beberapa faktor yang menentukan apakah kuman dapat
melewati barier asam lambung, yaitu

(1) jumlah kuman yang masuk dan

(2)kondisi asam lambung (Partini, 2003).

Untuk menimbulkan infeksi, diperlukan Salmonella typhi sebanyak 103-


109 yang tertelan melalui makanan atau minuman. Keadaan asam lambung dapat
menghambat multiplikasi Salmonella dan pada pH 2,0 sebagian besar kuman akan
terbunuh dengan cepat. Pada penderita yang mengalami gastrektomi,
hipoklorhidria atau aklorhidria maka akan mempengaruhi kondisi asam lambung.
Pada keadaan tersebut Salmonella typhi lebih mudah melewati pertahanan tubuh
(Hartono, 2006).

Sebagian kuman yang tidak mati akan mencapai usus halus yang memiliki
mekanisme pertahanan lokal berupa motilitas dan flora normal usus. Tubuh
berusaha menghanyutkan kuman keluar dengan usaha pertahanan tubuh non
spesifik yaitu oleh kekuatan peristaltik usus. Di samping itu adanya bakteri
anaerob di usus juga akan merintangi pertumbuhan kuman dengan pembentukan
asam lemak rantai pendek yang akan menimbulkan suasana asam. Bila kuman
berhasil mengatasi mekanisme pertahanan tubuh di lambung, maka kuman akan
melekat pada permukaan usus. Setelah menembus epitel usus, kuman akan masuk

13
ke dalam kripti lamina propria, berkembang biak dan selanjutnya akan
difagositosis oleh monosit dan makrofag. Namun demikian Salmonella typhi
dapat bertahan hidup dan berkembang biak dalam fagosit karena adanya
perlindungan oleh kapsul kuman. Melalui plak peyeri pada ileum distal bakteri
masuk ke dalam KGB mesenterium dan mencapai aliran darah melalui duktus
torasikus menyebabkan bakteriemia pertama yg asimptomatis (Partini, 2003).

Kemudian kuman akan masuk kedalam organorgan system


retikuloendotelial (RES) terutama di hepar dan limpa sehingga organ tersebut
akan membesar disertai nyeri pada perabaan. Dari sini kuman akan masuk ke
dalam peredaran darah, sehingga terjadi bakteriemia kedua yang simptomatis
(menimbulkan gejala klinis). Disamping itu kuman yang ada didalam hepar akan
masuk ke dalam kandung empedu dan berkembang biak disana, lalu kuman
tersebut bersama dengan asam empedu dikeluarkan dan masuk ke dalam usus
halus. Kemudian kuman akan menginvasi epitel usus kembali dan menimbulkan
tukak yang berbentuk lojong pada mukosa diatas plaque peyeri. Tukak tersebut
dapat mengakibatkan terjadinya perdarahan dan perforasi usus yang menimbulkan
gejala peritonitis (Soedarman, 2002).

Pada masa bakteriemia kuman mengeluarkan endotoksin yang susunan


kimianya sama dengan somatic antigen (lipopolisakarida). Endotoksin sangat
berperan membantu proses radang lokal dimana kuman ini berkembang biak yaitu
merangsang sintesa dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang
meradang. Selanjutnya zat pirogen yang beredar di darah mempengaruhi pusat
termoregulator di hypothalamus yang mengakibatkan terjadinya demam (Hartoyo,
2006).

Sedangkan gejala pada saluran pencernaan disebabkan oleh kelainan pada


usus. Akhir-akhir ini beberapa peneliti mengajukan patogenesis terjadinya
manifestasi klinis sebagai berikut: Makrofag pada penderita akan menghasilkan
substansi aktif yang disebut monokin, selanjutnya monokin ini dapat
menyebabkan nekrosis seluler dan merangsang sistem imun, instabilitas vaskuler,
depresi sumsum tulang, dan panas.

14
Perubahan histopatologi pada umumnya ditemukan infiltrasi jaringan oleh
makrofag yang mengandung eritrosit, kuman, limfosit yang sudah berdegenerasi
yang dikenal sebagai sel tifoid. Bila sel-sel ini beragregasi, terbentuklah nodul.
Nodul ini sering didapatkan dalam usus halus, jaringan limfe mesenterium, limpa,
hati, sumsum tulang, dan organ-organ yang terinfeksi.

