Anda di halaman 1dari 22

Pengertian Aqidah Secara Bahasa (Etimologi) :

Kata "aqidah" diambil dari kata dasar "al-aqdu" yaitu ar-rabth(ikatan), al-Ibraam
(pengesahan), al-ihkam(penguatan), at-tawatstsuq(menjadi kokoh, kuat), asy-syaddu
biquwwah(pengikatan dengan kuat), at-tamaasuk(pengokohan) dan al-itsbaatu(penetapan). Di
antaranya juga mempunyai arti al-yaqiin(keyakinan) dan al-jazmu(penetapan).

"Al-Aqdu" (ikatan) lawan kata dari al-hallu(penguraian, pelepasan). Dan kata tersebut diambil
dari kata kerja: " Aqadahu" "Ya'qiduhu" (mengikatnya), " Aqdan" (ikatan sumpah), dan "
Uqdatun Nikah" (ikatan menikah). Allah Ta'ala berfirman, "Allah tidak menghukum kamu
disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi dia menghukum
kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja ..." (Al-Maa-idah : 89).

Aqidah artinya ketetapan yang tidak ada keraguan pada orang yang mengambil keputusan.
Sedang pengertian aqidah dalam agama maksudnya adalah berkaitan dengan keyakinan bukan
perbuatan. Seperti aqidah dengan adanya Allah dan diutusnya pada Rasul. Bentuk jamak dari
aqidah adalah aqa-id. (Lihat kamus bahasa: Lisaanul Arab, al-Qaamuusul Muhiith dan al-
Mu'jamul Wasiith: (bab: Aqada).

Jadi kesimpulannya, apa yang telah menjadi ketetapan hati seorang secara pasti adalah aqidah;
baik itu benar ataupun salah.

Pengertian Aqidah Secara Istilah (Terminologi)

Yaitu perkara yang wajib dibenarkan oleh hati dan jiwa menjadi tenteram karenanya, sehingga
menjadi suatu kenyataan yang teguh dan kokoh, yang tidka tercampuri oleh keraguan dan
kebimbangan.

Dengan kata lain, keimanan yang pasti tidak terkandung suatu keraguan apapun pada orang
yang menyakininya. Dan harus sesuai dengan kenyataannya; yang tidak menerima keraguan
atau prasangka. Jika hal tersebut tidak sampai pada singkat keyakinan yang kokoh, maka tidak
dinamakan aqidah. Dinamakan aqidah, karena orang itu mengikat hatinya diatas hal tersebut.

Aqidah Islamiyyah:

Maknanya adalah keimanan yang pasti teguh dengan Rububiyyah Allah Ta'ala, Uluhiyyah-Nya,
para Rasul-Nya, hari Kiamat, takdir baik maupun buruk, semua yang terdapat dalam masalah
yang ghaib, pokok-pokok agama dan apa yang sudah disepakati oleh Salafush Shalih dengan
ketundukkan yang bulat kepada Allah Ta'ala baik dalam perintah-Nya, hukum-Nya maupun
ketaatan kepada-Nya serta meneladani Rasulullah SAW.

Aqidah Islamiyyah:
Jika disebutkan secara mutlak, maka yang dimaksud adalah aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah,
karena itulah pemahaman Islam yang telah diridhai oleh Allah sebagai agama bagi hamba-Nya.
Aqidah Islamiyyh adalah aqidah tiga generasi pertama yang dimuliakan yaitu generasi sahabat,
Tabi'in dan orang yang mengikuti mereka dengan baik.

Nama lain Aqidah Islamiyyah:

Menurut Ahlus Sunnah wal Jama'ah, sinonimnya aqidah Islamiyyah mempunyai nama lain, di
antaranya, at-Tauhid, as-Sunnah, Ushuluddiin, al-Fiqbul Akbar, Asy-Syari'iah dan al-Iman.

Nama-nama itulah yang terkenal menurut Ahli Sunnah dalam ilmu aqidah.

Sumber: Diadaptasi dari Abdullah bin Abdul Hamid Al-Atsari, Al-Wajiiz fii Aqiidatis Salafis
Shaalih (Ahlis Sunnah wal Jama'ah), atau Intisari Aqidah Ahlus Sunah wal Jama'ah), terj. Farid
bin Muhammad Bathathy(Pustaka Imam Syafi'i, cet.I), hlm. 33-35.

Definisi Aqidah
Selasa, 13 November 2007 22:48
http://alislamu.com/aqidah/683-definisi-aqidah.html
DEFINISI SYARI'AH
Imam Ibnu Mandzur di dalam Kitab Lisaan al-'Arab menyatakan:

"Kata al-syarii'ah, al-syarraa', dan al-masyra'ah bermakna al-mawaadli'


allatiy yunhadaru ila al-maa' (tempat-tempat yang darinya dikucurkan
air).
Berkata al-Laits, al-syarii'ah dinamakan juga dengan syariat yang
disyariatkan (ditetapkan) Allah swt kepada hamba, mulai dari puasa,
sholat,
haji, nikah dan sebagainya.
Sedangkan kata al-syir'ah dan al-syir'ah, menurut bahasa Arab artinya
adalah masyra'at al-maa' (sumber air), yakni maurid al-syaaribah allatiy
yasyra'uhaa al-naas, fa yasyrabuuna minhaa wa yastaquuna (sumber air
minum yang dibuka oleh manusia, kemudian mereka minum dari tempat
itu, dan menghilangkan dahaga). [Imam Ibnu Mandzur, Lisaan al-'Arab, juz
8, hal. 175]

Imam Al-Raaziy di dalam Kamus Mukhtaar al-Shihaah menyatakan:

"Lafadz al-Syarii'ah bermakna masyra'at al-maa' (maurid al-syaaribah:


sumber
air). Kata al-syarii'ah juga bermakna: agama yang disyariatkan Allah swt
kepada hamba-hambaNya.
Jika dinyatakan Allah telah mensyariatkan kepada mereka, maksudnya
adalah sanna (menetapkan aturan untuk mereka).
Lafadz ini termasuk dalam wazan "qatha'a)"Kata al-syir'ah bisa
bermakna al-syarii'ah, sebagaimana firman Allah swt, "Likulli ja'alnaa
minkum syir'at wa
minhaajan".[Untuk setiap umat di antara kamu, Kami jadikan aturan dan
jalan yang terang".(TQS Al Maidah (5):48)]
[Imam al-Raaziy, Mukhtaar al-Shihaah, juz 1, hal. 161]

