Anda di halaman 1dari 2

Dibalik karya

Gang Ajaib Abah


Seperti yang dikatakan oleh Ki Hajar Dewantara, kebudayaan di artikan sebagai buah budi
manusia hasil perjuangan terhadap alam dan jaman (kodrat dan masyarakat) untuk mengatasi
berbagai rintangan dalam penghidupannya, guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan
yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai. Sepertinya tercermin pada salah satu karya dari
masyarakat sunda berikut ini, yaitu Seni Benjang. Seni yang muncul pada zaman penjajahan
Belanda dan digunakan oleh masyarakat pribumi untuk mengelabui para penjajah sebagai
salah satu strategi perang. Kebanyakan masyarakat sunda sendiri mungkin masih ada yang
belum mengenal jauh seni ini atau hanya pernah mendengar sebagian kecil dari sayup-sayup
lantunan dari nada-nada yang di mainkan.

Sebagai seorang seniman yang masih gagah berkarya di tatar sunda, kita mungkin akan
banyak mendapat cerita mengenai Seni Benjang. Abah Oman sapaannya, beliau lah yang
masih dengan kecintaannya menghidupkan eksistensi budaya seni khas tatar sunda. Abah
sudah menekuni Seni Benjang sejak tahun 1979, ia meneruskan garis budaya dari leluhur
keluarganya hingga kini mendirikan sanggar yang dinamai Srikandi bersama puteranya
yang akrab di sapa Kang Awenk. Di sanggar yang berlokasi di sebuah gang yaitu gang Dahlia
2 di Jl. Gegerkalong Girang- Bandung ini, terdengar musik gamelan yang meramaikan lokasi
itu setiap harinya. Anak-anak lah yang biasanya memainkan alat-alat musik tradisonal itu
yang tak lain adalah cucu-cucu dari Abah Oman. Abah bercerita bagaimana pada awalnya
seni yang dahulu di gunakan untuk mengelabui penjajah pada masa kolonial Belanda masih
ada hingga saat ini, yang tak lain adalah bagaimana leluhurnya terus mewariskan seni ini
kepada setiap generasinya hingga sampai kepada dirinya saat ini. Ia berkata bahwa seni ini
sudah seperti bagian dari hidupnya, yang akan ia jaga dan tidak akan membiarkan nya punah
begitu saja hanya karena zaman telah berubah. Abah berusaha mengenalkan seni kepada
setiap generasinya tanpa memaksa mereka tetapi lihat, mereka bahkan mencintai semua hal
disini dengan sendirinya tanpa paksaan hanya karena mereka adalah keturunan dari keluarga
kami tuturnya. Sanggar Srikandi ini pun dapat menjadi sarana pendidikan bagi anak-anak
di lingkungan ini yang mungkin tidak didapatkan di sekolah.

Apabila kita lihat, alat-alat benjang bahkan ada yang melebihi usianya. Seperti gong kecil
yang di buat pada tahun 1920 di zaman kolonial Belanda yang dibuat menggunakan tangan
manusia tanpa alat dan sudah terkubur di dalam tanah namun masih memiliki kualitas suara
yang baik dan digunakan hingga sekarang menjadi salah satu alat tertua. Masing-masing alat
pun memiliki filosofis tersendiri. Gendang disimbolkan sebagai indung (ibu) dan anak,
terbang yang mengartikan keislaman dari bacaan-bacaan syahadat, Bedug disamakan dengan
suara jatuhnya bom, Gong disamakan dengan suara gema dari aungan Prabu Siliwangi,
Trompet yang disamakan dengan sirine, Bonang yang menyimbolkan hubungan baik antara
tentara dan juga masyarakat, Kuda disimbolkan sebagai alat perang, dan juga Barong (naga
barunan) penjaga dasar laut. Filosofinya adalah kapal selam yang muncul hanya kelihatan
kepalanya saja. Jadi artinya apabila kita melihat musuh yang terlihat hanya kepalanya saja,
untuk penyerangan dari lautan.

Menurut Abah, setiap alat bahkan memilikinya filosofisnya tersendiri yang menggambarkan
bagaimana kehidupan ini dan mengajarkan banyak hal. Ini lah yang membuat Abah mencintai
Seni Benjang. Selain Benjang, Abah pun mengembangkan seni pertunjukan Sunda yang lain,
seperti ronggeng, tayuban, singa barong dan lainnya.

Bila ditilik lebih dalam, seperti jarang sekali masih ada yang dengan kukuhnya
mengembangkan seni seperti ini di tengah kota dengan masyarakatnya yang terus mengikuti
zaman. Tetapi berangkat dari sebuah gang sederhana Seni Benjang masih hidup dan di cintai
hingga kini. Bahkan berangkat dari tempat ini pula membawa Seni Benjang menjuarai
berbagai perlombaan di dalam negeri bahkan di luar negeri, di Asia bahkan negara-negara di
Eropa seperti Jerman, Perancis, Belanda dan lain sebagainya. Abah pun mengembangkan
musik-musik kontemporer dan modern. Namun, menurutnya yang terbaik adalah musik
gamelan yang sudah menjadi bagian dari jiwanya. Beliau berpesan, Abah berharap agar seni
benjang ini tidak punah, haruslah ada apresiasi dari kita sendiri sebagai masyarakat Indonesia
dengan cara memperkenalkan seni benjang kepada masyarakat sebagai salah satu seni dari
budaya di Indonesia.

Bukankah milik kita akan selamanya menjadi milik kita, apabila kita perlakukan selayaknya
milik kita?
-Arindini Kis-

Anda mungkin juga menyukai