Kelainan utama terjadi di ileum terminale dan plak peyer yang hiperplasi
(minggu pertama), nekrosis (minggu kedua), dan ulserasi (minggu ketiga) serta
bila sembuh tanpa adanya pembentukan jaringan parut. Sifat ulkus berbentuk
bulat lonjong sejajar dengan sumbu panjang usus dan ulkus ini dapat
menyebabkan perdarahan bahkan perforasi. Gambaran tersebut tidak didapatkan
pada kasus demam tifoid yang menyerang bayi maupun tifoid kongenital
(Rampengan, 2008).

Masa inkubasi rata-rata 10-14 hari, selama dalam masa inkubasi dapat
ditemukan gejala prodromal, yaitu: anoreksia, letargia, malaise, dullness, nyeri
kepala, batuk non produktif, bradicardia. Timbulnya gejala klinis biasanya
bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional seperti nyeri
kepala, malaise, anoreksia, letargi, nyeri dan kekakuan abdomen, pembesaran hati
dan limpa, serta gangguan status mental. Pada sebagian pasien lidah tampak kotor
dengan putih di tengah sedang tepi dan ujungnya kemerahan juga banyak
dijumpai meteorismus. Sembelit dapat merupakan gangguan gastrointestinal awal
dan kemudian pada minggu kedua timbul diare. Diare hanya terjadi pada setengah
dari anak yang terinfeksi, sedangkan sembelit lebih jarang terjadi. Dalam waktu
seminggu panas dapat meningkat. Lemah, anoreksia, penurunan berat badan, nyeri
abdomen dan diare, menjadi berat. Dapat dijumpai depresi mental dan delirium.
Keadaan suhu tubuh tinggi dengan bradikardia lebih sering terjadi pada anak
dibandingkan dewasa. Roseola (bercak makulopapular) berwarna merah, ukuran
2-4 mm, dapat timbul pada kulit dada dan abdomen, ekstremitas, dan punggung,
timbul pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua, ditemukan pada 40-
80% penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari). Jika tidak ada komplikasi

15
dalam 2-4 minggu, gejala dan tanda klinis menghilang, namun malaise dan letargi
menetap sampai 1-2 bulan.

Fase relaps adalah keadaan berulangnya gejala penyakit tifus, akan tetapi
berlangsung lebih ringan dan lebih singkat. Terjadi pada minggu kedua setelah
suhu badan normal kembali. Terjadi sukar diterangkan, seperti halnya keadaan
kekebalan alam, yaitu tidak pernah menjadi sakit walaupun mendapat infeksi yang
cukup berat Menurut teori, relaps terjadi karena terdapatnya basil dalam organ-
organ yang tidak dapat dimusnahkan baik oleh obat maupun oleh zat anti.

Mungkin pula terjadi pada waktu penyembuhan tukak, terjadi invasi basil
bersamaan dengan pembentukan jaringan-jaringan fibroblas.5 Sepuluh persen dari
demam tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan timbulnya relaps.

5. Anamnesis

Demam yang naik secara bertahap tiap hari, mencapai suhu tertinggi pada
akhir minggu pertama, minggu kedua demam terus menerus tinggi. Anak sering
mengigau (delirium), malaise, letargi, anoreksia, nyeri kepala, nyeri perut, diare
atau konstipasi, muntah, perut kembung. Pada demam tifoid berat dapat dijumpai
penurunan kesadaran, kejang, dan ikterus.

6. Pemeriksaan Fisik

Gejala-gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu :

a. Demam

Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat


febris remittent dan tidak terlalu tinggi. Pada minggu I, suhu tubuh
cenderung meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan
meningkat pada sore hari dan malam hari. Dalam minggu II, penderita terus
berada dalam keadaan demam. Dalam minggu III suhu berangsur-angsur
turun dan normal kembali pada akhir minggu III.

b. Gangguan saluran cerna

16
Pada mulut: nafas berbau tidak sedap, bibir kering, dan pecah- pecah
(rhagaden), lidah ditutupi oleh selaput putih kotor (coated tongue), ujung
dan tepinya kemerahan. Pada abdomen dapat dijumpai adanya kembung
(meteorismus). Hepar dan lien yang membesar disertai nyeri pada perabaan.
Biasanya terdapat juga konstipasi pada anak yang lebih tua dan remaja, akan
tetapi dapat juga normal bahkan terjadi diare pada anak yang lebih muda.

c. Gangguan kesadaran

Umumnya kesadaran penderita menurun walau tidak berapa dalam


berupa apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopr, coma atau gelisah.
Disamping gejala-gejala diatas yang biasa ditemukan mungkin juga dapat
ditemukan gejala-gejala lain:

- Roseola atau rose spot; pada punggung, upper abdomen dan, lower chest
dapat ditemukan rose spot (roseola), yaitu bintik-bintik merah dengan
diameter 2-4 mm yang akan hilang dengan penekanan dan sukar didapat
pada orang yang bekulit gelap. Rose spot timbul karena embolisasi bakteri
dalam kapiler kulit. Biasanya ditemukan pada minggu pertama demam.