Pengarang Kitab al-'Ain mengatakan:

"al-Syarii'ah wa al-syir'ah: perkara agama yang Allah swt telah


menetapkannya, dan memerintahkan untuk selalu berpegang teguh
dengannya, seperti sholat, puasa, haji. Dan Allah swt telah mensyariatkan
perkara tersebut, maksudnya adalah Allah swt telah menetapkan perkara
tersebut secara syar'iy (menurut hukum)".
[Ibnu Saidah, al-Mukhashshash, juz 3, hal. 163]

Al-Shaahib bin 'Ibad, di dalam Kamus al-Muhiith fi al-Lughah menyatakan;


"Syara'a al-waarid syuruu'an: tanaawala al-maa' (memberi air). Kata al-
syarii'ah, al-syaraa', al-masyra'ah, dan al-masyru'ah: adalah tempat yang
dipersiapkan untuk minumal-syarii'ah al-syir'atu : urusan agama yang
disyariatkan (ditetapkan) Allah swt kepada hamba-hambaNya. Dan Dialah
yang membuat hukum-hukumnya".
[Al-Shaahib bin 'Ibaad, al-Muhiith fi al-Lughah,juz 1, hal. 44]

Dalam Kamus Bahr al-Muhiith disebutkan;

"Al-syarii'ah: perkara yang disyariatkan oleh Allah swt kepada hamba-


hambaNya. Dan bisa juga berarti madzhab-madzhab (rujukan-rujukan)
yang jelas dan lurus".[Fairuz Abadiy, al-Qaamuus al-Muhiith, juz 2, hal.
290]

Inilah makna kata "al-syarii'ah" menurut ulama-ulama ahli bahasa Arab.

Makna Syarii'at Menurut Ulama Tafsir

Makna syarii'at menurut ulama tafsir, tidak jauh berbeda dengan makna
yang dipahami oleh ulama ahli bahasa Arab.
Ketika menafsirkan firman Allah swt, surat al-Maidah ayat 48, Imam
Qurthubiy di dalam Tafsir Qurthubiy menjelaskan:

"Kata al-syir'ah dan al-syarii'ah bermakna jalan terang yang


mengantarkan pada keselamatan.
Menurut bahasa, kata al-syarii'ah, bermakna al-thariiq alladziy
yatawashshalu minhu ila al-maa` (jalan yang mengantarkan kepada air).
Lafadz al-syarii'ah juga bermakna agama yang disyariatkan (ditetapkan)
Allah kepada hamba-hambaNya; dan Allah telah mensyariatkan (kepada
mereka), maksudnya adalah mensyariatkan (menetapkan) syariat atau
jalan.
Kata al-syaari` bermakna al-thariiq al-a'dzam (jalan besar).
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah swt telah menetapkan Taurat kepada
pemeluknya, Injil kepada pemeluknya, al-Quran kepada pemeluknya.
Ayat ini berbicara pada konteks syariat-syariat (hukum-hukum) dan
ibadah-ibadah. Sedangkan pokok ketauhidan tidak ada perbedaan.
Makna semacam ini dituturkan dari Qatadah.

Mujahid berkata,
"Kata al-syir'ah dan al-minhaaj maknanya adalah agama (diin) Muhammad
saw, dan ia telah menasakh (menghapus) seluruh agama lain." [Imam
Qurthubiy],

Imam Ibnu Katsir di dalam Kitab Tafsiir al-Quran al-'Adziim


mengungkapkan:

"Kata al-syir'ah juga bermakna al-syarii'ah; yakni sesuatu yang membuka


ke sesuatu. Dari sini dinyatakan, "syara'a fi kadza" (mensyariatkan yang
demikian); sedangkan maknanya adalah ibtada`a fiihi (memulai, atau
membuka jalan pertama kali).
Demikian juga al-syarii'ah, ia bermakna "ma yasyra'u minhaa ila al-maa`"
(jalan yang mengantarkan menuju air)".
Adapun kata "al-minhaaj" adalah al-thariiq al-waadliih al-sahl (jalan yang
jelas dan
mudah). Kata al-sunan, maknanya adalah al-tharaaiq (jalan-jalan).
Oleh karena itu, menafsirkan firman Allah swt "syir'atan wa minhajan"
dengan jalan dan sunnah jelas lebih sesuai dari sebaliknya. Wallahu
a'lam".
[Imam Ibnu Katsir, Tafsiir Ibnu Katsiir,]

Imam Syaukani di dalam Kitab Fath al-Qadiir menyatakan;

"Pada asalnya, kata al-syir'ah dan al-syarii'ah bermakna jalan terang yang
bisa mencapai air. Selanjutnya kata ini digunakan dengan makna, agama
(diin)yang disyariatkan Allah swt kepada hambaNya. Sedangkan kata al-
minhaaj: jalan terang dan jelas.
Abu al-'Abbas Muhammad bin Yazid al-Mubarrad,
"Kata al-syarii'ah bermakna ibtidaa' al-thariiq (permulaan jalan),
sedangkan
al-minhaaj bermakna jalan yang berulang-ulang (al-thariiq al-
mustamirah).
Makna ayat ini [surat al-Maidah :48] adalah; sesungguhnya Allah swt
menjadikan Taurat untuk pemeluknya, Injil untuk pemiliknya, dan al-Quran
untuk pemeluknya. Ini terjadi sebelum penghapusan syariat-syariat
terdahulu oleh al-Quran.
Adapun setelah turunnya al-Quran, maka tidak ada syir'ah dan minhaaj,
kecuali yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw".
[Imam Syaukaniy, Fath al-Qadiir, juz 2, hal. 319]

Kata Syarii'ah Menurut 'Urf Para Ulama

Pada konteks awalnya (hakekat lughawiyyah) kata "syarii'ah bermakna


"al-thariiqah al-dzaahirah allatiy yatawashshalu bihaa ila al-maa" (jalan
terang yang bisa mencapai air).
Selanjutnya kata "al-syarii'ah" digunakan oleh para pengguna bahasa Arab
dengan makna "urusan agama yang ditetapkan Allah swt kepada
hambaNya".
Mereka juga memaknai kata syarii'ah sebatas pada aturan-aturan agama
yang bersifat 'amaliyyah (praktis), bukan i'tiqaadiyyah (keyakinan).

Imam Thabariy telah menuturkan pemahaman semacam ini di dalam


riwayat-riwayat shahih.