- Bradikardia relatif; Kadang-kadang dijumpai bradikardia relative yang


biasanya ditemukan pada awal minggu ke II dan nadi mempunyai
karakteristik notch (dicrotic notch) (Hay et al, 2007).

7. Pemeriksaan Penunjang (Rampengan, 2008)

a. Pemeriksaan darah tepi.

Terdapat gambaran leukopenia, limfositosis relatif dan aneosinofilia pada


permulaan sakit. Mungkin terdapat anemia dan trombositopenia ringan.
Pemeriksaan darah tepi ini sederhana, mudah dikerjakan di laboratorium yang
sederhana akan tetapi berguna untuk membuat diagnosis yang cepat.

b. Pemeriksaan sumsum tulang

17
Dapat digunakan untuk menyokong diagnosis. Pemeriksaan ini tidak
termasuk pemeriksaan rutin yang sederhana. Terdapat gambaran sumsum
tulang berupa hiperaktif RES dengan adanya sel makrofag, sedangkan sistem
eritropoesis, granulopoesis, dan trombopoesis berkurang.

c. Pemeriksaan kultur

Salmonella typhi dapat diisolasi dari darah atau sumsum tulang pada 2
minggu pertama demam. Pada 90% penderita demam tifoid, kultur darah
positif pada minggu pertama demam dan pada saat penyakit kambuh. Setelah
minggu pertama, frekuensi Salmonella typhi yang dapat diisolasi dari darah
menurun. Pada akhir minggu ke 3 hanya dapat ditemukan pada 50%
penderita, setelah minggu ke 3 pada kurang dari 30% penderita. Sensitifitas
kultur darah menurun pada penderita yang mendapat pengobatan antibiotik.
Kultur sumsum tulang lebih sensitif bila dibandingkan dengan kultur darah
dan tetap positif walaupun setelah pemberian antibiotik dan tidak dipengaruhi
waktu pengambilan.

Salmonella typhi dapat diisolasi dari darah atau sumsum tulang pada 2
minggu pertama demam. Pada 90% penderita demam tifoid, kultur darah
positif pada minggu pertama demam dan pada saat penyakit kambuh. Setelah
minggu pertama, frekuensi Salmonella typhi yang dapat diisolasi dari darah
menurun. Pada akhir minggu ke 3 hanya dapat ditemukan pada 50%
penderita, setelah minggu ke 3 pada kurang dari 30% penderita. Sensitifitas
kultur darah menurun pada penderita yang mendapat pengobatan antibiotik.
Kultur sumsum tulang lebih sensitif bila dibandingkan dengan kultur darah
dan tetap positif walaupun setelah pemberian antibiotik dan tidak dipengaruhi
waktu pengambilan.

d. Tes Widal
Dasar pemeriksaan ialah reaksi aglutinasi yang terjadi bila serum penderita
dicampur dengan suspensi antigen salmonella. Untuk membuat diagnosa
dibutuhkan titer zat anti thd antigen O. Titer thd antigen O yang bernilai
1/200 atau lebih dan atau menunjukkan kenaikan yang progresif pada