"Telah meriwayatkan kepada kami, Basyar bin Mu'adz, bahwasanya ia


berkata,
"Telah meriwayatkan kepada kami Yazid, ia berkata, "Telah meriwayatkan
kepada kami Sa'iid, dari Qatadah mengenai firman Allah swt "Likulli
ja'alnaa minkum syir'ah wa minhajan", ia berkata, "Maksudnya adalah
jalan dan sunnah. Sedangkan jalan-jalan itu sangat beragam. Taurat
memiliki syariat tersendiri, Injil memiliki syariat tersendiri, dan al-Quran
juga memiliki syariat sendiri.
Di dalamnya, Allah menghalalkan apa yang Dia kehendaki dan
mengharamkan apa yang Dia kehendaki, untuk mengetahui siapa yang
mentaatiNya dan siapa yang membangkang kepadaNya.
Hanya saja diin (pokok keyakinan) tetaplah satu dan tidak menerima
keyakinan yang lain; yakni al-tauhid (pengesaan Allah) dan ikhlash
beramal semata-mata untuk Allah swt, yang mana prinsip tauhid dan
ikhlash ini diturunkan kepada para Rasul."

"Telah meriwayatkan kepada kami al-Hasan bin Yahya, bahwasanya ia


berkata, "Telah mengabarkan kepada kami 'Abd al-Razaq, bahwasanya ia
berkata, "Telah meriwayatkan kepada kami Ma'mar , dari Qatadah
mengenai firman Allah swt "likulli ja'alnaa minkum syir'atan wa
minhaajan", ia berkata, "Diin itu satu sedangkan syariat (hukum) itu
beragam".[Imam Thabariy, Tafsir al-Thabariy, juz 10, hal. 385]

Imam Ibnu Katsir menyatakan;

"Ayat ini merupakan ikhbar (berita) mengenai umat-umat yang memiliki


agama beragam, yakni syariat yang sangat beragam dalam masalah
hukum-hukum yang diturunkan kepada Rasul-rasulNya yang mulia, namun
berkesesuaian dalam masalah tauhid.

Sebagaimana ditetapkan di dalam Shahih Bukhari dari Abu Hurairah ra,


bahwasanya Nabi saw bersabda, "Kami para Nabi adalah bersaudara, diin
(keyakinan) kami satu".
[HR. Imam Bukhari]

Maksudnya adalah tauhid yang disampaikan Allah kepada semua Rasul


yang diutusNya, dan
dicantumkan di semua Kitab yang diturunkanNya. Sebagaimana disebut di
dalam firman Allah swt, " Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun
sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak
ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian
akan Aku".[Al-Anbiyaa':25],
dan juga firman Allah swt,
" Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat
(untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu",
maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah
dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan
baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah
bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)".[An
Nahl: 36].

Adapun dalam masalah syariat, maka perintah dan larangannya berbeda-


beda.
Kadang-kadang, ada sesuatu yang di dalam syariat ini haram, kemudian
Allah menghalalkannya di syariat yang lain, dan begitu pula sebaliknya.
Kadang-kadang, ada sesuatu yang di dalam syariat ini, ringan, kemudian
diperberat pada syariat yang lain."
[Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsiir, juz 3, hal. 129]

Kesimpulan

Keterangan di atas menunjukkan bahwa, kata "syarii'ah" pada konteks


awalnya (literal) digunakan dengan makna al-thariiqah al-dzaahirah allatiy
yatawashshalu bihaa ila al-maa" (jalan terang yang bisa mencapai air).

Selanjutnya kata "al-syarii'ah" digunakan oleh para pengguna bahasa Arab


dengan makna "diin (agama) yang disyari'atkan Allah swt kepada
hambaNya" dan
dipersempit pada aturan-aturan agama yang mengatur amal perbuatan
manusia,
bukan keyakinan.
Oleh karena itu, para ulama membedakan keyakinan dengan perbuatan.

Masalah keyakinan diinsersikan dalam 'aqidah, sedangkan perbuatan


dimasukkan dalam syariat.
Dari sinilah, kaum Muslim mengenal istilah "aqiidah" (keyakinan) dan
"syarii'ah"(ketentuan yang mengatur perbuatan manusia).

Prof. Mahmud Syaltut, di dalam Kitab al-Islaam; 'Aqiidah wa Syarii'ah


menyatakan:

Syarii'ah adalah aturan-aturan (system) yang Allah telah


mensyariatkannya, atau mensyariatkan pokok dari aturan-aturan
tersebut, agar manusia mengadopsi aturan-aturan tersebut untuk
mengatur hubungan dirinya dengan Tuhannya, dan hubungan dirinya
dengan saudaranya yang Muslim dan saudara kemanusiaannya (non
Muslim), dan hubungan dirinya dengan alam semesta dan kehidupan" .
[Syaikh Mahmud Syaltut, al-Islaam, 'Aqiidah wa Syarii'ah, hal. 12]

Dengan demikian, kata syari'ah selalu berkonotasi hukum, atau aturan


yang mengatur interaksi manusia dengan Tuhannya, manusia lain, dan
dirinya sendiri.

Kumpulan dari aturan-aturan tersebut melahirkan sebuah sistem hidup


yang unik dan khas. Jika seluruh interaksi tersebut diatur dengan aturan
Islam (hukum Islam), niscaya akan terwujud sistem Islam.

Sebaliknya, jika seluruh interaksi tersebut diatur dengan aturan kufur,


tentunya akan
terbentuk sistem kufur.

Kata syarii'ah tidak memiliki makna selain dari makna yang digunakan
oleh 'urf pengguna bahasa Arab, yakni hukum Allah yang mengatur
interaksi manusia dengan Tuhannya, dirinya sendiri, dan orang lain.
Dengan kata lain, kata "syarii'ah" selalu berkonotasi hukum Allah yang
ditetapkan untuk mengatur seluruh interaksi manusia di kehidupan dunia.

Makna semacam ini secara eksplisit disebutkan di dalam al-Quran.


Allah swt berfirman;
"Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang
terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu
umat
(saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberianNya
kepadamu.."[TQS Al Maidah (5): 48]
Di dalam hadits shahih juga dituturkan bahwasanya Rasullah saw
menggunakan
kata syarii'ah dengan makna hukum. Rasulullah saw bersabda;

"Umat akan selalu berada di atas syarii'ah, selama di tengah-tengah


mereka belum tampak tiga perkara.
Selama ilmu belum dicabut dari mereka, dan selama di tengah-tengah
mereka belum banyak anak banci, serta belum tampak di tengah-tengah
mereka al-shaqqaaruun".

Para shahabat bertanya,

"Ya Rasulullah, apa al-shaqqaaruun atau al-shaqqlaawuun itu?" Rasulullah


saw menjawab, "Manusia yang ada di akhir zaman, yang mana, ucapan
selamat
diantara mereka adalah saling melaknat".[HR. Imam Ahmad]

Atas dasar itu, statement yang menyatakan bahwa kata syariat di dalam
al-Quran dan Sunnah tidak ekplisit bermakna "hukum atau aturan", jelas-
jelas
statement yang tidak didukung oleh hujjah yang lurus dan selamat.

Pasalnya, seluruh ahli bahasa Arab serta ulama-ulama tafsir menggunakan


kata syarii'ah dengan makna hukum atau aturan yang mengatur
perbuatan manusia, tidak dengan makna lain.

Kata syariiat sama sekali tidak bermakna "perealisasian mashlahat".


Makna semacam ini tidak pernah digunakan oleh para pengguna bahasa
Arab dan tidak
pernah dikemukakan oleh ulama-ulama yang memiliki kredibilitas ilmu dan
ketaqwaan.

Pendefinisian syarii'at dengan makna semacam ini jelas-jelas keliru dan


menyesatkan.

Maqaashid al-Syar'iyyah Bukanlah Sumber Hukum Syariat

Pada dasarnya, syariat Islam diturunkan di muka bumi untuk menciptakan


rahmat dan kemashlahatan di tengah-tengah mereka. Allah swt berfirman;

"Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad), kecuali sebagai


rahmat bagi seluruh penjuru alam".[TQS Al Anbiyaa' (21):107]
Frase "wa maa arsalnaaka illa rahmatan lil 'alaamin" menunjukkan dengan
sangat jelas, bahwa rahmat bagi penjuru alam itu dinisbahkan kepada
syari'at yang dibawa oleh Muhammad saw.

Namun, rahmat pada ayat itu hanyalah hasil (natijah) dari penerapan
syari'at Islam, bukan sebagai "sebab" ('illat) pensyari'atan hukum Islam.
Oleh karena itu, tidak boleh dipahami bahwa hukum syariat itu ditetapkan
berdasarkan mashlahat.

Pasalnya mashlahat bukanlah dalil hukum maupun 'illat pensyari'atan


sebuah hukum.

Selain itu, ayat di atas tidak mengandung 'illat sama sekali.


Rahmat pada ayat ini bukanlah 'illat disyari'atkannya hukum Islam,
sehingga dinyatakan bahwa hukum syariat itu beredar mengikuti 'illatnya
(kemashlahatan).

Jika suatu hukum syariat dianggap tidak mashlahat, maka hukum itu bisa
dianulir.
Sebaliknya, sesuatu yang diharamkan oleh syariat, bisa saja dianggap
sebagai
sesuatu yang masyr'u jika di dalamnya ada kemashlahatan.

Kesimpulan semacam ini jelas-jelas menyimpang dari membuka ruang


yang sangat lebar munculnya aktivitas "mengharamkan apa yang
dihalalkan Allah, dan menghalalkan apa yang diharamkan Allah swt"
dengan alasan mashlahat.

Padahal Allah swt mencela perbuatan mengharamkan apa yang dihalalkan


Allah swt, dan menghalalkan apa yang diharamkan Allah swt.

"Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka


sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih
putera Maryam;
padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak
ada Tuhan
(yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka
persekutukan."[TQS At Taubah (9):31]
Orang Yahudi dan Nashrani dikatakan menyembah kepada pendeta dan
rahib mereka, dikarenakan pendeta dan rahib mereka telah menghalalkan
apa yang diharamkan Allah, dan mengharamkan apa yang dihalalkan
Allah, dan mereka tetap mengikutipara pendeta dan rahib tersebut.

Selain itu, misi dan visi Nabi Muhammad saw di muka bumi ini, selain
menyebarkan kalimat Tauhid, juga mengatur manusia dengan aturan-
aturan yang telah ditetapkan oleh Allah swt. Allah swt berfirman;

"dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa


yang
diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.
Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak
memalingkan kamu
dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.
Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka
ketahuilah bahwa
sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada
mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka.
Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik".
[TQS Al Maidah (5):49], dan ayat-ayat lain yang memiliki pengertian
senada.

Ayat ini dengan sharih menyatakan agar Nabi Muhammad saw mengatur
seluruh urusan manusia dengan aturan Allah, bukan dengan hawa nafsu
(keinginan) manusia.
Bahkan, Allah swt telah memperingatkan beliau untuk tidak berpaling dari
hukum-hukum Allah swt karena mengikuti keinginan-keinginan manusia.

Pasalnya, hukum Allah swt adalah hukum yang paling sempurna dan baik.

Oleh karena itu, syariat Islam (hukum Allah) tidak ditetapkan berdasarkan
mashlahat. Sesungguhnya, hukum syariat itu ditetapkan berdasarkan
nash-nash syariah, bukan berdasarkan kemashlahatan menurut manusia.

Seandainya hukum syariat ditetapkan berdasarkan mashlahat, niscaya


akan lahir dua hukum kontradiktif dalam satu kasus. Bisa saja menurut
sekelompok orang hukum ini membawa mashlahat, sedangkan yang lain
justru menganggap sebaliknya menimbulkan mafsadat (kerusakan).

Suatu perbuatan bisa saja diharamkan oleh sekelompok orang karena


dianggap mafsadat, namun oleh kelompok yang lain justru dihalalkan
karena adanya mashlahat.

Oleh karena itu, hukum syariat tidak boleh ditetapkan berdasarkan


mashlahat.

Penetapan hukum hanyalah hak prerogatif dari Allah swt, bukan menjadi
hak manusia.
Allah swt berfirman;
"Katakanlah: "Sesungguhnya aku (berada) di atas hujjah yang nyata (Al
Qur'an) dari Tuhanku sedang kamu mendustakannya. Bukanlah
wewenangku (untuk
menurunkan azab) yang kamu tuntut untuk disegerakan kedatangannya.
Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang
sebenarnya dan
Dia Pemberi keputusan yang paling baik".[TQS Al An'aam (6):57]

Allahlah Dzat yang menciptakan manusia, paling mengetahui


kecenderungan, dan memahami apa yang paling baik dan adil bagi
manusia.