18
pemeriksaan 5 hari berikutnya (naik 4 x lipat) mengindikasikan infeksi akut.
Titer tersebut mencapai puncaknya bersamaan dengan penyembuhan
penderita. Titer thd antigen H tidak diperlukan untuk diagnosa, karena dapat
tetap tinggi setalah mendapat imunisasi atau bila penderita telah lama
sembuh. Titer thd antigen Vi juga tidak utk diagnosa karena hanya
menunjukan virulensi dari kuman.
Pada umumnya peningkatan titer anti O terjadi pada minggu pertama yaitu
pada hari ke 6-8. Pada 50% penderita dijumpai peningkatan titer anti O pada
akhir minggu pertama dan 90% penderita pada minggu ke-4. Titer anti O
meningkat tajam, mencapai puncak antara minggu ke-3 dan ke-6.
Kemudian menurun perlahan-lahan dan menghilang dalam waktu 6-12
bulan. Peningkatan titer anti H terjadi lebih lambat yaitu pada hari ke 10-12
dan akan menetap selama beberapa tahun. Kurva peningkatan antibodi
bersilangan dengan kultur darah sebelum akhir minggu ke 2. Hal ini
menunjukkan bahwa kultur darah positif lebih banyak dijumpai sebelum
minggu ke-2, sedangkan anti Salmonella typhi positif setelah minggu ke-2.
Pada individu yang pernah terinfeksi Salmonella typhi atau mendapat
imunisasi, anti H menetap selama beberapa tahun. Adanya demam oleh sebab
lain dapat menimbulkan reaksi anamnestik yang menyebabkan peningkatan
titer anti H. Peningkatan titer anti O lebih bermakna, tetapi pada beberapa
penderita hanya dijumpai peningkatan titer anti H. Pada individu sehat yang
tinggal di daerah endemik dijumpai peningkatan titer antibodi akibat terpapar
bakteri sehingga untuk menentukan peningkatan titer antibodi perlu diketahui
titer antibodi pada saat individu sehat.
Anti O dan H negatif tidak menyingkirkan adanya infeksi. Hasil negatif
palsu dapat disebabkan antibodi belum terbentuk karena spesimendiambil
terlalu dini atau antibodi tidak terbentuk akibat defek pembentukanantibodi
seperti pada penderita gizi buruk, agamaglobulinemia,imunodefisiensi atau
keganasan. Pengobatan antibiotik seperti kloramfenikol dan ampisilin,
terutama bila diberikan dini, akan menyebabkan titer antibodi tetap rendah
atau tidak terbentuk akibat berkurangnya stimulasi oleh antigen.

19
7. Tata Laksana

Medikamentosa

a. Kloramfenikol
Di indonesia, kloramfenikol masih merupakan obat pilihan utama
untuk demam tifoid. Belum ada obat antimikroba lain yang dapat
menurunkan demam lebih cepat dibandingkan kloramfenikol. Dosis
untuk orang dewasa 4 x 500 mg sehari oral atau intravena, sampai 7
hari bebas demam. Penyuntikan kloramfenikol suksinat intramuskular
tidak dianjurkan karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan
tempat suntikan terasa nyeri. Dengan penggunaan kloramfenikol,
demam pada demam tifoid turun rata rata setelah 5 hari.
a. Tiamfenikol
Dosis dan efekivitas tiamfenikol pada demam tifoid sama dengan
kloramfenikol. Komplikasi hematologis pada penggunaan tiamfenikol
lebih jarang daripada kloramfenikol. Dengan tiamfenikol demam pada
demam tifoid turun setelah rata rata 5-6 hari.
b. Kotrimoksazol (Kombinasi Trimetoprim dan Sulfametoksazol)
Efektivitas kotrimoksazol kurang lebih sama dengan kloramfenikol.
Dosis untuk orang dewasa, 2 x 2 tablet sehari, diberikan selama 2
minggu (1 tablet mengandung 80 mg trimetropim dan 400 mg
sulfametoksazol). Dengan kontrimoksazol demam pada demam tifoid
turun rata rata setelah 5-6 hari.
c. Ampisilin dan amoksisilin
Dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam, efektivitas
ampisilin dan amoksisilin lebih kecil dibandingkan dengan
kloramfenikol. Indikasi mutlak penggunaannya adalah pasien demam
tifoid dengan leukopenia. Dosis yang dianjurkan berkisar antara 50-
150 mg/kg berat badan sehari, digunakan sampai 7 hari bebas demam.
d. Sefalosporin generasi ketiga
Beberapa uji klinis menunjukkan bahwa sefalosporin generasi ketiga
antara lain sefoperazon, seftriakson, dan sefotaksim efektif untuk
demam tifoid. Dosis dan lama pemberian yang optimal adalah 3-4

20
gram dalam dekstrosa 100 cc diberikan selama jam perinfus sekali
sehari, diberikan selama 3-5 hari.
e. Golongan fluorokuinolonGolongan ini terdiri dari beberapa
jenis bahan sediaan dan aturan pemberiannya adalah:
Norfloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 14 hari
Siprofloksasin dosis 2 x 500 mg/hari selama 6 hari
Ofloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 7 hari
Pefloksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari
Fleroksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari.
f. Azitromisin
Secara signifikan mengurangi kegagalan klinis dan durasi rawat inap,
terutama jika penelitian mengikutsertakan pula strain MDR (Multi
drug resistance) maupun NARST(Nalidixic Acid Resistance S.typhi).
Jika dibandingkan dengan cefriakson, peggunaan azitromisin dapat
mengurangi angka relaps. Mampu menghasilkan konsentrasi
dalam jaringan yang tinggi walaupunn konsentrasi dalam darah cender
ung rendah. O at ini tersedia dalam bentuk sediaan oral dan suntikan
intravena.
Non Medika Mentosa
a. Istirahat dan perawatan
Hal ini bertujuan mencegah komplikasi dan mempercepat
penyembuhan. Pasien harus istirahat baring absolut sampai minimal 7
hari bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari. Mobilisasi
dilakukan bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien. Dalam
perawatan perlu sekali dijaga higiene perseorangan, kebersihan tempat
tidur, pakaiandan peralatan yang dipakai oleh pasien. Pasien dengan
kesadaran menurun, posisinya perlu diubah-ubah untuk mencegah
dekubitus dan pneumonia hipostatik. Defekasi dan buang air kecil
perlu diperhatikan, karena kadang-kadang terjadi obstipasi dan
retensiurin.
b. Diet dan terapi penunjang
Pertama pasien diberi diet bubur saring, kemudian bubur kasar, dan
akhirnya nasi sesuai tingkat kesembuhan pasien. Namun beberapa
penelitian menunjukkan bahwa pemberian makanan padat dini, yaitu
nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang sayuran dan serat

21
kasar) dapat diberikan dengan aman. Juga diperlukan pemberian
vitamin dan mineral yang cukup untuk mendukung keadaan umum
pasien. Diharapkan dengan menjaga keseimbangan dan homeostasis,
sistem imun akan tetap berfungsi dengan optimal.
8. Komplikasi
Komplikasi Intestinal
1. Perdarahan usus
2. Perforasi usus
3. Ileus paralitik
Komplikasi Ekstra Intestinal
1. Komplikasi Kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi
perifer (renjatanseptik),miokarditis,trombosis dan tromboflebitis
2. Komplikasi darah : anemia hemolitik ,trombositopenia, dan / tau.
DisseminatedIntravascular Coagulation (DIC) dan Sindrom uremia
hemolitik
3. Komplikasi paru : Pneumonia,empiema,dan pleuritis~ Komplikasi
hepar dan kandung empedu : hepatitis dan kolesistitis
4. Komplikasi ginjal : glomerulonefritis,pielonefritis, dan perinefritis
5. Komplikasi tulang : osteomielitis,periostitis,spondilitisdan Artritis
6. Komplikasi Neuropsikiatrik : Delirium, meningismus,
meningitis, polineuritis perifer, sindrom guillain-barre, psikosis dan
sindrom katatonia (Mansjoer dkk, 2001).

9. Pencegahan
Pencegahan infeksi Salmonella typhi dapat dilakukan dengan
penerapan pola hidup yang bersih dan sehat. Berbagai hal sederhana namun
efektif dapat mulai dibiasakan sejak dini oleh setiap orang untuk menjaga
higientias pribadi dan lingkungan, seperti membiasakan cuci tangan dengan
sabun sebelum makan atau menyentuh alat makan/minum, mengkonsumsi
makanan dan minuman bergizi yang sudah dimasak matang, menyimpan
makanan dengan benar agar tidak dihinggapi lalat atau terkena debu, memilih
tempat makan yang bersih dan memiliki sarana air memadai, membiasakan
buang air di kamar mandi, serta mengatur pembuangan sampah agar tidak
mencemari lingkungan.

22
DAFTAR PUSTAKA

Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS. Buku ajar ilmu kesehatan anak infeksi
dan penyakit tropis., ed 1. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia: h.367-
75.

Rampengan TH. Penyakit infeksi tropik pada anak, ed 2. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC, 2008: h.46-62.

Pusponegoro HD, dkk. Standar pelayanan medis kesehatan anak, ed 1. Jakarta :


Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2004: h.91-4.

Hassan R, dkk. Buku kuliah ilmu kesehatan anak 2, ed 11. Jakarta : Percetakan
Infomedika, 2005: h.592-600.

Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson textbook of
pediatrics, 18th ed. Philadelphia, 2007: p.1186-1190.

Mansjoer, Arif. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius. Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia. 2001

23
Partini P. Tritanu dan Asti Proborini. Demam Tifoid. Pediatrics Update. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI, 2003: h.37-43.

Hartoyo E, Yunanto A, Budiarti L. UJi sensitivitas salmonella typhi terhadap


berbagai antibiotik di bagian anak RSUD Ulin Banjarmasin. Sari Pediatri.
September 2006;8(2):118-121.

Concise Reviews of Pediatrics Infectious Diseases. Management of Typhoid Fever


in Children. February 2002: p.157-159.

NN. Demam tifoid. Available from: http://www.medicastore.com (cited : 2009


August 5th).

24

Anda mungkin juga menyukai