Hukum yang telah ditetapkan Allah swt tidak boleh diubah alasan
mashlahat.
Sesuatu yang diharamkan Allah tidak boleh dihalalkan karena dipandang
ada kemashlahatan di sana.

Sebaliknya, perkara yang telah dihalalkan Allah, tidak boleh diharamkan


karena dianggap membawa mafsadat.

Selain itu, apa yang dianggap mashlahat oleh manusia belum tentu
mashlahat
oleh Allah. Allah swt berfirman;

"Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu


yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat
baik bagimu,
dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk
bagimu;
Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui".[TQS Al Baqarah
(2):216]

"Mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan


padanya kebaikan yang banyak".[TQS An Nisaa' (4):19]
Kemashlahatan Bukanlah 'Illat Pensyariatan Hukum Islam

'Illat adalah maqshud al-syaari' min syar'i al-hukm (maksud dari Pembuat
syariat ketika mensyariatkan sebuah hukum).

Pada dasarnya, jalb al-mashaalih wa dar` al-mafsadaat (mengambil


mashlahat dan meninggalkan mafsadat) bukanlah 'illat bagi hukum-hukum
syara', dan juga bukan dalil bagi hukum syara'.

Jalb al-mashaalih wa dar` al-mafsadaat juga bukan 'illat bagi syari'at Islam
secara menyeluruh.

Adapun nash yang dijadikan dalil bahwa 'illat untuk seluruh syari'at Islam
adalah jalb al-mashaalih wa dar` al-mafsadaat, sesungguhnya sama sekali
tidak menunjukkan bahwa jalb al-mashaalih wa dar` al-mafsadaat
merupakan 'illat hukum, akan tetapi hanya menunjukkan hikmah
diturunkan dan diterapkannya syari'at Islam.

Firman Allah swt "Wa maa arsalnaaka illa rahmatan lil 'alaamin", sangat
jelas ditunjukkan di sini, bahwa rahmat bagi
penjuru alam tersebut dinisbahkan kepada syari'at yang dibawa oleh
Muhammad saw, bukan dinisbahkan kepada penetapan hukum-hukum
yang bersifat rinci.

Dengan kata lain, rahmat pada ayat itu hanyalah hasil (natijah) dari
penerapan syari'at, bukan sebagai "sebab" ('illat) bagi pensyari'atan
hukum Islam.

Sebab, ayat ini tidak mengandung 'illat sama sekali.


Karena tidak mengandung 'illat, maka ayat ini tidak boleh dita'lilkan.

Oleh karena itu, statement yang menyatakan bahwa "ada tidak adanya
hukum syariat tergantung pada ada tidaknya mashlahat", jelas-jelas salah
dan keliru.
Pasalnya, mashlahat bukanlah 'illat pensyariatan hukum Islam, akan
tetapi ia hanyalah natijah (hasil) yang akan didapat manusia tatkala
menerapkan syariat Islam.

Contohnya, Allah swt dan RasulNya telah menetapkan larangan bagi


wanita memegang tampuk kekuasaan negara, hukuman mati bagi orang
murtad, larangan mengkonsumsi riba, kewajiban sholat, puasa, haji, jihad,
dan lain sebagainya.

Hukum-hukum semacam ini tidak akan berubah, dan tidak boleh diubah
dengan alasan tidak lagi mashlahat.

Sungguh tercelalah orang yang membolehkan riba dengan alasan


mashlahat, menghapus kewajiban sholat, jihad, puasa, zakat, dan lain
sebagainya karena sudah tidak dianggap membawa mashlahat.

KESIMPULAN

Kata "syarii'ah Islam" selalu mengandung konotasi hukum atau aturan


Islam.
Pasalnya kata ini memiliki hakekat 'urfiyyah, sehingga pemaknaannya
harus sejalan dengan 'urf (kebiasaan) pengguna bahasa Arab, yakni,
aturan yang ditetapkan Allah swt kepada hambaNya untuk mengatur amal
perbuatannya.

Pada dasarnya, syariat Islam bila diterapkan secara kamil, syamil, dan
mutakamil akan membawa mashlahat bagi umat manusia.

Kemashlahatan datang ketika hukum Islam diterapkan, bukan sebaliknya,


penetapan dan penerapan huum Islam tergantung ada tidaknya
kemashahatan.

Kemashlahatan bukanlah 'illat pensyariatan hukum Islam, baik secara


parsial maupun menyeluruh.

Pasalnya, tidak ada satupun dalil yang mendasari perkara ini.

Jika ada sebagian pihak berusaha menyodorkan dalil, sesungguhnya dalil-


dalil tersebut tidak mengandung 'illat, namun hanyalah natijah atau
hikmah hukum.

Sholat misalnya, jika dilaksanakan dengan benar bisa mencegah


seseorang dari kekejian dan kemungkaran. Namun mencegah kekejian dan
kemungkaran bukanlah 'illat pensyariatan sholat.

Seandainya 'illah pensyariatan sholat adalah "mencegah kekejian dan


kemungkaran", tentunya jika seseorang telah mampu mencegah dirinya
dari tindak keji dan mungkar,
niscaya ia tidak perlu lagi sholat.

Sebab, al-'illatu taduuru ma'a ma'luul wujuudan wa 'adaman ('illat itu


beredar dengan ada atau tidak adanya yang di'illati).

Diposkan oleh Masoed Abidin Jabbar di 20:51


Label: Buya Masoed Abidin, Komentar, Rihlah ibadah, Surau Buya
http://masoedabidin.blogspot.com/2008/08/definisi-syariah-pada-dasarnya.html

Pengertian Akhlak
Akhlak dari kata Al-Akhlak, jamak dari Al-khuluq yang artinya kebiasaan, perangai,
tabiat dan agama.

Menurut Al Gazali, kata akhlak sering diidentikkan dengan kata kholqun (bentuk
lahiriyah) dan Khuluqun (bentuk batiniyah), jika dikaitkan dengan seseorang yang
bagus berupa kholqun dan khulqunnya, maka artinya adalah bagus dari bentuk
lahiriah dan rohaniyah. Dari dua istilah tersebut dapat kita pahami, bahwa manusia
terdiri dari dua susunan jasmaniyah dan batiniyah. Untuk jasmaniyah manusia
sering menggunakan istilah kholqun, sedangkan untuk rohaniyah manusia
menggunakan istilah khuluqun. Kedua komponen ini memilih gerakan dan bentuk
sendiri-sendiri, ada kalanya bentuk jelek (Qobiah) dan adakalanya bentuk baik
(jamilah). Akhlak yang baik disebut adab. Kata adab juga digunakan dalam arti
etiket, yaitu tata cara sopan santun dalam masyarakat guna memelihara hubungan
baik antar mereka.

Akhlak disebut juga ilmu tingkah laku / perangai (Imal-Suluh) atau Tahzib al-akhlak
(Filsafat akhlak), atau Al-hikmat al-Amaliyyat, atau al-hikmat al- khuluqiyyat. Yang
dimaksudkan dengan ilmu tersebut adalah pengetahuan tentang kehinaan-kehinaan
jiwa untuk mensucikannya. Dalam bahasa Indonesia akhlak dapat diartikan dengan
moral, etika, watak, budi pekertim, tingkah laku, perangai, dan kesusilaan.

Ruang Lingkup Akhlak


a) Akhlak pribadi
Yang paling dekat dengan seseorang itu adalah dirinya sendiri, maka hendaknya
seseorang itu menginsyafi dan menyadari dirinya sendiri, karena hanya dengan
insyaf dan sadar kepada diri sendirilah, pangkal kesempurnaan akhlak yang utama,
budi yang tinggi. Manusia terdiri dari jasmani dan rohani, disamping itu manusia
telah mempunyai fitrah sendiri, dengan semuanya itu manusia mempunyai
kelebihan dan dimanapun saja manusia mempunyai perbuatan.

b) Akhlak Berkeluarga
Akhlak ini meliputi kewajiban orang tua, anak, dan karib kerabat.
Kewjiban orang tua terhadap anak, dalam islam mengarahkan para orang tua dan
pendidik untuk memperhatikan anak-anak secara sempurna, dengan ajaran ajaran
yang bijak, islam telah memerintahkan kepada setiap oarang yang mempunyai
tanggung jawab untuk mengarahkan dan mendidik, terutama bapak-bapak dan ibu-
ibu untuk memiliki akhlak yang luhur, sikap lemah lembut dan perlakuan kasih
sayang. Sehingga anak akan tumbuh secara istiqomah, terdidik untuk berani berdiri
sendiri, kemudian merasa bahwa mereka mempunyai harga diri, kehormatan dan
kemuliaan.

Seorang anak haruslah mencintai kedua orang tuanya karena mereka lebih berhak
dari segala manusia lainya untuk engkau cintai, taati dan hormati. Karena keduanya
memelihara,mengasuh, dan mendidik,menyekolahkan engkau, mencintai dengan
ikhlas agar engkau menjadi seseorang yang baik, berguna dalam masyarakat,
berbahagia dunia dan akhirat. Dan coba ketahuilah bahwa saudaramu laki-laki dan
permpuan adalah putera ayah dan ibumu yang juga cinta kepada engkau,
menolong ayah dan ibumu dalam mendidikmu, mereka gembira bilamana engkau
gembira dan membelamu bilamana perlu. Pamanmu, bibimu dan anak-anaknya
mereka sayang kepadamu dan ingin agar engkau selamat dan berbahagia, karena
mereka mencintai ayah dan ibumu dan menolong keduanya disetiap keperluan.

c) Akhlak Bermasyarakat
Tetanggamu ikut bersyukur jika orang tuamu bergembira dan ikut susah jika orang
tuamu susah, mereka menolong, dan bersam-sama mencari kemanfaatan dan
menolak kemudhorotan, orang tuamu cinta dan hormat pada mereka maka wajib
atasmu mengikuti ayah dan ibumu, yaitu cinta dan hormat pada tetangga.

Pendidikan kesusilaan/akhlak tidak dapat terlepas dari pendidikan sosial


kemasyarakatan, kesusilaan/moral timbul didalam masyarakat. Kesusilaan/moral
selalu tumbuh dan berkembang sesuai dengan kemajuan dan perkembangan
masyarakat. Sejak dahulu manusia tidak dapat hidup sendirisendiri dan terpisah
satu sama lain, tetapi berkelompok-kelompok, bantu-membantu, saling
membutuhkan dan saling mepengaruhi, ini merupakan apa yang disebut
masyarakat. Kehidupan dan perkembangan masyarakat dapat lancar dan tertib jika
tiap-tiap individu sebagai anggota masyarakat bertindak menuruti aturan-aturan
yang sesuai dengan norma- norma kesusilaan yang berlaku.

d) Akhlak Bernegara
Mereka yang sebangsa denganmu adalah warga masyarakat yang berbahasa yang
sama denganmu, tidak segan berkorban untuk kemuliaan tanah airmu, engkau
hidup bersama mereka dengan nasib dab penanggungan yang sama. Dan
ketahuilah bahwa engkau adalah salah seorang dari mereka dan engkau timbul
tenggelam bersama mereka.

e) Akhlak Beragama
Akhlak ini merupakan akhlak atau kewajiban manusia terhadap tuhannya, karena
itulah ruang lingkup akhlak sangat luas mencakup seluruh aspek kehidupan, baik
secara vertikal dengan Tuhan, maupun secara horizontal dengan sesama makhluk
Tuhan.

Berangkat dari sistematika diatas dengan sedikit modifikasi penulis membagi


pembahasan ruang lingkup akhlak antar lain:
1. Akhlak terhadap Allah SWT
2. Akhlak terhadap Rasullah Swt
3. Akhlak Pribadi
4. Akhlak dalam keluarga
5. Akhlak bermasyarakat
6. Akhl;ak bernagara

Dalam konsep akhlak segala sesuatu dinilai baik atau buruk, terpuji atau tercela,
semata-mata karena syara (Quan dan Sunah) yang menilainya demikian. Namun
akhlak dalam ajaran agama tidak dapat disamakan dengan etika, jikqa etika
dibatasi pada sopan santun antar sesame manusia, serta hanya berkaitan dengan
tingkah laku lahiriah.

Pembinaan Akhlak
Pembinaan adalah suatu usaha untuk membina. Membina adalah memelihara dan
mendidik, dapat diartikan sebagai bimbingan secara sadar oleh pendidik terhadap
perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadian
yang utama.

Anak didik adalah anak yang masih dalam proses perkembangan menuju kearah
kedewasaan. Hal ini berarti bahwa anak harus berkembang menjadi manusia yang
dapat hidup dan menyesuaikan dari dalam masyarakat, yang penuh dengan aturan-
aturan dan norma-norma kesusilaan. Oleh karena itu perlulah anak di didik,
dipimpin kearah yang dapat dan sanggup hidup menuruti aturan-aturan dan norma-
norma kesusilaan. Jadi maksud dari tujuan pendidikan akhlak atau kesusilaan
adalah memimpin anak setia serta mengerjakan segala sesuatu yang baik dan
meninggalkan yang buruk atas kemauan sendiri dalam segala hal dan setiap waktu.

Pada masa sekarang ini demoralisasi telah merajalela dalam kehidupan masyarakat,
maka dari itu diperlukan usaha-usaha pendidikan dalam mengupayakan pembinaan
akhlak terutama pada masa remaja, karena pada masa pubertas dan usia baligh
anak mengalami kekosongan jiwa yang merupakan gejala kegoncangan pikiran,
keragu-raguan, keyakinan agama, atau kehilangan agama. Menurut Al-Gazaly
adalah menunjukkan suatu hikmah bahwa anak puber tersebut memerlukan bekal
untuk mengisi kekosongan jiwanya melalui sublimasi dan way out dari problema
yang dihindarinya.

Metode Pendidikan Akhlak


Yang dimaksud dengan metode disini ialah semua cara yang digunakan dalam
upaya mendidik. Adapun metode Islam dalam upaya perbaikan terhadap akhlak
adalah mengacu pada dua hal pokok, yakni pengajaran dan pembiasaan. Yang
dimaksud dengan pengajaran adalah sebagai dimensi teoritis dalam upaya
perbaikan dan pendidikan. Sedangkan yang dimaksud dengan pembiasaan untuk
dimensi praktis dalam upaya pembentukan (pembinaan) dan persiapan.

Ali Kholil AbuAinin didalam kitabnya : Falsafahtul Tarbiyatul Islamiyahtu Al-Quranil


karim mengemukakan secara panjang lebar tentang metode pendidikan Islam,
yang diringkasnya menjadi 11 (sebelas) macam, yaitu :
1. Pengajaran tentang cara beramal dan pengalaman / ketrampilan.
Metode ini dapat dilakukan melalui ibadah shalat, zakat, puasa, haji dan ijtihad.
2. Mempergunakan akal
3. Contoh yang baik dan jujur
4. Perintah kepada kebaikan, larangan perbuatan munkar saling berwasiat
kebenaran, kesabaran dan kasih sayang.
5. Nasihat-nasihat
6. Kisah-kisah
7. Tamsil
8. Menggemarkan dan menakutkan atau dorongan dan ancaman.
9. Menanamkan atau menghilangkan kebiasaan.
10. Menyalurkan bakat.
11. Peristiwa-peristiwa yang berlalu.

Menurut al-nahlawi metode pendidikan yang diajurkan, antara lain :


1. Metode Hiwar Qurani dan Nabawi
Hiwar (dialog) ialah percakapan silih berganti antara dua pihak atau lebih mengenai
suatu topik, dan dengan sengaja diarahkan kepada satu tujuan yang dikehendaki
(dalam hal ini oleh guru). Dalam percakapan itu bahan pembicaraan tidak dibatasi,
dapat digunakan berbagai konsep sains, filsafat, seni, wahyu, dll. Kadang-kadang
pembicaraan sampai pada satu kesimpulan, kadang-kadang tidak sampai pada
kesimpulan, karena salah satu pihak tidak puas terhadap pendapat pihak lain. Yang
manapun ditemukan hasilnya dari segi pendidikan tidak jauh berbeda, masing-
masing mengambil pelajaran untuk menentukan sikap pada dirinya.

Metode Hiwar pada saat ini masih efektif dipakai dalam belajar mengajar, yakni
sama dengan diskusi pada zaman sekarang ini, dan memang cukup efektif untuk
melatih anak didik lebih mandiri karena mereka dapat berdialog dari hasil bacaan
mereka sendiri pada tema yang telah di tentukan oleh gurunya.

2. Metode kisah Qurani dan Nabawi


Dalam pendidikan Islam, terutama pendidikan agama Islam (sebagai suatu bidang
studi), kisah sebagai suatu metode pendidikan amatlah penting, untuk dapat
merenungkan kisahnya, yang menyentuh hati umat manusia. Kisah Qurani adalah
untuk mendidik perasaan keimanan.

3. Metode amtsal (perumpamaan)


Metode ini banyak kita temui dalam Al-quran, antara lain :

Dalam surah Al-Baqarah ayat 17. Perumpamaan orang-orang kafir itu adalah seperti
orang yang menyalakan api.

Dalam surah Al-Ankabut ayat 41 Allah mengumpamakan sesembahan atau Tuhan
orang kafir dengan sarang laba-laba, Perumpamaan orang-orang yang berlindung
kepada selain Allah atau seperti laba-laba yang membuat rumah, padahal rumah
yang paling lemah adalah rumah laba-laba.


Kebaikan dari metode ini adalah :
a) Memudahkan siswa memahami konsep yang abstrak.
b) Perumpamaan dapat merangsang kesan terhadap makna yang tersirat dalam
perumpamaan tersebut.
c) Merupakan pendidikan agar bila menggunakan perumpamaan haruslah logis dan
mudah dipahami.
d) Perumpamaan Qurani dan Nabawi memberikan motivasi kepada pendengarnya
untuk berbuat amal baik dan menjauhi kejahatan.

4. Metode Teladan
Secara psikologis anak menang senang meniru, tidak saja yang baik, yang jelekpun
ditirunya. Dalam teori tabula rasa (John Lock dan Francis Bacon), bahwa anak yang
baru dilahirkan dapat di umpamakan sebagai kertas putih bersih yang belum
ditulisi, segala kecakapan dan pengetahuan manusia timbul dari pengalaman yang
masuk melalui alat indra.

5. Metode Pembiasaan
Inti dari pembiasaan adalah pengulangan, metode mendidik anak murid pada masa
kini. Yang menetapkan bahwa dengan cara mengulang ngulangi pengalaman
dalam berbuat sesuatu dapat meninggalkan kesan-kesan yang baik dalam jiwanya,
dan dari aspek inilah anak akan mendapatkan kenikmatan pada waktu mengulang-
ngulangi pengalaman yang baik itu, berbeda dengan pengalaman-pengalaman
tanpa melalui praktik.

6. Metode Ibrah dan mauidah


Ibrah ialah suatu kondisi psikis yang menyampaikan manusia kepada intisari
sesuatu yang disaksikan, yang dihadapi, dengan menggunakan nalar, yang
menyebabkan hati mengakuinya. Adapun Muidah ialah nasihat yang lembut yang
diterima oleh hati dengan cara menjelaskan pahala atau ancamannya.

7. Metode Targib dan Tarhib


Targib ialah janji terhadap kesenangan, kenilematan akhirat yang disertai bujukan.
Tarhib ialah ancaman karena dosa yang dilakukan.

Sedangkan menurut Prof. Dr.H.M Arifin Med, bahwa dalam Al-Quran dan sunah nabi
dapat ditemukan metode-metode untuk pendidikan agama, antara lain :
a) Perintah / larangan
b) Cerita tentang orang-orang yang taat dan orang-orang yang berdosa (kotor)
serta akibat-akibat dari perbuatannya.
c) Peragaan, misalnya manusia disuruh melihat kejadian dalam alam ini, dengan
melihat gunung, laut, hujan, tumbuhan dan sebagainya.
d) Instruksional (bersifat pengajaran), misalnya menyebutkan sifat-sifat orang yang
beriman, begini dan begitu dan lain sebainya.
e) Acquisition (self : aducation), misalnya menyebutkan tingkah laku orang yang
munafik itu merugikan diri mereka sendiri, dengan maksud manusia jangan menjadi
munafik dan mau mendidik dirinya sendiri kearah iman yang sesungguhnya.
f) Mutual Education (mengajar dalam kelompok), misalnya nabi mengajar sahabat
tentang cara-cara sembah yang dengan contoh perbuatan yang
mendemonstrasikannya.
g) Exposition (dengan menyajikan) yang didahului dengan motivasion
(menumbuhkan minat) yakni dengan memberikan muqodimah lebih dahulu,
kemudian baru menjelaskan pelajarannya.
h) Function (pelajaran dihidupkan dengan praktek) misalnya nabi mengajarkan
tentang hukum-hukum dan syarat-syarat haji, kemudian nabi bersama-sama untuk
mempraktekannya.
i) Explanation (memberi penjelasan tentang hal-hal yang kurang jelas) misalnya
nabi memberi penafsiran ayat-ayat Al-Quran, seperti ayat-ayat yang
memerintahkan bersembahyang dan sebagainya.

Konsep pendidikan modern saat ini sejalan dengan pandangan al-Gazaly tentang
pentingnya pembiasaan melakukan suatu perbuatan sebagai suatu metode
pembentukan akhlak yang utama, terutama karena pembiasaan itu dapat
berpengaruh baik terhadap jiwa manusia, yang memberikan rasa nikmat jika
diamalkan sesuai dengan akhlak yang telah terbentuk dalam dirinya.

Begitu juga metode mendidik anak pada masa kini yang menetapkan bahwa
dengan cara mengulang-ulangi pengalaman dalam berbuat sesuatu dapat
meninggalkan kesan-kesan yang baik dalam jiwanya, dan dari aspek inilah anak
akan mendapatkan kenikmatan pada waktu mengulang-ulangi pengalaman yang
baik itu, berbeda dengan pengalaman yang diperoleh dengan tanpa melalui
praktek, maka kesan yang ditinggalkan adalah jelek.

Pandangan Al-Gazaly tersebut sesuai dengan pandangan ahli pendidikan Amerika


Serikat, John Dewey, yang mengatakan Pendidikan moral itu terbentuk dari proses
pendidikan dalam kehidupan dan kegiatan yang dilakukan oleh murid secara terus
menerus.

Oleh karena itu pendidikan akhlak menurut John Dewey adalah pendidikan dengan
berbuat dan berkegiatan (learning by doing) yang terdiri dari pada tolong
menolong, berbuat kebajikan dan melayani orang lain, dapat dipercaya dengan
jujur. John Dewey berpendapat bahwa akhlak (moralitas) tidak dapat diajarkan
kepada anak dengan melalui cerita-cerita yang dikisahkannya, akan tetapi hanya
dapat diajarkan melalui praktek yang manusiawi saja. Sehingga kebajikan dan
moralitas dan pengertian yang terkandung didalam cerita-cerita tidak mungkin
dipindahkan (transformasikan) kedalam jiwa anak untuk menjadi akhlaknya, yang
kemudian berinteraksi dengan anak lain berdasarkan atas pemeliharaan
keutamaan-keutamaannya, akhlak (moralitas) hanya dapat diajarkan dengan cara
membiasakan dengan perbuatan praktis.

Tujuan Pembinaan Akhlak


Akhlak dalam ajaran agama tidak dapat disamakan dengan etika, jika etika diatasi
pada sopan santun antar sesama manusia, serta hanya berkaitan dengan tingkah
laku lahiriah.
Akhlak lebih luas maknanya daripada yang telah dikemukakan terlebih dahulu serta
mencakup pula beberapa hal yang tidak merupakan sifat lahiriah. Misalnya yang
berkaitan dengan sikap batin maupun pikiran. Akhlak diniah (agama) mencakup
berbagai aspek, dimulai dari akhlak terhadap Allah, hingga kepada sesama makhluk
(manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan benda-benda tak bernyawa).
a) Akhlak Terhadap Allah
Titik tolak akhlak terhadap Allah atau pengukuran dan kesadaran bahwa tiada Tuhan
melainkan Allah. Dia memiliki sifat-sifat terpuji, demikian Agung sifat terpuji itu,
yang jangankan manusia, malaikat pun tidak akan mampu menjunjungkan
hakikatnya.

b) Akhlak Terhadap Sesama Manusia


Banyak sekali rincian yang dikemukakan Al-Quran berkaitan dengan perlakuan
terhadap sesama manusia. Petunjuk mengenai hal ini bukan hanya dalam bentuk
larangan melakukan hal-hal negatif seperti membunuh, menyakiti badan, atau
mengambil harta hati dengan jalan menceritakan aib seseorang dibelakangnya,
tidak peduli aib itu benar atau salah, walaupun sambil memberikan materi kepada
yang disakiti hatinya itu.
(263 :/2 )
Artinya : Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik daripada sedekah
yang disertai dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan sipenerima).
(Q.S. Al-Baqarah/2 : 263).

Disisi lain Al-Quran menekankan bahwa setiap orang hendaknya didudukan secara
wajar. Nabi Muhammad SAW, misalnya dinyatakan sebagai manusia yang
sempurna, namun dinyatakan pula sebagai Rosul yang memperoleh penghormatan
melebihi manusia lain. Karena itu Al-Quran berpesan kepada orang-orang mukmin.

Anda mungkin juga menyukai